Anda di halaman 1dari 4

Satu Rahasia Kecil Yang menyakitkan

Karya Azka Rinjani

Aku selalu mengingat perkataan ayahku bertahun - tahun yang lalu. Terkadang, satu
rahasia kecil yang terucap adalah awal dari terbangunnya sebuah kepercayaan. Seperti dua
bulan yang lalu. Ketika teman sebangku di kelasku, Indira menceritakan sebuah rahasia padaku.

‘Kamu serius?’

Sebenarnya, aku tidak ingin mengatakannya. Namun pertanyaan itu meluncur begitu


saja dari bibirku tanpa bisa kucegah. Dan rasanya, terlalu sulit untuk mempercayai
perkataannya itu. Kupandangi Dira sekali lagi. Raut wajahnya tidak berubah. Kecuali dia begitu
pandai bersandiwara, aku bisa memastikan bahwa dia sedang tidak bercanda.

Aku menghela napas dalam, sementara benakku memutar kembali ucapannya. Tentang
fobianya akan buah jeruk.

Abim, sahabatku, memiliki rasa takut pada belalang. Hal yang membuatku kerap
meledeknya karena tubuh tinggi besarnya serta status ketua eskul pramuka yang dia sandang.
Dan aku sendiri, pernah memiliki fobia asing pada suara decitan nyaring serta suara benda-
benda yang bergesekan.

Namun tetap saja, apa yang kudengar dari Dira itu masih terlampau aneh bagiku.
Maksudku, hey, bagaimana mungkin seseorang memiliki ketakutan tidak wajar akan buah?
Dalam kasus itu Dira fobia jeruk. Jeruk berwarna oranye cantik dengan rasa asam-manis nan
segar. Membayangkan nya saja sudah cukup membuat ingin segera berlari ke kantin demi
segelas es jeruk segar.

‘Aneh, ya?’ Ucapan Dira itu disertai tawa kering yang jika mengingatnya membuatku
merasa bersalah. Sebab, sampai sekarang pun, aku masih belum sepenuhnya percaya.

Dan sekarang, gadis itu berdiri kikuk di hadapanku. Roman mukanya tampak gelisah,
sementara tangannya meremas rok yang dia kenakan. Entah apa yang ada di pikirannya, aku
tidak tahu.

‘Kamu bisa mengantarku sebentar kan, ceca?’ katanya kemudian.

Dahiku mengernyit dalam. Tidak biasanya dia melontarkan perkataan dengan setengah
memohon seperti ini.
‘Mau mentraktirku?’ godaku sambil tertawa kecil.

Gadis itu menggeleng perlahan, membuatku merasa salah tingkah. ‘Sebentar saja. Nanti aku
ceritakan. Mau, ya?’

Maka, aku pun mengangguk dan tidak mengajukan pertanyaan lain. Meski, tetap saja, aku tidak
bisa menahan rasa penasaranku.

Selagi mengikuti langkah panjang kakinya, aku meliriknya. Pada waktu-waktu normal,
senyum manis tidak pernah alpa menghiasai paras cantiknya itu. Dan, aku baru menyadarinya,
sedari pagi tadi tingkah Dira memang sedikit berbeda. Selama ini, dia memang tak pernah
banyak bicara. Namun keheningan yang terjadi saat ini terasa begitu kental.

Aku mendesah. Entah bagaimana aku bisa melewatkan perubahan sikapnya itu. Bagaimana
pun, kami adalah teman dekat, aku berpikir begitu.

‘Setelah lulus nanti, kamu berencana kuliah di mana?’ Ini hanya pertanyaan basa-bas
dariku.Kami baru akan lulus dua tahun lagi. Namun, aku tidak tahu harus berbicara apa. Karena
semakin lama, keheningan yang menggantung di antara kami mulai membuatku frustrasi.

Kepala Dira menggeleng pelan. Langkahnya masih terayun, meski kali ini gerakannya sedikit
melambat.

‘Yang benar?’ tanyaku lagi sembari memutar bola mata. Yang kutahu, gadis itu selalu
merencanakan semuanya dari jauh-jauh hari. Dan tanggapannya barusan membuatku semakin
bertanya-tanya tentang apa yang terjadi padanya.

‘He-eh’.

Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Yang terjadi setelahnya adalah aku yang berbicara
tentang rencanaku masuk Fakultas Hukum setelah lulus nanti dan gosip yang beredar di
sekolah. Sesekali aku menyelipkan lelucon yang walau bagiku biasa saja, namun biasanya cukup
membuat gadis itu tertawa. Meski, pada akhirnya, Dira hanya menanggapiku dengan anggukan
atau ‘oh’ pendek, serta tawa yang terdengar jelas dipaksakan.

Tiba-tiba, langkah Dira terhenti di depan sebuah rumah bergaya aksitektur kolonial
Belanda di dekat sebuah gang lebar. Perlahan, aku merapatkan jaket tipis yang kukenakan.
Entah mengapa, rasa dingin mulai merayapi punggung dan membuat bulu kudukku meremang.

‘Pohonnya,’ ujar gadis itu, nyaris seperti bisikan. Tatapannya lekat pada tunggul pohon yang
sepertinya belum lama ini ditebang.
Kedua alisku serta-merta bertaut. Pohon? Aku memperhatikan gadis itu. Wajahnya kini semakin
muram, membuatku mulai berpikir kalau-kalau saja Dira kerasukan roh halus. Meski aku tidak
ingin terjadi apa – apa. Pandanganku kini lekat pada tunggul pohon.

‘Kita belum sampai, bukan? Ayo lanjut lagi’ kataku kemudian. Semakin lama berada di
tempat ini membuatku semakin mual dan ingin segera beranjak.Namun Dira menggeleng dan
memilih duduk di pinggiran trotoar. Setelah keheningan panjang, gadis itu akhirnya bersuara,
‘Aku menuruti saranmu waktu itu, Ca.’
Keningku berkerut, sementara aku mulai kembali mengorek kenangan apa yang tengah dia
bicarakan. Dan mungkin, kebingungan yang tergurat di wajahku begitu jelas. Karena setelahnya
dia berucap dengan disertai desahan pelan, ‘Untuk melakukan konseling, tentang fobiaku.’

Oh. Setelah mengetahui rahasia itu, aku menyarankan Dira untuk menemui konselor
yang dulu menangani perihal fobiaku dulu. Ketika aku mengatakannya, Dira tidak menanggapi
apa-apa. Kala itu aku berpikir, mungkin ia tidak serius tentang fobia jeruknya itu. Atau, mungkin
saja, kalau fobianya itu tidak membawa pengaruh besar baginya. Karenanya, aku sedikit
terkejut ketika dia berkata menemui konselor untuk mengatasi fobianya.

‘Lalu, bagaimana?’ Suaraku sedikit bergetar ketika mengatakannya. Aku bisa merasakan degup
jantungku yang kian keras. Perlahan, aku kembali merapatkan jaket ku ketika rasa dingin
kembali menyergapku.

Jangan sekarang. Dua kata itu kuucapkan berulang kali, hingga kemudian detak jantungku
mulai melambat.

Dira mengangkat bahu Tidak terlihat yakin dengan apa yang akan diucapkannya. Dengan helaan
napas yang terdengar berat, dia berkata. ‘Reframing.’

Aku menoleh. Istilah itu tidaklah asing di telingaku. Ini tentang mengunjungi masa lalu,
ketika fobia itu pertama kali bermula. Dulu, aku pernah melakukannya. Rasanya begitu
menyakitkan, meski setelahnya aku merasa lebih baik. Dan kini, setelah kupikir lagi, sepertinya
cara itu tidak terlalu berhasil.

‘Tujuh tahun lalu, kami kecelakaan di sini. Aku dan almarhum kedua orangtuaku,’ lanjutnya.

Lalu, cerita-cerita itu mulai meluncur dari bibirnya. Tentang kecelakaan yang tidak dia tahu
bagaimana bisa terjadi karena dia tengah tertidur. Tentang hari Minggu yang seharusnya jadi
hari menyenangkan baginya.

‘Jika saja pick up bermuatan jeruk berisi hasil panen kebun kami yang hendak menuju
pasar besar di kotaku tidak menabrak pohon, mungkin saja aku dan keluarga ku akan selamat’.
Perkataannya itu terdengar begitu jelas meski disertai isak tangis yang berusaha dia
tahan. Dan aku mulai berpikir, bahwa mungkin aku akan mengingat setiap kata yang dia
ucapkan itu seumur hidupku.

‘Sejak hari itu, aku tidak bisa melihat buah-buah jeruk tanpa membawa ingatan itu kembali
padaku. Dan yang paling kuingat adalah aromanya yang bercampur.

Ada kegelaan yang tersirat pada kalimat terakhirnya itu. Embusan napasnya yang tadi
terdengar berat mulai berangsur normal. Dan, satu hal yang membuatku sedikit merasa lega,
setelahnya dia tidak berkata apa-apa lagi. Sebab, aku pun tidak terlalu yakin apakah aku bisa
mendengar ceritanya lagi. Semuanya sudah cukup berat untuknya dan mungkin untukku juga.

Aku menarik napas panjang, kedua mataku terpejam dan berkali-kali mengatakan pada diriku
sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Seperti yang Ayah dan konselor katakan harus
kulakukan. jika saja ingatan itu kembali.

Namun sepertinya, apa yang kulakukan itu tidak lagi terasa cukup. Kenangan itu kembali
menyeruak tanpa bisa kucegah. Kenangan akan satu hari ketika aku mengayuh sepeda dengan
kecepatan tinggi. Matahari belum juga muncul dan aku berbelok dari gang rumahku ke jalan
raya yang masih sepi. Hingga suara decitan nyaring membuatku menoleh ke belakang dan aku
hanya bisa terpaku ketika mobil pick up itu menabrak pohon lalu berguling. Selanjutnya, aku
mengayuh sepedaku menjauh dengan air mata yang mulai tumpah dan membasahi pipi.
Itu hari Minggu sekitar tujuh tahun yang lalu.

Rasanya lucu bagaimana detil-detil tentang kejadian itu baru muncul sekarang. Muatan berisi
jeruk yang akhirnya berceceran di jalan raya; jeritan gadis kecil seusiaku dalam pelukan ibunya.
Entah takdir apa yang membawaku kembali ke tempat semua itu bermula. Di sini, duduk
bersisian dengan anak gadis yang kini mulai beranjak remaja itu.

Gagasan nya bahwa akulah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. 7 tahun yang lalu,
kejadian itu kembali memenuhi perasaan di benakku. Dan sekarang, mungkin gagasan itu akan
terpatri selamanya.

‘Ceca, kamu baik-baik saja?’ Dira berkata

‘Aku tidak baik-baik saja’. Itu yang ingin kukatakan, namun bibirku terkunci. Kepalaku
tertunduk dalam. Aku tidak tahu apakah aku masih memiliki keberanian untuk menatap wajah
gadis itu lagi. Dengan rasa bersalah yang mulai membuat dadaku sesak.

Ayah mungkin lupa mengatakan satu hal. Terkadang, rahasia bisa terasa begitu
menyakitkan dan membuat kepercayaan yang mulai terbangun seketika runtuh.

Anda mungkin juga menyukai