Anda di halaman 1dari 6

Bicara

cerpen Cahyo Adi Nugroho

Gadis kecil itu masih bermain-main dengan mainan barunya—mainan yang tadi aku beli sebelum aku
datang kemari. Namanya Intan, katanya usianya baru tujuh tahun.

Dia cantik, pikirku ketika menatap senyumnya.

Aku ingin bicara dengannya, tapi rasanya sulit; aku susah mengerti apa yang dia katakan. Intan adalah
anak bungsu dari dua bersaudara dengan kondisi cerebral palsy, sebuah istilah umum untuk kelompok
penyakit gangguan saraf yang mempengaruhi gerak, keseimbangan dan postur tubuh.Gangguan ini
selain mengakibatkan perkembangan abnormal pada kendali otot, bisa juga menyebabkan masalah
dengan kemampuan berkomunikasi.

Dalam bahasa yang lebih sederhana; Intan mengalami kelumpuhan otak.

“Nggak ada yang abadi, kan?” Aku mencoba memulai lagi pembicaraan yang sejak tadi seperti tanah
berdebu Afganistan di musim salju—membeku. Pikiran dan mataku kembali fokus pada gadis dengan
rambut bergelombang yang duduk di depanku. “Kayak waktu yang kita punya sekarang. Bentar lagi aku
ada syuro’, dan kamu memilih lebih banyak diam.”

“Ada kok yang abadi, caramu mencairkan suasana dengan kalimat yang aneh-aneh itu. Bener-bener
nggak berubah sejak satu semester yang lalu.” Sherina, nama gadis itu, menutup bukunya yang
(tampaknya) dia pakai untuk alibi ketika kehabisan bahan obrolan. Sebenarnya, tidak masalah bagi kami
untuk saling membisu dalam menit yang lama, untuk saat ini bisa duduk berdua saja sudah bagus.

“Intan bilang kalau aku terlalu dinamis. Mau bertaruh? Suatu saatpun aku akan menganggapmu ‘hal
lama’ dan aku menemukan sesuatu yang baru lagi.”

Sherry tersenyum.

“Satu-satunya orang di organisasimu yang kupercaya adalah dirimu, Abimanyu.” Matanya menatapku
tajam, “Kalau kamu pengen bilang bahwa aku adalah distraksi bagimu dan kita perlu pisah, nggak usah
bawa-bawa orang lain—apalagi cewek.”

“Kamu salah mengerti, Sherry, bukannya ini sesuatu yang bagus? Kamu nggak usah takut sama
datangnya hari itu, bukannya segala sesuatu bisa kita rasakan begitu berharga pas kita sadar bahwa itu
akan berakhir? Hidup kita di dunia ini, misal.” Jawabku berfilsafat.

“Aku sangat-sangat menyukaimu, tapi kamu nggak bisa mempertaruhkan perasaanku.” Sherry membuka
lagi bukunya, “Aku nggak suka teorimu barusan”.

*****

Entah bagaimana, aku terjebak di toko kesehatan bersama Intan. Kami tengah mencari Ankle-foot
Orthosis, semacam alat bantu yang dipasang di kaki.
Intan adalah gadis berhijab yang aku temukan (atau, dia yang menemukanku) di BEM fakultas. Kini dia
jadi partner dalam sebuah kegiatan sekolah kampung. Kegiatan itu diikuti banyak anggota, namun kali ini
ketua memutuskan untuk memisahkan tugas kami dengan yang lain.

Iya, namanya sama dengan anak kecil dengan cerebral palsy itu. Mungkin karena alasan itu juga dia
dipilih untuk tugas khusus ini.

“Bukannya kita harus bawa Intan Kecil ke sini, ya? Kita perlu mengukur kakinya.” Kami sepakat untuk
menyebutnya Intan Kecil untuk membedakan panggilan.

“Aku tahu, hari ini kita hanya akan lihat-lihat, sekalian cari info harga AFO. Kita cari yang harganya sesuai
sama donasi dari dosen yang kita kumpulin kemarin.”

“Oke.” Aku lanjut melihat-lihat.

Sekolah kampung adalah semacam kegiatan pengadaan kelas motivasi di suatu daerah pelosok untuk
anak-anak yang mengalami kesulitan ekonomi. Sederhananya: kami membantu mereka untuk berani
bermimpi.

Biasanya, sekolah kampung melibatkan banyak orang. Namun rupanya kami bertemu dengan Intan Kecil,
anak perempuan yang begitu spesial sehingga kami tidak bisa menggabungkannya dengan anak-anak
yang lain. Akhirnya aku dan Intan ditugasi untuk memberikan perhatian khusus padanya.

Karena itu, akhir-akhir ini kami menjadi begitu dekat; diskusi bersama, mengumpulkan donasi dari
dosen, berangkat ke berbagai toko, dan tentu saja menemui Intan Kecil setidaknya tiga kali seminggu.

Aku memperhatikan Intan yang tengah berbincang dengan pemilik toko. Entah bagaimana, aku
tersenyum; seperti ada perasaan aneh ketika bersama dengannya.

“Abi!” Intan setengah berteriak memanggilku. “Kamu bawa proposal kemarin kan? Bawa ke sini!”
Wajahnya tampak ceria sekali. Tanpa sadar tanganku bergerak sendiri membuka tas dan
menghampirinya.

Abi? Kini aku berada pada poin dimana aku tidak lagi bisa membedakan Intan yang mana yang
sebenarnya memotivasiku untuk terus terikat pada kesibukan ini.

*****

“Dia anak yang cerdas, Sherry, hanya saja karena ngomongnya kurang jelas jadi kadang orang nggak
ngerti sama apa yang dia omongin.” Aku sampai setengah berlari agar posisiku sejajar di sampingnya.
Aku serius dengan apa yang baru saja kukatakan.

Sherina masih terdiam, sejak kami beranjak dari kelas tadi. Aku sengaja meninggalkan motorku di
parkiran fakultas agar bisa mengantarnya jalan kaki ke kostnya di depan kampus. Aku sudah sering
melakukannya. Hanya aku dan dia, berjalan beriringan. Ralat—aku, dia, dan syal yang kami pegang
bersama agar kami tetap bisa bergandengan tanpa bersentuhan.
Hehe

“Kamu terlalu sering ke rumahnya, aku cuma khawatir kalau kamu kewalahan. Kamu udah ada di dua
organisasi sekarang.” Katanya dingin. Setidaknya dia akhirnya bicara. Seperti yang sudah-sudah, aku tidak
bisa membaca pikirannya kalau dia terus diam.

“Tapi aku harus! Kalau Intan bisa dapet fisioterapi dan terapi wicara maka potensinya akan lebih keluar.
Sayangnya Ibunya nggak mampu membiayainya terapi .Cerebral palsy itu bukan gangguan yang
berlanjut, maksudnya kerusakan otaknya nggak memburuk. Tapi, Sherry, gejala yang diakibatkan bisa
semakin parah dari waktu ke waktu. Intan butuh kepedulian dari banyak orang untuk bisa membaik.”

“Dari filsuf, kamu jadi dokter sekarang?”

“Nggak juga, aku masih Abimanyu yang kamu ajari peduli sama orang lain. Maka biarkan aku membantu
anak ini belajar bicara, kayak pas kamu mengajariku dulu. Bukannya kamu selalu setuju, bahagia adalah
membuat orang lain bahagia?”

Langkah Sherry terhenti, air mukanya terlihat begitu sedih. Aku mendadak menyesal telah terlalu banyak
bicara.

“Kamu harus memilih.” Suara Sherry pelan.

“Baik.. baik.. Aku memang sudah memikirkannya. Setelah ini aku mau keluar dari BEM dan fokus pada
kegiatan sosial kayak gini. Kamu mau nggak nggantiin aku di BEM? Kupikir kita perlu bertukar peran;
kamu jadi organisatoris dan aku jadi mahasiswa biasa.”

“Maksudku, kamu harus memilih… antara aku atau Intan.”

Hah?

Otakku membeku, tepat setelah Sherry melepaskan tangannya dari syal.

*****

“Aku nggak suka teorimu barusan.” Sherry mengulangi kalimatnya.

Kami masih berada di kantin sejak tadi; akhirnya aku memutuskan untuk bolos syuro’. Percakapan sore
yang lambat ini membuat aku mengalihkan perhatian pada bunga Angsana kuning di jalan depan kantin
yang berjatuhan—seperti sakura, hanya saja warnanya kuning.

“Jadi, gadis kayak gimana Intan itu?” Tiba-tiba Sherry menyingkirkan piringnya, lalu menangkupkan
kedua tangannya di depan mulut—meniru Sherlock Holmes. Matanya menatap tajam kepadaku.
Interogasi dadakan.

“Hah..mak.. maksudmu?” Aku nyaris tersedak.


“Ah, aku coba jawab sendiri aja. Dia berkerudung, pakaiannya sopan. Cara bicara dan tingkah lakunya
juga sederhana. Wanita itu begitu anggun, kayaknya lebih cocok untukmu kalau melihat dirimu yang
sekarang.”

Hei, kamu bercanda? Diriku yang sekarang?

“Kamu ngomong apa, Sherry? Kamulah yang begitu anggun di mataku. Bagiku kamu lebih ukhti
meskipun belum memakai hijab.” Aku tersenyum, nyaris setengah tertawa. Semoga kamu tidak
menganggapku bercanda.

"Wah, apalagi yang kamu pelajari di LDK selain merayu perempuan dengan nada “Islami”? Karena
kayaknya itu nggak berhasil."

“Ada apa sih, sebenarnya? Ngomongin hal ini kayak bukan dirimu. Aku ingin ngomongin hal yang lebih
serius. Gini..”

Sherry langsung memotong kalimatku.

“Untuk saat ini, adakah yang lebih serius dari ini untuk dituntaskan? Kamu mau nggak denger nada-nada
Islami yang lain? “Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik”. Dan kamu begitu changeable,
Abimanyu. Kamu cepet berubah pas pengetahuanmu bertambah, begitu juga cara pandangmu terhadap
perempuan.”

Apa yang sedang kamu bicarakan?

“Aku masih menyukaimu, kalau itu yang pengen kamu denger.” Aku tidak bisa memikirkan kalimat yang
lain.

“Aku nggak bilang kalau kamu udah nggak menyukaiku lagi. Kamu hanya cepat berubah, itu saja.”

*****

Menjelang akhir semester, aku kembali berkunjung ke rumah Intan Kecil; berbincang dengannya sembari
menziarahi kenangan menjadi anggota BEM. Dia sudah lumayan jelas dalam berbicara sekarang. Ibunya
berencana untuk memasukkannya ke sekolah luar biasa. Seperti yang kuduga; anak ini sebenarnya
cerdas dan menggemaskan.

Kebetulan hari itu dia berulang tahun. Intan memberikan hadiah dari kami berdua: seperangkat alat
gambar. Intan Kecil tampak begitu bahagia. Kami semua bahagia. Seperti yang selalu kupercaya, salah
satu cara untuk bahagia adalah membuat orang lain berbahagia.

“Abi! Kamu kayaknya alergi ya kalau deket-deket sama aku? Sini! Pamit dulu sama Intan!” Bentakan Intan
mengingatkanku bahwa hari memang sudah sore.

Sebelum berpisah, aku memakaikan sebuah syal warna biru ke leher Intan Kecil. “Untuk kenang-
kenangan.” Kataku sambil tersenyum, aku mengusap-usap rambutnya. Kami beranjak pergi setelah
mengambil beberapa foto.
“Sebuah syal?” Intan melontarkan pertanyaannya yang sejak tadi tertahan.

“Ho’o, kenapa? Bukannya benda yang nggak biasa adalah hal yang bagus buat nyimpen ingatan? Benda
yang nggak bisa digunain sehari-hari, yang cuma bisa disimpan atau dipajang.”

Intan mengangguk paham. Tapi memang tak heran bila dia bingung. Aku juga sempat bingung ketika
Sherry memberikanku benda yang sama sebagai hadiah ulang tahun, hanya beberapa minggu setelah
kami pertama kami masuk kampus ini.

Syal? Di kota yang panas ini? Lagipula dari mana kamu tahu tanggal lahirku? Aku udah
menyembunyikan informasi itu di facebook.

Jangan mikir macem-macem, aku sempet lihat biodata yang kamu kumpulin sama kakak tingkat.
Anggap aja itu hadiah kenalan, dan itu untuk kostum pas kita malam inagurasi ospek nanti, bukannya
kamu yang dikorbankan untuk menjadi cosplayer kelompok? Katanya waktu itu, dengan setengah
tertawa. Rambut bergelombangnya masih pendek waktu itu.

Aku begitu gugup, sampai kotak kado beserta kartu ucapan ulang tahunnya jatuh. Aku hanya mampu
tersenyum kaku. Syal? Untuk kelompok budaya modern Jepang? Kamu harusnya ngasih aku buku dan
headset!, pikirku.

Di malam inagurasi, aku benar-benar memakainya. Dia bilang, waktu kami berdua mampir dulu ke
warung mie selepas acara, warna merah ternyata tidak cocok untukku. Dia juga mengomentari
bagaimana aku benar-benar gugup ketika bicara di depan banyak orang.

Biar kamu bisa aktif di organisasi, aku mau dengan senang hati melatihmu untuk public speaking,
katanya waktu itu. Dan begitulah, kami kemudian menjadi dekat.

Beberapa bulan kemudian, syal itu memiliki fungsi lain: menghubungkan tangan kami. Teman-teman di
organisasi bilang kalau aku tidak boleh menyentuh gadis yang bukan mukhrim. Pesan itu kusampaikan
pada Sherry di hari kesekian aku mengantarnya pulang, pertengahan semester satu. Dia sempat terdiam,
kemudian tertawa cukup keras.

Ya udah, besok kamu bawa syal merahmu ya. Kita bisa gandengan tangan lagi; dengan perantara kain
itu. Semoga kamu nggak disidang oleh temanmu! Dia kembali tertawa. Ah, bagaimana aku bisa
membaca pikiran orang seperti ini?

Tapi sekarang aku paham kenapa dia memberikanku sebuah syal. Kamu tidak memberikan fungsi lain
bagi benda ini selain untuk menyimpan ingatanku akanmu.

“Kamu mau langsung pulang?” Pertanyaan Intan menyadarkanku dari lamunan. “Kita cari tempat makan
yuk!”

Aku berpikir sejenak. “Baiklah, aku juga sudah lapar.”

*****
Semester dua sudah berakhir, begitu juga dengan masa keanggotaanku di BEM. Aku sudah bicara dengan
Kakak Presiden untuk tidak memasukkan namaku dalam daftar kepengurusan mendatang.

Sebenarnya, ada satu lagi hal yang akhirnya berakhir.

“Kamu harusnya nggak perlu keluar. Bukannya urusan kita dengan Intan Kecil udah beres? Kamu berhasil,
Abi, dan kita bisa bekerja sama lagi di kegiatan lainnya.” Intan berkata dengan antusias. Kira-kira sudah
sejak seminggu yang lalu dia membujukku untuk tetap di BEM.

Aku diam saja sambil mengaduk-ngaduk mangkuk sup seperti pria yang patah hati. Aku punya alasan lain
yang tidak bisa kuverbalkan, bahkan dengan retorika yang sering kupelajari saat diskusi dengan teman-
teman BEM. Aku bahkan mulai muak dengan diriku sendiri yang terlalu banyak berteori.

I just want to stay away from you, both.

“Oh iya, bukannya kita juga akan kedatangan anggota baru dari kelasmu? Tadi pagi ada yang ndaftar
padaku, namanya Sherina. Kayaknya dia teman yang baik, dan kamu malah pengen keluar. Sebenarnya
ada apa?” Intan melanjutkan pertanyaan, sambil menghabiskan suapan terakhirnya.

Aku tersenyum, pertama kalinya sejak kami mengawali obrolan.

“Susah ngomonginnya.” Aku menunjuk-nunjuk mulutku sendiri, seperti memberi kode ke orang lain
ketika bibirku sariawan—padahal tidak.

“Ah… Dasar drama queen! Okelah, kalau begitu. Kayaknya sekarang kamu yang perlu diterapi wicara.
Besok ke sini lagi di jam yang sama ya! Aku harus segera ke sekre, calon menteri nggak boleh telat rapat!
Haha.” Dia setengah tertawa sambil beranjak pergi.

Bersamaan dengan itu, ada sms masuk: “Akh, aku lihat Antum akhir-akhir ini jarang aktif. Tahun depan
masih ikut di pengurusan, kan?”

Aku mengabaikannya, masih memandang bunga Angsana kuning di jalan depan kantin yang berjatuhan
—teringat akan sesuatu.[]

Anda mungkin juga menyukai