Anda di halaman 1dari 9

Kakak, Tunggu Aku!

“Ann! Tunggu.. aku ikut.” Vera menghentikan laju Anna keluar kelas.
Mereka sama-sama menuju kantin. Pesan makanan sambil ngobrol.

“Eh Ann, katanya Bu Khadijah itu muallaf ya? Trus kok aku ngga pernah
lihat suami atau anaknya? Kamu tau?” Vera tiba-tiba bertanya saat Bu Khadijah
masuk ruang TU.

“Ehem. Aku tahu. Bentar baksoku sedikit lagi.” Anna menjawab enteng.
Setelah habis lalu minum, Anna kemudian bercerita dan Vera antusias sekali.

###

Gelap. Gadis itu meraung dalam kebisuan. Meracau dalam lamunan.


Dimana cahaya yang Kau janjikan Ya Allah? Aku ingin cahaya dan aku ingin
keluar dari semua ini.

Matahari kian meninggi. Gadis berumur duabelas tahun itu hanya


bermalasan diatas ranjang di kamarnya yang cukup luas. Kemudian berpindah
ke tepi jendela. Menatap alam tanpa harapan kehidupan. Kupu-kupu yang ia
pandangi seakan berubah kelelawar bertaring tajam. Bunga-bunga bermekaran
yang terhampar di halaman menghadap kamar jendela kamarnya seolah
menjelma bunga bangkai beraroma kematian.

“Apakah sebentar lagi aku mati?” Seperti biasa ia selalu bermonolog


penuh keputusasaan.

“Ah, penyakitku merambah kesemua tempat. Bagaimana jika aku mati


besok? Tidaak!” Dengan keras ia menjawab pertanyaannya sendiri.

Sesosok wanita berkepala tiga memperhatikan gadis itu dengan mata


basah, “Silvi sayang, Mama bawa nasi goreng pakai udang kesukaanmu.
Mama suapi ya..” Silvi kemudian makan tanpa selera.

Gadis itu bernama Silvi. Silvi Marianne Daniel. Enam bulan sejak
sembuh dari peristiwa sebulan kecelakaan lalu lintas sebelumnya bersama

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


ayahnya saat pulang dari sekolah SMP Kristen yang cukup jauh dari rumahnya.
Kebetulah hari itu sang ayah yang menjemput, kecelakaan itu terjadi. Sedan
hitam metalik dan mecedes benz yang keduanya mobil bergengsi bertubruk
dengan alasan yang sulit ditebak. Ajaib, hanya Silvi seorang yang berhasil
selamat dari jeratan maut. Semua tewas seketika.

Silvi dilarikan ke UGD Rumah Sakit terdekat. Denyut nadinya begitu


lemah. Berita kecelakaan sementara dengan cepat menguasai informasi berita
di setiap stasiun televisi. Tak heran, Erica Daniel yang sedang menonton berita
terkini siang itu refleks histeris berteriak di dalam rumahnya. Orang tua Erica
langsung mendatangi rumah anaknya dan didapati terkulai lemah pingsan.

###

“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” Ny. Erica memburu dr. Tammy
saat keluar dari ruang UGD anaknya.

“Patah tulang dan gegar ringan. Rupanya anak anda sangat shock atas
kejadian yang baru saja ia alami. Jika ia sudah sadar, kemungkinan ia
kehilangan sebagian kinerja otaknya. Saya permisi.”

Tetes demi tetes air mata jatuh. Ia kemudian ingat jenazah suaminya.

“Ma, tolong jaga anakku. Jika terjadi sesuatu kabari. Aku harus
menjemput jenazah Daniel. Jika keluarga Daniel datang, biar mereka menyusul.”
Tutur Erica dengan nada tegar dibuat-buatnya kemudian pergi dengan tatapan
kosong.

“Maaf kami baru tiba disini. Mana Erica? Kasihan sekali anak
menantuku.” Keluarga Pastor Julius baru tiba dari Makassar lima belas menit
setelah Erica pergi.

Dua keluarga berkumpul karena kematian seseorang dari mereka.


Mereka menangis sesegukan. Cucu mereka terkapar lemas seperti telur
diujung tanduk. Sebagian dari mereka kemudian menyusul Erica untuk
menjemput jasad rusak anak bungsunya.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


Erica mematung di depan jasad suaminya yang kaku. Wajahnya rusak
berantakan karena ia memegang kemudi dan tertabrak lebih keras. Saat itu
Silvi duduk di jok belakang.

Dikecup wajah sang suami sebelum dimasukkan kedalam peti setelah


dibersihkan. Peti itu dihiasi berbagai bunga tanda penghormatan. Jasad itu
kemudian dibawa pulang pihak keluarga untuk dimakamkan di pemakaman
umum di dekat kompleks perumahan.

Erica terlihat murung sekali saat itu. Seperti tak ada harapan untuk
menjalani kehidupan normal. Banyak pelayat yang menghibur kematian Daniel.
Mereka turut berduka cita. Sebagian rekan dan kerabat kerja Daniel membanjiri
rumah belasungkawa yang tanpa kehadiran Erica. Hanya sebagian
keluarganya berada dirumah.

###

“Aku dimana?” Di hamparan taman penuh bunga diatapi lukisan biru


muda cakrawala berbalut selimut awan putih dan semerbak wangi yang
menyebarkan masuk dalam indra penciumanku. Mengapa aku sendiri? Lekas ia
berlari mencari Erica dan Daniel, mereka tak ada disini. Ia tak putus asa
mencari kedua orang tuanya.

“Hai dik Silvi! Lihatlah, pemandangan disini indah sekali seperti pakaian
yang kau kenakan. Mau aku tunjukan sesuatu yang lebih indah dan
menyenangkan?” Sesosok yang sangat ia kenali. Ia heran mengapa kakak
sulung yang ia kenal, Jack Arya Daniel, berada di tempat seindah ini padahal
Arya meninggal dua tahun yang lalu. Penganiayaan ayah yang mengakibatkan
kematian. Silvi hanya mengangguk pelan.

“Kamu lihat gerbang itu dik? Megah sekali bukan? Alangkah senangnya
bisa masuk ke dalamnya dik.” Senyum sumringah kemudian tertunduk sedih.

“Tapi kamu tidak bisa masuk ke dalam dik. Kakak sangat sedih.” Arya
berkata lagi.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


“Aku ingin masuk kesana kak! Mengapa aku tak dapat masuk?” Tersirat
keingintahuan yang sangat besar.

“Dik, tempatmu bukan disini jika kau belum bersyahadat mengakui


keEsaan-Nya. Dik, cepatlah kembali sebelum semua berakhir buruk. Lagipula
kau belum waktunya disini. Kakak merindukanmu dik!” Arya tersenyum
memberi semangat dan dorongan.Silvi masih termenung tak mengerti namun
tiba-tiba sesosok makhluk bersayap menghampiri, “Kau belum seharusnya
disini. Kembalilah!” Silvi dibawa pergi kemudian...

“Kak… Kakak…” Silvi meracau pelan dengan mata terkatup.

Silvi ditangani beberapa ahli medis. Sudah lima hari ia koma dan saat itu
ia terlihat kejang-kejang hingga ahli medis datang menangani.

“Gadis ini sadar dok! Memanggil kakaknya.” Seorang suster yang berdiri
paling dekat dengan kepala Silvi gembira. Peristiwa menegangkan saat itu
mulai mereda. Detektor jantung Silvi sempat lurus setengah dari layar.

“Panggil kakaknya.” Perintah dr. Heru pada asistennya.

“Baik dok, segera.”

Diluar ruangan UGD, Erica dan yang lainnya tak kalah tegang. Mereka
tak henti-hentinya berdoa sesuai ajaran yang dianut. Tiba-tiba pintu dibuka,
“Maaf, apa ada kakak Silvi disini? Ia memanggil kakaknya.”

Suasana menjadi hening. Mereka kebingungan bagaimana


mempertemukannya dengan seorang yang telah tiada.

“Suster, biar saya yang masuk. Saya ibu dari Silvi dan kakaknya telah
wafat dua tahun silam.” Suster itu tercengang kaget. Kemudian Erica masuk
bersama suster yang menjemput.

Air mata Erica tak lagi dapat dibendung melihat anaknya terkulai lemas
dengan beberapa selang menempel di tubuhnya yang menghubungkan ke
beberapa macam alat-alat medis . Erica kemudian duduk di dekat anaknya.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


“Ini ibu nak. Maaf tidak bisa membawa kakak kesini.” Erica sesegukan.

“Nak, ibu mohon kamu sembuh. Ibu akan memberi apa yang kamu mau.”
Silvi tak juga sadarkan diri dan membuka matanya. Erica terus-terusan
menangis dan akhirnya dibawa keluar.

“Biarkan anak ibu istirahat.”

###

Keluarga Daniel tinggal dua. Ny. Erica Nova Daniel dan Silvi Marianne
Daniel. Erica tak perlu bekerja lagi terutama demi putri satu-satunya setelah
Daniel dan Arya meninggal.

Satu bulan setelah keluar dari rumah sakit, Silvi banyak termenung.
Kemudian ia minta pindah ke sekolah umum. Erica memenuhi permintaan
anakanya karena saat itu dokter menganjurkan agar menuruti kemauan
anaknya agar lekas sembuh dari shocknya dan rupanya Silvi meminta pindah
rumah.

Saat Erica bertanya, Silvi hanya menjawab dengan tatapan tajam. Erica
sadar bahwa Silvi masih belum dapat normal lagi. Di sekolah barunya, Silvi
tetap diawasi oleh seorang staf guru wanita yang diminta oleh Erica.

“Beberapa hari ini, Silvi terlihat senang sekolah disini. Dia terlihat akrab
dengan beberapa temannya namun temannya yang berkerudung. Saya lihat
Silvi tersenyum dan mulai bercanda. Itu kemajuan yang sangat besar Bu!”

Erica terkejut saat mendengar kabar itu melalui baritone telepon. Ia panic
hingga gagang telpon yang ia pegang, jatuh.

“Berarti, Silvi bertemu kakaknya saat ia koma. Pasti Silvi akan mengikuti
jejak Arya! Oh Tuhan.. jangan kau ambil Silvi dariku. Cukup aku kehilangan
Daniel dan Arya.” Erica teringat saat masih di UGD. Silvi memanggil Arya!

Erica beringsut cepat menuju keluar. Ia kembali lagi karena kunci mobill
tertinggal. Dengan tergesa mengemudi menuju sekolah Silvi.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


Saat itu pukul 11:58 WIB. Erica terjebak macet dalam perjalanan. Lima
belas menit kemudian ia lolos dari kemacetan dan segera tiba di sekolah
setelah kurang lebih dua puluh menit.

“Adik lihat Silvi?” Tanya Erica pada seseorang di dekat gerbang yang
mulai ramai disesaki bubaran pulang.

“Tante Mama Silvi Marianne? Dia berada di Mushalla dekat


perpustakaan. Dengan Anna dan Fitri. Saya teman satu kelas. Permisi tante.”

Erika terpaku di dekat gerbang. Aku harus menjauhkannya dari sini. Silvi
anakku dan hanya aku yang berhak atas Silvi.

“Maaf Tante.” Senggolan seorang anak membuatnya tersadar kemudian


bergegas menuju tempat yang diinformasikan.

“NGAPAIN KAMU DISINI? CEPAT PULANG!” Erica sontak berkata


keras kemudian memaksa Silvi pulang. Dan pasti, Silvi terlonjak kaget.

“Maafkan aku, Anna, Fitri… terimakasih semuanya.” Silvi tersenyum


sebelum pulang dengan pasrah.

Anna dan Fitri kemudian cemas. Teringat ungkapan Silvi yang keluarga
Pastor yang pastinya Kristen tulen.

“Aku ingin masuk Islam, tolong ajari aku. Please…” Saat itu Silvii
memohon, hingga akhirnya diantar ke seorang ustadzah Fiya. Semenjak saat
itu, mereka bertiga sangat akrab layaknya sahabat lama.

“Ya Allah, lindungi Silvi dan mudahkan ia.. Ia telah mu‟allaf. Semoga
Engkau merahmatinya. Aamiin.” Keduanya kemudian pulang dengan wajah
sedih.

###

Setelah kejadian itu, Silvi tak pernah sekolah lagi. Setiap harinya hanya
termenung di dalam kamar tanpa bicara dengan Erica. Erica khawatir anaknya
kan ber-Islam seperti Arya.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


“Keluar dari agama itu Arya! Ayah akan menyiksamu dengan yang lebih
berat sampai kamu keluar dari agama itu!” Suara Daniel menggelegar seperti
halilintar di siang bolong. Arya ketahuan masuk mesjid sepulang sekolah dan
melaksanakan shalat dzuhur. Arya dipecut dengan baju yang dilepas.

“Arya ngga bakalan keluar dari agama penuh berkah dan cahaya.
ALLAHU AHAD. Allah itu satu. Asyhadu an laa ilaaha illallah. Muhammad
rosuulullah. Sudah satu tahun Arya mempertahankan menjadi seorang muslim
ta‟at. Tak akan pernah keluar dari islam.” Perkataan Arya menambah amarah
Daniel. Tanpa ampun Arya dipecut dengan lebih dahsyat. Kata yang keluar dari
lisan Arya hanya kalimat syahadat dan takbir. Seketika Arya terkulai.

Daniel panik. Erica meraung minta diringankan langsung berlari


merangkul Arya yang terkulai.. Saat itu Arya berumur enam belas tahun. Silvi
turut menyaksikan penyiksaan terhadap kakaknya berhenti namun tangisnya
tak kunjung mereda.

Tiba-tiba Arya terbangun lalu berdiri.

“Saksikan Ma, Ayah, Silvi! Aku, Jack Arya Daniel telah bersyahadat di
depan kalian!.” Arya dengan fasih mengucapkan lafadz syahadat itu dengan
keras. Lalu ia bertakbir.

Hal yang dilakukan Arya memancing emosi Daniel kembali mendidih.


Seketika ia melihat sesuatu di ujung lemari belakang. Ia mengambilnya
kemudian kembali saat Arya berkata,

“Namaku bukan lagi Jack Arya Daniel. Namaku sekarang, Muhammad


Bilal Asy-Syahid. Silahkan hapus namaku dari keluarga.” Sungguh, ia seperti
Bilal bin Rabah. Tegar dan berani mengumumkan ke-Islamannya. Subhanallah.

Sorot mata Daniel tampak kebencian mendalam. Selama Arya berbicara,


Erica dan Silvi hanya menangis dan menjerit. Kemudian ia berjalan setengah
berlari di belakang Arya, dan sesuatu terjadi.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


Erica semakin histeris. Silvi langsung tak sadarkan diri. Kepala Arya
pecah dihantam golok. Darah muncrat kemana-mana. Berceceran dan menjadi
bau amis darah. Arya meninggal dalam keadaan Syahid. Insyaallah.

Erica tersadar dari ingatan pahit masa beberapa tahun kebelakang.


Dengan urusan yang rumit, Daniel lolos bui. Mulai dari peristiwa itu, keadaan
keluarga Daniel mulai membeku. Namun jika di hadapan orang tua mereka,
mereka bersikap sewajarnya seperti semula.

“Nak, Mama mohon jangan siksa Mama.” Akhirnya Erica memulai


kebekuan untuk mencairkan suasana.

Silvi tetap diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar untuk Mamanya.

“Nak, tolonglah…” Kali ini Erica menangis di hadapan anaknya.

Silvi tetap diam. Akhirnya saling diam.

“Mama yang menyiksa Silvi.” Satu kalimat seperti petir menyambar.


Spontan Erica menampar.

“Anak tak tahu diri! Siksaan apa yang aku berikan?” Namun Erica
menangis lalu memeluk Silvi. “Maafkan Mama sayang..”

“Mama tahu apa yang aku lihat saat aku koma? Aku bertemu Kak Arya.
Kak Bilal Ma.. Sangat rapi dan tampan berada di tempat yang indah…” Silvi
bercerita hingga akhir. Silvi meneteskan air mata. Tangis Erica bertambah
keras.

“Ma, Silvi sudah ber-Islam dua hari setelah masuk SMP baru.” Tak ada
komentar.

“Ma, mama tahu sendiri kan? Setelah kejadian kecelakaan itu aku kena
vonis bocor jantung walau kecil.

“Ma, Silvi kangen Kak Bilal. Mama pernah bilang, „Mama akan berikan
apa yang aku minta.‟ Gimana Ma?” Tak ada jawaban.

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry


“Ma, Mama mau kan, masuk Islam?” Erica seperti disengat beribu lebah.
Hatinya sakit. Namun ia seperti melihat cahaya yang keluar dari mulut Silvi. Ia
kembali menangis.

“Bagaimana Ma?”

Mereka saling diam kemudian bertatap muka. Lalu Erica mengangguk.


Mereka saling berpelukan dalam naungan cinta-Nya.

###

“Tapi akhirnya setelah pengesahan dan pemberian piagam Islamnya,


Silvi pingsan lalu tidur dan ngga pernah bangun lagi. Terus beliau ganti nama
terus lagi jadi guru TU disini. Kalau masalah gimana bisa, mending kamu tanya
aja langsung sama Bu Khadijah.” Aku selesai menceritakan perihal Bu Khadijah
sebelum menjadi muallaf.

“Kasihan banget ya, tinggal seorang diri. Tapi beliau jadi lebih tegar lagi.”
Vera meneteskan air mata setelah mendengar cerita Anna selama istirahat.
Dan bel masuk. Mereka bubar dari kantin.

###

Arini Rahmatia Fauziyah _ Fayyadh Zyah Poetry

Anda mungkin juga menyukai