Anda di halaman 1dari 8

Lagu Si Kancil Anak Nakal

Si Kancil anak nakal

Suka mencuri ketimun

Ayo lekas dikejar!

Jangan diberi ampun.

Pernah mendengar lagu itu? Beberapa dekade lalu, lagu itu umum dinyanyikan di sekolah
taman kanak-kanak. Sekarang, mungkin hanya sedikit anak-anak yang masih belajar dan
mendengar lagu itu. Lagunya mengisahkan tentang kancil yang hobi makan ketimun curian,
sampai meresahkan pak Tani. Pokoknya, kancil betul-betul nakal, deh. Lagu ini kelihatannya
terinspirasi dari fabel si Kancil. Fabel adalah cerita fiksi atau khayalan mirip dongeng dan
menjadikan binatang atau tanaman sebagai tokoh utama, dan mengandung pesan moral untuk
pembacanya.

Tapi, apa betul kancil dalam fabel itu nakal? Sepertinya, sih, tepatnya cerdik, karena dia
harus mempertahankan hidupnya dan membela teman-temannya di alam yang ganas ini
dengan cara yang dia ketahui. Kebetulan, karena kancil (pelanduk jawa atau pelanduk kancil)
tinggal di hutan, maka fabel ini banyak melipatkan hewan-hewan dibandingkan manusia.
Fabel tentang kancil ini dengan berbagai versinya lumayan dikenal di Indonesia. Seperti apa
saja, ya, kecerdikan kancil itu? Cerita di bawah ini akan bisa menggambarkan kecerdikan si
Kancil dalam fabel. Tapi, pertama-tama, tidak ada salahnya menyimak tentang kisah Kancil
dan Pak Tani seperti di lagu tadi.

Kumpulan Dongen Si Kancil Penuh Nasihat


1. Kisah Kancil dan Pak Tani

“Kruukk…krruuk,” Kancil mengelus perutnya yang dari tadi mengeluh lapar, dan
tenggorokannya pun sangat kering. Hari amatlah panas. Kancil berjalan sendirian. Tadi dia
memang bersama teman-temannya meninggalkan hutan kecil tempat tinggal mereka yang
terbakar. Sekarang, teman-temannya sudah meninggalkannya.

Kancil duduk bersandar karena matanya berkunang-kunang. Tiba-tiba ia melihat hamparan


hijau. Ya, itu adalah ladang Pak Tani, yang menanami ladangnya dengan ketimun. Air liur
Kancil menetes.

“Ah, aku akan memakan timun Pak Tani,” kata Kancil. “Kalau cuma makan sedikit pasti
tidak apa-apa.”

Kancil menyusup lewat celah pagar ladang Pak Tani dan mengunyah sebuah ketimun. “Krrss,
hmmm, segar sekali.”

“Satu lagi, ah. Lalu aku akan menyusul teman-teman.” Kancil memetik satu lagi,
memakannya. Satu lagi, satu lagi, sampai ia kekenyangan dan tertidur. Kancil terkejut karena
hari sudah sore. Ia segera meninggalkan ladang itu.
Saat tiba di ladang, Pak Tani kaget melihat ketimunnya banyak yang hilang, hanya tersisa
sampah ujung ketimun.. “Aduh, bagaimana ini,” keluh Pak Tani. “Aku tidak jadi panen.
Siapa yang berani mengambilnya, ya?”

Bu Tani berkata, “Kita takut-takuti dia dengan orang-orangan, Pak. Siapa tahu, dia tidak
berani datang lagi.”

“Ide bagus, Bu. Ayo, kita buat sekarang.”

Berlangganan Gramedia Digital


Baca majalah, buku, dan koran dengan mudah di perangkat Anda di mana saja dan kapan
saja. Unduh sekarang di platform iOS dan Android

 Tersedia 10000++ buku & majalah


 Koran terbaru
 Buku Best Seller
 Berbagai macam kategori buku  seperti buku anak, novel,religi, memasak, dan lainnya
 Baca tanpa koneksi internet

Rp. 89.000 / Bulan

Mereka membuat orang-orangan dari jerami dan menggunakan baju bekas dan caping Pak
Tani.

Esok harinya, Si Kancil memasuki ladang itu lagi.

“Apa? Pak Tani berjaga di ladangnya?” serunya terkejut.

Ia menunggu sampai Pak Tani pergi, namun kelihatannya Pak Tani betah berjaga di sana.
Tapi, mengapa Pak Tani diam dan melotot terus seperti itu, ya? Kancil memberanikan diri
untuk memasuki ladang dan Pak Tani tidak mengusirnya. Akhirnya Kancil mengerti, bahwa
itu hanya orang-orangan yang dibuat seperti Pak Tani.

“Ayo, makan bersamaku, Pak Tani!” ajaknya dan mengambil caping orang-orangan itu. Ia
makan sampai kenyang sambil nyender ke tubuh orang-orangan itu. Setelah kenyang, Kancil
segera pergi.

Sorenya, Pak Tani terkejut karena ketimunnya tetap hilang. “Ulah siapa, sih, ini?” katanya
geram.

“Sepertinya pencurinya sudah tahu jika ini orang-orangan dan bukan bapak,” kata Bu Tani.
“Bagaimana jika kita melumuri orang-orangan ini dengan getah, sehingga akan membuat
lengket pencurinya?”

Lalu mereka  melumuri tubuh orang-orangan itu dengan getah buah Nangka.

Esoknya, Kancil datang lagi. “Wah, Pak Tani, kamu masih disitu,” katanya lalu mulai
memetik ketimun dan mulai memakannya sambil menyenderkan tubuhnya. Selesai makan, ia
berniat pergi. Tapi, oh-oh, badannya lengket menempel ke orang-orangan itu!

Tiba-tiba datanglah Pak Tani. Kancil tidak berkutik, dia harus siap-siap dihukum.
“Oooh, rupanya kamu yang memakan hasil jerih payahku?” Pak Tani berkacak pinggang.

“Ampun, Pak Tani, maafkan aku. Hutan kecil kami terbakar beberapa hari lalu.” Kancil
memohon.

“Ya, tapi, tetap saja mencuri itu tidak baik. Enaknya, saya kasih kamu hukuman apa, ya?”
Pak Tani tetap kesal.

“Bagaimana jika kita hukum dia membereskan ladang selama seminggu dan menanami bibit
ketimun lagi, Pak?” usul Bu Tani.

Kancil pun menerima hukuman itu. Ia tahu bahwa memang dia bersalah. Dia bekerja dengan
rajin dan berharap Pak Tani sungguh-sungguh memaafkannya.  Akhirnya, hari terakhir
hukuman si Kancil tiba.
“Terimakasih sudah bekerja dengan rajin, Kancil. Jangan mencuri lagi, karena perbuatan itu
merugikan orang lain. Lebih baik kamu berusaha dengan jerih payahmu sendiri. Ini bekal
ketimun untukmu di hutan nanti,” Kata Pak Tani sambil menyerahkan sekarung ketimun.

“Aku meminta maaf sekali lagi atas kesalahanku, Pak Tani. Terima kasih tidak
menghukumku lebih berat. Aku berjanji tidak mencuri lagi.” Kancil berkata penuh
penyesalan.

Kancil kembali ke hutan. Ketimun pemberian itu selain dia makan tapi juga juga menyisihkan
sebagian untuk ditanam di kebunnya sendiri, supaya dia juga bisa panen timun.

2. Kisah si Kancil dan Buaya

Sumber : kompasiana by Ibrahim Quraisy

“Aduh, tolong! Tolong aku,”

Sapi mendengar rintihan dari balik batu. “Siapa dan di mana kamu?”

“Aku, si Buaya. Sekarang aku ada di bawah tumpukan batu-batu ini, aku terjebak dari pagi.
Aku sedang berjalan, dan tiba-tiba sejumlah batu menimpaku, sampai tubuhku pun berdarah.”

Sapi merasa ragu-ragu sejenak, ia berniat untuk meninggalkan tempat itu segera. Tetapi
berpikir bahwa Buaya memerlukan pertolongan, akhirnya Sapi setuju membantu mengangkat
bebatuan itu.

“Aaah, terimakasih Sapi. Tanpamu aku tidak akan terlepas dari batu-batu itu.” Kata Buaya.
Terlihat wajahnya terluka dan kakinya pun mengeluarkan darah.

“Sama-sama, Buaya,” jawab Sapi sambil beranjak hendak pergi. “Aku, pergi dulu, ya.”
“Eeeh, mau kemana, Sapi? Kamu tega meninggalkanku di sini, sementara kakiku tidak bisa
berjalan?” tanya Buaya dengan air mata meleleh. Sapi merasa iba.
“Kumohon bantulah gendong aku dan antarkan ke sungai.” Kata Buaya. “Aku tidak bisa
kemana-mana dengan kaki berdarah begini.

Sapi berlutut, dan Buaya menaiki punggungnya. “Terimakasih, Sapi.”

Mereka berjalan menuju ke sungai. Sesampainya di sana, Buaya menolak turun. “Aku lapar,
Sapi, kelihatannya daging punggungmu ini enak juga.”

Sapi mulai ketakutan dan menangis, “Jangan, Buaya, aku sudah menolongmu. Mengapa
kamu jahat?” Buaya tetap tidak peduli, dia membuka mulut dan bersiap menggigit punggung
sapi.

“Loh, Sapi, kenapa kamu menangis?” tanya Kancil yang tiba di sungai yang sama. “Kenapa
Buaya ada di gendonganmu?”

Sapi pun bercerita tentang bagaimana bisa Buaya ada di gendongannya dari awal sampai
akhir.

“Hmm, tapi, memang betul, sih, pertolongan harus diberikan sampai tuntas.” Kata Kancil
sambil merenung. Air mata si Sapi semakin deras dan Buaya semakin senang.

“Tapi, aku tidak percaya Buaya ini memang tertimpa batu saat kau datang, Sapi. Kenapa
Buaya sehebat ini tidak bisa bergerak sampai kamu harus menolongnya?”

Buaya kesal. “Ayo, Sapi, tunjukkan tempat di mana batu-batu itu berada, supaya Kancil
melihat besarnya seperti apa.”

Mereka bertiga kembali ke tempat itu. Batu-batu besar itu masih ada.

“Di mana si Buaya itu tadinya berada? Dan bagaimana batu-batuan itu menimpanya?” tanya
Kancil.

Lalu Buaya turun dan merangkak menuju tempatnya semula. Lalu Sapi meletakkan bebatuan
di atasnya, persis seperti saat ia menemjukan Buaya.

“Begini, loh, tadi aku terjepit seperti ini,” kata Buaya dengan suara samar-samar karena batu-
batu di atasnya. “Percaya, kan, sekarang, jika aku benar-benar tidak bisa bergerak?”

“Ooh, begitu. Ya, aku percaya sekarang,” kata Kancil. Lalu berkata kepada Sapi, “Ayo, Sapi,
kita tinggalkan dia di sini.”

“Hey, tunggu! Kalian mau kemana? Hey, aku masih di sini.”

Tetapi, Kancil dan Sapi sudah tidak ada di tempat itu, meninggalkan Buaya yang tidak tahu
terima kasih. Baca juga : Rekomendasi Dongeng Cerita Anak Bahasa Indonesia

Anda mungkin juga menyukai