Anda di halaman 1dari 29

Lembar Kerja Cerpen

1. Bacalah dua buah cerpen berikut ini dengan cermat!

Cerpen 1

Seragam

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali
saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut
duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh
yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap
Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa
diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena
keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga
kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan
padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah
menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”

”Kenangan.”

”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu
kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”

Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan
meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu.
Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya.
Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya.
Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang
ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia
menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan
pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau
kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa,
berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat
seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami
hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan
kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya
langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering
memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya
untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya
sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai
ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat
mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya
nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu
hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai
untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga
seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari
jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

”Tanggung,” jawabnya.

Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu
berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah
melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik
cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau,
tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal
terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana
sendirian.

Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa
menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali
rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit
menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau
bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang
tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja
walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor
jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya
yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga
minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat

berpindah membakar punggung saya!

”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk


dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan
kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh
dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk
berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu.
Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan
justru berubah menjadi teror yang mencekam!

Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya
yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya
dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan
dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan
mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian
mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-
bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab
yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain
yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah
yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang


melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di
pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya
dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos
di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.
Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih
memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”

Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya
menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri
dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama
membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah
gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan
terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang
menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua
dia semakin tidak tahu diri.”

”Ulahnya?” Dia mengangguk.

”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga.
Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan
mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki
rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus
sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah
beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.

”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.
Ada kesungguhan dalam suaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik
itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak
pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di
malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar
bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa
membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang
saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam
dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/08/12/seragam/#more-1627

Cerpen 2

Pesan Pendek dari Sahabat Lama

Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus
dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara,
lalu tiada.

Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat
sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga
untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang
terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh
tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.

Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan
atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.

Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di
atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang
pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon
menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-
tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh
menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok.
Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar. Dan, sesudah kerusuhan itu
reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, gerakan
massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali.
Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang
mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh
ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-
laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia,
kusuruh ajudanku menjemputnya.

Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di
kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan
senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar
aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih
melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan
ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau
dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya
yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir
seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali
memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir.

Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun,
ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah
sangat membahagiakan dirinya.

Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak
kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan
persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana
saja dia dan apa pekerjaannya sekarang.

Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling
berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku
kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih,
mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga
dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman
kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.

Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia
tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku
ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta
aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.

Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya:
ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku
terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa
minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap
aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.

Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa
seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah.
Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari.

Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan
banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini
dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.

”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku.

Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi
petani….”

”Sekarang?”

”Ya, tetap konsisten jadi … gelandangan.”

Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok.


”Aku senang kamu menjadi gubernur di Margaz, kota yang sangat kita cintai. Tidak sia-sia
kamu jadi kader partai…,” ujarnya.

Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku
dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang
menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa
bersalah dengan pilihanku. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.

”Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang sangat terhormat.”

Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee… maaf mungkin aku bisa
membantumu, Bung…?”

”Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan. Aku hanya membutuhkan
hatimu…. Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat perih.

Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat.

”Kamu tahu yang kuinginkan? Okay, selamat siang.”

Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk
mencegahnya.

Apa yang salah dengan hatiku? Pikirku.

Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas
mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-
apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku
tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku
terkapar di dalamnya.

Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Kuedarkan pandangan mataku. Aku sedikit
kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang
berpakaian serba putih.

Anak dan istriku memelukku. Mereka kularang untuk menangis. Istriku bilang, aku terkena
serangan jantung koroner, namun tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah
mengizinkan aku pulang.

Istriku mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi.
Atau kami tinggal di hotel beberapa hari.

”Kenapa?”

Istriku tersenyum, ”Ya, agar papa makin sehat saja atau bisa lebih tenang….”

Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor
mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika
kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat
rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Tapi, istriku
mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel.

”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh.
Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan
mal di daerah Kraz,” ujar istriku sambil menggenggam tanganku.
Mendadak handphone mengisyaratkan ada pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka.
”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Begitu pesannya.

Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz
tahu tahu nomor handphone-ku?

”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih
pacarmu….”

Gila. Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?

Muncul lagi kiriman pesan: ”Salah satu dari mereka”.

Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya?

”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk mal,
Bung”.

Huruf-huruf di dada handphone itu terasa berdesak-desak di benak. Kepalaku terasa


berputar-putar.

”Are you okay, Pa?” istriku menyeka keringat di keningku.

Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz.

”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik….”

Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak
menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang-
orang suci atau nabi.

”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu
berkhianat, kawan?”

Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-
putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Istriku menjerit. Dokter datang.
Tabung oksigen disalurkan di hidungku.

Tubuhku sangat lemas, namun sesak dadaku sudah sangat berkurang. Kepalaku juga
semakin ringan. Namun, bayangan wajah Gardaz bersama para korban penggusuran itu
terus memenuhi benakku. Mereka berjalan berderap-derap, dengan sorot mata nanar,
dengan gigi-gigi gemeretak ingin mengerkah kepalaku.

Aku berhasil mengempaskan mereka. Tubuh-tubuh mereka seperti terurai, namun dalam
beberapa detik menyatu, mengkristal dan menggumpal kembali. Tatapan mata mereka
nanar.

”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Huruf-huruf pesan pendek itu timbul-tenggelam di kepala.
Dan dari kejauhan, kulihat Gardaz tersenyum. Pahit. Aku mencoba mengejar dan
memeluknya, namun dia terus memelesat di antara gumpalan awan menuju cakrawala.
Langkahku sangat lamban serupa reptil melata. Dia semakin jauh, semakin jauh. Tak
terkejar.

Aku merasa kehilangan seorang kawan, sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak
pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau
manusia yang sangat berbakat jadi nabi.
Yogyakarta 2009

Sumber: https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/04/26/pesan-pendek-dari-sahabat-
lama/#more-633

2. Analisislah unsur pembagun cerpen tersebut ke dalam matrik berikut!

No. Unsur Cerpen 1 Cerpen 2


pembagun (Seragam) (Pesan Singkat dari Sahabat
cerpen Lama)

1. Tema

2. Latar
3. Tokoh

4. Penokohan

5. Alur

6. Sudut
pandang

7. Amanat

8. Gaya
bahasa/
majas
Simpulan:

3. Analisis cerpen tersebut berdasarkan kaidah kebahasaannya.


Tuliskan jawaban kalian pada table yang disediakan

NO KAIDAH KEBAHASAAN CERPEN KUTIPAN TEKS

1.

2.

3.

4.

5.

6.
7.

4. Analisis nilai nilai yang terdapat pada kedua cerpen tersebut

Judul cerpen Nilai nilai yang diajarkan Kutipan teks

Agama/religious

Moral
Seragam

Sosial

Budaya

Agama/religious

Moral

Pesan Pendek
dari Sahabat Sosial
Lama

Budaya
5. Presentasikan hasil kerja kelompok kalian dalam di

Ramin Tak Kunjung Pulang


Ramin berhenti menoleh ke belakang tergesa menarik napasKalau saja aku

tidak nekat ke sini rutuknya dalam hati Ia bergegas menerobos belukar

Dari jauh terdengar deru langkah-langkah memburuSial sial sial Ramin

mendesis kemejanya sobek lengannya berdarah tergores sema

Ramin berhenti, menoleh ke belakang, tergesa menarik napas. ”Kalau saja aku tidak

nekat ke sini,” rutuknya dalam hati. Ia bergegas menerobos belukar. Dari jauh

terdengar deru langkah-langkah memburu.”Sial... sial... sial…!” Ramin mendesis,

kemejanya sobek, lengannya berdarah tergores semak berduri, tapi ia tak peduli.
Petang mulai turun, waktu paling buruk untuk dikejar atau mengejar. Kecelakaan

kerap terjadi, mata manusia tidak melihat bentuk dengan benar. Tapi, ini malah

bagus bagi Ramin. Ia bergegas terus... terus… menghilir sungai, yang penting jauh…

jauh... jauh… dari para pemburu.

Ia memikirkan Dadan yang lari bersama, tapi terpisah di tengah jalan. Juga Aco,

orang sial yang bikin mereka ketahuan petugas. Kalau Aco tak berulah ke preman

pasar, petugas tak mungkin mencurigai mereka sebagai pekerja ilegal, dan tak

mungkin juga kini Ramin berlari sekuatnya menuju Sungai Tawau, satu-satunya

jalan kembali ke Tanah Air.

Kini ia di pinggir sungai, separuh terlindung dari para pengejar berkat rumput-

rumput liar tinggi, berharap menemukan tempat sembunyi. Sungai perbatasan itu

bukan sungai yang garang, bahkan pemurah. Ramin dan rekan kerap memancing di

sungai ini mendapat banyak ikan untuk makan malam. Tapi hari ini sungai itu

tampak tak bersahabat. Hujan sejak seminggu membuat air bah mengempas apa pun

yang dilalui.

”Kalau aku lolos, ya Allah, sumpah aku tak akan balik ke tempat laknat ini, berapa

pun uang yang kuterima. Biar anakku tak usah menikah saja kalau uang tak ada!”

bisik Ramin lagi dalam hati. Terseok-seok ia berjalan menuju akar-akar pohon

rumbia di pinggir sungai, lumpur sudah sampai di mata kaki.

Kakinya gemetar, ranselnya mulai berat. Tapi Ramin tetap mendekapnya kuat-kuat,

karena ke dalam ransel itulah ia menjejalkan semua ringgit jerih payah dua musim

bekerja keras di negara orang. Tak akan ia lepaskan ransel itu, tak akan.
Ramin di sela-sela akar pohon, tak ada cara lain untuk sembunyi selain

menenggelamkan—paling tidak separuh tubuh, berpegang kuat pada akar agar tak

terseret arus deras.

”Ke sungai… sungai...!” teriak salah seorang pengejar.

Berpegangan pada akar rumbia dalam senyap, tanpa gerak tambahan yang dapat

membuat para pemburu mengetahui tempatnya sembunyi, Ramin menggigil diayun-

ayun gelombang deras tepi sungai. Dalam dorongan kuat air, ia teringat siang tiga

musim lalu ketika beristirahat di pondok, kecewa merawat cuma belasan pohon

cengkeh. Hasilnya sangat sedikit karena terserang hama, untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga pun kurang, apalagi buat bayar utang-utang menumpuk.

Anak gadisnya pun sudah merengek minta menikah.

Biaya menikahkan anak tidak murah. Kalau semua pohon cengkehnya sehat, Ramin

paling tidak butuh tiga kali panen untuk biaya menikahkan anaknya. Ia harus

mencari pekerjaan baru.

Ramin mulai dengan mendatangi rumah Naspin yang mempekerjakan puluhan

nelayan, berharap bisa mendapat kerja.

”Sekarang lagi musim angin barat, Min, banyak perahu kami tidak jalan, tidak ada

kerjaan lagi,” jawab Naspin sambil menyuguhkan gorengan. Tangan Ramin lunglai

mendengar jawaban Naspin, urung mengambil pisang goreng.

”Kalau pinjam uang, bisakah, Pin?” Ramin masih berharap.

”Nihil, Min…. Kalau ada pasti kukasihlah, susah sekarang ini, ikan tak banyak, hasil

jualan jadi tak seberapa.”


Kecewa, Ramin melanjutkan upaya kedua, pergi ke Haji Ramlan, untuk pinjam uang

saja. Tapi malah ditertawakan. ”Hai Min… Min…. Bayar bunga pinjaman yang

kemarin saja kau tak lunas-lunas, mau pinjam lagi? Ha-ha-ha!”

Ramin pergi dengan tengkuk tertekuk. Masih mencoba peruntungan, ia mampir ke

Mansyah, importir sembako dari negeri jiran. Ramin berharap dapat kerja di salah

satu kapal pengiriman barang. Sayang, Mansyah tak bisa membantu karena awaknya

sudah penuh. Oleh Mansyah, ia disarankan ke Dadan, teman masa kecilnya yang

juga karib Mansyah. ”Dadan, kan, sekarang jadi calo pekerja ke Malaysia,” jelas

Mansyah.

”Kerjaan di Malaysia banyak. Kau bisa jadi tukang listrik perumahan. Duit enak,

kerja santai, apalagi kau sudah punya pengalaman toh,” Dadan membuka ajakannya.

Ramin tersenyum samar. Ia memang pernah bekerja jadi tukang listrik kampung

meski tidak lama.

”Tapi aku harus keluar uang berapa untuk urus surat-surat, Dan? Kerja di luar

negeri, kan, repot urus surat?”

”Ah gampang itu, kita bisa pakai kapal-kapal kecil, banyak jalan menuju Tawau, Min,

tanpa biaya awal,” jawab Dadan meyakinkan Ramin.

”Yang benar, Dan?”

”Aku sudah bolak-balik kirim orang kerja ke sana, semua aman pulang ke kampung,

langsung beli tanah, beli mobil, menikahkan anak…,” jawab Dadan. ”Kalau kau

butuh uang cepat, berangkat sudah, Min.”


”Tanpa surat-surat? Memangnya aman? Kalau kena tangkap?” Ramin memastikan

lagi, meski ia tahu tak punya pilihan lain. Kalau anaknya kawin lari karena sudah

ngebet, tapi ia belum punya biaya menikahkan… aih, aib luar biasa itu.

”Kau lihat si Jahin kemarin pulang tak kekurangan apa pun? Malah beli motor baru

buat istrinya. Atau si Suhar kemarin pulang langsung buka pertamini? Kalau

kubilang aman, ya aman!”

♦♦♦

Ramin nyaris menjerit, tangannya tertumbuk dahan hanyut saat buru-buru

sembunyi di dalam pelukan akar, untung ia segera melihat dahan itu. Hampir ia

mengira mulut buaya yang siap menelan lengannya.

Teringat lagi ia pada Aco, sejak semusim lalu ia ikut Dadan karena hasil cengkehnya

tak bagus, sementara tengkulaknya minta selalu dibayar. Aco tertangkap petugas

saat adu mulut di pedagang nasi lemak lantaran ia mengumpat pada preman yang

menutupi jalan.

Hari itu memang perpaduan nasib sial jatuh di hadapan Aco, umpatannya didengar

preman, adu mulut terjadi, dan petugas sedang lewat. Apes. Aco lalu dibawa petugas,

digiring bagai ternak ke tengah lapangan, dipukuli dengan bengis saat mencoba

kabur, ditanyai macam-macam, didenda hingga ia tak sanggup bayar, diambil hasil

kerjanya satu musim, dideportasi, pulang ke rumah dengan tangan hampa, ditunggu

tengkulak pula. Bah! Hilang sudah satu kebun cengkeh dirundung sial.

Gara-gara Aco juga petugas kini memburu Ramin dan Dadan. Ternyata Dadan

memang sudah dicari-cari petugas karena beberapa kali memasukkan tenaga kerja
tanpa izin. Ramin memang tak berpikir panjang saat berangkat kerja dengan Dadan.

Yang penting ia bisa membawa pulang uang untuk menikahkan anaknya, buat

pengobatan sakit gula ayahnya, dan sisanya bisa ia belikan mesin cuci yang saban

hari diminta istrinya.

Ramin tak mau nasib naas Aco terjadi pada dirinya. Wajah semringah anak gadisnya

sudah terbayang girang menyambutnya dengan ransel penuh uang.

♦♦♦

Bunyi langkah mendekat, pelan, Ramin membeku, sekuat-kuatnya menahan napas.

Baginya lebih baik tak bernapas daripada tertangkap petugas-petugas berwajah

garang itu. Bisik-bisik makin kencang. Ramin memutar otak. Kalau mereka melihat

rumput-rumput rebah itu, atau kalau ada satu dua orang cukup jitu tebakannya,

mungkin mereka bisa yakin bahwa pelarian yang mereka kejar bersembunyi di

antara akar pohon.

”Mungkin dia berenang lewat sungai?” bisik seorang pemburu.

”Bodoh betul, lihat air sungai deras begitu? Hujan lagi…,” jawab yang lain.

”Shhhh… lihat ada jejak ke sungai, mungkin di balik akar itu,” geram suara lain, kali

ini lebih tegas dan yakin.

Ramin mendengar kecipak sepatu bot yang mendekat ke tepi sungai, melewati jalan

becek. Ia mencengkeram akar lebih erat hingga tangannya kebas. Tapi ia harus

bersembunyi, ia harus lari, ia mau pulang dengan hasil kerjanya utuh. Subuh nanti,

kalau ia berhasil lepas dari buruan petugas, ia bisa pulang menumpang kapal, hanya

beberapa kilometer dari tempatnya sembunyi. Mereka biasa menurunkan


penumpang, calon pekerja dari kampung Ramin, dan menaikkan barang jualan dari

Tawau ke desa perbatasan Aji Kuning di Nunukan. Kalau sudah sampai Nunukan,

jalan pulang akan lebih tenang.

Ramin ingat niatnya membawa oleh-oleh lawa buat istrinya, terbuat dari rumput laut

dicampur udang galah dan kelapa disangrai kering. Saban kapal angkutan

membongkar barang, istrinya selalu titip makanan gurih Nunukan itu kepada awak

kapal.

Namun, kini Ramin tengah sibuk melepas lilitan banyak akar di jemarinya yang

kebas. Ia melangkah dalam gelap, satu langkah, dua langkah, tiga... kini ia sudah

tenggelam hingga leher. Ia melangkah hampir ke tengah sungai, bagian yang lebih

dalam. Meski derunya tak terdengar, arus mendorong seluruh tubuh Ramin. Ia

berdoa dan berdoa, semoga tak ada yang melihat bahkan bayangannya.

Suara langkah semakin jelas, Ramin menarik napas panjang, lalu menenggelamkan

kepalanya. Arus melarikan rambut hitamnya. Tak awas dengan derasnya aliran air,

ia tergelincir, terempas ke kiri tanpa suara, kepalanya menghantam bonggol akar

besar yang keras, kakinya terlilit akar di dasar sungai.

Arus makin deras, langit makin gelap, langkah sepatu-sepatu bot pemburu sudah tak

terdengar. Mereka memang sempat menelisik ke akar-akar tempat Ramin

bersembunyi, tapi tak menemukan apa pun. Seharusnya Ramin lega, tapi ia tak

kuasa merasakan apa-apa, ia sudah tak bergerak, bahkan sebelum lilitan akar pada

kakinya mengendur. Pasang semakin tinggi dan tubuhnya terbawa aliran sungai,

terbanting-banting mengarungi kelam malam.

♦♦♦
Dan di sana, dalam gubuk di antara pohon-pohon cengkeh yang meranggas, doa tak

kunjung habis dipanjatkan. ”Ya, Allah, aku percaya suamiku akan pulang dengan

selamat, menepati janjinya untuk menikahkan anak kami,” istri Ramin berdoa setiap

subuh, memohon, kerap menangis. Semakin ia rindu suaminya, kian perih dadanya.

Anisa, anak gadis Ramin, sudah matang betul, tak menikah, sabar menunggu

ayahnya pulang membawa restu dan uang. Namun, tunangan Anisa tidak sesabar

dirinya. ”Aku tetap mencintaimu, Anisa, tapi keluargaku tak sanggup menunggu,”

ujar kekasihnya memberi alasan untuk menikahi perempuan dari desa sebelah yang

kini sudah memberinya dua anak.

Mata Anisa selalu sembab jika ia teringat saat harus melepas pergi kekasihnya.

Namun, ia tetap tabah, penuh harap, dan sangat yakin ayahnya pulang.

Subuh itu Anisa ikut ibunya berdoa agar ayahnya selamat pulang. Dari cerita awak

kapal yang biasa mengangkut pekerja gelap, mereka tahu, Ramin dikejar petugas

sebelum beritanya tak sampai lagi. Banyak cerita pekerja seberang yang sembunyi

hingga lama agar tak ditangkap petugas, ia berharap ayahnya salah satu dari orang-

orang itu. Meski pernah pula ibu dan putrinya itu berpikir, Ramin mungkin sudah

menikah lagi dan membangun keluarga baru di rantau. Namun, Anisa yakin ayahnya

tak sampai hati berbuat begitu. Ia tepis jauh-jauh pikiran itu walau hatinya pilu. Ia

yakin, ayahnya pasti pulang. Pasti.

https://www.kompas.id/baca/utama/2019/12/08/ramin-tak-kunjung-pulang/?
status=sukses_login&status_login=login&isVerified=false
Akar Bahar Tiga Warna
Ada yang karena kesulitan mendapat akar putih hanya memakai dua warna

saja, hitam dan merah. Tapi, dari kakeknya Naspin tahu, kalau mau paten,

ia harus mengikuti aturan kuno pulau: mesti tiga warna.

Ketika menggulung selang di atas perahu, Naspin tak tahu pasti seberapa panjang ia

harus mempersiapkan, karena tak kuasa menduga seberapa dalam akan menyelam.

Ia mengingat-ingat petualangannya menyelam mencari apapun buat menyambung

hidup: kerang raksasa, lobster, teripang, kerapu, hingga yang paling mahal dan

sangat laris: akar bahar tiga warna.

Itu dulu, sekarang ia harus menyelam lagi demi kesembuhan Ibu.

Naspin tahu menyelam itu banyak tantangan dan berbahaya. Setahun lalu,

sepupunya meninggal karena menyelam mencari teripang. Naspin bersama Ibu

sempat merawatnya, mendatangkan pemijat kejang otot paling sakti, tapi tak

tertolong juga. Sepupu itu meninggal tanpa sempat sadarkan diri. Sering terjadi

penyelam dengan kompresor meninggal atau lumpuh.

Tapi Naspin tak peduli, ia ingin menjadi anak berbakti, memberikan akar bahar tiga

warna penolak bala buat sang ibu yang sedang terbaring lemas karena demam.

Di Pulau Maratua tempat tinggal Naspin, orang percaya akar bahar tiga warna

memiliki bermacam khasiat. Berbondong orang dari Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi
memburunya buat azimat yang diyakini dapat menjauhkan segala marabahaya, juga

terbebas dari sergapan virus korona.

Mereka mendatangi Pak Sikut, aparat yang bertugas di pulau terluar berbatasan

dengan Filipina itu, untuk mendapatkan akar bahar merah, hitam dan putih. Laki-

laki kurus ini menjadi perantara, menjual akar azimat dengan harga tiga kali lebih

mahal. Sejak pandemi merebak, makin banyak orang luar pulau memesan lewat Pak

Sikut, pastilah kian kaya dia.

Naspin menyampirkan gulungan selang di atas kompresor yang akan dipakai

menyelam, di sebelah gergaji, dan kaca renang. Ia menghidupkan mesin dan

meluncur di permukaan laut, sesekali perahu berdebam menghempas air kala

bertemu gelombang. Tak sampai sejam, ia tiba di laut yang dinding koralnya

terbentang hingga jauh ke dasar. Ia matikan mesin perahu, menghidupkan

kompresor, memakai kaca renang, menggigit selang kompresor, memegang gergaji

dengan satu tangan, dan byurr….

Ikan-ikan kecil sekitar karang tak peduli sesosok bayangan menghampiri mereka,

ikan-ikan besar agak menghindar saat Naspin melayangkan tubuhnya menilik

dinding koral lebih dekat. Di kedalaman 15 meter, tubuhnya berbelok saat dinding

karang membentuk ujung tajam, menyebabkan ia harus menikung cepat. Arus

bawah mulai kencang, ia mesti hati-hati agar tak terseret hanyut entah kemana.

Ini hari ketiga Naspin mencari akar bahar putih, satu-satunya warna yang susah

didapat. Ia sudah turun sangat dalam, belum dilihatnya ranting-ranting akar bahar

putih.
”Makin susah kau dapat akar baharmu, makin berkhasiat, Pin!” ujar kakeknya saat

Naspin kecil terpukau menemani sang kakek membentuk akar-akar menjadi gelang.

”Kalau kau dapat akar di pantai, hanyut terbawa arus, atau yang nyasar di jaring

nelayan, bah! Tak ada gunanya itu!”

Jadilah dua hari lalu ia berdoa agar akar putih ini susah didapat. Ia ingin gelangnya

manjur agar dapat mengobati Ibu yang sudah sebulan terbaring demam. Musim

pandemi seperti saat ini, ia takut Ibu terserang virus. Naspin membulatkan tekad

membuat gelang tiga warna, setelah mendengar di kampung sebelah ada yang kena

virus, keadaannya persis seperti Ibu, dipakaikan gelang, dan minum rebusan akar

bahar tiga warna, kini bugar, tak perlu ke rumah sakit.

Cahaya makin temaram, Naspin makin jauh ke dalam laut. Akar putih itu belum ia

temukan juga. Seekor penyu berenang melayang di bagian yang lebih dalam, tapi ia

tetap menilik tembok koral, menemukan beberapa kumpulan akar hitam dan merah

yang ia acuhkan. Terus menerus dengan ketajaman penuh ia telisik permukaan

dinding karang. Ia menoleh ke sebuah titik yang agak jauh, memicingkan mata.

”Oh… apakah itu... Ya, itu akar putih yang kucari! Kudapat juga kau!” pikirnya

senang. Ia sentuh dengan gembira cabang-cabang berkhasiat itu, diambilnya ancang-

ancang untuk menggergaji tangkai utama. Tak besar, tapi ia harus mengerahkan

cukup banyak tenaga. Namanya memang akar bahar, tapi bukan tanaman, ini

binatang karang berbentuk seperti cabang pohon atau akar.

”Ah, tebal juga,” gerutu Naspin, menggergaji hingga serpih terakhir akar. Ia lalu

meluncur cepat ke permukaan, bayangan Ibu tersenyum lega penuh syukur

menerima gelang akar terlintas. Sampai di permukaan, ia lemparkan akar dan

gergaji ke perahu, menghidupkan mesin, meluncur pulang.


”Dalam juga tadi menyelam, sampai enam puluh meter,” pikir Naspin, sambil

menggulung selang. Ia sangat gembira karena akar putih ini susah dicari, butuh

waktu tiga hari, dan masing-masing memerlukan waktu lebih dari setengah hari.

Naspin bersiul, merasa sangat bangga karena tak lama lagi akan bisa

menyembuhkan sang ibu. Ia memandang sayang akar bahar putih yang dijemurnya

di lantai perahu. Sekilas ia merasa kakinya kesemutan, hanya sesaat, lalu hilang.

Di gudang tempat Naspin menyimpan segala peralatan memancing dan menukang,

ia langsung membentuk akar putih yang baru didapat. Gelang ala tasbihnya dibuat

bentuk bulat dengan tiga bulatan akar hitam, tiga merah, dan tiga putih. Harus

sembilan karena orang pulau percaya ini angka paling besar, paling mujarab, buat

menolak bala. Untuk mendapat hasil paling berkhasiat, semua warna harus

berselang-seling. Ada yang karena kesulitan mendapat akar putih hanya memakai

dua warna saja, hitam dan merah. Tapi, dari kakeknya Naspin tahu, kalau mau

paten, ia harus mengikuti aturan kuno pulau: mesti tiga warna.

Ia puas pada hasil kerjanya, dan senang bisa selesai hari itu juga. Dielusnya bulatan-

bulatan gelang itu dengan lega. Ia yakin ibunya akan sembuh berkat gelang penolak

bala yang dibuatnya sendiri, dengan akar putih langka. Ia bangkit, menyiapkan

makan malam Ibu.

Naspin masuk pelan ke kamar, membawa senampan nasi, ikan kuah, dan rebusan

gelang akar bahar tiga warna. Ibu rebahan, bersandar di tempat tidur, tersenyum

lemah.

”Bu… Ibu sudah bangun?”


”Sini, Pin. Banyak ikan tangkapanmu?”

”Saya tidak menangkap ikan tadi, Bu.” Ia sodorkan rebusan gelang di gelas, Ibu

menyambutnya. ”Saya tadi mencari akar bahar putih.” Naspin merogoh gelang di

saku. Raut wajah Ibu mengeras.

”Untuk apa kau cari akar bahar?”

”Buat kesembuhan Ibu. Minumlah, Bu.”

Ibu meletakkan gelas, menggigit bibirnya, wajahnya semakin pucat.

”Minumlah biar sembuh, Bu. Itu nggo-nggo di kampung sebelah sakit seperti Ibu,

minum air rebusan gelang dan sekarang sudah sehat.”

Ibu menggeleng kuat-kuat, Naspin menatap heran. Ibu terbatuk, napasnya putus-

putus, bibirnya gemetar.

”Jangan beri ibumu harapan palsu, Nak! Ayahmu selalu memakai gelang dan minum

air rebusannya, tapi tetap sakit juga!”

”Bapak selalu sehat, Bu. Bapak sakit apa?” setahu Naspin bapaknya selalu sehat dan

bertenaga, tak pernah sakit. Kakeknya juga.

”Mana bapakmu sekarang? Mati kan dia?” Ibu tersedu.

Sepi menyesak dada tertahan di kamar itu. Anak-ibu itu termangu.

”Ayahmu sakit, Pin. Sesak napas, tiap malam minum rebusan gelang, dulu aku yakin

betul gelang ini bisa melindungi kami dari demit dan sakit.”
”Tapi gelang-gelang ini, orang-orang yang sembuh di kampung sebelah?”

”Tidak ada buktinya di rumah ini, Pin! Ibu tak percaya!” Ibu meraih gelang di tangan

Naspin. Gelang ini, akar ini, semuanya….”

Naspin berkeringat dingin, kakinya gemetar, nyeri naik dari telapak hingga paha.

Perutnya mulai mengeras. Ia mengalami kejang otot pada lengan dan pinggul.

”Banyak yang cacat karena mencari akar sampai di dasar laut, padahal tak ada

gunanya. Ibu tidak pernah memberitahu ayahmu sakit, karena tak mau kau kecewa.

Kau selalu bangga dengan dongeng-dongeng dari kakekmu.”

Ibu tersedu, bergumam, lebih pada dirinya sendiri. ”Makanya kubuang semua

gelang-gelang itu saat bapakmu pergi.”

Naspin berniat berdiri, mencoba menghapus kecewa. Tiba-tiba ruangan itu ia rasa

berputar, dinding-dinding seperti hendak runtuh ketika ia tak bisa lagi merasakan

pinggangnya yang kian mengeras. Tubuhnya kaku. Samar-samar ia mendengar suara

kaget ibu.

”Pinnn! Kenapa kau?” Ibu bangun menahan tubuh anaknya yang tersungkur.

”Kaki Bu… tak… bisa… rasa… kram…,” suara Naspin lemah, kian samar. Tangan

kanannya berusaha menunjuk kaki, namun lunglai. Naspin tak sadarkan diri.

Ibu memeluk Naspin, napasnya tersengal-sengal.

”Jangan mati, Pin. Jangan…!” bayangan sepupu Naspin meninggal di kamar ini

karena kram usai menyelam, berkelebat.


Ibu mencengkeram erat gelang tiga warna itu, matanya terpaku pada gelas berisi air

rebusan akar bahar di atas nampan. Ia berteriak, menangis melolong-lolong.

*Nggo-nggo = ibu-ibu

 https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2021/01/24/akar-bahar-tiga-warna/

******

Lina PW lahir dan besar di Pulau Dewata. Pernah menjadi penulis lepas di

beberapa media lokal dan kontributor perjalanan di sejumlah media nasional.

Pengalamannya mengajar di daerah terpencil dan pulau terluar kerap menginspirasi

kisah-kisah yang ditulisnya. Cerpennya Rumah Batu Kakek Songkok serta Ramin

Tak Kunjung Pulang masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2017 dan 2019.

Kini menetap di Denpasar, Bali.

Hikayat Si Lidah Pendek
Posted on December 13, 2013
Oleh: Mugya Syahreza Santosa
Malam adalah ibu bagi setiap masa lalu. Dikirimkannya potongan-potongan kenangan; sekerat
kesedihan atau sekeranjang kecil kebahagiaan. Kau tak akan bisa memilih, mana lebih dulu yang
akan dijatuhkan ke atas pangkuanmu dari langitnya. Seperti pada malam ini, di mana Si Lidah
Pendek harus menerima kembali sebongkah malam paling menyesakkan dadanya bila harus
terbayang kembali ingatan itu.

Di dinding rumah kayu, ia melihat sepasang cicak sedang berkejaran memburu waktu. Seakan
sedang memadu, sebelum akhirnya berseteru dengan begitu sengitnya. Saling menerkam, ingin
melukai satu sama lain. Lalu keduanya jatuh. Seperti sudah ia duga, ia melihat ekor cicak yang
putus menandakan di antara mereka telah ada yang jadi pemenangnya.

Ah, mengapa harus ada tragedi binatang yang menjijikkan itu di hadapannya. Hingga
mengingatkan ia pertama kalinya melihat daging lidahnya sendiri yang terpotong dan jatuh di
depan mata. Secuil daging berlumur darah dan rasa perih yang menyengat, dari mulut sampai
ujung tenggorokannya.

Orang-orang hanya tahu nama panggilannya saja, Si Lidah Pendek. Namun tidak tahu, mengapa
ia bisa dinamai Si Lidah Pendek. Apa pula yang telah menimpa pada hidupnya sehingga harus
menanggung sakit setiap kali ia bicara sepatah kata sekalipun. Rasa sakit menerima kenyataan
bahwa kini lidahnya tak pernah benar-benar membantunya, sekadar untuk mengucapkan sebuah
nama. Sungguh bukan bawaan dari lahir atau sebuah kecelakaan tidak sengaja yang telah
menimpanya.

Waktu itu malam diguyur hujan sedari petang. Langit enggan juga menyingkapkan kelam dari
perkampungan. Orang-orang asyik menghangatkan dirinya dengan cara mereka sendiri-sendiri. Si
Pendek Lidah, sebagai seorang pemuda kurang kerjaan, duduk-duduk di warung Sarinah. Setelah
memesan segelas kopi dan menghabiskan tiga buah pisang goreng, ia cuma bisa mematung
sendirian. Lantas mematikan puntung rokok pada ujung bangku yang memanjang menghadap
meja.
”Sepi.”

”Iya. Hujan dari sore soalnya.” Sarinah menimpali.

Pandangan Si Pendek Lidah menyapu seluruh ruang warung itu. Tapi tak ada yang bisa membuat
tatapannya tertahan, selain pada ujung kemeja Sarinah yang terbuka tak terkancing. Sedikit-
sedikit ia memalingkan tatapannya. Meski tetap saja kembali terpusat pada belahan dada yang
setengah menyembul.

”Kamu seksi juga Inah.” Tak sengaja terucap. Sarinah malah tersenyum menyambutnya. Si
Pendek Lidah kehilangan daya menahan dirinya.

”Saya tak percaya kalau tak ada lagi yang mengajak nikah.”

”Ah, saya sudah tua. Mana ada yang mau sama saya. Sudah janda, miskin lagi.” Mereka berdua
saling melempar simpul senyum. Suara hujan seolah-olah meredam rasa malu mereka untuk
saling merayu.

”Masih muda kamu itu Inah, saya tahu, banyak yang naksir sama kamu.”

”Ah ngarang.”

Si Pendek Lidah tahu betul, Sarinah selalu dijadikan bahan olok-olokan di pangkalan ojek, pos
ronda atau setiap kali berkumpul di lapangan desa. Tentang bagaimana kalau akhirnya jodoh di
antara para pemuda begundal itu adalah Sarinah. Tentu mereka semua, termasuk Si Pendek
Lidah, mengelak dan mengucap ’amit-amit’. Meski diam-diam mereka semua selalu menggoda
Sarinah tanpa sepengetahuan orang-orang. Yang paling berani bahkan mereka sering mengintip
Sarinah kalau kebetulan ke warung lagi sepi dan terdengar Sarinah di dalam kamar mandi.

Para lelaki kurang kerjaan dan hidung belang di kampung memang sering mengharap bisa dekat
dengan Sarinah. Sebab Sarinah bukanlah janda yang serta-merta tak punya wajah manis. Memang
sudah berkepala empat usianya, tapi bukan main, tubuhnya masih tetap mekar dengan biusan
khas seorang perempuan kesepian.

”Wajahmu masih ayu. Belum waktunya layu, Inah.” Sarinah terhanyut juga oleh kata-kata manis.

”Saya bisa membuktikannya.” Sarinah terdiam. Wajahnya sumringah sekaligus menampakkan


kegugupan tersendiri.

”Sayang kalau tak ada yang tahu, kalau itu semua anugerah.” Si Pendek Lidah terus saja mencari
celah dengan segala cara.

Ia bahkan sempat beranjak dari duduknya, mendekatkan diri seraya membisiki kata-kata mesra.

”Lagian aku mau kok menikahimu, asal…” Kata-kata Si Lidah Pendek terpotong sengaja.
”Asal apa?” Sarinah bereaksi.

”Asal cicip dulu.” Si Pendek Lidah bergumam tak jelas.

Di luar hujan terus turun, lidah angin sesekali mengirim dingin ke tengkuk leher. Sarinah
langsung mengambil papan-papan penutup warungnya dan berniat merapikan barang
dagangannya. Dengan sigap Si Lidah Pendek ikut membantunya. Mereka berdua masuk ke
rumah, meninggalkan sisa-sisa hembusan nafas di udara yang tiba-tiba terasa menggigilkan
mereka.

Lalu untuk kedua kalinya, ketiga kalinya sampai tak bisa lagi terhitung, Sarinah terbiasa
dijanjikan manis oleh Si Pendek Lidah. Terantuk jatuh ke dalam dekapan, Sarinah terbuai.
Sampai benar mengharap sebuah ikatan suci pernikahan. Tetapi Si Pendek Lidah selalu berkelit
ketika dimintai melenggang ke jenjang hubungan langgeng.

Sampai pada suatu hari, kabar itu pun sampai juga pada Sarinah. Kabar Si Pendek Lidah yang
akan menikah. Sayang seribu kepalang, nama calon wanita yang akan dipinang bukanlah dirinya.
Sarinah seperti mendapat hantaman keras tepat ke ulu hati. Kepalanya terasa diinjak keras-keras
oleh kaki. Rupanya selama ini, ia hanya jadi pemuas nafsu binatang Si Pendek Lidah belaka.

Malam-malam ketika suara jendela kamar Sarinah diketuk, seperti biasa tanda Si Pendek Lidah
meminta membukakan untuknya. Dalam diri Sarinah terasa ada yang berbeda, wajah berhias
begitu cantiknya. Dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan membubuhi tubuhnya dengan
wewangian. Tentu Si Pendek Lidah merasa sangat bahagia. Diciuminya Sarinah dalam pelukan
yang erat. Sampai terasa hangat menjalar membangkitkan gairah syahwat dari ujung kaki ke
ujung kepala. Lantas Si Pendek Lidah menjilati tubuh Sarinah, seperti hari-hari memadu kasih
sebelumnya, sungguh memabukkan.

Tak dinyana, ketika bulan berahi mulai terpanggang dalah tubuh mereka berdua, tangan kiri
Sarinah menarik julur lidah sang belahan jiwa. Dilayangkannya sebuah pisau pada genggaman
tangan kanan Sarinah. Suara dengus purbawi tiba-tiba berubah menjadi pekik kesakitan yang
ganjil dan terdengar sangat pedih. Untuk pertama kalinya, Si Lidah Pendek melihat dengan
kepala matanya sendiri, secuil daging berlumuran darah terlempar dari mulutnya.

CERPEN KOMPAS 10 November 2013

Anda mungkin juga menyukai