261 suara
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu
mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang
tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu
turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon
cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara
bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan
yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya
sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena
keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau
hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya
ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah
menyambanginya sejak itu.
Jadi, apa yang membawamu kemari?
Kenangan.
Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah
keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa
menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat
tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit
menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut,
atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi
yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenangtenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa
ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat
wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggitinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah
membakar punggung saya!
Berguling! Berguling! terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya
untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya
rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuknusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak
sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak
karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir
akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian
kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh
saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara
kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat
dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri
kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan
pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari
sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi
rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya
sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang
melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas
di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang
saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa
membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
Salahmu sendiri, tidak minta ganti, kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah
nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam
itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa
minggu.
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang
akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian
meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama
membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi
sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari
tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang
lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin
tua dia semakin tidak tahu diri.
Ulahnya? Dia mengangguk.
Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling
berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal
usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi,
dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku.
Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku. Terbayang sosok kakaknya
dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan
kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik
satu-satunya.
Kami akan bertahan, katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.
Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang
baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya.
Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong
saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab
yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa
membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang
saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan
seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Tangan-Tangan Buntung
with 44 comments
56 suara
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah
negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri
maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden
baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah,
ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan,
ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada
memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi
presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan
sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R.
Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup Presiden Nirdawat, terus-menerus
berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera
menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan
pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah
Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden
Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama
Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian
banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa
kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama
baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik
Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama
negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas
bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang,
disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak
lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini
masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk
menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan
sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan
dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan
kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik.
Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik
karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol
menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol
beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan
dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat
sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara
disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus
menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya
undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam
undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan
presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa
jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun
menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah
biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang
dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar
dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi
syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan
sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak
presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul,
sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam:
sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat
Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undangundang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah
kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang
memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik
Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar
memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main
perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka
berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir
pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke
dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun
tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan
yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki
atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,
berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia
pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan
tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando,
tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa
diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda
merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak
saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera
berwajahkan Nirdawat.
Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,
kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu
nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu
Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik
Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa
mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi
paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipujapuji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian
kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu
saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama
negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin,
dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada
wartawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang
kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara
hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas
menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering
saya katakan.
Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi, kata sekian banyak wartawan dengan
serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana
pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benarbenar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara
ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara
makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak
negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan
sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik
Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpinpemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para
pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu,
keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba,
datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di
negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum
memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagumkagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena
hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
148 suara
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas
ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan
merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia
menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya.
Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu.
Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki.
Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba
yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman
Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan
televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal.
Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas
sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil,
seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindihnindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu
jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba
Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam
jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun
belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang
kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering
terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk
melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah
pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan
orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu
menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung
karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis
mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis,
serba tak bisa ia bayangkan.
Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip
almarhum Ebak, itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak
lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui
suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
Dengan siapa Mak ke situ? lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada
Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat
Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan
ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya
yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum
pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya
datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah.
Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak
ke sini, itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok
seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak
lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di
semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air
berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi
terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan
pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita
ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian
menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja
mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu
tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di
bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong,
beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat,
berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening
dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak
menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki
kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu
ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentolbentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya
menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu
setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih
merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke
rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal
berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil
sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta.
Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat
memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet
pun sayang tak disadap, lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benarbenar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya,
Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan,
dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa
menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa.
Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,
ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong.
Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa
terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia
mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,
terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang
menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah
dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu
menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu
dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai.
Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi
dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya
ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti
itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut
dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu
pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan
kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat,
tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut
melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak
Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap.
Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang
hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselangseling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk
mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin
lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat
hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma,
membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet
yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil,
seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian
pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah
merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang
dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas
membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi
mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam
kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubunubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu
merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas
dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam
benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang
melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya:
Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak,
menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena
seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang
disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa,
air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu.
Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci
muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput,
mengkerut, dan carut-marut.
Kabut Ibu
with 80 comments
154 suara
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak
ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian
waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api
sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang
bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, Begitulah
rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah.
Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyisembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap
tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang
depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka
perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan
pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar
belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta
kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan,
yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan
pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami
dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang
lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku.
Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di
tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan
segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di
luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali.
Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama
ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di
kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah
pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak
tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela
dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras.
Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah
memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat
lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orangorang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku.
Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu. Abah tersengal-sengal mengayuh
kereta untanya.
Kotor kenapa, Bah?
Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir.
Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?
Ya banjir.
Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.
Hus!
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah.
Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian
jemput ibumu.
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini
masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari
celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti
kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru
kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega.
Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong
tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam
menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu
sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak
menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai
menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki,
perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah
hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras
rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar
rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan
meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada
sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti
sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali
menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan
terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke
kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir
rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang
kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tibatiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela,
mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari
sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah
menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah
kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap
lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh
membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah,
semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu
kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca
luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami
menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak
tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan
sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata
kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami
tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk
mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benarbenar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali
kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya,
mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di
tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar.
Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut
itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa
di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami
tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari
keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan
hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor
kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu
melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan
itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu,
entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak
benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu
buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu.
Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak
memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras
depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa
rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung
kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami,
sebagaimana ia menelan ibu.
39 suara
Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya,
ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira,
atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan
kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah
yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin
mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata
hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau
tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu
dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara
belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur
tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan
mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan
dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan
ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam
melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru
pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada
dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman
monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain
jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk
mati.
Apakah kau siap, kawan?!
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau
menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah,
karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu,
orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur,
karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin
daripada hidup dalam kubangan lumpur.
Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa
yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi
tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang
berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin.
Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada
menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan
gamblang: Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam
insang di leher dan sejak itu menjadi bisu.
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air
bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur
semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau
menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi
setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke
mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan
pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami
seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang
dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada
suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat,
bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa:
Kahuripan.
Apakah kau tahu arti Kahuripan?
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi.
Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang
mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah
kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: Dulu di sana, para petinggi
agama berkhotbah tak henti-hentinya.
Itulah semulia-mulianya kenangan.