Anda di halaman 1dari 8

SAHARA

TEMA : Kesehatan psikologis untuk beradaptasi terhadap tantangan.

Karya : Elisa Fazira

Sekolah : SMA Negeri 1 Tambusai.

Anak-anak lahir dari budi leluhur yang suci. Kebanyakan orang tua menjadi penopang
mereka sejak kecil hingga dewasa, dan beberapa dari mereka menopang diri sendiri. Cerita
cinta pertama kita, interaksi dengan mereka tiada duanya. Ada tawa yang mereka suguhkan,
kehangatan yang mereka berikan bagai oasis di padang pasir yang melegakan.

Ada dua sekawan dengan perbedaan latar belakang dan kebiasaan. Muhammad
Sharon, biasa dipanggil Sahron. Lahir di kampung Arab dengan kepribadian yang sederhana
dan bersih, merupakan hafidz berbudi luhur dengan akhlak yang baik. Didampingi dan
diarahkan orang tua dengan penuh kesadaran. Lahir di lingkungan yang sehat sejak kecil, ia
mengerti begitu fananya dunia luar tanpa menyentuh bahkan memandangi setiap
peristiwanya. Begitu kontras dengan hidupnya yang penuh dengan moral kemanusiaan.

Aeron krismana, biasa dipaggil Aran. Tipikal anak perkotaan yang kaya. Sedikit
sarkas, namun itu hal biasa. Hal yang sangat dibutuhkan didunia ini adalah uang yang banyak
untuk menyalurkan tingkah lakunya. Merokok, pergaulan bebas itu pasti, narkoba hanya
sekedar mencoba, balapan liar dengan Lamborghini Aventador kesayangannya. Dikelilingi
orang baik, yang akan menjilati ludahnya dan merendah seperti binatang. Tak ada yang
kurang dari hidupnya, karna menikmati hidup itu poin yang utama. Tinggal di perumahan elit
Jakarta Selatan, remaja 17 tahun ini tak pernah merasakan kehidupan yang serba kekurangan
pastinya seperti yang dialami oleh anak-anak kurang beruntung dalam hidup mereka.

Sahron bersekolah di sekolah umum yang mendalami ilmu agama lebih dalam, berada
tepat disamping rumahnya. Sedangkan Aran, bersekolah di sekolah swasta Internasional High
School di kawasan Jakarta Selatan. Kisah ini bermula disini, di subuh pagi Sahron yang
khusyuk dalam mengulang hafalan di kagetkan dengan berita yang disampaikan oleh
tetangganya.

“RON!!! SAHROOON hah haaah.” Sambil terengah-engah mak Odah memanggil


Sahron yang ada di dalam rumah. Sahron pun keluar setelah mendengar mak Odah
memanggil namanya.
“Ada apa mak? Kenapa emak ngos-ngosan seperti itu?” tanya Sahron dengan nada
lembut.

“Ron hikss Ron orangtua kamu Ron hikss.”

“Duduk dulu mak, ada apa dengan orang tua saya? Kenapa emak sampai sepanik ini.”

“R-ron orang tua kamu kecelakaan Ron. Mereka udah ga ada Ron, mereka udah pergi
menghadap Allah.”

“Innalillahiwainnailaihiraji’un. Ya Allah hikss hanya padamu hamba berserah diri


atas segala ketentuan yang engkau berikan. Ampunilah dosa kedua orang tua hamba ya
Allah.”

“ Ayo Ron, kita antarkan orang tuamu ketempat peristirahatan terakhir mereka.”

Sambil tertatih-tatih Sahron mencoba tegar menghadapi cobaan yang sedang ia


hadapi. Ia tahu Allah tak akan menguji hambanya melebihi kemampuan mereka. Ia pun
segera berangkat ke kampung seberang, tempat orang tuanya terlibat kecelakaan. Setibanya
disana, ia melihat pihak Kepolisian setempat sedang mengevakuasi jenazah orang tuanya.

Tak henti-hentinya tangis menguar dari mata Sahron saat mengiringi jenazah orang
tuanya ke tempat peristirahatan terakhir mereka. Musibah seakan datang bertubi-tubi, rumah
yang ditempatinya sejak kecil bersama orang tuanya , beserta harta keseluruhan harus
musnah disita oleh penagih hutang. Malam itu ia diberitahu bahwa orang tuanya sudah
menunggak membayar hutang selama 3 tahun. Bukan tanpa alasan, orang tuanya bisa terlibat
hutang hingga tersitanya rumah masa kecil Sahron. 3 tahun lalu, bertepatan masuknya masa
COVID-19, hampir seluruh negara di dunia mengalami krisis ekonomi yang parah karena
terbatas nya gerak mereka untuk mencari nafkah. Sama halnya yang dialami oleh orang tua
Sahron, sebuah warung kelontong kecil yang sudah menopang hidup mereka selama lebih 18
tahun itu terancam tutup kehabisan modal sebab pengeluaran selama pandemi lebih besar dari
pada pendapatan.

Agar tetap dapat menyambung hidup di masa pandemi yang tak kunjung usai ini,
orang tua Sahron pun terpaksa meminjam uang untuk modal berjualan sebanyak 20 juta
kepada debt collector dengan jaminan sertifikat rumah. Namun, malang tak dapat di hindar,
uang 20 juta yang mereka pinjam harus raib dicuri saat akan pulang kerumah dan pada
akhirnya mereka hanya bisa bertahan dengan apa yang tersisa. Minggu ke minggu hinga
berganti tahun, bunga hutang mereka semakin besar dan membuat mereka tak sanggup untuk
membayar barang secuil pun hingga akhirnya mereka dipanggil oleh yang maha kuasa.

Malam itu, bahkan disaat makam orang tuanya masih basah, Sahron berjalan tak tentu
arah tanpa tujuan dan keluarga yang akan menguatkan dirinya. Ia terus berjalan hingga
sebuah mobil tiba-tiba menyambar dirinya.

“Tubuhku mati rasa. Pandangan ku berkunang-kunang. Aku tak tahu apa yang sedang
terjadi, tapi ku lihat mereka tersenyum penuh kemenangan disana.” Batin Sahron.

Aran keluar dari mobil dan melihat pemuda seumuran dirinya bersimbah darah,
mungkin sudah tak bernyawa lagi.

“MAMPUS GUE!!! Pake nabrak lagi.” Panik Aran sambil mengitari mobilnya.

“Tapi kok bemper mobil gue gak kenapa-napa? Padahal ni anak udah bersimbah
darah gini di kolong mobil gue. Tapi bagus deh, gak bakal ada yang tau kalo gue abis nabrak”

Tak ada saksi yang melihat, ia memasukkan jasad Sahron kedalam bagasi mobilnya
untuk menghilangkan barang bukti di TKP, lalu pergi mencari tempat yang aman untuk
menyimpan jenazah. Hampir tengah malam, ia akhirnya membuang jasad Sahron ke dalam
jurang di hutan yang sepi setelah sebelumnya ia menyimpan dokumen pribadi milik Sahron,
lalu membersihkan bagasi mobilnya untuk pulang ke rumah.

Sampai dirumah, suasananya hening seperti yang sudah-sudah. Sudah tak heran lagi,
orang tuanya lebih memikirkan pekerjaan ketimbang anak mereka sendiri dan Aran pun tak
begitu peduli, selagi semua kebutuhannya tercukupi. Malam itu di tengah kesendiriannya, ia
dihantui perasaan bersalah yang mendalam karena sudah membunuh orang.

“Gak papa, gue gak perlu panik. Mama sama papa pasti bantuin gue buat ngatasin
masalah ini.”

“Gue kan kaya. Siapa sih, yang berani jeblosin gue ke penjara hahaha.”

Disaat Aran sudah mulai tenang, ia mulai melihat dokumen pribadi korbannya yaitu
sebuah KTP yang bertuliskan Muhammad Sharon beralamat di kampung Arab dan kebetulan
yang aneh tangal lahir mereka sama persis.
“Kayaknya sabi nih kalo gue ke kampung Arab. Penasaran gue ama keluarga ni
anak.”

“Gue harus cari alasan nih buat kesana. Jangan sampe warga disana curiga kenapa gue
tiba tiba nyariin orang tua ni anak. Bisa bisa gue ketahuan ngebunuh ni anak lagi.”

“SEDEKAH!!! Siip gak bakal ada yang curiga nih kalo gue ngasih sedekah. Disana
kan kampung kumuh bin miskin. Siapa sih yang bakal nolak sedekah dari gue.”

Esok paginya, seperti rencananya semalam ia melenggang ke rumah Sahron di


kampung Arab. Setelah sampai ke tujuan, ia mulai menanyakan tempat tinggal Sahron
kepada warga sekitar. Meskipun sedikit bingung, warga tetap menunjukkan jalan ke alamat
rumahnya dulu tanpa memberitahu kalau Sahron sudah pindah dari rumah tersebut. Saat
sampai dia langsung mengetuk pintu rumah Sahron. Namun setelah beberapa saat, tak ada
jawaban dari dalam rumah. Aran berfikir mungkin saja penunggu rumah tersebut pergi
bekerja, dan berencana akan kembali keesokan harinya.

Saat baru ingin memasuki mobilnya, seorang ibu pertengahan 50-an memanggil
dirinya dan menanyakan siapa yang ia cari. Aran pun menyatakan maksudnya untuk mencari
orang tua Sahron. Sang ibu yang mengerti situasi pun mengajak Aran ke rumahnya untuk
menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Hampir satu jam sang ibu bercerita tentang
keluarga Sahron, mulai dari Sahron kecil hingga dewasa juga tentang kebaikan hatinya serta
musibah yang menimpa keluarganya tersebut. Mendengar cerita itu, Aran pun tak kuasa
menahan tangisnya ia merasa begitu bersalah terhadap Sahron dan apa yang menimpa pria
tersebut.

“Ya tuhan, apa yang udah gue lakuin. Gak gak, gue gak boleh simpati ama kehidupan
ni anak. Salah sendiri hidup susah. Peduli apa gue ama dia.” Saat sedang membatin, Aran
dikagetkan oleh panggilan seorang anak di depannya.

“OM! Ini dompetnya jatuh.” Ucap anak tersebut sambil mengulurkan dompet
kehadapan Aran lalu pergi lari meninggalkan nya.

Setelah menerima dompetnya, hati Aran kembali terenyuh melihat penampilan anak
yang mengembalikan dompetnya tadi. Penasaran, aran pun pergi mengikuti kemana arah
anak itu pergi. Di depan sana, kumpulan anak anak dengan tubuh kurus ringkih dan tak
terurus sedang bermain dan tertawa dengan riangnya.
“Gue gak inget, kapan terakhir kali gue ketawa lepas kayak gitu. Kenapa,? Apa yang
kurang dari hidup gue,?”

“Gue kaya, gue bisa dapetin semua yang gue mau dengan mudah. Gue bahagia, tapi
kenapa gue ga pernah puas dan tenang dengan hidup gue?” Lamunan aran dibuyarkan dengan
celotehan anak anak yang tadi bermain bersama.

“Om, kemasjid yuk!” Ajak anak-anak panti.

Mendengar itu, hati Aran tersentil kuat. Ia yang sedari kecil tak pernah di ajari ilmu
agama oleh oramg tuanya sehingga tak bisa melaksanakan sholat, bahkan tak hafal satu surah
pendek pun. Matanya berair, ia tak kuasa menahan tangis ditambah saat anak anak dipanti
asuhan tersebut memberinya pelukan yang belum pernah ia dapatkan dari orang tuanya.

Dirinya menyadari, begitu banyak dosa yang telah ia ukir selama hidupnya. Melihat
antusiasme anak-anak untuk sholat, ia pun ikut melaksanakan sholat berjamaah meskipun
hanya ikut-ikutan saja sebab ia memang tak bisa melaksanakan sholat. Pulang dari masjid, ia
pun berpamitan kepada anak anak panti untuk pulang dan berjanji akan datang lagi esok
harinya

Baru seminggu ia mengunjungi kampung Arab, ia merasakan ketenangan,


ketentraman, dan kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Bersama masyarakat disana, ia
mulai belajar ilmu agama secara perlahan dengan penuh bimbingan orang disekitarnya. Ia
semakin terharu karena tak ada satu orang pun disana yang menghakiminya karena tak pandai
solat dan mengaji. Sebulan sudah berlalu, hari hari ia lalui dengan kegembiraan, ia pun sudah
mulai bisa membaca ayat Al-Qur’an serta sering melaksanakan sholat. Aran juga sering
mengikuti pengajian pengajian yang diadakan di masjid dan tempat pengajian lainnya. Teman
teman tongkrongannya yang toxic pun mulai meninggalkan Aran karena Aran sudah tak gaul
lagi seperti mereka.

Aran pun mensyukuri itu karena ia tak perlu bersusah payah untuk menghindari
mereka lagi dan bisa fokus pada perjalanan hijrahnya di lingkungan baru. Orang tuanya
masih belum menyadari perubahan aran dan masih fokus pada pekerjaan yang sedang mereka
jalani hingga suatu hari, sekelompok orang berseragam Kepolisian datang kerumah mereka
dan menyatakan bahwa anak mereka, Aran adalah tersangka pembunuhan.
“GAK MUNGKIN PAK!!! Anak saya gak mungkin membunuh orang. Bapak jangan
asal nuduh dong pak!” Sangkal Ibu Aran yang masih tak percaya anaknya melakukan
pembunuhan.

Masih tak percaya, akhirnya pihak Polisi pun menunjukkan bukti bahwa satu bulan
lalu Aran adalah tersangka penabrakan dengan pasal berlapis yaitu pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan dan pasal 181 KUHP tentang menghilangkan mayat dengan maksud
menyembunyikan kematian korban. Saat Polisi masih menjelaskan kronologi kecelakaan
tersebut, Aran pun memasuki rumahnya dan bingung dengan kerumunan berseragam Polisi
tersebut. Polisi yang melihat Aran langsung membekuk Aran sebagai tersangka untuk diadili
di kantor Polisi dan menjalani masa hukumannya.

Keesokan paginya, Aran mulai menjalani sidang tentang kasus pembunuhan yang
dilakukannya. Setelah proses yang panjang dilalui, hari ini Aran akhirnya dijatuhi hukuman
15 tahun 9 bulan kurungan penjara. Itulah harga yang harus ditebus Aran atas apa yang sudah
dilakukannya. Aran sadar ia harus mempertanggung jawabkan segala kesalahnnya. Saat akan
menuju ke tempat tahanannya, Aran mengatakan pesan singkat untuk orang tuanya.

“Doakan aku dalam setiap langkahku. Ridho kalian izin terbaik saat ku mulai
berikhtiar. Ku berharap kalian pun sama, kita mendekat kepadanya mengakui semua dosa…
bersama.”

“Banyak jalan menuju surga. Segala yang terjadi di kehidupan merupakan pelajaran
dan jangan membuatnya murka. Tak ada hidup yang tak berguna juga tak berharga. Sahron…
pemuda yang sangat berharga bahkan setelah kematiannya, membuatku sadar tujuan kita
yang sesungguhnya hidup didunia. Akhirat… itulah pemberhentian tempat kita berjumpa…
bersama selamanya.”

*****

8 bulan telah berlalu.

Hari-hari Aran lalui dengan sabar dan berserah diri pada sang cipta. Aran menjalani
harinya dengan baik bersama tahanan lainnya, meski ada kala rasa bersalahnya muncul
kembali. Ia merasa menjadi manusia paling bejat sedunia karena telah membunuh Sahron.
Namun, dibalik itu dia juga bersyukur , jika bukan karena Sahron maka dia tak akan bisa
berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi seperti sekarang. Suatu pagi, saat sedang
menikmati makan siangnya, Aran dikejutkan oleh kabar dari penjaga tahanan yang
mengatakan bahwa ia akan di bebaskan.

“Pak! Masa kurungan saya masih 15 tahun lagi Pak. Bapak pasti sudah salah
membebaskan orang.”

“Sodara Aran tenang dulu. Sodara akan tahu alasan pembebasan sodara setelah
mengikuti sidang yang akan dilakukan siang ini.”

Meski dilandai rasa bingung, Aran tetap menuruti perkataan petugas tersebut dan
mengikuti sidang yang di adakan siang itu. Ia dapat melihat orang tuanya yang berlinangan
air mata di depan sana. Akhirnya sidang pun dilakukan dan sebuah fakta baru terungkap.
Ternyata tersangka pembunuhan Sahron bukanlah dirinya tetapi ulah sekelompok debt
collector yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya Aran pun menyadari sesuatu, malam itu
bemper mobilnya tidak rusak seperti sudah terlibat kecelakaan. Bahkan mobilnya pun juga
bersih dari darah, padahal saat itu kondisi Sahron berlinang darah.

Ia mengakui, malam itu sedang tak fokus dan tak menyadari bahwa sebenarnya ia
hanya melindas jenazah Sahron yang sudah terlebih dahulu terlibat kecelakaan sebelumnya.
Pelaku pembunuhan pun di jatuhi hukuman 15 tahun kurungan penjara sesuai dengan pasal
338 KUHP tentang pembunuhan berencana. Usut punya usut, mereka adalah debt collector
tempat orang tua sahron berhutang dan berniat membunuh Sahron karena khawatir, jika
sewaktu-waktu Sahron melaporkan mereka ke Polisi karena sudah mengambil rumahnya
secara paksa.

Sedangkan Aran masih harus menjalani kurungan 1 bulan penjara karena ia juga
terjerat pasal 181 KUHP tentang menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan
kematian korban dengan waktu kurungan 9 bulan penjara. Karena Aran sudah dikurung
selama 8 bulan, maka Aran hanya perlu menjalani 1 bulan sisa masa tahanan saja.

Aran pun tak henti-hentinya bersyukur atas pertolongan yang Allah berikan padanya.
Ia bersyukur dan berterima kasih karena Allah masih memberinya kesempatan kedua untuk
memperbaiki diri dan berkumpul dengan keluarga.

*****

1 bulan berlalu…
Kehidupan Aran kini berubah 180 derajat. Orang tuanya yang gila kerja kini mulai
memperhatikannya dan ikut hijrah bersamanya. Kehidupannya kini semakin tertata. Ia
akhirnya merasakan arti ketenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena keteguhan
yang dimiliki oleh Aran, ia bisa melalui semua cobaan yang datang silih berganti dengan
penuh tanggung jawab. Tak pantang menyerah dan kehilangan semangat walau ia tahu akan
menghabiskan masa mudanya di dalam penjara. Ia memandang langit dan berkata “Sahron,
Syukron ala kulli hadzihil asyya’i.”

Sahron mungkin bukan tokoh utama, tapi ia mengubah semua.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai