Anda di halaman 1dari 4

Pada zaman dahulu, di tengah hutan belantara, terdapat gubuk kecil yang

sederhana. Dindingnya terbuat dari kayu dan bambu. Atapnya tersusun dari daun-
daun. Tidak ada seseorang yang menyangka, bahwa di tengah hutan masih ada
kehidupan manusia. Penghuni hutanlah yang telah menyaksikan asal-usul gubuk itu
didirikan. Di gubuk itu hidup seorang putri bernama Dewi Sekartaji. Dia adalah
seorang wanita cantik, rambutnya panjang, bibirnya merah, pipinya halus, hidungnya
mancung, alisnya lebat, dan sepasang matanya bersinar.
Burung-burung berkicau setiap hari. Mereka menceritakan kembali apa yang
telah terjadi. Burung-burung pandatang baru selalu diberitahu.

Kutilang : Tituit, tituit, tituiiiiiiiiiit..


Gubuk kecil ditengah hutan, dihuni putri cantik.
Saat kandungannya sembilan bulan, anak yang lahir sangat
tampan.
Gelatik : Siapa dia? Siapa dia? Putri hutan?
Kutilang : Tituit, tituit, tituiiiiiiiiiit..
Dia bukan putri hutan, dia hanya manusia biasa dan berasal
dari rakyat miskin, Dewi Sekartaji namanya.
Nasib buruk harus diderita, dia dibuang kehutan sendirian.
Gelatik : Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?
Apa yang dialami putri?
Jalak : Cek, cerek, cek, cek, cek..
Dahulu kala, Dewi Sekartaji jatuh cinta pada Raden Inu
Kertapati. Raden Inu adalah seorang pangeran pewaris
tunggal Kerajaan Kahuripan. Tetapi, Dewi Sekartaji bukan
keturunan darah biru oleh karena itu hubungannya tidak
disetujui oleh Ibu Raden Inu.
Gelatik : Kemudian apa yang terjadi?
Apa karena itu Dewi Sekartaji dibuang?
Jalak : Raden Inu bertunangan dengan Dewi Anggraeni.
Dewi Anggraeni adalah putri yang dianggap paling serasi.
Tetapi, Raden Inu tidak menyukai Dewi Anggraeni dan jatuh
cinta pada Dewi Sekartaji.
Pipit : Dewi Sekartaji tidak tahu kenapa dia dibuang ke hutan.
Ibu Raden Inu menyuruh hulubalang raja untuk membuang
ke hutan dan membunuh Dewi Sekartaji.
Gelatik : Itu kejam! Itu kejam!
Alangkan kejamnya hati Ibu Raden Inu Kertapati.
Pipit : Pancana kejam siap dilaksanakan oleh hulubalang.
Tetapi saat akan membunuh, hulubalang menahan ayunan
pedang dan menyuruh Dewi Sekartaji pergi karena Dewi
Sekartaji sedang hamil.
Kutilang : Tituit, tituit,tituiiiiiiiiiit..
Di gubuk kecil itulah Dewi Sekartaji menjalani hidup yang
sederhana. Si bayi lahir dengan selamat dan dirawat penuh
kasih sayang, ditemani dan dilindungi seekor harimau
berbulu putih, berkumis putih yang dipanggil Eyang. Eyang
adalah raja hutan yang sudah lanjut usia.
Jalak : Si bayi diberi nama Cindelaras
Dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang tangkas, baik dan
cerdas.

Suatu hari Cindelaras sedang bermain bersama Eyang di balik pohon-pohon


besar. Beberapa ekor burung berkicau nyaring.

Cindelaras : Eyang lihatlah!


Alangkah senangnya menjadi burung. Mereka dapat terbang
sejauh mereka suka. Aku ingin seperti itu.
Eyang : (mengaum)
Cindelaras : Aku bosan makan ubi dan talas.
Kenapa kita tidak menjelajahi hutan sebelah utara? Mungkin
disana tersedia makanan yang tidak biasa. Ibu pasti senang
jika kita membawa makanan enak.
Eyang : (mengaum)
Dunia luar masih asing agimu, Cindelaras. Disana bahaya,
usiamu masih terlalu muda. Kamu akan kesana jika sudah
dewasa. Jika kamu ingin Ibu senang, kenapa kamu tidak
memetik melati untuk mengharumi rambutnya?

Eyang harimau kembali tidur. Kemudian, Cindelaras pergi mencari melati


dan dirangkailah melati itu sampai panjang.
Ketika sudah siang.

Cindelaras : Eyang, sudah siang,ayo kita pulang. Ibu pasti khawatir.


Eyang : (mengaum)

Cindelaras segera naik ke punggung Eyang dan perlahan-lahan menghilang


di balik rimbunan semak. Wajah Dewi Sekartaji tampak bersinar ketika Cindelaras
datang.

Dewi Sekartaji : Cindelaras, sejak tadi ibu menunggu kamu pulang.


Kenapa baru pulang? Ada masalah?
Cindelaras : Ibu jangan Khawatir!
Cinde pergi bersama Eyang, tidak ada yang berani membuat
masalah dengan Eyang.
Eyang : Ya, mungkin ibumu khawatir.
Gubuk ini juga sepi jika kamu pergi.
Cindelaras : Lihatlah apa yang aku bawa Ibu!
Rangkaian melati terpanjang yang pernah aku buat.

Sepasang mata Ibu Cindelaras bercahaya. Dia menerima rangkaian melati


dengan senang dan diciumnya aroma melati itu. Cindelaras membantu memasangkan
rangkaian melati itu di rambut Ibunya.
Suatu pagi ketika Cindelaras sedang bermain dengan Eyang, dia melihat
ibunya sedang melamun dan wajahnya terlihat sedih.

Cindelaras : Yang, kenapa Ibu sering terlihat sedih?


Apa yang dipikirkannya? Kenapa dia tidah pernah bercerita
kepada aku? Apa dia memikirkan aku karena aku nakal?
Eyang : Kamu tidak salah, Ibumu punya masalah.
Tetapi percayalah, suatu saat keadaan akan berubah.
Cindelaras : Tapi aku tidak suka Ibu bersandiwara.
Di hadapanku Ibu sering tertawa, tapi jika aku tidak ada dia
terlihat sedih.
Aku pernah melihat Ibu sedang menangis, ketika aku tanya
Ibu bilang tidak ada masalah.
Eyang, kenapa dia tidak bercerita? Apa dia tidak percaya
padaku?
Eyang : Mungkin Ibu merasa belum saatnya untuk bercerita.
Atau mungkin Ibu tidak mau melihat kamu ikut sedih.
Atau mungkin...
Cindelaras : Atau mungkin Ibu menganggap aku masih kecil dan tidak
berdaya?
Eyang : Tidak.
Ada masalah orang tua yang tidak perlu diketahui oleh
anaknya.
Cindelaras : Bagaimana aku bisa membuat Ibu bahagia?
Ibu selalu menyimpan rahasia.
Eyang : Ibumu sudah bahagia jika kamu menjadi anak baik, sehat,
pandai, penurut, menjalankan tugas dengan baik, berkelakuan
baik, sopan, dan jujur.
Cindelaras : Tapi aku bukan anak kecil lagi.
Lihatlah otot-ototku sudah tumbuh kuat. Jika ada yang
berbuat jahat pada Ibu akan kutantang dia.
Eyang : This is too bad that your father don’t have time to see your
growth
Cindelaras : Ayah?

Eyang menggerutu menyesali diri sendiri. Tanpa sadar dia telah membuka
rahasia. Akhir-akhir ini dia merasa semakin tua dan semakin pikun.

Eyang : Cindelaras, lihatlah keatas kepalamu!


Musim mangga sudah tiba. Buahnya besar dan matang-
matang, pasti lezat.

Tapi Cindelaras tidak peduli pada mangga. Dia melompat turun dari
punggung Eyang sambil bertepuk tangan.

Cindelaras : Sudah kuduga ini semua ada hubungannya!


Sudah kuduga aku mempunyai ayah!
Dan sudah kuduga kalian semua menyimpan rahasia!
Sudah saatnya Eyang membuka rahasia. Aku mengetahui
masalah ini sudah lama. Katakan padaku siapa ayahku?
Eyang : Dari siapa kamu mengetahui?
Cindelaras : Eyang sendiri yang berkata tadi.
Selain itu burung-burung sering berkicauan menyampaikan
berita. Angin juga bertiup membisikkan rahasia. Jika hutan
sedang hening, pendengaranku menjadi bening. Bahasa hutan
bahasaku juga.
Bagaimanapun keras usaha Cindelaras membujuk Eyang untuk bercerita
tentang Ayahnya, Eyang tetap membisu.

Cindelaras : Kenapa? Ayahku buruk?


Apakah dia seorang penjahat? Atau pemabuk?
Eyang : Jaga bicaramu!
Cindelaras : Dia seorang pangeran? Atau ksatria berwajah tampan?
Dimana aku pernah bertemu? Dalam mimpi?
Eyang : Dengarlah Cindelaras!
Jika sudah tiba saatnya kamu akan mengetahui jawabannya.

Cindelaras harus bersabar untuk mengetahui siapa ayahnya. Dia menjalani


hidup sehari-hari seperti biasa. Mencari bahan makanan di hutan atau bermain dengan
sumpitan.
Sumpitan adalah senjata kecil yang sangat sederhana. Pelurunya adalah biji
saga. Sumpitan dan sekantong biji saga di pinggangnya selalu dibawa Cindelaras
kemanapun dia pergi. Cindelaras menggunakan sumpitan untuk membidik apa saja.
Buah-buahan yang tinggi dengan mudah diambil menggunakan sumpitan.
Selain buah-buahan, Cindelaras sering menggunakan sumptannya untuk
membela kebenaran. Hewan hutan yang lemah seriing meminta pertolongan pada
Cindelaras.
Suatu hari ketika Cindelaras sedang duduk di atas punggung Eyang, dia
melihat Elang sedang terbang dengan gagah. Elang itu membawa sebutir telur ayam
di paruhnya. Dengan susah Cindelaras membujuk Elang agar memberikan telur itu.
Bujukan Cindelaras berhasil dan Elang memberikan telur itu pada Cindelaras.

Eyang : Kenapa kamu ingin sekali memiliki telur itu?


Cindelaras : Telur ini akan aku pelihara. Aku ingin memelihara ayam.
Ibu pasti senang bisa makan telur setiap hari.
Tapi bagaimana aku memelihara telur ini? Kemana aku harus
mencari induknya?
Eyang : Cindelaras.. Cindelaras..
Memelihara telur itu mudah. Tapi telur itu dari ayam hutan
merah. Bila menetas, akan menjadi ayam jantan yang gagah.
Bukan ayam betina yang dapat dimakan telurnya.
Cindelaras : Ayam jantan? Itu lebih baik!
Aku akan melatih menjadi ayam jantan yang sakti. Ayo cepat
kita cari induk yang dapat memelihara telur ini.
Eyang : Coba kau minta tolong pada Ular Sanca.
Cindelaras : Sanca?
Eyang jangan bercanda. Ini hanya telur ayam hutan biasa.
Eyang : Jika kamu ingin telur itu menjadi ayam hutan merah sakti,
ikuti perintahku.

Mereka berjalan ke sarang Ular sanca. Ketika harus berhadapan

Anda mungkin juga menyukai