Anda di halaman 1dari 10

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

*Berlian...
Karena sungguh, bersama dengan kesulitan ada kemudahan. Sungguh, Bersama dengan kesulitan ada kemudahan. Yakinlah! ------------------------------------------------------------------------------------------Teh Liaa! Aku sedikit terkejut mendengar teriakan seseorang memanggilku. Spontan saja kutolehkan wajahku ke arah kanan, ke halaman rumah minimalis bercat merah hati. Namun sebelum retina mataku menangkap rupa sosok yang memanggilku, terlebih dahulu otakku sudah mengirimkan satu nama ke benakku. Berlian. Benar saja. Bocah perempuan berusia kurang lebih empat tahun itu sedang melihatku dari jarak tujuh meter. Lengkap dengan senyum lesung pipitnya. Duh.duh.duuh.. manisnyaaa sepupuku ini! Selanjutnya kubalas sapaan Lian, panggilan akrab untuk Berlian, dengan tersenyum lebar. Kubelokkan pula langkah kakiku menuju halaman rumahnya, tempat Lian berada. Selagi berjalan, kuperhatikan Lian dengan lebih seksama. Ia sedang jongkok di samping kakak sulungnya, Alfi, yang sedang mengutak-atik motor bebek keluaran sembilan puluhan miliknya. Sekejap saja aku terhenyak begitu melihat baju yang dikenakan Lian. Rok model lipat berwarna merah yang panjangnya selutut dan dipadukan dengan kaus dalam yang warnanya cukup jauh dari warna asalnya yang putih. Hatiku dibuat miris begitu melihat beberapa luka goresan di lutut dan lengan Lian. Jumlahnya kurasa sebanding seperti yang biasa dimiliki anak lelaki seumurnya. Boneka perca yang tak terawat... desahku dalam hati. Sesampainya aku di dekat Alfi dan Lian, aku menyapa mereka. Sibuk bener, Fi. Awas, jangan sampe salah masukin baut. Entar yang ada, baru juga di-starter motornya udah langsung ancur berantakan Alfi menoleh sekilas sebelum tersenyum menanggapi candaanku. Saat itu, ia masih asyik berbaring di bawah motornya sementara kulihat Lian asyik mengumpulkan baut-baut yang berserakan di dekatnya.

terjemah Q.S. Al- Insyiroh (94) ayat 5-6

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Enggak lah, Teh. Ada juga Teh Lia. Udah gerang masih aja pake sandal warna-warni! Aku kaget. Langsung saja kulihat sandal yang kukenakan. Benar. Sandal cap Shallow yang kukenakan memang tak serasi. Yang kanan bertali merah sementara yang kiri bertali Kuning. Spontan saja aku tertawa kecil mengiyakan kecerobohanku. Hahaha! Iya! Ampun deh. Ini pasti karena buru-buru. Habis warnanya mirip sih. Karena Emak pingin kembaran pas beli sendal, makanya kita beli sendal semerek yang cuma beda warna talinya. Jadi gini deh akibatnya! Malu euy!, tambahku dalam hati. Alfi kemudian tak lagi membalas kilahku. Mungkin memberiku kesempatan untuk menetralisir rasa malu yang kurasakan. Akhirnya kuputuskan untuk beralih memerhatikan Lian. Sesaat tadi ketika aku menertawakan kecerobohanku, Lian hanya menatapku sebentar dan tersenyum sebelum akhirnya kembali berkutat dengan bautbautnya. Lian lagi apa? tanyaku kepadanya setelah ikutan berjongkok. Lian tak menolehkan wajahnya ketika menjawab pertanyaanku dan masih sibuk dengan baut-baut di tangannya. Lian bikin kelas, Teh. Aku sedikit bingung dengan jawaban Lian itu. Alhasil kuputuskan untuk kembali melontarkan tanya. Berharap bisa memahami maksud dari misteri pikirannya tentang kelas itu. Kelas apa, Lian? Kali ini Lian menoleh sembari menunjukkan dua buah baut di tangannya. Dengan lagak seorang guru, Lian menjelaskan. Ini lo, Teh. Kelas besaal... ia menunjukkan baut berukuran agak besar di tangan kanannya. ...Sama kelas keciiil dan ia menunjukkan baut berukuran lebih kecil di tangan kirinya. Ooohh.. iya, ya. Aku tersenyum. Tiba-tiba saja merasa kembali kalah. Sebelumnya aku sudah dibuat malu oleh kejelian Alfi terkait sandalku yang tak serasi. Kali ini aku kembali

udah gerang = sudah besar

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

dibuat malu karena kalah oleh daya imajinasi Lian, yang hanya seorang bocah empat tahun. Sekilas kulihat Alfi ikut tersenyum. Aih.. aiiihh... dua kakak beradik ini emang jago bikin orang malu ya! Umpatku pelan dalam hati. Teh Lia! Spontan kembali kutengokkan wajahku ke arah asalnya suara. Lagi-lagi aku sudah mengetahui milik siapa suara itu sebelum kulihat jelas sosoknya. Ipin. Yap! Dugaanku benar. Tepat di muka pintu rumah yang halamannya kupijaki ini telah berdiri Ipin, adik lelaki pertama Alfi. Perawakannya yang lebih tinggi dan lebih berisi seringkali membuat orang salah mengira ia sebagai sulung di keluarganya. Yo! Apa kabar, Teh? Entah karena pembawaan Ipin yang selalu ceria, atau mungkin juga karena mimik wajah rupawan miliknya yang selalu ekspresif sehingga membuat orang-orang di sekitarnya merasa menjadi muda. Seperti aku saat ini. Aku tak bisa menghentikan otot di wajahku yang mulai membuat senyuman lebar di detik setelah kudengar suara Ipin yang memanggilku. Tak cukup hanya dengan senyuman lebar. Aku pun turut meng-copy gayanya dengan melambaikan tanganku ke arahnya. Hampir saja aku lupa untuk menjawab sapaan Ipin karena terlena oleh bara semangat miliknya yang kelewat berlebih. Alhamdulillah Pin, sehat! Eh, Upin-nya mana? kembali kulontarkan candaanku. Detik berikutnya aku sadar. Adalah kesalahan jika berani mencandai Ipin tentang Upin. Karena di samping Ipin bukanlah anak kembar seperti yang ditayangkan di televisi, Ipin juga jauh lebih cerdik dalam membalas candaan dibandingkan abangnya, Alfi. Simak saja ucapannya berikut ini. Setelah hanya tersenyum tipis menanggapi candaanku, ia melontarkan candaan balasannya untukku. Ishk.. ishk.. iiisshkk... (untuk yang satu ini, gayanya sungguhan mirip seperti Si Ipin yang di televisi. Lengkap dengan gelengan kepalanya.) ...hari ini bu guru lagi seneng sama pelangi ya? Itu baju merah. Rok ijo. Kerudung biru. Eeehhh,, sendalnya pelangi pula di kanan-kiri! Lagi trend ya, Bu?

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Kali ini wajahku jelas memerah karena malu. Tak banyak yang bisa kukatakan untuk membela diri. Alhasil aku hanya bisa ikut tertawa bersama Ipin. Bahkan Alfi dan Lian pun ikut menertawakanku. Keceriaan kami di penghujung sore bulan Januari itu terasa tak akan berakhir. Hingga kemudian kami berempat dikagetkan oleh sebuah suara yang berasal dari dalam rumah. KROMPYANG... Pyang.. Pyang.. Pyang... Aku terkejut. Sangat. Terlepas dari penyakit lamaku yang memang mudah terkejut, suara seperti perkakas dapur yang jatuh itu membuatku teringat pada peristiwa beberapa bulan yang lalu di tempat yang sama. Di rumah ini. Bedanya, dulu peristiwa itu berlangsung di waktu selepas magrib. Peristiwa yang masih kuingat dengan jelas rinciannya, bahkan hingga saat ini. ---------------------------------------------------------------------------------------Saat itu aku hendak mengantarkan rok milikku yang resleting-nya bermasalah untuk diperbaiki oleh Bi Sari, yang notabenenya adalah seorang penjahit baju. Baru saja langkahku tiba di muka pintu rumah Bi Sari, terdengar suara nyaring perkakas yang jatuh. Lebih tepatnya mungkin seperti suara perkakas yang dibanting. Aku terkejut mendengar suara yang asalnya dari rumah Bi Ambar, rumah di seberang rumah Bi Sari itu. Dan tak hanya aku saja yang terkejut, tak lama Bi Sari pun muncul dari dalam rumah demi mengetahui apa yang sedang terjadi. Lia? Ngapain di situ? Tadi suara apaan, Li? Kurang tahu juga, Bi. Asalnya sih dari rumah Bi Ambar deh kayaknya. Perbincangan kami ini tak lama diinterupsi oleh suara kecaman dan teriakan yang berasal dari rumah Bi Ambar. Bilang! Bilang sama saya! Kalo perlu apa-apa bilang sama saya! Gak kayak gini! Saya udah kasih uang gaji saya semuanya ke kamu! Itu banyak! Buat keperluan apa sih sampe kamu hutang ke rentenir segala? Bilang, Hah! Gak cukup! Lu pikir emang duitnya gua kemanain? Ya buat biaya sekolah anak-anak lah! Terus mereka makan pake apa? perlu duit lah! Gajiku tiga juta, Mbar! Gak sedikit! Terus ke mana uang empat juta yang kamu pinjam dari rentenir sialan itu, hah? Y-Ya Habis buat ini-itu lah! Uang SPP Alfi juga? Kamu embat uang sekolah anakmu, Mbar?! Tega kamu!

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Mendadak kecaman dan teriakan itu berhenti. Tanpa kusadari aku sudah meremas ujung jaketku. Kantung kresek berisi rok milikku yang hendak kuperbaiki pun entah sejak kapan sudah berada di atas dipan. Kutatap Bi Sari yang sama terhenyaknya sepertiku. Kami saat itu masih ada di depan pintu sembari memandang cemas ke arah rumah Bi Ambar. Tanpa kami sadari beberapa orang lain juga sudah keluar dari rumahnya masing-masing dan memandang ke arah yang sama. Ada Mak Yati, Bi Enjum, Bi Amah, Mang Usep, dan sepupu-sepupuku lainnya. Selama beberapa saat kami semuanya tak berani mengambil tindakan. Li, panggil bapakmu Li. Cuma Ka Abdul yang bisa melerai pertengkaran ini. Cepetan, Li! Kudapati kegentingan dalam suara Bi Sari ketika menyuruhku untuk memanggil bapak. Aku pun akhirnya bersegera pulang ke rumah untuk memanggil bapak yang kukira sedang tidur. Aku berlari menerabas angin malam. Gugup, cemas dan rasa takut akan apa yang sedang terjadi pada keluarga Bi Ambar membuat langkahku tertatih-tatih. Dan begitu aku sudah sampai di rumahku yang jaraknya sekitar seratus empat puluh meter dari kompleks rumah bibi-bibiku, segera kubangunkan bapakku yang memang benar sedang tiduran. Butuh waktu semenit lebih lama dari yang seharusnya bagiku untuk menceritakan peristiwa yang sedang terjadi kepada bapak. Tapi tak lama setelahnya bapak bersegera menuju rumah Bi Ambar. Dan aku mengikuti langkah bapakku dari belakang. Sesampainya di depan rumah Bi Ambar, nampak suasana mulai berubah. Saat itu bibi dan paman-pamanku sudah mulai berkumpul di depan pintu rumah Bi Ambar. Bapak segera saja membelah kerubungan di depan pintu itu dan memasuki rumah. Aku sendiri memutuskan untuk berdiri di samping Bi Enjum. Adik bungsu bapakku ini tak terpaut jauh usianya denganku, jadi kami sama-sama merasa takut untuk ikutan bertindak sesuatu. Dari dalam rumah, suara kecaman milik Mang Anda dan Bi Ambar nampak mulai mereda. Hanya terdengar tangisan Lian yang sekilas kulihat berada dalam pelukan ibunya. Bi Ambar juga terlihat masih menangis. Di sofa ruang tamu itu, ia memeluk Lian sembari mengelus kepala putri bungsunya itu dengan perlahan. Sabar, Nda. Kita bisa bicarain baik-baik. Lerai bapakku. Tapi Kak, Ambar udah kelewatan! Dia pinjam uang rentenir tanpa bilang ke saya. Parahnya, uang SPP Alfi juga diembatnya. Ibu macam apa dia! Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma 5

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Iya. Kita tahu itu. tapi kan... Udah! Saya gak mau urusin dia lagi! Terserah dia mau apalah. Saya capek! Mang Anda beranjak ke arah pintu. Kali ini bibi dan pamanku yang tadinya berdiri di dekat pintu pun mulai menyingkir. Beberapa dari kami mencoba menghalangi. Sabar, Nda.. Abah Engkus, suami dari Mak Yati mencoba menghentikan Mang Anda. Istigfar, Nda.. Bi Amah, Adik keempat Bapakku pun turut mencegah langkah Mang Anda. Tunggu dulu, Kak Nda.. dan kali ini adalah Mang Usep, putera sulung dari Mak Yati. Huwaaaa.... dan ini adalah tangisan Lian yang semakin kencang mendapati bapaknya yang hendak pergi. Di antara semua kepelikan suasana itu, aku kebingungan. Tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu. Yaudah! kalo lu mau pisah, gua terima! Suara tegas milik Bi Ambar itu bak seperti minyak bagi api yang sudah berkobar dalam diri Mang Anda. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Mang Anda yang sudah mau keluar dari rumah akhirnya berbalik dan kembali menghadap istrinya itu. Jadi itu yang kamu?! Oke. Kalo gitu anak-anak ikut sama saya! Ayo Lian, ikut ayah! Suasana menjadi kian tak tertahankan ketika Mang Anda menarik paksa Lian dari pelukan ibunya. Banyak hal terjadi secara bersamaan di detik berikutnya. Bapakku dan Abah Engkus yang mencoba menahan lengan Mang Anda. Bi Ambar yang semakin memeluk erat Lian. Alfi, Ipin, dan Aldi yang memegang kaki ayahnya yang sedang kalap sambil menangis sesenggukan. Anda! Sabar! Kasihan anak-anak! Kita bisa bicarakan ini baik-baik! Istighfar, Nda! Istighfar! Itu adalah suara bapakku. Kali itu, Mang Anda mau berhenti. ia kemudian melihat ketiga putranya (Alfi, Ipin dan Aldi) yang menangis di kakinya. Ia juga melihat Lian, putri bungsunya yang masih menangis kencang di pelukan ibunya. Mang Anda mulai terdiam dan menepuk pelan kepala putra-putranya. Di waktu yang bersamaan, Bi Ambar pun mulai melonggarkan pelukannya terhadap Lian.

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Suasana tampak lengang selama beberapa saat. Hanya terdengar isakan pelan dari Lian yang terlihat mulai kelelahan. Melihat putrinya mulai tenang, Bi Ambar memecah keheningan di ruang tamu itu dengan berucap lembut. Lian.. Lian ngantuk, bobo dulu ya? Kami semua menatap ibu dan anak itu dalam diam. Masih sesenggukan, Lian bicara. hiks.. ayah.. hiks..mama.. udah... hiks... gak marah? Bi Ambar diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan menggeleng. ... ayah?.hiks. Kali ini Lian menggapaikan tangannya ke arah Mang Anda. Dan Mang Anda pun segera tersenyum dan meraih tangan Lian. Lian, bobonya sama Mak Yati dulu ya? Mama mau bikin susu dulu buat Lian. Sambung Bi Ambar. Gak mau.. Sama mama aja. Lian masih menolak bujukan ibunya. Sebentar aja kok, Lian. Mama bikinin susu cokelat kesukaan Lian dulu. Nanti mama bobo juga sama Lian.. ya? Dan di menit berikutnya, aku sudah berbaring di kamar bersama Mak Yati dan Lian di tengah kami. Lian masih sesenggukan ketika Mak Yati kipasi dan selalu menanyakan kapan ibunya datang. Sementara aku susah payah menguatkan hatiku untuk tidak menangis di hadapannya. Kuterka-terka apa yang sedang terjadi di ruang tamu yang baru saja kutinggalkan. Berharap segalanya terselesaikan dengan baik. Karena kusadari bahwa keputusan apa pun yang akan diambil oleh Bi Ambar dan Mang Anda malam ini, tentu akan memberikan dampak besar bagi kehidupan banyak jiwa. Terutama bocah perempuan yang terbaring di sampingku ini. Duh.. Rabbi... desahku dalam hati. Demi menghibur diriku sendiri, aku pun menyanyikan lagu nina bobo untuk Lian. Lian.. Teh Lia punya lagu bagus.. Teteh nyanyiin yaa... Dedaunan di pohon Dan angin yang menari Aroma hujan semalam Dan kubangan air.... ------------------------------------------------------------------------------------------------------- Teh Lia! Jiaah malah ngelamun! Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma 7

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Aku tersentak dari lamunan panjangku. Suara Ipin dan tepukannya di pundakku itu menghentikanku dari mengingat malam pertengkaran Mang Anda dan Bi Ambar. Tentu saja. Saat ini aku memang berada di halaman rumah, tempat berlangsungnya peristiwa tak mengenakkan bagi keluarga besarku beberapa bulan yang lalu. Tapi saat ini aku tak lagi merasa gugup, cemas ataupun takut seperti yang kurasakan saat itu. Bahkan, baru saja aku asyik bergurau dengan Alfi, Ipin, dan Lian. Eh! Hehee.. sorry, Pin. Jadi, barusan suara apa? tanyaku sembari tersenyum malu. Maaf ya Teh Li. Tadi Aldi nyenggol panci di meja. Berisik banget ya? Tiba-tiba saja kepala Aldi muncul di muka pintu untuk kemudian menghilang lagi ke dalam rumah. Aku sedikit terkejut. Woy, Di! Masak Mie-nya sekalian juga ya buat abang! Ipin berteriak ke arah rumah. Eh, gua juga mau, Di! kali ini Alfi ikut berteriak. Ia nampaknya sudah menyelesaikan reparasi motornya dan mulai beranjak merapihkan peralatan montirnya. Bellian juga mau, Bang Di! Ini adalah teriakan Berlian. Tak lama, dari dalam rumah Aldi ikut berteriak. Pada bayar yaa! Aku, Alfi, Ipin dan Lian tertawa lepas. Teh Lia mau Mie juga gak? tawar Alfi. Gak ah. Nanti disuruh bayar mahal lagi! Hahaha.. makasih, Fi. Tadi udah makan kok di rumah. Bang Alfi, Ipin mandi duluan ya. Yuk, Teh Li. Aku mengangguk pelan ke arah Ipin yang melangkah masuk ke dalam rumah. Saat itu Lian mulai sibuk mengukir gambar di atas tanah. Entah apa maksudnya, yang jelas buatku itu kelihatan seperti kue kuping gajah. Sementara Alfi masih sibuk merapihkan peralatan montirnya. Di menit berikutnya, entah karena angin apa tiba-tiba saja aku menanyakan kepada Alfi perihal ibunya. Fi, mama gimana kabarnya? Alhamdulillah sehat, Teh. Kemarin malam habis telpon. Katanya lebaran nanti gak bisa pulang Ooh... Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma 8

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Sudah. Aku tak lagi berani menanyakan perihal Bi Ambar lagi ke Alfi. Sudah cukup aku tahu bahwa Bi Ambar baik-baik saja bekerja di Arab Saudi. Aku juga kembali bersyukur bahwa Bi Ambar dan Mang Anda tak memutuskan untuk berpisah di malam pertengkaran itu. Demi anak. Begitulah kukira alasannya. Teh, Alfi ke dalam dulu ya naruh ini ucap Alfi sembari menunjuk peralatan montir-nya. Ya. Dan Alfi pun masuk ke dalam rumah meninggalkan aku berdua dengan Berlian. dedaunan di pohon... dan angin yang menali.. aloma hujan semalam dan kubangan ail... Aku tersenyum mendengar lantunan suara cempreng milik Lian. Wahh.. Lian udah hapal lagunya ya? tanyaku pada Lian. He. em. Lian udah hapal . Lian mengangguk. Lian mandi dulu. Abang udah selesai mandinya. Tiba-tiba saja Ipin sudah berdiri di muka pintu dengan pakaian yang sudah diganti. Kemudian kuacak pelan rambut Lian sebelum akhirnya kuajak ia mandi. Pinterrr... sekarang, Lian mandi dulu yuk! Biar waa..ngii.. Tanpa banyak kata, Lian mengangguk dan beranjak bangun. Sembari berjalan, kami menyenandungkan lagu Senandung Pagi bersama-sama dengan riang. Sementara dalam hati, aku melirihkan doa khusus untuk Berlian, Aldi, Ipin, Alfi juga untuk semua anak lainnya yang sedang ataupun pernah bersedih dikarenakan pertengkaran orang tua. Dedaunan di pohon Dan angin yang menari Aroma hujan semalam Dan kubangan air

(Semoga setiap dari mereka bisa merajut dunia mereka sendiri tanpa dihantui oleh bayangan kelamnya masa lalu.)

Kecipak ikan-ikan Geliyat ulat daun Aroma bunga taman Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma 9

Cerpen

Berlian

Vill. Amaliyah

Dan jernihnya embun

(Dunia di mana mereka mampu mewujudkan setiap mimpi dan meraih kebanggaan atas diri sendiri. Dunia di mana kedamaian dalam hati bisa menjadi laksana udara yang bisa dihirup di mana saja.)

Siul burung-burung pipit Bersahutan katak dan jangkrik Dengungan para lebah madu Di kepala putik (Tak lagi merasa takut. Tak lagi perlu merasa cemas akan perpisahan.)

Langit biru awan putih Berhiaskan lengkung pelangi

(Karena semuanya berbahagia dalam kebersamaan yang menentramkan.)

Cemerlangnya sinar mentari Di senandung pagi (Bersama keluarga terkasih.)

Ditulis dan diselesaikan pada, Rabu, 8 Januari 2014 Di rumah putih. Amaliyah.

lagu berjudul Senandung Pagi ini dikutip dari kumpulan lagu Songs to Heaven karya Mei.

Cp: sitiamaliyah416@gmail.com twit @liazuma fb: Liazuma

10

Anda mungkin juga menyukai