“Huh, dasar Kera bodoh,” ucap Harimau. Ia berkata begitu sambil menerkam punduk Kera.
Kera mengaduh. Ia terkejut dan kesakitan. Kera berupaya melepaskan diri, namun
cengkeraman gigi Harimau teramau kokoh. Makin berusaha melepaskan diri, makin kuat
tancapan gigi itu di Pundak Kera.
“Kamu pendusta!” maki Kera dengan suara tertahan.
“Kamu sendiri yang bodoh, Kera. Mana mungkin aku tega membiarkan daging selezatmu
lenyap begitu saja!”
“Kamu dusta akan pulang!”
“Kamu bodoh percaya saja!” ucap Harimau dengan suara menggelegar. Ia berkata begitu
sambil menguatkan cengkereman gigi-giginya pada tengkuk sang Kera. Sang Kera sungguh
tak berdaya. Suaranya tersekat di tenggorokan. Tenaganya tak mampu membebaskan
dirinya marabahaya itu.
Pada saat yang kritis itu ditibalah sang Kancil ke tempat itu. Kancil terkejut menyaksika
kejadian di depan matanya. Ia bermaksud menyelamatkan sang Kera. Ia tahu, selama ini
Harimau pantang makan Kera, tapi sekarang? Kenapa bisa begitu?
“Kalian kenapa, hah? Kamu kenapa, Harimau?” ucap Kancil dengan suara keras. Suaranya
menghentakkan kesenyapan dan menghentikan Tindakan Harimau. Gigitan Harimau
mengendur.
“Hentikan!” bentak Kancil.
Harimau menurut. Gigi-giginya terlepas dari tengkuk Kera. Wajahnya tak lagi garang. Ia
menurut perintah Kancil. Bukan karena takut dengan tubuh hewan itu. Ia takut, karena
Kancil itu bukan Kancil sembarangan. Ia penasihat Raja Singa, raja di kerajaan rimba itu.
“Kamu kenapa, Harimau?” tanya Kancil sambil menatap tajam mata Harimau.
“Aku mau menyantapnya, Cil,” jawab Harimau dengan wajah tanpa dosa.” Kamu hendak
menentang takdir? Kamu tidak setuju kalau bangsaku menjadi bangsa pemangsa?”
“Bukan begitu, Sobat,” jawab Kancil sambil menggelengkan kepala.” Aku belum mengertu
duduk persoalan yang sebenarnya. Karena sejak tadi ku dengar, kamu bersikeras hendak
memakan Kera, sementara itu Kera bersikeras juga menentang. Bukankah itu keluar dari
kebiasaan, Harimau? Biasanya kamu memburu dan memangsa hewan tanpa berkata.
Biasanya pula, hewan yang kamu buru itu tidak mempunyai kesempatan berkata-kata.
Sementara sekarang?” ucap Kancil sambil bergonta-ganti manatap Harimau dan Kera.
“Karena aku tidak ikhlas, Cil. Aku merasa ditipu,” Girilan Kera yang bersuara.
“Nah, ini menarik,” sambut Kancil sambil tersenyum-senyum.” Coba ceritakan, Ra,” pintanya
kemudian kepada Kera.
Tanpa diminta dua kali, Kera langsung berkisah secara lengkap. Kancil menyimak dengan
saksama. Sambil mendengar kisah Kera, sesekali kepalanya terangguk-angguk.
“Betul begitu, Harimau?” tanya Kancil usai mendengar kisah sang Kera.
“Memang,” jawab Harimau sambil mengangguk keras.
“Oh… begitu ya,” ucap Kancil diakhiri dengan termenung. Ia memikirkan cara untuk
mengatasi masalah itu.
“Kamu seperti masilh bingung, Cil? Apa benar begitu?” tanya Harimau sambil menatap
wajah Kancil. Dahinya berkerut-kerut.
“Tebakanmu betul, Sobat.”
“Bagian mana?”
“Aku belum mampu membayangkan bagaimana keadaanmu sebelum berjalan-jalan ke sini.”
“Maksudmu, waktu dalam kerangken?”
“Ya.”
“Maksudmu, kamu ingin melihatnya?”
“Kalau kamu mau!”
“Kenapa tidak?” jawab Harimau dengan cepat.” Ayo, ikut aku,” pintanya kemudian.
Tanpa menunggu persetujuan dari kedua teman bicaranya, Harimau langsung berlari dari
tempat itu. Kancil dan Kera mengikutinya. Keduanya cukup kelabakan menghimbangi
kecepatan lari sang Harimau. Katanya lapar, kok dapat berlari begitu kencang, ya?
Setelah cukup lama berlari, ketiganya tiba di tempat pemburu menyimpan kerangkeng.
Setibanya di sana, Harimau langsung membukakan pintu kerangkeng dan masuk ke
dalamnya. Tanpa berkata- kata, Kera langsung mengunci gembok kerangkeng itu.
“Nah, persis begini, Cil,” ucap Harimau sambil melemparkan senyuman kepada Kancil.
“Betul begitu, Kera?” Kancil malahan bertanya kepada Kera.
“Betul sekali, Cil,” jawab Kera sambil menggangguk.
“Nah, karena aku sudah paham, mari ikut aku,” ucap Kancil sambil menarik lengan Kera.
Kera tidak tahu maksud ucapan Kancil, namun ia tidak menolak. Kera dan Kancil bergegas
meninggalkan tempat itu.
Harimau tertinggal sendirian. Mulanya ia tidak mengerti maksud Kancil. Ia hanya menatapi
kepergian kedua hewan itu dengan bibir yang masih tersenyum. Namun semakin jauh kedua
hewan itu melangkah, semakin memudar senyumnya. Makin lama wajahnya berubah kecut.
Harimau sadar bahwa dirinya telah dibodohi. Harimau menangis menyesali diri. Harimau
meraung-raung sambil mengguncang-guncang kerangkeng yang kekar.
KANCIL DAN
SABUK DEWA
Pagi cerah. Angin yang berembus sepoi-sepoi manyapa penghuni bumi dengan elusan
hangatnya. Cahaya matahari menebarkan pesona kehangatannya. Mengghangatkan tanah
dan bebatuan hingga mengepul, mengeluarkan air hujan yang semalam menimpanya.
Menggahangat tumbuhan hingga daun-daun menggeliat dan menjatuhkan titik-titik embun
yang semalam berlinangan. Menghangatkan tubuh satwa-satwa hutan hingga mengibaskan
selimut dari dedaunan dan rerantingan.
Kancil menikmati suasana pagi. Sejak tadi ia keluar dari tempatnya tinggal. Beberapa saat ia
berdiri mematung di pelataran rumahnya. Kancil takjub dengan keindahan panorama alam.
Sungguh nuansa alam yang memesona. Sungguh pemandangan buana yang tak terhingga
daya tariknya.
Tatapan Kancil menuju ke hamparan rumput nan hijau. Setelah memandanginya sejenak,
Kancil memakan rumput yang ranum itu. Uf… semerbak aroma rumput itu masuk ke indra
penciumannya. Uf… rasa rumput segar itu begitu lezat dan maknyos. Kancil menikmati
makanannya.
Ketika asyik merumput, tiba-tiba Kancil mencium bau sesuatu. Karena pengalaman hidupnya
di hutan cukup lama, ia tahu betul bau apa yang masuk ke hidungnya. Tak akan salah, itu
bau hewan pemangsa. Pasti, hewan pemangsa yang berada tak jauh dari dirinya itu adalah
Harimau, si Raja Hutan.
Kancil tahu diri. Ia tidak mungkin menghadapi Harimau itu dengan mengandalkan
tenaganya. Ia harus memeras otak. Hanya dengan akalnyalah ia mungkin dapat
mengalahkan si Raja Hutan. Kancil tidak menemukan jalan lain. Satu-satunya jalan, ia harus
menipu hewan buas itu. Menurut Kancil, apa yang akan dilakukannya memang menipu,
tetapi menipu untuk menyelamatkan diri. Kancil berharap, tindakannya tidaklah termasuh
dosa.
Dugaan Kancil benar. Tak lama kemudian ia melihat Harimau sedang mengedap-endap
hendak menerkannya secepat kilat Kancil membalikkan badan dan berseru lantang.
“Hentikan!”
Suara Kancil yang membahana membuat Harimau terkejut. Langkah kakinya terhenti
tatapannya kepada Kancil tak lagi jalang. Ia kini berjalan perlahan menghampiri makhluk
buruannya itu.
“Kamu takut dimakan?” tanya Harimau dengan sikap Kembali garang.
“Kalo soal takut, jangan ditanya, Harimau,” jawab Kancil dengan suara lembut.” Siapa sih
yang tidak takut sama kamu? Jangankan aku makhluk yang lemah, gajah juga pasti takut.
Bahkan, manusia yang memiliki akal pun pasti gentar jika berhadapan langsung dengan
mu.”
“Lalu? Kenapa menghalangi?” bentak Harimau dengan suara menggelegar. “Berani
melawanku?” tanyanyah lagi.
“Takut bisa sama artinya dengan tidak berani, Harimau,” jawab Kancil sambil tersenyum.
“Kamu?”
“Aku takut sama kamu, Harimau. Mana berani bertarung melawanmu? Mana mungkin aku
mampu mengalahkanmu? Itu sama artinya dengan pungguk merindukan bulan.”
“Lalu maumu?”
“Begini Harimau yang baik hati “ucap Kancil dengan suara tenang. Setelah berhenti sesaat,
ia melanjutkan ucapannya.” Sebetulnya aku gembira sekali bertemu denganmu di sini. Telah
berhari-hari aku sengaja mencarimu. Pucuk di cinta ulam tiba, begitu kata pujangga.”
“Kenapa susah-susah mencariku?”
“Aku di utus oleh Dewa Pengusaha Hutan, Harimau,” jawab Kancil dengan sikap semakin
tenang.
Harimau terperangah mendengar kata- kata Kancil. Beberapa saat mulutnya melongo dan
matanya tak berkedip. Beberapa saat kemudian, matanya meneliti wajah Kancil. Harimau
akhirnya sadar, Kancil yang sedang berdiri di depannya bukanlah hewan biasa. Ia adalah
penasihat kerajaan. Sebagai hewan penting di Kerajaan Rimba itu, tentu saja Kancil bisa
mendapatkan hal-hal yang aneh, termasuk menerima wangsit dari dewa. Kemudian…. Yang
membuat Harimau luluh hatinya adalah ucapan Kancil yang menyebutkan Dewa Pengusaha
Hutan telah mangutusnya.
Harimau bersikap tenang. Ia tidak seperti sedang berhadapan dengan makhluk yang akan
dimangsanya. Juga tidak seperti berhadapan dengan hewan jelata. Ia merperlakukan Kancil
sebagaimana layaknya penghuni keratan yang terhormat.
“Apa berhubungan denganku, Cil?” tanya Harimau dengan penuh rasa penasaran.
“Tentu iya, Harimau. Buat apa aku capek-capek mencarimu, kalau ucapan Dewa itu bukan
untukmu?”
“Berita baik atau buruk?”
“Kebetulan berita baik!”
“Cepat katakana,” pinta Harimau dengan sikap tak sabar.
“Ehm… baiklah,” sambut Kancil sambil membetulkan letak berdirinya. Setelah menarik napas
Panjang, ia berkata lagi.” Aku yakin kamu tentu sudah mendengar nama Sabuk Dewa. Sabuk
Dewa adalah sabuk kerajaan dewa yang mahasakti. Siapa saja yang mengenakan sabuk itu,
pasti ia akan menjadi sakti madraguna. Segala ucapannya akan menjadi bukti. Ia juga dapat
terbang dan menghilang. Apa kamu tertarik, Harimau?”
“Apa hubungannya denganku?” Harimau tidak menjawab pertanyaan Kancil. Ia malah balik
bertanya. Rupanya rasa penasaran telah semakin merasuki jiwanya.
“Sang Dewa akan mengannugerahkan Sabuk Dewa itu padamu.
“Padaku?” tanya Harimau dengan mata membelalak.
“Ya, jika kamu mau aku akan membawamu ke tempat benda keramat itu berada.”
“Tentu, Cil,” sambut Harimau dengan antusias.” Ayo,” lanjutnya sambil menggaet tangan
Kancil dan memaksanya pergi dari tempat itu.
Kancil tidak menolak karena memang itu rencananya. Ia berjalan beriringan dengan
Harimau. Kancil terus membawa hewan yang sekarang mendadak jinak itu kesuatu tempat.
Sesampainya di sana, tatapan Kancil langsung mencari-cari sesuatu. Kebetulan sekali benda
yang dicarinya masih berada di sana.
“Nah, itu dia!” ucap Kancil sambil menunjuk sebuah benda bulat melingkar bewarna hijau di
dalam kayu yang rendah.
“Kok kecil, Cil,” ucap Harimau dengan dahi mengernyut.
“Yang penting khasiatnya, Bung!” ujar Kancil sambil tersenyum.
“Bagaimana caranya?”
“Karena itu milikmu, caranya amat mudah, Harimau. Kamu tinggal berjalan saja ke sana dan
mengambilnya langsung. Dengan cara menungkup dulu beberapa saat. Tapi ingat,
menghampirinya harus sambil mundur. Lalu…., saat menungkup dengan tanganmu itu,
matamu harus terpenjam. Bisa?”
“Mudah, Coy!” jawab Harimau penuh semangat. Wajahnya pun berseri-seri.
Harimau menjalankan ucapan Kancil. Ia berjalan mundur mendekati benda yang disebut
Sabuk Dewa itu. Begitu tiba, ia langsung membalikkan badan sambil menutup mata. Kedua
tangannya menungkup benda bulat hijau itu. Kancil menyaksikan semua itu sambil
tersenyum-senyum. Ketika Harimau membuka tutupan tangannya dan membuka matanya,
Kancil cepat menjauh dari tempat itu.
Apa yang terjadi pada Harimau? Apakah sama dengan yang diperkirankan oleh Kancil?
Benda itu begitu dibuka akan mengulur. Ia akan mengubah bentuk dari bulat menjadi
Panjang. Setelah itu, ia akan menyerang Harimau. Ia akan mematuk mata dan kepala
Harimau. Itu perkiraan Kancil yang pertama.
Dugaan Kancil yang kedua. Benda yang telah terurai menjadi bulat Panjang itu akan
menerjang pinggang Harimau. Harimau akan dibelitnya. Belitannya semakin lama semakin
kuat. Harimau akan kepayahan. Ia akan merasakan tubuhnya lemah. Darah di dalam
tubuhnya akan berhenti mengalir. Begitu juga detak jantungnya akan melemah. Ketika
jantungnya hampir berhenti berdetak, benda itu akan mematukkan mulutnya ke wajah
Harimau. Saat memtuk, ia akan mengeluarkan bisanya yang ganas. Harimau akan mati
karena bisa itu. Bisa karena tulang-tulang tubuhnya remuk dililit dan diremas benda itu.
Kanci menduga seperti itu karena ia tahu benda yang ada di bawah tangan Harimau adalah
Ular. Kancil sengaja melakukan hal itu karena teringat akan dongeng neneknya tanpa hari.
Dulu neneknya pernah mengalahkan Harimau dengan cara seperti itu. Benda yang dulu
dipakai untuk menjebak Hariamu adalah Ular, jenisnya Ular Piton.
Kancil terus berjalan menuju ke tepi hutan. Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan
Harimau yang sedang bergumul melawan kematiaanya. Lamunan Kancil mendadak berhenti
Ketika ia mendengar suara auman keras di belakangnya disertai dengan suara bergebuk
keras.
“Dapat kamu, Kancil keparat!” Suara Harimau menghentikan Langkah kaki Kancil.
Kancil terperangah Ketika ia lihat, Hariamu yang tadi dijebaknya kini berada di belakangnya.
Kancil membalikkan badan untuk meyakinkan penglihatannya. Benar, itu adalah Harimau
yang dikenalnya.
“Kamu?” ucap Kancil antara sadar dan tidak.
“Iya, ini aku,” jawab Harimau sambil mengangkat dada. “Kamu kira aku telah mati karena
kecerdikannmu itu?”
“Kamu eh…”
“Kamu cerdik tapi bodoh, Kancil,” ucap Harimau dengan nada sinis.” Cerdik karena mau
menjebakku. Sayang kamu bodoh. Kenapa tiak kamu gunakan Ular Sanca atau Pinton?
Kenapa hanya ular kampung?”
“Jad…”
“Mudah sekali melumpuhkan si Ular Pohon itu, Cil. Ketika hendak menyerangku, ku dahului
saja menangkapnya. Ku patahkan tubuh ular itu. Ku robek-robek kulitnya. Lalu, ku lumat
dagingnya dengan taring dan gerahamku ini. Ular itu kini telah jadi ganjal perutku, Cil.”
“Oh…”
“Jangan uh-ah, oh-oh kaya anak kecil yang polos, Cil. Sekarang terima ini!” Harimau berkata
begitu sambil menyerang Kancil.
Kancil tidak waspada. Serangan Harimau tidak mampu dihindarkannya. Dalam sekali
serhapan saja, kepala Kancil sudah berada di dalam mulut Harimau. Kancil lagi-lagi sadar
bahwa dirinya dalam bahaya. Kematian Kembali menyambutnya. Kancil merasa hanya
memiliki kemungkinan kecil untuk dapat menyelamatkan diri. Namun, sekecil apa pun
kesempatan itu, ia harus mengambilnya.
Ternyata cengkereman mulut Harimau tidaklah kuat. Entah apa sebabnya. Mungkin Harimau
akan mengulur-ulur waktu untuk melumpuhkan Kancil. Mungkin ia ingin makhluk yang tadi
mengibulinya mati perlahan-lahan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kancil. Dengan sekuat tenaga ia membuka mata.
Tanpak di sekelilingnya gua yang menyeramkan. Ada stalaktit, ada stalagmit. Ada daging
bewarna merah darah. Ada urat-urat yang berdenyut-denyut. Di bagian dalam, Kancil
melihat seuntai daging menjuntai dari langit-langit rongga mulut Harimau. Tatapan mata
Kancil terus tertanam pada benda itu.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Kancil menarik satu kaki depannya ke mulut Harimau. Kancil
dapat melakukannya. Rongga mulut
Harimau dirasanya longgar. Kancil memajukan kakinya itu ke depan, ternyata bisa. Kancil
menghimpun sisa-sisa tenaganya. Setelah terkumpul, ia menerjangkan kakinya ke benda
yang menjadi incarannya sejak tadi. Kenal! Benda itu berdarah. Kancil terus menerjang-
nerjangkan kakinya pada benda itu. Kenal! Benda itu terkoyak dan akhirnya putus.
Bersamaan dengan putusnya benda di rongga mulut Harimau, tubuh si Belang pun ambruk.
Suara gedebuk keras terdengar saat tubuh besar Harimau beradu dengan tanah yang keras.
Begitu tubuh itu jatuh terjerembap, mulutnya pum menganga. Kancil tidak membuang
waktu. Dengan tenaganya yang hampir habis, ia mengluarkan sebelah kaki dan kepalanya
dari dalam mulut Harimau itu.
Beberapa saat lamanya Kancil menatapi tubuh Harimau yang sudah tak bernyawa itu. Ia
hampiir tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Namun, ia bersyukur
karena masih diberi kepercayaan untuk hidup. Kancil beranjak pergi dari tempat itu.
KANCIL, KUDA,
DAN SERIGALA
Raja Kuda adalah raja di kerajaan Rimba Raya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana.
Ucapannya selalu dituruti oleh segenap rakayatnya. Tindakannya selalu menjadi suri
teladan. Rakayat Kerajaan Rimaba Raya hidup dengan tenang, Makmur, dan sejahtera.
Suatu hari Raja Kuda berjalan-jalan ke pelosok kerajaan. Ia sengaja berjalan sendirian tanpa
didampingi oleh pengawalnya. Ia juga berjalan tanpa mengenakan mahkota kerajaan. Raja
Kuda sedang menyamar. Ia menjadi rakyat biasa. Ia ingin menyaksikan kondisi kerajaan
yang sebenarnya. Ia ingin menerima keluhan dari rakyatnya secara langsung demi perbaikan
tindakannya dalam memimpin kerajaan.
Di satu tempat Raja Kuda berpasan dengan pemburu. Entah apa sebabnya, pemburu itu
berniat menangkap Raja Kuda. Mungkin tertarik dengan penampilannya yang tampan.
Rupanya pemburu itu ingin menjadikannya sebagai kuda tunggang. Raja Kuda sadar akan
keadaan. Begitu melihat gelagat yang tidak baik, ia cepat-cepat kabur. Pemburu tidak
membiarkan buannya pergi begitu sajaj. Pemburu mengejarnya. Raja Kuda lari amat cepat.
Ketika dirinya sudah berada cukup jauh, Raja Kuda melompak ke dalam semak. Sayang, kaki
Raja Kuda menginjak duri. Duri itu cukup Panjang dan runcing. Raja Kuda kesakitan. Ia
berusaha mengeluarkan duri itu, mamun ia tak bisa. Raja Kuda akhirnya pasrah. Ia
bersembunyi di tempat itu sampai suasana betul-betul aman. Raja Kuda tak lagi melihat si
pemburu itu.
Ternyata Raja Kuda belum aman. Tiba-tiba keberadaannya diketahui oleh Serigala. Lama
sekali Serigala mengintip gerak-gerik Raja Kuda. Serigala kaget Ketika tahu bahwa Kuda
yang dilihatnya adalah raja di kerajaan itu. Rasa terkejut Serigala tidak lama, berganti
dengan rasa senang. Serigala sudahl lama menunggu kesempatan itu. Sejak lama ia
menunggu waktu untuk membalas demdam pada Raja Kuda. Pada saat pemilihan raja, Kuda
itulah yang mengalahkan dirinya dalam pencalonan. Serigala kecawa. Serigala manaruh
demdam. Ia iri pada Raja Kuda.
Serigala jalan mengendap-endap menghampiri Raja Kuda. Begitu dekat, ia langsung
menyergap Raja Kuda. Mulutnya mencengkeram punuk Raja Kuda. Bukan main terkejut dan
sakitnya Raja Kuda. Ia tidak menyangka akan menerima serangan dari Serigala. Punuknya
pun terasa sakit sekali. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kesakitan seperti itu.
“Serigala, apa yang kamu lakukan?” tanya Raja Kuda sekadar berbasa-basi.
“Apa? Apanya yang apa?” Serigala balik bertanya. Tatapannya seperti diselimuti rasa heran.
“Apa kamu tidak tahu siapa aku?” tanya Raja Kuda lagi dengan tatap menyelidik.
“Justru aku tahu, Raja Kuda yang sombong,” jawab Serigala sambil tersenyum. “Karena aku
tahu siapa kamu, maka aku mau membunuhmu. Aku akan memakan dagingmu selahap-
lahapnya. Bukan saja aku akan kenyang, hai Raja Kuda. Reputasiku juga akan naik. Semua
akan segan padaku. Semua akan menaruh hormat padaku, serigala yang mampu
mengalahkan Raja Kuda yang congkak.”
“Congkak?” ucap Raja Kuda sambil mengerutkan dahi. Apa tidak sebaliknya? Pikirnya.
“Sudahlah, jangan banyak bisara!” Serigala membentak. Ia Kembali akan melanjutkan
aksinya memangsa Raja Kuda itu.
Saat Serigala hendak menjalankan niatnya, sang Kancil datang. Begitu tahu siapa yang
hendak diterkam oleh Serigala, ia langsung melompat.
“Hai, hentikan!” teriak Kancil sambil menghalangkan tubuhnya ke tubuh Serigala.
“Kamu, Cil,” ucap Serigala sambil memundurkan kakinya yang tadi siap menerjang. “Ehm….
Kebetulan sekali. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampui, “ucapkan lagi diakhiri
dengan tersenyum renyah.
“Maksudmu, kamu juga akan memangsaku?” tanya Kancil mencoba menebak.
“Pikiran yang cerdik,” sambut Serigala sambil mengacungkan jempol. “Sama cerdiknya
dengan otakku. Aku akan memakan dagingmu juga, Cil.”
“Ehm… begitu, ya?” ucap Kancil sambil manggut-manggut.
“Kamu keberatan?”
“Soal aku dimakan olehmu, aku sama sekali tidak kebaratan. Tapi, kamu harus mikir dua kali
jika hendak memakan tuanku Raja Kuda.”
“Memangnya kenapa?”
Karena kamu akan celakan, Serigala, “jawab Kancil sambil tersenyum.
Celaka? Kata-kata itu seketika bercamuk dalam pikiran Serigala. Mengapa harus celaka?
Bukankah untuk besar yang akan didapatkan? Ah, si Kancil ini ada-ada saja. Begitu pikir
Serigala.
“Lihat, duri itu Serigala yang pintar,” ucap Kancil sambil menunjuk duri yang menangcap
dalam di kaki Raja Kuda.
“Iya, aku melihatnya. Memangnya kenapa?” tanya Serigala sambil menatapi wajah Kancil. Ia
tidak mengerti jalan pikiran lawan bicaranya itu.
“Ah, kenapa kamu kehilangan akal cerdikmu, Teman,” ucap Kancil dengan kata-kata yang
menggugah rasa penasaran Serigala.
Serigala memang penasaran. Namun ia tak ingin dianggap bodoh. Ia mencoba menebak-
nebak sendiri maksud ucapan Kancil. Uf, …Serigala tetap tak mamahaminya.
“Kala kamu mamakan Tuanku Raja Kuda maka kamu akan turut mati. Duri di kaki Tuanku
Raja itu duri berbisa. Kini bisanya telah menjalar di sekujur tubuh Tuanku Raja. Jika kamu
memakannya, maka kamu akan tertulari lebih bisa duri itu.”
“Tapi, sampai kapan pun aku tetap akan memankannya, Cilh. Sebuah kehormatan besar jika
aku dapat memakannya. Tujuh turunanku akan menghargai prestasiku ini.”
“Lho, memangnya siapa yang akan menentang maumu itu?” ucap Kancil sambil menatap
tajam mata Serigala.
“Kamu?”
“Ada satu cara agar kamu terhindar dari bisadi duri itu, Serigala,” ucap Kancil. Beberapa
saat kemudian Kancil berdiam diri. Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sikap Kancil Kembali
mengundang tanda-tanda. Namun, lagi-lagi pula Serigala tak mau bertanya. Ia takut dikatai
dungu. Ia hanya menuggu. Menunggu sang Kancil menjelaskan maksud ucapannya.
“Kamu harus cabut dulu duri itu. Jiika tercabut, bisa itu otomatis akan keluar lagi dari tubuh
Tuanku Raja Kuda. Begitu, Serigala,” ucap kamcil mengakhiri penjelasannya.
“O…. begitu,” sambut Serigala sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Bagaimana?” tanya Kancil.
“Siapa takut!” sambut Serigala tanda sejutu pada usul Kancil. Tanpa berkata-kata lagi ia
mendekati kaki Raja Kuda. Raja Kuda mengikuti niat Serigala. Raja Kuda menjulurkan
kakinya. Serigala segera menangkap kaki itu dan memegang durinya. Kemudian, dengan
sekuat tenaga ia berusaha mencabutnya.
Raja Kuda telah sejak tadi mengtahui arah pikiran Kancil. Ketika Serigala memegang kakinya
dan tubuhnya tepat di hadapannya, Raja Kuda menghentakkan kakinya keras sekali.
Segenap tenaga ia himpun di kakinya. Dengan segenap tenaga ia tendang Serigala itu.
Tendangannya amat kuat. Tubuh Serigala terpental jauh. Tubuh Serigala melayang di udara.
Begitu jauh ke tanah, tubuh itu membentur batu besar. Buk! Suara keras terdengar saat
tubuh besar Serigala beradu dengan batu. Serigala langsung tak sadarkan diri.
Raja Kuda dan Kancil berpandangan. Keduannya menganggukkan kepala. Raja Kuda
mengajak Kancil pergi. Kancil tidak membantah. Ia berjalan seraya membimbing tubuh
rajanya. Mereka berjalan menuju ke istana kerajaan.
KANCIL DAN
RAJA BABI
Di kerajaan Margasatwa berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Siapa
yang paling jago, dialah yang dinobatkan menjadi raja. Kebetulan, satwa yang paling
digjaya di tempat itu adalah Babi Huta. Maka, dialah yang diusung oleh rakyat kerajaan itu
menjadi pemimpin mereka.
Pilihan rakyat ternyata salah. Raja Babi tidak Amanah dalam menjalankan tampuk
kepemimpinan. Ia menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ia semena-mena
mengumpulkan makan. Ia semena-mena memperlakukan makhluk lain.
Raja Babi tumbuh menjadi satwa yang sombong. Dalam segala hai, ia menunjukkan
keangkuaannya. Ia suka bicara sekenanya. Tak peduli ada yang tersinggung atau tidak.
Kalau marah, kata-kata yang terluncur dari mulutnya kasar dan pedas. Banyak rakyat
kerajaan yang sakit hati karena umpatan dan sumpah sarapahnya. Sakit hati mereka cukup
dalam. Rasa sakitnya melebihi sayatan sembilu pada kulit tangan. Lebih pedih dari goresan
golok pemburu pada daging satwa buruannya.
Saat berjalan, Raja Babi bertingkah sesuka hati. Tak pernah ia berjalan sambil menunduk.
Kepalanya selalu mendongak. Tak peduli ada hewan atau tidak di bawahnya, ia langsung
melangkah dan bahkan menginjaknya saja. Telah banya satwa kecil yang menjadi korban.
Kebanyakan korban adalah bangsa Semut. Ratusan ribu semut telah mati menjadi dedak
karena injakan kaki sang Raja Babi.
Penderitaan rakyat Kerajaan margasatwa semakin dalam. Mereka sudah kewalahan
menghadapi kelakuan rajanya itu. Mereka ingin sekali membuat jera rajanya. Tapi apalah
daya. Siapa yang berani menentangnya?
Jika ada yang berusaha menentang, atau sekadar mengingatkan, Raja Babi akan langsung
menghukumnya. Yang berbicara akan langsung diseruduk. Tubuhnya akan dipanggang
dengan taringnlya yang tajam dan Panjang. Kemudian, tubuhnya itu akan dilemparkan
sekuat tenaga. Kematian akan menyongsong satwa itu. Kalaupun tidak mati, minimal ia
akan cacat seumur hidup.
Raja Babi juga gemar merusak lingkungan. Kepalanya senang seruduk sana seruduk sini.
Pohon-pohon diseruduknya hingga banyak yang tumbang. Bangsa Kera banyak yang
kehilangan tempat tinggal. Tumbuhan berumbi diseruduknya hingga tercabuh. Umbi-
umbinya bertebangan di udara. Umbi-umbinya bergeletakan dan busuk. Tumbuhan itu mati.
Akibatnya, banyak satwa yang kelaparan karena makanannya tak ada lagi.
Rakyat Kerajaan Margasatwa mengadu kepada Kancil. Mereka percaya, Kancil yang terkenal
cerdik akan menemukan jalan keluar. Mereka percaya, Kancil yang tersohor pemberani akan
mampu membuat Raja Babi mati kutu.
Kancil menerima pengaduan dari rakyat kerajaan itu. Ia berusaha untuk menunaikan
kepercayaan itu. Ia mencari cara untuk membuat Raja Babi jera. Ketika cara itu ditemukan,
Kancil menantang Raja Babi untuk tanding berkelahi.
“Hehehe… lucu, lucu,” ucap Raja Babi begitu Kancil selesai menyampaikan tantangan.
“Apanya yang lucu, Baginda?” tanya Kancil sambil menatap rajanya penuh heran.
“Ya, lucu saja. Apa nggak mimpi? Makhluk kecil dan lemah sepertimu mengajakku
bertarung?” jawab Raja Babi diakhiri terrtawa terpingkal-pingka.
“Tapi kita belum mencobanya, Baginda. Saya yakin. Keberuntukan akan berpihak kepada
yang benar,” ucap Kancil dengan mantap.
“Pada kamu, maksudmu?” tanya Raja Babi seperti tidak percaya pada ucapan lawan
bicaranya.
“Iya dong,” sambut Kancil dengan tegas.
“Ehm… walaupun malas, aku akan mengalah.”
“Menerimak tantangan saya?”
“Kalau ada untungnya, kenapa tidak?”
“Tentu saja, tak akan mubzir, Baginda. Ada taruhannya. Jika saya kalah, daging saya yang
lezat ini boleh Baginda santap sepuas hati.”
“Nyantap Kancil? Ehm…. Kenapa tidak ku coba?”
“Tapi Baginda, eh….” Kancil tidak menyesalkan ucapannya. Ia sengaja melakuka hal agar
Raja Babi penasaran.
“Tapi apa?” tanya Raja Babi tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Tapi jika Baginda kalah, Baginda harus melayani saya selama hidup Baginda. Bagaiman?”
ucap Kancil serayap tersenyum-senyum nakal.
“Bedebah! Dasar makhluk tak rahu diri!” Raja Babi murka mendengar ucapan Kancil. Ia
merasa terhina. Tanpa berpikir Panjang lagi, diterimanya tantangan itu. Ia ingin segera
melihat lawannya terkapar. Ia ingin segera mencoba menyantap daging Kancil yang konon
paling lezat di seantero hutan ini.
Sebelum pertandingan ini digelar, Kancil mempersiapkan diri. Ia membuat sebuah topeng itu,
tak boleh ada yang mengira kalau dirinya bertopeng. Usaha Kancil amatlah sulit. Namun
karena ketekunan dan bantuan dari beberapa sahabatnya, usaha Kancil itu berhasil.
Hari yang ditentukan tiba. Rakyat Kerajaan Margasatwa telah penuh sesak di sekeliling
lapangan. Raja Babi telah lama berada di sana. Ia sengaja datang lebih awal. Ia ingin
memastikan pertarungannya di tonton oleh banyak rakyatnya. Ia ingin manyambut
kedatangan makhluk yang akan menyerahkan nyawanya.
Sejak tadi suasana riuh. Suara tepukan dan sorak-sorai telah bergemuruh, terutama dan
pihak-pihak yang disogok untuk mendukung Raja Babi bertanding.
Kancil tiba di tempat itu. Sorak-sorai dan dukungan gegap-gempita menyambut kedatangan
Kancil. Sang Kancil berjalan dengan tenang. Beda halnya dengan Raja Babi. Kedatangan
Kancil disambutnya dengan suara gemeretak giginya. Amarahnya memuncak apalagi Ketika
ia saksikan dukungan terhadap lawannya begitu besar.
Setelah aba-aba dimulai, kedua satwa beda bangsa itu langsung bertarung. Mereka saling
serang dan saling hinder. Keduanya sama-sama menumpahkan segenap kemampuan.
Keduanya sama-sama tak mau terkena serangan lawan. Mulanya pertandingan berjalan
seimbang. Namun lama-kelamaan jadi timpang. Raja Babi di atas angin. Ia menguasa
jalanan pertandingan.
Sebauh serangan tepat besarang di wajah Kancil. Kancil terbanting. Ia jatuh terjerembap.
Kancil mengaduh. Apa yang terjadi pada Raja Babi? Apakah ia baik-baik saja? Ternyata
tidak. Raja Babi merasakan wajahnya sakit sekali. Wajah yang diseruduknya amatlah keras.
Raja Babi makin berang. Ia Kembali menyerudk Kancil. Kancil memasang wajahnya untuk
menghadang serangan. Tepat sekali, serudukan Raja Babi kena di wajah Kancil. Kancil
terjatuh lagi, namun ia segera bangkit Kembali.
Raja Babi kesakitan. Satu taringnya patah. Darah segar mengengucur dari pangkal taringnya
yang tanggal. Raja Babi makin terpancing emosinya. Ia terus menyerang, seruduk sana
seruduk sini. Kancil terus melayani serangan itu dengan menjadikan wajahnya sebagai
tameng.
Kancil beberapa kali jatuh tersungkur, namun mampu bangkit lagi. Beda halnya dengan yang
dialami oleh Raja Babi. Seluruh taring Raja Babi telah lepas. Darah telah kuyup memandikan
wajahnya, bahkan mengalir ke tubuhnya. Makin lama Raja Babi makin kekurangan darah.
Kepalanya juga dirasakannya makin lamaj makin pusing. Pandangannya berkunang-kunang.
Akhirnya Raja Babi tak mampu menguasai diri. Ia pingsan.
Ketika sadar, ia telah dikerumuni oleh wasit dan juri pertandingan. Raja Babi tak bisa
mengelak dari perjanjian. Ia menyatakan menyerah kepada Kancil. Ia juga menyatakan
sanggup menjadi pelayan Kancil. Lebih dari itu, karena rasa malu, Raja Babi menyerahkan
tahta kerajaan. Ia memutuskan untuk menjadi rakyat jelata.
KANCIL DAN
GENTONG AIR
Di sebuah bukit tinggal sekawanan binatang. Mereka adalah Monyet, Burung Gagak, Rusa,
dan Kancil. Para suatu saat mereka kehausan. Karena kemarau Panjang, mereka tak
menemukan setitik air pun. Satu-satunya tempat yang ada airnya adalah sungai. Empat
sahabat itu sepakat untuk pergi ke sungai.
Dari kejauhan mereka melihat sungai. Bukan main senangnya mereka. Mereka berlari
menuju bibir sungai. Begitu sampat, mereka langsung menurunkan mulut. Namun, sebelum
Hasrat mereke terpenuhi, sebuah suara keras mengejutkan mereka.
“Hai, apa-apaan kalian!” bentak Buaya dengan kepala menyembul di permukaan sungai.
“Kami mau minum, Buaya,” jawab Kancil berusaha menegarkan diri. Sebetulnya ia ngeri
melihat gigi-gigi Buaya yang menyembul di dalam mulutnya yang menganga.
“Kami kehausan,” dukung Burung Gagak.
“Sudah beberapa hari tidak minum,” timpal Rusa.
“Iya, makan melulu. Jadinya, kerongkongan kering kerontong,” tambah Monyet.
“Masalah, Lu,” tukas Buaya. “Ini sungai milikku. Ada dalam kekuasaanku. Kalian tidak boleh
minum seenaknya. Kecuali…. Kecuali satu di antara kalian mau jadi isi ususku,” tambahnya
seraya tertawa menyeringai.
Kancil dan teman-temannya bergidik. Tanpa menunggu apa-apa lagi, mereka berlarian
meninggalkan Buaya itu. Ancaman sang Penguasa Sungai itu tidak mereka anggap main-
main.
Kancil dan teman-temannya Kembali ke tempat tinggalnya. Mereka Kembali duduk-duduk,
membahas masalah yang sedang mereka hadapi.
“Oooo iya, aku lupa,” ucap Monyet dengan suara keras. “Di dekat sawah Pak Tani aku
melihat ada gentong. Aku sempat melihat isinya. Ada airnya sedikit. Ehm…. Sepertinya cukup
untuk minum kita berempat. Ehm, bagaimana kalau kita ke sana? ,”ajaknya kepada ketiga
temannya.
Burung Gagak, Rusa, dan kancil setuju. Mereka kemudian bergegas menuju ke tempat yang
disebutkan oleh Monyet. Setibanya mereka langsung meneliti isi gentong itu. Benar kata
Monyet, airnya memang ada, tapi di dalam, di dasar gentong.
“Silakan siapa lebih dulu,” ucap Kancil mempersilakan teman-temannya untuk minum.
Burung Gagak bergerak lebih cepat. Wajahnya dihadapkan ke mulut gentong. Paruhnya
dijulurkan ke bawah. Sial, paruhnya terlalu pendek. Permukaan air sama sekali tidak
tersentuh.
“Bagaimana, Gak?” tanya Kancil. “Apa sudah kenyang minumnya?” tambahnya begitu
melihat Burung Gagak sudah mendongakkan kepala lagi.
“Kenyang apaan. Setetes pun tidak,” jawab Burung Gagak ketus. “Gentongnya
kepanjangan,” tambahnya dengan wajah cemberut.
“Bukan gentongnya kepanjangan, itu paruhmu kependekan,” gada Kancil.
Burung Gagak tidak berkomentar. Hanya bibirnya yang ia gigit. Burung Gagak tersenyum
pahit. Rusa maju beberapa Langka. Beberapa saat ia menatapi isi gentong air. Aira liurnya
menyelinap di antara gigi-giginya, kemudian turun. Seperti melihat rumput yang ramun saja,
sikap si Hewan Beranduk indah itu.
Rusa memasukkan kepalanya ke mulu gentong. Sial, hanya sampai keningnya yang dapat
masuk ke mulut gentong itu. Kepalanya tidak bisa masuk karena terhalang oleh tanduknya.
“Makanya, taruh dulu tandukmu itu, Sobat,” gada Kancil diakhiri dengan tertawa
cekikikan.
“Dasar, Lu,” ucap Rusa sambil mendelik. Rusa putus asa, tidak terus berusaha
meminum air itu. Ia mundur beberapa Langkah, kemudian duduk di tanah. Wajahnya pasrah.
“Aku pasti bisa,” ucap Monyet penuh semangat. Ia melompat ke arah gentong.
Begitu tiba, ia langsung menggapai bibir lubang gentong. Monyet memasukkan kepalanya
ke dalam gentong. Ia berhasil kerena tak memiliki tanduk seperti Rusa. Sayang, dasar
gentong masih terlalu jauh. Mulut Monyet tidak menyentuh permukaan air. Monyet
mengangkat kepalanya. Kini ia menjulurkan tangannya ke bawah. Maksudnya mau
menyiduk air itu dengan telapak tangannya. Kemudian membawanya ke mulutnya dan
meminumnya. Namun, lagi-lagi usahanya gagal.
“Gagal, ah,” ucap Monyet dengan wajah kecewa.
“Apa tak ada akal lain,?” tanya Kancil sambil menatapi mata sahabatnya.
Monyet tidak menjawab. Ia malahan termunung. Pasti si Monyet itu sedang berpikir.
Cara apa yang dapat dilakukannya lagi? Setelah beberapa saat berpikir, Monyet berteriak.
Teman-temannya terkejut. Mereka mengira Monyet digigit Semut atau disengat
Kalajengking.