Anda di halaman 1dari 4

Tak sangka, ternyata aku memiliki gangguan kejiwaan yang SANGAT BERBAHAYA.

Tidak, memiliki gangguan kejiwaan bukan berarti gila, namun orang yang gila sudah pasti
jiwanya terganggu. Gangguan kejiwaan ada banyak macamnya, dan bukan hanya gila. Aku
masih dalam keadaan sadar dan tidak gila hingga saat ini.

Gangguan kejiwaan yang kualami adalah…

Aku mulai mengetahui bahwa diriku memiliki gangguan kejiwaan tersebut tepat di hari ulang
tahunku ke-18. Saat itu, sekolahku sedang mengadakan tes kejiwaan, untuk mengetahui
adakah anak yang menderita gangguan kejiwaan di sekolahku. Yang mengusulkan adanya tes
kejiwaan di sekolahku adalah Bu Maria, psikolog di sekolahku. Tes tersebut diperuntukkan
hanya untuk anak-anak kelas 3 SMA di sekolahku, tidak di sekolah lain. Dan angkatanku
adalah angkatan pertama di sekolahku yang telah melaksanakan tes kejiwaan.
Hari itu adalah hari Sabtu, dan seluruh dari murid sekolahku wajib datang di hari itu, kecuali
karena alasan yang bisa diterima. Seluruh murid berkumpul di lapangan sekolah untuk
memulai tes kejiwaan tersebut.
Teman-temanku mengucapkan “Selamat ulang tahun” padaku. Sebagian dari mereka juga
mengerjaiku sebagai ucapat selamat ulang tahun.

Bu Maria menyuruh seluruh dari kami untuk duduk. Untungnya, lapangan di sekolah ini
indoor dan berAC, jadi kami tidak merasa kepanasan. Bu Maria pun membuka acara. Banyak
kalimat yang diucapkan oleh Bu Maria, dan aku hanya ingat sebagian. Intinya, tes gangguan
kejiwaan yang akan diteskan kali ini (hanya) lima, yaitu tes psikopat, skizofrenia, identitas
disosiatif, obsesif compulsif disorder dan bipolar disorder. Masing-masing dari tes ini
memiliki sesi tersendiri dan waktu istirahat yang sebentar tentunya.

Bu Maria membagikan dua lembar kertas kepada masing-masing murid. Setelah seluruh
murid telah menerima lembaran kertas tersebut, Bu Maria berdiri di hadapan kami semua dan
berbicara dengan mikrofon.
Aku mulai mengisi soal demi soal yang telah diajukan di dalam kertas tersebut.

Sekitar empat jam kemudian, Bu Maria meminta seluruh dari kami untuk mengumpulkan
kertas tersebut padanya, selesai maupun tidak selesai. Sebagian besar murid telah selesai
mengerjakan, namun hampir seluruh dari kami mengisi jawaban secara asal karena tidak bisa
menjawab, bukan karena kekurangan waktu. Termasuk diriku. Beberapa soal kujawab secara
asal, karena aku tak bisa menjawab.

Dua hari setelah hari ulang tahunku adalah Hari Senin. Hari itu, aku berangkat sekolah
dengan semangat, karena dua hari sebelumnya Bu Maria telah berkata bahwa pada hari itulah
hasil tes kejiwaan akan diumumkan, tepatnya pada pukul satu siang.
Tibalah saatnya dimana hasil tes kejiwaan akan diumumkan. Seluruh murid seangkatanku
berkumpul di lapangan untuk mendapati hasil tes tersebut. Bu Maria memerintahkan kami
untuk berdiri berbaris per kelas. Saat itu, aku adalah seorang siswi kelas 3A.
Bu Maria berbicara di depan seluruh murid angkatanku dengan mikrofon. Banyak sekali
kalimat basa-basi yang diucapkan olehnya, hingga membuatku eneg dan malas untuk
mendengarkan.
Setelah basa-basi itu, Bu Maria berkata, “Anak-anak, seluruh dari kalian memiliki jiwa yang
normal,”
Seisi lapangan menjadi ramai seketika. Seluruh dari kami bersorak bahagia dan tak satu pun
dari kami tak mengeluarkan suara sorakan. Sebagian dari kami pula bertepuk tangan dan
bahkan ada yang bersiul. Sorakan kami ini terdengar seperti gunung meletus, saking
ramainya. Wajar, anak SMA.
Bu Maria pun memasang senyuman tawa pada parasnya. “Sudah, sudah, diam dulu. Saya
belum selesai bicara,” ucap Bu Maria dengan senyumannya. Sekitar satu menit setelah
kalimat itu terlontar, suasana lapangan menjadi hening kembali.
“Memang, seluruh dari kalian memiliki jiwa yang normal berdasarkan hasil tes…,” ucap Bu
Maria. “Kecuali satu anak,” lanjutnya. Lagi-lagi, seisi lapangan menjadi berisik. Seluruh dari
kami sangat penasaran siapa “satu anak” yang Bu Maria maksud. Sebagian dari kami terus
meminta Bu Maria untuk memberi tahu siapa “satu anak” yang dimaksud olehnya dan nama
gangguan kejiwaan yang diidap oleh “satu anak” itu, termasuk aku.
“Sudah, jangan ribut!” ucap Bu Maria. “Ibu tidak akan mengumumkan di depan umum, siapa
anak yang jiwanya terganggu dan gangguan apa yang dimiliki olehnya,” ucap Bu Maria.
Namun, suasana lapangan masih tetap ramai. “Semuanya, diam!”

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore pada hari itu. Pada pukul seginilah murid-murid di
sekolahku biasa dipulangkan.
Aku telah tiba di rumah. Begitu tiba di rumah, aku langsung bersiap-siap untuk makan karena
aku merasa sangat kelaparan. Setelah bersiap-siap, aku langsung memakan makananku
dengan lahap.
Sebelum menyelesaikan makananku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu utama pada
rumahku. Saat itu, aku merasa suara ketukan itu begitu mengganggu. Sedang enak-enaknya
menikmati makanan, malah datang seorang tamu.
Pintu rumahku tak kukunci. “Masuklah,” kataku. Pintu tersebut pun dibuka oleh seseorang
dari luar. Dan orang itu adalah Bu Maria. Tentunya, begitu Bu Maria memasuki rumahku,
aku merasa heran. Aku yang tadinya sedang makan pun langsung berhenti makan, padahal
makananku belum habis. Mengapa tiba-tiba ia bertamu? Dan dari mana ia mengetahui
rumahku.

Aku mempersilahkan Bu Maria untuk duduk berhadapan denganku. Kami berdua pun
bercakap-cakap, bergurau dan berbasa-basi. Ternyata, Bu Maria tahu dimana aku tinggal
karena sedari tadi ia membuntutiku. Dan alasannya bertamu ke rumahku adalah…

ADVERTISEMENT
“Sin, apakah kamu tahu siapa satu-satunya anak di sekolah kita yang menderita gangguan
kejiwaan?” tanya Bu Maria spontan. Aku bingung ketika itu, mengapa tiba-tiba Bu Maria
menanyakan hal itu? “Tidak,” jawabku. “Kamu ingin tahu? Bila kamu ingin tahu, Ibu akan
memberi tahumu siapa anak itu,” ucap Bu Maria.
Jantungku berdebar-debar seketika. Mengapa Bu Maria berbicara begitu serius? Saat itu, aku
tak tahu siapa pengidap gangguan kejiwaan tersebut. Sejujurnya, aku memang sangat
penasaran siapa sosok “anak itu”.
“Tentu! Aku sangat penasaran!” jawabku dengan semangat. “Siapa anak itu?” tanyaku.
“Kamu.”
Detakan jantungku berhenti seketika dan kembali berdetak. Tadinya, aku tak percaya
padanya. Namun akhirnya aku percaya. Tak mungkin Bu Maria berbohong akan hal ini.
“Memangnya… apa gangguan yang saya derita?” tanyaku. “Skizofrenia,” jawab Bu Maria.
“Ski… Ski- apa?”
“Skizofrenia,”
“Skizofrenia?”
“Skizofrenia,”
“Apa itu?”
“Ibu tahu, Sin. Kamu adalah anak yang ceria, periang, mudah bersosialisasi, dan aktif dalam
berbagai hal, seperti OSIS,”
“Ya?”
“Karena itulah, Ibu amat sangat tak menyangka bahwa kamu mengidap skizofrenia. Dan,
apakah kamu sering berhalusinasi tinggi, mendengar suara-suara aneh, atau lainnya?”
“Uh, itu sih setiap hari selalu terjadi dan sangat sering Bu,”
“Kamu tidak merasa aneh?”
“Biasa saja. Kurasa, hal itu adalah kerjaan setan. Mungkin, aku adalah anak indigo,”
“Tidak, kamu salah! Hal itu bukanlah kerjaan setan. Hal itu adalah kerjaan otakmu.
Skizofrenia sering digambarkan sebagai penyakit gila. Kondisi ini menyebabkan
penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Oleh
karena itu, penderita skizofrenia sulit dalam berinteraksi secara sosial dan beraktivitas sehari-
hari.”
“Delusi, halusinasi secara penglihatan maupun pendengaran dan pikiran kacau selalu saya
alami setiap hari. Kalau perubahan perilaku… entahlah.” kataku santai.
“Nah, kamu sama sekali tak tampak seperti seorang pengidap skizofrenia. Kamu tampak
normal, seperti anak lainnya. Tapi nyatanya, kamu mengidap gangguan itu. Kamu tahu?
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang paling berbahaya di dunia!”
Aku terkejut begitu mendengar kata-kata Bu Maria. Tak ku sangka, ternyata aku memiliki
gangguan kejiwaan yang SANGAT BERBAHAYA. Tidak, memiliki gangguan kejiwaan
bukan berarti gila, namun orang yang gila sudah pasti jiwanya terganggu. Gangguan kejiwaan
ada banyak macamnya, dan bukan hanya gila. Aku masih dalam keadaan sadar dan tidak gila
hingga saat ini.
Gangguan kejiwaan yang kualami adalah… skizofrenia.
Bu Maria pun membahas tentang skizofrenia padaku saat itu. Ia menjelaskan dan
menjelaskan. Sedangkan aku tak percaya dan tak percaya. Namun, inilah nyatanya.
Bu Maria memintaku untuk merahasiakan hal ini pada teman-temanku dan tetap bersikap
normal, seperti biasanya.

Dua puluh dua tahun telah kulalui dengan menderita skizofrenia. Kejadian itu terjadi empat
tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA.
Dan kini, Bu Maria telah tiada untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia pagi ini karena
alasan yang tak masuk akal. Tentu, aku sangat terkejut begitu mendapati berita itu. Hari
sudah siang, namun aku masih menangisi kepergiannya. Karena itulah kuputar kembali
memori ini.
Bu Maria… aku ingin bebas dan normal, sepertimu, teman-teman dan kebanyakan orang.

Anda mungkin juga menyukai