“Baru aja! Baru aja mau tidur lagi!” itu Kiara, sedang mencak-
mencak dalam hati.
Selalu begini. Sekarang pukul satu pagi, Kiara terbangun (lagi).
Penyebabnya tak lain tak bukan, ya, teman sekamarnya sendiri.
Namanya Widi. Suka kelelawar dan buat emosi pada dini hari dan setiap
hari. Kalau sudah jam dua belas ke atas, Widi dengan wajah memelas
memandangi Kiara yang sudah pulas agar terbangun dari mimpinya
yang selalu samar dan tidak jelas. Widi tahu karena Kiara suka cerita.
Katanya, “Aku mimpi ketemu bapak yang jualan di balik tembok.
Yang wajahnya nggak pernah kelihatan itu.”
“Wajahnya kayak apa?”
“Ya, nggak tahu. Kan nggak pernah kelihatan.”
Sebetulnya mereka sama tidak jelasnya. Namun, kadar
ketidakjelasan Widi berada di atas rata-rata. Jelas Kiara kalah. Bahkan
Kiara yang tak suka kalah dan mengalah itupun mengakui.
Lalu, mengapa Kiara tidak cari tempat lain untuk tinggal? Atau
kalau tak tahu malu, mengapa Kiara tidak menginap saja setiap hari di
kamar temannya yang lain? Toh, alasannya valid. Kiara selalu diganggu
oleh makhluk kasat mata.
Jawabannya mudah, meskipun sedikit tak masuk akal, mohon
harap mengerti. Maklum mahasiswi semester empat, perantau, asli
Bandung, banyak tugas, dan tuntutan organisasi.
Pertama, biaya sewa kamar jauh lebih murah karena disokong
dengan uang Widi juga. Meski gantinya harus bangun sebelum subuh
dan tidur lagi dan bangun lagi saat subuh, tapi apa sih yang nggak buat
kos 600 ribu bagi dua sudah lengkap semua fasilitasnya? Begitu pikir
Kiara.
Kedua, sejujurnya, diam-diam dalam hati Kiara yang dalamnya
tidak lebih dari 15 senti meter itu, ia juga ingin tahu apa faktor
pembangkit teori tak masuk akal yang lahir dari kepala batu perempuan
berambut pendek itu. Kiara juga sering menerka-nerka, apa temannya
gila? Kalau iya, Kiara pun tak heran. Siapa suruh mengambil jurusan
Matematika di tengah maraknya generasi penerus bangsa yang alergi
dengan penjumlahan abjad dan angka?
Meskipun Kiara juga sama bertemu dengan angka-angka, tapi
pikirnya jurusan Manajemen masih tidak ada apa-apanya dibanding
Matematika. Kiara sendiri juga hampir gila, maka ia tak heran kalau
Widi memang benar gila. Kiara malah akan lebih heran kalau-kalau
temannya itu tak kunjung gila. Jadi, mungkin saja, dengan menciptakan
teori kelelawar adalah moyang manusia dan menceritakannya setiap hari
sekitar pukul 12 sampai paling lewat jam 3 pagi itu bisa meringankan
segala beban duniawinya.
“Semoga Tuhan angkat seluruh tugas kami.”
“Aamiin.”
Itu salah satu dari sekian banyak doa yang selalu Widi panjatkan
dan Kiara aminkan di tengah sesi menangis mereka yang disaksikan oleh
laptop, pensil, penggaris, pulpen, penghapus yang sudah hitam dan
bolong-bolong, correction tape yang sudah hilang tutupnya, serta
tumpukan kertas yang tidak boleh lecek.
“Memang kelelawar-kelelawar itu asalnya dari mana, sih?”
“Dari surga.”
“Mana ada kelelawar di surga.”
“Ada. Aku dulu.”
Kiara memutar bola matanya. Mati saja belum, sudah mengaku-
ngaku masuk surga.
“Kamu nggak mau tahu cerita lengkapnya?”
Pertanyaan yang sukses membuatnya bimbang! Kiara sungguh
ingin tahu bagaimana Widi bisa berpikir kalau kelelawar adalah moyang
mereka. Namun, keingin tahuannya itu dihadang oleh dua sebab. Satu,
Kiara takut kalau sesi ceritanya terlalu asik sampai ia lupa untuk tidur
lagi dan mengantuk berat saat kuliah nanti. Dua, Kiara terlalu gengsi
untuk bilang iya. Duh, wanita.
“Mau.”
Mulut Widi mendadak terbuka. Tidak terlalu lebar, tapi cukup
untuk dimasuki lalat hijau berukuran besar. Sebut Widi hiperbola.
Namun ini benar-benar momen langka, Kiara berhasil mengalahkan
gengsinya!
Widi memosisikan dirinya menjadi duduk tegap dengan guling
yang terpangku manis di atas kedua pahanya. Ancang-ancang sebelum
memulai bualannya. Kiara sama sekali tak menyela, lidahnya juga tidak
mendecak. Tidak ada lagi putaran tanda muak pada bola matanya.
“Kiara sudah berubah! Kiara mulai menerima jati dirinya
sebagai manusia kelelawar!” batin Widi.
Semoga nol penyesalan dari Kiara setelah Widi menyita
waktunya pagi ini. Semoga Kiara dapat tidur kembali sebelum alarm-
nya berbunyi. Semoga Kiara bisa bangun pagi. Semoga itu. Semoga ini.
“Semoga Kiara cepat sadar diri.”
***
***