Anda di halaman 1dari 3

Aku memiliki sahabat sejati bernama Mirilea.

Kami bersahabat bagaikan kepompong tak


terpisahkan. Walaupun kami berbeda kelas, tetapi kami selalu bersama-sama pada saat
saat jam istirahat. Di mana ada Mirilea di situ ada aku. Kami sering berbagi apa saja, seperti
berbagi makanan, minuman, juga berbagi ilmu. Kami sering mendiskusikan tentang mata
pelajaran bersama-sama.
Pada suatu hari, tepatnya di hari Senin pagi. di Sekolah kami mengadakan upacara
pengibaran bendera merah putih. Aku berbaris di barisan kelasku, dan aku melihat di
deretan jejeran kelasnya Mirilea tak ada sosok cewek cantik berkulit sawo matang tersebut.
"Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada Mirelia di barisan kelasnya? Tidak seperti biasanya
Mirilea seperti ini." Hatiku bertanya-tanya.
Di dalam lubuk hatiku yang paling dalam dan pikiranku melayang-layang memikirkan
sahabatku tersebut. Sampai masuk ke dalam kelas dan Bu Septi (guru mata pelajaran
Matematika yang paling terkenal 'killernya') menerangkan tentang materi Matematika Bidang
Datar, itu pun aku sama sekali tidak fokus karena memikirkan sahabat sejatiku, Mirilea.
Sampai Bu Septi selesai menjelaskan pun aku tak bergeming.
Hingga bel istirahat berbunyi di jam istirahat inilah biasanya kami bersama-sama ke
kantin mencari jajanan untuk mengganjal lambung tengah kami, tetapi hari ini benar-benar
terasa begitu sepi dan diriku merasa sendiri di keramaian ruang kantin sekolah. Aku ambil
HP Androidku di dalam saku bajuku, dan aku mencoba untuk menelpon Mirilea. Aku telpon
berulang-ulang kali tapi tak sekalipun ia angkat. Aku coba menghubunginya lewat Wa.
Pesanku masuk di notifikasi HP-nya, tetapi tak dibuka sama sekali.
"Halo, Mirilea"
"Kenapa hari ini kamu gak turun sekolah?"
"kamu sakit kah?"
Sampai batas waktu pulang sekolah pun hatiku masih gundah gulana memikirkan
sahabatku tersebut. Hingga sampai di rumah, tetapi masih terpikirkan. Aku coba untuk WA
Mirilea lagi.
"Aku cemas, Mir."
"Kenapa telepon dan WA-ku gak kamu angkat dan balas?"
"Kabari aku ya, Mir, jika kamu sempat untuk pegang HP dan buka WA."
keesokan harinya, aku berharap mirilea turun ke sekolah. Dengan hati yang
berbunga-bunga, aku telusuri lorong lorong-lorong sekolah. Tanpa sengaja aku berpapasan
dengan teman sekelasnya Mirilea yang bernama Andi.
"Hai, Andi!" Seruku.
"Dari kemarin aku ga liat Mirilea, ke mana dia, Ndi?" Tanyaku khawatir.
"Hai juga, Lin." Sahut Andi.
lenggang beberapa saat.
"Loh, apa kamu ga tau? Apa Mirilea gak memberitahumu kalau dia lagi sakit?" Andi
melanjutkan pembicaraannya.
"Gak ada, Telepon dan WA-ku pun sampai saat ini belum di balasnya." sahutku lagi kepada
Andi.
"Selepas pulang sekolah, gimana kalau kita berkunjung menengok Mirilea di rumahnya,
Ndi? Ajakku.
"Iya, Lin, kabari saja aku jika kamu siap ke rumah Mirilea," Sahut Andi lagi.
Selepas pulang sekolah, aku dan Andi menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah
Mirilea, tetapi tidak lupa aku mengabari kedua orang tuaku terlebih dahulu, begitu pula Andi,
ia memberitahukan kakaknya jika pulang sekolah tidak langsung pulang, tetapi menengok
teman kami dahulu yang sedang sakit. Sesampainya kami di rumah Mirilea, kami berdua
bingung
"Apa yang terjadi di rumah Mirilea?" Batin kami.
Ada kursi berjajar tapi ada tenda menghadang panasnya cuaca hari ini, ada beberapa orang
yang hilir mudik lalu-lalang. Dengan hati yang masih dibalut seribu pertanyaan, kami berdua
pun memberanikan diri masuk ke dalam rumah Mirilea dan tak lupa mengucapkan salam
"Assalamualaikum." Ucap kami bersamaan.
"Waalaikumsalam." Terdengar sahutan suara wanita dari dalam.
"Oh… Nak Linda dan Andi." Kata Wanita tersebut yang tidak lain adalah Ibundanya Mirilea.
"Iya, Bu." Sahutku.
Kulihat pelupuk mata Ibunda Mirilea berkaca-kaca dan terlihat sembab. Dalam lubuk
hatiku inginku bertanya kepada beliau
"Kenapa, Bu? Apa yang terjadi?" tetapi lidah ini terasa keluh tak sanggup bertanya. Ku
biarkan beliau membimbing mengantarkan kami masuk sampai di dalam ruang tamu dan
kami dipersilahkan duduk.
Aku dan Andi masih diselimuti perasaan bingung, was-was, campur aduk rasanya
bergejolak di dalam sanubari kalbu kami. Di dalam hatiku hanya ada dua kata,
"Ada apa, ada apa, ada apa." Hanya itu saja yang terngiang-ngiang di kepalaku. Kulihat di
sekeliling rumah Mirilea. Tak ada sosok sahabatku tersebut. semangkin bertanya-tanya lah
di dalam hatiku ini. Hingga tiba saatnya Ibunda Mirilea akan berkata dengan menarik napas
dalam-dalam dan matanya yang sembab berkaca-kaca. Kulihat ada butiran-butiran air mata
jatuh menetes.
"Nak Linda dan Nak Andi, kalian berdua pasti bingung kan?" Kata Ibunda Mirilea.
"Iya, Bu, kami bingung," Sahutku.
"Maaf, Bu, kok dari tadi aku gak ada melihat "Mirilea, ya?" Tanyaku
Aku gelisah, ini lah ucapan yang inginku katakan sedari tadi yang membuat diriku
penasaran.
Betapa kaget dan tercengangnya kami berdua, setelah aku bertanya seperti itu.
Pecahlah tangisan Ibunda Mirilea. Kudekati dan aku dekap Ibunda Mirilea.
"Kenapa, Bu? Kenapa dengan Mir, Bu? Apa yang terjadi? Ayo jawab, Bu. Beritahu kami."
tanyaku, cemas sambil mengguncang-guncangan tubuh Ibunda Mirilea. Aku dan Andi pun
turut menangis walau tak tahu apa yang sedang terjadi.
"Mirilea telah meninggal, Nak Linda" Ucap Ibunda Mirilea dengan terbata-bata.
Seakan tersambar petir di siang hari. Seakan-akan runtuh dunia yang sedang kupijak ini
mendengar ucapan Ibunda Mirilea. Diriku tidak percaya apa yang aku dengar barusan.
"Benarkah apa yang barusan Ibu bilang?" Aku bertanya lagi dengan terbata-bata.
Ibunda Mirilea tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya saja yang
mengisyaratkan bahwa apa yang telah beliau ucapkan tadi adalah benar adanya.
Selang beberapa lama kemudian muncullah Abangnya Mirilea, ia menceritakan bahwa
selama ini Mirilea sakit leukemia stadium 4 yang harus cuci darah. 2 hari sebelum kepergian
Mirilea, Ia tiba-tiba muntah segumpal darah dan tidak sadarkan diri sampai tadi pagi divonis
dokter bahwa Mirelia telah tiada, berpulang keribaan Ilahi. aku dan Andi tidak mampu
berkata-kata lagi hanya linangan air mata yang terus menetes.
Akhirnya aku meminta izin kepada Ibunda Mirilea agar abangnya Mirilea bisa
mengantarkan kami ke tempat peristirahatan terakhirnya Mirilea. Ibunda Mirilea mengizinkan
kami untuk ke pemakaman Mirilea. Sesampainya di pemakaman, aku melihat batu nisan
bertuliskan 'Mirilea Binti Karjo' dan gundukan tanah yang masih merah dan bertaburan
bunga-bunga yang masih segar. Di pusaran makam Mirilea aku menangis, walau berusaha
tegar tetap tak terbendung air mata ini. Sambil Ku panjatkan doa dalam hati tuk sahabat
sejatiku di tempat peristirahatan terakhirnya.
"Selamat jalan sahabat sejatiku, kau sudah tidak merasakan penderitaan sakit lagi, kau
sudah bahagia berada di sisi-Nya. Berbahagialah engkau di Surga Firdausnya Allah."
Ku tinggalkan pemakaman bersama Andi dan abangnya Mirilea dengan langkah gontai.

Anda mungkin juga menyukai