Anda di halaman 1dari 12

LAKUNA

kekosongan

I just need to know that you're safe


Given that I'm miles away
On the first flight
Back to your side
I don't care how long it takes
I know you'll be worth the wait
On the first flight
Back to your side
I don't want to be wasting time, without you
Don't want to throw away my life
I need you
Something tells me we'll be a-
“Ah, kenapa harus hujan sekarang coba”
Senandungnya terputus ketika sang sahabat mengeluarkan protesnya sembari menggosokkan
kedua telapak tangannya.

“Iya nih, gue jadi telat pulang”.

“Yang penting kita sempat nyari tempat neduh aja si”.

“ iya. Oi Sorin, pesen minum dong, apa aja yang anget anget”

“ ok, samain aja ya semua”

Amarnath Sorin, nama lelaki dengan seragam sekolah setengah basah yang terbalut jaket hitam
itu kini sedang berjalan menuju kasir untuk memesan minuman untuk keempat sahabatnya.
Ketika menunggu giliran memesan, Handphone nya yang berada dalam genggamannya
memunculkan notifikasi pesan dari mamanya yang menanyakan dirinya untuk kapan pulang.
Gilirannya untuk memesan bersamaan dengan dirinya yang telah selesai membalas pesan
mamanya bahwa dia akan pulang setelah hujan berhenti.
Setelah pemesanan selesai, ia kembali ke meja yang semula ditempatinya bersama sahabat-
sahabatnya.
“Turnamen berapa lama lagi ?”

“tiga bulan lagi, pulang sekolah rencananya gue mau langsung tidur, eh malah hujan. Mana
deres banget. Capek banget gue tadi dihukum Pak Harin”

“Dihukum ngapain lo, Van?”

“Bersihin lapangan, capek ga lo kalo disuruh gitu”

“HAHA lagian lo disuruh kumpul di lapagan malah tidur di UKS”

“Gue ngantuk banget. Asli”

Sorin hanya tertawa mendengar sahabat-sahabatnya berbincang. Tak lama kemudian minuman
yang mereka pesan pun tiba. Mereka melanjutkan perbincangan mereka. Topik yang dibahas
sangat tidak beraturan, dari yang awalnya membahas turnamen, lalu beralih ke Devan -salah
satu sahabatnya- yang tadi saat pulang sekolah dihukum Pak Harin, hingga harga cireng bu
kantin yang terus naik setiap bulannya.

“Rin, mama papa lo belum balik ke Bandung?” tanya salah satu sahabatnya yang bernama
Harsa, nama yang memiliki arti sesuai dengan kepribadiannya, yaitu kebahagiaan.

“Sudah, tadi pagi baru balik, pas banget sama gue mau berangkat sekolah” .

“Mintain oleh-oleh dong Rin, lumayan dapet oleh-oleh dari Bali”.

“Ngga tau diri lo, Sa.”.

“Yehh ga asik banget lo, Van. Emangnya lo gamau?”.

“ Ya mau”.

“Astaga malu-malu banget lo, biasanya juga langsung buka kulkas kalo kita ke rumah Sorin”.

“Iya nanti gue maintain ke mama. Kapan-kapan main lagi ke rumah. Lo juga, Asta, Ray”.

“Gampang itumah, rumah gue kan deket sama rumah lo”

Sembari meneguk minuman masing-masing, obrolan random terus berlanjut, terkadang tawa
pun keluar guna menghiasi obrolan mereka. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang
orang masuk ke Café yang mereka tempati, berteduh dari lebatnya hujan juga rupanya. Disaat
Sorin mengobrol dengan para sahabatnya, ponselnya berdering menandakan ada panggilan
masuk. Ah, ternyata dari adik kembar tercintanya.
“Orin!! Kapan pulang?”

“ Salamnya mana Seyi?”

“Aduuh iya iya. Selamat sore Amarnath Sorin kakak kembarku tersayang. Adikmu ini
bertanya kepadamu kapan dirimu pulang kerumah, sebab perutku ini sepertinya ingin diisi
oleh roti bakar. Jadi alangkah baiknya jika dirimu membawa beberapa bungkus roti bakar
untuk dibawa ke rumah”

“Geli, ngomong biasa aja”

“DIH. Gue cuma berbicara sopan. Jadi, kapan pulang ?”

“Gue pulang abis hujannya berhenti”

“Jangan lupa roti bakar !!”

“Iya siap. Kaya biasa ?”

“Kaya biasa”

“Apa lagi ?”

“Oh. Mama mau yang coklat”

“ Noted. Tunggu ya”

“OK”

Panggilan terputus setelah dimatikan oleh adiknya, Amara Sierra namanya, teman-temannya
memanggilnya Sei, namun Sorin dan anggota keluarga lainnya biasa memanggilnya Seyi,
panggilan yang lucu katanya. Sorin dan Sei adalah remaja kembar berumur 16 tahun. Layaknya
saudara pada umumnya, tak jarang mereka pun bertengkar dan saling berteriak bahkan pernah
juga saling mendiamkan satu sama lain hingga orang tua mereka sampai bingung akan tingkah
mereka, namun saat bertengkar, mereka pun cepat berbaikan pula, sepi rasanya jika tidak
bersama katanya.

Mereka bersekolah di sekolah yang sama, biasanya mereka pergi dan pulang bersama, namun
hari ini Sei pulang lebih cepat karena sudah tidak ada kepentingan organisasi dan ekskul
disekolah. Sedangkan Sorin pulang lebih lama karena hari ini sedang ada kegiatan ekskul
basket yang dilakukan rutin setiap jam sekolah usai.

Tiga puluh menit berlalu dengan begitu cepat, awan telah berhenti menurunkan isinya, langit
pun mulai memperlihatkan cahayanya seperti sediakala. Sorin dan ke-empat sahabatnya pun
segera meninggalkan Café yang mereka tempati. Mereka pulang ke rumah masing - masing
setelah saling berpamitan . Aroma petrichor tercium oleh indra di sepajang perjalanan Sorin
menuju rumah, tak lupa dia membelikan pesanan adiknya, roti bakar dengan selai stroberi-
kesukaan adiknya-dan roti bakar dengan selai coklat.
Tepat pukul lima sore, Sorin membuka pintu rumahnya dan langsung disambut oleh senyuman
mamanya yang sedang menunggu kedatangannya. Senyuman mamanya melebar ketika melihat
Sorin membawa sebuah kantung plastik yang mengeluarkan aroma roti bakar yang masih
hangat itu. Segera sang mama mengambil alih kantung plastik tersebut dan memindahkan
isinya ke atas piring

“ Seyi dimana, Ma ?”.

“ Di kamarnya, coba liat sana. Sekalian bawain ini roti nya”.

Sorin menaiki tangga dan menuju kamar adiknya yang tepat berada di sebelah kamarnya. Ia
membuka kamar adiknya dan mendapati adiknya sedang duduk di pinggir ranjang sambil
memegang kepalanya, wajahnya terlihat kesakitan.

“Lo kenapa, Seyi ?”.

Rupanya pertanyaannya barusan mengejutkan adiknya. Sei segera bangkit dan memasang
ekspresi yang biasa saja, seperti tidak merasakan sakit sebelumnya.

“ Apanya yang kenapa, Rin?”

“ Lo. Lo tadi kaya kesakitan gitu”.

“ Engga deh. Mana roti gue?”.

“ Nih, dihabisin loh ya, jangan cuma dimakan setengah kaya biasanya”.

“ Iya iya udah sana gue mau belajar. Jangan lupa besok ujian”. Sorin segera keluar lalu menuju
kamar nya sendiri.

Lelaki dengan surai hitam itu menggosok pelan rambutnya dengan handuk agar lebih cepat
kering, mandi setelah diluar seharian memang menyenangkan. Setelah mandi ia merebahkan
dirinya di kasur sembari membaca pesan grup dengan teman-temannya.
Sorin terkekeh membaca pesan dari teman-temannya itu. Kini, ia pun juga menyiapkan dirinya
untuk ujian tengah semester selama seminggu kedepan.

Senin. Siapa pula yang menyukai hari itu? Bahkan Sorin dan Sei yang tergolong murid rajin
pun mendengar kata Senin saja sudah lelah duluan. Senin kali ini berkali-kali lebih seperti
mimpi buruk bagi teman-teman satu kelas mereka berdua. Apalagi yang lebih buruk dari
pembagian hasil ujian tengah semester beberapa hari lalu?

Satu persatu kertas hasil ujian telah berada di tangan tiap pemiliknya. Beberapa ada yang
senang karena nilainya tinggi, seperti Hasta contohnya, ia berteriak dan berlarian keliling kelas
sambil menunjukan angka 97 yang tertera pada kertas hasil ujian Matematikanya, beberapa ada
yang kecewa dengan nilainya dan bahkan ada yang bereaksi biasa saja dan melanjutkan acara
tidur nya seperti Devan. Macam-macam reaksi yang dikeluarkan oleh teman-temannya
membuat Sorin juga penasaran dengan nilainya. Ketika ia akan membuka lipatan kertas
tersebut, Sei menyelanya.

“ Nanti aja di rumah liatnya”.


“ Kenapa gitu ?”.
“ Ngga apa-apa”
Sorin yang terheran-heran dengan adiknya pun hanya mengedikan bahunya

Sorin memandang kertas hasil ujian miliknya dan juga milik Sei. Ini aneh, mengapa nilai Sei
turun, tidak seperti biasanya dimana mereka berdua selalu mendapatkan nilai yang hampir
sama, tak jarang mereka juga mendapatkan nilai tinggi bersama. Namun kali ini nilai Sei jauh
di bawahnya.

“Tumben lo” sindir Sorin sambil menatap mata coklat adiknya

Ia merasa aneh untuk yang kedua kalinya sebab adiknya tidak membalas ejekannya. Biasanya
Sei selalu membalas ejekannya dengan wajah masam, pukulan, teriakan atau bahkan membalas
mengejeknya.

“ Napa lo ? ada yang dipikirin ?” melihat adiknya yang terdiam, Sorin segera duduk di kursi
yang tidak jauh dari tempat duduk adiknya.

“ Ngga ada. Akhir-akhir ini gue cuma agak susah mahamin materi. Mata gue juga burem kl
ngeliat sesuatu” ucap Sei dengan wajah yang sedikit pucat.

“ Lo kecapean kali, istirahat sana”

“ Lo kl perhatian sama gue gitu jadi jelek banget dah”


“ Biasanya gimana emang ?”

“ Ya jelek, sekarang lebih jelek” Sei tertawa lepas sambal bangkit dari kursinya.

Langit biru penuh gumpalan awan putih dengan sinar matahari berpendar tak menghentikan
kegiatan banyak orang untuk menikmati waktu di luar rumah, contohnya Sei yang
memejamkan matanya menikmati angin semilir, deburan ombak, dan pasir putih nan halus.
Pantai memang tempat yang cocok untuk menyegarkan pikiran setelah satu minggu ia harus
mengerjakan ujian.

Sei membuka matanya ketika mendengar suara barang terjatuh di dekat kakinya. Ia terdiam
sambil mengerjap pelan, lalu mengambil barang tersebut setelah rasa kegetnya hilang.

“Aelah Sei, lo kaga bantu-bantu bawain barang” protes Harsa yang tadi sempat menjatuhkan
kantung plastic berisi snack.

“ Hehehe ya maaf, kirain kalian berlima bisa bawa sendiri” jawab Sei sambil meringis

Ya. Sei, Sorin serta keempat sahabat kakaknya itu saat ini berada di pantai. Karena kedua orang
tua mereka tidak ada di rumah, Sorin mengajak adiknya untuk ikut pergi bersama mereka.

“ Woi ! buruan sini ! kuenya keburu gaenak !” Ray berteriak memanggil teman-temannya
yang asik merekam video.

Menunggu tenggelamnya matahari, mereka berbincang – bincang sambil memakan jajanan


yang mereka bawa. Mereka tertawa melihat pertengkaran kecil antara Harsa dan Devan yang
selalu beradu mulut setiap mereka bersama. Ditengah – tengah keseruan mereka, Sei
merasakan pusing dan penglihatannya menjadi buram, ia pun menyederkan kepalanya pada
bahu sang kakak. Sorin dan yang lainnya pun terkejut dan langsung menghentikan obrolan.

“ Seyi, lo kenapa ?”

“ Sei, lo gapapa ?”

“ Loh loh Sei ?”

Rentetan pertanyaan dari kakak dan teman-temannya membuat kepalanya makin pusing dan
hanya sanggup menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sorin yang mengerti pun langsung
menawarkan dirinya untuk pulang lebih awal, namun sekali lagi, Sei hanya menggeleng.

Matahari mulai terbenam. Langit perlahan menghitam, udara mulai terasa dingin menyentuh
kulit, lampu-lampu kota juga sudah menyala, terlihat indah. Kondisi Sei sudah lebih baik dari
sebelumnya, bahkan ia sekarang ikut bermain kembang api dan tertawa bersama yang lain.
Sorin yang melihat senyuman adiknya pun segera mengambil ponsel untuk mengabadikannya
dalam sebuah foto.
Akhir – akhir ini Sei banyak mengeluh. Punggungnya terasa nyeri, penglihatan memburam dan
seringkali merasakan sakit di kepalanya. Keluarganya memutuskan untuk membawa Sei ke
rumah sakit. Keadaannya tak kunjung membaik, mukanya semakin pucat dan ia terus berkata
bahwa kepalanya sakit.

Sesampai di rumah sakit, mama, papa serta Sei masuk ke ruangan dokter yang akan menangani
Sei, sedangkan Sorin menunggu di luar dengan menautkan jari-jarinya gelisah.

Didalam, Sei menjelaskan keluhan yang ia rasakan. Dokter menanyakan riwayat penyakit
keluarga. Lalu dokter dengan jelas mengatakan kemungkinan hal ini berkaitan dengan
gangguan syaraf. Orang tua mereka mendengar instruksi dokter untuk menjalani beberapa tes
penunjang untuk memastikan penyakit yang Sei alami.

Di mobil, papa menjelaskan kembali apa yang dokter sampaikan pada Sorin agar ia mengetahui
apa yang terjadi dengan adiknya.

Dua minggu berlalu, hasil tes penunjang Sei telah keluar.

Multiple Sclerosis

Namanya sangat asing bagi Sorin. Rasanya ia ingin menutup telinga agar tak bisa mendengar
apa yang dokter jelaskan, sedangkan Sei dengan wajah datarnya hanya mengangguk pelan
sebagai respon. Orang tua mereka pun menanyakan banyak hal mengenai penyakit tersebut.
Untuk sementara dokter memberi beberapa obat untuk meredakan gejala yang Sei alami. Sei
menatap kakaknya dengan senyum, seakan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sorin melangkahkan kaki memasuki Gedung putih bertingkat yang sudah tidak asing lagi.
Sudah 7 bulan ia selalu mengunjungi tempat ini. Aroma obat-obatan memasuki panca indra. Ia
berhenti di depan ruangan yang bertuliskan angka 312. Ketika ia membuka pintu, terlihat sang
mama tertidur di sofa dan Sei yang sedang memandang ke luar jendela langsung mengalihkan
pandangannya padanya.

“Siang,Rin” sapa Sei dengan lirih, ia mulai kehilangan kemampuannya untuk berbicara.

“ Siang Seyi, gimana ? ada yang di rasa ?” Sorin melepas jaket dan meletakkan tas makanan
yang ia bawa di atas meja.

Sei mengangguk dan menunjuk punggungnya “nyeri lagi” katanya dengan ringisan.

“ Gue bawa roti bakar kaya biasa sama nasi goreng, lo mau makan yang mana ?”

“Nasi goreng” Sei menjawab tanpa suara. Sorin menyiapkan makanan untuknya dan menata
ranjangnya agar adiknya merasa nyaman.
“Wangi banget nih” mama dengan suara serak khas orang bangun tidur kini sudah berganti
posisi menjadi duduk. Melihat mamanya yang telah bangun, Sorin segera menyiapkan
makanan untuknya.

“ Mama pulang ya. Seyi ditemenin Sorin dulu, nanti malam mama kesini lagi” Sei hanya
tersenyum sebagai jawaban. Mama memakai jaketnya, membereskan barang bawaannya dan
melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Sunyi melanda ruangan 312 tersebut setelah terdengar bunyi pintu menutup, hanya terdengar
suara dari televisi dan suara tabung oksigen yang Sei pakai.

“Rin” mendengar namanya dipanggil, Sorin lantas mengalihkan pandangannya pada adiknya.

Sei berusaha menggerakan tangannya untuk menunjuk laptop yang berada di sofa. Sorin
teringat ketika mamanya memintanya untuk membawakan laptop karena Sei ingin melihat
foto-foto mereka saaat kecil. Sorin langsung mengerti apa yang adiknya inginkan dan langsung
membawakan laptopnya. Sei menepuk sisi ranjang yang kosong, bermaksud meminta
kakaknya untuk duduk di sebelahnya.

“Muka lo.. aneh. Jelek” ejek Sei menunjuk foto saat mereka merayakan ulang tahun yang ke-
10 dengan terbata. Sorin ingat betul, ia diberi gantungan boneka beruang kecil oleh Sei
sebagai hadiah yang saat ini dia gantung di mobil miliknya.

Lama sekali mereka memandang foto-foto masa kecil, dengan obrolan yang terkadang hanya
direspon gelengan, anggukan, senyuman, dan tawa tanpa suara sang adik. Laptop dimatikan,
mereka memandang ke arah refleksi wajah mereka yang mirip namun berbeda pada layar hitam
itu, milik Sei tampak lebih pucat, tirus dan milik Sorin yang hanya tampak seperti kurang tidur.

Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Sorin memutuskan untuk membereskan ruangan Sei
sebelum orang tua mereka datang. Sei hanya memandang kakaknya itu dengan mata berkaca-
kaca.

“Rin” Sorin menoleh ketika namanya dipanggil.

“Mau tidur. Istirahat, capek” suara Sei terdengar sangat lirih. Sorin mengangguk sebagai
jawaban dan memakaikan selimut untuknya.

Sei menarik tangan Sorin dan memeluknya.

“Terima..kasih..Kak” bisiknya. Sorin membalas pelukan adiknya dengan hangat. Bersamaan


dengan itu, pintu ruangan terbuka, menampakkan orang tuanya yang tersenyum melihat si
kembar. Sorin pamit pulang kepada ketiganya, ia memberikan isyarat pada Sei bahwa ia
sangat mencintai adikknya itu dan ingin adiknya selalu menyimpan perkataannya dalam
ingatan.

Pukul satu malam. Udara terasa lebih dingin kali ini, membuat Sorin sulit tidur. Akhirnya ia
memutuskan untuk membuat coklat panas sebagai temannya malam ini. Ia menunggu air
mendidih dengan gelisah, entah mengapa perasaannya sangat tidak enak. Coklat panas telah
selesai dibuat, ketika ia mengangkat gelasnya hendak minum, ponselnya berdering. Papa
menelponnya.

“Kak, datang kesini. Adik makin buruk kondisinya” segera Sorin berlari mengambil jaket dan
langsung menyalakan motornya, meninggalkann segelas coklat panas yang masih
mengeluarkan uap.

Tidak ada apa-apa dipikirannya, hanya Sei, hanya ada adiknya. Jalanan yang sepi membuat
Sorin cepat tiba di rumah sakit, namun ia kurang beruntung. Disana, di dalam ruangan 312
yang beberapa jam lalu ia kunjungi, adiknya telah beristirahat, menutup mata indahnya yang
tidak akan pernah terbuka kembali.

Sorin masih belum bisa memproses, ia hanya mematung, oksigen disekitarnya serasa hilang.
Tuhan, apakah boleh ia menolak takdir yang Kau berikan ini ? bolehkan ia diberi waktu untuk
melihat adiknya tersenyum lagi ? bolehkah ia menginginkan adiknya kembali ?, Sorin bertanya
dalam hati. Ia berjalan cepat, memeluk erat raga adiknya dengan tangan bergetar hebat.
Disampingnya ada mamanya yang menangis histeris di pelukan papa.

Tak bisa ia tolak lagi bahwa adiknya lelah menahan sakit. Sekuat apapun, ia tetap seseorang
yang dapat lelah. Dan malam ini, tepat satu minggu sebelum mereka bertambah umur, Sei tak
dapat lagi membendung rasa lelahnya.

Tidak ada lagi ejekan untuknya, tidak ada lagi celoteh riuhnya, tidak ada lagi roti bakar stroberi,
tidak ada lagi bertambah umur bersama, tidak ada lagi adik kembarnya di sisinya.

Langit kelabu latari pemakaman sunyi. Satu jam yang lalu tempat ini tidak sesunyi sekarang,
teman-teman dan keluarga mengantar raga Sei yang tidak lagi bernyawa ke tempat
peristirahatan, sebagai penghormatan terakhir kepada yang telah berpulang.

Dibawah derasnya guyuran hujan dan dihadapan sang pusara, sebuah batu nisan yang
bertorehkan tinta hitam membentuk kata ‘Amara Sierra’, untuk pertama kalinya setelah
waktu yang lama, Sorin menangis dengan lantang seakan-akan ia ingin semesta tahu bahwa ia
sangat kehilangan, sangat kesepian.

“ Beristirahatlah, Seyi”

Seyi,

Disini sudah ada kue ulang tahun,

dua buah lilin yang menyala,

dan papa mama yang sedang memejamkan matanya berdoa.

Satu-satunya yang tidak ada hanyalah kau


yang tidak akan lagi meniup lilin.

Tepat hari ini, seharusnya kita bertambah umur,

namun sayang, hanya salah satu diantara kita yang menua.

Apakah ucapan selamat ulang tahun masih bermakna untukmu sekarang ?

Apakah permintaan kami pada Tuhan masih berarti ?

Jika iya, kami tak akan meminta banyak,

kami hanya ingin kau bahagia,

menampilkan senyuman lebar seperti yang biasa kau lakukan.

Kalau begitu…Selamat ulang tahun, Seyi

walaupun kau tak lagi bertambah umur

Biarkan kami yang meniup lilin untukmu

Kau hanya perlu mendengar permintaan-permintaan

Dan harapan-harapan kami yang sedikit lebih banyak dari biasanya.

Kehadiranmu yang tak lagi ada meninggalkan rasa sakit yang indah

Indah akan perjuanganmu, indah akan fakta bahwa kini kau tak lagi merasa sakit

Kehadiranmu yang tak lagi ada meninggalkan kekosongan

Kekosongan yang teramat dalam relung hati

Kemarin malam bintang berbisik padaku

Bahwa mereka rindu dengan kebanggaannya

Mereka menunggumu pulang

Pada bintang, pada semesta

Aku titipkan salamku,

untuk adikku

Anda mungkin juga menyukai