Wajah Lilie yang tadinya ceria berubah menjadi sedih, matanya berkaca-kaca. Aku yang menyadari
perubahan Lilie pun langsung meletakkan kantong plastik itu dan menghampiri Lilie.
“Ada apa Li?” tanyaku khawatir takut terjadi apa-apa kepada sahabatku ini.
Mata Lilie yang berwarna coklat itu kemudian menumpahkan tetesan air, ya Dia menangis. Aku menarik
Lilie kedalam pelukanku mengusap-usap punggungnya berharap Ia bisa tenang dan menceritakan apa
yang terjadi.
Aku mencoba memahami Lilie, “Tidak apa-apa Li, kau kan hanya pergi untuk sementara.” Aku berusaha
meyakinkan Lilie, walaupun Aku juga ingin menangis. Kami berdua terdiam.
Setelah membayar boneka tersebut, aku dan ibu mampir keluar dari toko boneka itu dan mampir ke
supermarket membeli beberapa cemilan, lalu kami pulang.
Keesokan harinya aku mengantar Lilie dan keluarganya. “Nay, aku pamit yah. Jangan lupa benih
tanaman yang aku kasih kamu rawat supaya kamu tetap ingat sama aku, aku juga akan sering kirim
surat.” Kata Lilie sambil berlinang air mata.
“Kamu tenang aja, Li. Kamu hati-hati yah.” Jawabku menepuk bahu Lilie, agar tangisannya reda.
Lilie mengangguk mengiyakan.
Akhirnya Lilie dan keluarga pergi. Aku kembali pulang kerumah, setelah sampai dirumah aku
langsung mengambil benih tanaman yang diberikan Lilie, mebawanya kehalaman belakang.
Disana aku melihat ibu sedang mengurus sayur-sayuran yang dia tanam. Aku langsung mengambil alat-
alat yang diperlukan. “Mau ngapain Nay,” tanya ibu.
“Mau tanam ini,” jawabku sambil mengangkat kantong plastik bening itu mengerutkan keningnya,
“Tumben banget, biasanya kamu paling gak mau kalo disuruh yang kayak beginian” ucap ibu.
“Gak papa, lagi pengen aja” sambil tersenyum kepada ibu. Aku melanjutkan pekerjaanku yang sempat
tertunda, setelah selesai aku langsung menyiraminya, dan berharap tanaman ini akan tumbuh dengan
subur.
Kringgg…. Lonceng berbunyi, semua siswa masuk kedalam kelas. “Rasanya sepi sekali gak ada Lilie.”
Aku berbicara didalam hati. Ibu guru masuk dan langsung memberikan materi seperti biasanya.
Sepulang sekolah aku langsung mengganti pakaian dan makan siang. Lalu, aku pergi untuk mengecek
benih yang aku tanam. Aku terus melakukan pekerjaan ini sampai tanaman itu tumbuh dan berbuah.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Benih yang diberikan Lilie sudah
berkali-kali menghasilkan buah, tetapi tanda-tanda bahwa Lilie akan kembali tidak ada. Dia bahkan tidak
pernah mengirimkan surat sama sekali. Aku mulai khawatir apakah terjadi sesuatu, atau dia sudah
melupakan aku. “Ibu ayah, pernah dapat kabar dari Lilie atau dari papanya gak?” tanyaku pada
orangtuaku saat kami sedang duduk santai bersama. “Gak ada, papa Lilie gak pernah ngabarin ayah.”
Jawab ayah dan ibu hanya menggeleng tanda tidak tahu. Aku hanya mengangguk mengerti.
Saat dikamar aku bermain ponsel, lalu terlintas dipikiranku untuk mencari akun sosial media milik
Lilie. Aku membuka semua sosial mediaku mulai dari Intagram, Facebook, Twitter dan yang lainnya, aku
mencari sekitar kurang lebih tiga jam, namun aku tidak menemukan akun sosial media milik Lilie, yang
muncul hanyalah akun orang lain. Aku berhenti mencari, memijat-mijat batang hidungku.
Aku pernah menulis surat untuk Lilie, seminggu setelah keberangkatannya, tapi aku tidak mengirimnya
karena tidak mengetahui alamat yang akan aku tuju, bahkan orangtuaku juga tidak tahu.
Entahlah Lilie benar-benar tidak ada kabar bahkan seperti hilang ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak
apapun.