Anda di halaman 1dari 25

Eccedentesiast

(n.) someone who hides pain behind a smile.


Di salah satu kediaman keluarga besar Wiranta, sedang
berkumpul dan berbincang-bincang hendak merayakan hari
spesial salah satu anggota keluarga mereka.
“Ayo makan, gw yang traktir.”
“Celo mau makan apa?”
“Harus makan banyak biar cepet gede,”
“Ihh aku udah gede tau kak. Hmm Celo mau makan steak aja
boleh ga kak?”
“Boleh dong, buat Celo apasih yang nggak,”
“Asik!!”
“Yaudah yuk siap-siap. Jean, Sean, Haikal, Rendy semua bisa
kan?”
“Bisa, gw jalan sama Jean.”
“Gw bisa, cuma agak telatan aja ada urusan kuliah bentar.”
Di sela percakapan keenam bersaudara itu, ada sosok anak
bungsu dari keluarga Wiranta yang berdiri lalu menghampiri
keenam kakaknya.
“Kak,, Vian boleh ikut?”
Tidak ada respon dari keenam kakak laki-laki keluarga itu.
Mereka sedang asik bermain ponsel milik mereka lalu pergi
untuk mempersiapkan diri.
“Kak,, aku juga ada disini kak.”
‘capek, capek banget. Tapi, emang ini salah Vian ya? Ma pa,
Vian boleh ikut gak?’
Pertama

Alviandra Putra Wiranta,

Seorang pemuda penjelajah gelap dan sepi. Insan muda


penyendiri, menjadikan kesunyian sebagai tempatnya
berkeluh kesah.

Terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Selalu


berucap, menguatkan hati agar tegar melalui segala
tantangan. Hanya dapat berandai, membayangkan dunia
kembali berpihak padanya

Mungkin orang tidak akan tahu, betapa miris


kehidupannya. Karena semuanya tertutupi oleh senyum.
Senyuman indah yang dapat menipu siapa saja yang
melihat.

“Wah, piala lagi. Hebat banget kamu Vian! Kamu udah


ngumpulin berapa piala dari olimpiade? Pasti kakak-
kakakmu bangga ya!” seru Pak Yusuf, guru fisika.

“Ah, bapak bisa saja. Ini juga bantuan dari bapak


sehingga saya bisa mendapatkannya,” jawab Alvian
dengan tawa khasnya.

“Terus pertahankan ya nak! Ini piala dan piagamnya.


Dijaga baik-baik ya.. Jangan dijadiin mainan sama
kamu,” canda Pak Yusuf yang sedikit garing menurut
Alvian.

“Aduh, pak terima kasih. Kalau begitu saya pulang


terlebih dahulu pak. Selamat siang.”

Rumah.

Ya, memang seharusnya tempat itu yang akan Alvian


temui. Rumah memiliki kehangatan dan tempat
berlindung. Namun, rumah memiliki arti yang berbeda
bagi seorang Alvian. Baginya rumah hanyalah sebuah
istilah, rumah adalah kebencian yang menunggunya.

“Wah, enak banget udaranya di sini. Udah lama ga ke


sini deh..” monolog Alvian.

Di sinilah Alvian, sebuah tempat penuh kenangan. Tidak


mewah, hanya sebuah ayunan kayu yang mungkin
usianya lebih tua daripada Alvian sendiri. Dulu tempat
itu adalah tempat bagi dirinya untuk bersenang-senang
dengan kakaknya. Namun semua berubah sejak hari itu
datang.

Sekarang ayunan itu merupakan satu-satunya tempat bagi


Alvian untuk berkeluh kesah dan menyendiri. Walaupun
dia memang sudah akrab dengan sepi.

Ia begitu senang menghabiskan waktunya bersama sepi


sampai lupa jika seseorang akan memakinya. Muncullah
bunyi dari benda pipih di saku Alvian yang menunjukkan
sebuah pesan telah masuk.

“Astaga udah mau jam tujuh! Gawat Kak Marco nge-


chat lagi. Aduhh!”

Alvian pun meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa


menuju tempat kegelapan sesungguhnya.

Seperti yang dikatakan gurunya tadi, seharusnya semua


orang bangga padanya. Namun Alvian lupa, di berbagai
belah bumi ini selalu ada celah untuk tak menyukainya.

Akhirnya Alvian sampai di kediaman Wiranta dengan


berlari, mengeluarkan seluruh tenaga yang ia punya. Ia
lebih memilih lelah daripada mendapat amarah dari
kakak sulungnya, Marco. Karena lelah secara fisik jauh
lebih baik dibandingkan lelah batin.
“Wah masih inget pulang? Ke mana aja lo? Hah?” tanya
Marco yang telah berdiri di depan pintu rumah.
Auranya terlihat sangat menyeramkan. Kakak sulungnya
itu sangat kejam. Jika dipikir-pikir lagi, semua kakaknya
kejam. Tapi yang satu ini yang paling parah.
“Maaf kak, tadi Vian—”
“APA? NGOMONG YANG JELAS! PUNYA MULUT
DIPAKE!” teriak Marco.
Alvian ergedik ngeri mendengar teriakan kakaknya. Ia
hanya bisa diam agar tidak mendapat hal yang lebih
parah nantinya.
Tanpa segan, Marco menarik tubuh Alvian masuk ke
dalam rumah, menampar pipi Alvian hingga memerah,
tak tertinggal pukulan untuk perut Alvian yang membuat
tubuhnya tersungkur ke lantai.
“Masih kecil ga usah banyak gaya, BELAJAR!” bentak
Marco sambil memukul kaki dan perut Alvian.
“Ampun kak! Ampun! Maafin Vian.. Vian ga bakal telat
pulang lagi. Maaf..” mohon Alvian.
“JANGAN NANGIS! Wiranta ga boleh lemah. Gini
doang nangis lo?” tanya Marco dengan tatapan sengitnya.
Alvian hanya bisa menangis dalam diamnya. Jika
melawan, dia akan mendapat masalah yang lebih besar
nantinya. Dia tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun.
Kakaknya yang lain? Hanya diam dan tidak mau ikut
campur dengan perlakuan si sulung. Mereka bahkan tidak
peduli apa yang akan terjadi dengan adik kecilnya.
“Segitu dulu hari ini. Sekarang lo balik ke kamar, belajar!
Awas kalau ada nilai yang jelek, lo bakal gua usir dari
sini!” ancam Marco dan berlalu meninggalkan Alvian.
Dengan lemah, Alvian berusaha untuk berdiri dan
berjalan pelan ke arah kamarnya, meninggalkan tatapan
sengit dari kakak-kakaknya yang lain. Untuk kali ini ia
sedikit menyesal memiliki kamar yang terletak di lantai
dua.

Di balik pintu kamarnya, pecahlah tangisan remaja itu. Ia


menggigit bibirnya agar tak ada isakan keluar dari
mulutnya.

“Mama, papa, Vian sakit..”

“Ga, kamu ga boleh nangis Vian! Wiranta ga boleh


nangis!” omel Alvian pada dirinya sendiri.

Percuma. Seberapa kuat Alvian menahan tangisnya,


sakitnya tak kunjung mereda. Rasanya ia ingin kabur dari
dunia.

Bolehkah? Akankah semesta membiarkannya pergi?

****
Kedua

Brukk,,,, brukk,,,, brukk,,,

Suara seseorang yang sedang menggedor pintu kamar


berhasil mengejutkan anggota termuda keluarga Wiranta.

“Lo jadi anak ga usah nyusahin. Cepetan bangun, tau diri


lo harus sekolah!” ucap Haikal dengan nada tinggi yang
sontak membangunkan Alvian dari alam mimpinya.

Alvian segera bangun dan membukukan pintu kamarnya


untuk Haikal.

“I-iya kak maaf, Vian udah bangun kok.” Jawab Alvian


dengan wajah khas bangun tidur.

“Reseh banget sumpah gitu doang harus diingetin,”

“Maaf kak,”

Setelah itu Haikal pergi meninggalkan Alvian sendiri di


kamarnya. Lalu Alvian segera bersiap-siap untuk
bersekolah dan berjalan ke arah ruang makan untuk
makan bersama dengan keenam kakaknya.

“Tolong ya, bisa ga mandiri dikit? Bangun sendiri aja ga


bisa. Masa harus gua bangunin sih!” teriak Haikal dari
kursi meja makannya.
“Iya kak maaf. Vian kemarin ketiduran jadi ga pasang
alarmnya,” jawab Alvian dengan wajah yang pucat.

Ia tak berbohong. Setelah semalaman menangis, ia lupa


memasang alarmnya. Bahkan tubuhnya masih lemas.
Rasa sakit menjalar seluruh tubuh. Terlalu lelah untuk
sekadar mengingat alarm paginya.

“Yang bisa keluar dari mulut lo tuh cuma maaf doang


ya? Ga ada kata lain?” tanya Jean di samping Haikal.

Alvian terdiam mendengar ucapan yang dilontarkan


kakaknya. Bahkan kakaknya tak mau menyebut namanya
dengan baik. Sakit mendengarnya.

“Kakkk, aku pergi dulu yaaa mau ke sekolah!” girang


Cleo membuyarkan lamunan Alvian.

“Apaan kamu itu, kakak anter ke sekolah. Enak aja mau


pergi sendiri!” omel Sean yang sedang memasak di
dapur.

“Aduh kak! Ayolah aku mau coba berangkat sendiri. Aku


kan udah delapan belas tahun!” balas anak keenam itu.

“Engga-engga, kamu masih kecil harus dianter. Hari ini


bareng kakak aja. Sarapan dulu sini,” larang Rendy, si
tertua kedua. Tangan Rendy menepuk bangku kosong di
sebelahnya.

“Oke kak. Btw Kak Marco mana?”

“Kalau dia si udah ke kantor. Banyak kerjaan katanya.”


“Dan lo kenapa masih di sini? Mau ikut makan? Ga usah
mimpi ya. Sana pergi!” bentak si bungsu ketiga.

Haikal akan selalu marah jika berbicara dengan Alvian.


Begitu juga dengan saudaranya yang lain. Miris.
Tindakan mereka sangat berbeda dengan lima tahun lalu.

“Iya kak, Vian pergi dulu ya.”

Ayolah, Alvian baru berusia tujuh belas tahun dan kalian


tidak mengantarkannya ke sekolah?

Di dalam perjalanannya menuju sekolah Alvian


merasakan sakit dari perutnya dan ia mengingat bahwa
dirinya belum sempat makan dari kemarin malam.

“Aduh lupa belum makan dari kemaren pantes perut Vian


sakit. Tapi ga papa deh nanti aja makan di sekolah.”
Monolog Alvian saat di perjalanannya.

Tiba-tiba sesampainya Alvian di tepi jalan menuju


sekolahnya ia bertemu dengan Celo kakak yang lebih tua
satu tahun dari dirinya.

“Ga usah berharap kakak bakal sayang sama lo. Lo tuh


cuma anak pembawa sial, bisanya Cuma ngerepotin
doang.” Ucap Celo sinis lalu meninggalkan Alvian di
jalan.

Alvian hanya dapat terdiam tidak berbicara satu kata pun


untuk menanggapi Celo. Tetapi Alvian sedang bertarung
dengan pikirannya saat ini.
‘emang Vian anak bawa sial ya? Ma pa, apa Vian yang
salah? Vian ga punya siapa-siapa lagi selain mama papa
di sini’ ucap batin Alvian sambil memegang dadanya
yang menunjukkan bahwa kedua orang tuanya selalu ada
di hatinya.

“Tuhan, Vian cuma punya satu permintaan, bisa ga Vian


jadi adik kakak secara seutuhnya? Vian capek sendiri
terus..” ucap permintaan Vian kepada Tuhan.

Lalu Alvian melanjutkan jalannya untuk beranjak menuju


sekolah.

**

Pintar dan tampan.


Semua orang menginginkan hal tersebut. Kedua hal itu
telah ada di dalam diri Alvian. Namun di balik itu semua,
terdapat berbagai hal yang membuat penderitaan dalam
hidupnya.
Alvian adalah anak penyendiri. Seorang introvert yang
hanya terbuka pada beberapa orang.
Alvian yang sekarang sangat berbeda dengan Alvian lima
tahun yang lalu. Dulu dia adalah pribadi yang mudah
bergaul dengan orang lain. Semua berubah sejak kejadian
tersebut menimpa keluarganya.
Kebencian. Satu kata yang sangat ingin Alvian
musnahkan.
Ya, berkat kebencian yang diberikan keluarganya Alvian
berubah menjadi sosok yang tertutup.
Alvian memiliki satu teman. Atau sebut saja sahabat
setianya. Hanya satu cukup baginya. Jangan lihat dari
kuantitas, melainkan dari kualitasnya.
Namanya Nicholas Stefan. Alvian memanggilnya Efan
dan Stefan memanggil Alvian dengan sebutan Al.
Entahlah, mungkin itu panggilan sayang mereka.
Stefan adalah sosok setia. Ia dengan setia menemani
Alvian apa pun keadaannya. Stefan adalah salah satu
orang yang masih ingin dan bisa untuk menyayangi
Alvian sebagai manusia.
“Lo kalau ada masalah itu cerita! Jangan dipendem bisa
ga si? Kalau lo ga cerita, gunanya gua di sini apa?”
Kalimat itu selalu terdengar dari mulut Stefan. Tapi
Stefan tak pernah berbohong. Ia selalu berada di samping
Alvian. Membuat hati Alvian sedikit menghangat.
Namun ia tidak menceritakan apapun mengenai masalah
hidupnya. Tidak mau merepotkan, katanya.
“Al, lu kenapa dah lemes kek gitu. Belom makan ya lu?”
tanya Stefan ketika ia melihat sahabatnya yang terlihat
lemas di saat pembelajaran di kelas.
“Gw tau lo ga ikut pelajaran juga udah pinter tapi ini pak
Tomi guru killer anjir. Jangan tidur!” ucap Stefan saat
Alvian merebahkan kepalanya dengan kedua tangannya
di atas meja.

“Gw ga papa, sans aja. Udah lo jangan merhatiin gw


terus mending lu merhatiin pelajaran Biologi,”

“Tugas aja masih nyontek gw gimana mau pinter lo,”


ejek Alvian sambil menegakkan tubuhnya. Stefan hanya
bisa menggaruk tekuknya yang tak gatal.

“Dih dah cerewet gini berarti sehat,”

Pembelajaran Biologi yang ada di kelas Alvian dan


Stefan telahselesai. Waktu menunjukkan jam istirahat,
kemudian Pak Tomi meninggalkan kelas dan disusul oleh
murid-murid yang ingin melepaskan rasa laparnya
menuju kantin sekolah.

Stefan mengajak Alvian untuk pergi menuju kantin.


Sempat ada penolakan dari Alvian tetapi Stefan tetap
terus memaksa Alvian untuk pergi dan akhirnya Alvian
pun pergi.

“Lo mau beli apa? Gua bingung nih,” ucap Stefan kepada
Alvian.

“Gua ikutan lo aja deh Fan hehe,” jawab Alvian dengan


tidak enak.
Sebenarnya Alvian merasa tidak enak karena terus
menguras dompet temannya itu. Namun Stefan selalu
saja memaksanya untuk makan.

Semua orang tahu kalau Alvian berasal dari keluarga


yang mampu dalam bidang ekonomi. Bahkan bisa
disebut kaya. Namun Marco dan kakak yang lain tak
pernah memberi Alvian uang jajan. Karena itulah, Alvian
selalu membuat bekalnya sendiri untuk dibawa ke
sekolah.

Berbeda dengan Celo. Tidak meminta saja sudah


diberikan dengan berlimpah. Sungguh kejam.

“Gua beli bakso aja deh, Al. Gua beliin dua deh ya
sekalian buat lo,” tanya Stefan.

“Iya gua ikut aja.”

Sambil menunggu bakso pesanannya matang, Stefan dan


Alvian duduk di salah satu kursi kantin.

“Lo kenapa bisa pucet gini si, Al? Tadi juga lo lemes
banget pas pelajaran Tomi tuh. Untung ga keliatan. Ya
tapi lo ga perhatiin juga tetep aja pinter. Lah gua udah
merhatiin dengan seksama eh masih aja goblok,” tanya
Stefan dengan panjang lebar.

“Gua gapapa kok Fan, santai aja beneran. Eh udah


mateng tuh gua yang ambil aja ya,” ucapnya sambil
berdiri. Ingin melarikan diri dari pertanyaan yang
diajukan Stefan. Dan entah ini kebohongan keberapa
yang terucap dari mulut seorang Alvian.
Stefan membenci ini. Stefan yakin Alvian menutupi
sesuatu dari dirinya. Tapi dia bisa apa? Tidak mungkin
dia memaksa Alvian untuk bercerita. Dia akan menunggu
Alvian bercerita sendiri. Selalu.

DUG!!

Stefan terkejut mendengarnya. Suara itu membuyarkan


lamunannya. Matanya membulat. Alvian telah tersungkur
dengan mangkok bakso yang pecah.

“AL!”

Stefan berlari menghampiri Alvian. Dapat dipastikan ini


adalah tingkah dari seorang yang benci padanya. Siapa
lagi?

“Al, lo okay? Gapapa kan? Anjir ini kuah baksonya kena


tangan lo! Heh, lo jalan bisa liat-liat ga?!” teriak Stefan
pada Celo.

Ya, Celo. Ia sengaja menabrak Alvian dengan tubuhnya.


Tidak sendiri, dia dibantu dua temannya, Dion dan
Anton. Mereka adalah senior kelas tiga di sekolah ini.
Tidak ada yang membantu, semua diam karena tak berani
melawan.

Siapa yang berani melawan seseorang dari keluarga


donatur terbesar di sekolah ini?
Tidak menggubris teriakan Stefan, mereka malah tertawa
dengan keras hingga memenuhi seisi ruangan kantin.

“Yah, mau gimana lagi? Nasibnya kan memang gitu.


Layak jadi SAMPAH! HAHAHAHAHA,” jawab Celo
yang membuat Alvian terkejut.

Tawaan itu memancing emosi Stefan. Stefan tak habis


pikir dengan tingkah laku Celo. Alvian adalah adiknya,
tapi diperlakukan seakan tak memiliki harga diri.

“Bangsat! Sini lo anji—” kata Stefan yang ingin


menghajar Celo namun ditahan oleh Alvian.

“Udah Fan. Udah. Gua gapapa, udah ya?” cegah Alvian.


Ia tak mau keributan ini semakin panjang. Cukup ia yang
tersakiti. Tak apa. Sungguh.

Celo dan teman-temannya pergi meninggalkan Stefan


dan Julian. Rasanya Stefan ingin memaki Alvian. Ada
apa dengan hati sahabatnya ini? Ia meringis melihat luka
di lengan Alvian. Memegangnya dengan takut-takut.

“Gapapa apanya bangsat? Lo melepuh gini anjir. Udah


ayo cepet gua obatin,” marah Stefan sambil memapah
Alvian.

Balasannya? Hanya senyuman lebar yang


ditunjukkannya. Tak ada rintihan sakit darinya. Alvian
sudah kebal akan semuanya.

Rooftop
“Al, lo tau ga kalau lo tolol? Iya lo pinter cuma tolol
anjir! Lo tuh jago gelut! Kenapa lo ga lawan Celo sih?”
omel Stefan sambil mengompres tangan Alvian dengan
es.

Di sini lah mereka, tempat mereka bercerita atau


melakukan hal-hal tidak penting. Rooftop gedung lama
sekolah. Tidak ada yang berani ke sini karena percaya
gosip hantu sekolah.

“Gimana pun dia kakak gua Fan, hehe. Gua ga bisa pukul
dia. Ga bisa. Lagian kalau nanti gua pukul Celo, gua—”

“Lo bisa kena masalah sama kakak lo yang lain kan?”

Alvian tertunduk. Tidak ada yang salah dengan ucapan


Stefan. Semua yang dikatakan Stefan adalah kenyataan.
Tak ada yang mengasihinya di rumah.

Stefan menghela napas. Sungguh khawatir dengan


kondisi Alvian jika tidak berada di dekatnya. Alvian bisa
melawan. Bisa. Dia sangat pandai dalam bidang bela diri.
Namun, dia tidak bisa melawan bila berkaitan dengan
kakaknya. Terlalu baik. Atau mungkin terlalu bodoh?

“Gua ga akan pernah capek ngomong sama lo. Cerita ke


gua. Kalau butuh bantuan, telfon gua. Gua sangat terbuka
sama lo. Paham?” tanya Stefan.

“Iya Efan, iyaa. Makasih ya,” jawab Alvian dengan


senyuman yang sangat indah. Sungguh menenangkan.
Seakan ingin membuktikan bahwa tak ada masalah dalam
hidupnya.

Benda pipih itu berbunyi lagi. Bunyi notifikasi yang


membuat Alvian menghela napas. Mengkhawatirkan
kondisinya nanti saat di rumah. Entah apa yang akan
terjadi padanya nanti.

Memilih abai, mereka terdiam di rooftop hingga jam


pulang. Melewatkan beberapa jam pelajaran tambahan.

Sampai dimana Alvian mencoba membuka pesan yang


dikirimkan oleh Celo untuknya.

Takut? Suatu hal yang cukup membingungkan bagi


Alvian. Ia merasa sudah kenyang dengan hal itu semua.
Hal yang selalu dilakukan oleh kelima kakaknya. Tetapi
di satu sisi Alvian akan tetap merasakan itu selalu disaat
di pulang ke rumah.

****
Ketiga

Sambutan merupakan suatu hal yang menyenangkan.


Tiba di sebuah tempat dengan sambutan yang menunggu
merupakan sesuatu yang didambakan orang banyak.
Termasuk si bungsu Wiranta.

Tapi bukan sambutan ini yang diinginkan Alvian.


Tatapan kebencian dan amarahlah yang menyambutnya.
Begitu tiba di rumahnya, Alvian langsung disambut
dengan tatapan kebencian dari Jean, Haikal, dan Celo.

“Wah, di sekolah lo jadi anak berandal ya?” tuduh Jean


dengan nada malas.

“Emang udah bisa apa lo? Belajar aja belom bener udah
bisa bolos-bolosan? HAH? JAWAB! PUNYA MULUT
KAN?” bentak Haikal dengan nada yang mulai
meninggi.

Alvian bingung dengan semua ini. Begitu pulang dia


langsung dicecar pertanyaan yang memojokkannya.
Sejujurnya Alvian tidak bisa dikatakan bolos. Ia hanya
melewatkan jam pelajaran tambahan. Menurut Alvian,
pelajaran itu hanya mengulang-ulang saja. Lagi pula
tangannya sedang sakit. Jadi ia tak salah kan?

Sementara Celo terlihat menahan tawanya dengan


senyum bengis. Berhasil mengerjainya lagi.
“Engga kak, tadi Vian ga ikut pelajaran karena tangan
Vian sakit,” jawab Alvian dengan gugup.

PLAKK

Kekerasan terjadi lagi. Pipi mulus Alvian tertampar


untuk kesekian kalinya oleh Jean.

“Ga usah pake alesan! Lo itu tugasnya sekolah! Bukan


jadi anak penyakitan ga guna! Ngerti lo?!” teriak Jean.

Haikal menarik Alvian, dan memukul perut Alvian


dengan keras. Alvian mengigit bibirnya. Takut jika
erangan akan keluar dari mulutnya.

“Iya kak maaf.. Maaf.. Vian ga bakal lewatin pelajaran


lagi kak.. Maaf..”

Hanya maaf yang bisa dikeluarkan dari mulut Alvian.


Tak ada lagi. Semua orang tidak ingin mendengar
penjelasannya.

“Kenapa lagi anak ini?” tanya Sean yang muncul dari


pintu rumah sambil membawa map juga buku pelajaran.
Ya, dia baru pulang dari kuliah siang. Dia memiliki
jadwal kuliah yang berbeda dengan kembarannya, Jean.

“Biasa, bikin masalah mulu. Sekarang lo ke kamar,


BELAJAR!” balas Haikal dengan penekanan di kata
belajar.

“I–iya kak. Maaf,” jawab Alvian sambil berdiri


melangkah ke kamarnya.
Sean merasa sedikit aneh dengan Alvian. Mengapa dia
terus memegangi perutnya?

“Itu anak kenapa lagi?”


Alvian duduk di tepi kasur miliknya secara perlahan ia
merebahkan tubuhnya di atas kasur kapuknya itu.

“akhhh...” rintih Alvian sambil memegangi perutnya.

Selain sakit yang ia rasakan karena perlakuan kakaknya,


Vian juga merasa sakit karena dirinya yang sama sekali
belum makan sejak kemarin.

Tok.. Tok.. Tok..

Suara ketukan pintu kamar membuat Alvian tersadar dari


renungannya. Lalu ia berjalan menuju pintu kamarnya
dengan tertatih. Membuka pintu itu dan melihat keluar.
Tidak ada seorang pun di luar kamarnya itu, tapi Alvian
menemukan seiring nasi goreng yang ada di depan pintu
kamarnya.

‘ini buat Vian? Tapi dari siapa? Eh kok ada tulisan,’


monolog Alvian.

Alvian mengambil sepiring nasi goreng itu dan kembali


masuk ke dalam kamarnya. Alvian mengamati selembar
notes yang tertempel di pinggir piring itu dan
membacanya.

makan, gw ga mau nampung orang sakit di sini.


Senang? Tentu, Alvian merasa senang ketika ada
seseorang di rumah ini yang memerhatikannya tapi ia
juga merasa bingung siapa yang mengirimkan sepiring
nasi goreng untuk dirinya. Alvian hanya bisa tersenyum
sambil memandangi notes itu.

‘apa Vian bakal di terima lagi di keluarga ini?’

****
Keempat

grgjk

Anda mungkin juga menyukai