Anda di halaman 1dari 5

Kelelawar Moyang Manusia

Cerpen Isabella Anjani

“Baru aja! Baru aja mau tidur lagi!” itu Kiara, sedang mencak-
mencak dalam hati.
Selalu begini. Sekarang pukul satu pagi, Kiara terbangun (lagi).
Penyebabnya tak lain tak bukan, ya, teman sekamarnya sendiri.
Namanya Widi. Suka kelelawar dan buat emosi pada dini hari dan setiap
hari. Kalau sudah jam dua belas ke atas, Widi dengan wajah memelas
memandangi Kiara yang sudah pulas agar terbangun dari mimpinya
yang selalu samar dan tidak jelas. Widi tahu karena Kiara suka cerita.
Katanya, “Aku mimpi ketemu bapak yang jualan di balik tembok.
Yang wajahnya nggak pernah kelihatan itu.”
“Wajahnya kayak apa?”
“Ya, nggak tahu. Kan nggak pernah kelihatan.”
Sebetulnya mereka sama tidak jelasnya. Namun, kadar
ketidakjelasan Widi berada di atas rata-rata. Jelas Kiara kalah. Bahkan
Kiara yang tak suka kalah dan mengalah itupun mengakui.
Lalu, mengapa Kiara tidak cari tempat lain untuk tinggal? Atau
kalau tak tahu malu, mengapa Kiara tidak menginap saja setiap hari di
kamar temannya yang lain? Toh, alasannya valid. Kiara selalu diganggu
oleh makhluk kasat mata.
Jawabannya mudah, meskipun sedikit tak masuk akal, mohon
harap mengerti. Maklum mahasiswi semester empat, perantau, asli
Bandung, banyak tugas, dan tuntutan organisasi.
Pertama, biaya sewa kamar jauh lebih murah karena disokong
dengan uang Widi juga. Meski gantinya harus bangun sebelum subuh
dan tidur lagi dan bangun lagi saat subuh, tapi apa sih yang nggak buat
kos 600 ribu bagi dua sudah lengkap semua fasilitasnya? Begitu pikir
Kiara.
Kedua, sejujurnya, diam-diam dalam hati Kiara yang dalamnya
tidak lebih dari 15 senti meter itu, ia juga ingin tahu apa faktor
pembangkit teori tak masuk akal yang lahir dari kepala batu perempuan
berambut pendek itu. Kiara juga sering menerka-nerka, apa temannya
gila? Kalau iya, Kiara pun tak heran. Siapa suruh mengambil jurusan
Matematika di tengah maraknya generasi penerus bangsa yang alergi
dengan penjumlahan abjad dan angka?
Meskipun Kiara juga sama bertemu dengan angka-angka, tapi
pikirnya jurusan Manajemen masih tidak ada apa-apanya dibanding
Matematika. Kiara sendiri juga hampir gila, maka ia tak heran kalau
Widi memang benar gila. Kiara malah akan lebih heran kalau-kalau
temannya itu tak kunjung gila. Jadi, mungkin saja, dengan menciptakan
teori kelelawar adalah moyang manusia dan menceritakannya setiap hari
sekitar pukul 12 sampai paling lewat jam 3 pagi itu bisa meringankan
segala beban duniawinya.
“Semoga Tuhan angkat seluruh tugas kami.”
“Aamiin.”
Itu salah satu dari sekian banyak doa yang selalu Widi panjatkan
dan Kiara aminkan di tengah sesi menangis mereka yang disaksikan oleh
laptop, pensil, penggaris, pulpen, penghapus yang sudah hitam dan
bolong-bolong, correction tape yang sudah hilang tutupnya, serta
tumpukan kertas yang tidak boleh lecek.
“Memang kelelawar-kelelawar itu asalnya dari mana, sih?”
“Dari surga.”
“Mana ada kelelawar di surga.”
“Ada. Aku dulu.”
Kiara memutar bola matanya. Mati saja belum, sudah mengaku-
ngaku masuk surga.
“Kamu nggak mau tahu cerita lengkapnya?”
Pertanyaan yang sukses membuatnya bimbang! Kiara sungguh
ingin tahu bagaimana Widi bisa berpikir kalau kelelawar adalah moyang
mereka. Namun, keingin tahuannya itu dihadang oleh dua sebab. Satu,
Kiara takut kalau sesi ceritanya terlalu asik sampai ia lupa untuk tidur
lagi dan mengantuk berat saat kuliah nanti. Dua, Kiara terlalu gengsi
untuk bilang iya. Duh, wanita.
“Mau.”
Mulut Widi mendadak terbuka. Tidak terlalu lebar, tapi cukup
untuk dimasuki lalat hijau berukuran besar. Sebut Widi hiperbola.
Namun ini benar-benar momen langka, Kiara berhasil mengalahkan
gengsinya!
Widi memosisikan dirinya menjadi duduk tegap dengan guling
yang terpangku manis di atas kedua pahanya. Ancang-ancang sebelum
memulai bualannya. Kiara sama sekali tak menyela, lidahnya juga tidak
mendecak. Tidak ada lagi putaran tanda muak pada bola matanya.
“Kiara sudah berubah! Kiara mulai menerima jati dirinya
sebagai manusia kelelawar!” batin Widi.
Semoga nol penyesalan dari Kiara setelah Widi menyita
waktunya pagi ini. Semoga Kiara dapat tidur kembali sebelum alarm-
nya berbunyi. Semoga Kiara bisa bangun pagi. Semoga itu. Semoga ini.
“Semoga Kiara cepat sadar diri.”

***

Sebetulnya, sebelum jadi manusia, kebanyakan dari kita adalah


kelelawar.
Aku salah satunya.
Dulu, tinggalnya juga masih di surga, tapi diusir karena fitnah
iblis. Katanya, kakek moyang kita mau memakan buah bekas pasutri
yang sering menjadi buah bibir penduduk surga saat itu.
“Kami, bukan kita. Aku bukan kelelawar,” potong Kiara.
“Ya, ya.”
Berakhirlah kakek dan seluruh keturunannya, termasuk aku,
diusir saat itu juga.
Beruntung saat itu aku sudah bisa terbang. Diajar salah satu
teman kelelawarku yang cukup pintar. Jadi, saat aku ditendang dari
surga menuju bumi, aku tak perlu repot menyewa parasut.
Kebetulan waktu itu iblis sedang berubah wujud menjadi ular.
Makanya, sekarang kita tidak pernah melihat ular dan kelelawar kawin
atau sekadar bincang santai.
Cukup dengan surga.
Sekarang aku di bumi, mau tak mau aku harus cinta bumi. Aku
juga cinta Bu Umi, pemilik warung yang sering aku utangi. Bu Umi tak
pernah menagih, itulah sebab aku cinta Bu Umi. Semoga Bu Umi masuk
surga gelombang pertama.
Dari sekian banyaknya hal tak kusuka di bumi, ada satu hal yang
membuatku senang sekali di sini. Beribu juta kali lipat senangnya.
“Karena apa?” potongnya lagi.
“Karena di bumi banyak cahaya, bahkan di malam hari. Banyak
cahaya berarti banyak tidur. Selamat tinggal, kantung mata!”
Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak dari kami
lebih memilih tidur setiap hari. Karena bumi malam hari terlalu terang
dan mata kami sakit!
Siapa yang suka tidur saat siang, malam, di rumah, di mobil, di
kos teman, di kelas, dan di mana saja yang penting tidur saat ada
kesempatan? Itu tanda kalau dulu kamu seekor kelelawar juga. Tidak
percaya? Harus percaya! Aku ini spesialis kelelawar!
Gejala-gejala yang sering manusia alami seperti lelah,
mengantuk, dan lemas itu karena mereka terbius oleh cahaya matahari.
“Karena butuh uang, sih,” lagi-lagi Kiara memotong ucapanku.
“Oh, iya! Itu juga bisa. Ah, jangan dipotong terus!”
“Baru tiga kali,” kali ini sambil mendelik.
“Udah sunah itu! Terus … terus apa, ya, aku lupa.”
“Kamu ngarang, bukan lupa.”
Oh! Omong-omong soal bumi terang, mengapa setiap malam
masih ada yang memakai lampu, ya? Padahal matahari sudah padam.
Kenapa lampu tak ikut dipadamkan? Enak, ya, para kelelawar di luar
sana semakin banyak jam tidurnya seperti pengangguran. Kalau para
kelelawar jadi malas bekerja karena semakin malam semakin terang
bagaimana? Memang orang-orang di luar sana mau menafkahi?
“Aku jadi iri. Kadang, udah jam dua pagi aja aku masih melek
ngerjain tugas. Eh, mereka malah asik-asikkan tidur.”
“Kamu mau jadi pengangguran?”
“Nggak, sih.”
Meskipun aku tak mau jadi pengangguran, tetapi aku tetap iri
dengan kelelawar-kelelawar tak bekerja itu. Ibuku bilang, iri adalah sifat
yang tidak baik. Iri adalah penyakit hati. Hal yang tidak baik adalah hal
yang disukai setan. Aku tidak mau disukai setan. Maka dari itu,
seharusnya para penduduk bumi mematikan semua lampu saat malam
hari agar para kelelawar bisa bekerja dan para manusia menghemat
listrik. Memperkaya bumi dan dijauhi setan.

***

Kalau ada sesuatu yang bisa mengalahkan lengketnya lem korea,


sudah pasti itu mata Kiara saat ini. Ia lupa pukul berapa ia tertidur
kembali. Yang pasti matanya tidak mau terbuka sedari tadi.
“Kiara?”
“Apa?” jawabnya dengan mata yang sepenuhnya tertutup.
“Kamu nggak kuliah?”
Pertanyaan itu berhasil membuat mata Kiara terbuka tiba-tiba.
Cahaya lampu kamar yang tak begitu terang tidak mendapat respon baik
dari indera penglihatannya. Reflek membuat kepala Kiara berdenyut tak
karuan.
“Jam berapa ini?” kedua tangannya menopang kuat kepalanya
sampai membuat rambutnya berantakan.
“Jam 10 pagi.”
“Kok nggak bangunin aku?!”
Belum sempat Widi menjawab pertanyaannya, Kiara sudah
bergegas menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi.
“Kamu, sih, semalem berisik! Cerita nggak jelas, nggak penting,
nggak bermutu. Apa, sih, itu kelelawar-kelelawar aneh nggak jelas. Aku
jadi kesiangan gini kan gara-gara kamu. Memang kalau aku nggak lulus
kamu mau tanggung jawab?”
“Sekarang Minggu.”
Sekarang Minggu. Kiara baru ingat dan ia langsung malu. Dan
semakin pusing. Dan ini. Dan itu. Dan Kiara tak mau keluar dari kamar
mandi, padahal sudah 30 menit.
“Kamu mau sampai kapan di sana?” tanya Widi menahan
tawanya.
“Sampai jadi kelelawar! Puas?!”
Kiara malu sekali.

Anda mungkin juga menyukai