Anda di halaman 1dari 124

Thanks to..

Pertama, kami mengucap syukur kepada


Allah SWT, karena atas rahmat serta karunia-Nya
kami dapat menulis novel All For Airish ini dan
dapat terbit. Kedua, kami ingin berterima kasih
kepada guru kami terhebat, Pak Fajar Sidik. Yang
sudah mendukung dan membimbing kami.
Ketiga, terima kasih kepada Keluarga yang
sudah menasehati kami dalam segala hal. Kepada
teman seperjuangan, 9E yang sudah memberikan
semangat kepada kami. Dan yang Terakhir kami
ucapakan terima kasih kepada keluarga besar
SMPN 2 Buduran, Guru-guru, teman-teman, dan
adik-adik kelas.
Akhirnya berkat banyak pihak yang turut
membantu novel ini bisa terbit Dengan waktu
pengerjaan yang cukup singkat. Kami berharap
karya ini dapat Disukai banyak orang. Semoga
dapat diambil pesan baik dalam cerita ini.

Penulis
-Karena Biola-

“Keteledoranku lagi dan lagi harus melukai


saudaraku.” -Alisha Aileen.

Terlihat seorang gadis tengah mondar-


mandir di depan gedung musik. Gadis yang sibuk
dengan ponselnya itu bernama Alisha Aileen,
biasa dipanggil Aileen.

“Kenapa ga ada yang bisa dihubungin sih..”


Aileen menggeram kesal. Hanya satu nomor yang
belum dia hubungi. Ia mendial nomor itu. Tak
berselang lama, akhirnya mendapat jawaban dari
seberang sana.

“Halo.” Suara gadis yang menjawab


panggilannya membuat Aileen mendesah lega.
Gadis yang dihubungi Aileen adalah kembarannya,
Adena Airish.
Mereka sebenarnya kembar tiga, tetapi
saudara sulung mereka, Azka harus kehilangan
nyawa tiga belas tahun yang lalu.

“Mama mana?” tanya Aileen.

“Ini ada di samping gue, Kenapa?” Aileen


mengernyit bingung. Jika mamanya sedang ada di
samping adiknya, kenapa mamanya tidak bisa
menjawab telponnya?

Ah sudahlah, Aileen tidak mau ambil pusing.


Mungkin saja handphone mamanya sedang lowbat.

“Bilangin mama dong, biola gue ketinggalan.


Tolong minta anterin, abis ini giliran gue tampil.”

“Lho kok bisa ketinggalan sih? Bentar..”


Terdengar obrolan antara sang adik dan mamanya.

“Gimana?” Aileen berkata dengan suara


cemas bercampur gelisah. Beberapa menit lagi dia
harus tampil. Jika tidak, terpaksa namanya akan
didiskualifikasi.
“Mama gamau nganter kak, gue aja yang
anter ya?” Aileen mendengus kesal. Kenapa
mamanya tidak mau membantunya disaat seperti
ini. Bisa saja ia menerima tawaran kembarannya
itu, tetapi Airish baru bisa menyetir mobil sendiri.

“Lo minta anter supir deh. Cepetan ya..”

Airish hanya menjawab dengan deheman


dan langsung memutus panggilan itu.

Di lain tempat, Airish langsung menuju


kamar sang kakak untuk mengambil biolanya. Dia
dengan langkah terburu-buru menuju mobilnya.
Airish mulai melajukan mobilnya meninggalkan
pelataran rumahnya.

Di tengah fokusnya menyetir, ponselnya


berdering. Tertera nama Aileen disana. Airish
mengambil ponselnya tanpa mengalihkan
pandangan dari jalanan, dan tanpa sengaja
ponselnya terjatuh.

Airish membungkuk untuk mengambil ponsel


yang kini berada tepat di antara kakinya.
Dia dikejutkan dengan suara klakson yang
beruntun. Sedetik kemudian mobilnya menghantam
truk dengan keras dan terlempar beberapa meter
dari posisi semula.

Di lain tempat, Aileen tengah meremas


jemarinya berharap biolanya segera diantar. Tapi
ada satu sms yang masuk ke ponselnya membuat
gadis itu otomatis berdiri dengan shock. Wajah
cantiknya sudah pucat pasi.

Dengan langkah terburu-buru ia bergegas


keluar untuk mencegat taxi dan segera pergi
kerumah sakit.

Ia sama sekali tak meminta Airish yang


mengantarkan biolanya kesini, tapi kenapa gadis itu
keras kepala.

Aileen cemas, tentu saja kembaran mana


yang tak cemas jika kembarannya baru saja
mengalami kecelakaan dan itu semua karena
dirinya.
Berkali-kali Aileen berusaha menghubungi
nomor mamanya tapi tak kunjung diangkat. Ia
bertanya-tanya dalam hati apakah papanya harus
tau jika Airish kecelakaan?

Mamanya sudah lama bercerai dengan sang


papa, Aileen dan Airish memutuskan untuk tinggal
bersama mama. Satu hal yang sampai sekarang
membuatnya menyesal lebih memilih sang mama
dibanding papa.

Usai mama dan papanya bercerai, mamanya


sama sekali tak memberikan Aileen dan Airish
kesempatan untuk bertemu dengan papanya.
Jangankan bertemu, untuk sekedar menelfon saja
mamanya menentang keras.

***

Aileen memegang pelipisnya yang berdarah


akibat tergores ujung biola yang baru saja dilempar
oleh mamanya.
Tak lagi mempedulikan pelipisnya yang
terluka, gadis itu mengambil biolanya yang sudah
tak terbentuk mungkin efek kecelakaan tadi
ditambah terlempar barusan.

“Udah berapa kali sih mama bilang, Aileen!


Mama gasuka kamu main benda itu lagi, buat
apasih emangnya? Seni ga lebih penting dari ilmu,
Aileen. Buang-buang waktu tau gak!” Bentak
mamanya.

Terlihat wanita paruh baya itu tengah


mengatur napas.

“Kamu tau? Airish didalam sana kritis dan itu


karena biola ga berguna kamu, Aileen!” Ucap
mama marah sambil menunjuk-nunjukkan jari
telunjuknya di depan muka Aileen.

“Aileen minta maaf mah, Aileen beneran ga


nyuruh Airish buat nganter biola.” Kata Aileen
melirih.
“Kalau aja hari ini kamu gak main biola,
Airish gaakan kayak gini Aileen! Dasar anak
sialan!!!” Air mata Aileen yang ia bendung sedari
tadi perlahan meluncur bebas.

Cukup, dirinya sudah tak tahan lagi. Ia


benar-benar tak bermaksud membuat Airish
menjadi seperti ini sungguh.
-Lumpuhnya Airish-

“Apa yang bisa kulakukan dengan wajah penuh


luka dan kaki yang tidak bisa digerakkan ini? Apa
kabar masa depanku?” -Adena Airish.

Aileen duduk termangu menatap punggung


sang mama. Gadis itu sangat sedih melihat
saudara kembarnya harus terbaring lemah di dalam
sana. Terlihat Airish sedang mendapat
penanganan dari dokter.

Salah seorang suster keluar dari ruangan


Airish dan menghampiri mamanya. Aileen
menangkap ekspresi mamanya yang shock ketika
berbincang dengan suster tersebut. Tetapi dia tidak
bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Dengan tatapan tajamnya, mamanya


melangkah mendekat ke arah Aileen. Aileen yang
ditatap seperti itupun bingung.
"Kenapa mama natap Aileen kaya gitu?"

Aileen mengaduh kesakitan saat mamanya


menarik kuat lengannya.

Dengan mata yang memerah mamanya


menunjuk ruangan Airish.

"Liat adik kamu.. Liat! Dia lumpuh karena


kamu. Semua ini terjadi karena kamu, Aileen.."

Aileen tertegun mendengar ucapan sang


mama, ia sontak menutup mulutnya. Airish
lumpuh? Karena dirinya?

"Sini kamu!"

Aileen pasrah saat mamanya menariknya


masuk ke dalam ruangan adiknya. Cengkraman
kuat mamanya membuat pergelangan tangan
Aileen serasa patah.

Dia menahan air matanya, berusaha sekuat


mungkin meredam rasa sakit di tangannya.

Hingga mereka berhenti tepat di samping


ranjang Airish. Cengkraman itu terlepas.
Aileen menghela napas panjang. Dia
memalingkan mukanya, tidak sanggup memandang
wajah adiknya yang penuh luka bakar.

"Kak, maaf ya. Gara-gara gue, lo ga jadi ikut


lombanya."

Aileen mengernyit. Airish tidak marah


padanya? Bukankah kata mamanya tadi, semua ini
terjadi karena Aileen? Kecelakaan, luka bakar, dan
lumpuh ini semua karena nya.

Atau Airish belum mengetahui tentang


keadaannya sekarang? Dirinya benar-benar tak tau
harus bagaimana jika Airish tau tentang
keadaannya yang sekarang.

"Mah, tolong bantu Airish bangun dong.


Airish mau ke kamar kecil."

Mamanya tiba-tiba menangis. Airish


menatap mamanya bingung.

"Mama kenapa nangis?"


Sang mama hanya menggeleng dan
membantu Airish untuk mengubah posisinya yang
semula tidur menjadi duduk.

Saat Airish mencoba untuk menurunkan


kakinya dari ranjang, dia menatap Aileen dan
mamanya dengan tatapan bingung.

Airish berusaha menggerak-gerakkan


kakinya, tapi tak bisa. Gadis itu bahkan juga
memukul kakinya tapi ia sama sekali tak
merasakan apapun. Kakinya seperti mati rasa dan
tak bisa digerakkan.

"Mah, ini kenapa kaki Airish ga bisa di


gerakin?" Tangis mamanya semakin menjadi.
Aileen hanya bisa menggeleng. Dia tak mampu
menjelaskan pada sang adik keadaannya
sekarang. Ia takut Airish membencinya.

"Kamu lumpuh sementara sayang.."

Airish menggelengkan kepalanya kuat, ia


membekap mulutnya sendiri.
"Mama bercanda kan? Kak, bilang ke Airish
kalo mama cuma bercanda. Airish.. Airish ga
lumpuh kan.." Airish menangis histeris.

"Airish yang tenang ya, sayang. Ini cuma


sementara. Mama bakal bawa Airish terapi sampe
Airish bisa jalan lagi." Ucap sang mama, mencoba
menguatkan Airish.

"Gimana sama sekolah Airish, mah? Airish


harus sekolah, Airish harus dapetin beasiswa
mah.." Mamanya mengangguk paham.

Anaknya ini memang bertekad ingin


mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri.
Namun, keadaan Airish yang sekarang cukup
menyulitkannya dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran. Apalagi wajahnya yang penuh luka
ini. Apakah temannya masih mau berteman
dengannya dengan wajah ini?
-Perintah Mama-

“Perintah mama memang tak boleh dibantah,


tetapi apakah aku tidak berhak bersuara untuk
masa depanku?” -Alisha Aileen.

Airish merengek meminta mamanya untuk


membawanya pulang ke rumah. Ia tidak betah di
rumah sakit. Karena sedari kecil ia benar-benar tak
suka dengan bau obat-obatan.

"Bentar ya. Mama harus konsultasi dulu


sama dokternya." Airish mengangguk.

Aileen yang duduk di sofa samping ranjang


perlahan bangkit dari duduknya.

"Lo nggak ingin sesuatu gitu? Makanan?"


Ujar Aileen menawarkan sesuatu. Airish hanya
menjawabnya dengan satu kata 'pulang', yang
bertepatan dengan kedatangan mamanya.
"Kata dokter kamu boleh pulang, sayang."
Ucap mamanya. Mama memutar pandangan ke
arah Aileen.

"Beresin baju Airish. Mama mau urusin


administrasi dulu." Lanjut mamanya datar tanpa
ekspresi.

Aileen hanya bisa mengangguk. Dia mulai


mengumpulkan baju Airish dan memasukkannya ke
dalam tas. Ayah tirinya membantu Airish duduk di
kursi roda.

Mereka meninggalkan pelataran rumah sakit


dan pulang ke rumah.

Di dalam mobil, hanya ada keheningan.


Airish tertidur dengan kepala bersandar di bahu
sang mama.

Tiga orang yang masih terjaga itu


membiarkan senyap menguasai keadaan, mereka
lebih memilih bergelut dengan pikirannya masing-
masing.
Sang mama dengan kekhawatirannya akan
kelanjutan masa depan putri bungsunya.
Sedangkan Aileen, ia diliputi perasaan antara sedih
dan gelisah memikirkan bagaimana cara agar
Airish tidak membencinya. Sang ayah hanya fokus
dengan kemudi nya.

Setelah menempuh perjalanan lima belas


menit, akhirnya mereka sampai di depan rumah
besar bercat putih bergaya klasik.

Aileen langsung turun dari mobil dan masuk


ke dalam kamarnya. Ia sudah capek dan ingin
melepas penatnya dengan tidur.

Saat Aileen akan menutup mata dan


memasuki alam mimpinya, terdengar suara ketukan
pintu dan decitan suara pintu yang terbuka.

Mamanya masuk dan mengambil duduk di


tepi ranjangnya. Aileen mengubah posisinya yang
semula terlentang, menjadi duduk.

"Ada apa mah?" Aileen menatap sang mama


yang juga tengah menatapnya.
"Besok kamu harus sekolah di sekolah
Airish."

"Hah? Kenapa? Aileen ga mau pindah


sekolah, mah." Aileen menggeleng. Dia sudah akan
lulus kalau mamanya lupa. Lagipula untuk apa?
Aileen juga sudah sangat nyaman dengan
sekolahnya.

"Kamu harus gantiin sekolah Airish. Kamu


sekolah di sana dengan identitas Airish."

"Aileen ga mau mah. Kalo Aileen pake


identitas Airish, ijazah Aileen gimana?"

Mamanya mengangkat bahu acuh.

"Mama nggak mau tahu. Jangan lupa, kamu


yang udah buat Airish jadi seperti ini."

"Ini semua kan terjadi karena kecelakaan,


mah. Aileen juga ga nyuruh Airish buat anter biola."

Mamanya menatap Aileen penuh amarah.


"Masih mau ngebela diri? Jelas-jelas kamu
yang salah, Aileen!" Ucap mamanya dengan nada
tinggi.

"Kamu yang udah buat dua saudara kembar


kamu terluka, Aileen. Azka harus merenggut nyawa
karena kesalahan kamu. Sekarang, Airish harus
menderita juga karena kamu, Aileen!"

Deg

Kenapa mamanya harus membuka luka


lama itu?

Luka pahit yang membuat Aileen harus


merasakan trauma dengan pantai. Dimana, kakak
laki-lakinya yang saat itu berusia lima tahun, ia
minta untuk mengambilkan bolanya yang hanyut
terbawa ombak. Azka yang masih sangat kecil
tentu tidak bisa berenang, ia tenggelam dan
nyawanya tidak terselamatkan.
-Menjadi Orang Lain-

“Mulai sekarang Aileen sudah tidak ada, yang ada


hanya bayangan dari Airish.”

Aileen melangkahkan kakinya malas


menuruni anak tangga. Seragam putih abu-abu
yang biasanya ia kenakan setiap pagi telah terganti
menjadi seragam khas anak SHS (Senior high
school).

"Aileen.." Panggil mamanya yang membuat


Aileen melangkah mundur perlahan bukannya
maju. Seolah gadis itu tahu apa yang akan segera
terjadi.

"Mah, udah ya Aileen gamau diatur lagi. Ini


rambut Aileen dan Aileen suka, aku gaakan pernah
potong rambut jadi kayak Airish." Ucap Aileen
kukuh.
"Jadi anak yang nurut dong sama mamanya!
Kalau bukan karena Airish juga, mama ga akan
pernah mau ngizinin kamu berdandan seperti
Airish!" Bentak nya yang membuat Aileen harus
menahan perih di hatinya.

"Mah, jangan terlalu keras sama Aileen


dong." Bela ayah tirinya.

Aileen melangkahkan kaki mendekat pada


mamanya, perlahan gadis itu mengambil alih
gunting yang berada diatas meja makan.

Dengan mata yang berair dan tangan


gemetar ia memotong rambutnya sebahu persis
dengan model rambut milik Airish. Bukannya tak
sama, tapi Aileen malah terlihat semakin cantik
dengan potongan rambut seperti itu.

"Udah kan? Mulai sekarang gaada lagi


Aileen yang ada cuma Airish dan bayangannya
aja." Lirihnya kemudian melangkahkan kaki keluar
rumah tanpa berpamitan.
Sejenak dada Airish terasa perih, gadis itu
sedikit tak tega pada kakak kembarnya yang harus
berpura-pura menjadi seperti dirinya.

Tapi di sisi lain dia juga merasa sedikit


tenang, karena sekolahnya tidak akan terhenti.

Sedangkan di tempat lain, Aileen dengan


seragam kebesaran, ransel, jaket serta sepatu milik
Airish tengah berjalan menyusuri jalanan dengan
tatapan kosong.

Dari seragam, tas, jaket, sepatu, make up


hingga perlatan sekolah yang ia pakai dan bawa
adalah milik Airish

Semesta, mulai sekarang tidak akan ada lagi


sosok gadis nakal yang tak tau aturan, tak akan
ada lagi sosok gadis yang gemar bermain biola dan
tak ada lagi sosok yang bernama Aileen.

Yang ada hanya bayangan milik Airish.

***
Pandangan memuja memang sudah biasa
didapatkan oleh Aileen tapi tidak dengan sapaan
yang memanggilnya Airish.

Ia hanya tau kelas Airish saja tanpa tau


dimana letaknya.

Aileen mendelik kaget kala ada seseorang


yang menepuk bahunya dari belakang.

"Heyyoo Airish! Lo kemana aja si tiga hari


gak masuk? Gue kangen tauk.." Ucap gadis yang
asing bagi Aileen itu panjang lebar.

Aileen melirik name tag milik gadis itu.


Zerenia Ananta, kelas 12 IPA 1 yang artinya gadis
itu sekelas dengan Airish atau bisa saja sahabat
dekatnya.

"Gue sakit, Zeren." Jawab Aileen sedikit


ragu-ragu.

Awalnya gadis yang bernama Zeren itu


mengerutkan dahinya tapi beberapa detik
kemudian gadis itu tersenyum riang.
"Ah Zeren.. bagus sih, tapi lo kan biasanya
manggil gue Nanta." Katanya sambil menunjuk-
nunjuk dahinya seolah tengah berfikir.

"Ah gapapa sekali-kali, yuk ke kelas." Ajak


Aileen.

Selama perjalanan menuju kelas 12 IPA 1,


Aileen tak henti-hentinya menatap lingkungan yang
begitu asing baginya.

Bukan lagi teriakan milik Raya atau teman-


teman lain ketika ia memasuki kelas seperti biasa
melainkan sambutan dari orang-orang asing yang
tak ia kenal.

Beberapa hal yang baru ia ketahui tentang


adik kembarnya, Airish begitu dipuja-puja di
sekolah. Banyak sekali yang mengenalnya, dan ah
dia sangat dibutuhkan oleh banyak orang.

Seperti saat ini, beberapa anak langsung


mengerubungi Aileen membuat Zeren memutar
bola matanya malas.
"Airish, lo udah belum pr matematika nya?"

"Rish, lo udah hafalan catatan biologi? Eh lo


udah maju kan ya, sori-sori gue lupa hehe."

"Airish, pr kimia lo udah belum? Nyontek


dong.."

"Airish nyontek pr dong.."

"Yaampun teman-temanku, Airish ini kan


baru masuk setelah 3 hari sakit dan lo langsung
nanyain dia tentang pr? Helooo dia kan ga masuk
otomatis dia gatau dong.." Omel Zeren yang
langsung membuat anak-anak yang semula
melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi
menepuk dahinya.

"Sori Rish, kita kan kebiasaan kalau setiap


pagi nyontek lo." Jawab Della jujur.

Aileen tertawa keras membuat beberapa


anak terdiam seketika. Aneh rasanya mellihat Airish
tertawa seperti itu. Karna selama hampir 3 tahun
sekelas mereka bahkan tidak pernah melihat
seorang Airish tertawa seterbuka ini.

"Gila. Lo baru kali ini ketawa sekenceng ini."


Kata salah satu gadis disampingnya.

Ucapan itu membuat Aileen jadi semakin


paham bagaimana sikap Airish jika berada di
sekolah. Gadis itu ternyata berlagak menjadi gadis
yang kalem.
-Demi Beasiswa-

“Perjuangan memang tidak akan mengkhianati


hasil, tetapi hasil dari perjuanganku bukanlah
milikku.”

Malam harinya ketika Aileen tengah


bermain PS sendirian di ruang tamu, Airish tiba-tiba
datang dengan kursi rodanya.

"Kak.." Panggilnya membuat Aileen menoleh


sebentar kemudian kembali fokus bermain PS.

"Kak Aileen, gue mau ngomong." Ucap


Airish membuat Aileen memberhentikan acara
bermain ps nya itu.

"Apa?"
"Tau kan gue ikut program beasiswa di
sekolah? Dan gue baru bisa dapet beasiswa itu
kalau nilai gue di tahun ini bener-bener sempurna.."
Ucap Airish serius.

"Terus?" Tanya Aileen ogah-ogahan.

"Lo kan pura-pura jadi gue di sekolah, tapi


gue mohon belajar yang bener kak. Beasiswa ini
bagi gue bener-bener penting. Gue yakin lo bisa,
setidaknya lakuin ini demi mama, kak." Pintanya
dengan menunduk. Terdengar helaan nafas pasrah
dari Aileen.

"Jadi maksudnya lo mau gue belajar mati-


matian biar pinter kayak lo? Terus kalau gue udah
pinter lo bisa dapet beasiswa itu, gini ya Airish
kalaupun gue berhasil ngedapetin beasiswa itu..
nama yang tertulis di sana itu Airish bukan Aileen.
Lalu buat apa gue berusaha mati-matian buat
orang lain? Sedangkan gue juga perlu."

"Maksud kakak, Airish itu orang lain?"


Lirihnya Airish seraya menunduk. Orang lain?
"Rish bukan gitu, gini ya lo pikir disaat lo
sembuh dan dapet beasiswa itu, kemudian lo kuliah
disana berkat jeri payah gue belajar. Sedangkan
gue? Gue aja ga punya ijazah SMA karena harus
ngegantiin lo, terus masa depan gue gimana?"
Tanya Aileen tak terima.

"Kalau Airish bisa jalan, dan kalau Airish


mukanya masih baik-baik aja, Airish ga akan minta
kakak kayak gini. Kak, sekarang Airish ga punya
harapan lain selain ke kakak." Aileen menghela
napas pasrah kala mendengar isak tangis adik
kembarnya.

Seharusnya ia tak seegois ini, jika bukan


karena keteledoran dirinya yang lupa membawa
biola mungkin saat ini Airish masih bisa berjalan
dan bersekolah seperti biasanya.

"Oke, lo jangan takut. Gue bakal belajar


semampu gue biar bisa dapetin beasiswa itu.
Maafin gue Airish, maaf.." Lirih Aileen yang
membuat Airish menariknya untuk mendekat
kemudian berpelukan erat layaknya sepasang
saudara kembar di luar sana.

-Homeschooling-

“Bayangan memang ada, tetapi keberadaannya


tidak pernah dipedulikan.”

Airish telah memikirkan bagaimana


caranya agar Aileen tetap bisa mendapatkan
ijazah. Ia akan mengatakan idenya ini pada sang
mama. Sekarang jam menunjukkan pukul 15:00,
sebentar lagi mamanya akan datang untuk
membawakan susu.

Benar saja, tak lama pintu kamarnya terbuka


menampilkan sosok mamanya yang tersenyum
dengan nampan berisi susu dan camilan di
tangannya.

“Mah.” Panggil Airish saat sang mama


tengah meletakkan nampan di atas nakas.
“Kenapa sayang?” Tanya sang mama
lembut.

“Gimana kalo kak Aileen malamnya


homeschooling juga?”

Mamanya mengernyit, “Buat apa?”

“Biar kak Aileen juga bisa dapat ijazah mah.


Kalo kak Aileen gantiin identitas aku tanpa sekolah
lagi dengan identitasnya sendiri, gimana masa
depan kak Aileen, mah?” Airish menatap mamanya
dengan pandangan penuh harap.

Mamanya mengangguk dan mengambil


ponselnya untuk menghubungi salah seorang guru
privat untuk Aileen.

***

Aileen yang baru saja masuk ke dalam


rumahnya setelah pulang sekolah menoleh ke arah
sang mama yang memanggilnya.
“Nanti habis isya kamu harus
homeschooling. Jadi kalau ada pr sekolah Airish,
harus kamu kerjakan sekarang.”

Aileen akan membuka suara untuk protes


namun ucapan sang mama mampu membungkam
mulutnya.

“Kalau kamu ga homeschooling, darimana


kamu dapet ijazah? Mama bayar mahal untuk ini.
Jadi awas kalau sampai ga kamu manfaatkan
dengan baik.” Ucap mamanya tegas tak
terbantahkan.

“Oh iya, satu lagi. Sebelum jam


homeschooling kamu selesai, kamu gak akan dapat
makan.” Imbuhnya.

Aileen hanya mengangguk pasrah. Semua


ini adalah yang terbaik untuknya. Dia bisa tetap
mendapatkan ijazah dari homeschooling tanpa
melupakan tanggung jawab nya akan sekolah
adiknya.
Aileen hanya berharap dia bisa kuat
menjalani ini semua. Dia yakin, Allah tidak akan
mengujinya melebih batas kemampuannya.

Saat Aileen membuka pintu kamarnya,


pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah
buku-buku yang berserakan.

Dia bergegas memungut buku-buku Airish


yang memenuhi kamarnya ini. Di antara tumpukan
buku itu, terselip sebuah kertas yang mampu
menarik perhatian Aileen.

____________________________

Airish harus bisa dapetin beasiswa buat mama. Mama

udah ngasih harapan ini ke Airish. Airish harus

semangat belajarnya. Airish cuma pengen mama

bahagia. Karena kebahagiaan Airish ada pada mama.

Perjuangan yang harus Airish lewati mungkin sulit,

tetapi hasil yang akan Airish dapatkan bisa menebus

semua kesabaran dan perjuangan Airish. Bismillah, Ya


Allah. Semoga Airish bisa mewujudkan harapan mama,

Aamiin.

Harapan mama untuk masa depan Airish :)

____________________________

Saat Aileen membaca kertas itu, salah satu


sudut bibirnya tertarik ke atas.

Mamanya menitipkan harapan ini pada


Airish. Mamanya ingin masa depan Airish cerah.

Dan kini, keadaan memaksa Aileen untuk


menggantikan Airish berjuang mendapatkan masa
depan yang diimpikannya. Aileen yang berjuang
dan Airish yang mendapatkan.

Apakah boleh Aileen mengatakan bahwa


semua yang dilakukannya hanya berujung sia-sia?
Karena bukan dia yang akan menuai kerja
kerasnya. Hanya Airish. Adiknya yang saat ini
harus duduk di kursi roda karenanya.
“Kak.” Panggilan itu tak mendapat jawaban.

Aileen tersadar dari lamunannya kala


lengannya dipegang oleh Airish. Aileen menatap
Airish dengan tatapan tanya. Airish mengambil
kertas yang ada ditangan Aileen.

“Kakak ngapain ngelamun? Ini kertas, gue


tulis buat nyemangatin diri gue sendiri saat mama
nitipin gue harapan. Harapan yang ngebuat hidup
Airish selalu berhubungan dengan buku-belajar,
buku-belajar.” Ujar Airish sembari tersenyum
sendu.

“Hidup Airish monoton, kak. Kalo ditanya


bosen, Airish bosen.. bosen banget.” Lanjut Airish.

“Lo gausah khawatir. Sekarang lo terbebas


sementara dari buku dan belajar lo itu. Gue yang
akan berjuang buat lo. Gue yang akan mewujudkan
harapan mama tentang masa depan lo. Gue siap
jadi bayangan lo, Rish.” Aileen menahan air
matanya yang mendesak akan keluar.
Airish menggeleng. “ Kak Aileen bukan
bayangan Airish. Kak Aileen adalah pahlawan
Airish.”

“Gue emang bayangan Rish. Karena selama


gue hidup juga, cuma lo yang dianggap ada.
Bayangan itu emang ada Rish, tapi keberadaannya
tidak pernah dipedulikan. Karena gue kak Azka
meninggal. Karena gue lo harus kaya gini
sekarang..”

Airish membungkam kakaknya dengan


telunjuk. “Jangan pernah ngomong kalo kakak itu
cuma bayangan Airish. Kakak adalah kakak.”

“Aileen!” Teriak mamanya dari lantai bawah.

“Gue turun dulu.” Aileen menuruni tangga


dari kamarnya untuk menghampiri sang mama.

“Leen. Ini Bu Rinda, guru privat kamu. Dia


yang akan mengajar kamu di rumah.” Mamanya
memperkenalkan seorang wanita yang diketahui
merupakan guru privat homeschoolingnya.
“Halo Aileen.” Aileen hanya menganguk.

“Saya datang lebih awal karena ingin


berkenalan dengan kamu.” Ujar Bu Rinda.

Mamanya semenit yang lalu meninggalkan


mereka berdua di ruang tamu dengan alasan
membelikan Bu Rinda camilan.

“Apa yang ingin anda tanyakan?” Ucap


Aileen.

“Apa alasan kamu memilih homeschooling?”


Tanya Bu Rinda. Aileen tersenyum mendengar
pertanyaan ini. Alasannya? Karena dia harus
mendapatkan ijazahnya. Dia tidak ingin masa
depannya hancur hanya karena dirinya sekolah
dengan identitas Airish. Namun Aileen tidak
menjawab pertanyaan Bu Rinda dengan jawaban
ini.

“Anda ingin jawaban jujur atau bohong?”

Bu Rinda mengernyit. Sedetik kemudian


tersenyum, dan mengusap lembut surai Aileen.
Wanita yang Aileen perkirakan berusia 25 tahunan
ini sangat cantik saat tersenyum. Dari matanya
Aileen dapat melihat kelembutan yang tidak pernah
Aileen lihat dari mamanya.

“Kamu bisa menjawabnya dengan jujur atau


pun bohong. Karena saya tidak akan tahu yang
sebenarnya. Hanya kamu yang tahu, Aileen.” Ujar
Bu Rinda lembut.

“Kamu bisa menganggap saya sebagai


teman atau pun kakak kamu, Aileen.” Lanjutnya.

Aileen mulai menceritakan semua kejadian


dari awal sampai akhir yang membuatnya harus
homeschooling.

Bu Rinda mengangguk mengerti. Guru privat


itu hanya bisa mengelus punggung muridnya dan
memberikan semangat.

“Ini mungkin cukup berat Aileen. Tetapi saya


yakin kamu bisa. Kamu bisa menceritakan apapun
yang kamu alami nantinya pada saya. Kamu juga
boleh meminta bantuan saya. Saya bukan hanya
guru kamu, Aileen. Sekarang, saya adalah kakak
kamu.” Aileen mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih, Bu.”

-R E A N-

“Ingatkan aku jika aku lelah akan ini semua. Aku


hanya untuk Airish dan Mama. Akan seperti itu
selamanya.”

Aileen sudah siap untuk berangkat ke


sekolah. Mamanya tengah menyiapkan bekal
untuknya.
Ralat, mamanya bukan menyiapkan khusus
untuknya, melainkan hanya untuk melanjutkan
kebiasaan Airish yang selalu membawa bekal.
Mamanya tidak ingin teman-teman Airish
menyadari bahwa Aileen bukan Airish.
"Aileen berangkat mah." Ujar Aileen setelah
mamanya memberikan kotak makan milik Airish.
"Jangan lupa, jaga sikap. Kamu disana
Airish, bukan Aileen. Apalagi kamu dan adikmu
sangat berbeda. Sifat kalian berlawanan." Ucap
mamanya mengingatkan.
Aileen hanya mampu mengangguk.
Dia harus menuruti apapun perintah
mamanya. Karena Aileen hanya untuk mama dan
Airish. Aileen tidak berhak memilih jalannya kan?
Aileen berpamitan dengan mama dan
ayahnya. Dengan langkah tak bersemangat, Aileen
berjalan ke luar, masuk ke dalam mobil yang setiap
hari mengantar jemput Airish.
Mengapa hanya Airish? Karena Aileen selalu
memilih berangkat ke sekolah dengan angkutan
umum.
Mobil yang ditumpangi Aileen mulai melesat
pergi meninggalkan pelataran rumahnya.
Sang supir mengernyit kala melihat anak
sang majikan yang biasa sangat ceria kini menjadi
tak bersemangat. Supir ini tidak tahu mengenai
kecelakaan Airish. Karena pada saat itu, beliau
harus menjaga anaknya yang dirawat di rumah
sakit.
"Non Airish." Panggil Pak Darno, sang supir.
Merasa tidak ada sautan dari lawan
bicaranya, Pak Darno kembali memanggil Aileen
dengan nama saudara kembarnya.
Aileen terperanjat. "Ah, iya. Ada apa pak?"
"Non Airish lagi banyak pikiran ya?" Ucap
Pak Darno.
Aileen terkekeh pelan. Membuat Pak Darno
lantas terbelalak. Pak Darno membenarkan kaca
spion dalam mobil mengarah ke Aileen.
"Non Airish sakit?" Tanya Pak Darno dengan
raut khawatir.
Aileen menepuk dahinya pelan. Dia lupa
kalau semua orang mengenalinya sebagai Airish,
dan Airish tidak seperti dirinya.
"Kalau ngecek suhu tubuh itu dipegang aja
dahinya, non. Gausah ditepuk, nanti malah makin
sakit." Ujar Pak Darno sembari terkekeh.
Aileen tersenyum tipis khas seorang Airish.
Setelah kurang lebih lima belas menit di
jalan, akhirnya mobil Aileen berhenti di depan
gerbang sekolah Airish.
Dengan wajah yang ia buat sekalem
mungkin, Aileen turun dari mobil dan berjalan
dengan ramah menuju kelasnya.
Banyak sekali teman-teman Airish yang
menyapanya. Aileen hanya menjawabnya dengan
senyuman, karena dia tidak tahu satu persatu
nama orang yang menyapanya.
Setiap pagi telinga Aileen penuh sapaan dari
teman-teman atau bahkan adik kelas Airish.
***
Pada waktu istirahat tiba, ada seorang siswi
yang mencari Airish dan datang ke kelasnya. Aileen
yang tadinya akan membeli minuman di kantin,
terpaksa harus tetap berakting sebagai Airish yang
selalu ramah pada siapapun.
“Ada perlu apa?” Tanya Aileen.
“Rapatnya jadi sekarang kak. Semua udah
kumpul di dalam.”
Kini Aileen berada di sebuah ruangan yang
telah ditentukan sebagai tempat diadakannya rapat
ekskul radio. Aileen baru tahu jika adiknya ini
mengikuti ekskul semacam ini.
Aileen dipersilahkan salah seorang gadis
yang ia lihat memakai bed kelas 10, untuk duduk di
kursi paling ujung. Semua orang di dalam ruangan
ini duduk berhadapan. Atensi dari seluruh anggota
ekskul ini mengarah padanya.
"Kak Airish, apa tema yang akan kita ambil
buat minggu ini?" Tanya salah satu anggota yang
duduk tak jauh dari Aileen.
Aileen bingung. Dia tidak mengerti apa yang
harus ia katakan. Ponselnya bergetar. Ada
notifikasi pesan yang berasal dari Airish.
"Emm, kalian bisa berdiskusi terlebih dahulu.
Nanti kita ambil tema yang paling bagus. Saya
kebelakang sebentar ya."
Semua hanya mengangguk dan mulai
membahas tema untuk siaran.
Aileen keluar dari ruangan itu dan membuka
notifikasi pesan dari Airish.
Airish
Kak, nanti ada rapat ekskul.
Aileen
Iya, ini lagi rapat.
Ini ada yang nanyain temanya.
Gue ga paham, Rish.
Airish
Suruh ngasih pendapat aja kak.
Barangkali ada yang cocok.
Aileen
Oke.
Aileen kembali masuk ruangan rapat dan
mendiskusikan dengan anggota lain tema yang
akan mereka pilih.
Selesai dengan rapatnya. Kini Aileen akan
kembali ke kelasnya. Di tengah perjalanan menuju
kelas, matanya menelusuri tempat, bagian, dan
sudut bangunan sekolah ini.
Aileen tak sengaja melirik sebuah ruangan
yang menarik perhatiannya.
Dia masuk ke dalam sebuah ruangan yang
di dalamnya berjajar alat-alat musik. Ia menatap
alat-alat musik itu dengan pandangan berbinar.
Aileen mengambil biola yang ada di sudut
ruangan itu, dan mulai menggesekkan busur
dengan senar biola.
Alunan melodinya yang indah diam-diam
didengar oleh sosok yang sedari tadi menatapnya
dari luar pintu.
“Lo bisa main biola?” Tanya sosok itu yang
membuat Aileen memutar tubuhnya dan menatap
terkejut ke arah laki-laki itu.
“Ini bener-bener keren. Gue baru tahu lo
bisa main ginian.” Lanjutnya seraya berjalan
mendekat ke arah Aileen.
Aileen tersenyum bingung. Siapa cowok ini?
“Tau gitu, dari dulu lo harusnya ikut pensi.
Kenapa ga pernah nawarin bakat lho yang ini sih?
Padahal lo selalu nawarin diri buat ikutan kegiatan-
kegiatan yang bisa menyalurkan kemampuan dan
bakat lo.” Ujar cowok yang Aileen lihat bername tag
Reandra Dirgantara.
“Gue nggak pede, Rean.”
Aileen gelisah bercampur bingung, ia belum
sempat menanyakan siapa saja yang Airish kenal
dekat.
“Emm.. gu-gue..”
“Oh iya gue baru inget, lho baru sembuh
kan?” Tanya Rean memotong kata-kata Aileen.
Aileen mengangguk ragu.
“Makanya lo keliatan aneh. Kayak bukan
Airish.”
Aileen hanya tersenyum canggung. Dia
meletakkan kembali biola yang sempat ia mainkan
tadi ke tempat semula.
“Gue ke kelas ya.” Ujar Aileen sembari
berjalan meninggalkan Rean yang mematung.

-Tak Teranggap-

“Cukup tau saja bahwa sekarang aku tak lagi


dianggap oleh kalian..”

Gadis itu mengerutkan keningnya bingung


kala melihat mama, Airish serta ayahnya tengah
menggeret sebuah koper menuju garasi.
“Kalian mau kemana?” Tanya Aileen
bingung.

Melihat respon mamanya yang Nampak


enggan untuk menjawab, akhirnya ia melempar
pandangan pada Airish.

“Mama sama ayah mau nganter Airish


berobat ke Turki, kak.” Jawab Airish seraya
tersenyum.

“Kok kalian gak ngasih tau Aileen?” Tanya


Aileen lagi-lagi. Sedangkan mamanya malah
menatap datar kearah dirinya.

“Memangnya kamu siapa? Dengan kita


ngasih tau kamu, apa kamu yang akan nanggung
biayanya? Enggak kan? Toh kita bilang atau
enggak gaakan ada dampak apa-apa.” Kata mama
sinis.

Rasanya hati Aileen seperti mencelos ketika


mendengar ucapan menohok itu dari bibir sang
mama.
Apa dirinya tidak berhak tau tentang apa
saja yang akan dilakukan mereka? Apa mereka
lupa bahwa Aileen juga bagian dari mereka?

“Tapi Aileen juga bagian dari kalian, Aileen


berhak tau mah..” Ucap Aileen memelan.

“Terserah apa katamu.” Timpal mamanya


ogah-ogahan.

Tiba-tiba saja Airish menggenggam tangan


Aileen, gadis itu sepertinya tengah berusaha
menenangkan kakaknya. Aileen hanya
memandang sendu pada adiknya yang duduk
diatas kursi roda itu.

“Airish tadi liat sesuatu di blog kak, katanya


di Turki ada toko yang jual biola klasik. Kakak mau
nggak?” Tawar Airish yang langsung membuat
Aileen berbinar.

Mamanya langsung saja menyentak tangan


Airish yang membuat sang empu merintih
kemudian melepas genggamannya pada jemari
Aileen.
“Airish, kita disana mau ngobatin kamu
bukannya liburan!” Tegas mama.

“Siapa sih mah yang liburan? Lagipula toko


itu ada di deket hotel kita, dan juga biola kakak
udah rusak jadi gaada salahnya kan kita beliin biola
baru buat kakak, mah?” Tanya Airish berani.

“Aileen kangen main biola, mah…” Ucap


Aileen pelan yang mmebuat Airish memandangnya
sendu.

“Mama akan beliin biola baru, tapi setelah


kamu berhasil dapetin beasiswa itu buat Airish.”
Tekan mamanya.

“Pah, ayo masuk ke mobil nanti kita bisa


ketinggalan pesawat.” Ajak mama.

“Lagi-lagi Airish. Kapan sih mah Aileen


penting buat mama?” Batinnya.
-Dihukum-

“Sejatinya orang yang terlihat kuat malah


menyimpan banyak luka.”

Aileen menaruh kepalanya di atas meja.


Sudah tidak gadis itu pedulikan lagi guru di
depannya, bukan karna guru itu terlihat
menyeramkan tapi karena pelajaran yang ia rasa
begitu membosankan.

Aileen sudah tidak bisa lagi menahan


kantuknya, akhirnya gadis itu terlelap di atas meja.

Zeren yang duduk tepat disamping Aileen


membuka mulutnya lebar-lebar. Gadis itu benar-
benar terkejut.

Sungguh luar biasa seorang Airish yang


tidak pernah absen dan bolos bahkan sangat-
sangat tidak pernah tidur pada jam pelajaran, kini
tengah tidur terlelap dengan lipatan tangan sebagai
bantalannya.

“Rish.. Airish?” Panggil Zeren dengan nada


berbisik. Gadis itu bahkan sudah menoel-noel
tangan Airish.

“ZEREN!” Mendengar itu sontak Zeren


langsung terduduk tegak, ia benar-benar kaget
sekaligus panik.
Kini ia benar-benar menjadi sorotan di
kelasnya. Bu Cessa berjalan dengan anggun
mendekati bangkunya membuat bulu kuduk Zeren
naik seketika.

“Itu di samping kamu Airish?” Tanyanya


yang langsung diangguki kepala oleh Zeren.

Ternyata bukan hanya dirinya lah yang kaget


dengan tingkah Airish melainkan semua anak-anak
dan juga Bu Cessa yang memicingkan matanya.

“Airish!!!” Panggilnya, tapi Aileen tak kunjung


bangun membuat wanita berbadan gemuk itu
memukulkan penggaris di mejanya yang langsung
membuat seisi kelas senyap seketika.

Aileen bangun dengan wajah khas orang


bangun tidur, tanpa sadar ia sudah membuat seisi
kelas gemas dengan tingkahnya baru saja. Yang
dimana gadis itu mengerjap-erjapkan matanya
polos seperti anak kecil.

“Sudah merasa pintar kamu sampai berani


tidur di jam saya? Iya?” Tanyanya tegas.
“Toh emang saya pintar, ibu lupa ya?” Sahut
Aileen enteng. Lagi-lagi seisi kelas kembali dibuat
heran dengan tingkah Airish barusan.

“Airish saya tidak peduli ya seberapa pintar


kamu, tapi kalau kamu berani tidur di jam pelajaran
saya sudah pasti akan saya kasih hukuman. Lari
keliling lapangan sekarang juga 20 kali!!”

Tanpa sepatah kata pun ia melangkahkan


kakinya keluar dari bangku.

“Saya benar-benar tidak menyangka Airish


menjadi seperti ini.” Ucap Bu Cessa sembari
menggelengkan kepalanya.

-Pingsan-

“Beban. Sebuah kata sederhana yang


mengandung masalah dan luka.”

Aileen berjalan keluar dari kelas menuju


lapangan basket dengan mulut yang terus
bergumam tidak jelas. Dengan langkah malas ia
berlari mengelilingi lapangan.

Di tengah lapangan, terdapat beberapa anak


yang sedang bermain basket. Jika dilihat dari
pakaian yang mereka pakai, mereka memang
sedang ada jam olahraga.

Aileen menjadi sorotan setiap anak yang ada


di sekitar lapangan tersebut. Mulai dari yang hanya
duduk-duduk malas di pinggir lapangan, hingga
siswa yang tengah bermain basket, semua
memusatkan perhatian ke arah Aileen.

Tatapan yang mereka beri sama dengan


teman-teman kelas tadi, heran.

Aileen hanya membiarkan semua orang


menatapnya. Ia hanya ingin segera menuntaskan
hukuman ini. Pada putaran ke sepuluh, Aileen
merasakan dehidrasi. Dia berhenti di tengah-
tengah garis yang ada di lapangan.

Dug
Sebuah bola basket mengenai kepala
Aileen. Menimbulkan bunyi keras yang mampu
membuatnya menjerit kesakitan.

“Siapa yang lempar bola basket ke gue?”


Tanya Aileen dengan muka merah. Ia menatap
setiap orang yang ada di lapangan.

Dengan santai nya seorang pemuda yang


wajahnya tak asing bagi penglihatan Aileen
mengangkat tangannya dan melangkah mendekat
ke arah Aileen.

“Siniin bolanya.” Ucap Rean tanpa


menanyakan bagaimana keadaan Aileen. Aileen
mendengus kesal.

“Enak banget ya kalo ngomong. Kalo main


kira-kira dong, kepala gue sakit nih!" Aileen
memegang kepalanya yang berdenyut pusing.

"Lo sendiri ngapain lari-lari di lapangan?


Tugas lo di kelas udah kelar semua, terus gaada
kerjaan jadi lari keliling lapangan?" Tanya Rean
panjang lebar. Aileen yang masih merasakan
pusing mendera kepalanya, pun menggeleng

"Gue dihukum." Ujarnya pelan.

Rean menatap Aileen dengan tatapan tidak


percaya.

"Mana ada lo dihukum? Tinggal bilang gabut


aja gamau. Guru mana yang ngehukum siswi
terpintar di sekolahnya ini?" Ucap Rean tidak
percaya.

Aileen mengibaskan telapak tangannya tak


peduli. "Terserah. Gue mau lanjut terusin
hukumannya aja, tinggal sepuluh putaran lagi ini."
Ujar Aileen seraya berjalan meninggalkan Rean.

"Dia beneran dihukum?" Ucap Rean pada


dirinya sendiri.

Rean menatap Aileen yang tengah berjalan


menuju sudut lapangan. Aileen terlihat berjalan
dengan kedua tangan memegang kepala.
Di sisi lain, Aileen merasakan kepalanya
sangat pening. Matanya berkunang-kunang. Belum
sampai pojok lapangan, pandangannya sudah
memburam. Sebelum benar-benar kehilangan
kesadarannya, Aileen sempat mendengar teriakan
seseorang dari arah belakang.

Bruk

Rean melempar bola basket yang tadinya


berada di tangannya. Dia berlari menghampiri
Aileen. Tanpa pikir panjang ia mengangkat tubuh
Aileen dan membawanya ke uks.

Rean menulikan pendengarannya saat ada


siswa-siswi yang menanyainya. Rean hanya fokus
pada Aileen yang ia tahu adalah Airish temannya.

Sesampainya di uks, Ia langsung dihadang


oleh seorang wanita berjas putih yang diketahui
adalah dokter yang sedang berjaga.

"Ini Airishnya kenapa?" Tanya sang dokter.


"Pingsan dok." Jawab Rean seraya
menerobos masuk dan membaringkan Aileen di
ranjang uks dengan hati-hati. Sang dokter mulai
memeriksa keadaan Aileen.

“Gimana dok? Tadi dia habis kena bola


basket.” Ucap Rean dengan raut khawatir yang
sangat kentara.

“Sepertinya dia memang sedang banyak


pikiran. Tolong kamu hubungi keluarganya. Dia
harus istirahat di rumah saat ini.” Ucap sang dokter.

Rean mengangguk. Dia berlari melewati


lapangan menuju kelas Airish.

Dengan napas terengah-engah, Rean


masuk ke dalam kelas itu. Sontak seluruh orang di
dalamnya menatap Rean bingung.

Bu Cessa yang sedang mengajar pun


menghentikan aktivitas menulisnya di papan tulis
dan menghampiri Rean.

“Ada perlu apa Rean?” Tanya Bu Cessa.


“Permisi bu, saya izin mau ambil tasnya
Airish.” Ucap Rean sembari menuju bangku tempat
duduk Airish.

“Airish mau pulang? Saya masih nggak


percaya ini. Dia nggak pernah kaya gini
sebelumnya. Tadi tidur, sekarang pulang. Maunya
apa?” Cibir Bu Cessa.

“Sebentar bu, Airish tadi beneran dihukum?”

Bu Cessa mengangguk membenarkan.

“Airish pingsan bu. Kata dokter dia lagi


banyak pikiran.”

Bu Cessa merasa bersalah. “Ah maaf, saya


nggak tau Rean. Kalau gitu cepet kamu telpon
orang tuanya. Biar bisa istirahat di rumah.”

Rean mengangguk dan pamit pada Bu


Cessa.

Rean masuk ke dalam uks dan mengambil


duduk di sofa dekat ranjang Aileen. Rean membuka
tas Airish untuk mencari ponsel milik temannya itu.
Tetapi ia bingung saat menemukan dua buah
ponsel. Dua ponsel itu sama, yang membedakan
adalah casenya. Case bergambar flaminggo dan
case biru polos.

Rean pernah melihat ponsel yang bercase


flaminggo, tetapi case biru polos ini apakah ponsel
baru Airish?

Rean membuka ponsel yang bercase biru


polos tetapi disandi. Ia beralih pada yang satunya
lagi, dan untung saja tidak disandi.

Dia menghubungi kedua orang tua Airish,


tetapi tidak ada jawaban dari keduanya. Harapan
terakhirnya, nomor telepon rumah.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Iya Non?” Tanya


seseorang dari seberang sana.

“Saya temannya Airish, Airishnya sakit. Bisa


dijemput sekarang? Dia lagi ada di uks.”
“Non Airish? Ah iya, baik. Terima kasih
mas.” Sambungan terputus.

Rean menunggu kedatangan orang tua


Airish sembari memainkan ponselnya. Tak lama
seorang wanita paruh baya masuk ke dalam uks
dengan langkah tergesa-gesa. Rean sontak berdiri
dan menanyakan apakah ibu ini keluarga Airish.

“Ibu keluarganya Airish?” Tanya Rean.

“Saya pembantu di rumahnya mas.” Ucap


wanita itu.

“Tadi sudah saya coba hubungi orang


tuanya, tapi tidak ada jawaban.” Terang Rean
sembari menyerahkan tas beserta ponsel Airish
pada sang bibi.

“Tuan dan nyonya sibuk mas. Non Airish


sendirian di rumah.”

“Jangan panggil mas bu, Rean saja. Oh iya


bu, pantesan kata dokter tadi Airish kaya lagi
banyak pikiran.” Ujar Rean.
Bibi menatap Aileen dengan senyum sendu.
Dia tahu masalah yang tengah dihadapi Aileen. Ia
paham luka yang didapat Aileen dari kejadian ini.

“Tolong Nak Rean jaga Non Airish kalau di


sekolah ya. Karena kalau di sekolah bibi ga
mungkin bisa pastiin Non Airish baik-baik aja.”

Rean mengangguk, dengan senang hati ia


akan menjaga Airish. Ia juga akan berusaha
membuat Airish melupakan bebannya.

-Olimpiade-

“Kecewa. Suatu perasaan yang tidak dapat ku


definisikan artinya.” -Alisha Aileen.

Rean berdiri malas di sisi pojok kantin.


Matanya menjelajah setiap bagian kantin, mencari
celah untuk bisa membeli makanan. Perutnya
sangat lapar tetapi dia sangat tidak suka
berdesakan. Akhirnya dia lebih memilih memutar
arahnya dan melangkah pergi.

Rean masuk ke dalam perpustakan.


Matanya tidak sengaja menangkap siluet Aileen.
Dengan senyuman yang mengembang, Rean
menghampiri Aileen dan mengambil duduk di
samping gadis itu.

“Udah sehat Rish?” Tanya Rean sembari


merampas paksa novel yang tengah dibaca oleh
Aileen.

“Ih.. Lo tuh ya! Gue masih marah ini. Gue


pingsan gara-gara bola lo itu.” Kesal Aileen.

“Dih, yang ada bola basket gue sobek gara-


gara kepala lo.” Ujar Rean seraya tersenyum
meledek.

“Mana ada. Bola basket kan keras, Rean!!!”

“Ya udah, gausah ngegas jugaa.” Ucap


Rean disertai kekehannya.
Panggilan dari seorang gadis membuat
kedua orang yang tengah adu mulut itu menoleh
dengan tatapan tanya.

“APA!” Jawab keduanya kompak.

Sementara gadis di hadapan mereka tampak


kaget, kemudian menetralkan ekspresinya kembali.
Gadis itu tersenyum canggung.

“Permisi kak, Kak Rean sama kak Airish


dipanggil Bu Diana di ruang guru.”

***

Dua orang dengan ekspresi wajah yang


berbeda tengah berjalan beriringan di sepanjang
koridor. Rean dengan ekspresi dinginnya
sedangkan Aileen dengan ekspresi yang sulit
diartikan.

Pikiran Aileen benar-benar kacau. Dirinya


sadar dirinya memang tak sepintar Airish dan
sekarang dia harus bagaimana ketika ia diharuskan
mengikuti olimpiade matematika.
Boro-boro pintar matematika, di sekolah
lama saja ketika jam pelajarannya ia malah jajan di
kantin bersama teman-temannya.

***

Mulai sejak itu Rean dan Aileen menjadi


sering belajar kelompok entah itu di perpustakaan
sekolah atau di cafe luar.

Aileen yang biasanya menghabiskan


waktunya untuk bermain dan bersenang-senang,
sekarang beralih dengan kegiatan belajar dan
belajar.

Itu semua benar-benar menguras energi


Aileen, karena ia harus bolak-balik keluar untuk
pergi belajar bersama dengan Rean. Belum lagi
bimbel dan waktu homeschooling nya.

Aileen yang baru saja tiba di rumah


langsung menyenderkan tubuhnya ke sofa. Terlihat
gadis itu memejamkan matanya dengan mimik
wajah yang terlihat begitu lesu dan lelah.
"Ya ampun non, Bibi khawatir banget sama
non jam segini baru pulang, apalagi tadi guru
homeschooling Non Aileen udah nunggu lama."
Tutur Bibi yang langsung membuat kedua kelopak
mata Aileen terbuka.

"Aileen tadi pas pulang sekolah ada rapat


ekskul, terus langsung bimbel. Habis bimbel Aileen
belajar bareng Rean Bi, buat olim." jelas Aileen lalu
meneguk air putih yang dibawakan oleh wanita
paruh baya itu.

"Kalau gini terus, Non Aileen bisa sakit loh.


Dan juga Bibi cuma mau ngingetin, beasiswa Non
Airish memang penting tapi sekolah homeschooling
Non Aileen juga gak kalah penting." Aileen
tersenyum mendengarnya, setidaknya masih ada
satu orang yang mempedulikannya.

***

Aileen mengerjap-erjapkan matanya kala


sinar mentari menerobos masuk ke dalam jendela
kamarnya.
"Aileen, jam berapa ini? Ayo bangun!" Kata
Mama yang langsung membuat Aileen terduduk
bangun dengan wajah khas bangun tidurnya.

"Mama? Kalian udah pulang? Gimana


Airish? Sembuh kan mah?" tanya Aileen.

"Nanti aja kamu wawancara ke mama nya,


sekarang yang lebih penting kamu bangun dan
sekolah. Kalau kamu telat, mau gimana citra Airish
di sekolahnya?" Ucap sang mama sarkastik.

Aileen yang baru saja mengulum senyumnya


karena merasa sedikit bahagia dengan kepedulian
mamanya mendadak jadi tersenyum kecut. Ya,
semuanya hanya karena Airish dan untuk Airish.

"Mah, Aileen boleh gak sehari ini gak


sekolah dulu? Kayaknya Aileen sakit deh mah,
Aileen pusing apalagi Aileen kemarin malam
sempet mimisan." Lirihnya.

Terlihat sang mama sama sekali tak


menampilkan wajah cemas dan malah berkacak
pinggang.
"Mana ada orang sakit bilang sakit? Yang
bisa nentuin kamu sakit atau enggak itu cuma
dokter, Aileen!"

"Tapi mah--"

"Mama ga terima alasan apapun, pokoknya


hari ini kamu harus sekolah apalagi Minggu depan
kamu udah olimpiade kan? Apa kamu mau
ngecewain Airish?" Tanya mamanya.

"Iya, Aileen pasti ngecewain Airish kalau


sampe ga ikut olimpiade ini. Tapi apa mama ga
nyadar, kalau selama ini mama yang udah buat
Aileen kecewa..”

Sesaat wanita paruh baya itu terdiam, tak


sanggup membalas perkataan putrinya itu.
-Bullying-

“Orang yang terlihat baik di depan kita, bisa saja


berubah menjadi musuh saat sedang tak
bersama.”

Saat ini, Aileen tengah berada di kamar


mandi sekolah. Ya, hari ini ia bersekolah meskipun
dengan tubuh yang tak berenergi dan wajah yang
pucat.

Aileen yang tadinya akan keluar menjadi


mengurungkan niatnya. Dari dalam bilik kamar
mandi ia mendengar percakapan beberapa siswi di
luar yang tidak ia ketahui namanya.

Tetapi yang pasti mereka tengah


menggosipkan Airish, adiknya.

Bukan sekedar firasat buruk Aileen


mengiranya, tapi karena mereka membawa-bawa
nama Airish kedalam gosipannya.

“Gue bener-bener muak lihat sikap Airish


yang makin kesini makin gak bener. Gue kesel liat
dia deket-deket sama Rean!” Ucap salah satu
gadis.

“Lo gak lupa kan Zoy, sama gosip dulu yang


katanya Airish suka sama Rean padahal waktu itu
dia lagi pacaran sama Zian.” Sahut gadis lainnya.
“Kalian kenapa sih kok kayaknya gak suka
banget sama Airish? Padahal yang semua orang
tau, elo dan Zoya itu berteman baik karena ekskul
radio.” Kata gadis lainnya.

“Ya, itu semua karena gue gak suka sama


dia. Dia emang pinter, cantik, kalem, perfect tapi
bagi gue itu semua cuma pencitraan. Di itu
munafik, dia pacaran sama Zian cuma biar bisa
deket sama Rean. Dan menurut gue, dia cuma
gadis biasa yang lagi terobsesi sama
beasiswanya.” Terang satu gadis yang bername
tag Azoya Faradela.

Amarah Aileen yang benar-benar tak bisa


lagi ia tahan membuat gadis itu akhirnya
memutuskan keluar dari dalam bilik kamar mandi
tersebut.

Seketika membuat ketiga gadis yang tengah


beradu pendapat itu langsung menatapnya kaget.

“Oh jadi selama ini lo cuma manfaatin gue?


Jadi gue di mata kalian ga lebih dari gadis biasa
yang terobsesi sama sebuah beasiswa? Emang
kenapa kalau gue terobsesi sama beasiswa?
Dengan gue terobsesi atau engga ga akan ada
hubungannya sama kalian.” Ucap Aileen sarkastik.

“Emang kenapa kalau gue manfaatin Zian


cuma biar bisa deket sama Rean? Bukannya lo
juga manfaatin gue ya? Jadi ga ada salahnya dong
gue manfaatin Zian? Intinya tuh kita semua saling
manfaatkan cuma biar bisa dapetin apa yang kita
mau. Artinya lo dan gue sama aja dong? Haha..”

Dua orang yang berdiri disamping Zoya


benar-benar melongo melihat sifat Airish yang
begitu berani seperti sekarang ini.

“Oh jadi gini sifat asli lo? Bener kan apa kata
gue, kalau sifat lo yang polos, kalem, lugu dan
pendiem itu cuma sekedar pencitraan doang kan?”
Tanya Zoya angkuh.

“Kenapa sih lo ngurusin hidup gue banget?


Lo iri karena gue punya banyak fans? Lo iri karena
semua anak radio milih gue jadi ketua dulu? Dan lo
iri karna gue bisa deket sama Rean? Gue bingung,
sesempurna apasih hidup lo sampe ngurusin hidup
gue?”

Karena sangking kesalnya, Zoya langsung


maju dan menjambak Aileen. Aileen yang tak
terima pun menjadi membalasnya.

Dan terjadilah adegan jambak dan cakar


mencakar antara mereka.

Dua teman Zoya tak tinggal diam, mereka


berusaha memisahkan keduanya karena melihat
bagaimana brutalnya Aileen yang mencakar Zoya.

Karena adegan jambak-jambakan itulah


yang membuat keduanya dipanggil kepala sekolah
dan diberi hukuman skors selama dua hari.

Selama diskors pula Rean masih tetap


belajar bersama dengan Aileen untuk persiapan
olimpiade.

Dan naasnya, hari ini Rean mengatakan


untuk belajar bersama di rumah Airish saja karna
kebetulan dirinya tengah berada di daerah sekitar
tempat tinggal Airish.

***

Airish yang tengah berada di ruang tamu


mendadak kaku, kala mendengar suara sosok yang
sangat ia kenali.

“Airish..” Panggil Rean dari luar dengan


mengetuk-ngetuk pintu rumah.

“Rean? Kok Aileen gak bilang sih kalau


Rean mau kesini?” Kesalnya.

“Biiiiii, ada tamu tuh diluar. Cepet bukain


pintu!” Kata Airish keras yang langsung membuat
pembantu rumahnya segera menuju ruang tamu.

“Non Airish perlu Bibi bantuin buat ke


kamar?” Tawar Bibi.

“Gak! Airish cuma lumpuh Bi, bukan berarti


Airish ga bisa mandiri. Udah buruan bukain pintu,
cepet!” Bentak Airish.
Bibi yang sudah hafal betul dengan kelakuan
kedua putri dari majikannya itu hanya mengelus
dada sabar. Inilah yang membedakan Airish dan
Aileen

Aileen sangat sopan kepadanya, sama


sekali gadis itu tak pernah membentak atau bicara
kasar kepadanya. Bahkan disaat Aileen sedang
ada masalah, dirinya lah yang dijadikan sebagai
tempat curhat. Aileen juga sering membantunya
mengerjakan pekerjaan rumah.

Berbanding terbalik dengan Airish, Airish


yang terlihat sopan aslinya malah sangat-sangat
jauh dari sopan.

Rean melangkahkan kakinya memasuki


rumah Aileen, bersamaan dengan Airish yang
tengah berusaha menggerakkan kursi rodanya
untuk memasuki kamar.

“Eh, nak Rean.. Mari masuk.” Ucap Bibi


mempersilahkan Rean untuk masuk.
“Duduk dulu nak, saya panggilkan Non
Airishnya dulu.” Bibi meninggalkan Rean di ruang
tamu sendirian. Tak lama Aileen turun dengan
banyak buku di tangannya.

“Kok mukanya gitu?” Tanya Rean saat


melihat wajah Aileen yang tampak tidak
bersemangat.

“Gue lagi ga mood. Gausah ganggu.”

“Jahat banget mbaknya..” Goda Rean.

“Jadi nggak nih belajarnya?” Tanya Aileen


ketus.

Rean mengangguk seraya menegakkan


duduknya. Ia bertingkah seakan-akan menunjukkan
keseriusannya yang malah membuat Aileen ingin
tertawa.

“Apa ada yang lucu?” Tanya Rean saat


mendapati ekspresi wajah Aileen yang menahan
tawanya.
Aileen menggeleng dan memalingkan
mukanya untuk tersenyum. Rean sangat
menggemaskan, dan apakah ini yang membuat
Airish menyukai Rean?

-Dua Hari-
“Sampai kapanpun Aileen ga akan bisa jadi Airish,
begitupun sebaliknya.”

Aileen memberikan surat dari Bu Cessa


selaku wali kelas Airish, kepada mamanya.

"Ini mah, ada titipan surat dari Bu Cessa."


Ujar Aileen sembari menyerahkan sebuah amplop
berisi surat itu.

"Surat apa?" Mamanya mengernyit bingung.

Aileen yang tidak mengetahui isi dari surat


itu pun hanya mengangkat bahu.

Mama mulai membaca isi dari surat tersebut.


Ekspresi wajah mama seketika berubah.

"Ini apa maksudnya Aileen? Kamu berbuat


ulah ya?!" Tanya sang mama dengan raut marah.

Aileen yang tengah meminum teh pun


tersedak hingga terbatuk. Mamanya membuang
surat tersebut tepat di muka Aileen.
"Kamu diskors dua hari dan mama harus
menghadap Bu Cessa. Kamu tau apa salah kamu
Aileen? Jawab mama!" Mamanya memegang
pundak Aileen kasar.

Aileen mengangguk lemas. Ia tahu apa


salahnya. Salahnya adalah karena ia dan Airish
sangat berbeda.

Tetapi perbedaan ini bukan kemauan Aileen.


Airish adalah Airish dan Aileen tidak bisa dipaksa
untuk jadi seperti Airish. Ini sulit.

"Aileen tau salah Aileen mah. Aileen nggak


bisa jadi Airish." Ujar Aileen seraya menunduk
dalam.

"Iya, kamu benar. Kamu nggak bisa jadi


Airish, kamu hanya bisa merusak image nya,
Aileen.." Tutur mama nya dengan sarkastik.

"Maafin Aileen mah. Aileen sudah berusaha


berperilaku sama seperti Airish. Tapi Aileen tetap
Aileen mah, Aileen bukan Airish.." Ujar Aileen lirih
dengan air mata yang entah sejak kapan mengalir
deras di pipinya.

"Mama nggak mau tahu, kamu harus bisa


kayak Airish! Karena beasiswa Airish adalah yang
terpenting bagi kami."

Aileen hanya bisa mengangguk. Yang


terpenting bagi mereka hanyalah beasiswa Airish.
Catat!

Bukan masa depan Aileen.

"Cukup sadar bahwa masa depanku hanya


angan-angan yang entah pernah masuk ke dalam
pikiran mama atau tidak dipedulikan sama sekali."
Batin Aileen perih.

Entah masih ada harapan bagi Aileen atau


tidak, tetapi disini Aileen hanya ingin mama bisa
bangga memiliki Aileen sebagai salah satu
putrinya.

-Di Bawah Derasnya Hujan-


“Simpan, diam dan rasakan.”

Aileen dan Rean tengah berada di sebuah


ruangan dimana di tempat ini lah yang akan
diumumkannya pemenang dari olimpiade.

Ya, satu jam yang lalu Aileen sudah


mengikuti olimpiade ini.

Aileen memasrahkan hasilnya pada Allah.


Yang terpenting ia sudah berusaha maksimal untuk
olimpiade ini.

Bukan, bukan untuk olimpiade tetapi untuk


Airish. Hanya Airish.

Juara ketiga dan kedua sudah berada di


depan setelah namanya dipanggil untuk maju.
Tinggal juara pertama, dan Aileen tidak yakin
bahwa dirinya bisa mendapatkan posisi itu.
"Juara pertama, diraih oleh.. Reandra
Dirgantara!" Sang MC menyebutkan Reandra
Dirgantara sebagai juara pertama.

Ya, memang bukan takdir Aileen untuk bisa


memenangkan olimpiade ini. Tapi tunggu, siapa
tadi? Reandra Dirgantara, Rean?

Dengan senyum manisnya Rean menatap


ke arah Aileen.

"Gue ke depan dulu ya."

Aileen tersenyum singkat dan mengangguk.

"Rean ternyata pinter ya. Ga kaya gue, ga


bisa apa-apa." Batin Aileen kemudian tersenyum
kecut.

***

"Jadi begini bu. Beberapa hari terakhir sikap


Airish sangat berbeda. Apa ada masalah di
rumah?" Ucap Bu Cessa selaku wali kelas Airish.

"Berbedanya dalam hal apa saja bu?" Tanya


Mama.
"Airish sekarang sering melamun dan tidur di
kelas. Dia juga kemarin terlibat masalah dengan
temannya. Dan dalam hal pelajaran, dia seperti
tidak connect sama sekali." Ujar Bu Cessa panjang
lebar.

“Maaf bu, mungkin dia masih ada sedikit


trauma karena kecelakaan kemarin. Terima kasih
bu, sudah memberitahu saya. Saya pamit dulu."

Mama harus beralibi bahwa perbedaan


Airish yang sekarang adalah karena trauma,
padahal ia hanya ingin melindungi citra Airish yang
rusak karena perilaku Aileen.

Bu Cessa hanya tersenyum dan


mengangguk

***

Aileen masuk ke dalam mobil dengan binar


bahagia, ia mendapat pesan dari sang mama
bahwa yang akan menjemputnya sekarang adalah
mamanya.
Senyumnya perlahan luntur kala melihat
wajah mamanya yang memerah dengan mata yang
menatapnya tajam.

"Apa susahnya sih nurut? Apa susahnya


diem dan ikutin pelajaran dengan baik?" Sarkas
mama.

"Maksud mama?" Aileen mengernyit


bingung.

"Kamu pasti tau maksud saya." Ucap


mamanya sinis

"Saya ga mau nampung anak yang ga


punya tanggung jawab di mobil saya." Ujar
mamanya seraya menghentikan mobil di tepi jalan.

Aileen yang paham makna kalimat itu pun


membuka pintu mobil dan keluar dari mobil
mamanya. Tak lama, mobil mama nya pun melesat
pergi meninggalkan Aileen sendirian.

Aileen menatap ke arah langit, melihat awan


yang bebas bergerak kemana pun.
Ada kalanya awan itu harus mengikuti alur
angin yang mendorongnya.

Aileen memposisikan dirinya sama dengan


awan. Ia dulu bebas melakukan apa yang disukai,
tetapi kini ia harus bisa mengikuti alur yang
mamanya berikan.

Langit berubah warna, yang tadinya biru


terang kini menjadi abu-abu. Tak lama beban yang
dikandung awan pun turun.

Sepertinya alam pun ikut merasakan apa


yang Aileen rasa. Mendung, gelap, dan sendirian.

Aileen seakan-akan melupakan jauhnya


jarak yang akan ia tempuh demi menuju ke
rumahnya.

Tak terasa Aileen sudah sampai di depan


teras rumahnya. Saat akan membuka pintu, pintu
sudah terlebih dahulu terbuka. Menampilkan sosok
Airish dengan ekspresi kecewa dan sedihnya.
“Gue kecewa sama lo kak. Ternyata bener
kata mama, lo ga ikhlas bantu gue untuk dapetin
beasiswa. Lo ga terima kalau masa depan gue
lebih dipentingkan daripada lo. Iya kan?” Cerca
Airish kecewa.

“Gue emang iri sama masa depan lo, Rish.


Gue pengen bisa sekolah dengan nama gue
sendiri, identitas gue sendiri. Tapi di sini..” Aileen
mengatur nafasnya yang tidak beraturan.

Aileen memegang kedua pundak adiknya.

“Gue punya tanggung jawab buat gantiin lo.


Gue udah berusaha semampu gue, bahkan
melebihi kemampuan yang gue punya. Lo tau kan
gue ga bisa apa-apa? Lo tau kan kalau gue sama
lo itu beda jauh?”

Aileen menatap mata Airish dalam. Dengan


senyum getirnya, Aileen melanjutkan kalimatnya.

“Tapi karena mama udah kasih gue


tanggung jawab yang ga bisa gue tolak ini, gue
harus berusaha buat lo, Rish. Semua ga instan,
apalagi cuma dalam waktu beberapa hari. Ilmuwan
untuk mencapai keberhasilannya harus mengalami
kegagalan demi kegagalan. Gue juga, Rish. Gue
cuma butuh dukungan dari kalian, itu aja.”

“Maaf kalau gue belum bisa dapetin yang lo


mau sekarang. Gue butuh waktu.” Aileen masuk ke
dalam rumah meninggalkan Airish dengan tatapan
nanarnya.
-Hari Spesial-

“Akan dijelaskan seperti apapun, mereka juga


tetap tidak mau mengerti.”

Aileen terlihat sedang sibuk dengan


ponselnya. Dengan tangan yang terus sibuk
mengetikkan sesuatu, ia terus menampilkan
senyuman manisnya.

Aileen tengah membalas pesan dari teman-


teman sekolahnya yang memberikan ucapan doa
dan harapan di hari spesial Aileen ini.

Mereka semua masih sangat mengingat


Aileen. Karena di mata mereka, Aileen adalah
gadis baik yang mau berteman dengan siapa saja
meskipun banyak dari teman Aileen yang keadaan
ekonomi keluarganya lebih rendah dari Aileen.

Aileen mengingat pesan papanya, bahwa


harta tidak akan abadi.
Dan pertemanan tidak memerlukan harta.
Hanya perlu ketulusan dan kepercayaan untuk
saling mendukung dan menjaga satu sama lain.

Airish dengan kursi rodanya berjalan


mendekat ke arah Aileen.

"Meskipun gue masih kecewa sama lo, tapi


gue tetep adik lo kak. Happy birthday, harapan gue
semoga lo selalu bahagia."

"Selamat ulang tahun juga, Rish.. Gu-gue


boleh peluk lo nggak?" Tanya Aileen yang dibalas
anggukan oleh Airish.

"Gue juga berharap lo bisa bahagia, Rish.


Dan gue harap gue bisa jadi salah satu alasan lo
tersenyum bahagia."

Airish meneteskan air matanya di pelukan


sang kakak.

Sejatinya sebesar apapun kekecewaan


terhadap saudara, kasih sayang satu sama lain
akan tetap ada.
***

"Taruh di sini saja, pak." Tampak seorang


bapak-bapak membawa kardus besar berisi hiasan
dekorasi ulang tahun.

Mama memberikan uang pada bapak-bapak


tersebut dan berterima kasih.

Airish menghampiri mamanya dengan


guratan senyum.

"Udah dateng mah?" Tanya Airish.

"Udah sayang. Mama mau buat pesta ulang


tahun kamu mewah." Ujar sang mama dengan
penuh semangat.

"Tapi Airish sedih mah, Airish ga bisa


nunjukin diri di depan temen-temen." Ucap Airish.
Mamanya membawa tubuh putri bungsunya itu ke
dalam pelukannya.

"Airish harus sabar sayang.. Airish habis ini


sembuh." Ucap mamanya menenangkan.
"Aamiin." Tak ada kata lain yang bisa Airish
ucap selain meng’aamiin'kan doa mamanya itu.

***

Mama masuk ke dalam kamar Aileen


dengan membawa sebuah totebag berisi baju.

"Leen.. Pakai ini buat nanti malam." Ucap


mama sembari meletakkan totebag itu di atas
kasur.

"Nanti malam?" Tanya Aileen.

"Iya. Mama ngundang semua teman Airish


untuk ngerayain ulang tahunnya. Makanya kamu
harus tampil cantik untuk Airish." Terang sang
mama. Aileen tersenyum sedih. Airish lagi kan?

Apa mama nya melupakan fakta bahwa


selain Airish, Aileen juga tengah berulang tahun?

"Maaf mah, Aileen sudah ada janji sama


temen-temen." Ujar Aileen. Terlihat sang mama
mengerutkan kening tak suka.
"Mama udah undang semuanya, Leen..
Mama gamau ada bantahan." Ujar sang mama dan
langsung melangkah pergi meninggalkan Aileen
yang menatapnya nanar.

***

Semua teman Airish sudah berkumpul di


ruang tamu. Sang mama berulang kali mengirim
pesan pada Aileen untuk segera turun ke bawah.
Namun tidak ada satupun jawaban

Mama menuju lantai atas untuk menjemput


Aileen. Sesampainya di atas ia mendapati kamar
Aileen sudah kosong dengan jendela terbuka.

Mama mengerang frustasi. Ia harus


bagaimana? Tamu-tamu sudah menunggu di
bawah.

Alhasil mama harus meminta maaf dan


beralibi bahwa Airish tiba-tiba tidak enak badan.
Di sisi lain, Aileen tengah tersenyum tanpa
beban. Di hadapannya sudah ada para sahabatnya
dengan kue bertuliskan namanya. Alisha Aileen.

"Terima kasih, kalian masih ada di samping


gue sampai sekarang. Terima kasih udah bersedia
dengerin curhatan gue setiap gue ada masalah dan
nyoba nenangin gue. Kalian adalah keluarga kedua
gue." Aileen menangis haru.

Sahabat-sahabatnya mendekat dan


memeluk Aileen. Mereka akan selalu ada untuk
Aileen.

***

Dengan senyuman lebar, Aileen membuka


pintu rumahnya. Lampu rumah sudah dimatikan, ini
tandanya semua orang di sini sudah tidur sekarang.

Namun, terdengar derapan langkah kaki


yang mendekat ke arah Aileen. Mama menyalakan
salah satu saklar lampu.

“Leen..” Panggil mama lembut.


Aileen menoleh dan tersenyum. Ia
berasumsi bahwa sang mama akan mengucapkan
doa dan harapan di hari spesial Aileen ini.

Plak

Sebuah tamparan keras meluncur di pipi


Aileen, hingga membuat Aileen terkejut dan
memegangi pipinya yang sangat nyeri ini.

“Mah..” Ucap Aileen lirih.

“Anak ga tau diri. Kamu buat malu saya hari


ini dan masih bisa panggil saya mama?!”

Aileen menatap tidak percaya ke arah sang


mama. Ia tau ia salah, tetapi apakah ia tidak boleh
memilih kebahagiaannya sendiri sehari ini saja?

“Kamu saya hukum, jangan keluar dari


kamar selama dua hari!” Ucap sang mama tak
terbantahkan.

Aileen hanya mengangguk lemah tanpa


berniat meminta keringanan hukuman pada sang
mama.
Aileen menguatkan dirinya sendiri. Ia yakin
semua akan indah pada waktunya. Dia harus
mensyukuri kebahagiaan sementara tadi, karena
kebahagiaan yang sesungguhnya tengah
dipersiapkan. In shaa Allah.
-Siapa Sebenarnya yang Jahat?-

“Memaksa seseorang untuk menuruti keinginan


kita, ibarat menyeret seseorang pada rasa
sakit.”

Aileen harus mematuhi perintah mamanya


untuk tetap di kamar selama dua hari. Di hari
pertama, ia menyibukkan diri untuk mempelajari
materi-materi pembelajaran.

Di kala lapar menghampiri, ia mengalihkan


rasa itu dengan cara memainkan game di
handphonenya. Dia tidak turun ke bawah sama
sekali.

Sekolah? Aileen masih di skors dari sekolah


karena Bu Cessa memundurkan hari skors nya
dimulai hari ini. Karena saat itu Airish harus
mengikuti olimpiade pada hari pertama skors nya,
oleh karena itu Bu Cessa mengubah hari skors
untuk Airish.

Di hari kedua, kegiatannya pun sama, hanya


belajar dan main game. Perutnya sangat nyeri,
Aileen sudah tidak kuat.

"Gue mandi aja deh, biar seger." Dengan


langkah gontai, Aileen berjalan menuju kamar
mandi yang ada di dalam kamarnya.

Selesai dengan kegiatannya di kamar mandi,


Aileen membaringkan tubuhnya yang tidak
bertenaga di atas kasur.

Tak lama pintu kamar terbuka. Bibi terkejut


melihat Aileen berbaring dengan wajah pucat pasi.

"Non.. Non Aileen sakit?" Tanya Bibi dengan


nada khawatir yang kentara.

"Enggak kok Bi, Aileen baik-baik aja." Ujar


Aileen dengan suara yang sangat pelan.
"Non Aileen, kenapa nggak keluar kamar
seharian ini?" Tanya Bibi sembari menyentuh dahi
Aileen.

"Aileen lagi dihukum mama, Bi. Karena


Aileen keluar sama temen-temen Aileen waktu di
rumah ada pesta ulang tahun Airish." Jelas Aileen.

"Non.. Badan Non Aileen panas, kita ke


dokter ya?" Ujar Bibi dengan khawatir saat
mengetahui suhu tubuh Aileen yang sangat panas.

"Enggak usah Bi, Aileen cuma lapar aja."


Ucap Aileen yang tidak ingin merepotkan
mamanya.

Ia tidak ingin mamanya terbebani karena


melihat dua anaknya tengah sakit. Walaupun dia
sendiri tidak yakin mamanya akan memikirkan
keadaannya. Dan dia rasa, sakitnya ini hanya
umum.

"Non Aileen belum makan?" Tanya sang Bibi


dengan nada cemas yang dibalas anggukan oleh
Aileen.
"Dari pagi?"

"Kemarin."

"Apa! Non.. Ibu benar-benar sudah


keterlaluan. Bibi ambilkan Non Aileen makanan
dulu ya."

Bibi keluar untuk mengambilkan Aileen


makanan. Di sofa ruang keluarga ada Mama dan
Airish yang tengah sibuk menonton televisi.

Mereka terlalu memikirkan diri sendiri, tanpa


peduli ada sosok yang tersakiti di balik senyuman
yang mengandung perih.

Bibi telah kembali ke kamar Aileen untuk


membawakan makanan. "Bentar ya non, nanti Bibi
kesini lagi."

Bibi keluar dari kamar Aileen. Bibi membuka


ponselnya dan mendial nomor seseorang.

Sambungan telepon sudah terhubung.

“Halo.” Ujar seseorang dari seberang sana.


"Permisi pak, maaf mengganggu." Bibi
memelankan suaranya.

"Enggak kok Bi, ada apa?"

"Non Aileen sakit pak. Ini mau saya bawa ke


rumah sakit, saya harap bapak bisa datang karena
saya mau menjelaskan sesuatu pada bapak."

"Baik, kita ketemu di rumah sakit saja."

***

Bibi berhasil membawa Aileen keluar dari


rumah setelah meminta izin pada sang majikan,
dengan dalih agar Aileen bisa membantunya
membawakan belanjaan.

Kini Aileen dan Bibi berjalan menyusuri


koridor rumah sakit. Hingga mereka masuk ke
dalam ruangan dokter.

Dokter mengatakan jika Aileen harus di


rawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat
memerlukan perawatan dokter. Bibi semakin
khawatir.
Kini mereka sudah berada di kamar inap
Aileen.

"Udah Bi, nggak usah cemasin Aileen.


Aileen kuat kok, kan Bibi yang ajarin Aileen buat
kuat hadapin semuanya." Ujar Aileen dengan
senyuman di wajah pucatnya.

Bibi yang tidak kuat pun menangis. Bibi


sangat tahu jika senyuman Aileen hanyalah
senyuman palsu.

Pintu kamar diketuk dari luar. Bibi


membukakan pintu tersebut dan terlihat sosok pria
paruh baya yang sudah sangat lama Aileen
rindukan.

Pria yang selalu Aileen mimpikan dalam


tidurnya. Yang selalu Aileen sebut di dalam doa-
doanya. Papa kandung nya yang selama ini di
jauhkan dari Aileen.

"Papa!" Teriak Aileen dengan gurat bahagia.


"Jangan bangun sayang.." Ucap Papanya
sembari melangkah mendekat ke arah ranjang.

"Aileen kok bisa sakit sih?" Tanya sang papa


seraya mengelus rambut putrinya dengan sayang.

"Aileen cuma kecapekan aja pah." Bohong


Aileen. Papanya hanya mengangguk.

“Oh iya pak, kata dokter ada yang harus


dibicarakan.” Ujar Bibi berbohong, agar bisa
membicarakan mengenai apa yang dialami Aileen
selama ini dengan papa kandungnya.

***

“Sejak kejadian itu, Non Aileen harus


menggantikan sekolah Non Airish, pak. Dan jika
saya lihat, ibu seakan-akan menyalahkan
semuanya pada Non Aileen. Non Aileen dituntut
buat dapetin beasiswa untuk Non Airish.” Terang
Bibi panjang lebar saat mereka sudah berada di
luar kamar inap Aileen.
Setiap hal yang terjadi mengenai Aileen
sudah Bibi ungkapkan pada Papa kandungnya.

Bibi tidak ingin berniat buruk, tetapi dia


sudah tidak tega melihat penderitaan Aileen. Bibi
ingin Aileen mendapatkan kebahagiaannya, tanpa
kekangan dan tuntutan dari mamanya.

“Saya nggak nyangka dia bisa berbuat


seperti itu pada putrinya.” Papa menggeleng
marah.

“Saya akan bawa Aileen tinggal bersama


saya.” Lanjutnya.

***

“Mah, Kak Aileen mana?” Tanya Airish yang


seharian ini tidak melihat Aileen.

“Tadi ikut Bibi ke pasar.” Jawab Mama.

Pintu rumah diketuk dengan keras dari luar.


Dua orang yang tengah duduk bersama di ruang
keluarga pun terkesiap.
“Siapa sih, ketuk pintu ga ada sopan
santunnya!” Ucap Mama marah.

Mama membuka pintu dan bersiap untuk


memarahi sang pengetuk yang tidak sopan itu.

Tetapi Mama malah bungkam.

“Tunjukin di mana kamar Aileen!” Papa


menatap tajam ke arah Mama.

“Siapa mah?” Airish mendadak kaku saat


melihat Papanya.

“Papa?” Ujar Airish dengan binar bahagia.

“Airish bisa tunjukin ke Papa mana


kamarnya Aileen?” Tanya Papa dengan raut datar
tanpa ekspresi.

“Ada perlu apa anda dengan Aileen?” Tanya


mama sinis.

“Saya akan membawa Aileen tinggal


bersama saya.” Ucap Papa santai.
“Atas dasar apa anda mengambilnya dari
saya?” Tanya Mama sembari berkacak pinggang.

“Karena anda sudah membuat putri saya


menderita di sini. Saya tahu semuanya.” Jawab
Papa.

Mama terdiam. Apakah selama ini Aileen


memberitahukan semuanya pada Papanya?

“Dasar anak ga tau diri!” Mama menggeram


kesal.

“Anda yang tidak tahu diri! Orang tua mana


yang demi mewujudkan masa depan salah satu
putrinya, rela mengorbankan masa depan putrinya
yang lain?” Cerca Papa dengan tatapan tajam dan
rahang yang mengetat.

“Apakah anda pantas disebut ibu, saat anda


tega mengurung anak selama dua malam tanpa
memberinya makan?” Papa terkekeh sinis.

“Ibu tiri saja tidak sekejam anda.” Ucapan


Papa berhasil menohok hati mantan istrinya itu.
“Pah.. Mama nggak jahat. Mama cuma mau
Airish bisa kuliah di luar negeri, itu aja.” Bela Airish
dengan mata berair. Ia menangis sejak tadi.

Namun kedua orang tuanya sibuk


bertengkar hingga melupakan bahwa Airish masih
ada di antara mereka.

“Iya, Mama mu nggak jahat ke kamu Rish.


Tapi ke Aileen? Untuk kuliah di luar negeri, tanpa
beasiswa pun kamu bisa kuliah di sana. Orang tua
kamu mampu, Papa bisa sekolahin kamu di sana.”
Ucap Papanya lagi-lagi dengan senyuman yang
membuat Airish takut.

“Papa jahat! Papa nggak bisa ngertiin


Airish.”

Airish menunjukkan tangisnya di depan sang


papa.

“Papa nggak jahat, Rish.. Tetapi kalian yang


udah bikin Papa jahat. Kalian lukain Aileen secara
mental dengan menuntutnya bisa mendapatkan
beasiswa.
Papa ga pernah bisa lihat anak Papa disakiti
apalagi oleh orang yang sedarah dengan dirinya
sendiri.” Ujar Papa dengan senyum miris.

“Tapi Aileen juga lukain Airish, Pah.” Ucap


Airish tidak terima.

“Oh iya? Kecelakaan itu apa Aileen yang


rencanain? Apa Aileen yang teledor bawa
mobilnya?” Papa menggeleng dan terkekeh.

“Bukan kan? Udah lah, Rish. Papa udah tau


semuanya. Dari yang mama kamu membedakan
Aileen karena menganggap Aileen lah penyebab
Azka tenggelam dulu, dan sekarang kamu. Apa
kalian nggak sadar kalau selama ini Aileen juga
terbebani dengan rasa bersalah?” Ucapan Papa
membuat kedua orang di hadapannya mengernyit.

Papa menatap kecewa ke arah dua wanita


itu. Papa tidak ingin pilih kasih dengan kedua
putrinya di sini. Tetapi perlakuan mantan istrinya
pada salah satu putrinya itu membuat papa murka.
Papa juga sedih melihat keadaan Airish saat
ini. Dia tidak ingin putri-putrinya mengalami
keadaan ini.

Tetapi dengan menyalahkan dan merampas


mimpi Aileen bukanlah solusi dari masalah ini.

“Saat dia masih sedih karena kehilangan,


Mama mu malah menyalahkannya hingga tidak
mempedulikannya. Dia masih sangat kecil untuk
mengalami ini semua.”

Dua orang itu hanya bungkam dengan


kepala tertunduk.

-Giliran Aileen-

“Sabar. Ingat, Tuhan selalu punya kejutan untuk


kita.”

Beberapa bulan kemudian.


Seorang gadis dengan pakaian wisuda
tengah berjalan dengan santai nya di sepanjang
koridor.

Aileen yang dulunya sempat diremehkan,


Aileen yang katanya nakal, bodoh, nyatanya
sekarang sudah berhasil mendapatkan ijazah untuk
adiknya.

Aileen telah berjuang demi beasiswa Airish,


begadang demi mengerjakan tugas-tugas dan
belajar agar dapat memperoleh nilai baik.

Papa pernah memintanya berhenti sekolah


dengan identitas sang adik, tetapi karena Aileen
sudah berjanji pada Airish, Aileen harus
melanjutkan apa yang sudah ia mulai.

Aileen ingin bertemu Airish..

Aileen ingin memeluk Airish..

Aileen ingin bersama mama..

Ya, mama.. Aileen kangen mama..


Terlihat Aileen menolehkan kepalanya ke
belakang dengan raut muka terkejut.

"Ya ampun pah, Aileen kira siapa." Ucapnya


kaget sambil memegangi dadanya. Aileen
tersenyum manis ke arah sang papa.

"Papa bangga sama kamu, Aileen. Kamu


rela melakukan semua ini demi Airish." Kata papa
sambil berkaca-kaca.

"Aileen sayang Airish, dan Aileen ga akan


pernah biarin siapapun ngehancurin impian Airish
untuk jadi dokter sekalipun itu Aileen sendiri."
Ucapnya sembari tersenyum sendu.

Papa mengelus lembut surai rambut Aileen.


Dari dulu ia selalu yakin bahwa Aileen juga bisa
mendapatkan masa depan yang baik. Meskipun
harus melalui ujian yang tak mudah ini.

"Sekarang kita ke mama?" Ajak papa.

"Papa tunggu aja dimobil, Aileen mau


pamitan sama temen-temen dulu." Jawab Aileen
yang membuat papa menganggukkan kepala
kemudian berjalan pergi.

Ketika Aileen berbalik, betapa terkejutnya


dia kala langsung mendapati sosok Rean disana.

Kali ini ia takkan bersandiwara lagi. Sudah,


semuanya sudah selesai. Aileen sudah kembali
dan sekarang semuanya berhak tau.

Aileen berjalan mendekati Rean yang tengah


menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca.

"Siapa Aileen? Dan apa hubungannya sama


lo?" Tanya Rean langsung, sedangkan Aileen
hanya menyunggingkan senyum tipis saja

"Gue Aileen dan gue bukan Airish. Maaf, tapi


itu kenyataannya." Ucap Aileen santai.

Rean mengerutkan dahinya bingung.


Maksudnya apa?

"Beberapa bulan lalu Airish kecelakaan. Dia


ga bisa sekolah, dan gue kembarannya, Aileen.
Gue yang ngegantiin dia. Maaf, Rean.."
"Lo udah nipu semua orang, Rish ah maaf
maksud gue Leen.."

"Gue tau lo kecewa, bahkan nanti kalau


temen-temen Airish tau mereka juga pasti kecewa.
Tapi gimana lagi? Udah terjadi bukan? Dan bagi
gue, kecewa atau enggak nya kalian sama sekali
ga penting bagi gue."

"Termasuk gue?" Tanya Rean.

"Lo bisa pikir sendiri. Kalaupun lo punya


perasaan sama gue, itu artinya lo sayang Airish.
Karena selama ini, yang lo tau gue adalah Airish.."
Ucap Aileen pelan.

"Sekolah lo gimana? Ini ijazah atas nama


Airish kan? Cita-cita lo?" Tanya Rean beruntun.

"Sejak Airish kecelakaan, gue harus


mengesampingkan cita-cita gue, Rean. Apa gue
bisa bahagia di saat adik gue berantakan? Gue
juga homeschooling untuk ijazah gue sendiri. Gue
butuh homeschooling karena gue dan Airish beda,
gue bodoh, Rean.." Ujar Aileen dengan kekehan.
"Lo pinter. Kalau lo bodoh, lo gamungkin
bisa dapetin beasiswa dokternya Airish. Lo berhak
gapai cita-cita lo, Aileen." Ucap Rean yakin.

"Iya gue tau, Rean. Lo marah sama gue?"


Tanya Aileen hati-hati.

"Marah engga, tapi kalau kecewa itu udah


pasti kan?" Ucap Rean menohok yang direspon
Aileen dengan anggukan kecil.

"Gue pergi yaa..jangan cari gue, karena gue


mau mulai semuanya dari awal."

"Hati-hati.."

***

Mama, Airish dan ayah menatap kedatangan


papa bersama Aileen dengan tatapan kaget.

"Ngapain kamu datang lag--"

“Impian Airish akan segera tercapai. Airish


bisa pergi untuk kuliah di Amerika bulan depan.
Menjadi dokter sesuai yang mama mau." Potong
Aileen cepat.
Mereka semua terdiam. Suasana tiba-tiba
menjadi hening. Airish yang sudah bisa berjalan
dengan normal langsung berlari mendekati Aileen.
Mendekap erat kakaknya itu.

Mereka berdua saling melepas kerinduan.

"Aileen berhasil, Rish.." Bisik Aileen pada


Airish.

Airish menangis sesenggukan membuat


Aileen melepas pelukannya kemudian mengelus
punggung gadis itu, berusaha untuk
menenangkannya.

"Ka--mu?.." Tanya mama terbata-bata.

Aileen menyerahkan sebuah ijazah dan


surat beasiswa kepada Airish. Semua itu membuat
mamanya terdiam.

Wanita paruh baya itu terdiam, matanya


berkaca-kaca. Dia mengira bahwa Aileen sudah
membongkar semuanya. Sungguh, ia tak
menyangka bahwa Aileen masih melanjutkan
sandiwaranya demi ijazah dan beasiswa untuk
Airish.

Aileen melepas toga wisudanya. Dengan


senyum yang masih mengembang ia merapikan
anak poni Airish kemudian memasangkan toganya.

Airish tersenyum lebar sedangkan


mamanya sudah tak sanggup lagi melihat semua
ini.

"Semua sudah selesai kan mah? Aileen mau


balik jadi diri Aileen sendiri, Aileen capek mah.."
Kata Aileen dengan senyum singkat. Matanya
menatap sendu sang mama.

Ingin sekali ia menghambur ke dalam


dekapan hangat yang sudah lama tidak pernah lagi
bisa ia rasakan.

Aileen ingin bisa seperti anak gadis lainnya


yang bisa dengan mudah menumpahkan segala
beban dengan mengobrol bersama kedua orang
tuanya.
Tetapi Aileen hanya bisa menyimpan semua
itu sendiri. Dia sadar, dia bukan Airish yang sangat
diperhatikan oleh mama. Ia hanya Aileen, Aileen
yang tidak mungkin bisa menjadi Airish.

"Ah? I-iya sudah selesai." Jawab mama


terbata-bata.

"Aileen pulang dulu ya mah, Rish?" Pamit


Aileen dengan mata berkaca-kaca.

Ayah tirinya tersenyum menatap Aileen,


sedangkan mamanya langsung mengalihkan muka
tak mau merasa kasihan pada Aileen.

"Pah, ayo.." Ajak Aileen pada papanya.

***

Langkah Aileen terhenti ketika namanya


dipanggil, padahal selangkah lagi ia akan
memasuki pekarangan rumahnya.

"Sekarang giliran kamu, Aileen."

Aileen mengerutkan dahinya bingung, tak


faham oleh apa yang diucapkan oleh papanya.
"Papa sudah siapkan tiket ke Singapura,
kamu bisa daftar dan kuliah di sana. Kejar apa
yang kamu mau, berusahalah demi masa depan
kamu. Untuk Aileen sendiri.”

-END-

“Jangan malas, ingat yang pengen sukses bukan


cuma kamu!”

Hari berhari berlalu menjadi bulan, dan bulan


berlalu menjadi tahun. Kini Aileen mulai
menyibukkan dirinya dengan banyak kegiatan
kampus. Sekarang Aileen tengah menempuh studi
jurusan kedokteran.

Simpel, alasannya ia ingin menyelamatkan


nyawa orang karena dahulu ia pernah merenggut
satu nyawa.

Sekarang Aileen belajar bukan untuk Airish


lagi, tapi untuk dirinya sendiri. Bahkan saat ini ia
sudah berhijrah dan mengenakan hijab.

Sekarang inginnya hanya satu, yaitu untuk


segera mendapatkan gelar dokter.

Hijrah itu.. perjalanan yang indah dan


menyenangkan namun penuh tantangan. Dan
hidayah itu tidak untuk ditunggu melainkan
dijemput.

Saat ini pukul 20.00 di Singapura, dan Aileen


masih berkutat dengan tugas-tugas kampusnya
dengan sesekali melirik ponsel siapa tau ada pesan
dari sang papa.
Bicara soal papa, sekarang beliau sudah
menikah lagi. Papa sama seperti mama, ia juga
berhak bahagia. Begitu juga dengan dirinya dan
Airish.

Aileen yakin Airish pasti sukses. Beberapa


bulan kemudian mungkin adiknya itu juga akan
lulus dengan mendapat gelar dokter sama seperti
dirinya.

Tapi nyatanya, tanpa Aileen, mama dan


ayah tirinya tau, Airish tidak benar-benar sedang
mengejar cita-citanya.

Gadis itu sudah lama di D.O dari kampus.


Nanti jika Aileen tau, ia pasti akan sangat teramat
kecewa. Tentu saja perjuangannya tidaklah mudah
untuk mendapatkan beasiswa Airish.

Setiap bulan mama selalu mengirim Airish


uang untuk keperluan disana. Tapi nyatanya ia
tidak sedang kuliah.

Di Amerika ia hanya menghabiskan waktu


untuk bermain.
Airish memang pintar, tapi selama dirinya
sakit yang menerima semua pelajaran dan
mengikuti bimbel adalah Aileen. Yang mengikuti tes
beasiswa pun juga Aileen, bukan dirinya.

Di bulan pertama kuliah, Airish masih bisa


mengejar ketertinggalannya. Tapi beberapa bulan
kemudian ia benar-benar tak sanggup. Hingga
akhirnya karena sering tidak mengerjakan tugas
Airish pun di D.O. dari kampusnya.

-Ekstra Chapter-

Aileen dengan jas dokternya melangkah


tergesa menuju ke ruangan rawat pasiennya. Ia
harus memeriksa seorang pasien dengan keluhan
sakit kepala.
“Gimana sus?” Tanya Aileen tanpa melihat
keadaan sang pasien terlebih dahulu.

“Ibunya nggak mau dirawat dok, bahkan


dokter lain pun udah angkat tangan
menanganinya.” Keluh sang suster.

“Aileen?”

Aileen tidak asing dengan suara ini. Dia pun


menoleh ke arah orang yang memanggilnya.

“Mama?” Aileen berjalan mendekat ke


ranjang dimana sang mama berada.

“Ini beneran Aileen?” Mama memegang


lengan Aileen. Dia tidak percaya bahwa wanita
cantik dengan jas dokter di hadapannya ini adalah
putrinya. Dengan ekspresi senang bercampur haru
melihat perubahan sang putri yang mengenakan
hijab mama meneteskan air mata.

Sungguh malu dirinya saat melihat


perubahan Aileen. Di umur yang masih sangat
muda Aileen sudah bisa berhijrah. Sedangkan dia,
di umur yang setua ini masih saja belum ada
keinginan untuk menutup auratnya.

“Iya mah. Mama kok bisa ada di sini?”

Sang Mama hanya tersenyum. Tidak


menjawab pertanyaan dari Aileen.

“Mama ikut seneng, Leen. Kamu udah jadi


dokter sekarang.” Ucap Mama dengan senyuman
bahagianya.

Aileen tak menyangka, respon mamanya


sesenang ini saat melihatnya berhasil menjadi
seorang dokter. Ia pikir kebahagiaan mama hanya
terletak pada kesuksesan Airish saja, bukan Aileen.

“Airish mana mah?” Tanya Aileen.

Mama menunduk seketika.

“Airish gagal, Leen. Dia di,D.O dari


kampusnya karena sering nggak ngerjain tugas.
Airish nggak paham materi kuliahnya, dan dia
bohongin Mama. Dia nggak bilang ke mama kalau
udah dikeluarkan, dia habisin uang bulanan yang
mama kirim buat seneng-seneng di sana.” Ucap
mama dengan raut sedih.

“Mama salah Leen.. Mama udah ngorbanin


masa depan kamu demi sesuatu yang sia-sia ini.”
Lanjut mama dengan mata berkaca-kaca.

Aileen memeluk Mamanya erat.

“Mama nggak boleh ngomong gitu.”

“Tapi semua yang udah kamu perjuangin


berakhir dengan cuma-cuma, Leen. Mama minta
maaf udah maksa kamu dulu. Udah buat Aileen
tersiksa dengan semua kemauan mama..” Mama
menangis sesenggukan di pundak Aileen.

“Aileen memang pernah kecewa dan


menganggap mama hanya mementingkan Airish
saja, tapi itu dulu. Saat Aileen masih belum bisa
berfikir dewasa.” Ujar Aileen dengan senyumannya.

Dia sudah melupakan segala penderitaan


yang pernah ia rasakan di masa lalu.
Jika tidak ingin sakit, untuk apa mengingat
luka dan masalah? Bukannya menyembuhkan
malah semakin menambah perih dan rasa sakit
saja.

“Aku sadar, menganggap diri sendiri yang


paling tersakiti hanya akan membuat luka semakin
sulit untuk disembuhkan.”

Sekarang keinginan Aileen adalah


membahagiakan kedua orang tuanya. Aileen tidak
memedulikan seberapa banyak luka yang pernah ia
dapatkan, yang harus ia lakukan saat ini adalah
menyambut kebahagiaan.

Info Penulis

Ana Kurniawati, Lahir di kota Sidoarjo pada


tanggal 25 Februari 2005. Kerap disapa dengan
panggilan Nana atau Ana. Remaja yang menyukai
segala hal yang berbau korea.
Nur Feliza Firdianti, Lahir di kota Sidoarjo
pada tanggal 9 Oktober 2004. Kerap disapa
dengan panggilan Eliz. Nulis dan ngarang cerita itu
hobinya.

Kalian bisa mutualan sama kita melalui Instagram

Ana : @yyawzzzn

Eliz : @nurfelizaf_

Anda mungkin juga menyukai