Anda di halaman 1dari 19

KANCIL MENCURI KETIMUN

Siang ini terik sekali. Matahari tepat berada di atas kepala


Cahayanya yang panas seperti membakar bumi. Maklum, saat ini masih musim kemarau
panjang. Tanah sawah dan ladang retak-retak, menganga lebar seakan meminta diretakkan
dengan turunnya air hujan. Pepohonan banyak yang tak lagi berdaun, baik karena tak tahan
dibakar sinar yang panas atau sengaja menggugurkan daunnya, seperti pohon jati dan randu
Penghuni bumi gerah dibuatnya. Peteni yang sedang menggarap tanah sudah basah
kuyup badannya dengan keringat. Kerongkongannya terus mengering padahal terus terusan
pula dibasahi dengan air minum. Hal yang sama dialami pula oleh bangsa hewan. Sama
halnya dengan manusia, mereka pun merasa tak nyaman. Mereka pun membutuhkan air
untuk mendinginkan tubuh nya
Kancil yang sedang bermain, mehentikan keasyikannya. Ia tak kuasa menahan
dahaga. Kancil berlari menuju ke tepi hutan. Ia ingin mencari air atau benda berair apa saja
yang penting mengeluarkan air. Kancil hanya mampu berlari beberapa puluh meter.
Selanjutnya, ia berjalan kaki. Napasnya tersengal – sengal. Dadanya kembang kempis
Langkah kaki Kancil makin lama makin pelan. Rasa lunglai menguasai dirinya. Namun
ia terus saja berjalan, sambil terus pula matanya jelalatan mencari sumber air. sungguh aneh
bin ajaib. Ia tak melihat genangan air. Sumur tua yang biasanya ada airnya,kini kering .
Kolam dan danau kecil yang biasanya penuh dengan air, kini kering kerontang. Begitu juga
sungai dan genangan air lainnya, sama sekali tak berair
Kancil tiba di dekat kebun Pak tani.dari kejauhan ia telah melihat hamparan
perkebunan itu .Ia lihat aneka sayuran tumbuh subur di sana .Buah tomat yang ranum
bergelantungan diteturus bambu .Buah labu siam yang hijau kekuningan bergalayutan dari
peranggong anyaman bamboo .Begitu juga kol dan bayam menghampar bagaikan
permadani hijau
Tatapan mata Kancil tertanam dalam pada kebun ketimun.Ia lihat ketimun ranum-
ranum yang membuat air liurnya bercucuran .Kancil tergoda untuk memkan sayuran
itu .Hasratnya untuk itu semakin lama semakin menggebu .Akhirnya ,Kancil memutuskan
untuk mengambil beberapa butir buah ketimun itu .
Beberapa saat Kancil celingukan.Ia mencari kesekeliling kebun ,kalau-kalau ada Pak
tania tau Bu tani di sana .
‘’Wah,aman , ‘’piker Kancil .’’Kalau rezeki ,memang tidak ke mana ,’’ uacapnya lagi
seraya menelan air liurnya .
Walaupun suasana dirasanya aman,Kancil tatap waspada .Ia masuk ke kebun itu
dengan mengedap-endap .Begitu tiba ,Kancil langsung meluluskan hasratnya itu .Ia petik
sebutir ketimun yang masih muda ,kemudian dimakannya.
‘’Nikmat bua… nget, ‘’ gumamnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
Dalam sekejap saja buah ketimun itu habil.Kancil memetik buah ketmun lainnya ,lalu
dimakannya .Demikiannya seterusnya sampai ia habiskan puluhan butir ketimun .Setelah
kenyang ,ia pun pergi .Ia berjalan menuju ke arah rumahnya.
Keesokan harinya,Paktani datang ke kebun .Begitu meneliti kebun ketimunnya ,Pak
tani geram .Ia melihat banayak ketimun yang hilang .Ia yakin ,kemarin atau tadi malam
pasti ada makhuluk tak diundang yang telah mencuri hasil jerih payahnya bercocok
tanam .Pak tani makin geram Ketika melihat beberapa pohon ketimun terangkat dari tanah.
‘’ Dasar orang jahat.Sudah mencuri ,merusak pula .ketimunku bukan Cuma
hilang ,tapi juga mati .Batang ini mana mungkin berbuah lagi. ‘’
Pak tani menggerutu.Ia mengira ,yang mengambil ketimunnya adalah manusia .Ia
duga ,manusi itu tergesa-gesa mengambilnya sampai pohonnya pun tercabut.
Di tempat lain,dirumahnya Kancil sedang berbaring santai pengalamanya mencuri
ketimun sungguh tak mampu lenyap dari ingatannya .Betapa nikmat rasanya makan ketimun
tanpa harus menanam dulu .Pengalaman itu membekas di hati Kancil .Ia jadi ketagihan .Ia
berniat ,besok dan hari-hari lainnya akan mengambil ketimun Pak Tani lagi .Kalau
perlu ,mengambil sayuran lainnya.
Besoknya ,Kancil Kembali beraksi .Ia mengambil buah ketimun dan memakannya
sebagian .Sebagian lainnya di bawah pulang untuk dimakan di rumah .Kali ini Kancil
menambah aksinya .Ia membuat kerusakan .Ia cabuti beberapa batang timun .Ia berguling-
guling di antara rimbunnya tanaman itu .Ia juga merusak beberapa bagian pagar
kebun .Maksudnya ,agar Pak Tani mengira babi hutan yang menyruduk masuk kebun itu.
Keesokan harinya kerusakan itu diketahui oleh Pak Tani.Ia makin geram.
‘’ Dasar binatang, ‘’ hardik Pak Tani. ‘’ sudah memakan ketimunku, eh merusak pula.
Awas, lu. ‘’
Pak Tani tak hanya mengamcam dengan kata-kata. Sepulangnya dari kebun ia
langsung bekerja. Ia mengumpulkan alat dan bahan untuk membuat orang-orangan. Karena
sudah terbiasa, orang-orangan pun terbentuk dengan sempurna. Sekilas, mirip dengan orang
sungguhan. Besoknya, subuh-subuh Pak Tani membawa orang-orangan itu ke kebun dan
menancapkannya di tengah kebun ketimun. Sebelum pulang, ia melumuri sekujur tubuh
orang-orangan itu dengan getah Nangka.
Siangnya, Kancil yang sudah keenakan datang lagi ke kebun Pak Tani. Seperti biasa
tatapan matanya langsung jalan, berkeliling mengawasi keadaan. Tatapannya lama sekali
tertumbuk pada sesosok tubuh di tengah kebun ketimun.
“Ah, ada teman Pak Tani, “guman Kancil dengan nada kecewa. Ia makin menajamkan
tatapannya. Ia makin yakin bahwa orang yang dilihatnya bukanlah Pak Tani pemilik kebun
itu. Kepadannya ia kenal betul.
“Tapi kenapa diam saja, ya? “tanya Kancil dalam hati. “Ehm…. Mungkin orang
suruhan Pak Tani itu satpam. Kata ibuku, satpam emang paling bisa berdiri seperti patung.
Atau eh…. Ia itu kakek-kakek hingga tak mampu bergerak?
“Berpuluh pertanyaan menyelinap di pikiran Kancil. Tak satu pun dari pertanyaan itu
mampu ia jawab. Kancil penasaran untuk mengetahui siapa orang itu. Siapa orang yang
berani mengalangi maksudnya mengambil ketimun? Makin lama, rasa penasaran Kancil
makin menggebu. Di balik rasa penasarannya, ia ingin mengusir orang itu. Setelah lama
berpikir, Kancil memutuskan untuk bergerak. Ia berjalan mengendap-endap menghampiri
orang-orangan itu.
Ketika berhadapan. Kancil makin menajamkan tatapa. Yang ditatap balas menatap.
Malahan tidak berkedip dan seperti membelalaki. Kancil ciut hatinya. Di matanya, orang itu
teramat seram. Kancil takut dibuatnya. Ia menundukkan wajahnya.
“Ehm… maafkan kelancangangan saya, Pak, “ucap Kancil dengan membungkuk.”
Saya ngaku, sayalah yang telah mengambil ketimun di sini. Saya pula yang merusak kebun
dan pagarnya, “lajutnya masih dengan membungkuk-bungkuk tubuhnya.
Orang-orangan tak bergeming, tidak terpengaruh oleh kata-kata dan sikap Kancil.
Kancil menengadakan tatapannya namun, kini tatapan itu terasa beda. Bukan kemarahan
yang memancar dari matanya, tetapi sinis. Seolah-olah orang-orangan itu sedang mengolok-
olok kancil. Melihat hal itu, timbul keberanian Kancil. Sialan, pikirnya. Siapa sih orang yang
angkuh ini?
“Kamu mengejek saya?” ucap Kancil dengan suara keras.
Yang dihardik tidak bereaksi. Tatapannya bergeming dari mata kancil.
“Dasar orang sombong! “maki Kancil lagi. “Berani sekali sombong di sini. Ini wilayah
kekuasaanku, tahu! “ucapnya lagi sambil menyentuh tangan orang-orangan itu dengan
punggung tangannya.
Orang-orangan itu tetap tak bergeming. Kancil merasa tertantang. Ia merasa
disepelekan oleh orang-orangan itu. Kancil meninju perutnya. Orang-orangan itu bergerak
sedikit ke samping, tapi tak membalas. Kancil makin berani. Beberapa tinju terus meluncur
ke arah perut dan bagian badan lainnya dari orang-orangan itu. Bahkan, Kancil mulai berani
menyerangnya dengan tendangan.
Walaupun terus dicecar dengan serangan, orang-orangan itu tetap tak bereaksi. Ia
tidak balas menyerang. Bahkan, mengaduh dan menghindar pun tidak. Kancil makin beram.
Ia merasa terhina. Ia mencari taktik paling jitu untuk mengalahkan orang-orangan itu.
Kancil nekat. Ia menyerudukkan tubuhnya kearah orang-orangan itu. Kini tubuh
orang-orangan itu telah berada dalam pelukannya. Kancil berusaha menggumbuli orang-
orangan itu. Ia menjatuhkannya ke tanah dan menindihnya. Namun apa yang terjadi?
Apakah lawannya mengadu atau meminta ampun? Apakah berkelit, menjauhkan badan dan
pergi? Apakah membalas perlakuan Kancil dengan tonjokkan dan tendangan? Tidak, tubuh
Kancil malah tak mampu dilepaskan dari tubuh orang-orangan itu. Orang-orangan itu seperti
mendekapnya tampa mau dilepaskannya.
Di tengah rasa paniknya, Kancil mencoba merneka-nerka. Akhirnya ia tahu bahwa
lawannya bukanlah manusia. Ia semacam boneka yang dibuat untuk menakut-nakuti dan
menjebaknya. Kancil sadar, dirinya telah kalah. Ia telah masuk dalam perangkap jebakan
Pak Tani.
Kancil tidak berdiam diri. Ia berusaha melepaskan diri dari rekatan getah yang
menyatukan dirinya dengan lawannya. Namun usaha Kancil sia-sia. Perekat alami itu benar-
benar kuat. Kancil kehabisan tenaga. Ia terkulai lemah. Hanya nafasnya yang terdengar
pelan-pelan. Kedipan matanya semakin lama semakin lambat.
Dalam kecemasannya itu, tiba-tiba ia melihat Pak Tani di kejauhan. Rasa takut
membuatnya bergerak-gerak lagi. Namun tetap saja usahanya sia-sia. Akhirnya Kancil
pasrah. Ia pasrah Pak Tani menyumpahinya. Ia pasrah Ketika Pak Tani dengan paksa
memisahkan tubuhnya dengan tubuh orang-orangan. Ia pasrah pula Ketika tubuhnya dipukul
oleh Pak Tani menuju ke perkampungan.
“Katanya Kancil makhluk yang cerdik, “gerutu Pak Tani. Masa makhluk cerdik tidak
mampu keluar dari jebakanku?”
“Katanya mahkluk yang cerdik. Apa iya, ya? Ehm… cerdik memang mungkin saja.
Tapi, apa artinya kecerdikan itu kalau digunakan untuk kejahatan? Mencuri itu kejahatan,
tahu? Tuhan akan mencatatnya sebagai dosa. Dosa itu akan dibalas dengan siksaan. Mencuri
juga merugikan orang, tahu? Aku yang sudah susah menanam dan menjaganya, kamu
rugikan. Kalau kamu mau, kenapa tidak minta saja? Minta itu lebih baik daripada mencuri,
tahu!” Suara makian Pak Tani terus masuk ke indra pendengran Kancil.
Kancil tidak berkomentar apa-apa. Tidak bertanya, menjawab, ataupun menyala. Ia
diam seribu Bahasa. Ia juga tidak mengerak-gerakan tubuhnya. Kancil pasrah akan dibawa
ke mana oleh Pak Tani.
Setiba di rumahnya, Pak Tani menurunkan Kancil dan memasukkannya ke kandang
ayam. Sejak masuk, Kancil langsung menutup hidungnya. Bau kotoran ayam, bebek, angsa,
dan langsung menyesaki hidungnya. Sungguh tak sanggup ia rasakan semuanya. Amat jauh
berbeda dengan udara segar di alam terbuka tempatnya tinggal.
Sambil menahan derita bau dan pengap, Kancil mengira-ngira nasib apa yang akan
dialaminya. Mungkikah akan dijadikan anak angkat oleh Pak Tani? Mungkinkah akan
dikawinkan dengan putri Pak Tani yang konon berparas jelita? Mungkinkah akan dijadikan
pengawal pribadi sebagaimana halnya Anjing? Atau…
Pertanyaan Kancil akhirnya terjawab Ketika ia mendengar perckapan Pak Tani dan Bu
Tani. Pak Tani meminta istrinya untuk menyiapkan bumbu untuk memasak daging. Pak Tani
sendiri katanya akan mengsah golok untuk menyembelih dan mencincang daging.
“Bumbu untuk masak dagiing? Daging apa yang akan dimasak? Mengsah golok
untuk menyembelih? Siapa yang akan disemblih? Siapa yang dagingnya akan dicincang?”
Pada obrolan berikutnya Kancil tau kalau yang akan disembelih dan dagingnya akan
dimasak lalu dimakan adalah dirinya. Bukan main pedihnya hati Kancil. Pikirannya, inilah
hari terakhir dirinya menghiriup udara di bumi ini.
Kancil tidak lera menerima kenyataan itu. Ia ingin tetap hidup. Karenanya, ia mencari
cara untuk meloloskan diri dari kematian. Setelah lama berpikir, cara itu pun ditemukannya.
Ketika melihat Anjing kesayangan Pak Tani menghampirinya, cara itu pun sempunya dalam
pikirannya. Tiba pula saatnya untuk dijalankan.
“Telur-telur, ulat-ulat, kepompong, kupu-kupu, kasihan deh luh, “ucap Anjing
mengolak-olok Kancil sambil berjingkrak-jingkrak girang.
“Sialan,” ucap Kancil dalam hati. Kancil menahan diri untuk tidak melampiaskan
kemarahan. Sikapnya tetap tenang. Raut wajahnya diubah jadi ceria.
“Kenapa malah cengengesan, Cil?” tanya Anjing dengan tetap keheranan. Seketika
senyum riangnya terhenti, goyangannya pun berakhir. “Memangnya tidak sedih?” tanyanya
kemudian.
“memang apa yang harus disedihkan? Aku senang, kok,’ jawab Kancil sambil
mengumbar senyuman.
“Senang? Tahu akan dijadikan santap malam Pak Tani, malah senang?” tanya Anjing
sambil menatap wajah Kancil penuh rasa heran.
“Siapa yang akan dijadikan santapan?” jawab Kancil sambil tersenyum renyah. “Aku
disuruh tinggal di sini karena Pak Tani khawtir aku kabur.”
“Kabur karena takut disembelih, begitu?”
“Kabur karena tak mau mengikuti ajakannya!”
“Memangnya ajakan apa?” tanya Anjing dengan nada dan tatapan semakin diselimuti rasa
heran.
Senyuman Kancil makin terkembang. Ia senang karena kata-katanya dapat
mengaruhi Anjing. Ia senang karena taktiknya hamper berhasil.
“Besok Pak Tani mengajakku untuk mendampinginya ke undangan pesta keluarga di
kota!” ucap Kancil dengan mantap.
“Hah?” ucap Anjing dengan melongo. Matanya membelalak. Jantuknya seperti
hendak terlepas dari ikatan di dalamnya, saking terkejut mendengar ucapan Kancil.
“Betul, suerrr!” jawab Kancil sambil mengacungkan salam dua jari.
Jawaban dan sikap Kancil sungguh membuat Aanjing tercengah. Kenapa sih Pak Tani
berbuat seperti itu? Kenapa mengajak makhluk yang belum lama dikenalnya? Aku saja yang
sudah setia menemani dan menjaganya beberapa tahun, tak pernah diajak ke pesta? Begitu
pikiran yang berkecamuk di hati Anjing.
“Aku tak akan dibawanya serta?” tanya Anjing kini dengan suara datar. Tatap
matanya seperti sedang merayu.
” Kata Pak Tani sih,” jawab Kancil dengan sikap masa bodoh.” Tapi, kalau aku yang
memintanya, Pak Tani pasti mangizinkanmu ikut. Beliau kan amat sayang padaku.”
“Benarkah?” tanya Anjing kini dengan tatap penuh harapan.
“Ya,” jawab Kancil masih dengan sikap acuh tak acuh.
“Asyik,” ucap Anjing sambil melompat-lompat. “Apa yang dapat aku lakukan agar
kamu membatuku?” tanya Anjing kemudian, kini dengan sikap serius lagi.
“Keluarkan dulu aku dari sini, dong!”
“Untuk apa?”
“Aku merasa nggak enak, Teman. Masa akan ke pesta dengan gaya seperti ini. Aku
mau dandan dulu, dong.”
“Pak Tani tak akan marah?”
“Kenapa mesti marah? Justru sebaliknya, akan senang. Ia akan terkejut jika
melihatku dandan. Beliau akan merasa tersanjung dan di hargai.”
“Iya juga, ya,” sambut Anjing sambil manggut-manggut.
Tak banyak bicara lagi, Anjing mengeluarkan Kancil dari dalam kendang ayam. Kancil telah
berada di luar dan Anjing di dalam kendang. Kancil bukan main girang hatinya, ia berterima
kasih. Namun tak lama antaranya, Kancil malah mengunci pintu kendang ayam itu. Entah
apa maksudnya, namun yang jelas Anjing tak bisa keluar dari dalam kandang itu.
Kancil pergi dari perkarangan belakan rumah Pak Tani. Namun ia tidak terus masuk
ke dalam hutan. Ia menyelinap menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya di kandang ayam
Pak Tani.
Pak Tani amat murka. Ia memaki- maki Anjing dan menganggapnya sebagai makhluk
dungu yang tak tahu berterima kasih. Pak Tani menghukum Anjing dengan tetap
mrngurungnya di kendang ayam tanpa diberi makan selama satu minggu.
Menyaksikan kejadian itu hati Kancil terenyuh. “Kenapa aku lakukan semua ini pada
Anjing? Apa salah Anjing padaku selama ini?”
Kancil merasa bersalah. Ia memutuskan untuk menolong Anjing. Apa pun risikonya,
akan ia hadapi. Setelah tak ada keraguan dalam hatinya, Kancil menghapiri kandang ayam.
Dengan sedikit berkata- kata, ia membuka kunci kandang ayam sehingga Anjing dapat
keluar. Selanjutnya, ia masuk lagi ke dalam kandang ayam itu.
Tak lama kemudian Pak Tani dating. Ia Nampak marah sekali. Mukanya merah
padam. Ia meneriaki Kancil sambil mengancung-acungkan golok. Kancil yang sudah pasrah,
tidak merasa sedih diperlakukan begitu. Begitu Pak Tani datang ia langsung menyembah. Ia
memohon maaf dan ampunan. Ia bersujud di kaki Pak Tani dan meneteskan air mata.
Rupanya sikap Kancil dilihat tulus oleh Pak Tani. Lelaki setengah baya itu menerima
maaf Kancil. Ia teringat akan ajaran agamanya. Tuhan saja mau memaaf kan umat-Nya,
kenapa manusia tidak?
Walaupun memberi maaf, bukan berarti Pak Tani tidak memberi hukuman. Kancil
dihukum untuk menunggui kebun Pak Tani selama satu bulan. Kancil merasa beruntung
berhadapan dengan Pak Tani yang baik budi itu. Ia menerima hukuman Pak Tani dengan
ikhlas. Ia menjalankan tugas dari Pak Tani dengan besar hati dan bertanggung jawab.

KANCIL DAN KURA-KURA


Kancil dan kura-kura bersahabat. Mereka sering jalan berdua. Mereka sering bermain
Bersama. Mereka saling membantu dan melengkapi. Jika Kancil punya masalah, Kura-Kura
akan membantunya. Demakian juga sebaliknya, jika Kura-Kura tertimpah musibah, Kancil
akan menolongnya. Sayang, di tengah persahabatan itu, ada satu hal yang menjadi
ganjalan. Ada sikap Kancil yang tidak baik. Ia suka memperdaya temannya. Ia suka membuat
temannya merasa tersudut. Untuk itu, Kancil suka membuat aneka muslihat. Yang penting
temannya kalah. Yang penting ia akan menang dan Kura-Kura mengakui kemenangan itu.
Hari itu Kancil Menyusun siasat. Sudah lama ia tidak membuat temannya kalah dan
malu. Kancil menemukan siasat itu. Mengajak Kura-Kura untuk berlomba adu lari. Ajakan
Kancil melanya ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Kura-Kura menganggap temannya
hanya berkelakar.
“Candanya jangan kelewantan, ah,” ucap Kura-Kura sambil memalingkan wajah.
“Hai, Kura,” ucap Kancil dengan suara yang mengagetkan. Seketika Kura-Kura
memalingkan wajah dan Kembali bertatapan dengan Kancil.
“Ada apa, Cil” tanya Kura-Kura sambil menatap temannya penuh heran.
“Aku serius, Teman,” ucap Kancil dengan wajah bersungguh-sungguh.” Aku nantang
kamu adu cepat lari. Yang kalah harus dihukum. Hukumannya harus menjadi jongos selama
satu, “tambahnya dengan tersenyum-senyum nakal.
“Kamu,” tukas Kura-Kura. Kalau betul apa temannya itu, maka pastilah dirinya yang
akan kalah. Mana munngkin Kura-Kura yang jalannya lamban, hampir selamban Siput dan
Keong, mampu mengalahkan kancil? Kancil kan jago lari. Jangankan dirinnya, Banteng dan
Kuda saja mungkin saja dapat takluk jika beradu lari.
“Ya, kamu boleh saja menolak ajakannku, kalau…,” Kancil menghentikan ucapannya
sejenak. “Kalau mau disebut pengecut!” lanjutnya sambil mencibir.
Ucapan Kancil mengena di hati Kura-Kura. Darah Kura-Kura langsung mendesir dan
jantungnya menjadi bertalu-talu. Ada penolakan dari hatinya terhadap ucapan temannya
itu.
“Kuterima tantanganmu, Cil,” ucap Kura-Kura dengan penuh semangat.
“Apa?” Kancil terkejut. Matanya membelalak. Ia bagaikan mendengar petir di siang
bolong.
“Pantang bagi seorang lelaki mundur dari medan perang ucap Kura-Kura berapi-api.
Kedua sahabat itu sepakat untuk adu balap lari. Pada hari yang telah ditentukan
mereka berlomba lari. Dimulai dari garis start. Yang bertugas mengibaskan bendera start
adalah Monyet. Setelah bendera dikibaskan, keduanya langsung beraksi. Kancil langsung
berlari cepat. Kura-Kura juga maksudnya hendak berlari cepat. Namun apalah daya, lari
cepatnya jauh lebih lamban dibandingkan dengan Gerakan Kancil ngesot.
Dalam waktu yang tidak lama Kancil telah tiba di garis finish. Ketika tiba di garis itu,
ia langsung membusungkan dada. Ia tunjukkan kepada beberapa sahabatnya yang telah
menunggu di sana bahwa ia pemenangnya. Tak lama kemudian, Kancil membalikkan badan.
Ia mengawasi jalan yang baru didaluinya. Ia mencari-cari tubuh lawan adu larinya. Sama
sekali tidak kelihatan. Bayangan sang Kura-Kura pun luput dari penglihatannya. Memang.
Kura-Kura masih jauh di belakang.
Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya Kura-Kura tiba di garis finish. Kancil
manyambutnya dengan menyambut kemenangan. Kedua sahabat itu pun menjalankan
perjanjiang, yang kalah harus kena hukuman. Kura-Kura menjalani hukuman itu. Selama satu
minggu ia bertugas melayani segala kebutuhan Kancil.
Masa hukuman Kura-Kura habis. Ia Kembali menghirup udara kebebasan. Namun apa
yang terjadi pada Kancil? Rupanya ia keenakan. Ia merasa telah hidup laksana seorang raja.
Kancil ketagihan, ingin Kembali dilayani. Kancil Kembali mengajak Kura-Kura untuk adu lari.
Lagi-lagi Kura-Kura menolaknya. Namun Kancil terus mendesak dengan segala macam mulut
manisnya. Akhirnya Kura-Kura menerima ajakan itu.
Kura-Kura tidak mau jatuh dua kali di tempat yang sama. Ia tak ingin mengalami
kekalahan lagi. Ia tak mau menjadi pembantu lagi. Kura-Kura mencari cara untuk
mengalahkan Kancil dalam adu lari yang tak lama lagi akan digelar.
Kura-Kura menemukan akal. Rencana itu ia sampaikan kepada Monyet yang Kembali
akan menjadi wasit. Monyet merestui rencana Kura-Kura. Ia mempunyai tujuan yang sama.
Ia ingin melihat Kancil kalah agar Kancil menjadi jera, tidak berpikir macam-macam, tidak
semena-mena dan tidak menganggap enteng si lemah.
Hari yang telah ditentukan tiba. Kura-Kura dan Kancil berdiri sejajar di garis start.
Setelah siap, Monyet meniup peluit. Keduanya pun mulai bergerak, Kancil kali ini tidak
langsung berlari. Ia hanya berjalan santai. Ia yakin, dengan berjalan, bahkan dengan
merangkak sekalipun, dirinya tentu akan menang. Lawannya tetap akan tertinggal di
belakang.
Dugaan Kancil meleset. Ketika ia memanggil nama Kura-Kura, jawaban terdengat
dari depang. Kancil memburu sumber suara itu. Benar, didepannya Kura-Kura sudah berdiri
dengan tenang. Bukan main kecewanya hati Kancil. Ia segera berlari melintasi tubuh
temannya. Setelah itu, ia langsung mengambil Langkah seribu. Kancil terus berlari. Sesaat
pun Kancil tidak mengendurkan larinya, apalagi berjalan seperti tadi. Kini keyakinan tumbuh
lagi. Pastilah sang Kura-Kura akan tertinggal di belakang. Pastilah temannya itu tengah
jalan tergopah-gopah dengan napas ngos-ngosan.
“Ura!” Kancil memanggil temannya.
“Kuk,” jawab suara dari arah depan.
Kancil terperanjat. Matanya jelalatan ke depan. Tak terlihat apa-apa, hanya
bayangan hitam. Kancil mempercepat larinya. Akhirnya tibalah ia di depan Kura-Kura.
Temannya itu tengah berdiri santai sambil tersenyum renyah.
“Sialan,” umpat Kancil penuh rasa kecewa. Setelah itu ia berlari melesat
meninggalkan Kura-Kura. Mulutnya tetap bersungut.
Namun, walaupun ia telah berlari secepat angin, nyatanya Kura-Kura tetap ada di
depannya. Sampai akhirnya ia tiba di garis finish pun, Kura-Kura telah lebih dulu berada di
sana.
Kancil kalah. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Itulah kisah paling tragis dalam
hidupnya. Kalah adu lari dengan makhluk paling lamban. Kancil menjalani hukuman. Ia
berusaha ikhlas menghadapinya. Sambil begitu, ia tak habis pikir. Mengapa larinya kalah?
Mengapa Kura-Kura mampu berlari secepat kilat?
Kancil tetap tak mampu menemukan jawaban. Ia bertanya ke sana ke mari. Kepada
Monyet yang menjadi wasit. Kepada Kuda yang bertugas menunggu garis finish. Juga kepada
semua burung yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan sepanjang jalur lomba. Satu
diantara mereka, yakin Monyet membocorkan rahasia. Ia membuka kedok tipu muslihat
Kura-Kura. Ternyata Kura-Kura saat berlari tidak sendirian. Ia dibantu oleh dua puluh Kura-
Kura lain yang mirip dengannya. Kura-Kura itu berdiri pada jarak-jarak tertentu. Setiap
Kancil memanggil Namanya, maka Kura-Kura yang berada di depan Kancillah yang akan
menjawab. Sementara itu, Kura-Kura yang asli tidak ikut berlari. Ia duduk-duduk tenang di
garis finish.
Kancil menggeleng-gelengkan kepala. Ia salut pada akal bulus sang Kura-Kura. Di sisi
lain, Kancil hendak membalas kelakuan temannya. Ia akan mempermalukan Kura-Kura lagi.
Ia mengajak temannya itu untuk Kembali beradu lari. Ia yakin, kali ini dirinya tak akan
terkalahkan. Toh, ia sudah tahu pasti akal bulus sang Kura-Kura temannya itu.
“Pantang bagi seorang pria sejati untuk mundur setapak pun dari medan laga,” ucap
Kura-Kura tanda menerima ajakan Kancil.
“Tapi, Ura,” ucap Kancil.” Kamu juga harus pantang berbuat curang seperti tempo
hari,” lanjutnya sambil mesem.
“Siap,” sambut Kura-Kura.” Pantang bagiku untuk berbuat dosa yang sama,”
tambahnya dengan suara mantap.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Kedua sahabat telah mulai berlari. Kini keduanya
sepakah untu berlaku jujur. Tak kan ada kecurangan. Tak kan ada tipu daya. Tak kan ada
iming-iming hadiah atau ancaman hukuman.
Lomba lari berlangsung jujur, adil, bebas dan tidak rahasia. Karenya keduanya jujur,
maka tentu saja Kancil mampu berada di tempat paling depan. Walaupun belum menginjak
garis finish, Kancil menyadari kemenanggannya. Ia memanggil-manggil nama temannya,
namun tak ada jawaban. Kancil berhenti berlari dan membalikkan badan. Dengan suara
lebih keras, ia menyebut-nyebut nama Kura-Kura. Namun tetap saja tak ada sahutan. Kancil
memicingkan mata untuk melihat ke tempat yang sangat jauh. Batang hidung temannya
sama sekali tak kelihatan.
Kancil makin yakin bahwa temannya masih jauh di belakang. Bahkan, mungkin saja
masih berada beberapa meter dari garis start. Kancil tak mau menang kelak. Ia ingin
kemenangannya tipis saja. Ia ingin jaraknya dengan temannya di garis finish beberapa meter
saja. Kancil memutuskan untuk duduk dulu, menunggu sang Kura-Kura.
Kancil duduk bersandar pada batang pohon beringin. Nyaman sekali kelihatannya.
Angin pegunungan yang berembus sepoi-sepoi mengelus-elus tubuhnya. Kicauan burung
hutan meninabobokan dirinya. Mata Kancil tertanam dalam pada sebatang pohon cemara.
Sambil memandanginya, hatinya bernyanyi lirih ”Cemara pohon ramping. Daunnya halus
langsing. Bergerak-gerak kian kemari, seperti tangan penari. Ketika angin lalu. Menerpa
daun cemara. Terdengar desir di telingaku, sebuah lagu.”
Nyanyian hati Kancil yang diiringi desah suara angin membuat rasa kantuknya
muncul. Kedipan mata Kancil mulai melambat. Makin lama makin lambat. Terus melambat
sampai akhirnya tak berkedip lagi. Kancil terdidur dengan pulas.
Entah berapa jam Kancil tertidur. Entah berapa episode sinetron yang bermain di
dalam mimimpinya. Ketika bangun, hari telah senja. Padahal lomba lari dimulai Ketika
matahari tepat berada di atas kepala. Bukan main terkejutnya Kancil. Dalam keadaan
setengah sadar, ia bangkit, lalu berlari. Larinya amat cepat. Tak ada bedanya dengan anak
kecil yang sedang dikejar Anjing atau anak Kera yang ditakut-takuti sedang dikejar hantu.
Dengan napas tersengal-sengal, Kancil hampir mencapai garis finish. Ketika matanya
menatap ke depan, ia melihat seuntai senyuman menyambut kedatangannya. Senyuman itu
memang manis, namun terasa asam oleh sang Kancil. Sang Kancil tidak membalas senyuman
itu dengan senyuman lain. Ia menggigit bibir. Ia kenal betul, siapa yang melemparkan
senyuman itu. Ia tak lain Kura-Kura yang sedang berlomba lari dengannya. Kancil malu dan
kecewa. Ia tahu, kali ini lomba larinya kalah. Ia menyadari kekalahannya sebagai kekalahan
yang sebenarnya karena pertandingan berjalan jujur dan adil. Namun ia terlalu menganggap
enteng lawan.

KANCIL MENOLONG KERA


Tersebutlah seorang pemburu yang Tangguh. Setiap kali berburu, selalu ada saja
binatang yang di tangkapnya. Ia berburu seorang diri. Tanpa bantuan dari orang lain, ia
akan mampu menangkap apa saja, termasuk Harimau, si Raja Hutan.
Seperti pada suatu hari, pemburu ini mampu melumpuhkan kekuatan Harimau. Si
Raja Hutan yang terkenal cetakan dan beringas itu mampu ditaklukannya. Ia kini terkurung
di dalam kerangkeng pemburu. Walaupun sudah mendapatkan seekor Harimau besar, sang
Pemburu belum puas diri. Ia masih ingin menangkap hewan lainnya. Ia ingin mendapatkan
beberapa ekor hewan yang bermamfaat, dapat dimakan dan dapat dijual ke penadah.
Pemburu menyuruh Kera, teman setianya dalam berburu, untuk menunggui Harimau itu.
Kera tidak membantah perintah majikannya. Ia duduk di dekat kerangkeng besar itu.
Sesekali ia berdiri dan berlari melompat-lompat. Sesekali ia juga melompat ke dahan pohon,
lalu bergelantungan. Namun, perhatiannya tidak pernah terlepas pada binatang pengisi
kerangkeng. Demikianla yang dilakukan pada Kera itu sampai beberapa jam, sambil terua
mananti kedatangan majikannya.
Pada mulanya Harimau tidak berbuat apa-apa. Ia berdiam diri saja di dalam
kerangkeng. Meskipun begitu, sebenarnya ia memeras otak, mencari cara untuk keluar dari
kerangkeng pemburu itu.
“Kera,” sapa Harimau sambil berusaha melemparkan senyuman ramah.
Kera tidak menyahut. Matanya melirik sesaat. Setelah itu perhatiannya Kembali
terpusat pada buah pisang yang sedang dimakannya.
“Kera,” sapa Harimau Kembali dengan suara lembut.
Beberapa saat kera menatap wajah Harimau. Harimau merasa diberi angin segar. Ia merasa
memliki kemampuan untuk berbicara banyak kepada sang Kera.
“Setelah memerhatikan cukup lama aku semakin sadar, Kera,” ucap Harimau dengan
suara yang tidak selesai. Hal itu membuat Kera merasa penasaran.
“Maksudmu?” tanya Kera yang tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Maksudku, aku sadar kalau kamu memang makhluk yang cantik. Rupamu
sempurnya. Tak salah jika ada yang menyebutmu mirip dengan manusia. Sungguh suatu
anugerah besar kamu disamakan dengan manusia. Karena apa, Ra?” tanya Harimau sambil
menatap wajah Kera.
Sebelum Kera menjawab, Harimau berkata lagi.” Karena manusia adalah makhluk
yang sempurnya. Tubuhnya sempurna. Mirip, Ra,” ucap Harimau seperti diselimuti rasa
kagum.
Kera tersanjung. Ia tersenyum-senyum sendiri. Hidungnya mengembung, seperti
hendak terbang.
“Ra,” ucap Harimau yang sudah kelemahan Kera. “Aku yakin kalau kamu makhluk
berbudi. Kamu tidak seperti satwa kebanyakan.”
“Ehm…. Ya,” sambut Kera sambil menganggukkan kepala.
“Aku yakin seratus persen, kalau kamu tak akan keberatan membiarkanku keluar dari
tempat ini.”
“Keluar?” tanya Kera dengan dahi mengernyut.
“Ya, keluar sebentar, Ra. Cuma untuk menghirup udara segar saja, begitu, he…. Hehe.”
“Ehm, bagaimana, ya?” ucap Kera diakhiri dengan termenung. Ia menimbang-nimbang
maksud ucapan Harimau.
“Ra,” suara Harimau memudarkan lamunan Kera.” Aku juga yakin kalau kamu makhluk yang
bijaksana. Makhluk yang tak suka berburuk sangka.”
“Maksudmu?” Kera tidak mengerti maksud ucapan Harimau.
“Kamu tak akan berpikiran macam-macam, kan? Kamu tak akan berpikir kalau aku akan
membuat tipu daya? Kalau aku akan kabur, bukan?” ucap Harimau nada suara tegas.
Dengan kata-kata dan sikapnya itu sepertinya ia ingin memberi segesti kepada Kera.
“Ehm…. Ya, tentu saja tidak, Harimau,” sambut Kera sambil mengangguk.
“Jadi, kamu akan membukakan kunci ini?” tanya Harimau untuk meyakinkan dugaannya.
“Tentu,” jawab Kera.
Kera seperti terhipnotis, ia membukakan kunci kerangkeng. Begitu kunci terbuka, Harimau
segera keluar dari dalamnya.
“Wuah…. Seger,” ucap Harimau sambil menggeliat-geliatkan badannya. Setelah itu ia
mengajak Kera untuk berjalan-jalan ke dalam hutan.
Seperti dihipnotis juga, Kera tidak membantah untuk berjalan Bersama Harimau. Kera dan
Harimau seperti layaknya dua sahabat. Kadang berjalan berdampingan. Kadang beriringan,
Harimau di depan, diikuti oleh Kera. Kadang sebaliknya.
“Ra, kamu ke depan lagi,” pinta Harimau sambil menghentikan langkahnya.
“Apa sebaiknya kita pulang lagi? Kita sudah jauh berjalan, Harimau. Bukannkah katamu
tadi, kita hanya akan berjalan sebentar?” tanya Kera.
“Kamu benar, tapi sebentar dululah. Aku belum bertemu dengan penghuni hutan yang lain,”
ucap Harimau sambil meminta Kera melintasi tubuhnya.
Kera menuru, meskipun dengan hari sedikit dongkol. Ia teringat akan majikannya. Ia takut
majikannya pulang dan mendapati kerangkeng telah kosong. Pemburu itu tentu akan murka.
Jika bertemu dengannya nanti, tentu majikannya itu akan marah dan menghukumnya.
“Harimau, kita pulang sekarang, ya?” ucap Kera tanpa memalingkan wajah.

“Huh, dasar Kera bodoh,” ucap Harimau. Ia berkata begitu sambil menerkam punduk Kera.
Kera mengaduh. Ia terkejut dan kesakitan. Kera berupaya melepaskan diri, namun
cengkeraman gigi Harimau teramau kokoh. Makin berusaha melepaskan diri, makin kuat
tancapan gigi itu di Pundak Kera.
“Kamu pendusta!” maki Kera dengan suara tertahan.
“Kamu sendiri yang bodoh, Kera. Mana mungkin aku tega membiarkan daging selezatmu
lenyap begitu saja!”
“Kamu dusta akan pulang!”
“Kamu bodoh percaya saja!” ucap Harimau dengan suara menggelegar. Ia berkata begitu
sambil menguatkan cengkereman gigi-giginya pada tengkuk sang Kera. Sang Kera sungguh
tak berdaya. Suaranya tersekat di tenggorokan. Tenaganya tak mampu membebaskan
dirinya marabahaya itu.
Pada saat yang kritis itu ditibalah sang Kancil ke tempat itu. Kancil terkejut menyaksika
kejadian di depan matanya. Ia bermaksud menyelamatkan sang Kera. Ia tahu, selama ini
Harimau pantang makan Kera, tapi sekarang? Kenapa bisa begitu?
“Kalian kenapa, hah? Kamu kenapa, Harimau?” ucap Kancil dengan suara keras. Suaranya
menghentakkan kesenyapan dan menghentikan Tindakan Harimau. Gigitan Harimau
mengendur.
“Hentikan!” bentak Kancil.
Harimau menurut. Gigi-giginya terlepas dari tengkuk Kera. Wajahnya tak lagi garang. Ia
menurut perintah Kancil. Bukan karena takut dengan tubuh hewan itu. Ia takut, karena
Kancil itu bukan Kancil sembarangan. Ia penasihat Raja Singa, raja di kerajaan rimba itu.
“Kamu kenapa, Harimau?” tanya Kancil sambil menatap tajam mata Harimau.
“Aku mau menyantapnya, Cil,” jawab Harimau dengan wajah tanpa dosa.” Kamu hendak
menentang takdir? Kamu tidak setuju kalau bangsaku menjadi bangsa pemangsa?”
“Bukan begitu, Sobat,” jawab Kancil sambil menggelengkan kepala.” Aku belum mengertu
duduk persoalan yang sebenarnya. Karena sejak tadi ku dengar, kamu bersikeras hendak
memakan Kera, sementara itu Kera bersikeras juga menentang. Bukankah itu keluar dari
kebiasaan, Harimau? Biasanya kamu memburu dan memangsa hewan tanpa berkata.
Biasanya pula, hewan yang kamu buru itu tidak mempunyai kesempatan berkata-kata.
Sementara sekarang?” ucap Kancil sambil bergonta-ganti manatap Harimau dan Kera.
“Karena aku tidak ikhlas, Cil. Aku merasa ditipu,” Girilan Kera yang bersuara.
“Nah, ini menarik,” sambut Kancil sambil tersenyum-senyum.” Coba ceritakan, Ra,” pintanya
kemudian kepada Kera.
Tanpa diminta dua kali, Kera langsung berkisah secara lengkap. Kancil menyimak dengan
saksama. Sambil mendengar kisah Kera, sesekali kepalanya terangguk-angguk.
“Betul begitu, Harimau?” tanya Kancil usai mendengar kisah sang Kera.
“Memang,” jawab Harimau sambil mengangguk keras.
“Oh… begitu ya,” ucap Kancil diakhiri dengan termenung. Ia memikirkan cara untuk
mengatasi masalah itu.
“Kamu seperti masilh bingung, Cil? Apa benar begitu?” tanya Harimau sambil menatap
wajah Kancil. Dahinya berkerut-kerut.
“Tebakanmu betul, Sobat.”
“Bagian mana?”
“Aku belum mampu membayangkan bagaimana keadaanmu sebelum berjalan-jalan ke sini.”
“Maksudmu, waktu dalam kerangken?”
“Ya.”
“Maksudmu, kamu ingin melihatnya?”
“Kalau kamu mau!”
“Kenapa tidak?” jawab Harimau dengan cepat.” Ayo, ikut aku,” pintanya kemudian.
Tanpa menunggu persetujuan dari kedua teman bicaranya, Harimau langsung berlari dari
tempat itu. Kancil dan Kera mengikutinya. Keduanya cukup kelabakan menghimbangi
kecepatan lari sang Harimau. Katanya lapar, kok dapat berlari begitu kencang, ya?
Setelah cukup lama berlari, ketiganya tiba di tempat pemburu menyimpan kerangkeng.
Setibanya di sana, Harimau langsung membukakan pintu kerangkeng dan masuk ke
dalamnya. Tanpa berkata- kata, Kera langsung mengunci gembok kerangkeng itu.
“Nah, persis begini, Cil,” ucap Harimau sambil melemparkan senyuman kepada Kancil.
“Betul begitu, Kera?” Kancil malahan bertanya kepada Kera.
“Betul sekali, Cil,” jawab Kera sambil menggangguk.
“Nah, karena aku sudah paham, mari ikut aku,” ucap Kancil sambil menarik lengan Kera.
Kera tidak tahu maksud ucapan Kancil, namun ia tidak menolak. Kera dan Kancil bergegas
meninggalkan tempat itu.
Harimau tertinggal sendirian. Mulanya ia tidak mengerti maksud Kancil. Ia hanya menatapi
kepergian kedua hewan itu dengan bibir yang masih tersenyum. Namun semakin jauh kedua
hewan itu melangkah, semakin memudar senyumnya. Makin lama wajahnya berubah kecut.
Harimau sadar bahwa dirinya telah dibodohi. Harimau menangis menyesali diri. Harimau
meraung-raung sambil mengguncang-guncang kerangkeng yang kekar.

KANCIL DAN
SABUK DEWA
Pagi cerah. Angin yang berembus sepoi-sepoi manyapa penghuni bumi dengan elusan
hangatnya. Cahaya matahari menebarkan pesona kehangatannya. Mengghangatkan tanah
dan bebatuan hingga mengepul, mengeluarkan air hujan yang semalam menimpanya.
Menggahangat tumbuhan hingga daun-daun menggeliat dan menjatuhkan titik-titik embun
yang semalam berlinangan. Menghangatkan tubuh satwa-satwa hutan hingga mengibaskan
selimut dari dedaunan dan rerantingan.
Kancil menikmati suasana pagi. Sejak tadi ia keluar dari tempatnya tinggal. Beberapa saat ia
berdiri mematung di pelataran rumahnya. Kancil takjub dengan keindahan panorama alam.
Sungguh nuansa alam yang memesona. Sungguh pemandangan buana yang tak terhingga
daya tariknya.
Tatapan Kancil menuju ke hamparan rumput nan hijau. Setelah memandanginya sejenak,
Kancil memakan rumput yang ranum itu. Uf… semerbak aroma rumput itu masuk ke indra
penciumannya. Uf… rasa rumput segar itu begitu lezat dan maknyos. Kancil menikmati
makanannya.
Ketika asyik merumput, tiba-tiba Kancil mencium bau sesuatu. Karena pengalaman hidupnya
di hutan cukup lama, ia tahu betul bau apa yang masuk ke hidungnya. Tak akan salah, itu
bau hewan pemangsa. Pasti, hewan pemangsa yang berada tak jauh dari dirinya itu adalah
Harimau, si Raja Hutan.
Kancil tahu diri. Ia tidak mungkin menghadapi Harimau itu dengan mengandalkan
tenaganya. Ia harus memeras otak. Hanya dengan akalnyalah ia mungkin dapat
mengalahkan si Raja Hutan. Kancil tidak menemukan jalan lain. Satu-satunya jalan, ia harus
menipu hewan buas itu. Menurut Kancil, apa yang akan dilakukannya memang menipu,
tetapi menipu untuk menyelamatkan diri. Kancil berharap, tindakannya tidaklah termasuh
dosa.
Dugaan Kancil benar. Tak lama kemudian ia melihat Harimau sedang mengedap-endap
hendak menerkannya secepat kilat Kancil membalikkan badan dan berseru lantang.
“Hentikan!”
Suara Kancil yang membahana membuat Harimau terkejut. Langkah kakinya terhenti
tatapannya kepada Kancil tak lagi jalang. Ia kini berjalan perlahan menghampiri makhluk
buruannya itu.
“Kamu takut dimakan?” tanya Harimau dengan sikap Kembali garang.
“Kalo soal takut, jangan ditanya, Harimau,” jawab Kancil dengan suara lembut.” Siapa sih
yang tidak takut sama kamu? Jangankan aku makhluk yang lemah, gajah juga pasti takut.
Bahkan, manusia yang memiliki akal pun pasti gentar jika berhadapan langsung dengan
mu.”
“Lalu? Kenapa menghalangi?” bentak Harimau dengan suara menggelegar. “Berani
melawanku?” tanyanyah lagi.
“Takut bisa sama artinya dengan tidak berani, Harimau,” jawab Kancil sambil tersenyum.
“Kamu?”
“Aku takut sama kamu, Harimau. Mana berani bertarung melawanmu? Mana mungkin aku
mampu mengalahkanmu? Itu sama artinya dengan pungguk merindukan bulan.”
“Lalu maumu?”
“Begini Harimau yang baik hati “ucap Kancil dengan suara tenang. Setelah berhenti sesaat,
ia melanjutkan ucapannya.” Sebetulnya aku gembira sekali bertemu denganmu di sini. Telah
berhari-hari aku sengaja mencarimu. Pucuk di cinta ulam tiba, begitu kata pujangga.”
“Kenapa susah-susah mencariku?”
“Aku di utus oleh Dewa Pengusaha Hutan, Harimau,” jawab Kancil dengan sikap semakin
tenang.
Harimau terperangah mendengar kata- kata Kancil. Beberapa saat mulutnya melongo dan
matanya tak berkedip. Beberapa saat kemudian, matanya meneliti wajah Kancil. Harimau
akhirnya sadar, Kancil yang sedang berdiri di depannya bukanlah hewan biasa. Ia adalah
penasihat kerajaan. Sebagai hewan penting di Kerajaan Rimba itu, tentu saja Kancil bisa
mendapatkan hal-hal yang aneh, termasuk menerima wangsit dari dewa. Kemudian…. Yang
membuat Harimau luluh hatinya adalah ucapan Kancil yang menyebutkan Dewa Pengusaha
Hutan telah mangutusnya.
Harimau bersikap tenang. Ia tidak seperti sedang berhadapan dengan makhluk yang akan
dimangsanya. Juga tidak seperti berhadapan dengan hewan jelata. Ia merperlakukan Kancil
sebagaimana layaknya penghuni keratan yang terhormat.
“Apa berhubungan denganku, Cil?” tanya Harimau dengan penuh rasa penasaran.
“Tentu iya, Harimau. Buat apa aku capek-capek mencarimu, kalau ucapan Dewa itu bukan
untukmu?”
“Berita baik atau buruk?”
“Kebetulan berita baik!”
“Cepat katakana,” pinta Harimau dengan sikap tak sabar.
“Ehm… baiklah,” sambut Kancil sambil membetulkan letak berdirinya. Setelah menarik napas
Panjang, ia berkata lagi.” Aku yakin kamu tentu sudah mendengar nama Sabuk Dewa. Sabuk
Dewa adalah sabuk kerajaan dewa yang mahasakti. Siapa saja yang mengenakan sabuk itu,
pasti ia akan menjadi sakti madraguna. Segala ucapannya akan menjadi bukti. Ia juga dapat
terbang dan menghilang. Apa kamu tertarik, Harimau?”
“Apa hubungannya denganku?” Harimau tidak menjawab pertanyaan Kancil. Ia malah balik
bertanya. Rupanya rasa penasaran telah semakin merasuki jiwanya.
“Sang Dewa akan mengannugerahkan Sabuk Dewa itu padamu.
“Padaku?” tanya Harimau dengan mata membelalak.
“Ya, jika kamu mau aku akan membawamu ke tempat benda keramat itu berada.”
“Tentu, Cil,” sambut Harimau dengan antusias.” Ayo,” lanjutnya sambil menggaet tangan
Kancil dan memaksanya pergi dari tempat itu.
Kancil tidak menolak karena memang itu rencananya. Ia berjalan beriringan dengan
Harimau. Kancil terus membawa hewan yang sekarang mendadak jinak itu kesuatu tempat.
Sesampainya di sana, tatapan Kancil langsung mencari-cari sesuatu. Kebetulan sekali benda
yang dicarinya masih berada di sana.
“Nah, itu dia!” ucap Kancil sambil menunjuk sebuah benda bulat melingkar bewarna hijau di
dalam kayu yang rendah.
“Kok kecil, Cil,” ucap Harimau dengan dahi mengernyut.
“Yang penting khasiatnya, Bung!” ujar Kancil sambil tersenyum.
“Bagaimana caranya?”
“Karena itu milikmu, caranya amat mudah, Harimau. Kamu tinggal berjalan saja ke sana dan
mengambilnya langsung. Dengan cara menungkup dulu beberapa saat. Tapi ingat,
menghampirinya harus sambil mundur. Lalu…., saat menungkup dengan tanganmu itu,
matamu harus terpenjam. Bisa?”
“Mudah, Coy!” jawab Harimau penuh semangat. Wajahnya pun berseri-seri.
Harimau menjalankan ucapan Kancil. Ia berjalan mundur mendekati benda yang disebut
Sabuk Dewa itu. Begitu tiba, ia langsung membalikkan badan sambil menutup mata. Kedua
tangannya menungkup benda bulat hijau itu. Kancil menyaksikan semua itu sambil
tersenyum-senyum. Ketika Harimau membuka tutupan tangannya dan membuka matanya,
Kancil cepat menjauh dari tempat itu.
Apa yang terjadi pada Harimau? Apakah sama dengan yang diperkirankan oleh Kancil?
Benda itu begitu dibuka akan mengulur. Ia akan mengubah bentuk dari bulat menjadi
Panjang. Setelah itu, ia akan menyerang Harimau. Ia akan mematuk mata dan kepala
Harimau. Itu perkiraan Kancil yang pertama.
Dugaan Kancil yang kedua. Benda yang telah terurai menjadi bulat Panjang itu akan
menerjang pinggang Harimau. Harimau akan dibelitnya. Belitannya semakin lama semakin
kuat. Harimau akan kepayahan. Ia akan merasakan tubuhnya lemah. Darah di dalam
tubuhnya akan berhenti mengalir. Begitu juga detak jantungnya akan melemah. Ketika
jantungnya hampir berhenti berdetak, benda itu akan mematukkan mulutnya ke wajah
Harimau. Saat memtuk, ia akan mengeluarkan bisanya yang ganas. Harimau akan mati
karena bisa itu. Bisa karena tulang-tulang tubuhnya remuk dililit dan diremas benda itu.
Kanci menduga seperti itu karena ia tahu benda yang ada di bawah tangan Harimau adalah
Ular. Kancil sengaja melakukan hal itu karena teringat akan dongeng neneknya tanpa hari.
Dulu neneknya pernah mengalahkan Harimau dengan cara seperti itu. Benda yang dulu
dipakai untuk menjebak Hariamu adalah Ular, jenisnya Ular Piton.
Kancil terus berjalan menuju ke tepi hutan. Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan
Harimau yang sedang bergumul melawan kematiaanya. Lamunan Kancil mendadak berhenti
Ketika ia mendengar suara auman keras di belakangnya disertai dengan suara bergebuk
keras.
“Dapat kamu, Kancil keparat!” Suara Harimau menghentikan Langkah kaki Kancil.
Kancil terperangah Ketika ia lihat, Hariamu yang tadi dijebaknya kini berada di belakangnya.
Kancil membalikkan badan untuk meyakinkan penglihatannya. Benar, itu adalah Harimau
yang dikenalnya.
“Kamu?” ucap Kancil antara sadar dan tidak.
“Iya, ini aku,” jawab Harimau sambil mengangkat dada. “Kamu kira aku telah mati karena
kecerdikannmu itu?”
“Kamu eh…”
“Kamu cerdik tapi bodoh, Kancil,” ucap Harimau dengan nada sinis.” Cerdik karena mau
menjebakku. Sayang kamu bodoh. Kenapa tiak kamu gunakan Ular Sanca atau Pinton?
Kenapa hanya ular kampung?”
“Jad…”
“Mudah sekali melumpuhkan si Ular Pohon itu, Cil. Ketika hendak menyerangku, ku dahului
saja menangkapnya. Ku patahkan tubuh ular itu. Ku robek-robek kulitnya. Lalu, ku lumat
dagingnya dengan taring dan gerahamku ini. Ular itu kini telah jadi ganjal perutku, Cil.”
“Oh…”
“Jangan uh-ah, oh-oh kaya anak kecil yang polos, Cil. Sekarang terima ini!” Harimau berkata
begitu sambil menyerang Kancil.
Kancil tidak waspada. Serangan Harimau tidak mampu dihindarkannya. Dalam sekali
serhapan saja, kepala Kancil sudah berada di dalam mulut Harimau. Kancil lagi-lagi sadar
bahwa dirinya dalam bahaya. Kematian Kembali menyambutnya. Kancil merasa hanya
memiliki kemungkinan kecil untuk dapat menyelamatkan diri. Namun, sekecil apa pun
kesempatan itu, ia harus mengambilnya.
Ternyata cengkereman mulut Harimau tidaklah kuat. Entah apa sebabnya. Mungkin Harimau
akan mengulur-ulur waktu untuk melumpuhkan Kancil. Mungkin ia ingin makhluk yang tadi
mengibulinya mati perlahan-lahan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kancil. Dengan sekuat tenaga ia membuka mata.
Tanpak di sekelilingnya gua yang menyeramkan. Ada stalaktit, ada stalagmit. Ada daging
bewarna merah darah. Ada urat-urat yang berdenyut-denyut. Di bagian dalam, Kancil
melihat seuntai daging menjuntai dari langit-langit rongga mulut Harimau. Tatapan mata
Kancil terus tertanam pada benda itu.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Kancil menarik satu kaki depannya ke mulut Harimau. Kancil
dapat melakukannya. Rongga mulut
Harimau dirasanya longgar. Kancil memajukan kakinya itu ke depan, ternyata bisa. Kancil
menghimpun sisa-sisa tenaganya. Setelah terkumpul, ia menerjangkan kakinya ke benda
yang menjadi incarannya sejak tadi. Kenal! Benda itu berdarah. Kancil terus menerjang-
nerjangkan kakinya pada benda itu. Kenal! Benda itu terkoyak dan akhirnya putus.
Bersamaan dengan putusnya benda di rongga mulut Harimau, tubuh si Belang pun ambruk.
Suara gedebuk keras terdengar saat tubuh besar Harimau beradu dengan tanah yang keras.
Begitu tubuh itu jatuh terjerembap, mulutnya pum menganga. Kancil tidak membuang
waktu. Dengan tenaganya yang hampir habis, ia mengluarkan sebelah kaki dan kepalanya
dari dalam mulut Harimau itu.
Beberapa saat lamanya Kancil menatapi tubuh Harimau yang sudah tak bernyawa itu. Ia
hampiir tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Namun, ia bersyukur
karena masih diberi kepercayaan untuk hidup. Kancil beranjak pergi dari tempat itu.

KANCIL, KUDA,
DAN SERIGALA
Raja Kuda adalah raja di kerajaan Rimba Raya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana.
Ucapannya selalu dituruti oleh segenap rakayatnya. Tindakannya selalu menjadi suri
teladan. Rakayat Kerajaan Rimaba Raya hidup dengan tenang, Makmur, dan sejahtera.
Suatu hari Raja Kuda berjalan-jalan ke pelosok kerajaan. Ia sengaja berjalan sendirian tanpa
didampingi oleh pengawalnya. Ia juga berjalan tanpa mengenakan mahkota kerajaan. Raja
Kuda sedang menyamar. Ia menjadi rakyat biasa. Ia ingin menyaksikan kondisi kerajaan
yang sebenarnya. Ia ingin menerima keluhan dari rakyatnya secara langsung demi perbaikan
tindakannya dalam memimpin kerajaan.
Di satu tempat Raja Kuda berpasan dengan pemburu. Entah apa sebabnya, pemburu itu
berniat menangkap Raja Kuda. Mungkin tertarik dengan penampilannya yang tampan.
Rupanya pemburu itu ingin menjadikannya sebagai kuda tunggang. Raja Kuda sadar akan
keadaan. Begitu melihat gelagat yang tidak baik, ia cepat-cepat kabur. Pemburu tidak
membiarkan buannya pergi begitu sajaj. Pemburu mengejarnya. Raja Kuda lari amat cepat.
Ketika dirinya sudah berada cukup jauh, Raja Kuda melompak ke dalam semak. Sayang, kaki
Raja Kuda menginjak duri. Duri itu cukup Panjang dan runcing. Raja Kuda kesakitan. Ia
berusaha mengeluarkan duri itu, mamun ia tak bisa. Raja Kuda akhirnya pasrah. Ia
bersembunyi di tempat itu sampai suasana betul-betul aman. Raja Kuda tak lagi melihat si
pemburu itu.
Ternyata Raja Kuda belum aman. Tiba-tiba keberadaannya diketahui oleh Serigala. Lama
sekali Serigala mengintip gerak-gerik Raja Kuda. Serigala kaget Ketika tahu bahwa Kuda
yang dilihatnya adalah raja di kerajaan itu. Rasa terkejut Serigala tidak lama, berganti
dengan rasa senang. Serigala sudahl lama menunggu kesempatan itu. Sejak lama ia
menunggu waktu untuk membalas demdam pada Raja Kuda. Pada saat pemilihan raja, Kuda
itulah yang mengalahkan dirinya dalam pencalonan. Serigala kecawa. Serigala manaruh
demdam. Ia iri pada Raja Kuda.
Serigala jalan mengendap-endap menghampiri Raja Kuda. Begitu dekat, ia langsung
menyergap Raja Kuda. Mulutnya mencengkeram punuk Raja Kuda. Bukan main terkejut dan
sakitnya Raja Kuda. Ia tidak menyangka akan menerima serangan dari Serigala. Punuknya
pun terasa sakit sekali. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kesakitan seperti itu.
“Serigala, apa yang kamu lakukan?” tanya Raja Kuda sekadar berbasa-basi.
“Apa? Apanya yang apa?” Serigala balik bertanya. Tatapannya seperti diselimuti rasa heran.
“Apa kamu tidak tahu siapa aku?” tanya Raja Kuda lagi dengan tatap menyelidik.
“Justru aku tahu, Raja Kuda yang sombong,” jawab Serigala sambil tersenyum. “Karena aku
tahu siapa kamu, maka aku mau membunuhmu. Aku akan memakan dagingmu selahap-
lahapnya. Bukan saja aku akan kenyang, hai Raja Kuda. Reputasiku juga akan naik. Semua
akan segan padaku. Semua akan menaruh hormat padaku, serigala yang mampu
mengalahkan Raja Kuda yang congkak.”
“Congkak?” ucap Raja Kuda sambil mengerutkan dahi. Apa tidak sebaliknya? Pikirnya.
“Sudahlah, jangan banyak bisara!” Serigala membentak. Ia Kembali akan melanjutkan
aksinya memangsa Raja Kuda itu.
Saat Serigala hendak menjalankan niatnya, sang Kancil datang. Begitu tahu siapa yang
hendak diterkam oleh Serigala, ia langsung melompat.
“Hai, hentikan!” teriak Kancil sambil menghalangkan tubuhnya ke tubuh Serigala.
“Kamu, Cil,” ucap Serigala sambil memundurkan kakinya yang tadi siap menerjang. “Ehm….
Kebetulan sekali. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampui, “ucapkan lagi diakhiri
dengan tersenyum renyah.
“Maksudmu, kamu juga akan memangsaku?” tanya Kancil mencoba menebak.
“Pikiran yang cerdik,” sambut Serigala sambil mengacungkan jempol. “Sama cerdiknya
dengan otakku. Aku akan memakan dagingmu juga, Cil.”
“Ehm… begitu, ya?” ucap Kancil sambil manggut-manggut.
“Kamu keberatan?”
“Soal aku dimakan olehmu, aku sama sekali tidak kebaratan. Tapi, kamu harus mikir dua kali
jika hendak memakan tuanku Raja Kuda.”
“Memangnya kenapa?”
Karena kamu akan celakan, Serigala, “jawab Kancil sambil tersenyum.
Celaka? Kata-kata itu seketika bercamuk dalam pikiran Serigala. Mengapa harus celaka?
Bukankah untuk besar yang akan didapatkan? Ah, si Kancil ini ada-ada saja. Begitu pikir
Serigala.
“Lihat, duri itu Serigala yang pintar,” ucap Kancil sambil menunjuk duri yang menangcap
dalam di kaki Raja Kuda.
“Iya, aku melihatnya. Memangnya kenapa?” tanya Serigala sambil menatapi wajah Kancil. Ia
tidak mengerti jalan pikiran lawan bicaranya itu.
“Ah, kenapa kamu kehilangan akal cerdikmu, Teman,” ucap Kancil dengan kata-kata yang
menggugah rasa penasaran Serigala.
Serigala memang penasaran. Namun ia tak ingin dianggap bodoh. Ia mencoba menebak-
nebak sendiri maksud ucapan Kancil. Uf, …Serigala tetap tak mamahaminya.
“Kala kamu mamakan Tuanku Raja Kuda maka kamu akan turut mati. Duri di kaki Tuanku
Raja itu duri berbisa. Kini bisanya telah menjalar di sekujur tubuh Tuanku Raja. Jika kamu
memakannya, maka kamu akan tertulari lebih bisa duri itu.”
“Tapi, sampai kapan pun aku tetap akan memankannya, Cilh. Sebuah kehormatan besar jika
aku dapat memakannya. Tujuh turunanku akan menghargai prestasiku ini.”
“Lho, memangnya siapa yang akan menentang maumu itu?” ucap Kancil sambil menatap
tajam mata Serigala.
“Kamu?”
“Ada satu cara agar kamu terhindar dari bisadi duri itu, Serigala,” ucap Kancil. Beberapa
saat kemudian Kancil berdiam diri. Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sikap Kancil Kembali
mengundang tanda-tanda. Namun, lagi-lagi pula Serigala tak mau bertanya. Ia takut dikatai
dungu. Ia hanya menuggu. Menunggu sang Kancil menjelaskan maksud ucapannya.
“Kamu harus cabut dulu duri itu. Jiika tercabut, bisa itu otomatis akan keluar lagi dari tubuh
Tuanku Raja Kuda. Begitu, Serigala,” ucap kamcil mengakhiri penjelasannya.
“O…. begitu,” sambut Serigala sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Bagaimana?” tanya Kancil.
“Siapa takut!” sambut Serigala tanda sejutu pada usul Kancil. Tanpa berkata-kata lagi ia
mendekati kaki Raja Kuda. Raja Kuda mengikuti niat Serigala. Raja Kuda menjulurkan
kakinya. Serigala segera menangkap kaki itu dan memegang durinya. Kemudian, dengan
sekuat tenaga ia berusaha mencabutnya.
Raja Kuda telah sejak tadi mengtahui arah pikiran Kancil. Ketika Serigala memegang kakinya
dan tubuhnya tepat di hadapannya, Raja Kuda menghentakkan kakinya keras sekali.
Segenap tenaga ia himpun di kakinya. Dengan segenap tenaga ia tendang Serigala itu.
Tendangannya amat kuat. Tubuh Serigala terpental jauh. Tubuh Serigala melayang di udara.
Begitu jauh ke tanah, tubuh itu membentur batu besar. Buk! Suara keras terdengar saat
tubuh besar Serigala beradu dengan batu. Serigala langsung tak sadarkan diri.
Raja Kuda dan Kancil berpandangan. Keduannya menganggukkan kepala. Raja Kuda
mengajak Kancil pergi. Kancil tidak membantah. Ia berjalan seraya membimbing tubuh
rajanya. Mereka berjalan menuju ke istana kerajaan.
KANCIL DAN
RAJA BABI
Di kerajaan Margasatwa berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Siapa
yang paling jago, dialah yang dinobatkan menjadi raja. Kebetulan, satwa yang paling
digjaya di tempat itu adalah Babi Huta. Maka, dialah yang diusung oleh rakyat kerajaan itu
menjadi pemimpin mereka.
Pilihan rakyat ternyata salah. Raja Babi tidak Amanah dalam menjalankan tampuk
kepemimpinan. Ia menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ia semena-mena
mengumpulkan makan. Ia semena-mena memperlakukan makhluk lain.
Raja Babi tumbuh menjadi satwa yang sombong. Dalam segala hai, ia menunjukkan
keangkuaannya. Ia suka bicara sekenanya. Tak peduli ada yang tersinggung atau tidak.
Kalau marah, kata-kata yang terluncur dari mulutnya kasar dan pedas. Banyak rakyat
kerajaan yang sakit hati karena umpatan dan sumpah sarapahnya. Sakit hati mereka cukup
dalam. Rasa sakitnya melebihi sayatan sembilu pada kulit tangan. Lebih pedih dari goresan
golok pemburu pada daging satwa buruannya.
Saat berjalan, Raja Babi bertingkah sesuka hati. Tak pernah ia berjalan sambil menunduk.
Kepalanya selalu mendongak. Tak peduli ada hewan atau tidak di bawahnya, ia langsung
melangkah dan bahkan menginjaknya saja. Telah banya satwa kecil yang menjadi korban.
Kebanyakan korban adalah bangsa Semut. Ratusan ribu semut telah mati menjadi dedak
karena injakan kaki sang Raja Babi.
Penderitaan rakyat Kerajaan margasatwa semakin dalam. Mereka sudah kewalahan
menghadapi kelakuan rajanya itu. Mereka ingin sekali membuat jera rajanya. Tapi apalah
daya. Siapa yang berani menentangnya?
Jika ada yang berusaha menentang, atau sekadar mengingatkan, Raja Babi akan langsung
menghukumnya. Yang berbicara akan langsung diseruduk. Tubuhnya akan dipanggang
dengan taringnlya yang tajam dan Panjang. Kemudian, tubuhnya itu akan dilemparkan
sekuat tenaga. Kematian akan menyongsong satwa itu. Kalaupun tidak mati, minimal ia
akan cacat seumur hidup.
Raja Babi juga gemar merusak lingkungan. Kepalanya senang seruduk sana seruduk sini.
Pohon-pohon diseruduknya hingga banyak yang tumbang. Bangsa Kera banyak yang
kehilangan tempat tinggal. Tumbuhan berumbi diseruduknya hingga tercabuh. Umbi-
umbinya bertebangan di udara. Umbi-umbinya bergeletakan dan busuk. Tumbuhan itu mati.
Akibatnya, banyak satwa yang kelaparan karena makanannya tak ada lagi.
Rakyat Kerajaan Margasatwa mengadu kepada Kancil. Mereka percaya, Kancil yang terkenal
cerdik akan menemukan jalan keluar. Mereka percaya, Kancil yang tersohor pemberani akan
mampu membuat Raja Babi mati kutu.
Kancil menerima pengaduan dari rakyat kerajaan itu. Ia berusaha untuk menunaikan
kepercayaan itu. Ia mencari cara untuk membuat Raja Babi jera. Ketika cara itu ditemukan,
Kancil menantang Raja Babi untuk tanding berkelahi.
“Hehehe… lucu, lucu,” ucap Raja Babi begitu Kancil selesai menyampaikan tantangan.
“Apanya yang lucu, Baginda?” tanya Kancil sambil menatap rajanya penuh heran.
“Ya, lucu saja. Apa nggak mimpi? Makhluk kecil dan lemah sepertimu mengajakku
bertarung?” jawab Raja Babi diakhiri terrtawa terpingkal-pingka.
“Tapi kita belum mencobanya, Baginda. Saya yakin. Keberuntukan akan berpihak kepada
yang benar,” ucap Kancil dengan mantap.
“Pada kamu, maksudmu?” tanya Raja Babi seperti tidak percaya pada ucapan lawan
bicaranya.
“Iya dong,” sambut Kancil dengan tegas.
“Ehm… walaupun malas, aku akan mengalah.”
“Menerimak tantangan saya?”
“Kalau ada untungnya, kenapa tidak?”
“Tentu saja, tak akan mubzir, Baginda. Ada taruhannya. Jika saya kalah, daging saya yang
lezat ini boleh Baginda santap sepuas hati.”
“Nyantap Kancil? Ehm…. Kenapa tidak ku coba?”
“Tapi Baginda, eh….” Kancil tidak menyesalkan ucapannya. Ia sengaja melakuka hal agar
Raja Babi penasaran.
“Tapi apa?” tanya Raja Babi tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Tapi jika Baginda kalah, Baginda harus melayani saya selama hidup Baginda. Bagaiman?”
ucap Kancil serayap tersenyum-senyum nakal.
“Bedebah! Dasar makhluk tak rahu diri!” Raja Babi murka mendengar ucapan Kancil. Ia
merasa terhina. Tanpa berpikir Panjang lagi, diterimanya tantangan itu. Ia ingin segera
melihat lawannya terkapar. Ia ingin segera mencoba menyantap daging Kancil yang konon
paling lezat di seantero hutan ini.
Sebelum pertandingan ini digelar, Kancil mempersiapkan diri. Ia membuat sebuah topeng itu,
tak boleh ada yang mengira kalau dirinya bertopeng. Usaha Kancil amatlah sulit. Namun
karena ketekunan dan bantuan dari beberapa sahabatnya, usaha Kancil itu berhasil.
Hari yang ditentukan tiba. Rakyat Kerajaan Margasatwa telah penuh sesak di sekeliling
lapangan. Raja Babi telah lama berada di sana. Ia sengaja datang lebih awal. Ia ingin
memastikan pertarungannya di tonton oleh banyak rakyatnya. Ia ingin manyambut
kedatangan makhluk yang akan menyerahkan nyawanya.
Sejak tadi suasana riuh. Suara tepukan dan sorak-sorai telah bergemuruh, terutama dan
pihak-pihak yang disogok untuk mendukung Raja Babi bertanding.
Kancil tiba di tempat itu. Sorak-sorai dan dukungan gegap-gempita menyambut kedatangan
Kancil. Sang Kancil berjalan dengan tenang. Beda halnya dengan Raja Babi. Kedatangan
Kancil disambutnya dengan suara gemeretak giginya. Amarahnya memuncak apalagi Ketika
ia saksikan dukungan terhadap lawannya begitu besar.
Setelah aba-aba dimulai, kedua satwa beda bangsa itu langsung bertarung. Mereka saling
serang dan saling hinder. Keduanya sama-sama menumpahkan segenap kemampuan.
Keduanya sama-sama tak mau terkena serangan lawan. Mulanya pertandingan berjalan
seimbang. Namun lama-kelamaan jadi timpang. Raja Babi di atas angin. Ia menguasa
jalanan pertandingan.
Sebauh serangan tepat besarang di wajah Kancil. Kancil terbanting. Ia jatuh terjerembap.
Kancil mengaduh. Apa yang terjadi pada Raja Babi? Apakah ia baik-baik saja? Ternyata
tidak. Raja Babi merasakan wajahnya sakit sekali. Wajah yang diseruduknya amatlah keras.
Raja Babi makin berang. Ia Kembali menyerudk Kancil. Kancil memasang wajahnya untuk
menghadang serangan. Tepat sekali, serudukan Raja Babi kena di wajah Kancil. Kancil
terjatuh lagi, namun ia segera bangkit Kembali.
Raja Babi kesakitan. Satu taringnya patah. Darah segar mengengucur dari pangkal taringnya
yang tanggal. Raja Babi makin terpancing emosinya. Ia terus menyerang, seruduk sana
seruduk sini. Kancil terus melayani serangan itu dengan menjadikan wajahnya sebagai
tameng.
Kancil beberapa kali jatuh tersungkur, namun mampu bangkit lagi. Beda halnya dengan yang
dialami oleh Raja Babi. Seluruh taring Raja Babi telah lepas. Darah telah kuyup memandikan
wajahnya, bahkan mengalir ke tubuhnya. Makin lama Raja Babi makin kekurangan darah.
Kepalanya juga dirasakannya makin lamaj makin pusing. Pandangannya berkunang-kunang.
Akhirnya Raja Babi tak mampu menguasai diri. Ia pingsan.
Ketika sadar, ia telah dikerumuni oleh wasit dan juri pertandingan. Raja Babi tak bisa
mengelak dari perjanjian. Ia menyatakan menyerah kepada Kancil. Ia juga menyatakan
sanggup menjadi pelayan Kancil. Lebih dari itu, karena rasa malu, Raja Babi menyerahkan
tahta kerajaan. Ia memutuskan untuk menjadi rakyat jelata.
KANCIL DAN
GENTONG AIR
Di sebuah bukit tinggal sekawanan binatang. Mereka adalah Monyet, Burung Gagak, Rusa,
dan Kancil. Para suatu saat mereka kehausan. Karena kemarau Panjang, mereka tak
menemukan setitik air pun. Satu-satunya tempat yang ada airnya adalah sungai. Empat
sahabat itu sepakat untuk pergi ke sungai.
Dari kejauhan mereka melihat sungai. Bukan main senangnya mereka. Mereka berlari
menuju bibir sungai. Begitu sampat, mereka langsung menurunkan mulut. Namun, sebelum
Hasrat mereke terpenuhi, sebuah suara keras mengejutkan mereka.
“Hai, apa-apaan kalian!” bentak Buaya dengan kepala menyembul di permukaan sungai.
“Kami mau minum, Buaya,” jawab Kancil berusaha menegarkan diri. Sebetulnya ia ngeri
melihat gigi-gigi Buaya yang menyembul di dalam mulutnya yang menganga.
“Kami kehausan,” dukung Burung Gagak.
“Sudah beberapa hari tidak minum,” timpal Rusa.
“Iya, makan melulu. Jadinya, kerongkongan kering kerontong,” tambah Monyet.
“Masalah, Lu,” tukas Buaya. “Ini sungai milikku. Ada dalam kekuasaanku. Kalian tidak boleh
minum seenaknya. Kecuali…. Kecuali satu di antara kalian mau jadi isi ususku,” tambahnya
seraya tertawa menyeringai.
Kancil dan teman-temannya bergidik. Tanpa menunggu apa-apa lagi, mereka berlarian
meninggalkan Buaya itu. Ancaman sang Penguasa Sungai itu tidak mereka anggap main-
main.
Kancil dan teman-temannya Kembali ke tempat tinggalnya. Mereka Kembali duduk-duduk,
membahas masalah yang sedang mereka hadapi.
“Oooo iya, aku lupa,” ucap Monyet dengan suara keras. “Di dekat sawah Pak Tani aku
melihat ada gentong. Aku sempat melihat isinya. Ada airnya sedikit. Ehm…. Sepertinya cukup
untuk minum kita berempat. Ehm, bagaimana kalau kita ke sana? ,”ajaknya kepada ketiga
temannya.
Burung Gagak, Rusa, dan kancil setuju. Mereka kemudian bergegas menuju ke tempat yang
disebutkan oleh Monyet. Setibanya mereka langsung meneliti isi gentong itu. Benar kata
Monyet, airnya memang ada, tapi di dalam, di dasar gentong.
“Silakan siapa lebih dulu,” ucap Kancil mempersilakan teman-temannya untuk minum.
Burung Gagak bergerak lebih cepat. Wajahnya dihadapkan ke mulut gentong. Paruhnya
dijulurkan ke bawah. Sial, paruhnya terlalu pendek. Permukaan air sama sekali tidak
tersentuh.
“Bagaimana, Gak?” tanya Kancil. “Apa sudah kenyang minumnya?” tambahnya begitu
melihat Burung Gagak sudah mendongakkan kepala lagi.
“Kenyang apaan. Setetes pun tidak,” jawab Burung Gagak ketus. “Gentongnya
kepanjangan,” tambahnya dengan wajah cemberut.
“Bukan gentongnya kepanjangan, itu paruhmu kependekan,” gada Kancil.
Burung Gagak tidak berkomentar. Hanya bibirnya yang ia gigit. Burung Gagak tersenyum
pahit. Rusa maju beberapa Langka. Beberapa saat ia menatapi isi gentong air. Aira liurnya
menyelinap di antara gigi-giginya, kemudian turun. Seperti melihat rumput yang ramun saja,
sikap si Hewan Beranduk indah itu.
Rusa memasukkan kepalanya ke mulu gentong. Sial, hanya sampai keningnya yang dapat
masuk ke mulut gentong itu. Kepalanya tidak bisa masuk karena terhalang oleh tanduknya.
“Makanya, taruh dulu tandukmu itu, Sobat,” gada Kancil diakhiri dengan tertawa
cekikikan.
“Dasar, Lu,” ucap Rusa sambil mendelik. Rusa putus asa, tidak terus berusaha
meminum air itu. Ia mundur beberapa Langkah, kemudian duduk di tanah. Wajahnya pasrah.
“Aku pasti bisa,” ucap Monyet penuh semangat. Ia melompat ke arah gentong.
Begitu tiba, ia langsung menggapai bibir lubang gentong. Monyet memasukkan kepalanya
ke dalam gentong. Ia berhasil kerena tak memiliki tanduk seperti Rusa. Sayang, dasar
gentong masih terlalu jauh. Mulut Monyet tidak menyentuh permukaan air. Monyet
mengangkat kepalanya. Kini ia menjulurkan tangannya ke bawah. Maksudnya mau
menyiduk air itu dengan telapak tangannya. Kemudian membawanya ke mulutnya dan
meminumnya. Namun, lagi-lagi usahanya gagal.
“Gagal, ah,” ucap Monyet dengan wajah kecewa.
“Apa tak ada akal lain,?” tanya Kancil sambil menatapi mata sahabatnya.
Monyet tidak menjawab. Ia malahan termunung. Pasti si Monyet itu sedang berpikir.
Cara apa yang dapat dilakukannya lagi? Setelah beberapa saat berpikir, Monyet berteriak.
Teman-temannya terkejut. Mereka mengira Monyet digigit Semut atau disengat
Kalajengking.

Anda mungkin juga menyukai