Anda di halaman 1dari 33

Unicorn’s Secret

By : Valerie Aurelia
I. Kehidupan Jill dan Gloria

Jill adalah gadis berusia 12 tahun yang gemar menunggang kuda. Gloria, itulah nama
kuda kesayangannya. Mereka sering bermain di hutan yang ada di dekat rumah mereka,
daerah Wilson Castle.

Jill, atau tepatnya Jillyana Wilson, bersekolah di St. John School. Mamanya bernama
Marie Wilson, sementara Papanya bernama Brin Wilson.

Gloria, adalah kuda yang berwarna keperakan dengan kaki dan mulut yang indah
berwarna emas. Rambutnya hitam kelam dan mengilat di bawah sinar matahari. Gloria sering
dikira kuda jantan yang gagah, namun mereka salah. Gloria adalah kuda betina yang cantik
dan anggun.

Suatu hari, pada hari Senin, Jill memacu Gloria ke hutan. Hutan tempat bermain mereka
rimbun akan pepohonan. Suasananya sangat teduh, sunyi, dan hanya terdengar nyanyian
kicauan burung di sana-sini. Banyak cabang-cabang pohon merambat dan merayap di tanah,
menghalangi jalan mereka. Dengan lincah Gloria melompati cabang tersebut dengan lincah.
Jill mengajak Gloria untuk berteduh sebentar.

“Huhh,” Jill menghela napas.

“Aku rasa kau sangat hebat tadi, Glo. Melintasi pepohonan dan cabang-cabangnya
dengan lompatan yang tinggi. Nyaris saja kaubuat aku serangan jantung jika saja tanganku
tak kuat memegangmu,” keluhnya diiring dengan tawa kecil. Gloria meringkik dengan suara
yang melengking tinggi dan khas, seolah-olah sedang mengejek dan menertawakan Jill.

“Oh sudahlah!” tawa Jill.

“Kau tak usah terlalu berlebihan begitu! Nanti perutmu akan sakit lagi!” tawa Jill.
Kemudian suasana hening sejenak. Mereka ingat, baru seminggu yang lalu Gloria menderita
kolik karena meminum cairan aneh berwarna keperakan dan berlendir di hutan. Saat itu, Jill
sangat ketakutan sampai tidak bisa tidur. Namun akhirnya Gloria sudah sembuh dan bisa aktif
lagi.

Gigi Gloria menggeleretak. Tubuhnya menggetar. Wajahnya pucat. Ia mendekat ke Jill,


sampai Jill memberinya pelukan hangat untuk kuda malang yang ketakutan itu.
“Ayolah! Aku akan terus menjagamu! Mungkin saja kau meminum suatu getah tumbuhan
yang beracun! Atau apalah!” hiburnya. Jill segera naik ke punggung Gloria lagi, lalu
memacunya untuk kembali berjalan-jalan di hutan.



Keesokan harinya, Jill langsung terlonjak bangun ketika bekernya berbunyi. Ia langsung
membereskan pakaiannya dengan gesit dan bergegas mandi. Terdengar teriakan Mamanya
yang melengking tinggi.

“Jill! Kau pasang jam berapa jam bekermu?” teriaknya. Jill melihat jam bekernya untuk
sesaat, kemudian berlari ke kamar mandi dengan cepat sambil menjawab pertanyaan
Mamanya.

“Enam lewat seperempat!” teriaknya lagi. Suasana hening sejenak, kemudian teriakan
Mamanya terdengar lagi, malah lebih kencang.

“Kau memasang bekermu sambil tidurkah?” omelnya. Jill mengangkat pundaknya,


menunjukkan ketidak tahuannya. Ia memang terlalu lelah sehabis berkuda bersama Gloria.

“Betapa enaknya menjadi Gloria, sampai saat ini masih boleh tidur dan tidak harus pergi
ke sekolah,” keluhnya dalam hati. Sesaat kemudian, Jill sudah lengkap dengan seragam
sekolahnya, kuning biru, dan sudah siap menyantap makanannya.

“Haruskah kubertitahu sekali lagi, Jill?” tanya Mamanya dengan lembut, namun semakin
lama semakin keras.

“Kau hanya boleh menunggang K-U-D-A pada hari MINGGU!!!!!” teriaknya dengan
berang. Tapi Jill tak peduli. Dengan tenang ia mengusap mulutnya dengan sarung tangan, dan
sarapannya telah bersih disapu olehnya. Lalu dengan santai berjalan menuju keluar pintu.

“Sampai jumpa Mama! Papa!” pamitnya, lalu pintu perlahan di tutup. Jill berlari dengan
cepat menuju tempat pemberhentian bis. Di sana, bis sudah menetap dengan waktu yang
tidak sebentar. Jill segera memasuki bis dengan cepat.

“Jillyana!” teriak Henie, temannya yang berambut ikal itu.


“Hampir saja kau buat kami semua terlamabt! Lihat sudah pukul berapa ini! Astaganaga!
Tujuh kurang lima belas? Kau bangun jam berapa? Kami menunggu sepuluh menit di sini!”
omel Henie panjang lebar.

“Ya, ya, ya, aku tahu Henie Jane. Asalkan kau bisa sekali saja tak mengomeliku aku
jamin dua ribu persen tak akan terlambat lagi!” jawab Jill ketus.

“Ayolah, Jill! Kau seorang gadis! Menurutku, lebih baik kau kami tinggal dari pada harus
menungguimu. Lihat rambutmu! Kau tidak menyisir?” tanya Catherine. Jill menggelengkan
kepalanya. Lalu, terdengar teriakan yang khas dan melengking dari Wendy, yang selalu
datang ke sekolah dengan rambut yang mengilat dan rapi seperti sehabis ke salon.

“Bisakah kau diam, Wendy?” tanya Ron, yang satu-satunya lelaki yang menumpang di
bis itu.

“Kau selalu teriak setiap pagi! Menurutku menyisir hanya persoalan kecil! Paling tidak
sampai di sekolah rambutnya bisa langsung dirapikan!” katanya disertai anggukan beberapa
anak.

“Ihh! Kau tak lihat bagaimana rambutnya? Kusut dan tergerai begitu saja?” tanya Wendy
keras kepala.

“Aku sudah bawa karet rambut kok! Kau tak perlu terlalu mengguruiku, Wendy cantik!”
sambar Jill.

“Ah! Tidak tahu sopan santun! Aku hanya hendak memberi tahumu karena aku tahu
bahwa kau itu....”

“Tidak tahu mode!” jawab anak-anak sebis serempak memotong pembicaraan Wendy
yang cemberut.

“Tidak! Aku tidak mau membicarakan itu! Aku hanya ingin bilang tidak bisa bergaya!”
bual Wendy untuk membela dirinya.

“Sudahlah anak-anak! Bis kita sudah sampai!” potong supir bus. Bus segera diparkir, dan
anak-anak turun dari bis. Mereka segera berhamburan masuk ke kelas enam. Ketika sampai,
ternyata bel sudah berbunyi. Bu White, wali kelasnya sudah sampai di kelas. Ia bingung
karena baru Robert, Hans, James, dan Lucy yang baru tiba.
“Kemana semua anak, Lucy?” tanya Bu White kepada Lucy yang menjadi ketua kelas.
Lucy mengangkat bahu, lalu menjawab dengan singkat,

“Mungkin bis mereka mogok, Bu!” jawabnya. Tepat saat itu, segerombol anak yang
terlambat memasuki kelas. Mereka berdesakan di pintu masuk. Jelas saja. Dua puluh delapan
anak terlambat! Sungguh keterlaluan! Pikir Bu White.

“Selamat pagi, Bu!” terdengar suara yang tidak serempak dari anak-anak yang terlambat
itu. Suasana kelas sangat ramai, sehingga Pak Johnson yang mengajar di kelas empat
menjenguk ke dalam. Suasana kelas langsung henign, karena mereka semua takut pada Pak
John yang tegas. Dilihatnya Bu White yang terduduk lemas.

“Permisi, bolehkah saya tahu apa yang barusan saja terjadi di sini?” tanyanya dengan
sopan.

“Oh, tentu saja, Pak John!” sahut Bu white, lalu kembali duduk dengan tegak setelah
melihat ada guru yang sedang menjenguk kelasnya.

“Siapa yang tidak memperbolehkan anda! Ohya, anda tanya apa tadi?”

“Apa yang terjadi?” tanya Pak John kesal.

“Oh begini, bis kelas enam tadi terlambat datang, maafkan kami bila mengganggu kelas
anda,” jawab Bu White. Sejenak suasana hening. Lalu kembali Bu White membuat kelas
berisik.

“Tunggu dulu, apakah kami mengganggumu?” sindirnya dengan memasang wajah tak
bersalah. Bu White memang sebenarnya benci kepada Pak John yang selalu bersikap dingin
padanya. Seisi kelas menggelegar tertawa. Pak John menggeram marah, mukanya memerah,
tangannya mengepalkan tinju. Biasanya ini pertanda bahwa Pak John akan meledak. Lucy
segera mendesis memberi isyarat agar teman-temannya diam. Kelas lalu hening kembali, tapi
Bu White tidak mau diam. Ia terus menggoda Pak John,

“Apakah bapak habis berenang? Telinga anda tersumbat? Ataukah anda sakit marah
sehingga telinga anda harus disumbat dengan kapas, supaya darah anda tidak memancur
karena darah tinggi akibat marah anda? Oh kasihan sekali! Jelas anda tidak mendengar saya
berbicara!” goda Bu White dengan nada penuh keisengan. Anak-anak terkikik menahan tawa.
Bu White semakin lama semakin senang karena aksinya ini.
“Maukah anda saya balut kepalanya? Kepala anda sudah memerah! Lebih baik di selotip
supaya darahnya tidak keluar seperti air mancur! Mana ya, selotip saya? Nah, ini dia!”

“Sudahlah, terima kasih!” bentak Pak John, lalu membanting pintu dengan keras. Anak-
anak lalu tertawa menggelegar kembali disertai senyum nakal Bu White yang mereka gemari.

“Sudah! Sudah! Sekarang buka buku Matematika halaman 105! Mungkin kita akan
mengulang kembali volume yang sudah kita pelajari tahun lalu!” kata Bu White kembal
serius, lalu mereka kembali melanjutkan pelajaran sampai pulang sekolah.



Jill segera menaiki tangga rumahnya dengan cepat. Ia melewati papanya yang sedang
minum kopi sambil membaca Koran di ruang TV.

“Hei Jill! Bagaimana sekolahmu?” tanya papanya.

“Baik, aku mendapat nilai 85 pada mengarang, dan nilai 90 pada ulangan matematika,”
sahut Jill yang berhenti sejenak di tangga.

“Benarkah?” tanya papanya lagi. Jill mengangguk. Papanya berpikir sejenak.

“Baiklah Jill, cepatlah belajar dan membuat PR, aku akan mengizinkan kau
menunggangi Gloria, TETAPI, kau harus pertahankan nilaimu!” kata papa yang hampir saja
membuat Jill terjatuh dari tangga karena lompatannya. Mama yang sedang berada di dapur
mengernyitkan dahinya.

“Tapi Jill sedang kularang bermain dengan Gloria!” bantah Mama, tidak setuju. Jill
berhenti menaiki tangga. Mematung dan berharap-harap. Papanya jadi ingat kejadian tadi
pagi, saat mamanya berteriak mengomeli Jill. Papa berpikir sejenak.

“Hmm.... Jill, kau harus berjanji padaku untuk selalu taat pada Mamamu!” kata Papa
akhirnya. Mama mendesah, lalu mengangguk setuju. Jill dengan senang berlari menaiki
tangga menuju kamarnya di lantai dua.

“Kenapa kau terlalu memanjakannya? Aku tak begitu menjamin janjinya akan di tepati?”
tanya Mama setelah Jill naik ke kamarnya.

“Maksudmu dia gombal ?” tanya Papa meyakinkan lagi.


“Kurang lebih begitu,” jawab Mama dengan tenang.

“Marie, aku yakin saja dengan Jill. Toh dia mendapat hasil yang bagus di sekolah!
Berilah dia waktu istirahat! Aku percaya padanya! Kau juga, kan?” sahut Papa kemudian.
Mama tidak menjawab, lalu suaranya yang lemah terdengar.

“Ya, melebihi dua kali lipat darimu,”

Sementara Jill sedang belajar, Gloria menunggunya di kandang.

“Hmrghh...” hempasnya. Gloria kemudian berbaring di jerami yang empuk, sambil


menyantap makanan kesukaannya, rumput tentu saja. Tadi pagi Jill sudah memetikannya
diam-diam sebelum sekolah untuknya.

“Aku suka Jill,” gumamnya dalam hati.

“Ia baik, namun yang kurang kusukai darinya, hanya satu. Saat ia menunggangku, ia
memakaikanku sadel warna merah muda! Merah muda! Menjijikan! Aku suka warna biru
seperti kuda lain!” katanya dalam bahasa kuda. Gerald, kuda Papa, mendengar keluhan
Gloria.

“Hei, bung! Sebaiknya kau turuti saja Jill itu!” katanya singkat. Gloria menatap Gerald
sejenak. Ia sangat menyukai Gerald yang tampan. Matanya yang hitam menatap mata Gloria
yang biru jernih. Tubuhnya hitam mengilat di bawah pancaran matahari, rambutnya halus
berwarna coklat. Gagah sekali, pikir Gloria.

“Eh,” Gloria salah tingkah. Ia baru sadar mata Gerald menuju padanya.

“Apakah ada yang salah padaku, Madam?” tanyanya. Gloria langsung sigap kembali.

“Tidak, hanya saja kau selalu memanggilku bermacam-macam. Bung, Nona, Madam,
Mam-zelle, bahkan aku tak tahu arti dari Mam-zelle!” jawab Gloria ketus.

“Nona dalam bahasa Prancis,” lanjut Gerald.

“Yah, setidaknya pengetahuanku bertambah!” potong Gloria.

Tepat pada saat itu, Jill masuk dengan pakaian berkudanya.

“Gloria! Aku akan mengajakmu ke hutan! Ayo!” serunya. Jill lalu memasangkan sadel
warna merah muda di punggung Gloria. Gloria meringkik jijik.
“Lepaskan sadel itu! Aku mau warna biru! BIRU!!! Biru, dasar kau tuli!” teriaknya.

“Oh sudahlah Gloria, Jill tidak mengerti bahasa kita! Tutup saja mulutmu! Kau akan
membuat majikanmu itu pingsan karena teriakanmu yang setinggi langit!” balas Gerald
dengan ringkikan yang tak kalah dengan ringkikan Gloria. Mereka berdua bertengkar. Jill
menutup telinanya, lalu ikut berteriak,

“Apa yang kalian bicarakan!!!!!!!”

Tepat saat itu, pintu diketuk dari luar, dan masuklah Papa, yang menggeram kesal.

“Tak mengertikah kalian semua kuda-kuda brengsek! Aku sedang istirahat! Dan
istirahatku tidak memerlukan suara teriakan kuda yang memecahkan TELINGA!!!!” teriak
Papa yang membuat Gerarld, Gloria, dan Jill tersentak.

Gloria dan Gerald merunduk, namun Jill malah membela mereka.

“Sudahlah, Pa. Barangkali mereka hanya lapar. Aku akan mengurus mereka dan menjaga
agar tidak mengganggu istirahatmu lagi,” katanya dengan gayanya yang tenang dan kalem.
Papa merasa lebih tenang sekarang.
II. Peristiwa di Hutan

“Baiklah, Jill,” jawabnya singkat, lalu memandang kembali kepada kuda-kuda yang
ketakutan dengan tajam.

“Sekali lagi aku mendengar ringkikan kudamu yang khas dan melengking tinggi, Gloria,
mungkin aku sudah mengikatmu di hutan agar tidak bisa kembali lagi!” ancam Papa dengan
matanya yang menyala. Gloria ingin menjerit sekuatnya, namun ia takut Papa akan benar-
benar melakukan apa yang dikatakannya. Papa segera keluar dari kandang kuda, dan kembali
ke dalam istirahatnya. Jill mendekati Gloria.

“Ayo berangkat!” katanya. Gloria masih ngambek, ia menggigit-gigit sadelnya. Jill tiba-
tiba tersadar.

“Kau tidak suka pada sadelmu?” tanyanya. Gloria mengangguk dengan kesal. Mengapa
Jill baru sadar sekarang? Ia jadi harus dimarahi oleh Papanya yang super galak itu.

“Kau mau yang mana? Coklat? Kuning? Biru?” tanya Jill lagi. Gloria dengan cepat
menempelkan wajahnya ke sadel yang berwarna biru.

“Biru !!!” jawabnya puas. Ia senang kini Gloria sudah kembali tenang, tidak menjerit-jerit
seperti orang gila lagi.

“Ayolah, Glo! Mari kita berjalan-jalan sebentar ke hutan!” ajak Jill setelah memasangkan
sadel berwarna biru pada Gloria. Gloria dengan anggun mengikuti di belakang Jill.

“Jangan nakal di jalan, Gloria!” teriak Gerald sehingga muka Gloria seketika menjadi
masam. Gloria tidak memasang mukanya yang masam itu dengan lama, karena Jill
memperhatikannya dengan seksama.

“Hei, Glo! Aku baru kali ini melihat wajah seekor kuda cemberut seperti itu! Andai aku
bisa memotretnya! Kau tampak sangat cantik dengannya!” katanya dengan heran. Jill benar-
benar tidak bermaksud menyindir, karena memang begitu kejadiannya! Gerald tertawa
terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Jill jadi semakin bingung. Apakah Gerald
menggodanya? Kok, kuda bisa begitu berperasaan sekali ya?

“Cepatlah Glo! Kalau kau tidak cepat-cepat pergi, bisa gila aku meladeni kalian berdua!”
geramnya, lalu menyeret Gloria keluar.
Jill terus menuntun Gloria sampai ke hutan. Hari itu sedang cerah. Angin sepoi-sepoi
berhembus seakan menarik mereka untuk pergi menjelajah hutan. Langit berwarna biru
jernih, dan awan-awan bergumpal seperti kapas, semuanya berwarna putih, tak ada yang
hitam mendung. Danau-danau di hutan berdesir seperti di pantai, menyipratkan air yang
sesegar hawa sejuknya. Pepohonan meneduhkan mereka. Terasa hijau dan asri. Tak ada satu
bangunanpun yang merusak pemandangan.

“Astaga, Gloria Wilson! Hari ini sungguhlah hari yang indah, ya!” teriaknya sekencang
mungkin. Gloria mendengus kesal.

“Sejak kapan kau menamaiku dengan nama keluargamu yang menjengkelkan itu?
Namaku tak berhak kau ubah seenaknya!” ringkiknya. Jill jelas-jelas tak mengerti sepatah
katapun dari ucapannya itu. Tapi jelas-jelas Jill tahu kalau itu menunjukkan sikapnya yang
tidak senang.

“Kenapa kau marah, Gloria?” tanyanya. Gloria kembali mengomel, dan mengoceh, dan
terus berceloteh sehingga sepanjang kereta api (Begitu panjangnya sampai penulis buku ini
tak kuat lagi untuk mengetiknya satu-persatu). Jill dengan bosan menunggu, namun
celotehannya tak berkurang juga. Akhirnya Jill angkat tangan, menebak apa yang dipikirkan
Gloria.

“Kau lapar?” tanyanya. Gloria menggeleng.

“Kau mau apa? Permen?” tanyanya lagi. Gloria menggeleng lebih keras dan
menghentakkan kaki, seakan mengatakan : “Aku tidak mau apapun”.

“Baiklah,” tampak Jill berpikir sebentar, lalu tersenyum dengan penuh kemenangan.

“Apakah tebakanku benar, Gloria Wilson?” tanya Jill dengan nada mempermainkan.
Gloria kembali mendengus. Kini Jill tahu, Gloria tak mau dipanggil dengan menggunakan
nama keluarganya. Jill tertawa terbahak-bahak.

“Oh, Gloria! Bisakah kau sedikit menurunkan sikapmu yang keras kepala itu? Tapi aku
tak keberatan. Bagiku kau tetaplah teman terbaikku. Baiklah, siapa yang mau bermain ‘saling
menyiprat’?!!” seru Jil dengan semangat. Di saat inilah, Gloria sangat menyayangi Jill. Jill
suka menyiprati Gloria dengan air, sehingga Gloria girangnya bukan main. Ia menamai
permainannya ini menjadi ‘saling menyiprat’. Gloria suka bermain ‘saling menyiprat’ dengan
Jill.
“Andai saja Jill mau mengubah nama permainan ini menjadi lebih bagus,” gumamnya. Ia
segera berlari menyusul Jill ke danau terdekat. Jill ternyata sudah membawa pakaian
renangnya. Dengan cekatan, ia memakai bajunya di balik semak-semak. Setelah itu, ia
melepaskan tas yang dikaitkannya di punggung Gloria agar tidak basah saat bermain. Gloria
langsung berlari-lari di sekitar danau seperti anjing liar yang baru dilepas dari kandang. Jill
bersiul keras, pertanda bahwa ia siap bermain.

Jill bersembunyi di dalam air. Gloria berjaga-jaga di pinggir danau. Tiba-tiba, Jill muncul
mengagetkan Gloria dan menyipratkan air padanya. Gloria tertawa terkikik, sehingga hampir
terguling di tanah. Jill juga tertawa.

“Oh, Jill!” katanya. “Kau selalu membuatku terkikik dalam permainan ini! Aku sayang
padamu, Jill!” lanjutnya lagi.

Jill lalu kembali bersembunyi, dan permainan itu tetap mereka mainkan hingga hari
menjelang sore.

“Kurasa sudah waktunya kita pulang, Glo!” katanya. Jill segera naik ke dasar danau dan
bersembunyi di balik semak-semak kembali untuk bertukar baju kembali.

Tiba-tiba, seperti ada yang menarik bajunya, bajunya hilang! Jill kaget setengah mati. Ia
keluar dari semak-semak dengan pakaian renang masih menempel di badannya.

“Glo! Apa yang kau lakukan?” bentaknya. Tapi Gloria tepat berdiri di sebelahnya, dengan
wajah yang kebingungan. Tiba-tiba Jill merasa seperti hawa dingin melewati bagian
tengkuknya, mendirikan bulu kuduknya.

“Tetap di belakangku, Glo!” kata Jill ketakutan. Jill memasuki satu-persatu semak-semak,
berharap bisa menemukan bajunya.

“Aha! Ini dia! Gloria! Aku menemukannya!” seru Jill senang. Tapi ia kembai takut,
ketika melihat Gloria tidak ada di tempatnya. Jill memutuskan untuk mencari Gloria, tentu
saja setelah selesai memakai baju. Jill dengan cekatan mengganti bajunya, dan bajunya
digigitnya erat-erat, takut kalau ada yang menariknya lagi.

Jill keluar dari semak-semak dengan pakaian yang sudah rapi kembali. Ia lalu berlari
memasuki hutan kembali, mencari Gloria dengan takut.
Jill tidak takut apapun. Karena dia anak yang tomboy, ia hanya takut pada orangtuanya.
Wajar saja takut pada orangtuanya, tak bisa dibayangkan seorang anak begitu beraninya
dengan orangtuanya sehingga dibentak habis-habisan. Itu namanya anak yang kurang ajar
sekali. Tetapi kali ini berbeda, Jill benar-benar takut. Ia benar-benar cemas apa yang akan
terjadi pada Gloria.

“Gloria!!!! Ke mana kau? Jangan bermain petak umpet lagi ya! Hari sudah menjelang
malam!“ teriak Jill. Tidak ada jawaban. Jill berteriak sekali lagi, dan terdengar ringkikan khas
dari Gloria.

“Gloria!” teriaknya. Ia berlari menyusuri pepohonan menuju sumber suara Gloria berasal.
Langkahnya terhenti ketika menemukan Gloria bersama sesosok manusia misterius. Ia
bersembunyi di balik semak-semak.

Sosok itu seakan menyuruh Gloria meminum suatu cairan. Ia seperti meyakinkan Gloria
itu adalah minuman terenak yang akan dirasakannya. Jill memperhatikan cairan itu.
Sepertinya aku pernah melihat cairan itu, pikirnya. Dilihatnya Gloria meminum cairan itu.
Tiba-tiba gaya minum Gloria mengingatkannya pada sesuatu.

“Itu cairan yang membuat Gloria sakit kolik beberapa mingu yang lalu!” pikir Jill. Gloria
hendak menyeruput cairan itu, namun Jill segera menghentikannya.

“Jangan minum, Gloria!” teriaknya. Sosok misterius itu terkejut, lalu menghilang di balik
semak-semak. Gloria memamng telah diketemukan kembali dengan Jill, namun terlambat. Ia
sudah meminum cairan aneh tersebut sebelum Jill sempat menghentikannya. Mereka segera
menuju tepi danau kembali.

“Oh, Gloria!” tangis Jill tersedu-sedu.

“Ini semua salahku! Mengapa aku begitu bodoh sampai membiarkanmu meminum cairan
itu begitu saja?” isaknya. Gloria menjadi bingung.

“Salahmu?” tanyanya. Ajaibnya, Jill bisa mengerti perkataan Gloria! Ia tergagap lalu
melangkah mundur.

“Apa yang terjadi denganmu, Gloria! Kau bisa bicara!” kata Jill, ketakutan.
“Apa yang terjadi denganku? Mengapa kau begitu gila! Aku sudah bisa bicara sejak
pertama kali kau membeliku! Aku kira kau tuli sudah tak mengerti ucapanku!” celoteh
Gloria. Sejak ini, Jill baru tahu kalau Gloria seekor kuda yang sangat sangat sangat bawel.

Jill tiba-tiba terdiam. Perlahan-lahan, muncul bintang di dahi Gloria. Lalu dari tanda
bintang tersebut, tumbuh sedikit-demi sedikit tanduk yang bergaris-garis. Jill ternganga bisu.

“Apakah kau cukup pandai berakting seperti keledai? Mengapa kau bengong seperti
orang tolol?” seru Gloria dengan tajam. Ia sama sekali tak menyadari perubahan pada dirinya.
Jill mulai kesal pada sindiran-sindiran Gloria. Ia lalu mengajak Gloria ke tepi danau, lalu
menyuruhnya berkaca. Bayangannya di air menunjukkan jelas kalau dirinya bertanduk. Ia
menjerit sekuat tenaga dengan ringkikannya yang khas.

“Dahiku yang cantik! Ada tanduknya!” teriaknya. Ia terus mengeluh dan menjerit. Jill
hanya bisa duduk termangu di sebuah batu yang besar sambil menghela napas mendengarkan
Gloria yang terus berceloteh.



Sementara itu, hari sudah malam. Papa dan Gerald sudah mulai cemas.

“Apakah aku berkelahi dengannya cukup keras tadi? Sehingga ia ngambek dan tak mau
kembali?” gumam Gerald. Papa juga terus menggerutu.

“Jill ke mana saja, ya? Seharusnya tadi lebih baik dia kularang bermain. Semoga tidak
terjadi apa-apa! Tapi aku tak bisa diam di sini! Aku harus menyusulnya!” pikir Papa. Lalu ia
berlari menuju kandang kuda. Gerald yang melihatnya menjadi kaget karena Papa berlari
kencang sekali.

“Gerald! Ayo kita susul Jill dan Gloria!” seru Papa. Gerald menahan napas sejenak, lalu
menghembuskan napas lega. Ia segera dinaiki Papa, dan langsung berlari menuju hutan di
bawah sinar rembulan.

Jill yang masih duduk termangu, mulai berpikir. Bagaimana ia bisa membawa pulang
Gloria? Apa kata Papa nanti, pikirnya. Jill akhirnya berdiri dan memotong Gloria yang pada
saat itu mesih terus berbicara seperti berpidato.
“Gloria, sebaiknya kau tinggal di hutan ini untuk sementara. Aku akan mencari cara agar
kau bisa ikut denganku,” kata Jill. Kini Gloria yang termangu mendengar perkataan Jill, lalu
dengan tergagap ia berkata,

“Bagaimana bisa? Teganya kau meninggalkanku!” tangisnya.

“Aku tahu, namun kau tak akan bisa berkeliaran dengan tanduk! Bisa habis kau
ditertawakan!” bantah Jill. Gloria lalu berpikir sejenak.

“Kau berjanji akan selalu mengunjungiku setiap hari?” tanya Gloria memelas. Jill
mengangguk.

“Janji pelaut!” angguk Jill, menyeringai lebar. Gloria lalu mengangguk.

“Baiklah...” katanya pelan. Tepat setelah itu, terdengar derap kaki kuda yang mereka
kenal, derap kaki Gerald, menuju tempat mereka. Jill segera mendorong Gloria masuk ke
dalam hutan kembali.

“Aku akan membawakanmu makanan besok!” bisik Jill. Gloria mengangguk ragu, lalu
masuk ke dalam hutan. Jill sudah menduga Papa akan menjemputnya, dan ia benar!
Seringainya yang lebar menghiasi wajahnya saat Papa melihatnya.

“Wah wah wah, lihatlah nona kecil kita! Buat orang cemas!” kata Papa dengan kesal. Jill
lalu naik di punggung Gerald. Ini membuat Papa dan Gerald bingung.

“Mana Gloria?” tanya Papa. Jill seperti biasa bersikap tenang.

“Ia mau menginap,” katanya.

“Gilakah kau, Jill?” tanya Papa kebingungan.

“Tidak, aku hanya member tahu apa yang harus kukatakan,” jawab Jill dengan tenang,
membingungkan Papa dan Gerald. Mereka lalu segera pulang ke rumah karena rumah, Mama
pasti sedang menunggu. Gloria yang mengintip dari persembunyiannya, menggumam pelan,

“Jill, kini aku mengandalkanmu!” serunya dengan lemah, lalu berbaring untuk tidur.



Keesokan harinya, Jill kembali beraktivitas seperti biasa. Hanya saja, kali ini Jill bangun
lebih pagi, jauh lebih pagi. Bahkan yang pertama kali bangun di rumahnya. Ia tidak bisa
tidur. Ia terus memikirkan Gloria, sehingga ia selalu terbangun setiap kali mencoba tertidur.
Mama terheran dan bangga terhadap Jill.

“Pertahankan, Jill! Kau hebat hari ini!” kata Mama riang. Jill menghela napas. Seperti
biasa, ia bersiap-siap dengan cepat. Jill sudah menunggu lima belas menit di depan rumahnya
sampai bus sekolah datang. Mereka terkejut melihat Jill yang sudah siap dari tadi, apalagi
supirnya. Hampir saja ia terjatuh dari kursi mengemudi ketika melihat Jill.

“Wow, Jill! Kau datang lebih pagi dari kami!” serunya.

“Begitulah, kurasa..” balas Jill sambil menyeringai lebar. Ia terkikik melihat aksi supir
bus.


III. Negeri Clautern

Jill pulang bersama dengan Henie. Ia telah menceritakan semua kisahnya kemarin kepada
Henie dan memintanya untuk membantu Gloria. Henie anak yang baik dan setia kawan, ia
selalu bersedia menolong teman-temannya yang kesulitan. Henie pun mengangguk.

“Baiklah, aku akan membantu!” katanya. Jill senang sekali. Mereka langsung menuju ke
rumah Jill, tentunya dengan izin dari orang tua Henie terlebih dahulu.

“Selamat datang di rumahku!” sambut Jill dengan hangat. Henie terkagum-kagum dengan
rumah Jill yang pertama. Ya, ini adalah kunjungan pertama Henie di rumah Jill. Jill biasanya
tidak mau menerima tamu, namun karena ini berhubungan dengan Gloria, maka Jill tak
segan-segan menerima Henie.

“Ayo kita belajar dulu! Papaku pasti bawel jika kita tidak belajar!” Jill memandang
Henie. Henie terkikik pelan, lalu berjalan menuju kamar Jill. Karena belajar bersama, maka
perkerjaan sekolah lebih cepat selesai. Jill dan Henie turun ke ruang TV untuk menemui
Papanya yang sedang membaca Koran. Jill menunjukkan hasil belajarnya. Papa tersenyum
lebar, jauh lebih lebar dari senyumnya yang kemarin.

“Bagus! Kau boleh main sekarang, dan oh siapa kau nona kecil?” tanya Papa pada Henie.

“Henie,” Henie berkata halus.

“Senang bertemu denganmu, Henie!” seru Papa dengan gembira, akhirnya Jill punya
sahabat juga. Jill dan Henie saling berpandangan, lalu mereka menuju ke kandang kuda.

Mereka segera pergi ke kandang kuda. Gerald tampak menanti mereka, seakan sedang
berkata : “Di mana Gloria?” Jill tampak berpikir.

“Kami mau menyelamatkannya, Gerald! Maukah kau membantu?” tanya Jill dengan
lembut. Gerald mengangguk dengan tegas. Henie mencoba membelainya, namun Jill
memotongnya. Ia melemparkan pakaian berkuda untuk Henie.

“Pakai ini! Kau tidak akan bisa berkuda dengan rok sekolah!” seru Jill, yang kemudian
memakai pakaian berkudanya. Henie juga bergegas memakai baju berkuda yang dipinjamkan
Jill. Henie melirik ke Gerald, takut-takut kalau kuda itu akan mengintip, dan ia benar. Muka
Gerald memerah memperhatikannya. Henie jadi geram dibuatnya.
“Gerald, bisakah kau sembunyi?” belai Henie. Gerald salah tingkah. Ia menyembunyikan
matanya di balik jerami, sekaligus menutupi mukanya. Henie mengambil kesempaian ini
untuk mengganti bajunya. Jill sudah selesai lebih cepat dari padanya.

“Gerald, mampukah kau mengangkut kami berdua?” tanyanya. Gerald tampak


menimbang-nimbang, lalu mengangguk. Jill segera memasang dua sadel di punggung Gerald.
Beruntung Gerald laki-laki, pikir Jill. Jill naik di sadel pertama Gerald.

“Naik, Henie!” teriaknya. Jill mengira Henie takut pada kuda, namun ia salah!

“Bolehkah aku duduk di depan?” katanya memelas. Jill terkejut, setelah itu langsung
turun dari sadel. Ia berpindah ke sadel kedua. Henie naik dengan lincah dan cekatan. Gerald
mulai keluar dari kandang. Henie tiba-tiba memacu Gerald untuk mengebut.

“Whoaa!!!” jerit Jill. Henie malah makin cepat memacu Gerald.

“Hati-hati, Henie! Aku rasa kau lupa kau sedang memboncengku!” teriak Jill. Henie
mulai melambat. Mereka terus berjalan sampai ke hutan. Gerald menuju danau tempat Gloria
bersembunyi. Gloria melongokkan kepala dari semak-semak. Henie dan Gerald kaget,
sementara Jill berlarian turun dari kuda.

“Gloria! Kau baik-baik saja kan?” serunya. Gloria berlari ke Jill.

“Sangat baik!” katanya. Kini mulut Henie dan Gerald ternganga, dan matanya terbelalak.

“Di bisa bicara! Ada tanduknya!” jerit Henie, kali ini lebih keras dari pada jeritan Wendy.
Gerald juga meringkik sama tingginya dengan Henie. Jill mengharuskan untuk menutup
telinganya.

“Guys, diam deh!” teriak Gloria.

“Henie, lupakah kau terhadap ceritaku tadi pagi?” tanya Jill kesal.

“Gerald, lupakah kau bahwa kau laki-laki?” ujar Gloria mengikuti Jill. Tiba-tiba, mereka
terdiam. Sebuah cahaya terang, sangat terang, datang dari sebuah pohon menyoroti mereka.
Henie berteriak dan segera mengambil ancang-ancang untuk berlari, Gerald dan Gloria
berpegangan.

“Henie! Pegang aku!” Jill memeluk Gloria dan Gerald, lalu Henie memeluknya. Mereka
berjongkok dan menutup mata mereka karena cahayanya sangat menyilaukan. Angin besar
datang, melempar mereka. Jill dan kawan-kawan terpental jauh, dan melayang di udara,
perlahan-lahan mulai jatuh.

“Henie!!!!” teriak Jill. Henie tak terlihat lagi oleh Jill, namun Jill dapat mendengar samar-
samar suara teriakan Henie.

“Jill!!!!! Urgh!!!!” teriaknya. Suaranya terputus, terdengar suara gubrakan yang keras.
Nampaknya Henie sudah jatuh, namun oh! Kini Jill juga mendekati tanah! Bruuk! Jill tak
sadarkan diri.

Keika Jill membuka matanya, ia berada di sebuah tempat tidur dalam sebuah ruangan. Jill
sebenarnya bingung, namun ia cepat-cepat bangkit dan turun dari tempat tidur. Namun....

“Auuu!!!!!!” teriak Jill dengan nyaring memekakkan telinga. Tidak biasanya Jill teriak
begitu keras, tapi kakinya perih sekali. Ketika menyentuhkan kakinya ke lantai, rasanya
benar-benar lengkap : ngilu, sakit, perih. Sepertinya kakinya terantuk dan terkilir cukup
parah. Jill kembali rebahan di tempat tidur. Ia baru menyadari, tempat tidurnya seperti tempat
tidur di istana Inggris. Lampu gantungnya mewah berhias kaca-kaca berbentuk angsa,
pintunya ganda dengan cat emas dan merah. Ada balkon dengan gorden merah mengilat.
Terdapat juga lemari yang pintunya terpentang lebar, sehingga Jill bisa melihat isinya.
Isinya? Wow! Gaun-gaun indah berhiaskan permata, dan juga topi-topi indah yang biasanya
dipakai oleh seorang putri.

Seorang gadis cantik memasuki kamar. Rambutnya ikal tergurai kebawah, dihias dengan
mawar di rambutnya. Pakaiannya merah gelap, tentu saja gaun. Ia tampak terlihat kaget
melihat Jill, lalu tersenyum ramah.

“Wah, kau sudah bangun ya?” tanyanya. Aku diam saja. Dia lalu melanjutkan
omongannya.

“Hi, aku lupa memberitahu namaku! Perkenalkan! Namaku Giselle!” seru gadis yang
ternyata bernama Giselle itu. Jill menjabat tangannya, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

“Mana Henie, Gloria, dan Gerald?” tanya Jill dengan cepat. Giselle menjadi bingung.

“Eh, kalau yang kau maksud gadis dengan rambut coklat panjang diikat pita, mungkin itu
temanmu!” Jill bangun dari tempat tidur. Gadis berambut coklat panjang yang sering diikat
pita itukan... Henie! Jill langsung turun dari tempat tidurnya, namun ia merintih kesakitan.
Giselle dengan panik menopangnya.

“Di.. Dia aman denganku. Dia sedang istirahat di tempat tidur. Dia akan semakin baik,
Oh ya, siapa namamu?” Giselle mengalihkan pembicaraan. Jill pucat pasi mukanya.

“Jill, Jill Wilson,” sahutnya.

“Bolehkah ku tahu? Di mana aku?” tanya Jill lemah.

“Kau tak tahu? Ini di negeri Clautern! Dan, Ratu Liana ingin bertemu denganmu!
Sebelumnya, mari kupilihkan baju untukmu!” ajaknya. Jill dibantu berdiri oleh Giselle,
menuju lemari. Jill memilih warna hijau kesukaannya. Gaun yang dipilihnya berenda-renda
dan indah. Gaunnya juga indah dihiasi oleh mutiara. Jill dibantu memakainya oleh Giselle.
Hasilnya?

“Kau tampak cantik sekali, Jill!” serunya dengan girang. Jill menatap dirinya di cermin.
Memang, cantik sekali. Rambutnya dikeriting dan diikat dua dengan pita hijau oleh Giselle.

“Oya, berapa jam aku tak sadarkan diri?” tanya Jill teringat sesuatu.

“Pingsan? Kau koma selama satu hari! Kau kami temukan terluka cukup parah, jadi kau
kami istirahatkan,” jawab Giselle, tertawa.

“Koma? Tapi perasaanku aku hanya pingsan beberapa jam. Omong-omong, apa
maksudmu dengan ‘kami’?” tanya Jill yang mulai akrab dengan Giselle.

“Oh, waktu itu, aku dan Ratu Liana sedang jalan-jalan, lalu kami menemukanmu!” kata
Giselle memberi tahu.



Jill dibantu Giselle berjalan menuju singgasana ratu. Kakinya dibalut dengan perban. Jill
berjalan terpincang-pincang sampai di depan gerbang singgasana.

“Kau siap?” tanya Giselle.

“Selalu,” jawab Jill singkat. Biasanya, ia anak yang cuek, namun entah kenapa kini ia
begitu perasa.
“Ng, kau belum member tahuku tentang Gloria dan Gerald!” serunya dengan cemas.
Giselle menepuk keningnya.

“Yah! Aku lupa lagi! Aku menemukannya! Seekor kuda hitam berkalung dengan nama
‘Gerald’ dan seekor unicorn berkalung nama Gloria!” Giselle tertawa-tawa. Aneh, pikir Jill.
Giselle selalu tertawa.

“Apa itu unicorn?” Jill masih penasaran. Tawa Giselle meledak. Suaranya sangat
misterius, Jill jadi takut dibuatnya.

“Kau tak tahu dongeng?” sindirnya. Jill mengerutkan kening.

“Aku tak pernah membaca dongeng, lebih baik aku belajar dari pada membaca khayalan
yang sebenarnya tidak nyata,” kata Jill dengan tegas. Sudah diceritakan belum? Jill anak yang
rajin? Kalau belum, yah kau sudah tahu sekarang.

“Unicorn itu kuda bertanduk! Seperti kuda yang bernama Gloria itu! Itu kudamu? Ia
sangat bawel menanyakanmu!” seru Giselle agak muram, padahal tadi ia sangat bersemangat.
Mungkin karena pernyataan Jill tadi. Tak disangka Giselle begitu cepat tersinggung.

“Begitulah, tunggu.... Unicorn bisa bicara?” tanya Jill yang masih penasaran.

“Memang, setiap kuda mengerti bahasa manusia, namun mereka tidak bisa
mengucapkannya. Mereka hanya bisa mendengus, itulah kekurangan dari kuda. Namun
unicorn, bisa bahasa kuda dan manusia!” jelas Giselle panjang lebar. Jill mengerti sekarang.

“Baik, mana Ratu Liana?” tanya Jill mengalihkan perhatian.

“Di dalam, silahkan! Beliau memintamu untuk menghadapnya!” sahut Giselle. Tiba-tiba,
ia melepaskan pegangannya terhadap Jill. Jill langsung roboh ke tanah. Giselle membrinya
tongkat untuk berjalan.

“Ratu memintamu untuk menghadapnya sendiri, kau tahu tidak?” sindir Giselle. Kali ini,
wajahnya terlihat beda. Ia terlihat sombong, seperti ingin menjadikan Jill pelayannya,
membiarkan Jill yang meraung kesakitan karena dijatuhkan begitu saja olehnya.

“Tulikah kau?” bentaknya. Jill dengan sinis membalas tatapannya, tatapan tajam Giselle
yang tak kalah dengannya. Sifat keras Jill kembali muncul.

“Kau kira aku pelayanmu, hah?” balas Jill. Giselle menggeram, lalu berteriak.
“Bagus aku menyelamatkanmu! Dasar tak punya balas budi! Bisa kujatuhkan kau ke
penjara!” Giselle hendak menampar Jill, namun Jill memegangnya dengan cepat. Ini pertanda
ia hampir mulai berkelahi.

“Dasar kau muka dua! Tak punya pendirian! Bisanya hanya meng-kambing hitamkan
orang lain!” teriak Jill dengan nyaring. Giselle menghentakkan tangannya dan mendorong Jill
ke gerbang singgasana dengan kuat. Jill dengan cekatan memegang gagang pintu yang besar

“Braak!” pintu tergobrak terbuka. Ratu Liana kaget, ia melongokkan kepalanya dengan
heran. Ditemukannya Jill sedang merintih kesakitan. Kakinya begitu sakit terantuk pintu tadi.
Balutannya terlepas. Ratu Liana segera menuju ke pintu dan membantu Jill. Giselle sudah
pergi, Ratu Liana tidak menemukan siapa saja disekitar Jill. Ia lalu membawa Jill duduk di
kursinya.

Ratu Liana menyambutnya dengan hangat.

“Hai, gadis kecil, siapa namamu?” tanyanya. Jill langsung duduk dan berdiri.

“Jill, Yang Mulia,” sahutnya, lalu membungkukan badan memberi hormat. Ratu Liana
tersenyum, lalu mengelus kaki Jill yang terluka. Jill sedikit sakit, namun, ia merasa lebih
kuat. Ia mencoba berdiri.

Ia bisa berdiri! Dilihatnya kakinya yang sudah mulus. Jill benar-benar kaget.

“A.. Apa yang kau lakukan padaku?” Jill tergagap. Ratu tersenyum.

“Kakimu sudah kusembuhkan, duduklah!” perintah Ratu. Jill duduk di bangku yang ada
di ruangan itu.

“Kau bisa menyembuhkan kakiku?” tanya Jill. Matanya berbinar.

“Ya,” sahut Ratu dengan kalem. Ia mengerutkan kening.

“Sebelumnya, bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanyanya curiga. Jill menceritakan
segalanya



Jill dan Ratu, kita panggil saja Jessie, mengobrol cukup lama. Seusai itu, Jill kembali ke
kamarnya. Di tengah perjalanan, ia bertemu Henie.
“Jill! Syukurlah kita bisa bertemu lagi!” serunya.

“Henie! Kakimu baik?” tanyanya. Mata Henie berkaca-kaca, mau menangis. Ia duduk di
kursi roda, kakinya patah.

“Sakit Jill! Kakiku patah” jeritnya. Henie menggenggam tangan Jill.

“Sebentar Henie, kucari Giselle!” Jill menenangkan. Henie tersenyum kecil. Jill
melepaskan pegangan tangannya.
IV. Melarikan Diri

Jill berpas-pasan dengan anak prajurit, Bill ketika menuju kamarnya.


“Oh, Hai! Kau pasti Jill kan? Giselle telah menceritakan kau kepadaku! Aku Bill, anak
prajurit!” kata Bill dengan bangga. Jill tersenyum padanya.

“Senang bertemu denganmu!” tanya Jill.

“Mari ke ruangan ayahku!” ajaknya. Jill awalnya ragu, namun akhirnya ia menyetujui
ajakan Bill. Di ruangan ayah Bill, segalanya terlihat kusam, namun tertata dengan rapi. Ayah
Bill sedang bertugas menjaga di depan pintu. Bill memberi Jill segelas teh.

“Silahkan diminum tehnya!“ serunya. Ia meminum tehnya, rasanya sangat nikmat!

“Bill, tehnya enak sekali!” serunya

“Benarkah?” seru Bill. Jill mengangguk. Bill mulai senang dengan Jill.

“Berapa umurmu, Bill?” tanya Jill yang ingin lebih dekat dengan Bill

“Tiga belas?” jawabnya, seakan ingin menanyakan lagi umur Jill.

“Hah! Dua belas! Kau lebih tua padaku!” teriak Jill. Mereka lalu mengobrol lagi, saling
mengenal. Jill menceritakan tentang hidupnya, rumahnya, sekolahnya, dan hutan tempatnya
bermain. Ketika giliran Bill bercerita, Bill mendesah.

“Aku tak senang di sini, aku harus hati-hati dengan Jessie,” katanya. Jill bingung.

“Jessie?” tanya Jill. Bill menghela napas lagi, lalu bercerita.

“Ratu dan Giselle bisa sihir hitam. Ratu ini bukanlah Ratu Liana yang asli. Ratu Liana
yang asli dibekap di suatu tempat yang tersembunyi. Ratu yang sekarang sebenarnya adalah
Jessie. Jessie itu penyihir paling berbahaya di Negeri Clautern. Giselle adalah anak
kandungnya. Jessie menyulap dirinya menjadi Ratu, dan Giselle diubah penampilannya
menjadi gadis yang cantik,” ceritanya.

“Yang mengetahui ini semua hanya aku. Aku pernah tidak sengaja mendengar Jessie dan
Giselle membicarakan tentang menguasai dunia. Pantas saja, tak ada kabar lagi tentang
Jessie. Namun, aku tak berani mengungkap ini semua. Aku takut Jessie akan mengutukku”
lanjutnya lagi.

“Kau bukan yang pertama kalinya sampai di negeri ini. Sudah banyak orang yang datang
di negeri ini. Jessie sendiri yang membawa mereka kemari, termasuk kau!” jelasnya.

“Jessie yang membawa mereka kemari?” tanyanya Jill.

“Ya, yang dibawa kemari adalah para pecinta kuda. Jessie mengubah kuda mereka
menjadi unicorn, lalu mengubah sebuah pohon besar di hutan mereka menjadi sebuah portal
untuk kemari,” jawab Bill. Jill ternganga, tersadar dari ingatannya.

“Jadi, Jessie yang menyebarkan cairan aneh yang dapat mengubah kuda menjadi unicorn?
Juga yang kulihat ketika dia menyuruh Gloria minum?” tanya Jill lagi. Bill mengangguk.

“Ia menyebarkan ramuan pengubah bentuk, dan menyuruh kuda-kuda yang lewat untuk
meminumnya,” kata Bill.

“Lalu, kenapa ketika Gloria kedua kali meminum cairan itu, baru ia berubah menjadi
unicorn?” Jill masih penasaran.

“Karena, tentu setiap tubuh memiliki antibodi sendiri. Nah, tugas ramuan yang pertama
adalah merusak antibodi tubuh. Itu hanya akan menimbulkan penyakit bagi kuda, sementara
yang kedua kali, antibodi sudah rusak, jadi tugasnya sekarang hanya menumbuhkan tanduk di
kuda,” desah Bill.

“Oya, dulu, beberapa tahun yang lalu, orang yang terakhir datang adalah seorang laki-laki
sepruh baya, ia juga berkenalan denganku. Aneh, dia sama bawelnya dengan kamu. Dia
bilang, dia mempunyai seorang anak perempuan manis. Namanya... Brin!” lanjut Bill lagi.
Dhug, jantung Jill berdegup keras. Brin kan... Brin kan... Papanya!

“Ng.. apakah rambutnya coklat tebal panjang?” tanya Jill. Bill menjadi misterius.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Bill curiga. Jill menunjuk-nunjuk kepalanya, mengingat-
ingat.

“Sekitar tiga bulan yang lalu, Papaku pernah hilang selama dua hari,” kata Jill.

“Dan... dan... namanya...” Jill bergetar.


“Siapa?” Bill penasaran.

“Brin...” lanjut Jill lemah. Mata Bill terbelalak.

“Astaga!” serunya. Ia lalu melirik jam di ruangan ayahnya. Ia mengerutkan keningnya.

“Jill, kurasa, kita harus kabur dari istana ini. Begini, aku punya rencana...” bisik Bill. Jill
mendengarkan dengan antusias, lalu tersenyum lebar.

“Ya, ya, itu sangat bagus,” kata Jill. Ia lalu menuju kamarnya.



Jill melihat tasnya masih tergeletak di bawah tempat tidurnya. Ia meraihnya dengan
sebelah tangan. Tiba-tiba, terdengar bunyi bordering, handphone-nya berbunyi, ada SMS
masuk.

“Wow, sinyalnya bagus di sini,” gumamnya. Ia lalu membaca pesannya, dari Papa
rupanya. Bunyinya :

“Kemana saja kamu? Sudah sore, lo!”

Jill nyengir, lalu dengan cepat membalas SMS Papanya.

“Mungkin aku nginap di rumah Henie.”

Jill mematikan handphone-nya, malas jika Papanya yang bawel terus-menerus


mengirimnya SMS.



Malam telah tiba, rencana dilaksanakan. Bill, mengendap-endap menuju kamar Henie.
Saat itu, Giselle sedang di kamar Jill. Dibukanya pintu perlahan. Henie terkejut melihatnya.

“Ayo ikut aku!” ajaknya. Henie tidak mengerti, karena Jill dan Bill tidak memberitahunya
sebelumnya. Bahkan, Henie-pun tidak mengenal Bill. Kurang ajar kau Jill, pikirnya. Bill
mendorong kursi roda Henie. Ia menarik Henie untuk bersembunyi di depan pintu Jill.

Sementara itu, Jill sedang melaksanakan rencana mereka. Giselle saat itu sedang
membereskan sisa makan malam Jill, yang Jill makan tadi di tempat tidurnya sambil
membaca buku.
“Ng.. Giselle, bolehkah aku minta tolong?” tanya Jill polos.

“Apa?” Giselle bertanya balik.

“Tolong ambilkan tasku di meja sana!” tunjuk Jill ke meja bundar kecil di ujung kamar.

“Tunggu,” Giselle berbalik badan. Jill mengambil kesempatan. Ia melemparkan beberapa


kantong plastik, yang dalamnya sudah diisi madu, ke arah Giselle. Giselle tidak sadar, namun
setelah madu lengket mengenai punggungnya, ia langsung panik. Jill melemparkan tiga ke
arahnya. Dua di lemparkan ke sisinya, dan satunya lagi tepat mengenai punggungnya. Giselle
berteriak, lalu jatuh tersungkur. Ia hendak berpegangan, namun tangannya malah menempel
ke madu yang ada di sisinya. Giselle menyerah, ia hanya berteriak memanggil ibunya.
Mendengar keributan yang terjadi, Bill mendorong Henie ke kamar Jill. Jill membuka lebar-
lebar gorden balkonnya, juga jendelanya.

“Ayo kita pergi, sebelum Jessie menyadari ini,” kata Jill. Kamar Jill terletak di lantai satu,
sementara kamar Henie terletak di lantai dua. Makanya, kamar Jill yang dipilih. Bill? Lebih
parah lagi. Kamarnya di lantai empat!

“Henie, pegangan padaku,” kata Bill. Muka Henie merona merah. Ia tampaknya malu
dengan Bill, walaupun belum kenal.

“Baik,” serunya dengan suara yang pelan sekali. Bill memegang leher dan bagian
belakang lutut Henie, lalu mengangkatnya. Henie kaget. Seperti dongeng saja, pikirnya. Hi hi
hi, Jill menyadari kelambatan mereka berdua. Habis, Bill tampan sih!

“Ehem, kita harus cepat!” seru Jill menepuk tangannya. Henie dan Bill malu, lalu mereka
segera berlari mengikuti Jill, menuju keluar istana.

“Lewat taman belakang, di sana ada pintu kecil,” pandu Bill. Jill berlari menuju taman
belakang, dan... Mereka keluar dengan selamat!

“Yah bagus, sekarang aku harus melepaskan kuncir dua yang konyol ini,” canda Jill.

“Janganlah Jill! Kau tampak cantik dan manis, kini,” kata Henie tersipu. Jill melotot
padanya.

“Ayolah Henie, kau... kau mulai mirip Wendy!” teriak Jill. Bill memotong pembicaraan
mereka.
“Siapa Wendy itu?” tanya Bill. Jill melirik tajam pada Bill.

“Apa kau lupa yang kuceritakan padamu?” tanya Jill dengan sinis. Bill salah tingkah.

“Oh tidak tentu saja, yang centil itu kan?” tanyanya meyakinkan lagi. Keringatnya
bercucuran. Tingkahnya membuat Jill dan Henie ingin tertawa terbahak-bahak. Kata ‘siapa’
dalam pertanyaan Bill mengingatkan Henie terhadap nama Bill.

“Siapa namamu?” tanya Henie pada Bill. Bill tersipu.

“Bill, nona,” hormat Bill. Mereka tidak sadar, Jill sedang membuka mulutnya untuk
melontarkan ejekan, disertai dengan sengirannya yang lebar.

“Sweet... Sweet...” siulnya. Henie dan Bill berpisah jauh-jauh. Jill tersenyum menyindir
mereka, lalu dengan tenang kembali berkata.

“Ada baiknya kita berkemah. Bill sudah menyiapkan alatnya. Eit! Jangan di sini, harus
lebih jauh dari kawasan istana!” Jill memberitahu. Henie mengangguk, menunjuk sebuah
rumah.

“Lihat! Nampaknya rumah itu kosong!” tunjuknya. Mereka melihat sebuah rumah yang
kosong. Jill dan bill, tentu Henie yang masih digendong Bill, menuju rumah itu. Jendelanya
berdebu, Jill mengusapnya, lalu tersenyum.

“Kau benar, kita bisa tinggal semalam di dalam, hanya saja kita harus berdoa. Moga-
moga tidak ada tikus dan kecoak di dalamnya,” Henie menjerit sekerasnya. Bill
menenangkan.

“Jangan terlalu keras! Bagaimana kalau terdengar dari istana? Lagipula, Jill hanya
bercanda, kok!” Bill meyakinkan. Henie menjadi tenang kini. Mereka memasuki rumah itu,
dan menyiapkan alat untuk berkemah.



Di istana, Jessie meneriaki, membentak, dan memarahi Giselle. Giselle menunduk takut.

“Kenapa mereka bisa kabur?” bentaknya.


“Kaki dan tanganku menempel di madu, bu! Aku seperti lumpuh,” jawab Giselle
tersendat karena menangis. Jessie menampar Giselle, tapi pelan karena ia tahu Giselle
anaknya.

“Aku harus memerintahkan prajurit untuk mencari mereka!” tegas Jessie. Mata Giselle
terbelalak.

“Tapi, bu! Jika kita minta tolong prajurit istana, mereka akan tahu kita sedan menyamar!”
sergah Giselle. Jessie mengangguk, lalu berpikir.

“Sudahlah, biar aku mencarinya,” marah Jessie. Ia memunculkan sebuah burung gagak,
dan bola Kristal di kakinya.

“Cari mereka!” perintahnya kepada burung gagak itu. Jessie bisa melihat apa yang dilihat
burung gagak itu dengan Kristal itu...
V. Rahasia Negeri Clautern
Sementara itu, Jill dan kawan-kawannya sudah tertidur lelap. Mereka menggelar tikar
sebagai alas. Mereka juga menutup pintu dan jendela. Bill sudah membawa sedikit persediaan
makanan dari istana.

Keesokan paginya, Bill bangun paling pagi. Ia sudah terbiasa dibanguni ayahnya. Sesaat,
ia terdiam, lalu mengguncang Jill yang masih tertidur. Jill dengan marah, langsung duduk di
tikar.

“Ada apa sih?” cetusnya.

“Aku tak bisa meninggalkan ayahku sendirian di istana, ia pasti sedih,” kata Bill pelan.
Jill menghela napas.

“Lalu, hari ini kita mau ke mana?” tanya Jill lagi.

“Berkeliling di Kota Flinner, tapi kita harus ke Hutan Sparing terlebih dahulu menemui
Peri Felice,” Bill bercerita. Jill menjadi bingung.

“Itu di Negeri Clautern juga? Kalau bergitu kita di mana?” Jill menggaruk kepalanya.

“Desa Duscess. Kota Flinner adalah pusat Negeri Clautern,” kata Bill.

“Peri Felice itu siapa?” Jill masih bingung.

“Temanku, aku sering ke sana. Kita harus membawa Henie ke Peri Felice, untuk
menyembuhkan kakinya,” sahut Bill dengan kalem. Terdengar suara uapan keras.
Nampaknya, Henie sudah terbangun.

“Jam berapa ini?” tanya Henie.

“Tidak jam di rumah tua ini,” kata Jill.

“Kita harus berjalan!” tegas Bill. Jill mengambil tasnya yang sempat ia bawa saat
melarikan diri.

“Hei, ada SMS!” pekiknya. Ternyata dari Papa. Bunyinya :

Jill, sekarang sudah malam. Kau sudah mengantuk belum?


Jill mengetik dengan cepat :

Belum terlalu...

Sesudah SMS balasan Jill terkirim, Jill menjadi bingung.

“Aku sudah satu hari disini, tapi mengapa Papa berpikir hari masih malam?” tanya Jill.
Bill terdiam.

“Mungkin, waktu di duniaku berbeda dengan waktu di duniaku,” kata Bill. Bill lalu
teringat sesuatu.

“Waktu Papamu terdampar di sini beberapa tahun yang lalu, ia juga bingung akan
perubahan waktunya,” kata Bill lagi.

“Oya! Papaku juga hilangnya beberapa bulan yang lalu, bukan beberapa tahun yang lalu!”
teriak Jill. Henie ikut berceloteh.

“Jill, kami semua bisa ketahuan bila kau teriak-teriak, tapi... kalian belum menceritakanku
mengapa kita melarikan diri,” katanya.

Jill menceritakan secara rinci tentang Jessie. Henie hampir menjerit, tapi Jill mendesis
keras.

“Sekarang kau yang diam!” pekik Jill. Di rumah itu, ada sebuah peti, tepatnya di pojok
ruangan. Bill mengendap-endap menuju peti itu. Ketika dibuka ternyata isinya peralatan
menjahit lengkap dengan kainnya. Henie melongok melihat isi peti itu.

“Wah! Kita bisa buat pakaian! Setidaknya aku tidak berkeliaran dengan gaun yang
berwarna pink dan mencolok ini. Ada yang bisa menjahit?” tanya Henie.

“Aku! Kau tahu? Nilai pelajaran menjahitku tertinggi, jadi kurasa aku bisa...” jawab Jill
pelan. Henie mengangguk senang.

“Ada tiga kain yang lebar! Aku rasa cukup untuk kita bertiga,” sambung Jill lagi. Bill
buru-buru menyela.

“Aku tidak usah dibuatkan pakaian! Ini pakaian kesayanganku!” kata Bill sambil
menarik-narik baju yang sedang dipakainya.

“Tapi...” kata Jill tiba-tiba.


“Tidak ada gunting untuk memotong kain di sini,” seru Jill. Bill menjadi bingung.

“Gunting? Di negeri kami, kami memotong kain dengan besi tipis dan api!” sela Bill.

“Ujung besi yang seperti jarum dipanaskan, lau kita arahkan ke kain yang ingin
dipotong!” jelas Bill. Jill menggaruk kepala.

“Aku rasa, ada baiknya kita periksa rumah ini,” kata Jill. Di rumah itu, masih ada lorong
di dalamnya, jadi ada lebih dari satu ruangan.

Jill masuk ke dalam rumah itu lebih jauh lagi tanpa rasa takut. Ketika sampai di dalam,
Jill mengajak teman-temannya mengikutinya.

“Eh! Ada lemari pakaian di dalam!” seru Jill. Mereka berlari-lari masuk ke dalam. Benar
saja, ada lemari yang penuh dengan gaun-gaun yang indah.

“Wah! Yang ini bagus!” kagum Henie sambil menarik sebuah baju. Pakaian itu sangat
cantik, dengan pita besar berwarna merah dadu di belakang, dengan selendang kuning, dan
rok yang terbuat dari kain satin. Henie dengan cepat memakai gaun itu. Henie menjadi sangat
manis dengan gaun itu, dengan tambahan pita, dengan mata di tengahnya, yang dijepitkannya
ke rambutnya. Henie langsung duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Kalian masih ingat,
kan? Kaki Henie masih sakit.

Kali ini, giliran Jill. Jill membongkar-bongkar lemari itu. Ia ingin mencari yang sederhana
tetapi indah. Sayangnya, hampir semua gaun di lemari itu ramai dan norak baginya. Sampai
akhirnya, ia menemukannya. Sebuah gaun tanpa lengan, berwarna hijau polos, dengan pita
kuning yang diliitkan di pinggangnya. Pita kecil berwarna kuning menjadi pemanis di sebelah
kiri dadanya. Jill yang sebenarnya cantik dengan rambut cokelat kelam yang dikuncir kuda,
dan wajahnya yang putih bersih, mulus, serta memiliki rona merah yang manis di pipinya,
terlihat sungguh cantik dengan gaunnya.

“Wow! Kalian benar- benar cantik dengan gaun yang super cantik juga! Bahkan, oh Jill!
Kau tidak lagi terlihat seperti gadis tomboy jika memakai gaun itu! Kau terlihat manis!” seru Bill
terkagum-kagum.

“Sudah biasa! Sudah biasa!” canda Jill. Mereka lalu tertawa.

“Tapi, apakah kalian tidak merasa aneh?” tanya Henie. Jill dan Bill berhenti tertawa.
“Iya ya, rasanya ada yang mengatur agar kita tinggal di rumah ini, lalu menyediakan
pakaian yang indah untuk dipakai!” pikir Jill.

Sementara itu, ada sesorang misterius (lagi) yang mengamati mereka dari kejauhan.

“Rupanya mereka cukup pintar untuk mengetahui bantuanku,” gumam orang itu. Orang
itu mengamati dengan seksama kepada mereka.

“Aku masih harus melindungi mereka jika ada bahaya,” lanjutnya lagi, lalu mengusap
dagunya.



Jill dan kawan-kawan mulai berkemas-kemas.

“Kita harus bergegas,” kata Bill.

“Ke mana?” tanya Henie. Jill menggeram.

“Diam sajalah! Nanti juga kau akan tahu!” geramnya. Henie cemberut. Henie menenteng
tasnya, sementara Bill bersiap menggendong Henie.

“Tunggu! Bukakan pintu dulu! Tanganku penuh!” haling Jill. Bill membukakan pintu,
lalu terkejut. Ada kursi roda di depan pintu!

“Jill! Henie! Ada kursi di depan pintu!” Bill menunjuk-nunjuk.

“Hah? Lagi-lagi sesuatu yang aneh!” ujar Jill bingung. Henie mulai merengek.

“Cepatlah!” rengek Henie, sambil berceloteh hal lain.

“Jangan cengeng anak bayi! Kau sudah dua belas tahun!” omel Jill. Henie makin
merengut.

“Huh! Karena kuda brengsek itu, kita terlempar ke sini!” dengus Henie. Jill terpaku. Ia
selama ini telah melupakan Gloria dan Gerald. Amarahnya makin meninggi.

“Diamlah!!!!” teriaknya. Bill menutup telinga, sementara Henie terdiam, terpaku, tak
percaya teman baiknya berani membentaknya.

“Siapa lama, kutinggal,” cetus Jill.


Bill berusaha menenangkan Jill.

“Ada apa kau, Jill?” tanyanya. Jill terdiam, lalu, secara mustahil, air matanya
mengggenang di bulu matanya. Bill merasa menyesal dan kaget.

“Ada yang salah?” tanyanya lagi. Jill menunduk.

“Apa yang terjadi dengan kuda kesayanganku? Gloria?” tangisnya. Kini, Bill mengerti.
Gloria yang dulu dianggap teman paling baiknya, sekaran menghilang tanpa keberadaan yang
jelas.

Anda mungkin juga menyukai