Anda di halaman 1dari 23

Cinta dan Takdir

Jam dinding terus berputar, gerimis semakin menjadi hujan. Sudah hampir tiga jam dan sekarang
hampir mendekati waktu maghrib, Sika yang sejak pulang sekolah terus mengurung diri di dalam
kamanya.
Kembali sika melirik buku catatan kecilnya seraya buku catatan itu berkata "baca aku sika!". Namun
sebaliknya sika melempar buku itu ke lantai karena kesal ia berkata "aduhhhh susah banget sihhhh
masuk ke otak" keluhnya karena belajarnya tidak bisa maksimal. Karena sika merasa pusing dan
lelah akhirnya ia menyelonjorkan kaki di kasurnya dan mengambil posisi berbaring. Sembari
berbaring entah kenapa ia teringat dengan mantan kekasihnya "hmm andai sajaaaa... AHHH jadi
tambah males, kenapa sihhh!" seru sika karena teringat mantan kekasihnya.

Sama seperti perempuan pada umumnya yang pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati. Sika
merasakan hal yang serupa ketika masih berpacaran dengan andri. Dalam hatinya sika menyesal
karena telah menyianyiakan andri "Ah bodoh banget sih aku, kenapa aku dulu harus menyianyiakan
andri" Penyesalan itu terus berlajut ketika ia melihat foto andri yang disimpannya dalam laci "ih
kenapa aku dulu harus membuat kesalahan". "kenapa aku kurang bersyukur udah punya pacar
kayak andri". Meskipun andri bukan laki-laki yang dewasa dan lebih terkesan kekanak-kanakan
namun oada kenyataanya sika tidak dapat lepas dari andri. Pada saat andri memberikan sepucuk
surat kecil kepada sika tentang perasaanya yang ingin putus sika tidak tahu lagi harus mengiyakan
atau menolak pada saat itu. "kenapa aku tidak bisa berpikir lebih dewasa sih?" ujar sika. Semenjak
putus dengan andri sika sering melamun seorang diri, berkhayal andaikan waktu dapat diputar dan
ia dapat berpikir lebih dewasa pada saat andri memberikan surat putus itu.

Meskipun sika hidup dalam keluarga yang lebih terkesan "broken home" karena memiliki seorang
ayah yang ringan tangan tidak membuat sika menjadi perempuan yang pendiam dan sedih.
Sejatinya sika adalah perempuan yang tegar.

Telolet Telolet! Bunyi bel istirahat di sekolahnya berdering kencang, namun sika tetap tidak beranjak
dari bangkunya. Dengan tatapan kosong dan tanpa gerakan selayaknya orang tertidur, sika
bengong dan melamun hingga salah seorang temannya membangunkan sika dari lamunannya.

“Sikkk!” sambil memegang tangannya yang menyangga kepala.


“elu kok melamun aja sih, Kenapa?”
“Aduhhh rin, ngagetin dehh, lagi pusing nih.”
“Ohh Pantesan kok keliatan lesu, biasanya juga sholat dhuha sekarang udah jarang. hihihi.”
“Ihhh itu ada andri tuh sikk", ujar rini sambil menyenggol sika. "Paan sih! Kalo kamu suka dia ya
jangan nyenggol aku!" "Yeeee, yang suka aku apa kamuuu?" balas rini dengan penuh sindiran.
Sejenak guyonan kedua sahabat itu membuat sika tersenyum kecil hingga ia iangat peristiwa
pemukulan ayahnya yang dilakukan pada ibunya tadi malam. Memang ayah sika adalah orang yang
ringan tangan, meskipun ibu sika hanya sekedar mengingatkan jangan merokok dan minum miras
namun yang didapat malah tamparan dan pukulan.
"Aku udah putus rin dari andri" ujar rini" sambil menahan ketawa yang sebenarnya terasa begitu
pahit di hati. Bukan tanpa alasan hati sika terasa pahit karena menahan beban pikiran dan beban
kehidupan yang ditanggungnya melihat ibu sika selalu dipukul.
Hari demi hari terus berlalu, Namun perasaan sika pada andri ternyata tidak dapat berubah. Sika
tidak dapat membohongi perasaanya bahwa sika masih memendam rasa pada andri. Pada satu
siang pada pelajaran matematika, seperti biasanya sika terlelap dalam lamunannya,
membayangkan andai saja andri masih menjadi pacar sika "hmm andri andaikan kamu masih jadi
pacarku, aku kangen semasa kita pacaran" ujar sika. Hingga salah satu temannya yang bernama
trimo menepuk pundak sika dan berkata "sikkk kok ngalamun aja sihhh???" tanpa sengaja sika
berteriak karena kaget akan tepukan trimo "ahhhhhhh" teriak sika. Guru matematika sika yang
terkesan galak (karena memang kebanyakan guru matematika galak hehehe) sontak menoleh ke
arah sika yang seperti orang kebingungan. "Sika kenapa kamu? ayoo maju sini" ujar bu guru. "eee
enggak kok bu" balas sika dengan wajah bingung dan memelas" Seisi kelas menahan rasa ingin
ketawa karena jika mereka ketawa sudah pasti mereka akan jadi korban selanjutnya hehehe.
Terdapat dua orang yang tidak tertawa, justru sebalikanya, malah mereka berpikir kenapa sika
menjadi begini. orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah rini dan andri yang merupakan teman
sekelas sika.
"hmmm kenapa ya sama sika, kok makin kesini makin buruk aja dia" ujar andri.
"apa mungkin karena kita habis putus" "atau karena dia ada masalah" hmmm.

Disisi lain bu yuli selaku guru matematika memarahi sika habis habisan. Seperti orang yang habis
makan cabe rawit 1000 biji. Muka ibu yuli memerah karena menahan marah "Kamu itu yaaaaa, kalo
nggak niat ikut pelajaran saya ya gak usah ikut. Ngganggu temenmu yang lain tau gak?! bikin susah
aja!" bentak bu yuli pada sika.
Tulilut tulitu tulilulilut......
Bunyi bell sekolah seperti suara es krim campina itu menyelamatkan rini dari amukan guru paling
galak disekolahnya.
"Kamu ketua kelas pimpin doa" perintah bu yuli.
Karena merasa simpatik akhirnya andri menghampiri sika dan menanyakan perihal permasalahan
tadi siang di kelas. "Sik sebenarnya kamu kenapa sih?" tanya andri. Dengan perasaan berbunga
bunga karena sebenarnya sika masih mencintai andri menjawab "enggak kok enggak nggak papa".
"Hmmm lain kali kamu harus lebih berhati hati kalo jamnya bu yuli. tau sendiri kan bu yuli kalo marah
kek gimana" meskipun andri berceloteh panjang lebar namun sika tidak memperdulikannya karena
yang dilihat sika adalah wajah dan mata andri yang coklat besar itu membuat sika semakin terpana
dan sulit untuk melupakannya. "sik??? kamu dengerin enggak sih?" tanya andri . "ehhh iya maaf aku
denger kok, jawab sika.
Malam harinya disaat sika tengah berada dikamar tiba-tiba ayah memanggil sika, "Sik, kesini bapak
mau bicara penting". Tidak biasanya bapak sika mengajak bicara sika. setelah sika berada di depan
bapaknya akhirnya bapaknya menceritakan bahwa pada besok sore dia akan dilamar oleh anak
teman bapaknya "APAA???? aku kan masih sekolah pak? trus gimana sekolahku?!" tanya sika
dengan wajah bingung dan kecewa mendengar berita yang disampiakan ayahnya. "Yaa kamu kan
bisa tunangan dulu, lulus kuliah nanti baru kamu menikah sama dia, orangnya baik kok" jawab ayah.
Sebagai seorang anak sika tidak bisa melakukan apa-apa karena jika ayahnya mengajak berbicara
itu bukanlah negosiasi melainkan sebuah pemberitahuan yang tidak dapat diganggu gugat. Yang
mampu sika lakukan hanyalah bercerita sambil menangis pada ibunya. Sang ibu yang penyanyang
dan penyabar sangat mengerti betul sikap suaminya yang keras kepala. "Sudahlah nakk, turuti dulu
apa mau bapakmu" sambil menangis, ibu memberi nasehat pada sika.
Keesokan harinya sika tidak masuk sekolah, Bukan tanpa alasan sika tidak mau masuk sekolah
karena ia sangat kelelahan menangisi nasibnya sepanjang malam. Entah karena kebetulan atau
bukan, Namun andri juga tidak masuk sekolah hari itu tanpa pemberitahuan yang jelas.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 Sika sudah harus bersiap siap untuk menyambut calon
tunangannya. "Buu, aku nggak mau dilamar dulu" pinta sika sambil merengek pada ibunya" namun
ibu sika hanya bisa menggelengkan kepala sembari menahan kesedihan.
pada pukul 17.00 tepat datanglah iring-iringan rombongan mempelai pria layaknya acara lamaran
pada umumnya. Betapa kagetnya sika ketika melihat siapa yang keluar dari mobil sedan putih
tersebut karena ternyata calon tunangan yang dijodohkan dengan sika adalah andri sendiri yang
merupakan mantan kekasih sika.
"Kamu????" "kok kamu ada disini sih?" tanya sika setengah tidak percaya.
"Iya ini aku andri" Jawab andri dengan suara lirih.
Tanpa basa basi akhirnya sika memeluk erat andri karena memang sika sangat mencintai andri
"SIk, maafin aku yaa, sebenernya aku sangat sayang dan cinta sama kamu" ujar andri karena
memang andri masih sangat sayang pada sika.
"Iya ndri, aku juga minta maaf"
Betapa terkejutnya sika dan andri karena takdir mempertemukan mereka kembali dalam ikatan
pertunangan setelah mereka lama berpisah.

Unsur Intrinsik Cerpen


Tema: Takdir dan percintaan
Amanat: Dalam kehidupan berpikirlah dua kali sebelum mengambil sebuah tindakan agar tidak
menyesal dikemudian hari.
Alur: Alur yang digunakan adalah alur campuran (Maju dan mundur)
Setting:
 Kamar sika pukul 17.00.
 Rumah sika Pukul 16.00.
 Sekolahan sewaktu jam sekolah.
 Kelas pada saat jam istirahat.

Penokohan dan perwatakan:


 Sika : sabar, tertutup, tabah, kuat, pelamun, taat beribadah.
 Andri : kekanak-kanakan, pemalu, perhatian.
 Rini : Setia kawan, perhatian, lucu.
 Bapak tari : Keras kepala, emosian, egois.
 Ibu tari: Penyayang, sabar.
 Trimo: Usil.
 Bu yuli: Galak, Tidak sabaran.

Sudut pandang : Sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandan orang ketiga karena pengarang
tidak terlibat langsung dalam cerita.
9 Frictions

Aku adalah seorang murid disebuah SMA favorit di daerahku. Aku mempunyai beberapa teman
yaitu Cepy, Afif, Rifki, Gery, Riki dan Irfan.
Pada hari jumat kami mendapat tugas IPA untuk membuat percobaan seputar Bioteknologi,
akantetapi kami tidak lekas mengerjakannya pada hari itu! karna kami memiliki kesibukan masing-
masing akhirnya kami sepakat akan mengerjakan tugas itu pada hari kamis pulang sekolah minggu
depan dan itu juga dilaksanakan berbarengan dengan latihan tari.
Mulanya kami akan ikut latihan tari dulu di sekolah karena memang sedang diadakan latihan untuk
persiapan sendra tari dua bulan lagi, tetapi karna salah seorang kami yang merayakan ulang tahun
Rizal mengundang kami untuk ikut acara ultahnya. Akhirnya kami ikut merayakannya, yaaa
walaupun sebenarnya tujuan kami hanya ingin mencicipi kue ulang tahunnya saja, Karena
keasyikan makan kue akhirnya kami lupa ada jadwal latihan tari yang harus dilakukan. hihihi.
akhirnya kami bergegas ke rumah Gery tanpa afif karena dia sedang ada urusan lain.

Sesampainya dirumah Gery aku beristirahat sejenak sembari menunggu Rifki dan Irfan Tertinggal
dibelakang, Tidak lama berselang Irfan dan Rifki sampai yang berbarengan dengan Gery yang
membawakan seikat rambutan dan air dingin, Sontak kami langsung menikmati suguhan yang
diberikan Gery. Tidak lama sesudahnya Irfan mendapat telfon dari Afif yang katanya minta dijemput
di depan komplek karena ingin ikut mengerjakan tugas. Karena mempertimbangkan jarak rumah
Gery dan depan komplek sangat jauh akhirnya kami sepakat untuk menjemput Afif dan mengerjakan
dirumah Rifki karena rumah rifki memiliki jarak paling dekat dengan depan komplek.

Bersama dengan Afif kami menuju rumah Rifki, Sesampainya disana kami beristirahat sejenak
dirumah rifki yang berada di lantai atas. Kami bercakap cakap layaknya sedang mengadakan rapat,
padahal hal yang dibahas tidak begitu penting sih hehehe, Tidak lama berselang Rifki memanggil
ibunya untuk meminta dibawakan makanan dan minuman untuk kami. Bukkk bawain makanan saa
minuman dong, pinta Rifki pada ibunya. Iya-iya bentar. Jawab ibunya. Jangan lupa fantanya
sekalian bisikku pada Rifki, hehehhe..
Akhirnya kami pergi kebawah untuk berlatih tari, sambil sesekali menyantap makanan yang
diberikan ibu Rifki. hehehe.. memang sih pada awalnya kami hanya bercanda. eh tidak taunya rifki
benar-benar meminta makanan pada ibunya.
Pada saat diperjalanan hujan pun turun kembali kami akhirnya berteduhh di sebuah saung yang
tidakk jauh dari tempat pembuatan roti. Rifki dan Irfan memutuskan utk pergi ke rumah pembuat roti
tersebut agar tugas kami cepat selesai jadi aku, Ceppy , Gery dan Riki pun menungguu di saung
yang juga merupakan pos ronda. setelah beberapa menit Irfan dan Rifki keluar menghampiri kami
pada saat keadaan masih gerimis, Kami berharap semuanya sudah beres dan selesai, akan tetapi
masih ada proses yakni mengoven roti, dan ternyata dirumah itu hanya membuat adonan roti saja
yang nanti akan di oven di toko yang letaknya agak jauh dari tempat pembuatan adonan itu. Kami
pun pergi walau keadaan masih gerimis, sesampainya di toko Rifki mengusulkan agar roti dibentuk
seperti kata-kata 9F, akhirnya kami pun setuju ,tetapi Riki mengusulkan kata kata 9 Fiction yang
memiliki arti 9 Fiksi. Jujur saja aku tidak terlalu paham mengapa ia memilih kata-kata itu namun kami
menyetujui usulannya tersebut. karena Rifki khawatir hujan akan semakin lebat akhirnya ia
menyuruh kami untuk pulang kerumah masing-masing dan sisanya dia yang mengerjakan, maka
kami pun menyetujui dan pulang kerumah kami masing masing.
Keesokan harinya setelah kue jadi, Kami menyerahkannya sebagai tugas boteknologi kami. Tidak
disangka-sangka ternyata kami mendapatkan nilai terbaik dikelas.

Unsur Intrinsik Cerpen


Tema : Pertemanan, dan kegigihan.
Sudut Pandang : Sudut pandang cerpen diatas menggunakan sudut pandang orang pertama.
Amanat : Dalam pertemanan rasa setia kawan adalah sifat yang harus dimiliki seseorang, jangan
menunda-nunda pekerjaan.
Alur : maju
Latar : sekolah , rumah Rifki , Rumah Gery, Toko Roti, Pos Ronda.
Penokohan dan perwatakan
afif: Baik
Riki: Baik
Cepy: Baik
Aughy: Baik
Gery: Baik
Rifki: Baik, bertanggung jawab dan humoris.
Irfan: Baik
Semangka Emas

Pada zaman dahulu kala di Sambas Kalimantan Barat tinggalah seorang saudagar. Ia mempunyai
dua orang putra yang bernama Muzakir dan Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikr sebaliknya
Dermawan adalah orang yang sangat peduli dan selalu bersedekah kepada fakir miskin. Dermawan
tidak rakus dengan harta dan uang. Sebelum meninggal saudagar tersebut membagi hartanya
secara rata. Uang bagian Muzakir disimpan di peti bila ada orang-orang orang miskin datang ia tidak
mau memberi sedekah tetapi justru menghina orang miskin tersebut. Berbeda dengan Dermawan
yang selalu menyambut orang-orang miskin tersebut dengan senang hati dan ramah. Lama
kelamaan harta Dermawan habis untuk menyedekahi orang-orang miskin tersebut yang hampir
setiap hari datang ke rumah Dermawan.

Suatu hari Dermawan menolong seekor burung yang sayapnya patah. Dermawan merawat burung
pipit tersebut hingga burung itu dapat terbang kembali. Beberapa hari kemudian burung tersebut
kembali dan memberi sebutir biji kepada Dermawan walaupun biji tersebut hanya kecil Dermawan
tetap menanamnya. Pada waktu panen tiba Dermawan memetik buah semangka yang sudah tumuh
besar tersebut kemudian ia membelahnya. Saat ia membelah semangka besar tersebut tak
disangka semangka tersebut berisi pasir kuning yang tak lain adalah emas murni. Dermawan pun
mengucapkan terima kasih kepada burung pipit itu. Kini Dermawan hidup dengan berkecukupan ia
memiliki rumah yang besar dan hartanya melimpah tetapi ia tetap memberi sedekah kepada orang
yang membutuhkan. Harta Dermawan kini tidak akan habis karena uangnya amat banyak dan hasil
kebunnya melimpah.

Mendengar bahwa Dermawan kini kaya raya, Muzakir meniru tindakan Dermawan. Muzakir
menolong burung yang sengaja ia patahkan sayapnya dengan sumpit. Ia juga merawat burung
tersebut hingga burung tersebut dapat kembali terbang. Burung itu juga memberi biji kepada
Muzakir. Ketika sudah dipanen Muzakir membelah semangka yang jauh lebih besar dibanding
semangka milik Dermawan. Bukan emas yang ia dapatkan namun semburan lumpur hitam
bercampur kotoran yang baunya busuk.

Unsur-Unsur Intrinsik Dari Dongeng Tersebut:

1. Tema : Sosial

2.Tokoh dan watak:

a.Dermawan : Peduli,dermawan,suka menolong, tidak sombong, tidak rakus


b.Muzakir : kikir,sombong,suka mengejek,tidak suka menolong,tidak peduli ,rakus harta
c.Saudagar : adil
d.Burung pipit : suka menolong

3.Alur : maju

4.Latar:

a.Tempat : Sambas,Kalimantan Barat

b.Waktu : Siang hari

c.Suasana : Senang,Sedih

5.Amanat: Bersikaplah baik kepada siapa pun karena kelak akan


mendapatkan balasan yang baik pula dan sebaliknya janganlah bersikap buruk kepada siapapun
karena balasan yang diterima juga akan berupa balasan buruk.

Hal-Hal Yang Menarik Dari Dongeng Semangka Emas :

 Saat si Dermawan berubah menjadi kaya raya karena ia menolong Burung Pipit
dan Burung Pipit tersebut memberikan biji kecil yang akan menjadi Semangka
Emas saat ditanam si Dermawan.

Hal-Hal Yang Menarik Dari Dongeng Semangka Emas :

 Saat si Muzakir yang kikir,menyimpan hartanya dalam peti dan pada saat ada
orang miskin meminta sedekah, dia tidak memberinya, melainkan menghinanya.
JERAPAH YANG SOMBONG
Di suatu padang rumput ada seekor jerapah yang baru beranjak dewasa. Namanya Edo.
Dia sangat tinggi, jangkung, bahkan di antara teman-temannya, Edo lah yang paling tinggi.
Karena lehernya yang paling panjang itu membuatnya menjadi anak yang sombong. Sering dia
mengajak teman-teman jerapahnya untuk lomba makan daun-daun di pohon yang dahannya
sangat tinggi. Dan sudah dapat ditebak, Edo lah si pemenang perlombaan itu. Berkali-kali dia
memenangkan perlombaan makan daun dari puncak pohon, membuat Edo semakin besar kepala
saja. Dia merasa anak yang paling hebat di kawasan padang rumput itu. Sampai – sampai dia
tidak menghormati para sesepuh jerapahnya. Dia sering mengejek para jerapah-jerapah tua itu
dengan sebutan “leher bengkok”, karena memang mereka sudah beranjak tua. Sedangkan si Edo
masih muda, secara fisik dia masih kuat, leher masih tegak, jenjang dan tinggi.
Pernah satu hari Edo dimintai tolong oleh seorang sesepuh jerapahnya; “Nak, tolong
ambilkan nenek daun yang segar di ranting ujung pohon itu yaa.. nenek ingiiiiiiiiiin sekali
makan daun-daun yang masih muda, hijau, lunak dan segar itu, tapi nenek tidak bisa menjangkau
sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, nak Edo..” Lalu dengan sombongnya Edo menjawab
nenek jerapah itu, “Aduh, nenek jerapah bagaimana sih, sudah tua jangan bawel deh, udah lah
makan daun yang bisa nenek jerapah jangkau sendiri saja lah!!! Salah sendiri nggak bisa ambil
daun di pucuk pohon!!”. Lalu nenek jerapah itu pun pergi dengan kecewa, melihat kelakuan Edo,
si jerapah jangkung yang sombong.
Tidak hanya nenek jerapah itu saja yang ditolak permintaan tolongnya. Pernah juga ada
seekor anak burung yang terjatuh, saat si burung kecil itu sedang belajar terbang. Burung kecil
itu tersangkut di dahan pohon paling ujung. Edo pun dengan sombong menolak permintaan
teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu. Jawaban Edo pada saat itu, “Ahhh.. dasar
anak burung bodoh, punya sayap kok nggak bisa terbang, malah jatuh. Siapa suruh terbang kalau
ngga bisa terbang.” Lalu Edo meninggalkan begitu saja, dan akhirnya teman-teman Edo yang
berusaha menolong burung kecil itu.
Sampai pada suatu hari, si Edo saat berjalan- jalan sendiri di padang rumput, dia sedang
asik melenggang bak anak yang sombong. Lehernya tegak lurus ke atas, dengan kepala
terangkat. Lalu berhenti di suatu gundukan. Edo tidak sadar, bahwa yang dia injak gundukan itu
adalah seekor kura-kura. Seekor kakek kura-kura yang sudah berumur setengah abad. Lalu, si
kakek kura-kura berusaha keras mengangkat tubuhnya dan berjalan maju selangkah, bermaksud
agar Edo merasa jika di bawah kakinya berdiri menginjak seekor kura-kura. Lalu Edo sedikit
tersandung. “Aduhhh!!”. Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf bahwa dia telah menginjak
tempurung kakek kura-kura itu. Sebaliknya, dia malah marah-marah. “Dasar kura-kura peyot,
aku jadi mau terjatuh nih.” Tidak puas dengan cukup berkata-kata, Edo pun langsung menendang
tempurung kakek kura-kura, yang akhirnya kakek kura-kura terlempar beberapa jengkal.
Lalu kakek kura-kura hanya ringan menasihati Edo, “Anak muda, janganlah kamu
sombong. Kamu masih muda, tubuhmu masih kuat, sebaiknya sayangilah sesama makhluk hidup
ciptaanNya. Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua,pasti akan banyak yang lebih hebat
dan kuat darimu.” Lalu Edo cuek begitu saja sambil tidak memperdulikan nasihat kakek kura-
kura. Tidak lama kemudian, awan mendung datang. Mendung yang begitu tebal, langit yang
sebelumnya biru cerah menjadi abu-abu kelabu. Di padang rumput itu masih tertinggal Edo dan
si kakek kura-kura yang berjalan sangat lambat menuju ke tepi di bawah pepohonan. Seakan
masih ingin memperlihatkan kesombongan dan kekuatannya, Edo malah tidak bergegas pergi
meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur hujan. Dia hanya ingin menunjukkan
kehebatannya ke kakek kura-kura, bahwa dia tinggi gagah di tengah padang rumput yang luas,
dengan melenggang santai dan sombong, sambil dirinya membandingkan si kura-kura yang
pendek dan lambat berjalan.
Lalu hujan sangat deras seketika itu datang mengguyur. Dan tiba-tiba petir yang sangat
hebat menyambar, “DUARRRRRRRRRRR.” Akhirnya, Edo si jerapah jangkung itu ambruk,
terjatuh ke tanah. Saat itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam tempurungnya, tidak
kehujanan dan juga terhindar dari petir yang dahsyat menyambar padang rumput. Tidak diam
begitu saja, si kakek kura-kura dengan langkah pelan tapi pasti, dia mendekati ke Edo, dan
memberikan perhatiannya. “Kamu tidak apa-apa, anak muda? Bangunlah, kenapa malah terdiam
bengong tetap bersungkur di tanah?”. Lalu Edo menjawab, “kakek kura-kura,…aku takutttt..
huwaaaaaaaaaaaa…” sambil merengek bak anak kecil yang lemah. “Maafkan aku ya, kakek
kura-kura, sudah menginjak tubuhmu dengan sombongnya. Walaupun kakek kura-kura sudah
tua, tapi tetap kuat, tempurungmu mampu menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek
kura-kura, karena sudah menendangmu, sampai terlempar beberapa langkah. Aku berjanji tidak
akan menjadi anak yang sombong lagi, menolong sesama makhluk ciptaanNya.”
Dan sejak saat itu, si Edo tidak lagi menjadi jerapah yang sombong, namun berubah
menjadi si jerapah yang baik hati dan suka menolong teman-temannya.

Unsur Intrinsik :
· Tema : Penyesalan
· Alur : Maju
· Penokohan
a) Tokoh utama = Jerapah : Sombong , angkuh , pemarah
Kura kura : baik hati , pemaaf , penolong
b) Tokoh bawahan = Burung kecil : lemah
Nenek jerapah : Penyayang , lemah lembut
· Sudut pandang : orang ketiga
· Latar = Waktu : Pagi hari
Tempat : Padang rumput
Suasana : Menegangkan , menyenangkan.
· Amanat : Dalam kehidupan sehari hari, kita tidak boleh sombong karena hal itu akan
merugikan orang lain dan diri sendiri.
ISTERI

Wanita tersebut bernama Martini. Kini ia telah kembali untuk mengijakkan kaki di
tanah air yaitu tanah air Indonesia, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampung
halamannya yang berjarak sekitar tiga kilometer dari arah selatan Wonosari
Gunung Kidul. Di dalam benak wanita tersebut berbaur antara rasa haru, rindu
dan senang. Tinggal hitungan jam, ia akan dapat bertemu kembali dengan sang
suami dan anaknya.

Ketika itu Martini meninggalkan anaknya yang masih berumur tiga tahun. Ia
membayangkan anak laki-lakinya kini sudah duduk dibangku sekolah dasar
mengenakan seragam putih merah serta menempati rumahnya yang baru hasil
dari keringatnya bekerja di Arab Saudi.

Martini merupakan seorang tenaga kerja wanita yang tergolong berhasil dari
sekian banyak cerita mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya tidak
seberuntung Martini. Tak jarang seorang TKW pulang kembali ke tanah air
dengan berbadan dua alias hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin tersebut.

Disiksa, dianiaya dan berbagai macam penyiksaan terus dialami oleh TKW
Indonesia di luar negeri. Martini merupakan TKW yang beruntung memiliki
majikan yang sangat baik hari, bahkan dalam kurun waktu tiga tahun bekerja
dengan majikannya. Ia sudah dua kali melaksanakan umroh dengan dibiayai
oleh majikannya.

Setelah pesawat sampai di bandar, martini melihat dengan seksama


disekelilingnya. Ia berharap ada suami dan anaknya yang menjemput dirinya.
Rasa kecewa dan iri sempat merasuki pikirannya pada saat ia melihat rekan-
rekannya dijemput serta disambut kedatangannya oleh keluarganya.

Namun ia memilih untuk berhusnudzon karena ia berpikir bahwa ia datang


terlambat tiga hari dari jadwal kepulangannya. Bahkan Martini merasa bersalah
karena tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.

Akhirnya ia memutuskan naik taksi bandara menuju terminal Pulogadung. Dari


terminal Pulogadung ia akan langsung berangkat ke Wonosari dengan menaiki
bus maju lancar. Ia ingin segera naik bus dan langsung beristirahat karena
tubuhnya saat ini sudah terlalu letih untuk perjalanan yang cukup memakan
waktu dan tenaga dari Arab Saudi.

Tanpa ia sadari, ia sudah sampai di kampung halamannya yaitu di Wonosari.


Namun, ia melihat ada hal yang aneh, rumahnya yang sekaligus warisan
ayahnya yang telah ia huni bersama suami, anak dan ibunya masih terlihat
sama. Ia berpikir dimana rumah baru yang dikirimkan fotonya oleh suaminya.

Ia pun langsung mengetuk pintu rumah, lalu ada seorang anak yang menjawab.

“Mba ingin cari siapa?” tanya anak tersebut setelah membukakan pintu rumah.

“Andra? Ini aku ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak pernah
menceritakan tentang diriku?” ucap martini yang balik bertanya kepada anaknya.

“Ayah? Ibu? silahkan masuk. Sebentar nanti Andra bangunkan mbah dulu,” Ucap
Andra sambil berlari menuju ke arah kamar sang nenek.
Martini pun masuk ke dalam rumah sambil memerhatikan keadaan rumah yang
tidak berubah sedikit pun semenjak ia pergi. Ibu Martini pun keluar dari
kamarnya menyambut sang anak, lalu disusul Anda yang membawakan segelas
teh hangat.

“Bagaimana keadaan simbok?”. Tanya Martini kepada ibunya.

“Oh, anakku simbok di sini keadannya baik-baik saja, kamu sendiri bagaimana
keadaannya, tin?”. Tanya balik ibunya kepada Martini.

“Aku baik-baik saja mbok, oh iya mau tanya suami aku dimana yah mbik?” Tanya
Martini. Mendengar hal tersebut raut ibu Martini berubah drastis.

“Tentang suamimu, nanti simbok akan ceritakan padamu, sebaiknya kamu


istirahat dulu. Kamu pasti capek setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Inget, diminum dulu teh hangatnya”. saran ibu Martini.

Martini pun menurut saja apa yang telah disarankan oleh ibunya. Setelah
meminum segelas teh hangat, ia pun tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya
yang lelah. Tetapi, tetap aja ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya tetap
memikirkan tentang suaminya.

Karena rasa penasarannya, ia pun mencoba bangkit lalu bertemu dengan ibunya
yang sedang memasak di dapur.

“Maaf mbok, suamiku dimana yah? Tini sudah rindu dan ingin bicara
dengannya.” Ujar Martini memulai kembali percakapan. Ibu Martini pun terlihat
berpikir sejenak, kemudian berdiri dan mengambil satu gelas air putih dari kendi.

“Minumlah air putihnya supaya kamu lebih tenang. Tini, nanti simbok akan
ceritakan di mana suamimu berada, jika kamu sudah tidak sabar.”

Ia pun diceritakan oleh ibunya mengenai suaminya yang telah membuat rumah
baru di desa sebelah. Namun ia tergoda oleh wanita yang tepat berada
disebelah rumah baru tersebut, yaitu tetangganya sendiri. Akhirnya ia pun
meninggalkan kami disini.

Wajah Martini pun terlihat sedih mendengar kabar tersebut. Ia telah bersusah
payah kerja demi suami dan anaknya. Namun suaminya tersebut
meninggalkannya. Pikirannya sangat kacau ketika itu. Ia pun memutuskan untuk
menyambangi suami dan istri barunya. Ia berjalan dengan penuh rasa kecewa
dan sekaligus sedih.

Tapi, tiba-tiba terdengar suara, “Mbak-mbak bangun sudah sampai Wonosari!”.


Dan ternyata kejadian tersebut hanyalah mimpi. Setelah bangun, ia memastikan
bahwasanya hal tersebut merupakan mimpi yaitu dengan melihat ke jendela.

“Alhamdulillah Ya Allah, ternyata semua itu mimpi.” ucapan syukur Martini yang
bahagia karena kejadian yang membuat ia sedih merupakan mimpi.

Unsur Intrinsik
1. Tema: Percayalah kepada niat baikmu.
2. Latar:
– Tempat: Di dalam bis dan di kampung halaman (Wonosari)
– Waktu: Tiga tahun sesudah kepergian Martini menuju Arab Saudi.
– Suasana: Diawal cerita suasana yang tampak biasa saja, namun pada
pertengahan kisah suasana yang timbul sedikit menegangkan pada
saattokoh utama bermimpi
3. Alur: Alur Maju
4. Tokoh:
– Martini : Wataknya bertanggung jawab terhadap keluarga, pekerja keras,
lembut dan sabar.
– Mbok: Sabar
– Andra: Patuh terhadap orang tua
– Mas +oko: Tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarga.
5. Sudut Pandang: orang ketiga
6. Suasana Hati/Mood: kebahagiaan, penyesalan, kecemburuan, kesabaran
dan kecuriagaa.
7. Amanat:
– Senantiasa berbuat baik untuk menggapai ridho Allah SWT.
– Kesabaran serta keuletan dalam bekerja akan membuahkan hasil.
– Jangan bersikap su’udzon terhadap segala hal sebelum ada buktinya.
– Seharusnya seorang suami haruslah bertanggung untuk mencari nafkah
bukan sang istri.
PERSAHABATAN

Hari ini hujan deras datang seharian lamanya. Aku melihat keluar jendela dan
menyaksikan genangan air mulai terbentuk dengan cukup tinggi. Kulihat Ayah
dan Ibu sudah mulai membereskan barang-baran dan mengangkatnya satu
sama lain dengan posisi menumpuk. Hal ini sudah biasa terjadi di lingkungan
tempat tinggalku. Setiap hujan datang, kami sudah tahu untuk mempersiapkan
diri dari datangnya banjir.

Sesekali Ayah juga ikut memeriksa ketinggian air di luar rumah melalui jendela.
Kemudian ayah berkata “Bahaya ini. Jika hujan masih terus deras seperti ini,
sebentar lagi pasti air masuk ke dalam rumah." Aku melihat wajah Ayah yang
lebih khawatir dari biasanya. Perasaanku menjadi tidak tenang. Aku
memutuskan untuk ikut membantu Ibu membereskan barang-barang untuk
menghindari resiko terendam banjir.

Setengah jam kemudian, aku mulai merasakan air mulau menggenang di lantai
rumah. “Air sudah masuk, Bu" ucapku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot
mata yang sama khawatirnya. Sepertinya banjir kali ini akan lebih parah dari
biasanya. Tentu alasannya tidak lepas dari kebiasaan buruk membuang sampah
sembarang ke kali dekat rumah yang masih dilakukan oleh banyak warga.

Ibu pun memanggil Ayah karena air yang masuk ke dalam rumah sudah semakin
tinggi dan telah mencapai setinggi lututku. “Ayah airnya semakin cepat masuk.
Lebih baik kita segera mengungsi," saran Ibu. Kemudian Ayah pun mengangguk
setuju, “Iya Bu, lebih baik kita segera mengungsi dan membawa beberapa
barang penting terlebih dahulu."

Ayah, Ibu, dan aku pun kembali bersiap-siap memilih beberapa barang penting
untuk di bawa ke tempat pengungsian yang biasanya sudah disediakan di
musim-musim banjir seperti ini. Kami pun akhirnya meninggalkan rumah kami
yang semakin lama terus semakin tinggi air masuk ke dalamnya. Sesampainya
di pengungsian, ternyata sudah banyak keluarga lain yang juga memutuskan
meninggalkan rumahnya karena banjir kali ini sepertinya akan lebih parah
ketinggian airnya dibandingkan sebelumnya.

Selama di pengungsian hujan pun tidak kunjung berhenti. Aku pun diminta
meliburkan diri dari sekolah oleh Ayah dan Ibu karena sebagian besar buku dan
pakaian seragam pun tidak ada yang kami bawa ke pengungsian. Tidak ada
yang menyangka hujan deras terus mengguyur daerah rumah kami hingga 3 hari
setelahnya.

Hari keempat setelah hujan berhenti, kami kembali ke rumah. Kondisi rumah
sudah sangat berantakan dan banyak dari barang-barang kami yang rusak serta
hanyut terbawa air. Ayah memandang ke arah aku dan Ibu lalu mengatakan
“Hujan sudah berhenti, sekarang saatnya kita kembali membersihkan rumah kita.
Kalian mau membantu Ayah bersih-bersih kan?" Aku dan Ibu serentak menjawab
dengan anggukan.

Saat kami sedang bersih-bersih terdengar salam dari luar rumah


“Assalamualaikum." Aku pergi ke depan rumah dan menemukan sahabat-
sahabatku di sekolah. Ternyata mereka datang untuk menanyakan kenapa aku
tidak masuk sekolah selama 3 hari terakhir. Aku pun menjelaskan mengenai
banjir mendadak yang melanda lingkungan tempat tinggalku.
Melihat aku, Ibu, dan Ayah yang sedang bersih-bersih mereka pun menawarkan
diri untuk membantu kami. Teman-teman sekolahku membantu hingga rumah
kembali bersih dan kemudian menghabiskan waktu bersamaku untuk
menginformasikan pelajaran-pelajaran yang aku lewatkan selama tidak masuk.
Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Sahabat yang ada di
kala aku susah dan tidak ragu mengulurkan bantuan di masa sulitku.

Unsur Intrinsik Cerpen Persahabatan


Unsur-unsut intrinsik pada contoh cerpen singkat tentang persahabatan di atas
adalah sebagai berikut:

Tema: Persahabatan

Amanat: Sahabat setia membantu di masa-masa sulit.

Alur: Alur Maju

Setting: Rumah

Penokohan:

 Aku: sabar, menurut pada orang tua, rajin membantu orang tua
 Ayah: sabar, tidak banyak mengeluh, dapat mengendalikan kekhawatiran
 Ibu: khawatir, dapat menyelesaikan masalah
 Sahabat Aku: senang menolong, perhatian, rajin
 Sudut Pandang: Orang pertama tokoh utama terlibat dalam cerita
IBU

Pagi ini Risa berangkat ke sekolah dengan semangat. Sebelum berangkat tidak
lupa iya pamit pada Ayahnya yang sedang membaca Koran di depan teras, “Yah
Risa pergi sekolah dulu ya. Hari ini hari terakhir di sekolah sebelum kelulusan
minggu depan."

Ayah membalas pamitan Risa dengan senyuman, dan menjawab, “Ya sudah
hati-hati ya Nak. Jangan pulang terlalu lama, hari ini ada tamu mau bertemu
dengan mu." Risa penasaran siapa tamu yang dimaksud Ayah, “Siapa yang mau
datang Yah?" Ayah tidak menjawab dan malah menyuruh Risa untuk segera
berangkat sekolah dan mengingatkan kembali agar jangan pulang terlalu lama.

Selama di sekolah Risa penasaran siapa tamu yang Ayah maksud. Itulah
sebabnya setelah semua urusan di sekolah selesai, Risa segera menuju ke
rumah dengan hati bertanya-tanya siapakah tamu yang ingin menemuiku.

Sesampainya di rumah, Risa langsung disapa oleh seorang wanita. “Halo Risa,
perkenalkan nama tante Mia. Tante adalah teman Ayah kamu." Risa perlahan-
lahan mencerna siapa dan untuk apa Tante Mia datang ke rumahnya. Apakah
tante Mia ini tamu yang dimaksud oleh Ayah.

Risa kemudian menyapa kembali tante Mia dengan “Halo tante, aku Risa. Ayah
ada di mana ya tante?" Tante Mia menjawab, “Ayah kamu sedang di belakang
membantu tante menyiapkan makan siang. Kami sudah menunggu Risa sejak
tadi."

Aku kemudian beranjak menuju meja makan dan akhirnya bertemu dengan
Ayah. Ayah memeluknya lalu kembali memperkenalkan tante Mia lagi. “Risa, ini
tante Mia teman Ayah." Risa hanya menganggukan kepala sekali lagi dan
kembali memikirkan apa maksud Ayah memperkenalkan tante Mia padanya.

Apakah Ayah ingin menggantikan posisi Ibu dengan Tante Mia? Memikirkan hal
tersebut aku seketika menjadi sedih dan tidak bersemangat. Aku tidak mungkin
mengecewakan Ayah dengan tidak ikut makan siang bersama. Tapi aku
merasakan perasaan yang sangat sedih ketika memikirkan apakah benar Ayah
ingin menggantikan posisi Ibu dengan orang lain.

Tidak lama selesai makan siang, tante Mia kemudian pamit pulang. Ayah
mengantarkannya ke luar dan aku mengunci diriku di kamar. Setelah beberapa
saat, Ayah menghampiri pintu kamarku. Ayah mengetuk pintu beberapa kali,
namun aku tidak ingin berbicara dengan Ayah dahulu. Aku masih belum
mengerti kenapa harus ada orang lain yang menggantikan posisi ibu.

Tanpa aku sadari Ayah mengajakku berbicara dari balik pintu. Ayah berkata,
“Risa, Ayah tahu kamu pasti kaget dengan kedatangan tante Mia hari ini. Tapi
Ayah ingin kamu tahu kalau tante Mia itu baik dan Ayah ingin tante Mia
membantu Ayah menjaga dan membesarkan kamu."

Aku menangis mendengar pengakuan Ayah. Aku pun menjawab Ayah sambil
menangis, “Tapi Risa tidak mau siapapun menggantikan Ibu, yah." Ibu memang
sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu, tepat saat aku berumur 12 tahun. Saat
itu aku dan ayah sangat terpukul dengan kematian ibu. Aku tidak pernah
menyangka bahwa ayah akan secepat ini mencari pengganti ibu.
“Tante Mia tidak menggantikan Ibu, Nak. Tante Mia ada untuk membantu
membesarkan kamu. Banyak hal yang tidak ayah ketahui dalam membesarkan
kamu menjadi seorang wanita dewasa. Ayah harap kamu bisa mengerti nak."
Ucap ayah lagi kali ini. Akupun menyadari ada banyak hal yang harus aku
mepertimbangkan. Ayah sudah bersusah payah selama tiga tahun terakhir
bekerja sekaligus membesarkanku sendirian. Aku harus mengerti ayah dan aku
pun membuka pintu kamarku.

“Ayah aku mengerti perasaan Ayah. Jika memang tante Mia adalah pilihan
terbaik untuk Ayah, Risa tidak akan menolaknya. Risa tahu Ibu juga bahagia
ketika Ayah bahagia dan Risa bahagia." Aku memeluk ayah sambil menangis.
Aku yakin Ibu mengerti dan tidak akan merasa tergantikan. Ibu tetap anda di hati
kami. Ibu tetap hidup di hati kami. Aku dan Ayah sayang Ibu.

Unsur Intrinsik Cerpen Ibu


Unsur-unsut intrinsik pada contoh cerpen singkat tentang ibu di atas adalah
sebagai berikut:

Tema: Keluarga (Ibu)

Amanat: Ibu tidak akan tergantikan walau telah tiada di dunia.

Alur: Alur Maju

Setting: Rumah

Penokohan:

 Risa: sabar, emosional, pengertian, mau mengalah


 Ayah: sabar, jujur, penyayang
 Tante Mia: ramah, baik, penyayang
Sudut Pandang: Orang pertama tokoh utama terlibat dalam cerita
CERPEN LUCU

Suatu hari Ali dan Indra sedang berbincang-bincang di pinggir lapangan saat
istirahat sedang berlangsung. Ali dan Indra berada di satu kelas yang sama yaitu
kelas 12. Sudah satu minggu teman mereka Andi tidak kunjung masuk.
Kabarnya Andi sedang sakit dan dirawat. Indra yang merupakan tetangga
sebelah rumah Andi pun sering ditanyakan bagaimana kabar Andi.

Ali pun ikut menanyakan pada Indra, “Ndra, keadaan Andi bagaimana? Sudah
kembali dari rumah sakit belum?"

Indra yang sudah sering mendapatkan pertanyaan ini pun menjawab dengan
nada lemas dan malas. “Indra sudah meninggal, Li" kira-kira seperti itulah bunyi
jawaban yang didengar oleh Ali.

Karena suara di pinggir lapangan terlalu kencang ternyata Ali salah mendengar.
“Apa Andi sudah meninggal Ndra?" Lalu Indra menjawab dengan suara yang
lebih kencang, “Sembarang kamu Ali. Maksud aku Andi sudah mendingan bukan
meninggal."

“Oh." Jawab Ali sambil tertawa karena terkejut setelah salah mendengar kabar
kondisi Andi.

Unsur Intrinsik Cerpen Lucu


Unsur-unsur intrinsik pada contoh cerpen singkat lucu di atas adalah sebagai
berikut:

Tema: Humor dan Persahabatan

Amanat: Berbicaralah dengan jelas agar tidak ada kesalahpahaman.

Alur: Alur Maju

Setting: Sekolah

Penokohan:

 Ali: perhatian, cepat mengambil kesimpulan


 Indra: tidak sabar menjawab pertanyaan, cepat bosan
Sudut Pandang: Orang ketiga tidak terlibat langsung di dalam cerita.
Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia.
Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan
supir pribadi.

Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak
pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang datang ke rumahnya. Mereka
menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Tyas.

Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu kelurahan dengan
rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak main ke rumah Tyas.

“Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”

“Mungkin sakit!” jawab Mama.

“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat

Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Tyas
menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan bahwa Dwi sudah dua minggu
ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya
mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi
tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

“Oh, kasihan Dwi,” ucapnya dalam hati,

Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu
murung.

“Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan
ceria!” Papa menegur

“Dwi, Pa.”

“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Tyas menggeleng.

“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.

“Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya
bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.

Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Tyas.

“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.

“Lalu apa rencana kamu?”

“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”

“Maksudmu?”

“Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku!” Tyas memohon dengan agak mendesak.

“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu!” kata Papa.

Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia merasa senang. Ini
karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Dwi. Kemudian Tyas bersama
Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan
jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati
Dwi ketika bertemu dengan Tyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Dwi
agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau
Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.
“Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”

“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”

Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Dwi.
Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Dwi sendiri.

“Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Surabaya. Kami
menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi, apakah kamu mau?” Tanya Papa.

“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang
akan menanggung.”

“Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan
banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”

Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata Tyas berkaca-
kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah
sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas. Sementara orang tuanya tetap di
desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Dwi yang sudah tua.

Unsur Instrinsik :

• Tema : Persahabatan

• Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas

• Watak :

· Tyas : Suka Menolong

· Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain

· Papa Tyas : Baik Hati

· Mama Tyas : Peduli

• Alur : Maju

• Latar :

Tempat

· Rumah Dwi (Lama)

· Rumah Tyas

· Rumah Dwi (Di Desa).

Waktu

· Siang Hari

Suasana : Mengharukan

• Sudut pandang : Orang Pertama

• Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan Berbagi kepada sesama
Hujan, Musik, dan Kenangan*
Hujan yang turun sepanjang petang belum juga berhenti meskipun malam terus beringsut. Tak banyak
yang dapat dikerjakannya sejak turun hujan tadi. Tak banyak memang, bila itu diartikan sebagai gerakan
atau kegiatan fisik yang memadai. Lelaki itu cuma berdiri di jendela sepenuh waktu petang itu, menatap
hujan yang menerpa daun-daun pinus yang berjajar sepanjang pagar sebelah timur gerbang bambu.

Di arah yang berlawanan, rimbunnya Bougenville dengan bunganya yang merah jambu itu tampak cantik
dihiasi kerlap-kerlip titik air di permukaan daunnya. Ia menikmatinya dengan penuh sendu. Muram seperti
warna langit di petang itu. Sementara malam segera turun, dan ia masih saja di situ.

Angin malam berembus agak dingin, tetapi ia belum mau menutup jendela. Kalau saja mendiang istrinya
masih ada, dia pun akan melakukan hal yang sama. Ya, Yasmin, istrinya, akan berbuat yang sama
dengannya pada malam seperti itu. Berdiri di jendela, menatap ke luar memandang hujan yang jatuh,
merasakan hembusan angin. Menurut Yasmin hujan adalah berkah. Alam seakan sedang bernyanyi dan
titik-titik air yang menerpa kaca jendela seolah menciptakan lirik-lirik puisi cinta yang romantis.

Ia hapal kebiasaan-kebiasaan Yasmin, dan itulah yang membuat hatinya teriris. Selalu, sehabis hujan,
kecuali di malam larut, ia akan turun ke halaman dan menghirup napas dalam-dalam,
mmengembuskannya, dan kemudian menghirupnya lagi.

“Bau tanah dan tumbuhan sehabis hujan sangat khas dan menyamankan,” begitu katanya.

Banyak lagi keunikan Yasmin yang dengan jelas masih dingatnya. Sepertinya semua itu naru terjadi
kemarin. Jangan kira Yasmin hanya suka pada suasana hujan. Waktu mereka bertugas ke selama
beberapa tahun di Palembang, kadang-kadang Yasmin mengajaknya jalan-jalan agak ke luar kota.
Tepatnya ke lokasi hutan karet., cuma untuk menikmati cahaya surya yang menembus lewat dahan
ratusan pohon karet yang berjajar rapi sehingga menimbulkan permainan sinar yang indah menimpa
tanah yang sarat oleh daun-daun yang gugur. Ia akan turun dari mobil, berjalan jauh ke tengah hutan
karet dan berdiri di sana menikmati semuanya itu.

“Yasmin…,” ia berbisik sendu. Betapa mereka selalu saling menyayangi dan akan selalu begitu.
Meskipun ada saat-saat tertentu dia merasa tidak begitu mengerti Yasmin, tapi itu bukan halangan.
Bukankah dengan demikian mereka selalu belajar untuk memahami sepanjang kehidupan perkawinan
mereka. Mungkin karena hal-hal itu pula, hubungan mereka jauh dari rasa jenuh. Yang penting mereka
bisa menyelaraskan diri dengan pasangan masing-masing, maka perbedaan-perbedaan bukannya
mengganggu malah lebih memperkaya hubungan mereka.

Lelaki itu tersenyum, untuk pertama kali sepanjang petang itu. Memang itulah yang dirasakannya dalam
hidup perkawinannya dengan Yasmin sehingga biarpun mereka tidak dikaruniai putra, hidup mereka
punya isi. Semakin lama, sepanjang lima belas tahun perkawinan mereka, semakin mereka mendapati
diri mereka saling menyukai dan mencintai.

Yasmin menyimpan baik-baik sebuah lukisan sekuntum mawar merah berukuran 70×60 cm, yang
digantungnya di ruang keluarga, tepat berhadapan dengan kursi kesayangannya tempat ia selalu duduk
membaca. Dalam gambar iru, di tangkai mawarnya, ada tulisan “Love is Enough.”

“Aku setuju dengan ungkapan itu. Kamu, Yang?” tanyanya (Yasmin) sambil menatap gambar tersebut.

“Yeah… menurutku ungkapan itu tidak selalu benar,” jawabnya (si lelaki).

“Tidak selalu? Apa maksudmu? Cinta, zat yang sakral itu, butuh sikap, Yang,” katanya (Yasmin) lagi
dengan tegas meskipun tetap bernada lembut.

Lelaki itu diam saja, dan iu tandanya oa segan meneruskan perbincangan. Yasmin pun meneruskan
bacaannya.

Kali lain lelaki itu mendengar istrinya nerkata seolah kepada dirinya sendiri, “Cinta memang tiada
berkepentingan lain selain mewujudkan maknanya.”

“Dari penyair Libanon kesukaaanmu kan?” kata lelaki itu.

Yasmin tidak menjawab, cuma berjalan mendekatinya dan membelai pipinya sekilas sebelum menghilang
ke dapur.

Yasmin… Yasmin… kini ia pun masih bisa tersenyum mengenang saat-saat indah itu.

Malam merangkak terus. Hujan tidak lagi sederas petang tadi. Angin yang singgah di tubunya semakin
dingin. Ditutupnya kain jendela, lalu ia mengambil tempat di kursi baca, menjangkau sebuah buku yang
sejak tadi tergeletak di atas meja di sampingnya, dan mulai membaca. O ya, di saat-saat begini, Yasmin
akan memutar piringan hitam koleksi musik klasik kesayangannya. Lelaki itu menolak melakukannya
sekarang, takut kenangan akan lebih mengiris hatinya. Ia meneruskan bacaannya.
Ketukan pintu menyadarkannya, tapi ia tetap duduk. Sahabatnya masuk, mengibaskan bekas hujan di jas
panjangnya, menanggalkan dan meletakkannya di sandaran kursi dekat pintu, dan langsung melintas ke
ruang tengah. Mereka bertatapan, tersenyum dalam diam, dan sebelum duduk sahabatnya itu menuju
meja di pojok. Lelaki itu tampak inginprotes tapi ditahannya. Lalu berkumandanglah sebuah sonata karya
Schubert, Gretchen am Spinrade (Greta Pada Roda Pintal). Mereka duduk berhadapan, diam
mendengarkan dan menikmati karya yang konon karya perdana komposer itu. Ini pun salah satu
kesukaan Yasmin. Mereka berdua tahu itu. Lelaki itu ingat, hari-hari terakhir Yasmin selalu dihiasi dengan
simfoni-simfoni indah sampai saat kepergiannya daridunia ini, pada suatu sore yang cerah di rumah
mereka, setelah para dokter tidak bisa menangani kanker lambung yang diidapnya beberapa bulan yang
lalu.

Dia memandang ke arah sahabatnya yang kadang berkunjung, terutama setelah ia dan Yasmin menetap
di ibu kota. Mereka bertiga kadang terlibat dalam percakapan akrab dan gurauan sampai larut malam,
dan mereka sama-sama menikmatinya. Sejak kepergian Yasmin, sahabtanya lebih sering datang. Ia ingin
melarangnya tapi khawatir sahabatnya itu tersinggung.

Lelaki itu sebenarnya lebih senang sendirian saja mengatasi kepedihan dan kesepiannya. Ia ingin ruang-
ruang itu cuma milik mereka berdua; ia dan Yasmin, dan ia yakin dengan begitu akan mudah baginya
melewati saat-saat yang menyayat itu. Lebih pedih rasanya bila sahabatnya datang dan menciptakan
suasana semacam itu, pada malam yang basah seperti itu. Tapi demi Tuhan, bagaimana mau
melarangnya? Sampai hatikah ia?

Mereka berdua dulu satu kamar di tempat kos selama bertahun-tahun masa kuliah, sama-sama hobi
memotret, sama-sama naksir gadis manis di ujung jalan, dan berbahagialah lelaki itu karena ternyata
gadis itu–Yasmin–memilihnya.

*Sumber: Kalung Dari Gunung, Kumpulan Cerpen Pengarang-Pengarang Aksara (Bestari, 2004) yang
diedit sedikit oleh penulis.

Unsur Intrinsik Pada Cerpen di Atas:

 Tema: tentang seorang lelaki yang mengenang kepergian istrinya (Yasmin) beberapa bulan yang lalu
akibat kanker lambung yang diderita sang istri. Dalam mengenan istrinya, si lelaki juga ditemani oleh
sahabatnya semasa kuliah yang dahulu menyukai YAsmin dan diam-diam mengenang perempuan yang
disukainya itu. Hal itu membuat si lelaki kesulitan melewati masa dukanya.
 Tokoh:
o Lelaki Itu: digambarkan sebagai sosok yang melankolis. Hal ini tercermin dari caranya mengenang sosok
istrinya tersebut.
o Yasmin (istri lelaki Itu): merupakan perempuan yang disukai Si Lelaki sejak kuliah dan digambarkan
sebagai sosok yang menyukai pemandangan alam seperti hujan dan sinar matahari, serta menyukai
kata-kata yang ada hubungannya dengan cinta.
o Sahabat Lelaki Itu: digambarkan sebagai sosok yang setia kepada sahabatnya, dan diam-diam
mengenang Yasmin yang juga dia sukai sewaktu kuliah dulu.
 Latar (Setting):
o Latar Tempat: rumah lelaki itu dan almarhumah istrinya.
o Latar Waktu: sore dan malam hari, serta sehabis hujan dan saat matahari terbit di hutan karet.
o Latar Suasana: murung.
 Alur: alur yang digunakan adalah jenis-jenis alur cerita mundur, sebab si tokoh utama (Lelaki Itu)
menceritakan banyak hal yang dia alami bersama istrinya di masa lalu.
 Sudut Pandang: sudut pandang yang digunakan penulis pada cerpen di atas adalah sudut pandang
orang ketiga, atau sudut pandang di luar tokoh cerpen.
 Amanat: menurut pandangan penulis, amanat utama yang terkandung pada cerpen di atas adalah kita
senantiasa mengenang hal baik dari orang yang telah meninggalkan kita untuk selamanya. Kita juga
harus bisa melewati kesedihan yang kita alami seberat apapun itu.
 Gaya Bahasa: gaya bahasa cerpen di atas cenderung lugas, di mana tidak ada kata-kata bermakna
ambigu di dalamnya. Meski begitu, terdapat pula kalimat-kalimat yang menggunakan macam-macam
majas perbandingan, seperti metafora atau personifikasi. Misalnya:
o Alam seakan sedang bernyanyi dan titik-titik air yang menerpa kaca jendela seolah menciptakan lirik-lirik
puisi cinta yang romantis. (kalimat ini menggunakan contoh majas personifikasi, di mana pada kalimat ini
alam dan totik-titik air yang menerpa kaca jendela di samakan dengan manusia yang pandai bernyanyi
dan menciptakan puisi cinta).
o Ia menikmatinya dengan penuh sendu. Muram seperti warna langit di petang itu. (dua kalimat ini
menggunakan contoh majas metafora, di mana satu kalimat di perbandingkan dengan kalimat satunya
lagi).
Arin dan Mimpinya
Arin berasal dari keluarga yang cukup harmonis yang terdiri dari ayah ibu dan dengan 2 anak
perempuan mereka yaitu Arin dan Raty. Karena keterbatasan dana, sejak SMP Arin sudah
bersekolah jauh dari orang tuanya. Dia tinggal bersama saudara dikeluarga ibunya. Seringkali ia
merasa ingin bersekolah bersama keluarga, ibu, ayah dan 1 adiknya. Tapi sayangnya, ia sudah
terlanjur meminta kepada orang tuanya untuk tinggal dan bersekolah dengan bibinya yang tinggal
sangat jauh dari tempatnya berada. .

Tiga tahun sudah berlalu, Arin meminta kepada orangtuanya supaya setelah lulus SMP ia
melanjutkan kesekolah negeri dekat dengan orang tuanya. Permintaan itu dikabulkan oleh ibunya
tetapi ayahnya sedikit keberatan. “kenapa kamu pindah, Rin ? apakah ada masalah di sekolahmu
sehingga kamu ingin pindah?” tanya ayahnya. “Tidak yah, Arin ingin pindah sekolah karna Arin ingin
mencari pengalaman lebih banyak lagi di sekolah lain” jawab Arin. “Lalu bagaimana dengan bibi mu,
apakah dia setuju dengan keputusanmu itu?” tanya ayahnya. Dengan berat hati Arin menjawab,
“Aku belum bicara kepada bibi, tetapi pasti aku akan mengatakan padanya segera”

Arin sebenarnya tahu jika orang tuanya merasa keberatan bukan karena dia harus tinggal bersama
bibinya. Namun karena mereka tidak mampu untuk mensekoahkan Arin di sana. Arin pun bimbang
dan ragu. Di satu sisi dia ingin kumpul lagi bersama orang tuanya, di sisi lain dia tahu ayahnya tak
punya uang untuk menyekolahkannya. Hari demi hari berlalu, Arin semakin rindu kepada keluarga
kecilnya.Tak jarang dia selalu menangis hingga larut malam.

Bibi Arin pun menyadari apa yang Arin rasakan saat ini. “Kamu kenapa nak?” tanya bibinya. “Aku
baik-baik saja kok bulek, aku hanya sedang kelelahan,” jawab Arin. Sebenarnya Bibinya pun sudah
mengetahui apa yang sedang Arin rasakan tetapi dia tak mau menambah beban Arin saat ini. “Nak
bibi akan selalu mendoakanmu, Bibi juga akan selalu mendukung apa yang ingin kau lakukan,
berusahalah dengan giat untuk mendapatkan keinginanmu,” nasehat bibinya. Setelah mendapatkan
nasehat itu, Arin menjadi semangat. Meskipun Arin belum membicarakan masalah kepada bibinya,
dia tahu bahwa bibinya akan selalu mendukungnya.

Beberapa hari setelah itu, Arin mendapat kabar bahwa sekolah SMAN 1 Bumi Putera di dekat rumah
orang tuanya mengadkan lomba pidato dan pemenangnya akan diterima bersekolah disana dan
mendapatkan beasiswa. Arin pun mengikuti lomba pidato itu dan akhirnya keluar sebagai
pemenang. Dia pun memberitahukan kabar gembira itu kepada orang tua dan Bibinya.

Pada awalnya mereka belum menyetujuinya. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari Arin,
akhirnya permintaanny diperbolehkan oleh orangtua dan bibinya. Tapi sayang, pihak sekolah
sempat menahan Arin karena prestasi-prestasi dari dirinya. Sekolah tidak mengizinkan Arin pindah
ke SMA lain karna ia membawa prestasi cemerlang. Tetapi setelah mendesak kepala pimpinannya,
akhirnya Arin diperbolehkan pindah. Ia sangat senang sekali. Ia juga sedih ketika ia berpamitan
dengan teman-temannya yang sayang padanya. Arin berpesan kepada teman-temannya untuk
selalu semangat dan giat dalam belajar dan juga tidak melupakannya.

Ketika masuk tahun ajaran baru, Arin pun bisa kembali berkumpul bersama orang tuanya. Ia
berkumpul bersama ayah, ibu, dan adiknya. Rasa rindu yang sangat mendalam dapat berkumpul
bersama keluarga walaupun makan dengan lauk sambal akan terasa lebih nikmat bila berkumpul
bersama.

Unsur Intrinsik Cerpen “Arin dan Mimpinya”

1.Tema: Kebersamaan keluarga

2.Tempat : Rumah bibinya, Sekolah Arin, Rumah Arin


Suasana : Sedih (Tak jarang dia selalu menangis hingga larut malam), Bahagia (Dia pun memberitahukan
kabar gembira itu kepada orang tua dan Bibinya), Haru (Ia juga sedih ketika ia berpamitan dengan teman-
temannya yang sayang padanya)
Waktu : Malam (Terbukti saat Arin menangis karena rindu keluarganya), Pagi hari (Terlihat ketika Arin
mengikuti lomba pidato dan berpamitan kepada temannya)
3. Alur : Maju
4. Tokoh: Arin (Antagonis), Bibi dan Ayah (Tritagonis), Tidak ada tokoh antagonis karena konflik yang terjadi
adalah konflik batin tokoh utamanya
5. Penokohan:

Arin : Penyayang, Pintar, Berkemauan tinggi,


Bibi : Penyayang, Baik
Ayah : Pesimis, Baik

6. Sudut pandang : Orang ke tiga tunggal


7. Gaya Bahasa : Pengarang menyampaikaan ceritanya dengan bahasa yang mudah dimengerti tanpa kiasan
sehingga cerita mudah dimengerti
8. Moral Value: Jangan menyerah dengan keadaan karean setiap masalah pasti ada jalan keluar

Anda mungkin juga menyukai