Anda di halaman 1dari 2

Kisah Si Kancil dan Pak Buaya

Si Kancil tak pernah kapok mendatangi kebun pak tani. Walaupun berkali-kali hampir
tertangkap, Kancil tetap saja masuk ke kebun. Kali ini Kancil kena sialnya, ia tertangkap
oleh pak tani dan anjingnya yang galak. Tapi bukan Kancil namanya kalau tidak bisa lepas
dari perangkap.

Kancil berhasil melarikan diri dari tangkapan pak tani, dan berlari sekencang mungkin.
Kancil tahu harus segera bersembunyi karena ada anjing Pak Tani yang galak. Sayangnya,
lari Kancil terhenti oleh sungai yang dalam. Binatang cerdik ini langsung mencari-cari akal.
Hingga kemudian dilihatnya ada banyak pohon pisang dekat sungai.

Kancil merobohkan beberapa pohon pisang dan membawanya ke tepi sungai. Malangnya,
Kancil tidak sadar kalau ia diperhatikan oleh seekor buaya dari tadi. Ketika tengah sibuk
membereskan pohon pisang yang akan dibuat rakit, ada seekor buaya yang
menghampirinya. Kaki belakang Kancil yang masuk ke sungai digigit oleh buaya itu.

“Aduh!” jerit Kancil kesakitan.

Kancil ketakutan ketika melihat seekor buaya besar menangkap kakinya. “Tolong lepaskan,
Pak Buaya,” rintihnya mengiba.

“Mana mungkin daging selezat ini aku lepaskan!” sahut Pak Buaya sengit.

Pak Buaya melonggarkan gigitannya, tapi tidak membiarkan Kancil bebas. Sangat jarang
dirinya mendapatkan mangsa seenak sekarang. Saudara-saudaranya juga pasti senang
sekali dengan hasil buruannya ini.

Kancil memang ketakutan, tapi dasar binatang cerdik, Kancil tiba-tiba mendapatkan sebuah
ide. “Tapi, dagingku sangat sedikit. Tidakkah kau lihat tubuhku kecil seperti ini, Pak
Buaya?” Kancil memohon dengan suara memelas.

Pak Buaya memperhatikan Kancil mulai dari kaki hingga kepala. Memang benar juga, Si
Kancil sangat mungil tubuhnya. Bagaimana mungkin cukup dimakan bersama-sama
dengan buaya lainnya.

“Biarkan aku mencari makan dahulu agar dagingnya bertambah tebal,” bujuk si Kancil
tanpa putus asa.

Pak Buaya mengangguk, lalu melepaskan kaki si Kancil. “Awas jangan kabur, yah!”
ancamnya sambil memperhatikan penuh waspada.

Sementara si Kancil mencari makanan di tepi sungai. Buaya-buaya yang lainnya datang
menghampiri mereka. Badan Kancil gemetar ketakutan. Tapi, lagi-lagi otak cerdiknya
mendapatkan sebuah ide.
“Pak Buaya, apa semua temanmu sudah datang?” tanya Kancil sambil memperkirakan
lebar sungai dengan jumlah buaya yang ada.

Buaya memperhatikan si Kancil penuh curiga. Tapi binatang besar itu mengangguk juga
akhirnya, menjawab pertanyaan Kancil.

“Aku tidak tahu apakah daging di tubuhku ini cukup atau tidak untuk kalian semua,” celetuk
si Kancil. “Bisakah kalian berbaris rapi hingga ke ujung sana? Jadi aku bisa menghitung
kalian dengan benar.”

Walaupun sedikit heran, buaya besar itu mengikuti permintaan si Kancil juga. Ia meminta
buaya lainnya untuk berbaris. Si Kancil senang karena rencananya hampir berhasil. Pak
Buaya dan buaya-buaya lainnya mulai berbaris rapi.

“Ayo, cepat hitung!” dengus Pak Buaya kesal.

Si Kancil dengan senang hati menghitung jumlah buaya yang ada. Ia berhitung sambil
menaiki punggung buaya satu demi satu.

“Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima!” serunya lantang. “Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan.
Sepuluh!”

Kancil terus berhitung sambil meloncat dari satu punggung ke punggung buaya lainnya.
Hingga akhirnya ia tiba di seberang sungai dan meloncat ke tanah dengan sukacita.

“Ada sepuluh ekor buaya! Dagingku pasti cukup untuk kalian. Tapi sayangnya, aku masih
ingin hidup!” teriaknya, lalu lari sekencang mungkin ke dalam hutan meninggalkan para
buaya.

“Kurang ajar kamu, Kancil!” teriak Pak Buaya marah dari ujung sungai satunya.

Tapi apa mau dikata, si Kancil telah melarikan diri. Para buaya menggerutu kesal dan
menyalahkan Pak Buaya karena kebodohannya. Padahal semua buaya itu juga sama
polosnya dengan Pak Buaya, jadi bisa diakali oleh si Kancil.

Anda mungkin juga menyukai