Anda di halaman 1dari 6

SEEKOR HARIMAU TERSEDAK DURI MAWAR

Cerpen Reddy Suzayzt

Seekor kucing datang ke depan pintu kamar kosnya, dan Aditya Danu Iswara tahu apa
yang harus dilakukan. Satu ekor ikan pindang goreng sudah ia siapkan. Ia selalu menyisihkan
uang di saku untuk membawa pulang ikan pindang dari warung makan langganannya, hanya
saja ia selalu berkata, “Boy, tolong tambahkan sedikit, ya,” pada setiap kenalan yang
kebetulan sedang makan di warung itu. Maka, jadilah si kenalan itu menambahkan “sedikit”
uang bayaran setelah Aditya Danu Iswara menyodorkan recehan yang tidak pernah lebih dari
lima lembar.
Ia ambil semangkok kecil nasi yang sudah dingin, dan mencampurkannya dengan
daging pindang yang telah dibuat lolos dari tulangnya. Ia meremas campuran nasi dan daging
pindang seperti mengolah adonan tepung kue donat ibunya di akhir bulan suci di kampung.
Dua tahun lalu terakhir ia pulang ke kampung, seminggu sebelum lebaran, lima hari
setelah mendapat penolakan dari seorang gadis yang ia taksir (menurut riwayat, gadis itu
pingsan saat ia menyatakan isi hatinya dengan penanda setangkai mawar). Ia merasa tak
banyak faedah yang bisa didapatkan di kampung, selain sungkem pada kedua orang tua, dan
ziarah ke makam-makam leluhur yang dimuliakannya. Selebihnya, ia hanya mendapat
pertanyaan klise basa-basi sanak saudara dan orang-orang kampung yang membuatnya
merutuki kelahiran dan keberadaannya sendiri di dunia semacam ini. Menjadi kucing jauh
lebih beruntung dan lebih baik, pikirnya.
Lazarus, begitu ia menamai kucing belang oranye itu, semakin nyaring mengeong saat
bau amis gurih nasi pindang menguar kuat di udara. Ia segera tumpahkan adonan nasi
pindang itu ke dalam wadah piring Lazarus di luar kamar, tepat di bawah jendela kamarnya.
Kawan kecilnya segera menyambar dan melahap porsi makan siang dengan geraman. Seolah-
olah yang ia santap saat itu adalah jerih payah buruannya.
“Makanlah dengan tidak membawa kesombongan, Boy!” Ia menggetik cuping telinga
makhluk berbulu itu, tapi hanya berbalas geraman yang kian menguat. Bagaimanapun,
Lazarus hanyalah makhluk gelandangan. Dan kita semua tahu karakteristik gelandangan
kelaparan yang tengah menggasak makanan.
Sambil menonton Lazarus makan, ia teringat dongeng kakeknya yang mengatakan
bahwa kucing adalah moyang guru dari mamalia bernama harimau. Tentu dongeng itu
berlatar waktu jauh sebelum manusia hadir di bumi, dan harimau masih berupa hewan
berkaki empat yang dungu dan tidak bisa apa-apa.

Harimau, pada awalnya hanyalah pecundang, demikian kakeknya membuka kisah.


Dulu, harimau bertahan hidup dari belas kasihan hewan-hewan lain. Mereka iba melihat
harimau begitu payah bahkan untuk sekadar mencari makan. Para hewan selalu meletakkan
apa yang bisa mereka berikan di depan harimau yang tertidur lelap setiap sore (dulu harimau
bukan hanya pemakan daging seperti sekarang ini, kata kakeknya. Buah-buahan pun mau ia
makan). Hingga suatu hari, si monyet, hewan yang terkenal jahil di antara hewan lainnya,
iseng berceloteh pada harimau, “Badanmu besar, tapi kenapa kau tidak tahu malu
menggantungkan hidup pada hewan lain?” Tanpa menunggu jawaban harimau, si monyet
ngoceh lagi, “Mungkin kau bisa meneladani si kucing. Meskipun lebih kecil, postur tubuhnya
persis sepertimu. Bedanya, ia lincah dan banyak akal.” Si monyet yang jahil itu kemudian
meloncat ke dahan pohon, dan terus melesat ke pohon-pohon lain seolah tak pernah merasa
memiliki kalimat yang baru saja dilontarkan.
Harimau tercenung, dan berpikir bahwa apa yang dikatakan monyet adalah kejujuran
belaka. Selama ini makanan selalu ia dapatkan saat membuka mata dari tidur. Dan karena
kebiasaan itu, ia tak pernah mendapatkan hal baru dalam hidupnya. Maka datanglah ia pada
kucing yang dengan senang hati berbagi padanya. Mengajarinya cara berkelahi, dan
membuka pengetahuan baru bagi harimau; apa saja potensi yang dimiliki hewan berkaki
empat, bercakar, dan bertaring seperti mereka. Bertahun-tahun harimau berguru pada kucing,
ia bertumbuh menjadi murid yang berbakat, tapi sesuatu dalam dirinya bertumbuh juga secara
liar; sifat ganas dan nafsu menguasai. Dua hal yang di kemudian hari membuatnya dijuluki
raja hutan.
Kucing adalah hewan paling pandai saat itu. Dan harimau merasa kepandaiannya
sudah menyamai sang guru. Harimau tak ingin ada matahari kembar dalam hutan itu. Untuk
mendapatkan pengakuan dari seluruh penduduk hutan, maka ia harus menyingkirkan kucing.
Menyingkirkan gurunya sendiri. Ia memilih melancarkan siasat buruk pada saat gurunya
tertidur. Sayangnya, kecermatan harimau telanjur cacat oleh nafsu angkara. Ia menyerang
saat dilihatnya sang guru tidur mendengkur. Ia menyangka si kucing tengah tertidur lelap.
Kau tahu, saat kucing tidur mendengkur, sebenarnya ia tidak sedang tidur. Pada saat itu,
justru si kucing tengah waspada dalam pejamnya. Maka loloslah si kucing, dan dengan segera
memanjat pohon yang tinggi.
“Curang kau, Kucing. Kau belum mengajarkanku cara memanjat pohon!” kata
harimau di bawah.
“Tak ada guru yang mengajarkan tuntas seluruh ilmunya, murid celaka!” jawab
kucing. Sebenarnya ia sengaja tidak memberi seluruh ilmunya. Kucing memiliki insting yang
runcing dan ia paham hal busuk yang bertumbuh dalam diri harimau. Itu juga sebabnya ia
tidak menurunkan ilmu sembilan nyawa pada harimau.
Menurutku hal itu terbukti dan valid. Kita sering melihat kucing melompat atau
terjatuh dari ketinggian atap, dan ia selalu mendarat dengan keempat kakinya, dengan
selamat. Kita belum pernah melihat harimau melakukan hal serupa, bukan? Lompat dari
gedung misalnya. Itu karena harimau tidak memiliki ilmu yang kusebut terakhir.
Harimau yang kehabisan akal, akhirnya hanya bisa bersumpah akan memburu kucing
sampai kapan pun. Jika tidak kucing yang ia dapatkan, tahinya pun jadi. Sebab itulah hingga
sekarang kucing selalu menimbun tahinya setelah berak, agar tak terendus harimau.

Apakah fabel di atas memiliki fungsi dalam cerita ini? Barangkali sama sekali tidak.
Tapi aku hanya mendeskripsikan apa yang pernah terekam dalam benak Aditya Danu Iswara.
Lagi pula, aku tidak terlalu peduli dengan ‘kefokusan cerita’, bukankah kenikmatan sebuah
kisah bisa kita dapatkan pula dari ngalor-ngidul-nya sebuah cerita? Orang-orang tua di
kampung sering melakukan itu dan cerita mereka sering kali tetap terdengar menarik.
Dari fabel tersebut, Aditya Danu Iswara tentu tahu pastilah banyak orang yang
memihak pada tokoh kucing. Tapi meskipun begitu, ia tak paham mengapa kakeknya malah
lebih memilih untuk memelihara khodam harimau. Dan khodam itu juga yang kini diwariskan
padanya setelah kakeknya meninggal karena gagal ginjal.
Kau tahu, khodam atau jenis perewangan gaib turut memengaruhi pula watak tuannya.
Tapi itu tidak berlaku bagi Aditya Danu Iswara. Ia laki-laki yang supel, titis dengan keadaan,
dan selalu bisa mengimbangi tema obrolan lawan bicaranya. Dan semua yang pernah bertemu
dan jual-beli sepatah dua patah kalimat dengannya, rata-rata memberi kesaksian jika Aditya
Danu Iswara berwawasan luas, dan tidak temperamen. Beberapa dari mereka tidak percaya
saat diberitahu jika Aditya Danu Iswara memelihara khodam harimau. Sebab, ia merupakan
pendengar yang baik dan terlihat penyabar, demikian pengakuan mereka.
Perewangan gaib miliknya kurasa bekerja sesuai dengan titah si pemuda flamboyan
itu. Ia paham kapan harus berkolaborasi dengan kucing raksasa tersebut. Seperti pengalaman
ini misalnya: suatu malam, saat bulan sedang bulat cerah tanpa segumpal awan pun
menutupi, Aditya Danu Iswara mendapati puluhan pesan pendek dalam kotak masuk hp-nya.
Dan semua pesan itu berbicara tentang satu hal yang nantinya akan membuat pamong
harimau ini muntab; kejelasan status utang-piutang Teguh Pribadi.
Sepertinya aku mesti menceritakan pula kelebihan Aditya Danu Iswara lainnya
padamu. Danu (mungkin sebaiknya begitu saja kita menyebutnya dalam cerita ini),
dianugerahi semesta dengan kemampuan menadah segala penderitaan batin manusia. Dan
itulah yang membuat dirinya kerap didatangi banyak manusia (dan makhluk) dari delapan
penjuru. Teguh Pribadi, adalah salah satu makhluk yang menanggung penderitaan hidup
cukup gurih (yang dibuat oleh dirinya sendiri, sebenarnya), dan keberadaan Danu memang
disediakan Gusti Pangeran sebagai oase bagi Teguh Pribadi. Ia menerima kedatangan Teguh
Pribadi dengan tangan terbuka. Sejak itu, Teguh Pribadi yang pernah merangsek liang tahi
seorang wadam di stasiun Jombor itu, tinggal bersama Danu. Singkat kata, Teguh Pribadi
dibimbing olehnya.
Masalahnya adalah, kepribadian Teguh Pribadi ternyata tidak seteguh Merapi. Belum
genap dua bulan, pemuda itu menghilang dan tak dapat dihubungi sama sekali. Hingga suatu
hari, seperti yang telah kusinggung sedikit di atas, banyak orang menghubungi Danu dan
menanyakan kejelasan Teguh Pribadi. Dari semua yang menghubungi itu, total utang Teguh
diperkirakan mencapai kurang lebih satu juta. Danu malu sekaligus murka. Ia merasa
kebersamaannya selama itu dengan Teguh Pribadi tidak meninggalkan kesan apa-apa selain
adab dan etika yang busuk.
Maka, setelah mengucap sumpah untuk memberi perhitungan pada Teguh Pribadi,
langit ketujuh bergetar, dan semesta segera merancang pertemuan itu dengan algoritma yang
tak bisa terbaca manusia biasa; intinya, seminggu kemudian Danu bertemu Teguh Pribadi di
rumah kontrakan temannya. Dan Teguh Pribadi dengan manisnya melempar senyum pada
Danu. Ia ajak Teguh ke suatu tempat.
“Ke mana, Dhe?” tanya Teguh. Danu kerap dipanggil Pakdhe oleh seluruh
kenalannya, karena aura sepuhnya itu.
“Ngopi. Aku baru menemukan warung kopi enak,” jawab Danu. Dan Teguh Pribadi
senyum kembali sembari jingkrak-jingkrak kambing.
Dengan dua motor, mereka berangkat. Danu membonceng Teguh Pribadi, dan satu
motor lagi dibawa oleh salah seorang sahabat Danu yang berasal dari Pulau Bangka. Danu
sengaja mengajak sahabatnya itu, agar bisa mengontrol murkanya jika sewaktu-waktu
kebablasan. Teguh Pribadi terheran-heran saat seluruh deretan warung kopi dilewati. Dan
perasaannya semakin tak menentu saat motor yang ditumpanginya menuju ke sebuah
lapangan. Dan di sanalah Teguh Pribadi disuguhi “kopi pahit” oleh Danu. Kejadian ini
mungkin mengingatkan kita pada skema peristiwa Genosida ’65 atau Lubang Buaya.
Mungkin itulah saatnya harimau peliharaan Danu bekerja; ia nyawiji dalam tubuh
Danu yang seketika membuat majikannya garang. Si Pemuda Bangka menyangka Teguh
akan habis malam itu. Tapi ternyata tidak.
“Aku tidak tega,” kata Danu pada sahabatnya itu. “Perutnya lebih lembek dari
payudara silikon. Dia juga menangis terkaing-kaing, dan berjanji akan mengangsur pelunasan
utangnya.”
Kurasa harimau gaib milik Danu mudah tersentuh dan berbakat menjadi penggemar
telenovela.

Harimau pulalah yang dijadikannya penanda saat ia jatuh cinta. Untuk urusan asmara,
entah kenapa, sejak tertolak cintanya oleh seorang gadis yang sempat kusinggung di atas,
Danu selalu berurusan dengan wanita-wanita matang. Jika bukan janda, pastilah istri orang
yang sudah beranak. Seperti saat ini, Danu sedang kasmaran dengan seorang janda asal
Surabaya. Sejak perkenalan dari grup spiritual di facebook, ia kerap membuat status
WhatsApp, dan ia akan sangat senang jika si janda melihat statusnya itu. Status yang paling
sering muncul adalah foto harimau yang tengah menggigit setangkai mawar merah, dan Danu
selalu menyertakan caption di bawahnya: “Sardula Ketaman Asmara” atau “Harimau Jatuh
Cinta”.
Janda itu bernama Yulia, dan memiliki ketertarikan yang sama dengan Danu di
wilayah magis-spiritual. Yulia bercerai tiga tahun lalu. Dua puluh tahun sebelum cerai, si
ayah mengirim surat ke Jakarta, kota tempat Yulia melanjutkan studi. Dalam surat itu, si ayah
meminta Yulia untuk segera pulang ke Surabaya. Ia dibuat terkejut saat mendapati tenda dan
banyak kursi di depan rumahnya. Ternyata dirinya dititahkan sang ayah untuk menikah
dengan seorang bandot tua yang terkenal sebagai bandar judi. Si ayah menumpuk utang
padanya dan seperti jalan cerita yang sering kita temukan, utang itu akan pupus jika Yulia
mau diperistri si Bandot. Setelah sekian tahun pernikahan, si bandot tua memutuskan untuk
bercerai karena menurutnya Yulia tak mampu memberi keturunan.
Kehadirannya dalam hari-hari Danu tentu saja karena beban deritanya. Ia bercerita
pada Danu, saat ini tengah dijangkiti suatu penyakit aneh; setiap menjelang magrib, darah
kental keluar dari liang peranakannya. Persis seperti perempuan yang keguguran.
Bukan Aditya Danu Iswara jika tidak menaruh simpati sedikit pun dengan apa yang
diceritakan si janda. Itulah sebabnya ia berusaha penuh-seluruh, dengan segenap kemampuan
yang dikuasainya. Dengan ilmu terawangannya, ia melihat sebentuk makhluk kecil bertanduk
dan berkulit merah menempati rahim Yulia. Danu melepas raganya dan segera terbang ke
kota Yulia tinggal. Dan di sana, ia seret keluar setan kecil itu dari dalam rahim Yulia, ia bawa
melesat ke langit, dan dari langit itu ia lempar makhluk itu ke laut selatan seperti melempar
buah kelapa. Makhluk kecil itu disimpulkan Danu sebagai kiriman dari mantan suami Yulia,
karena kesumat dendamnya pada Yulia. Dan dari konfirmasi Yulia, sehari sebelum jatuh
talak, mereka berbantah-bantahan tentang siapa yang benar-benar mandul. “Kau yang tidak
bisa membuahiku, kambing tua. Sel spermamu cacat karena usia dan kebiasaan minummu,”
begitu kalimat terakhir Yulia pada si bandot.
Berangsur-angsur, kondisi janda itu membaik memang. Tentu ditunjang dengan
racikan jamu sirih yang rutin ia minum saban hari. Di hari ketujuh setelah pelemparan hell
boy itu, kondisi rahim Yulia benar-benar bersih, tak setetes pun darah keluar. Dan rasa
sayang pun tumbuh dalam batinnya. Kerap ia pandangi gambar foto profil WhatsApp Danu
sebelum tidur. Dan dalam setiap tidur itu, pasti Yulia bertemu dengan Danu dengan latar dan
waktu yang sangat lampau. Seolah keduanya sepasang kekasih di zaman Majapahit yang
sedang berkasih-kasih di pinggir sungai atau telaga.
Dan kau tahu, mimpi-mimpi Yulia itu sebenarnya adalah garapan Danu belaka.
Sebelum tidurnya, Danu selalu merapal beberapa kalimat mantra yang tak bisa kutuliskan di
sini, dan setelah menepuk bantalnya tiga kali, dipastikan keduanya bertemu dalam mimpi
yang sama. Bedanya, Danu pasti terbangun dengan celana yang basah beraroma pandan.
Hari-hari mereka lewati dengan bertukar pesan melalui segala media sosial. Dan
setiap Yulia mengunggah fotonya atau memperbarui status di facebook, bisa dipastikan
muncul komentar Danu di sana. Begitu pula sebaliknya, Yulia selalu menghadiahkan hati
merah di setiap status Danu. Sampai suatu hari, sebulan setelah mereka berkomunikasi
layaknya sepasang kekasih, Yulia tiba-tiba menghilang dari peredaran. Lewat akun apa pun,
Danu tak bisa menghubunginya. Dan tiga hari kemudian, Yulia memohon maaf karena pada
hari-hari kemarin, ia mesti merawat ibunya di kampung. Tapi dari kalimat Yulia, Danu tidak
menemukan kehangatan yang kemarin. Bentuk dan rasa kalimat itu setara dengan dinginnya
kalimat chat ibu kos yang tengah menagih uang bulanan.
Maka, Danu memutuskan berangkat ke Surabaya, untuk memastikan hal yang
terselubung itu. Penerawangan? Ah, percayalah, kawan pembaca yang budiman, sesakti apa
pun seseorang, jika hati atau batinnya diobrak-abrik, apalagi oleh masalah cinta, niscaya ilmu
terawangan apa saja akan mati fungsi.
Danu berangkat ke Surabaya dengan prasangka yang memenuhi kepalanya. Sepanjang
perjalanan kereta dari Stasiun Lempuyangan, ia hanya diam dan bergelut dengan segala
pikiran. Biasanya ia supel dan hangat bahkan dengan orang baru, tapi hari itu, tawaran
makanan dari orang di sebelahnya pun hampir tidak ia acuhkan. Untungnya, rasa lapar
mengomandokan tangannya untuk menerima pisang goreng itu, dan menggerakkan bibirnya
untuk mengucap terima kasih.
Dan di Surabaya, Danu sama sekali tidak menemukan batang hidung Yulia. Janda itu
ternyata hanya memberinya alamat fiktif. Di saat itulah semesta menghiburnya dengan
mengirim dua orang preman. Tepat saat azan magrib menggema di langit Surabaya.
“Kalau aku bukan orang sini, kate lapo, Koen?” jawab Danu setelah dua orang itu
menanyakan latar belakangnya. Preman-preman itu kemudian memaksanya untuk
memberikan uang seharga dua bungkus rokok. Dan itulah waktu yang tepat bagi harimau
gaib bekerja. Ia menunggal dengan wadag Aditya Danu Iswara, dan sejenak kemudian, otot-
otot tubuhnya mengeras. Hingga kumandang kalimat azan terakhir, dua orang kecoak itu
sudah babak bundas. Salah seorang patah tangan dengan empat baris cakaran di wajahnya.
Seorang lagi diterjang Danu hingga tercebur ke aliran sungai Kali Jagir. Setelah itu barulah ia
mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan menyelipkannya di kantung si preman
yang patah tangan.
“Coba kalau kalian minta baik-baik tadi, tentu tidak begini ceritanya, ini untuk
berobat ke sangkal putung, sisanya tambah sendiri,” jawab Aditya Danu Iswara dengan
jatmika. Setelah itu ia angkat kaki dari situ, dan segera melenyapkan diri dari kota yang
memberinya nestapa itu.
Dua hari setelahnya, Yulia mengabari dirinya, bahwa ia tidak bisa lagi berkasih-
kasihan. Ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Kekhawatirannya yang lain adalah, Danu
masih perjaka muda dan belum pernah mencicipi kehidupan rumah tangga. Ia takut jika suatu
saat, masa lalu Yulia disinggung-singgung seandainya mereka benar-benar menikah.
Sebenarnya, cerita ini sudah kuberi judul Bagaimana Seorang Janda Menunggangi
Seekor Harimau, tapi saat cerita ini selesai, ponselku berbunyi, dan saat kuangkat, ia
membuka pembicaraan dengan nada yang tinggi.
“Hei, Boy. Mbok kasih judul yang enaklah buat ceritamu!”
“Lha sampean mau judul yang kayak gimana, Lik?”
“Harimau Tersedak Duri Mawar saja. Wangun dan cukup satire, itu!”
Padahal ia tak kuberitahu sama sekali terkait pembuatan cerita ini. Maka, sebagai
jaminan keselamatanku, kuganti judul cerita ini dengan judul pilihannya. [*]

Yogyakarta, 14 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai