Cerpen 1
Seragam
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali
saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut
duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh
yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap
Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa
diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena
keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga
kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan
padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah
menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu
kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan
meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu.
Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya.
Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya.
Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang
ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia
menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan
pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau
kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa,
berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat
seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami
hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan
kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya
langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering
memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya
untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya
sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai
ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat
mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya
nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu
hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai
untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga
seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari
jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu
berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah
melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik
cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau,
tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal
terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana
sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa
menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali
rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit
menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau
bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang
tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja
walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor
jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya
yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga
minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya
yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya
dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan
dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan
mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian
mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-
bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab
yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain
yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah
yang murka.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.
Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih
memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya
menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri
dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama
membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah
gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan
terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang
menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua
dia semakin tidak tahu diri.”
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga.
Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan
mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki
rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus
sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah
beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.
Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik
itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak
pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di
malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar
bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa
membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang
saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam
dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/12/seragam/#more-1627
Cerpen 2
Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus
dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara,
lalu tiada.
Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat
sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga
untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang
terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh
tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.
Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan
atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.
Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di
atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang
pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon
menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-
tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh
menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok.
Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar. Dan, sesudah kerusuhan itu
reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, gerakan
massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali.
Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang
mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh
ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-
laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia,
kusuruh ajudanku menjemputnya.
Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di
kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan
senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar
aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih
melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan
ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau
dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya
yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir
seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali
memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir.
Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun,
ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah
sangat membahagiakan dirinya.
Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak
kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan
persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana
saja dia dan apa pekerjaannya sekarang.
Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling
berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku
kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih,
mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga
dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman
kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.
Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia
tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku
ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta
aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.
Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya:
ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku
terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa
minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap
aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.
Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa
seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah.
Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari.
Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan
banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini
dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.
Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi
petani….”
”Sekarang?”
Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku
dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang
menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa
bersalah dengan pilihanku. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.
”Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang sangat terhormat.”
Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee… maaf mungkin aku bisa
membantumu, Bung…?”
”Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan. Aku hanya membutuhkan
hatimu…. Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat perih.
Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat.
Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk
mencegahnya.
Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas
mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-
apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku
tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku
terkapar di dalamnya.
Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Kuedarkan pandangan mataku. Aku sedikit
kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang
berpakaian serba putih.
Anak dan istriku memelukku. Mereka kularang untuk menangis. Istriku bilang, aku terkena
serangan jantung koroner, namun tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah
mengizinkan aku pulang.
Istriku mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi.
Atau kami tinggal di hotel beberapa hari.
”Kenapa?”
Istriku tersenyum, ”Ya, agar papa makin sehat saja atau bisa lebih tenang….”
Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor
mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika
kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat
rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Tapi, istriku
mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel.
”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh.
Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan
mal di daerah Kraz,” ujar istriku sambil menggenggam tanganku.
Mendadak handphone mengisyaratkan ada pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka.
”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Begitu pesannya.
Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz
tahu tahu nomor handphone-ku?
”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih
pacarmu….”
Gila. Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?
”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk mal,
Bung”.
Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz.
”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik….”
Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak
menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang-
orang suci atau nabi.
”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu
berkhianat, kawan?”
Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-
putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Istriku menjerit. Dokter datang.
Tabung oksigen disalurkan di hidungku.
Tubuhku sangat lemas, namun sesak dadaku sudah sangat berkurang. Kepalaku juga
semakin ringan. Namun, bayangan wajah Gardaz bersama para korban penggusuran itu
terus memenuhi benakku. Mereka berjalan berderap-derap, dengan sorot mata nanar,
dengan gigi-gigi gemeretak ingin mengerkah kepalaku.
Aku berhasil mengempaskan mereka. Tubuh-tubuh mereka seperti terurai, namun dalam
beberapa detik menyatu, mengkristal dan menggumpal kembali. Tatapan mata mereka
nanar.
”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Huruf-huruf pesan pendek itu timbul-tenggelam di kepala.
Dan dari kejauhan, kulihat Gardaz tersenyum. Pahit. Aku mencoba mengejar dan
memeluknya, namun dia terus memelesat di antara gumpalan awan menuju cakrawala.
Langkahku sangat lamban serupa reptil melata. Dia semakin jauh, semakin jauh. Tak
terkejar.
Aku merasa kehilangan seorang kawan, sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak
pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau
manusia yang sangat berbakat jadi nabi.
Yogyakarta 2009
Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/04/26/pesan-pendek-dari-sahabat-
lama/#more-633
1. Tema
2. Latar
3. Tokoh
4. Penokohan
5. Alur
6. Sudut
pandang
7. Amanat
8. Gaya
bahasa/
majas
Simpulan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Agama/religious
Moral
Seragam
Sosial
Budaya
Agama/religious
Moral
Pesan Pendek
dari Sahabat Sosial
Lama
Budaya
5. Presentasikan hasil kerja kelompok kalian dalam di
Ramin berhenti, menoleh ke belakang, tergesa menarik napas. ”Kalau saja aku tidak
nekat ke sini,” rutuknya dalam hati. Ia bergegas menerobos belukar. Dari jauh
kemejanya sobek, lengannya berdarah tergores semak berduri, tapi ia tak peduli.
Petang mulai turun, waktu paling buruk untuk dikejar atau mengejar. Kecelakaan
kerap terjadi, mata manusia tidak melihat bentuk dengan benar. Tapi, ini malah
bagus bagi Ramin. Ia bergegas terus... terus… menghilir sungai, yang penting jauh…
Ia memikirkan Dadan yang lari bersama, tapi terpisah di tengah jalan. Juga Aco,
orang sial yang bikin mereka ketahuan petugas. Kalau Aco tak berulah ke preman
pasar, petugas tak mungkin mencurigai mereka sebagai pekerja ilegal, dan tak
mungkin juga kini Ramin berlari sekuatnya menuju Sungai Tawau, satu-satunya
Kini ia di pinggir sungai, separuh terlindung dari para pengejar berkat rumput-
rumput liar tinggi, berharap menemukan tempat sembunyi. Sungai perbatasan itu
bukan sungai yang garang, bahkan pemurah. Ramin dan rekan kerap memancing di
sungai ini mendapat banyak ikan untuk makan malam. Tapi hari ini sungai itu
tampak tak bersahabat. Hujan sejak seminggu membuat air bah mengempas apa pun
yang dilalui.
”Kalau aku lolos, ya Allah, sumpah aku tak akan balik ke tempat laknat ini, berapa
pun uang yang kuterima. Biar anakku tak usah menikah saja kalau uang tak ada!”
bisik Ramin lagi dalam hati. Terseok-seok ia berjalan menuju akar-akar pohon
Kakinya gemetar, ranselnya mulai berat. Tapi Ramin tetap mendekapnya kuat-kuat,
karena ke dalam ransel itulah ia menjejalkan semua ringgit jerih payah dua musim
bekerja keras di negara orang. Tak akan ia lepaskan ransel itu, tak akan.
Ramin di sela-sela akar pohon, tak ada cara lain untuk sembunyi selain
menenggelamkan—paling tidak separuh tubuh, berpegang kuat pada akar agar tak
Berpegangan pada akar rumbia dalam senyap, tanpa gerak tambahan yang dapat
ayun gelombang deras tepi sungai. Dalam dorongan kuat air, ia teringat siang tiga
musim lalu ketika beristirahat di pondok, kecewa merawat cuma belasan pohon
kebutuhan hidup keluarga pun kurang, apalagi buat bayar utang-utang menumpuk.
Biaya menikahkan anak tidak murah. Kalau semua pohon cengkehnya sehat, Ramin
paling tidak butuh tiga kali panen untuk biaya menikahkan anaknya. Ia harus
”Sekarang lagi musim angin barat, Min, banyak perahu kami tidak jalan, tidak ada
kerjaan lagi,” jawab Naspin sambil menyuguhkan gorengan. Tangan Ramin lunglai
”Nihil, Min…. Kalau ada pasti kukasihlah, susah sekarang ini, ikan tak banyak, hasil
saja. Tapi malah ditertawakan. ”Hai Min… Min…. Bayar bunga pinjaman yang
Mansyah, importir sembako dari negeri jiran. Ramin berharap dapat kerja di salah
satu kapal pengiriman barang. Sayang, Mansyah tak bisa membantu karena awaknya
sudah penuh. Oleh Mansyah, ia disarankan ke Dadan, teman masa kecilnya yang
juga karib Mansyah. ”Dadan, kan, sekarang jadi calo pekerja ke Malaysia,” jelas
Mansyah.
”Kerjaan di Malaysia banyak. Kau bisa jadi tukang listrik perumahan. Duit enak,
kerja santai, apalagi kau sudah punya pengalaman toh,” Dadan membuka ajakannya.
Ramin tersenyum samar. Ia memang pernah bekerja jadi tukang listrik kampung
”Tapi aku harus keluar uang berapa untuk urus surat-surat, Dan? Kerja di luar
”Ah gampang itu, kita bisa pakai kapal-kapal kecil, banyak jalan menuju Tawau, Min,
”Aku sudah bolak-balik kirim orang kerja ke sana, semua aman pulang ke kampung,
langsung beli tanah, beli mobil, menikahkan anak…,” jawab Dadan. ”Kalau kau
lagi, meski ia tahu tak punya pilihan lain. Kalau anaknya kawin lari karena sudah
ngebet, tapi ia belum punya biaya menikahkan… aih, aib luar biasa itu.
”Kau lihat si Jahin kemarin pulang tak kekurangan apa pun? Malah beli motor baru
buat istrinya. Atau si Suhar kemarin pulang langsung buka pertamini? Kalau
♦♦♦
sembunyi di dalam pelukan akar, untung ia segera melihat dahan itu. Hampir ia
Teringat lagi ia pada Aco, sejak semusim lalu ia ikut Dadan karena hasil cengkehnya
tak bagus, sementara tengkulaknya minta selalu dibayar. Aco tertangkap petugas
saat adu mulut di pedagang nasi lemak lantaran ia mengumpat pada preman yang
menutupi jalan.
Hari itu memang perpaduan nasib sial jatuh di hadapan Aco, umpatannya didengar
preman, adu mulut terjadi, dan petugas sedang lewat. Apes. Aco lalu dibawa petugas,
digiring bagai ternak ke tengah lapangan, dipukuli dengan bengis saat mencoba
kabur, ditanyai macam-macam, didenda hingga ia tak sanggup bayar, diambil hasil
kerjanya satu musim, dideportasi, pulang ke rumah dengan tangan hampa, ditunggu
tengkulak pula. Bah! Hilang sudah satu kebun cengkeh dirundung sial.
Gara-gara Aco juga petugas kini memburu Ramin dan Dadan. Ternyata Dadan
memang sudah dicari-cari petugas karena beberapa kali memasukkan tenaga kerja
tanpa izin. Ramin memang tak berpikir panjang saat berangkat kerja dengan Dadan.
Yang penting ia bisa membawa pulang uang untuk menikahkan anaknya, buat
pengobatan sakit gula ayahnya, dan sisanya bisa ia belikan mesin cuci yang saban
Ramin tak mau nasib naas Aco terjadi pada dirinya. Wajah semringah anak gadisnya
♦♦♦
garang itu. Bisik-bisik makin kencang. Ramin memutar otak. Kalau mereka melihat
rumput-rumput rebah itu, atau kalau ada satu dua orang cukup jitu tebakannya,
mungkin mereka bisa yakin bahwa pelarian yang mereka kejar bersembunyi di
”Bodoh betul, lihat air sungai deras begitu? Hujan lagi…,” jawab yang lain.
”Shhhh… lihat ada jejak ke sungai, mungkin di balik akar itu,” geram suara lain, kali
Ramin mendengar kecipak sepatu bot yang mendekat ke tepi sungai, melewati jalan
becek. Ia mencengkeram akar lebih erat hingga tangannya kebas. Tapi ia harus
bersembunyi, ia harus lari, ia mau pulang dengan hasil kerjanya utuh. Subuh nanti,
kalau ia berhasil lepas dari buruan petugas, ia bisa pulang menumpang kapal, hanya
Tawau ke desa perbatasan Aji Kuning di Nunukan. Kalau sudah sampai Nunukan,
Ramin ingat niatnya membawa oleh-oleh lawa buat istrinya, terbuat dari rumput laut
dicampur udang galah dan kelapa disangrai kering. Saban kapal angkutan
membongkar barang, istrinya selalu titip makanan gurih Nunukan itu kepada awak
kapal.
Namun, kini Ramin tengah sibuk melepas lilitan banyak akar di jemarinya yang
kebas. Ia melangkah dalam gelap, satu langkah, dua langkah, tiga... kini ia sudah
tenggelam hingga leher. Ia melangkah hampir ke tengah sungai, bagian yang lebih
dalam. Meski derunya tak terdengar, arus mendorong seluruh tubuh Ramin. Ia
berdoa dan berdoa, semoga tak ada yang melihat bahkan bayangannya.
Suara langkah semakin jelas, Ramin menarik napas panjang, lalu menenggelamkan
kepalanya. Arus melarikan rambut hitamnya. Tak awas dengan derasnya aliran air,
Arus makin deras, langit makin gelap, langkah sepatu-sepatu bot pemburu sudah tak
bersembunyi, tapi tak menemukan apa pun. Seharusnya Ramin lega, tapi ia tak
kuasa merasakan apa-apa, ia sudah tak bergerak, bahkan sebelum lilitan akar pada
kakinya mengendur. Pasang semakin tinggi dan tubuhnya terbawa aliran sungai,
♦♦♦
Dan di sana, dalam gubuk di antara pohon-pohon cengkeh yang meranggas, doa tak
kunjung habis dipanjatkan. ”Ya, Allah, aku percaya suamiku akan pulang dengan
selamat, menepati janjinya untuk menikahkan anak kami,” istri Ramin berdoa setiap
subuh, memohon, kerap menangis. Semakin ia rindu suaminya, kian perih dadanya.
Anisa, anak gadis Ramin, sudah matang betul, tak menikah, sabar menunggu
ayahnya pulang membawa restu dan uang. Namun, tunangan Anisa tidak sesabar
dirinya. ”Aku tetap mencintaimu, Anisa, tapi keluargaku tak sanggup menunggu,”
ujar kekasihnya memberi alasan untuk menikahi perempuan dari desa sebelah yang
Mata Anisa selalu sembab jika ia teringat saat harus melepas pergi kekasihnya.
Namun, ia tetap tabah, penuh harap, dan sangat yakin ayahnya pulang.
Subuh itu Anisa ikut ibunya berdoa agar ayahnya selamat pulang. Dari cerita awak
kapal yang biasa mengangkut pekerja gelap, mereka tahu, Ramin dikejar petugas
sebelum beritanya tak sampai lagi. Banyak cerita pekerja seberang yang sembunyi
hingga lama agar tak ditangkap petugas, ia berharap ayahnya salah satu dari orang-
orang itu. Meski pernah pula ibu dan putrinya itu berpikir, Ramin mungkin sudah
menikah lagi dan membangun keluarga baru di rantau. Namun, Anisa yakin ayahnya
tak sampai hati berbuat begitu. Ia tepis jauh-jauh pikiran itu walau hatinya pilu. Ia
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/12/08/ramin-tak-kunjung-pulang/?
status=sukses_login&status_login=login&isVerified=false
Akar Bahar Tiga Warna
Ada yang karena kesulitan mendapat akar putih hanya memakai dua warna
saja, hitam dan merah. Tapi, dari kakeknya Naspin tahu, kalau mau paten,
Ketika menggulung selang di atas perahu, Naspin tak tahu pasti seberapa panjang ia
harus mempersiapkan, karena tak kuasa menduga seberapa dalam akan menyelam.
hidup: kerang raksasa, lobster, teripang, kerapu, hingga yang paling mahal dan
Naspin tahu menyelam itu banyak tantangan dan berbahaya. Setahun lalu,
sempat merawatnya, mendatangkan pemijat kejang otot paling sakti, tapi tak
tertolong juga. Sepupu itu meninggal tanpa sempat sadarkan diri. Sering terjadi
Tapi Naspin tak peduli, ia ingin menjadi anak berbakti, memberikan akar bahar tiga
warna penolak bala buat sang ibu yang sedang terbaring lemas karena demam.
Di Pulau Maratua tempat tinggal Naspin, orang percaya akar bahar tiga warna
memiliki bermacam khasiat. Berbondong orang dari Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi
memburunya buat azimat yang diyakini dapat menjauhkan segala marabahaya, juga
Mereka mendatangi Pak Sikut, aparat yang bertugas di pulau terluar berbatasan
dengan Filipina itu, untuk mendapatkan akar bahar merah, hitam dan putih. Laki-
laki kurus ini menjadi perantara, menjual akar azimat dengan harga tiga kali lebih
mahal. Sejak pandemi merebak, makin banyak orang luar pulau memesan lewat Pak
bertemu gelombang. Tak sampai sejam, ia tiba di laut yang dinding koralnya
Ikan-ikan kecil sekitar karang tak peduli sesosok bayangan menghampiri mereka,
dinding koral lebih dekat. Di kedalaman 15 meter, tubuhnya berbelok saat dinding
bawah mulai kencang, ia mesti hati-hati agar tak terseret hanyut entah kemana.
Ini hari ketiga Naspin mencari akar bahar putih, satu-satunya warna yang susah
didapat. Ia sudah turun sangat dalam, belum dilihatnya ranting-ranting akar bahar
putih.
”Makin susah kau dapat akar baharmu, makin berkhasiat, Pin!” ujar kakeknya saat
Naspin kecil terpukau menemani sang kakek membentuk akar-akar menjadi gelang.
”Kalau kau dapat akar di pantai, hanyut terbawa arus, atau yang nyasar di jaring
Jadilah dua hari lalu ia berdoa agar akar putih ini susah didapat. Ia ingin gelangnya
manjur agar dapat mengobati Ibu yang sudah sebulan terbaring demam. Musim
pandemi seperti saat ini, ia takut Ibu terserang virus. Naspin membulatkan tekad
membuat gelang tiga warna, setelah mendengar di kampung sebelah ada yang kena
virus, keadaannya persis seperti Ibu, dipakaikan gelang, dan minum rebusan akar
Cahaya makin temaram, Naspin makin jauh ke dalam laut. Akar putih itu belum ia
temukan juga. Seekor penyu berenang melayang di bagian yang lebih dalam, tapi ia
tetap menilik tembok koral, menemukan beberapa kumpulan akar hitam dan merah
dinding karang. Ia menoleh ke sebuah titik yang agak jauh, memicingkan mata.
”Oh… apakah itu... Ya, itu akar putih yang kucari! Kudapat juga kau!” pikirnya
ancang untuk menggergaji tangkai utama. Tak besar, tapi ia harus mengerahkan
cukup banyak tenaga. Namanya memang akar bahar, tapi bukan tanaman, ini
”Ah, tebal juga,” gerutu Naspin, menggergaji hingga serpih terakhir akar. Ia lalu
menggulung selang. Ia sangat gembira karena akar putih ini susah dicari, butuh
waktu tiga hari, dan masing-masing memerlukan waktu lebih dari setengah hari.
Naspin bersiul, merasa sangat bangga karena tak lama lagi akan bisa
menyembuhkan sang ibu. Ia memandang sayang akar bahar putih yang dijemurnya
di lantai perahu. Sekilas ia merasa kakinya kesemutan, hanya sesaat, lalu hilang.
ia langsung membentuk akar putih yang baru didapat. Gelang ala tasbihnya dibuat
bentuk bulat dengan tiga bulatan akar hitam, tiga merah, dan tiga putih. Harus
sembilan karena orang pulau percaya ini angka paling besar, paling mujarab, buat
menolak bala. Untuk mendapat hasil paling berkhasiat, semua warna harus
berselang-seling. Ada yang karena kesulitan mendapat akar putih hanya memakai
dua warna saja, hitam dan merah. Tapi, dari kakeknya Naspin tahu, kalau mau
Ia puas pada hasil kerjanya, dan senang bisa selesai hari itu juga. Dielusnya bulatan-
bulatan gelang itu dengan lega. Ia yakin ibunya akan sembuh berkat gelang penolak
bala yang dibuatnya sendiri, dengan akar putih langka. Ia bangkit, menyiapkan
Naspin masuk pelan ke kamar, membawa senampan nasi, ikan kuah, dan rebusan
gelang akar bahar tiga warna. Ibu rebahan, bersandar di tempat tidur, tersenyum
lemah.
”Saya tidak menangkap ikan tadi, Bu.” Ia sodorkan rebusan gelang di gelas, Ibu
menyambutnya. ”Saya tadi mencari akar bahar putih.” Naspin merogoh gelang di
”Minumlah biar sembuh, Bu. Itu nggo-nggo di kampung sebelah sakit seperti Ibu,
Ibu menggeleng kuat-kuat, Naspin menatap heran. Ibu terbatuk, napasnya putus-
”Jangan beri ibumu harapan palsu, Nak! Ayahmu selalu memakai gelang dan minum
”Bapak selalu sehat, Bu. Bapak sakit apa?” setahu Naspin bapaknya selalu sehat dan
”Ayahmu sakit, Pin. Sesak napas, tiap malam minum rebusan gelang, dulu aku yakin
betul gelang ini bisa melindungi kami dari demit dan sakit.”
”Tapi gelang-gelang ini, orang-orang yang sembuh di kampung sebelah?”
”Tidak ada buktinya di rumah ini, Pin! Ibu tak percaya!” Ibu meraih gelang di tangan
Naspin berkeringat dingin, kakinya gemetar, nyeri naik dari telapak hingga paha.
Perutnya mulai mengeras. Ia mengalami kejang otot pada lengan dan pinggul.
”Banyak yang cacat karena mencari akar sampai di dasar laut, padahal tak ada
gunanya. Ibu tidak pernah memberitahu ayahmu sakit, karena tak mau kau kecewa.
Ibu tersedu, bergumam, lebih pada dirinya sendiri. ”Makanya kubuang semua
Naspin berniat berdiri, mencoba menghapus kecewa. Tiba-tiba ruangan itu ia rasa
berputar, dinding-dinding seperti hendak runtuh ketika ia tak bisa lagi merasakan
kaget ibu.
”Pinnn! Kenapa kau?” Ibu bangun menahan tubuh anaknya yang tersungkur.
”Kaki Bu… tak… bisa… rasa… kram…,” suara Naspin lemah, kian samar. Tangan
kanannya berusaha menunjuk kaki, namun lunglai. Naspin tak sadarkan diri.
”Jangan mati, Pin. Jangan…!” bayangan sepupu Naspin meninggal di kamar ini
*Nggo-nggo = ibu-ibu
https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2021/01/24/akar-bahar-tiga-warna/
******
Lina PW lahir dan besar di Pulau Dewata. Pernah menjadi penulis lepas di
Tak Kunjung Pulang masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2017 dan 2019.
Hikayat Si Lidah Pendek
Posted on December 13, 2013
Oleh: Mugya Syahreza Santosa
Malam adalah ibu bagi setiap masa lalu. Dikirimkannya potongan-potongan kenangan; sekerat
kesedihan atau sekeranjang kecil kebahagiaan. Kau tak akan bisa memilih, mana lebih dulu yang
akan dijatuhkan ke atas pangkuanmu dari langitnya. Seperti pada malam ini, di mana Si Lidah
Pendek harus menerima kembali sebongkah malam paling menyesakkan dadanya bila harus
terbayang kembali ingatan itu.
Di dinding rumah kayu, ia melihat sepasang cicak sedang berkejaran memburu waktu. Seakan
sedang memadu, sebelum akhirnya berseteru dengan begitu sengitnya. Saling menerkam, ingin
melukai satu sama lain. Lalu keduanya jatuh. Seperti sudah ia duga, ia melihat ekor cicak yang
putus menandakan di antara mereka telah ada yang jadi pemenangnya.
Ah, mengapa harus ada tragedi binatang yang menjijikkan itu di hadapannya. Hingga
mengingatkan ia pertama kalinya melihat daging lidahnya sendiri yang terpotong dan jatuh di
depan mata. Secuil daging berlumur darah dan rasa perih yang menyengat, dari mulut sampai
ujung tenggorokannya.
Orang-orang hanya tahu nama panggilannya saja, Si Lidah Pendek. Namun tidak tahu, mengapa
ia bisa dinamai Si Lidah Pendek. Apa pula yang telah menimpa pada hidupnya sehingga harus
menanggung sakit setiap kali ia bicara sepatah kata sekalipun. Rasa sakit menerima kenyataan
bahwa kini lidahnya tak pernah benar-benar membantunya, sekadar untuk mengucapkan sebuah
nama. Sungguh bukan bawaan dari lahir atau sebuah kecelakaan tidak sengaja yang telah
menimpanya.
Waktu itu malam diguyur hujan sedari petang. Langit enggan juga menyingkapkan kelam dari
perkampungan. Orang-orang asyik menghangatkan dirinya dengan cara mereka sendiri-sendiri. Si
Pendek Lidah, sebagai seorang pemuda kurang kerjaan, duduk-duduk di warung Sarinah. Setelah
memesan segelas kopi dan menghabiskan tiga buah pisang goreng, ia cuma bisa mematung
sendirian. Lantas mematikan puntung rokok pada ujung bangku yang memanjang menghadap
meja.
”Sepi.”
Pandangan Si Pendek Lidah menyapu seluruh ruang warung itu. Tapi tak ada yang bisa membuat
tatapannya tertahan, selain pada ujung kemeja Sarinah yang terbuka tak terkancing. Sedikit-
sedikit ia memalingkan tatapannya. Meski tetap saja kembali terpusat pada belahan dada yang
setengah menyembul.
”Kamu seksi juga Inah.” Tak sengaja terucap. Sarinah malah tersenyum menyambutnya. Si
Pendek Lidah kehilangan daya menahan dirinya.
”Saya tak percaya kalau tak ada lagi yang mengajak nikah.”
”Ah, saya sudah tua. Mana ada yang mau sama saya. Sudah janda, miskin lagi.” Mereka berdua
saling melempar simpul senyum. Suara hujan seolah-olah meredam rasa malu mereka untuk
saling merayu.
”Masih muda kamu itu Inah, saya tahu, banyak yang naksir sama kamu.”
”Ah ngarang.”
Si Pendek Lidah tahu betul, Sarinah selalu dijadikan bahan olok-olokan di pangkalan ojek, pos
ronda atau setiap kali berkumpul di lapangan desa. Tentang bagaimana kalau akhirnya jodoh di
antara para pemuda begundal itu adalah Sarinah. Tentu mereka semua, termasuk Si Pendek
Lidah, mengelak dan mengucap ’amit-amit’. Meski diam-diam mereka semua selalu menggoda
Sarinah tanpa sepengetahuan orang-orang. Yang paling berani bahkan mereka sering mengintip
Sarinah kalau kebetulan ke warung lagi sepi dan terdengar Sarinah di dalam kamar mandi.
Para lelaki kurang kerjaan dan hidung belang di kampung memang sering mengharap bisa dekat
dengan Sarinah. Sebab Sarinah bukanlah janda yang serta-merta tak punya wajah manis. Memang
sudah berkepala empat usianya, tapi bukan main, tubuhnya masih tetap mekar dengan biusan
khas seorang perempuan kesepian.
”Wajahmu masih ayu. Belum waktunya layu, Inah.” Sarinah terhanyut juga oleh kata-kata manis.
”Sayang kalau tak ada yang tahu, kalau itu semua anugerah.” Si Pendek Lidah terus saja mencari
celah dengan segala cara.
Ia bahkan sempat beranjak dari duduknya, mendekatkan diri seraya membisiki kata-kata mesra.
”Lagian aku mau kok menikahimu, asal…” Kata-kata Si Lidah Pendek terpotong sengaja.
”Asal apa?” Sarinah bereaksi.
Di luar hujan terus turun, lidah angin sesekali mengirim dingin ke tengkuk leher. Sarinah
langsung mengambil papan-papan penutup warungnya dan berniat merapikan barang
dagangannya. Dengan sigap Si Lidah Pendek ikut membantunya. Mereka berdua masuk ke
rumah, meninggalkan sisa-sisa hembusan nafas di udara yang tiba-tiba terasa menggigilkan
mereka.
Lalu untuk kedua kalinya, ketiga kalinya sampai tak bisa lagi terhitung, Sarinah terbiasa
dijanjikan manis oleh Si Pendek Lidah. Terantuk jatuh ke dalam dekapan, Sarinah terbuai.
Sampai benar mengharap sebuah ikatan suci pernikahan. Tetapi Si Pendek Lidah selalu berkelit
ketika dimintai melenggang ke jenjang hubungan langgeng.
Sampai pada suatu hari, kabar itu pun sampai juga pada Sarinah. Kabar Si Pendek Lidah yang
akan menikah. Sayang seribu kepalang, nama calon wanita yang akan dipinang bukanlah dirinya.
Sarinah seperti mendapat hantaman keras tepat ke ulu hati. Kepalanya terasa diinjak keras-keras
oleh kaki. Rupanya selama ini, ia hanya jadi pemuas nafsu binatang Si Pendek Lidah belaka.
Malam-malam ketika suara jendela kamar Sarinah diketuk, seperti biasa tanda Si Pendek Lidah
meminta membukakan untuknya. Dalam diri Sarinah terasa ada yang berbeda, wajah berhias
begitu cantiknya. Dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan membubuhi tubuhnya dengan
wewangian. Tentu Si Pendek Lidah merasa sangat bahagia. Diciuminya Sarinah dalam pelukan
yang erat. Sampai terasa hangat menjalar membangkitkan gairah syahwat dari ujung kaki ke
ujung kepala. Lantas Si Pendek Lidah menjilati tubuh Sarinah, seperti hari-hari memadu kasih
sebelumnya, sungguh memabukkan.
Tak dinyana, ketika bulan berahi mulai terpanggang dalah tubuh mereka berdua, tangan kiri
Sarinah menarik julur lidah sang belahan jiwa. Dilayangkannya sebuah pisau pada genggaman
tangan kanan Sarinah. Suara dengus purbawi tiba-tiba berubah menjadi pekik kesakitan yang
ganjil dan terdengar sangat pedih. Untuk pertama kalinya, Si Lidah Pendek melihat dengan
kepala matanya sendiri, secuil daging berlumuran darah terlempar dari mulutnya.