Anda di halaman 1dari 25

KANCIL MENCURI KETIMUN

Siang ini terik sekali. Matahari tepat berada di atas kepala


Cahayanya yang panas seperti membakar bumi. Maklum, saat ini masih musim kemarau
panjang. Tanah sawah dan ladang retak-retak, menganga lebar seakan meminta
diretakkan dengan turunnya air hujan. Pepohonan banyak yang tak lagi berdaun, baik
karena tak tahan dibakar sinar yang panas atau sengaja menggugurkan daunnya, seperti
pohon jati dan randu
Penghuni bumi gerah dibuatnya. Peteni yang sedang menggarap tanah sudah basah kuyup
badannya dengan keringat. Kerongkongannya terus mengering padahal terus terusan pula
dibasahi dengan air minum. Hal yang sama dialami pula oleh bangsa hewan. Sama halnya
dengan manusia, mereka pun merasa tak nyaman. Mereka pun membutuhkan air untuk
mendinginkan tubuh nya
Kancil yang sedang bermain, mehentikan keasyikannya. Ia tak kuasa menahan dahaga.
Kancil berlari menuju ke tepi hutan. Ia ingin mencari air atau benda berair apa saja yang
penting mengeluarkan air. Kancil hanya mampu berlari beberapa puluh meter.
Selanjutnya, ia berjalan kaki. Napasnya tersengal – sengal. Dadanya kembang kempis
Langkah kaki Kancil makin lama makin pelan. Rasa lunglai menguasai dirinya. Namun ia
terus saja berjalan, sambil terus pula matanya jelalatan mencari sumber air. sungguh aneh
bin ajaib. Ia tak melihat genangan air. Sumur tua yang biasanya ada airnya,kini kering .
Kolam dan danau kecil yang biasanya penuh dengan air, kini kering kerontang. Begitu juga
sungai dan genangan air lainnya, sama sekali tak berair
Kancil tiba di dekat kebun Pak tani.dari kejauhan ia telah melihat hamparan perkebunan
itu .Ia lihat aneka sayuran tumbuh subur di sana .Buah tomat yang ranum bergelantungan
diteturus bambu .Buah labu siam yang hijau kekuningan bergalayutan dari peranggong
anyaman bamboo .Begitu juga kol dan bayam menghampar bagaikan permadani hijau
Tatapan mata Kancil tertanam dalam pada kebun ketimun.Ia lihat ketimun ranum-ranum
yang membuat air liurnya bercucuran .Kancil tergoda untuk memkan sayuran
itu .Hasratnya untuk itu semakin lama semakin menggebu .Akhirnya ,Kancil memutuskan
untuk mengambil beberapa butir buah ketimun itu .
Beberapa saat Kancil celingukan.Ia mencari kesekeliling kebun ,kalau-kalau ada Pak tania
tau Bu tani di sana .
‘’Wah,aman , ‘’piker Kancil .’’Kalau rezeki ,memang tidak ke mana ,’’ uacapnya lagi seraya
menelan air liurnya .
Walaupun suasana dirasanya aman,Kancil tatap waspada .Ia masuk ke kebun itu dengan
mengedap-endap .Begitu tiba ,Kancil langsung meluluskan hasratnya itu .Ia petik sebutir
ketimun yang masih muda ,kemudian dimakannya.
‘’Nikmat bua… nget, ‘’ gumamnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
Dalam sekejap saja buah ketimun itu habil.Kancil memetik buah ketmun lainnya ,lalu
dimakannya .Demikiannya seterusnya sampai ia habiskan puluhan butir ketimun .Setelah
kenyang ,ia pun pergi .Ia berjalan menuju ke arah rumahnya.
Keesokan harinya,Paktani datang ke kebun .Begitu meneliti kebun ketimunnya ,Pak tani
geram .Ia melihat banayak ketimun yang hilang .Ia yakin ,kemarin atau tadi malam pasti
ada makhuluk tak diundang yang telah mencuri hasil jerih payahnya bercocok tanam .Pak
tani makin geram Ketika melihat beberapa pohon ketimun terangkat dari tanah.
‘’ Dasar orang jahat.Sudah mencuri ,merusak pula .ketimunku bukan Cuma hilang ,tapi
juga mati .Batang ini mana mungkin berbuah lagi. ‘’
Pak tani menggerutu.Ia mengira ,yang mengambil ketimunnya adalah manusia .Ia
duga ,manusi itu tergesa-gesa mengambilnya sampai pohonnya pun tercabut.
Di tempat lain,dirumahnya Kancil sedang berbaring santai pengalamanya mencuri ketimun
sungguh tak mampu lenyap dari ingatannya .Betapa nikmat rasanya makan ketimun tanpa
harus menanam dulu .Pengalaman itu membekas di hati Kancil .Ia jadi ketagihan .Ia
berniat ,besok dan hari-hari lainnya akan mengambil ketimun Pak Tani lagi .Kalau
perlu ,mengambil sayuran lainnya.
Besoknya ,Kancil Kembali beraksi .Ia mengambil buah ketimun dan memakannya
sebagian .Sebagian lainnya di bawah pulang untuk dimakan di rumah .Kali ini Kancil
menambah aksinya .Ia membuat kerusakan .Ia cabuti beberapa batang timun .Ia
berguling-guling di antara rimbunnya tanaman itu .Ia juga merusak beberapa bagian pagar
kebun .Maksudnya ,agar Pak Tani mengira babi hutan yang menyruduk masuk kebun itu.
Keesokan harinya kerusakan itu diketahui oleh Pak Tani.Ia makin geram.
‘’ Dasar binatang, ‘’ hardik Pak Tani. ‘’ sudah memakan ketimunku, eh merusak pula.
Awas, lu. ‘’
Pak Tani tak hanya mengamcam dengan kata-kata. Sepulangnya dari kebun ia langsung
bekerja. Ia mengumpulkan alat dan bahan untuk membuat orang-orangan. Karena sudah
terbiasa, orang-orangan pun terbentuk dengan sempurna. Sekilas, mirip dengan orang
sungguhan. Besoknya, subuh-subuh Pak Tani membawa orang-orangan itu ke kebun dan
menancapkannya di tengah kebun ketimun. Sebelum pulang, ia melumuri sekujur tubuh
orang-orangan itu dengan getah Nangka.
Siangnya, Kancil yang sudah keenakan datang lagi ke kebun Pak Tani. Seperti biasa tatapan
matanya langsung jalan, berkeliling mengawasi keadaan. Tatapannya lama sekali
tertumbuk pada sesosok tubuh di tengah kebun ketimun.
“Ah, ada teman Pak Tani, “guman Kancil dengan nada kecewa. Ia makin menajamkan
tatapannya. Ia makin yakin bahwa orang yang dilihatnya bukanlah Pak Tani pemilik kebun
itu. Kepadannya ia kenal betul.
“Tapi kenapa diam saja, ya? “tanya Kancil dalam hati. “Ehm…. Mungkin orang suruhan Pak
Tani itu satpam. Kata ibuku, satpam emang paling bisa berdiri seperti patung. Atau eh…. Ia
itu kakek-kakek hingga tak mampu bergerak?
“Berpuluh pertanyaan menyelinap di pikiran Kancil. Tak satu pun dari pertanyaan itu
mampu ia jawab. Kancil penasaran untuk mengetahui siapa orang itu. Siapa orang yang
berani mengalangi maksudnya mengambil ketimun? Makin lama, rasa penasaran Kancil
makin menggebu. Di balik rasa penasarannya, ia ingin mengusir orang itu. Setelah lama
berpikir, Kancil memutuskan untuk bergerak. Ia berjalan mengendap-endap menghampiri
orang-orangan itu.
Ketika berhadapan. Kancil makin menajamkan tatapa. Yang ditatap balas menatap.
Malahan tidak berkedip dan seperti membelalaki. Kancil ciut hatinya. Di matanya, orang
itu teramat seram. Kancil takut dibuatnya. Ia menundukkan wajahnya.
“Ehm… maafkan kelancangangan saya, Pak, “ucap Kancil dengan membungkuk.” Saya
ngaku, sayalah yang telah mengambil ketimun di sini. Saya pula yang merusak kebun dan
pagarnya, “lajutnya masih dengan membungkuk-bungkuk tubuhnya.
Orang-orangan tak bergeming, tidak terpengaruh oleh kata-kata dan sikap Kancil. Kancil
menengadakan tatapannya namun, kini tatapan itu terasa beda. Bukan kemarahan yang
memancar dari matanya, tetapi sinis. Seolah-olah orang-orangan itu sedang mengolok-
olok kancil. Melihat hal itu, timbul keberanian Kancil. Sialan, pikirnya. Siapa sih orang yang
angkuh ini?
“Kamu mengejek saya?” ucap Kancil dengan suara keras.
Yang dihardik tidak bereaksi. Tatapannya bergeming dari mata kancil.
“Dasar orang sombong! “maki Kancil lagi. “Berani sekali sombong di sini. Ini wilayah
kekuasaanku, tahu! “ucapnya lagi sambil menyentuh tangan orang-orangan itu dengan
punggung tangannya.
Orang-orangan itu tetap tak bergeming. Kancil merasa tertantang. Ia merasa disepelekan
oleh orang-orangan itu. Kancil meninju perutnya. Orang-orangan itu bergerak sedikit ke
samping, tapi tak membalas. Kancil makin berani. Beberapa tinju terus meluncur ke arah
perut dan bagian badan lainnya dari orang-orangan itu. Bahkan, Kancil mulai berani
menyerangnya dengan tendangan.
Walaupun terus dicecar dengan serangan, orang-orangan itu tetap tak bereaksi. Ia tidak
balas menyerang. Bahkan, mengaduh dan menghindar pun tidak. Kancil makin beram. Ia
merasa terhina. Ia mencari taktik paling jitu untuk mengalahkan orang-orangan itu.
Kancil nekat. Ia menyerudukkan tubuhnya kearah orang-orangan itu. Kini tubuh orang-
orangan itu telah berada dalam pelukannya. Kancil berusaha menggumbuli orang-orangan
itu. Ia menjatuhkannya ke tanah dan menindihnya. Namun apa yang terjadi? Apakah
lawannya mengadu atau meminta ampun? Apakah berkelit, menjauhkan badan dan pergi?
Apakah membalas perlakuan Kancil dengan tonjokkan dan tendangan? Tidak, tubuh Kancil
malah tak mampu dilepaskan dari tubuh orang-orangan itu. Orang-orangan itu seperti
mendekapnya tampa mau dilepaskannya.
Di tengah rasa paniknya, Kancil mencoba merneka-nerka. Akhirnya ia tahu bahwa
lawannya bukanlah manusia. Ia semacam boneka yang dibuat untuk menakut-nakuti dan
menjebaknya. Kancil sadar, dirinya telah kalah. Ia telah masuk dalam perangkap jebakan
Pak Tani.
Kancil tidak berdiam diri. Ia berusaha melepaskan diri dari rekatan getah yang
menyatukan dirinya dengan lawannya. Namun usaha Kancil sia-sia. Perekat alami itu
benar-benar kuat. Kancil kehabisan tenaga. Ia terkulai lemah. Hanya nafasnya yang
terdengar pelan-pelan. Kedipan matanya semakin lama semakin lambat.
Dalam kecemasannya itu, tiba-tiba ia melihat Pak Tani di kejauhan. Rasa takut
membuatnya bergerak-gerak lagi. Namun tetap saja usahanya sia-sia. Akhirnya Kancil
pasrah. Ia pasrah Pak Tani menyumpahinya. Ia pasrah Ketika Pak Tani dengan paksa
memisahkan tubuhnya dengan tubuh orang-orangan. Ia pasrah pula Ketika tubuhnya
dipukul oleh Pak Tani menuju ke perkampungan.
“Katanya Kancil makhluk yang cerdik, “gerutu Pak Tani. Masa makhluk cerdik tidak
mampu keluar dari jebakanku?”
“Katanya mahkluk yang cerdik. Apa iya, ya? Ehm… cerdik memang mungkin saja. Tapi, apa
artinya kecerdikan itu kalau digunakan untuk kejahatan? Mencuri itu kejahatan, tahu?
Tuhan akan mencatatnya sebagai dosa. Dosa itu akan dibalas dengan siksaan. Mencuri
juga merugikan orang, tahu? Aku yang sudah susah menanam dan menjaganya, kamu
rugikan. Kalau kamu mau, kenapa tidak minta saja? Minta itu lebih baik daripada mencuri,
tahu!” Suara makian Pak Tani terus masuk ke indra pendengran Kancil.
Kancil tidak berkomentar apa-apa. Tidak bertanya, menjawab, ataupun menyala. Ia diam
seribu Bahasa. Ia juga tidak mengerak-gerakan tubuhnya. Kancil pasrah akan dibawa ke
mana oleh Pak Tani.
Setiba di rumahnya, Pak Tani menurunkan Kancil dan memasukkannya ke kandang ayam.
Sejak masuk, Kancil langsung menutup hidungnya. Bau kotoran ayam, bebek, angsa, dan
langsung menyesaki hidungnya. Sungguh tak sanggup ia rasakan semuanya. Amat jauh
berbeda dengan udara segar di alam terbuka tempatnya tinggal.
Sambil menahan derita bau dan pengap, Kancil mengira-ngira nasib apa yang akan
dialaminya. Mungkikah akan dijadikan anak angkat oleh Pak Tani? Mungkinkah akan
dikawinkan dengan putri Pak Tani yang konon berparas jelita? Mungkinkah akan dijadikan
pengawal pribadi sebagaimana halnya Anjing? Atau…
Pertanyaan Kancil akhirnya terjawab Ketika ia mendengar perckapan Pak Tani dan Bu Tani.
Pak Tani meminta istrinya untuk menyiapkan bumbu untuk memasak daging. Pak Tani
sendiri katanya akan mengsah golok untuk menyembelih dan mencincang daging.
“Bumbu untuk masak dagiing? Daging apa yang akan dimasak? Mengsah golok untuk
menyembelih? Siapa yang akan disemblih? Siapa yang dagingnya akan dicincang?”
Pada obrolan berikutnya Kancil tau kalau yang akan disembelih dan dagingnya akan
dimasak lalu dimakan adalah dirinya. Bukan main pedihnya hati Kancil. Pikirannya, inilah
hari terakhir dirinya menghiriup udara di bumi ini.
Kancil tidak lera menerima kenyataan itu. Ia ingin tetap hidup. Karenanya, ia mencari cara
untuk meloloskan diri dari kematian. Setelah lama berpikir, cara itu pun ditemukannya.
Ketika melihat Anjing kesayangan Pak Tani menghampirinya, cara itu pun sempunya
dalam pikirannya. Tiba pula saatnya untuk dijalankan.
“Telur-telur, ulat-ulat, kepompong, kupu-kupu, kasihan deh luh, “ucap Anjing mengolak-
olok Kancil sambil berjingkrak-jingkrak girang.
“Sialan,” ucap Kancil dalam hati. Kancil menahan diri untuk tidak melampiaskan
kemarahan. Sikapnya tetap tenang. Raut wajahnya diubah jadi ceria.
“Kenapa malah cengengesan, Cil?” tanya Anjing dengan tetap keheranan. Seketika senyum
riangnya terhenti, goyangannya pun berakhir. “Memangnya tidak sedih?” tanyanya
kemudian.
“memang apa yang harus disedihkan? Aku senang, kok,’ jawab Kancil sambil mengumbar
senyuman.
“Senang? Tahu akan dijadikan santap malam Pak Tani, malah senang?” tanya Anjing
sambil menatap wajah Kancil penuh rasa heran.
“Siapa yang akan dijadikan santapan?” jawab Kancil sambil tersenyum renyah. “Aku
disuruh tinggal di sini karena Pak Tani khawtir aku kabur.”
“Kabur karena takut disembelih, begitu?”
“Kabur karena tak mau mengikuti ajakannya!”
“Memangnya ajakan apa?” tanya Anjing dengan nada dan tatapan semakin diselimuti rasa
heran.
Senyuman Kancil makin terkembang. Ia senang karena kata-katanya dapat mengaruhi
Anjing. Ia senang karena taktiknya hamper berhasil.
“Besok Pak Tani mengajakku untuk mendampinginya ke undangan pesta keluarga di
kota!” ucap Kancil dengan mantap.
“Hah?” ucap Anjing dengan melongo. Matanya membelalak. Jantuknya seperti hendak
terlepas dari ikatan di dalamnya, saking terkejut mendengar ucapan Kancil.
“Betul, suerrr!” jawab Kancil sambil mengacungkan salam dua jari.
Jawaban dan sikap Kancil sungguh membuat Aanjing tercengah. Kenapa sih Pak Tani
berbuat seperti itu? Kenapa mengajak makhluk yang belum lama dikenalnya? Aku saja
yang sudah setia menemani dan menjaganya beberapa tahun, tak pernah diajak ke pesta?
Begitu pikiran yang berkecamuk di hati Anjing.
“Aku tak akan dibawanya serta?” tanya Anjing kini dengan suara datar. Tatap matanya
seperti sedang merayu.
” Kata Pak Tani sih,” jawab Kancil dengan sikap masa bodoh.” Tapi, kalau aku yang
memintanya, Pak Tani pasti mangizinkanmu ikut. Beliau kan amat sayang padaku.”
“Benarkah?” tanya Anjing kini dengan tatap penuh harapan.
“Ya,” jawab Kancil masih dengan sikap acuh tak acuh.
“Asyik,” ucap Anjing sambil melompat-lompat. “Apa yang dapat aku lakukan agar kamu
membatuku?” tanya Anjing kemudian, kini dengan sikap serius lagi.
“Keluarkan dulu aku dari sini, dong!”
“Untuk apa?”
“Aku merasa nggak enak, Teman. Masa akan ke pesta dengan gaya seperti ini. Aku mau
dandan dulu, dong.”
“Pak Tani tak akan marah?”
“Kenapa mesti marah? Justru sebaliknya, akan senang. Ia akan terkejut jika melihatku
dandan. Beliau akan merasa tersanjung dan di hargai.”
“Iya juga, ya,” sambut Anjing sambil manggut-manggut.
Tak banyak bicara lagi, Anjing mengeluarkan Kancil dari dalam kendang ayam. Kancil telah
berada di luar dan Anjing di dalam kendang. Kancil bukan main girang hatinya, ia
berterima kasih. Namun tak lama antaranya, Kancil malah mengunci pintu kendang ayam
itu. Entah apa maksudnya, namun yang jelas Anjing tak bisa keluar dari dalam kandang itu.
Kancil pergi dari perkarangan belakan rumah Pak Tani. Namun ia tidak terus masuk ke
dalam hutan. Ia menyelinap menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya di kandang ayam
Pak Tani.
Pak Tani amat murka. Ia memaki- maki Anjing dan menganggapnya sebagai makhluk
dungu yang tak tahu berterima kasih. Pak Tani menghukum Anjing dengan tetap
mrngurungnya di kendang ayam tanpa diberi makan selama satu minggu.
Menyaksikan kejadian itu hati Kancil terenyuh. “Kenapa aku lakukan semua ini pada
Anjing? Apa salah Anjing padaku selama ini?”
Kancil merasa bersalah. Ia memutuskan untuk menolong Anjing. Apa pun risikonya, akan
ia hadapi. Setelah tak ada keraguan dalam hatinya, Kancil menghapiri kandang ayam.
Dengan sedikit berkata- kata, ia membuka kunci kandang ayam sehingga Anjing dapat
keluar. Selanjutnya, ia masuk lagi ke dalam kandang ayam itu.
Tak lama kemudian Pak Tani dating. Ia Nampak marah sekali. Mukanya merah padam. Ia
meneriaki Kancil sambil mengancung-acungkan golok. Kancil yang sudah pasrah, tidak
merasa sedih diperlakukan begitu. Begitu Pak Tani datang ia langsung menyembah. Ia
memohon maaf dan ampunan. Ia bersujud di kaki Pak Tani dan meneteskan air mata.
Rupanya sikap Kancil dilihat tulus oleh Pak Tani. Lelaki setengah baya itu menerima maaf
Kancil. Ia teringat akan ajaran agamanya. Tuhan saja mau memaaf kan umat-Nya, kenapa
manusia tidak?
Walaupun memberi maaf, bukan berarti Pak Tani tidak memberi hukuman. Kancil
dihukum untuk menunggui kebun Pak Tani selama satu bulan. Kancil merasa beruntung
berhadapan dengan Pak Tani yang baik budi itu. Ia menerima hukuman Pak Tani dengan
ikhlas. Ia menjalankan tugas dari Pak Tani dengan besar hati dan bertanggung jawab.

KANCIL DAN KURA-KURA


Kancil dan kura-kura bersahabat. Mereka sering jalan berdua. Mereka sering bermain
Bersama. Mereka saling membantu dan melengkapi. Jika Kancil punya masalah, Kura-Kura
akan membantunya. Demakian juga sebaliknya, jika Kura-Kura tertimpah musibah, Kancil
akan menolongnya. Sayang, di tengah persahabatan itu, ada satu hal yang menjadi
ganjalan. Ada sikap Kancil yang tidak baik. Ia suka memperdaya temannya. Ia suka
membuat temannya merasa tersudut. Untuk itu, Kancil suka membuat aneka muslihat.
Yang penting temannya kalah. Yang penting ia akan menang dan Kura-Kura mengakui
kemenangan itu.
Hari itu Kancil Menyusun siasat. Sudah lama ia tidak membuat temannya kalah dan malu.
Kancil menemukan siasat itu. Mengajak Kura-Kura untuk berlomba adu lari. Ajakan Kancil
melanya ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Kura-Kura menganggap temannya hanya
berkelakar.
“Candanya jangan kelewantan, ah,” ucap Kura-Kura sambil memalingkan wajah.
“Hai, Kura,” ucap Kancil dengan suara yang mengagetkan. Seketika Kura-Kura
memalingkan wajah dan Kembali bertatapan dengan Kancil.
“Ada apa, Cil” tanya Kura-Kura sambil menatap temannya penuh heran.
“Aku serius, Teman,” ucap Kancil dengan wajah bersungguh-sungguh.” Aku nantang kamu
adu cepat lari. Yang kalah harus dihukum. Hukumannya harus menjadi jongos selama satu,
“tambahnya dengan tersenyum-senyum nakal.
“Kamu,” tukas Kura-Kura. Kalau betul apa temannya itu, maka pastilah dirinya yang akan
kalah. Mana munngkin Kura-Kura yang jalannya lamban, hampir selamban Siput dan
Keong, mampu mengalahkan kancil? Kancil kan jago lari. Jangankan dirinnya, Banteng dan
Kuda saja mungkin saja dapat takluk jika beradu lari.
“Ya, kamu boleh saja menolak ajakannku, kalau…,” Kancil menghentikan ucapannya
sejenak. “Kalau mau disebut pengecut!” lanjutnya sambil mencibir.
Ucapan Kancil mengena di hati Kura-Kura. Darah Kura-Kura langsung mendesir dan
jantungnya menjadi bertalu-talu. Ada penolakan dari hatinya terhadap ucapan temannya
itu.
“Kuterima tantanganmu, Cil,” ucap Kura-Kura dengan penuh semangat.
“Apa?” Kancil terkejut. Matanya membelalak. Ia bagaikan mendengar petir di siang
bolong.
“Pantang bagi seorang lelaki mundur dari medan perang ucap Kura-Kura berapi-api.
Kedua sahabat itu sepakat untuk adu balap lari. Pada hari yang telah ditentukan mereka
berlomba lari. Dimulai dari garis start. Yang bertugas mengibaskan bendera start adalah
Monyet. Setelah bendera dikibaskan, keduanya langsung beraksi. Kancil langsung berlari
cepat. Kura-Kura juga maksudnya hendak berlari cepat. Namun apalah daya, lari cepatnya
jauh lebih lamban dibandingkan dengan Gerakan Kancil ngesot.
Dalam waktu yang tidak lama Kancil telah tiba di garis finish. Ketika tiba di garis itu, ia
langsung membusungkan dada. Ia tunjukkan kepada beberapa sahabatnya yang telah
menunggu di sana bahwa ia pemenangnya. Tak lama kemudian, Kancil membalikkan
badan. Ia mengawasi jalan yang baru didaluinya. Ia mencari-cari tubuh lawan adu larinya.
Sama sekali tidak kelihatan. Bayangan sang Kura-Kura pun luput dari penglihatannya.
Memang. Kura-Kura masih jauh di belakang.
Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya Kura-Kura tiba di garis finish. Kancil
manyambutnya dengan menyambut kemenangan. Kedua sahabat itu pun menjalankan
perjanjiang, yang kalah harus kena hukuman. Kura-Kura menjalani hukuman itu. Selama
satu minggu ia bertugas melayani segala kebutuhan Kancil.
Masa hukuman Kura-Kura habis. Ia Kembali menghirup udara kebebasan. Namun apa yang
terjadi pada Kancil? Rupanya ia keenakan. Ia merasa telah hidup laksana seorang raja.
Kancil ketagihan, ingin Kembali dilayani. Kancil Kembali mengajak Kura-Kura untuk adu
lari. Lagi-lagi Kura-Kura menolaknya. Namun Kancil terus mendesak dengan segala macam
mulut manisnya. Akhirnya Kura-Kura menerima ajakan itu.
Kura-Kura tidak mau jatuh dua kali di tempat yang sama. Ia tak ingin mengalami kekalahan
lagi. Ia tak mau menjadi pembantu lagi. Kura-Kura mencari cara untuk mengalahkan Kancil
dalam adu lari yang tak lama lagi akan digelar.
Kura-Kura menemukan akal. Rencana itu ia sampaikan kepada Monyet yang Kembali akan
menjadi wasit. Monyet merestui rencana Kura-Kura. Ia mempunyai tujuan yang sama. Ia
ingin melihat Kancil kalah agar Kancil menjadi jera, tidak berpikir macam-macam, tidak
semena-mena dan tidak menganggap enteng si lemah.
Hari yang telah ditentukan tiba. Kura-Kura dan Kancil berdiri sejajar di garis start. Setelah
siap, Monyet meniup peluit. Keduanya pun mulai bergerak, Kancil kali ini tidak langsung
berlari. Ia hanya berjalan santai. Ia yakin, dengan berjalan, bahkan dengan merangkak
sekalipun, dirinya tentu akan menang. Lawannya tetap akan tertinggal di belakang.
Dugaan Kancil meleset. Ketika ia memanggil nama Kura-Kura, jawaban terdengat dari
depang. Kancil memburu sumber suara itu. Benar, didepannya Kura-Kura sudah berdiri
dengan tenang. Bukan main kecewanya hati Kancil. Ia segera berlari melintasi tubuh
temannya. Setelah itu, ia langsung mengambil Langkah seribu. Kancil terus berlari. Sesaat
pun Kancil tidak mengendurkan larinya, apalagi berjalan seperti tadi. Kini keyakinan
tumbuh lagi. Pastilah sang Kura-Kura akan tertinggal di belakang. Pastilah temannya itu
tengah jalan tergopah-gopah dengan napas ngos-ngosan.
“Ura!” Kancil memanggil temannya.
“Kuk,” jawab suara dari arah depan.
Kancil terperanjat. Matanya jelalatan ke depan. Tak terlihat apa-apa, hanya bayangan
hitam. Kancil mempercepat larinya. Akhirnya tibalah ia di depan Kura-Kura. Temannya itu
tengah berdiri santai sambil tersenyum renyah.
“Sialan,” umpat Kancil penuh rasa kecewa. Setelah itu ia berlari melesat meninggalkan
Kura-Kura. Mulutnya tetap bersungut.
Namun, walaupun ia telah berlari secepat angin, nyatanya Kura-Kura tetap ada di
depannya. Sampai akhirnya ia tiba di garis finish pun, Kura-Kura telah lebih dulu berada di
sana.
Kancil kalah. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Itulah kisah paling tragis dalam
hidupnya. Kalah adu lari dengan makhluk paling lamban. Kancil menjalani hukuman. Ia
berusaha ikhlas menghadapinya. Sambil begitu, ia tak habis pikir. Mengapa larinya kalah?
Mengapa Kura-Kura mampu berlari secepat kilat?
Kancil tetap tak mampu menemukan jawaban. Ia bertanya ke sana ke mari. Kepada
Monyet yang menjadi wasit. Kepada Kuda yang bertugas menunggu garis finish. Juga
kepada semua burung yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan sepanjang jalur
lomba. Satu diantara mereka, yakin Monyet membocorkan rahasia. Ia membuka kedok
tipu muslihat Kura-Kura. Ternyata Kura-Kura saat berlari tidak sendirian. Ia dibantu oleh
dua puluh Kura-Kura lain yang mirip dengannya. Kura-Kura itu berdiri pada jarak-jarak
tertentu. Setiap Kancil memanggil Namanya, maka Kura-Kura yang berada di depan
Kancillah yang akan menjawab. Sementara itu, Kura-Kura yang asli tidak ikut berlari. Ia
duduk-duduk tenang di garis finish.
Kancil menggeleng-gelengkan kepala. Ia salut pada akal bulus sang Kura-Kura. Di sisi lain,
Kancil hendak membalas kelakuan temannya. Ia akan mempermalukan Kura-Kura lagi. Ia
mengajak temannya itu untuk Kembali beradu lari. Ia yakin, kali ini dirinya tak akan
terkalahkan. Toh, ia sudah tahu pasti akal bulus sang Kura-Kura temannya itu.
“Pantang bagi seorang pria sejati untuk mundur setapak pun dari medan laga,” ucap Kura-
Kura tanda menerima ajakan Kancil.
“Tapi, Ura,” ucap Kancil.” Kamu juga harus pantang berbuat curang seperti tempo hari,”
lanjutnya sambil mesem.
“Siap,” sambut Kura-Kura.” Pantang bagiku untuk berbuat dosa yang sama,” tambahnya
dengan suara mantap.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Kedua sahabat telah mulai berlari. Kini keduanya sepakah
untu berlaku jujur. Tak kan ada kecurangan. Tak kan ada tipu daya. Tak kan ada iming-
iming hadiah atau ancaman hukuman.
Lomba lari berlangsung jujur, adil, bebas dan tidak rahasia. Karenya keduanya jujur, maka
tentu saja Kancil mampu berada di tempat paling depan. Walaupun belum menginjak garis
finish, Kancil menyadari kemenanggannya. Ia memanggil-manggil nama temannya, namun
tak ada jawaban. Kancil berhenti berlari dan membalikkan badan. Dengan suara lebih
keras, ia menyebut-nyebut nama Kura-Kura. Namun tetap saja tak ada sahutan. Kancil
memicingkan mata untuk melihat ke tempat yang sangat jauh. Batang hidung temannya
sama sekali tak kelihatan.
Kancil makin yakin bahwa temannya masih jauh di belakang. Bahkan, mungkin saja masih
berada beberapa meter dari garis start. Kancil tak mau menang kelak. Ia ingin
kemenangannya tipis saja. Ia ingin jaraknya dengan temannya di garis finish beberapa
meter saja. Kancil memutuskan untuk duduk dulu, menunggu sang Kura-Kura.
Kancil duduk bersandar pada batang pohon beringin. Nyaman sekali kelihatannya. Angin
pegunungan yang berembus sepoi-sepoi mengelus-elus tubuhnya. Kicauan burung hutan
meninabobokan dirinya. Mata Kancil tertanam dalam pada sebatang pohon cemara.
Sambil memandanginya, hatinya bernyanyi lirih ”Cemara pohon ramping. Daunnya halus
langsing. Bergerak-gerak kian kemari, seperti tangan penari. Ketika angin lalu. Menerpa
daun cemara. Terdengar desir di telingaku, sebuah lagu.”
Nyanyian hati Kancil yang diiringi desah suara angin membuat rasa kantuknya muncul.
Kedipan mata Kancil mulai melambat. Makin lama makin lambat. Terus melambat sampai
akhirnya tak berkedip lagi. Kancil terdidur dengan pulas.
Entah berapa jam Kancil tertidur. Entah berapa episode sinetron yang bermain di dalam
mimimpinya. Ketika bangun, hari telah senja. Padahal lomba lari dimulai Ketika matahari
tepat berada di atas kepala. Bukan main terkejutnya Kancil. Dalam keadaan setengah
sadar, ia bangkit, lalu berlari. Larinya amat cepat. Tak ada bedanya dengan anak kecil yang
sedang dikejar Anjing atau anak Kera yang ditakut-takuti sedang dikejar hantu.
Dengan napas tersengal-sengal, Kancil hampir mencapai garis finish. Ketika matanya
menatap ke depan, ia melihat seuntai senyuman menyambut kedatangannya. Senyuman
itu memang manis, namun terasa asam oleh sang Kancil. Sang Kancil tidak membalas
senyuman itu dengan senyuman lain. Ia menggigit bibir. Ia kenal betul, siapa yang
melemparkan senyuman itu. Ia tak lain Kura-Kura yang sedang berlomba lari dengannya.
Kancil malu dan kecewa. Ia tahu, kali ini lomba larinya kalah. Ia menyadari kekalahannya
sebagai kekalahan yang sebenarnya karena pertandingan berjalan jujur dan adil. Namun ia
terlalu menganggap enteng lawan.

KANCIL MENOLONG KERA


Tersebutlah seorang pemburu yang Tangguh. Setiap kali berburu, selalu ada saja binatang
yang di tangkapnya. Ia berburu seorang diri. Tanpa bantuan dari orang lain, ia akan
mampu menangkap apa saja, termasuk Harimau, si Raja Hutan.
Seperti pada suatu hari, pemburu ini mampu melumpuhkan kekuatan Harimau. Si Raja
Hutan yang terkenal cetakan dan beringas itu mampu ditaklukannya. Ia kini terkurung di
dalam kerangkeng pemburu. Walaupun sudah mendapatkan seekor Harimau besar, sang
Pemburu belum puas diri. Ia masih ingin menangkap hewan lainnya. Ia ingin mendapatkan
beberapa ekor hewan yang bermamfaat, dapat dimakan dan dapat dijual ke penadah.
Pemburu menyuruh Kera, teman setianya dalam berburu, untuk menunggui Harimau itu.
Kera tidak membantah perintah majikannya. Ia duduk di dekat kerangkeng besar itu.
Sesekali ia berdiri dan berlari melompat-lompat. Sesekali ia juga melompat ke dahan
pohon, lalu bergelantungan. Namun, perhatiannya tidak pernah terlepas pada binatang
pengisi kerangkeng. Demikianla yang dilakukan pada Kera itu sampai beberapa jam,
sambil terua mananti kedatangan majikannya.
Pada mulanya Harimau tidak berbuat apa-apa. Ia berdiam diri saja di dalam kerangkeng.
Meskipun begitu, sebenarnya ia memeras otak, mencari cara untuk keluar dari kerangkeng
pemburu itu.
“Kera,” sapa Harimau sambil berusaha melemparkan senyuman ramah.
Kera tidak menyahut. Matanya melirik sesaat. Setelah itu perhatiannya Kembali terpusat
pada buah pisang yang sedang dimakannya.
“Kera,” sapa Harimau Kembali dengan suara lembut.
Beberapa saat kera menatap wajah Harimau. Harimau merasa diberi angin segar. Ia
merasa memliki kemampuan untuk berbicara banyak kepada sang Kera.
“Setelah memerhatikan cukup lama aku semakin sadar, Kera,” ucap Harimau dengan suara
yang tidak selesai. Hal itu membuat Kera merasa penasaran.
“Maksudmu?” tanya Kera yang tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Maksudku, aku sadar kalau kamu memang makhluk yang cantik. Rupamu sempurnya. Tak
salah jika ada yang menyebutmu mirip dengan manusia. Sungguh suatu anugerah besar
kamu disamakan dengan manusia. Karena apa, Ra?” tanya Harimau sambil menatap wajah
Kera.
Sebelum Kera menjawab, Harimau berkata lagi.” Karena manusia adalah makhluk yang
sempurnya. Tubuhnya sempurna. Mirip, Ra,” ucap Harimau seperti diselimuti rasa kagum.
Kera tersanjung. Ia tersenyum-senyum sendiri. Hidungnya mengembung, seperti hendak
terbang.
“Ra,” ucap Harimau yang sudah kelemahan Kera. “Aku yakin kalau kamu makhluk berbudi.
Kamu tidak seperti satwa kebanyakan.”
“Ehm…. Ya,” sambut Kera sambil menganggukkan kepala.
“Aku yakin seratus persen, kalau kamu tak akan keberatan membiarkanku keluar dari
tempat ini.”
“Keluar?” tanya Kera dengan dahi mengernyut.
“Ya, keluar sebentar, Ra. Cuma untuk menghirup udara segar saja, begitu, he…. Hehe.”
“Ehm, bagaimana, ya?” ucap Kera diakhiri dengan termenung. Ia menimbang-nimbang
maksud ucapan Harimau.
“Ra,” suara Harimau memudarkan lamunan Kera.” Aku juga yakin kalau kamu makhluk
yang bijaksana. Makhluk yang tak suka berburuk sangka.”
“Maksudmu?” Kera tidak mengerti maksud ucapan Harimau.
“Kamu tak akan berpikiran macam-macam, kan? Kamu tak akan berpikir kalau aku akan
membuat tipu daya? Kalau aku akan kabur, bukan?” ucap Harimau nada suara tegas.
Dengan kata-kata dan sikapnya itu sepertinya ia ingin memberi segesti kepada Kera.
“Ehm…. Ya, tentu saja tidak, Harimau,” sambut Kera sambil mengangguk.
“Jadi, kamu akan membukakan kunci ini?” tanya Harimau untuk meyakinkan dugaannya.
“Tentu,” jawab Kera.
Kera seperti terhipnotis, ia membukakan kunci kerangkeng. Begitu kunci terbuka, Harimau
segera keluar dari dalamnya.
“Wuah…. Seger,” ucap Harimau sambil menggeliat-geliatkan badannya. Setelah itu ia
mengajak Kera untuk berjalan-jalan ke dalam hutan.
Seperti dihipnotis juga, Kera tidak membantah untuk berjalan Bersama Harimau. Kera dan
Harimau seperti layaknya dua sahabat. Kadang berjalan berdampingan. Kadang
beriringan, Harimau di depan, diikuti oleh Kera. Kadang sebaliknya.
“Ra, kamu ke depan lagi,” pinta Harimau sambil menghentikan langkahnya.
“Apa sebaiknya kita pulang lagi? Kita sudah jauh berjalan, Harimau. Bukannkah katamu
tadi, kita hanya akan berjalan sebentar?” tanya Kera.
“Kamu benar, tapi sebentar dululah. Aku belum bertemu dengan penghuni hutan yang
lain,” ucap Harimau sambil meminta Kera melintasi tubuhnya.
Kera menuru, meskipun dengan hari sedikit dongkol. Ia teringat akan majikannya. Ia takut
majikannya pulang dan mendapati kerangkeng telah kosong. Pemburu itu tentu akan
murka. Jika bertemu dengannya nanti, tentu majikannya itu akan marah dan
menghukumnya.
“Harimau, kita pulang sekarang, ya?” ucap Kera tanpa memalingkan wajah.

“Huh, dasar Kera bodoh,” ucap Harimau. Ia berkata begitu sambil menerkam punduk Kera.
Kera mengaduh. Ia terkejut dan kesakitan. Kera berupaya melepaskan diri, namun
cengkeraman gigi Harimau teramau kokoh. Makin berusaha melepaskan diri, makin kuat
tancapan gigi itu di Pundak Kera.
“Kamu pendusta!” maki Kera dengan suara tertahan.
“Kamu sendiri yang bodoh, Kera. Mana mungkin aku tega membiarkan daging selezatmu
lenyap begitu saja!”
“Kamu dusta akan pulang!”
“Kamu bodoh percaya saja!” ucap Harimau dengan suara menggelegar. Ia berkata begitu
sambil menguatkan cengkereman gigi-giginya pada tengkuk sang Kera. Sang Kera sungguh
tak berdaya. Suaranya tersekat di tenggorokan. Tenaganya tak mampu membebaskan
dirinya marabahaya itu.
Pada saat yang kritis itu ditibalah sang Kancil ke tempat itu. Kancil terkejut menyaksika
kejadian di depan matanya. Ia bermaksud menyelamatkan sang Kera. Ia tahu, selama ini
Harimau pantang makan Kera, tapi sekarang? Kenapa bisa begitu?
“Kalian kenapa, hah? Kamu kenapa, Harimau?” ucap Kancil dengan suara keras. Suaranya
menghentakkan kesenyapan dan menghentikan Tindakan Harimau. Gigitan Harimau
mengendur.
“Hentikan!” bentak Kancil.
Harimau menurut. Gigi-giginya terlepas dari tengkuk Kera. Wajahnya tak lagi garang. Ia
menurut perintah Kancil. Bukan karena takut dengan tubuh hewan itu. Ia takut, karena
Kancil itu bukan Kancil sembarangan. Ia penasihat Raja Singa, raja di kerajaan rimba itu.
“Kamu kenapa, Harimau?” tanya Kancil sambil menatap tajam mata Harimau.
“Aku mau menyantapnya, Cil,” jawab Harimau dengan wajah tanpa dosa.” Kamu hendak
menentang takdir? Kamu tidak setuju kalau bangsaku menjadi bangsa pemangsa?”
“Bukan begitu, Sobat,” jawab Kancil sambil menggelengkan kepala.” Aku belum mengertu
duduk persoalan yang sebenarnya. Karena sejak tadi ku dengar, kamu bersikeras hendak
memakan Kera, sementara itu Kera bersikeras juga menentang. Bukankah itu keluar dari
kebiasaan, Harimau? Biasanya kamu memburu dan memangsa hewan tanpa berkata.
Biasanya pula, hewan yang kamu buru itu tidak mempunyai kesempatan berkata-kata.
Sementara sekarang?” ucap Kancil sambil bergonta-ganti manatap Harimau dan Kera.
“Karena aku tidak ikhlas, Cil. Aku merasa ditipu,” Girilan Kera yang bersuara.
“Nah, ini menarik,” sambut Kancil sambil tersenyum-senyum.” Coba ceritakan, Ra,”
pintanya kemudian kepada Kera.
Tanpa diminta dua kali, Kera langsung berkisah secara lengkap. Kancil menyimak dengan
saksama. Sambil mendengar kisah Kera, sesekali kepalanya terangguk-angguk.
“Betul begitu, Harimau?” tanya Kancil usai mendengar kisah sang Kera.
“Memang,” jawab Harimau sambil mengangguk keras.
“Oh… begitu ya,” ucap Kancil diakhiri dengan termenung. Ia memikirkan cara untuk
mengatasi masalah itu.
“Kamu seperti masilh bingung, Cil? Apa benar begitu?” tanya Harimau sambil menatap
wajah Kancil. Dahinya berkerut-kerut.
“Tebakanmu betul, Sobat.”
“Bagian mana?”
“Aku belum mampu membayangkan bagaimana keadaanmu sebelum berjalan-jalan ke
sini.”
“Maksudmu, waktu dalam kerangken?”
“Ya.”
“Maksudmu, kamu ingin melihatnya?”
“Kalau kamu mau!”
“Kenapa tidak?” jawab Harimau dengan cepat.” Ayo, ikut aku,” pintanya kemudian.
Tanpa menunggu persetujuan dari kedua teman bicaranya, Harimau langsung berlari dari
tempat itu. Kancil dan Kera mengikutinya. Keduanya cukup kelabakan menghimbangi
kecepatan lari sang Harimau. Katanya lapar, kok dapat berlari begitu kencang, ya?
Setelah cukup lama berlari, ketiganya tiba di tempat pemburu menyimpan kerangkeng.
Setibanya di sana, Harimau langsung membukakan pintu kerangkeng dan masuk ke
dalamnya. Tanpa berkata- kata, Kera langsung mengunci gembok kerangkeng itu.
“Nah, persis begini, Cil,” ucap Harimau sambil melemparkan senyuman kepada Kancil.
“Betul begitu, Kera?” Kancil malahan bertanya kepada Kera.
“Betul sekali, Cil,” jawab Kera sambil menggangguk.
“Nah, karena aku sudah paham, mari ikut aku,” ucap Kancil sambil menarik lengan Kera.
Kera tidak tahu maksud ucapan Kancil, namun ia tidak menolak. Kera dan Kancil bergegas
meninggalkan tempat itu.
Harimau tertinggal sendirian. Mulanya ia tidak mengerti maksud Kancil. Ia hanya menatapi
kepergian kedua hewan itu dengan bibir yang masih tersenyum. Namun semakin jauh
kedua hewan itu melangkah, semakin memudar senyumnya. Makin lama wajahnya
berubah kecut. Harimau sadar bahwa dirinya telah dibodohi. Harimau menangis menyesali
diri. Harimau meraung-raung sambil mengguncang-guncang kerangkeng yang kekar.

KANCIL DAN
SABUK DEWA
Pagi cerah. Angin yang berembus sepoi-sepoi manyapa penghuni bumi dengan elusan
hangatnya. Cahaya matahari menebarkan pesona kehangatannya. Mengghangatkan tanah
dan bebatuan hingga mengepul, mengeluarkan air hujan yang semalam menimpanya.
Menggahangat tumbuhan hingga daun-daun menggeliat dan menjatuhkan titik-titik
embun yang semalam berlinangan. Menghangatkan tubuh satwa-satwa hutan hingga
mengibaskan selimut dari dedaunan dan rerantingan.
Kancil menikmati suasana pagi. Sejak tadi ia keluar dari tempatnya tinggal. Beberapa saat
ia berdiri mematung di pelataran rumahnya. Kancil takjub dengan keindahan panorama
alam. Sungguh nuansa alam yang memesona. Sungguh pemandangan buana yang tak
terhingga daya tariknya.
Tatapan Kancil menuju ke hamparan rumput nan hijau. Setelah memandanginya sejenak,
Kancil memakan rumput yang ranum itu. Uf… semerbak aroma rumput itu masuk ke indra
penciumannya. Uf… rasa rumput segar itu begitu lezat dan maknyos. Kancil menikmati
makanannya.
Ketika asyik merumput, tiba-tiba Kancil mencium bau sesuatu. Karena pengalaman
hidupnya di hutan cukup lama, ia tahu betul bau apa yang masuk ke hidungnya. Tak akan
salah, itu bau hewan pemangsa. Pasti, hewan pemangsa yang berada tak jauh dari dirinya
itu adalah Harimau, si Raja Hutan.
Kancil tahu diri. Ia tidak mungkin menghadapi Harimau itu dengan mengandalkan
tenaganya. Ia harus memeras otak. Hanya dengan akalnyalah ia mungkin dapat
mengalahkan si Raja Hutan. Kancil tidak menemukan jalan lain. Satu-satunya jalan, ia
harus menipu hewan buas itu. Menurut Kancil, apa yang akan dilakukannya memang
menipu, tetapi menipu untuk menyelamatkan diri. Kancil berharap, tindakannya tidaklah
termasuh dosa.
Dugaan Kancil benar. Tak lama kemudian ia melihat Harimau sedang mengedap-endap
hendak menerkannya secepat kilat Kancil membalikkan badan dan berseru lantang.
“Hentikan!”
Suara Kancil yang membahana membuat Harimau terkejut. Langkah kakinya terhenti
tatapannya kepada Kancil tak lagi jalang. Ia kini berjalan perlahan menghampiri makhluk
buruannya itu.
“Kamu takut dimakan?” tanya Harimau dengan sikap Kembali garang.
“Kalo soal takut, jangan ditanya, Harimau,” jawab Kancil dengan suara lembut.” Siapa sih
yang tidak takut sama kamu? Jangankan aku makhluk yang lemah, gajah juga pasti takut.
Bahkan, manusia yang memiliki akal pun pasti gentar jika berhadapan langsung dengan
mu.”
“Lalu? Kenapa menghalangi?” bentak Harimau dengan suara menggelegar. “Berani
melawanku?” tanyanyah lagi.
“Takut bisa sama artinya dengan tidak berani, Harimau,” jawab Kancil sambil tersenyum.
“Kamu?”
“Aku takut sama kamu, Harimau. Mana berani bertarung melawanmu? Mana mungkin aku
mampu mengalahkanmu? Itu sama artinya dengan pungguk merindukan bulan.”
“Lalu maumu?”
“Begini Harimau yang baik hati “ucap Kancil dengan suara tenang. Setelah berhenti sesaat,
ia melanjutkan ucapannya.” Sebetulnya aku gembira sekali bertemu denganmu di sini.
Telah berhari-hari aku sengaja mencarimu. Pucuk di cinta ulam tiba, begitu kata
pujangga.”
“Kenapa susah-susah mencariku?”
“Aku di utus oleh Dewa Pengusaha Hutan, Harimau,” jawab Kancil dengan sikap semakin
tenang.
Harimau terperangah mendengar kata- kata Kancil. Beberapa saat mulutnya melongo dan
matanya tak berkedip. Beberapa saat kemudian, matanya meneliti wajah Kancil. Harimau
akhirnya sadar, Kancil yang sedang berdiri di depannya bukanlah hewan biasa. Ia adalah
penasihat kerajaan. Sebagai hewan penting di Kerajaan Rimba itu, tentu saja Kancil bisa
mendapatkan hal-hal yang aneh, termasuk menerima wangsit dari dewa. Kemudian….
Yang membuat Harimau luluh hatinya adalah ucapan Kancil yang menyebutkan Dewa
Pengusaha Hutan telah mangutusnya.
Harimau bersikap tenang. Ia tidak seperti sedang berhadapan dengan makhluk yang akan
dimangsanya. Juga tidak seperti berhadapan dengan hewan jelata. Ia merperlakukan
Kancil sebagaimana layaknya penghuni keratan yang terhormat.
“Apa berhubungan denganku, Cil?” tanya Harimau dengan penuh rasa penasaran.
“Tentu iya, Harimau. Buat apa aku capek-capek mencarimu, kalau ucapan Dewa itu bukan
untukmu?”
“Berita baik atau buruk?”
“Kebetulan berita baik!”
“Cepat katakana,” pinta Harimau dengan sikap tak sabar.
“Ehm… baiklah,” sambut Kancil sambil membetulkan letak berdirinya. Setelah menarik
napas Panjang, ia berkata lagi.” Aku yakin kamu tentu sudah mendengar nama Sabuk
Dewa. Sabuk Dewa adalah sabuk kerajaan dewa yang mahasakti. Siapa saja yang
mengenakan sabuk itu, pasti ia akan menjadi sakti madraguna. Segala ucapannya akan
menjadi bukti. Ia juga dapat terbang dan menghilang. Apa kamu tertarik, Harimau?”
“Apa hubungannya denganku?” Harimau tidak menjawab pertanyaan Kancil. Ia malah
balik bertanya. Rupanya rasa penasaran telah semakin merasuki jiwanya.
“Sang Dewa akan mengannugerahkan Sabuk Dewa itu padamu.
“Padaku?” tanya Harimau dengan mata membelalak.
“Ya, jika kamu mau aku akan membawamu ke tempat benda keramat itu berada.”
“Tentu, Cil,” sambut Harimau dengan antusias.” Ayo,” lanjutnya sambil menggaet tangan
Kancil dan memaksanya pergi dari tempat itu.
Kancil tidak menolak karena memang itu rencananya. Ia berjalan beriringan dengan
Harimau. Kancil terus membawa hewan yang sekarang mendadak jinak itu kesuatu
tempat. Sesampainya di sana, tatapan Kancil langsung mencari-cari sesuatu. Kebetulan
sekali benda yang dicarinya masih berada di sana.
“Nah, itu dia!” ucap Kancil sambil menunjuk sebuah benda bulat melingkar bewarna hijau
di dalam kayu yang rendah.
“Kok kecil, Cil,” ucap Harimau dengan dahi mengernyut.
“Yang penting khasiatnya, Bung!” ujar Kancil sambil tersenyum.
“Bagaimana caranya?”
“Karena itu milikmu, caranya amat mudah, Harimau. Kamu tinggal berjalan saja ke sana
dan mengambilnya langsung. Dengan cara menungkup dulu beberapa saat. Tapi ingat,
menghampirinya harus sambil mundur. Lalu…., saat menungkup dengan tanganmu itu,
matamu harus terpenjam. Bisa?”
“Mudah, Coy!” jawab Harimau penuh semangat. Wajahnya pun berseri-seri.
Harimau menjalankan ucapan Kancil. Ia berjalan mundur mendekati benda yang disebut
Sabuk Dewa itu. Begitu tiba, ia langsung membalikkan badan sambil menutup mata.
Kedua tangannya menungkup benda bulat hijau itu. Kancil menyaksikan semua itu sambil
tersenyum-senyum. Ketika Harimau membuka tutupan tangannya dan membuka
matanya, Kancil cepat menjauh dari tempat itu.
Apa yang terjadi pada Harimau? Apakah sama dengan yang diperkirankan oleh Kancil?
Benda itu begitu dibuka akan mengulur. Ia akan mengubah bentuk dari bulat menjadi
Panjang. Setelah itu, ia akan menyerang Harimau. Ia akan mematuk mata dan kepala
Harimau. Itu perkiraan Kancil yang pertama.
Dugaan Kancil yang kedua. Benda yang telah terurai menjadi bulat Panjang itu akan
menerjang pinggang Harimau. Harimau akan dibelitnya. Belitannya semakin lama semakin
kuat. Harimau akan kepayahan. Ia akan merasakan tubuhnya lemah. Darah di dalam
tubuhnya akan berhenti mengalir. Begitu juga detak jantungnya akan melemah. Ketika
jantungnya hampir berhenti berdetak, benda itu akan mematukkan mulutnya ke wajah
Harimau. Saat memtuk, ia akan mengeluarkan bisanya yang ganas. Harimau akan mati
karena bisa itu. Bisa karena tulang-tulang tubuhnya remuk dililit dan diremas benda itu.
Kanci menduga seperti itu karena ia tahu benda yang ada di bawah tangan Harimau
adalah Ular. Kancil sengaja melakukan hal itu karena teringat akan dongeng neneknya
tanpa hari. Dulu neneknya pernah mengalahkan Harimau dengan cara seperti itu. Benda
yang dulu dipakai untuk menjebak Hariamu adalah Ular, jenisnya Ular Piton.
Kancil terus berjalan menuju ke tepi hutan. Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan
Harimau yang sedang bergumul melawan kematiaanya. Lamunan Kancil mendadak
berhenti Ketika ia mendengar suara auman keras di belakangnya disertai dengan suara
bergebuk keras.
“Dapat kamu, Kancil keparat!” Suara Harimau menghentikan Langkah kaki Kancil.
Kancil terperangah Ketika ia lihat, Hariamu yang tadi dijebaknya kini berada di
belakangnya. Kancil membalikkan badan untuk meyakinkan penglihatannya. Benar, itu
adalah Harimau yang dikenalnya.
“Kamu?” ucap Kancil antara sadar dan tidak.
“Iya, ini aku,” jawab Harimau sambil mengangkat dada. “Kamu kira aku telah mati karena
kecerdikannmu itu?”
“Kamu eh…”
“Kamu cerdik tapi bodoh, Kancil,” ucap Harimau dengan nada sinis.” Cerdik karena mau
menjebakku. Sayang kamu bodoh. Kenapa tiak kamu gunakan Ular Sanca atau Pinton?
Kenapa hanya ular kampung?”
“Jad…”
“Mudah sekali melumpuhkan si Ular Pohon itu, Cil. Ketika hendak menyerangku, ku
dahului saja menangkapnya. Ku patahkan tubuh ular itu. Ku robek-robek kulitnya. Lalu, ku
lumat dagingnya dengan taring dan gerahamku ini. Ular itu kini telah jadi ganjal perutku,
Cil.”
“Oh…”
“Jangan uh-ah, oh-oh kaya anak kecil yang polos, Cil. Sekarang terima ini!” Harimau
berkata begitu sambil menyerang Kancil.
Kancil tidak waspada. Serangan Harimau tidak mampu dihindarkannya. Dalam sekali
serhapan saja, kepala Kancil sudah berada di dalam mulut Harimau. Kancil lagi-lagi sadar
bahwa dirinya dalam bahaya. Kematian Kembali menyambutnya. Kancil merasa hanya
memiliki kemungkinan kecil untuk dapat menyelamatkan diri. Namun, sekecil apa pun
kesempatan itu, ia harus mengambilnya.
Ternyata cengkereman mulut Harimau tidaklah kuat. Entah apa sebabnya. Mungkin
Harimau akan mengulur-ulur waktu untuk melumpuhkan Kancil. Mungkin ia ingin makhluk
yang tadi mengibulinya mati perlahan-lahan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kancil. Dengan sekuat tenaga ia membuka mata.
Tanpak di sekelilingnya gua yang menyeramkan. Ada stalaktit, ada stalagmit. Ada daging
bewarna merah darah. Ada urat-urat yang berdenyut-denyut. Di bagian dalam, Kancil
melihat seuntai daging menjuntai dari langit-langit rongga mulut Harimau. Tatapan mata
Kancil terus tertanam pada benda itu.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Kancil menarik satu kaki depannya ke mulut Harimau. Kancil
dapat melakukannya. Rongga mulut
Harimau dirasanya longgar. Kancil memajukan kakinya itu ke depan, ternyata bisa. Kancil
menghimpun sisa-sisa tenaganya. Setelah terkumpul, ia menerjangkan kakinya ke benda
yang menjadi incarannya sejak tadi. Kenal! Benda itu berdarah. Kancil terus menerjang-
nerjangkan kakinya pada benda itu. Kenal! Benda itu terkoyak dan akhirnya putus.
Bersamaan dengan putusnya benda di rongga mulut Harimau, tubuh si Belang pun
ambruk. Suara gedebuk keras terdengar saat tubuh besar Harimau beradu dengan tanah
yang keras. Begitu tubuh itu jatuh terjerembap, mulutnya pum menganga. Kancil tidak
membuang waktu. Dengan tenaganya yang hampir habis, ia mengluarkan sebelah kaki dan
kepalanya dari dalam mulut Harimau itu.
Beberapa saat lamanya Kancil menatapi tubuh Harimau yang sudah tak bernyawa itu. Ia
hampiir tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Namun, ia bersyukur
karena masih diberi kepercayaan untuk hidup. Kancil beranjak pergi dari tempat itu.

KANCIL, KUDA,
DAN SERIGALA
Raja Kuda adalah raja di kerajaan Rimba Raya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana.
Ucapannya selalu dituruti oleh segenap rakayatnya. Tindakannya selalu menjadi suri
teladan. Rakayat Kerajaan Rimaba Raya hidup dengan tenang, Makmur, dan sejahtera.
Suatu hari Raja Kuda berjalan-jalan ke pelosok kerajaan. Ia sengaja berjalan sendirian
tanpa didampingi oleh pengawalnya. Ia juga berjalan tanpa mengenakan mahkota
kerajaan. Raja Kuda sedang menyamar. Ia menjadi rakyat biasa. Ia ingin menyaksikan
kondisi kerajaan yang sebenarnya. Ia ingin menerima keluhan dari rakyatnya secara
langsung demi perbaikan tindakannya dalam memimpin kerajaan.
Di satu tempat Raja Kuda berpasan dengan pemburu. Entah apa sebabnya, pemburu itu
berniat menangkap Raja Kuda. Mungkin tertarik dengan penampilannya yang tampan.
Rupanya pemburu itu ingin menjadikannya sebagai kuda tunggang. Raja Kuda sadar akan
keadaan. Begitu melihat gelagat yang tidak baik, ia cepat-cepat kabur. Pemburu tidak
membiarkan buannya pergi begitu sajaj. Pemburu mengejarnya. Raja Kuda lari amat
cepat.
Ketika dirinya sudah berada cukup jauh, Raja Kuda melompak ke dalam semak. Sayang,
kaki Raja Kuda menginjak duri. Duri itu cukup Panjang dan runcing. Raja Kuda kesakitan. Ia
berusaha mengeluarkan duri itu, mamun ia tak bisa. Raja Kuda akhirnya pasrah. Ia
bersembunyi di tempat itu sampai suasana betul-betul aman. Raja Kuda tak lagi melihat si
pemburu itu.
Ternyata Raja Kuda belum aman. Tiba-tiba keberadaannya diketahui oleh Serigala. Lama
sekali Serigala mengintip gerak-gerik Raja Kuda. Serigala kaget Ketika tahu bahwa Kuda
yang dilihatnya adalah raja di kerajaan itu. Rasa terkejut Serigala tidak lama, berganti
dengan rasa senang. Serigala sudahl lama menunggu kesempatan itu. Sejak lama ia
menunggu waktu untuk membalas demdam pada Raja Kuda. Pada saat pemilihan raja,
Kuda itulah yang mengalahkan dirinya dalam pencalonan. Serigala kecawa. Serigala
manaruh demdam. Ia iri pada Raja Kuda.
Serigala jalan mengendap-endap menghampiri Raja Kuda. Begitu dekat, ia langsung
menyergap Raja Kuda. Mulutnya mencengkeram punuk Raja Kuda. Bukan main terkejut
dan sakitnya Raja Kuda. Ia tidak menyangka akan menerima serangan dari Serigala.
Punuknya pun terasa sakit sekali. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kesakitan
seperti itu.
“Serigala, apa yang kamu lakukan?” tanya Raja Kuda sekadar berbasa-basi.
“Apa? Apanya yang apa?” Serigala balik bertanya. Tatapannya seperti diselimuti rasa
heran.
“Apa kamu tidak tahu siapa aku?” tanya Raja Kuda lagi dengan tatap menyelidik.
“Justru aku tahu, Raja Kuda yang sombong,” jawab Serigala sambil tersenyum. “Karena
aku tahu siapa kamu, maka aku mau membunuhmu. Aku akan memakan dagingmu
selahap-lahapnya. Bukan saja aku akan kenyang, hai Raja Kuda. Reputasiku juga akan naik.
Semua akan segan padaku. Semua akan menaruh hormat padaku, serigala yang mampu
mengalahkan Raja Kuda yang congkak.”
“Congkak?” ucap Raja Kuda sambil mengerutkan dahi. Apa tidak sebaliknya? Pikirnya.
“Sudahlah, jangan banyak bisara!” Serigala membentak. Ia Kembali akan melanjutkan
aksinya memangsa Raja Kuda itu.
Saat Serigala hendak menjalankan niatnya, sang Kancil datang. Begitu tahu siapa yang
hendak diterkam oleh Serigala, ia langsung melompat.
“Hai, hentikan!” teriak Kancil sambil menghalangkan tubuhnya ke tubuh Serigala.
“Kamu, Cil,” ucap Serigala sambil memundurkan kakinya yang tadi siap menerjang.
“Ehm…. Kebetulan sekali. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampui, “ucapkan
lagi diakhiri dengan tersenyum renyah.
“Maksudmu, kamu juga akan memangsaku?” tanya Kancil mencoba menebak.
“Pikiran yang cerdik,” sambut Serigala sambil mengacungkan jempol. “Sama cerdiknya
dengan otakku. Aku akan memakan dagingmu juga, Cil.”
“Ehm… begitu, ya?” ucap Kancil sambil manggut-manggut.
“Kamu keberatan?”
“Soal aku dimakan olehmu, aku sama sekali tidak kebaratan. Tapi, kamu harus mikir dua
kali jika hendak memakan tuanku Raja Kuda.”
“Memangnya kenapa?”
Karena kamu akan celakan, Serigala, “jawab Kancil sambil tersenyum.
Celaka? Kata-kata itu seketika bercamuk dalam pikiran Serigala. Mengapa harus celaka?
Bukankah untuk besar yang akan didapatkan? Ah, si Kancil ini ada-ada saja. Begitu pikir
Serigala.
“Lihat, duri itu Serigala yang pintar,” ucap Kancil sambil menunjuk duri yang menangcap
dalam di kaki Raja Kuda.
“Iya, aku melihatnya. Memangnya kenapa?” tanya Serigala sambil menatapi wajah Kancil.
Ia tidak mengerti jalan pikiran lawan bicaranya itu.
“Ah, kenapa kamu kehilangan akal cerdikmu, Teman,” ucap Kancil dengan kata-kata yang
menggugah rasa penasaran Serigala.
Serigala memang penasaran. Namun ia tak ingin dianggap bodoh. Ia mencoba menebak-
nebak sendiri maksud ucapan Kancil. Uf, …Serigala tetap tak mamahaminya.
“Kala kamu mamakan Tuanku Raja Kuda maka kamu akan turut mati. Duri di kaki Tuanku
Raja itu duri berbisa. Kini bisanya telah menjalar di sekujur tubuh Tuanku Raja. Jika kamu
memakannya, maka kamu akan tertulari lebih bisa duri itu.”
“Tapi, sampai kapan pun aku tetap akan memankannya, Cilh. Sebuah kehormatan besar
jika aku dapat memakannya. Tujuh turunanku akan menghargai prestasiku ini.”
“Lho, memangnya siapa yang akan menentang maumu itu?” ucap Kancil sambil menatap
tajam mata Serigala.
“Kamu?”
“Ada satu cara agar kamu terhindar dari bisadi duri itu, Serigala,” ucap Kancil. Beberapa
saat kemudian Kancil berdiam diri. Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sikap Kancil
Kembali mengundang tanda-tanda. Namun, lagi-lagi pula Serigala tak mau bertanya. Ia
takut dikatai dungu. Ia hanya menuggu. Menunggu sang Kancil menjelaskan maksud
ucapannya.
“Kamu harus cabut dulu duri itu. Jiika tercabut, bisa itu otomatis akan keluar lagi dari
tubuh Tuanku Raja Kuda. Begitu, Serigala,” ucap kamcil mengakhiri penjelasannya.
“O…. begitu,” sambut Serigala sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Bagaimana?” tanya Kancil.
“Siapa takut!” sambut Serigala tanda sejutu pada usul Kancil. Tanpa berkata-kata lagi ia
mendekati kaki Raja Kuda. Raja Kuda mengikuti niat Serigala. Raja Kuda menjulurkan
kakinya. Serigala segera menangkap kaki itu dan memegang durinya. Kemudian, dengan
sekuat tenaga ia berusaha mencabutnya.
Raja Kuda telah sejak tadi mengtahui arah pikiran Kancil. Ketika Serigala memegang
kakinya dan tubuhnya tepat di hadapannya, Raja Kuda menghentakkan kakinya keras
sekali. Segenap tenaga ia himpun di kakinya. Dengan segenap tenaga ia tendang Serigala
itu. Tendangannya amat kuat. Tubuh Serigala terpental jauh. Tubuh Serigala melayang di
udara. Begitu jauh ke tanah, tubuh itu membentur batu besar. Buk! Suara keras terdengar
saat tubuh besar Serigala beradu dengan batu. Serigala langsung tak sadarkan diri.
Raja Kuda dan Kancil berpandangan. Keduannya menganggukkan kepala. Raja Kuda
mengajak Kancil pergi. Kancil tidak membantah. Ia berjalan seraya membimbing tubuh
rajanya. Mereka berjalan menuju ke istana kerajaan.
KANCIL DAN
RAJA BABI
Di kerajaan Margasatwa berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa.
Siapa yang paling jago, dialah yang dinobatkan menjadi raja. Kebetulan, satwa yang paling
digjaya di tempat itu adalah Babi Huta. Maka, dialah yang diusung oleh rakyat kerajaan itu
menjadi pemimpin mereka.
Pilihan rakyat ternyata salah. Raja Babi tidak Amanah dalam menjalankan tampuk
kepemimpinan. Ia menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ia semena-mena
mengumpulkan makan. Ia semena-mena memperlakukan makhluk lain.
Raja Babi tumbuh menjadi satwa yang sombong. Dalam segala hai, ia menunjukkan
keangkuaannya. Ia suka bicara sekenanya. Tak peduli ada yang tersinggung atau tidak.
Kalau marah, kata-kata yang terluncur dari mulutnya kasar dan pedas. Banyak rakyat
kerajaan yang sakit hati karena umpatan dan sumpah sarapahnya. Sakit hati mereka
cukup dalam. Rasa sakitnya melebihi sayatan sembilu pada kulit tangan. Lebih pedih dari
goresan golok pemburu pada daging satwa buruannya.
Saat berjalan, Raja Babi bertingkah sesuka hati. Tak pernah ia berjalan sambil menunduk.
Kepalanya selalu mendongak. Tak peduli ada hewan atau tidak di bawahnya, ia langsung
melangkah dan bahkan menginjaknya saja. Telah banya satwa kecil yang menjadi korban.
Kebanyakan korban adalah bangsa Semut. Ratusan ribu semut telah mati menjadi dedak
karena injakan kaki sang Raja Babi.
Penderitaan rakyat Kerajaan margasatwa semakin dalam. Mereka sudah kewalahan
menghadapi kelakuan rajanya itu. Mereka ingin sekali membuat jera rajanya. Tapi apalah
daya. Siapa yang berani menentangnya?
Jika ada yang berusaha menentang, atau sekadar mengingatkan, Raja Babi akan langsung
menghukumnya. Yang berbicara akan langsung diseruduk. Tubuhnya akan dipanggang
dengan taringnlya yang tajam dan Panjang. Kemudian, tubuhnya itu akan dilemparkan
sekuat tenaga. Kematian akan menyongsong satwa itu. Kalaupun tidak mati, minimal ia
akan cacat seumur hidup.
Raja Babi juga gemar merusak lingkungan. Kepalanya senang seruduk sana seruduk sini.
Pohon-pohon diseruduknya hingga banyak yang tumbang. Bangsa Kera banyak yang
kehilangan tempat tinggal. Tumbuhan berumbi diseruduknya hingga tercabuh. Umbi-
umbinya bertebangan di udara. Umbi-umbinya bergeletakan dan busuk. Tumbuhan itu
mati. Akibatnya, banyak satwa yang kelaparan karena makanannya tak ada lagi.
Rakyat Kerajaan Margasatwa mengadu kepada Kancil. Mereka percaya, Kancil yang
terkenal cerdik akan menemukan jalan keluar. Mereka percaya, Kancil yang tersohor
pemberani akan mampu membuat Raja Babi mati kutu.
Kancil menerima pengaduan dari rakyat kerajaan itu. Ia berusaha untuk menunaikan
kepercayaan itu. Ia mencari cara untuk membuat Raja Babi jera. Ketika cara itu
ditemukan, Kancil menantang Raja Babi untuk tanding berkelahi.
“Hehehe… lucu, lucu,” ucap Raja Babi begitu Kancil selesai menyampaikan tantangan.
“Apanya yang lucu, Baginda?” tanya Kancil sambil menatap rajanya penuh heran.
“Ya, lucu saja. Apa nggak mimpi? Makhluk kecil dan lemah sepertimu mengajakku
bertarung?” jawab Raja Babi diakhiri terrtawa terpingkal-pingka.
“Tapi kita belum mencobanya, Baginda. Saya yakin. Keberuntukan akan berpihak kepada
yang benar,” ucap Kancil dengan mantap.
“Pada kamu, maksudmu?” tanya Raja Babi seperti tidak percaya pada ucapan lawan
bicaranya.
“Iya dong,” sambut Kancil dengan tegas.
“Ehm… walaupun malas, aku akan mengalah.”
“Menerimak tantangan saya?”
“Kalau ada untungnya, kenapa tidak?”
“Tentu saja, tak akan mubzir, Baginda. Ada taruhannya. Jika saya kalah, daging saya yang
lezat ini boleh Baginda santap sepuas hati.”
“Nyantap Kancil? Ehm…. Kenapa tidak ku coba?”
“Tapi Baginda, eh….” Kancil tidak menyesalkan ucapannya. Ia sengaja melakuka hal agar
Raja Babi penasaran.
“Tapi apa?” tanya Raja Babi tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Tapi jika Baginda kalah, Baginda harus melayani saya selama hidup Baginda. Bagaiman?”
ucap Kancil serayap tersenyum-senyum nakal.
“Bedebah! Dasar makhluk tak rahu diri!” Raja Babi murka mendengar ucapan Kancil. Ia
merasa terhina. Tanpa berpikir Panjang lagi, diterimanya tantangan itu. Ia ingin segera
melihat lawannya terkapar. Ia ingin segera mencoba menyantap daging Kancil yang konon
paling lezat di seantero hutan ini.
Sebelum pertandingan ini digelar, Kancil mempersiapkan diri. Ia membuat sebuah topeng
itu, tak boleh ada yang mengira kalau dirinya bertopeng. Usaha Kancil amatlah sulit.
Namun karena ketekunan dan bantuan dari beberapa sahabatnya, usaha Kancil itu
berhasil.
Hari yang ditentukan tiba. Rakyat Kerajaan Margasatwa telah penuh sesak di sekeliling
lapangan. Raja Babi telah lama berada di sana. Ia sengaja datang lebih awal. Ia ingin
memastikan pertarungannya di tonton oleh banyak rakyatnya. Ia ingin manyambut
kedatangan makhluk yang akan menyerahkan nyawanya.
Sejak tadi suasana riuh. Suara tepukan dan sorak-sorai telah bergemuruh, terutama dan
pihak-pihak yang disogok untuk mendukung Raja Babi bertanding.
Kancil tiba di tempat itu. Sorak-sorai dan dukungan gegap-gempita menyambut
kedatangan Kancil. Sang Kancil berjalan dengan tenang. Beda halnya dengan Raja Babi.
Kedatangan Kancil disambutnya dengan suara gemeretak giginya. Amarahnya memuncak
apalagi Ketika ia saksikan dukungan terhadap lawannya begitu besar.
Setelah aba-aba dimulai, kedua satwa beda bangsa itu langsung bertarung. Mereka saling
serang dan saling hinder. Keduanya sama-sama menumpahkan segenap kemampuan.
Keduanya sama-sama tak mau terkena serangan lawan. Mulanya pertandingan berjalan
seimbang. Namun lama-kelamaan jadi timpang. Raja Babi di atas angin. Ia menguasa
jalanan pertandingan.
Sebauh serangan tepat besarang di wajah Kancil. Kancil terbanting. Ia jatuh terjerembap.
Kancil mengaduh. Apa yang terjadi pada Raja Babi? Apakah ia baik-baik saja? Ternyata
tidak. Raja Babi merasakan wajahnya sakit sekali. Wajah yang diseruduknya amatlah
keras.
Raja Babi makin berang. Ia Kembali menyerudk Kancil. Kancil memasang wajahnya untuk
menghadang serangan. Tepat sekali, serudukan Raja Babi kena di wajah Kancil. Kancil
terjatuh lagi, namun ia segera bangkit Kembali.
Raja Babi kesakitan. Satu taringnya patah. Darah segar mengengucur dari pangkal
taringnya yang tanggal. Raja Babi makin terpancing emosinya. Ia terus menyerang,
seruduk sana seruduk sini. Kancil terus melayani serangan itu dengan menjadikan
wajahnya sebagai tameng.
Kancil beberapa kali jatuh tersungkur, namun mampu bangkit lagi. Beda halnya dengan
yang dialami oleh Raja Babi. Seluruh taring Raja Babi telah lepas. Darah telah kuyup
memandikan wajahnya, bahkan mengalir ke tubuhnya. Makin lama Raja Babi makin
kekurangan darah. Kepalanya juga dirasakannya makin lamaj makin pusing.
Pandangannya berkunang-kunang. Akhirnya Raja Babi tak mampu menguasai diri. Ia
pingsan.
Ketika sadar, ia telah dikerumuni oleh wasit dan juri pertandingan. Raja Babi tak bisa
mengelak dari perjanjian. Ia menyatakan menyerah kepada Kancil. Ia juga menyatakan
sanggup menjadi pelayan Kancil. Lebih dari itu, karena rasa malu, Raja Babi menyerahkan
tahta kerajaan. Ia memutuskan untuk menjadi rakyat jelata.
KANCIL DAN
GENTONG AIR
Di sebuah bukit tinggal sekawanan binatang. Mereka adalah Monyet, Burung Gagak, Rusa,
dan Kancil. Para suatu saat mereka kehausan. Karena kemarau Panjang, mereka tak
menemukan setitik air pun. Satu-satunya tempat yang ada airnya adalah sungai. Empat
sahabat itu sepakat untuk pergi ke sungai.
Dari kejauhan mereka melihat sungai. Bukan main senangnya mereka. Mereka berlari
menuju bibir sungai. Begitu sampat, mereka langsung menurunkan mulut. Namun,
sebelum Hasrat mereke terpenuhi, sebuah suara keras mengejutkan mereka.
“Hai, apa-apaan kalian!” bentak Buaya dengan kepala menyembul di permukaan sungai.
“Kami mau minum, Buaya,” jawab Kancil berusaha menegarkan diri. Sebetulnya ia ngeri
melihat gigi-gigi Buaya yang menyembul di dalam mulutnya yang menganga.
“Kami kehausan,” dukung Burung Gagak.
“Sudah beberapa hari tidak minum,” timpal Rusa.
“Iya, makan melulu. Jadinya, kerongkongan kering kerontong,” tambah Monyet.
“Masalah, Lu,” tukas Buaya. “Ini sungai milikku. Ada dalam kekuasaanku. Kalian tidak
boleh minum seenaknya. Kecuali…. Kecuali satu di antara kalian mau jadi isi ususku,”
tambahnya seraya tertawa menyeringai.
Kancil dan teman-temannya bergidik. Tanpa menunggu apa-apa lagi, mereka berlarian
meninggalkan Buaya itu. Ancaman sang Penguasa Sungai itu tidak mereka anggap main-
main.
Kancil dan teman-temannya Kembali ke tempat tinggalnya. Mereka Kembali duduk-duduk,
membahas masalah yang sedang mereka hadapi.
“Oooo iya, aku lupa,” ucap Monyet dengan suara keras. “Di dekat sawah Pak Tani aku
melihat ada gentong. Aku sempat melihat isinya. Ada airnya sedikit. Ehm…. Sepertinya
cukup untuk minum kita berempat. Ehm, bagaimana kalau kita ke sana? ,”ajaknya kepada
ketiga temannya.
Burung Gagak, Rusa, dan kancil setuju. Mereka kemudian bergegas menuju ke tempat
yang disebutkan oleh Monyet. Setibanya mereka langsung meneliti isi gentong itu. Benar
kata Monyet, airnya memang ada, tapi di dalam, di dasar gentong.
“Silakan siapa lebih dulu,” ucap Kancil mempersilakan teman-temannya untuk minum.
Burung Gagak bergerak lebih cepat. Wajahnya dihadapkan ke mulut gentong. Paruhnya
dijulurkan ke bawah. Sial, paruhnya terlalu pendek. Permukaan air sama sekali tidak
tersentuh.
“Bagaimana, Gak?” tanya Kancil. “Apa sudah kenyang minumnya?” tambahnya begitu
melihat Burung Gagak sudah mendongakkan kepala lagi.
“Kenyang apaan. Setetes pun tidak,” jawab Burung Gagak ketus. “Gentongnya
kepanjangan,” tambahnya dengan wajah cemberut.
“Bukan gentongnya kepanjangan, itu paruhmu kependekan,” gada Kancil.
Burung Gagak tidak berkomentar. Hanya bibirnya yang ia gigit. Burung Gagak tersenyum
pahit. Rusa maju beberapa Langka. Beberapa saat ia menatapi isi gentong air. Aira liurnya
menyelinap di antara gigi-giginya, kemudian turun. Seperti melihat rumput yang ramun
saja, sikap si Hewan Beranduk indah itu.
Rusa memasukkan kepalanya ke mulu gentong. Sial, hanya sampai keningnya yang dapat
masuk ke mulut gentong itu. Kepalanya tidak bisa masuk karena terhalang oleh
tanduknya.
“Makanya, taruh dulu tandukmu itu, Sobat,” gada Kancil diakhiri dengan tertawa
cekikikan.
“Dasar, Lu,” ucap Rusa sambil mendelik. Rusa putus asa, tidak terus berusaha
meminum air itu. Ia mundur beberapa Langkah, kemudian duduk di tanah. Wajahnya
pasrah.
“Aku pasti bisa,” ucap Monyet penuh semangat. Ia melompat ke arah gentong.
Begitu tiba, ia langsung menggapai bibir lubang gentong. Monyet memasukkan kepalanya
ke dalam gentong. Ia berhasil kerena tak memiliki tanduk seperti Rusa. Sayang, dasar
gentong masih terlalu jauh. Mulut Monyet tidak menyentuh permukaan air. Monyet
mengangkat kepalanya. Kini ia menjulurkan tangannya ke bawah. Maksudnya mau
menyiduk air itu dengan telapak tangannya. Kemudian membawanya ke mulutnya dan
meminumnya. Namun, lagi-lagi usahanya gagal.
“Gagal, ah,” ucap Monyet dengan wajah kecewa.
“Apa tak ada akal lain,?” tanya Kancil sambil menatapi mata sahabatnya.
Monyet tidak menjawab. Ia malahan termunung. Pasti si Monyet itu sedang
berpikir. Cara apa yang dapat dilakukannya lagi? Setelah beberapa saat berpikir, Monyet
berteriak. Teman-temannya terkejut. Mereka mengira Monyet digigit Semut atau disengat
Kalajengking.
“Aku dapat akal!” teriak Monyet sambil berjongat jingkrak-jingkrak.
“Apaan tuh?” tanya keempat temannya serempak.
“Kita gulingkan gengtong itu. Airnya pasti keluar,” jawab Monyet seraya
tersenyum penuh kemenangan. “Brilian kan ideku?” tanyanya kepada ketiga temannya.
“Brilian apaan,” tukas Kancil. “Ide konyol!”
“Kok?” Monyet keheranan. Tariannya terhenti. Senyumannya pun berakhir.
Matanya memincing ke arah Kancil.
“Kalau digulingkan, airnya memang akan keluar!”
“Tuh kan?!”
“Tapi akan tumpah ke tanah. Airnya akan merembes ke dalam tanah. Kita tak akan
kebagian. Kita tak akan bisa meminumnya.”
“O…. begitu, ya, ucap Monyet yang akhirnya tercenung. Tak lama kemudian, ia
mengangguk-anggukkan kepala. Kata-kata temannya kinio dapat ia mengerti.
“Lalu, apa idemu, Cil?” tanya Burung Gagak.
“Iya, jangan nonton melulu,” tambah Rusa.
“Jangan-jangan bisanya ngeledek doang,” timpal Monyet sambil tersenyum sinis.
“Ini ideku,” ucap Kancil sambil menunjuk tumpukkan batu yang ada di dekatnya.
Teman-teman Kancil mengikuti arah telunjuk temannya. Namun, tak satu pun
yang berkomentar. Mereka sepertinya tidak mengerti maksud ucapan Kancil.
“Ayo, bantu aku,” pinta Kancil.
Kancil mengumuti batu-batu yang bergelatakkan di tanah. Teman-teman Kancil
mengikuti. Batu-batu itu mereka masukkan ke dalam gentong. Hai itu terus dilakukan
sampai batu itu hampir penuh mencapai mulut gentong.
Apa yang terjadi? Air lambat laun naik. Ketika batu hampir penuh, air sudah
hampir meluber ke bibir gentong. Bukan main gembiranya hati Kancil dan teman-
temannya. Mereka beramai-ramai menyiduk air itu dan meminumnya dengan sekenyang-
kenyangnya.

KANCIL
MEMANDIKAN BUAYA
Kancil berlari-lari kecil menuju ke sungai. Langkah kakinya ringan. Lincah sekali
gerakannya. Ia berlenggak-lenggok ke sana ke mari. Kadang- kadang ia melompat ke
depan dan belakang. Siapa pun yang melihatnya akan terhibur.
Sambil melompat, Kancil bersiul. Merdu suara siulannya. Tak kalah merdu dengan
siulan burung perkutut dan anis. Di tengah siulan, terkadang ia berdendang.
Dendangannya juga indah. Tak kalah indah dengan dendang biduan di atas panggung.
Kancil tiba di tepi sungai. Dilihatnya Buaya sedang berjemur diri. Sebenarnya
Kancil merasa risi juga. Ia tahu, Buaya itu doyan makan daging. Daging dirinnya tentu
merupakan salah satu daging yang paling disukainya. Katanya tak kalah lezat dibandingkan
dengan daging Kura-Kura yang mengandung calippe.
“Lakadalah, kamu datang, Cil,” sambut Buaya sambil melemparkan senyuman.
Buaya berusaha tersenyum ramah. Tapi di mata Kancil, senyuman itu tetap menyeramkan.
Tak jauh berbeda dengan saat Buaya menyeringai menunjukkan gigi-gigi yang kekar.
“Lagi apa, Buaya?” tanya Kancil sekedar berbasa-basi.
“Sudah tahu, nanya,” sambut Buaya masih dengan tersenyum manis. “Ya
berjemur, dong. Biasa, Namanya juga kakek-kakek, butuh matahari untuk menghangatkan
badan.”
Kancil menatap wajah Buaya beberapa saat. Tumben suka bergurau, pikirnya.
Pasti ia tidak sedang lapar. Kalau sedang lapat, jangankan bercanda, wajahnya bernafsu
untuk menyergap.
“Kamu mau menyebrang ke hutan sana, kan?” tanya Buaya sambil mengarahkan
wajahnya ke hutan di seberang. “Seperti biasa, kamu akan menipuku dulu, kan?” tanyanya
lagi.
Kancil menggelengkan kepala. “Nggak ah, aku sudah bosan dengan menipu. Aku
nggak mau menipu lagi. Tujuanku baik bagimu, lho.”
“Baik?” tanya Buaya dengan dahi mengerut keriput. “Memangnya, mau apa kamu,
Cil?”
“Kulihat punggungmu kotor begitu. Penuh lumpur dan lumut. Pasti dakimu juga
banyak,” ucap Kancil sambil menunjuk-nunjuk punggung Buaya.
“Kamu benar, Cil. Kamu tahu kan sungai dangkal. Airnya sedikit maklum, kan
kemarau Panjang. Aku tak bisa mandi. Aku tak bisa menyelam. Jadi, ya begini inilah,
seperti yang kamu lihat,” ucap Buaya membenarkan kata-kata Kancil.
“Jadi, nggak keberatan kalau ku bersihkan?”
“Ya, masa iya, niat baik ditolak. Ayolah, Cil,” ucap Buaya mempersilahkan Kancil
naik ke punggungnya.
Kancil naik ke punggung Buaya. Ia minta Buaya untuk bergerak ke tengah, mencari
bagian sungai yang dalam. Katanya agar punggung Buaya teremdam air. Di tengah sungai,
Kancil mempersilahkan punngungg Buaya dengan cara menggaruk-garuknya. Sambil
bekerja, Kancil tak henti-henti menyiduk air dan meminumnya. Tujuan sebenarnya ia ke
sungai memang itu, mau minum. Maklum, lagi musim kemarau Panjang. Di darat tak ada
air. Kolam kering kerongtong. Danau kering kerongtong. Sungai kecil dan genangan air
juga tak berair.
“Sudah bersih, Buaya. Ayo ke tepi lagi,” ajak Kancil begitu melihat punggung
Buaya bersih. Ia juga sudah kenyang minum. “Tapi besok aku akan ke sini lagi. Tubuhmu
akan tiap hari ku bersihkan agar akmu lebih sehat dan juga lebih tampan.”

KANCIL DAN HARIMAU


SALING TIPU
Kancil dan Harimau bernasib sama. Suatu hari keduannya tertangkap oleh pemburu di
hutan. Namun, cara mereka yang dibantu oleh beberapa ekor Anjing peliharaan pemburu.
Kancil mulanya mampu menghindari sergapan. Namun karena para pemburu cetakan,
ditambah dengan Anjing-anjing yang cukup terlatih, akhirnya Kancil tertangkap.
Harimau tertangkap dengan cara lain. Harimau melihat ada sebuah kendang besi
berbentuk kotak. Di Langi-langit kendang itu terdapat sebongkah daging segar. Harimau
tergiur oleh daging itu. Ia mendekati kandang dan masuk ke dalamnya. Begitu berada di
dalam, Harimau langsung melompat untuk meraih daging. Begitu kakinya menangkap
daging, sesuatu terjadi pada Harimau. Pintu kandang tertutup dengan cepat. Harimau
terkejut. Ia berlari ke arah pintu dan membukanya. Usaha Harimau tidak membuahkan
hasil. Harimau mondar-mandir di dalam kandang besi, mencari jalan keluar. Harimau
membanting-bantingkan badannya ke dinding kandang. Ia juga menubruk-nubrukan
kepalanya ke dinding itu. Namun segala usaha si Belang itu kandas. Akhirnya, si Belang itu
pun tak bedaya.
Setelah tertangkap, Kancil dan Harimau bernasib sama. Keduannya dikurung di
rumah pemburu. Namun, mereka dikurung dengan cara yang berbeda. Kancil ditempatkan
di halaman belakang rumah pemburu yang cukup luas. Ia dapat berkeliaran di sana
dengan nyaman. Ia dapat minum air yang terdapat di kolam dan makan rumput yang
menghampar di satu sudut di halaman itu. Kancil juga mendapatkan perlakuan yang cukup
baik. Sejak berada di tempat itu ia langsung diperlakukan dengan ramah. Tubuhnya di
elus-elus. Wajahnya diusap-usap. Ia juga diperkenalkan dengan anak pemburu. Sepertinya
pemburu itu ingin menjadikan Kancil sebagai hewan yang jinak.
Perlakuan yang tidak sama dialami oleh Harimau. Sejak terperangkap di dalam
kandang besi, ia tidak pernah berpindah tempat. Ia tetap dikurung di tempat yang
berukuran lebih besar sedikit dari tubuhnya itu. Tiap hari ia diperlakukan kasar. Pemburu
memakinya. Pemburu memelototinya. Pemburu juga sering menodongkan senapan ke
wajahnya. Entah apa yang diinginkan oleh pemburu itu. Mungkin pemburu ingin melihat
hewan buas itu betul-betul takut padanya hingga akhirnya hewan itu takluk. Setelah
takluk, binatang buas itu diharapkan berubah menjadi jinak.
Suatu hari Kancil dibiarkan keluar dari tempat tinggalnya. Kancil gembira karena
dapat bermain ke tempat yang lebih jauh. Kancil berlari-lari kecil. Tempat pertama yang
akan ditujunya adalah tempat Harimau dikurung. Kancil tertegun Ketika melihat keadaan
Harimau. Ia sedang tidur meringkuk di dalam kerangkeng yang sempit.
Harimau ternyata masih memiliki penciuman yang tajam. Kedatangan Kancil
segera ia ketahui. Harimau cepat-cepat membuka mata dan bangkit dari tidurnya. “Eh…
kamu, Cil,” sambut Harimau dengan melempar senyuman yang dipaksakan. “Apa
kabarmu?” katanya lagi berbasa-basi.
“Baik sekali, Teman,” jawab Kancil sambil membalas senyuman Harimau. Ia
terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Baru kali ini dirinya memanggil dirinya dengan
sebutan “teman”. Sebutan itu meluncur spontan. Mungkin karena terdorong oleh rasa
senesib sepenenggungan yang terjadi pada mereka. Tanpa diminta, Kancil langsung
mengceritakan keadaan dirinya selama ini. Harimau mendengarkannya dengan serius. Di
sela-sela keseriusanya itu, ia menelan ludah. Sepertinya merasa iri dengan nasib baik Kacil
dan ia ingin merasakan hidup bebas seperti Kancil.
“Cil, aku tahu kamu makhluk baik, bahkan paling baik yang aku kenal,” ucap
Harimau begitu Kancil menutup kisahnya.
Kancil menatapi wajah Harimau. Ia tidak mengerti maksud ucapannya. Ia ingin
bertanya, namun tidak sempat. Suara Harimau telah mendahuluinya.
“Ingin rasanya satu jam saja aku hidup bebas sepertimu. Ingin rasanya aku
dapat berlarian di tempat tinggalmu di sana,” kata Harimau sambil mengarahkan kaki
depannya ke tempat tinggal Kancil.
Kancil makin menajamkan tatapan. Ia tahu keinginan Harimau, tapi ada hal yang
mengganjal di pikirannya. Harimau mengerti arti tatapan Kancil.
“Cil, aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Kamu takut kalau aku akan menipumu,
bukan?” tanya Harimau dengan nada datar.
Kancil tidak berkomentar. Tatapannya ke mata sang Raja Hutan yang sudah tak
bersiung itu kini makin tajam.
“Kamu pikir aku akan melakukan tipu daya, bukan? Setelah keluar, kau akan lari
kabur ke hutan, begitu bukan? Atau setelah keluar, aku akan menerkam dan memakanmu,
begitu bukan?”
Kancil menarik napas Panjang. Ternyata di Belang ini pintar juga, mampu menebak
isi hatiku. Kancil menganggukkan kepala. Memang itu yang menyelinap di pikirannya. Di
pikirannya. Ia tahu pasti kalau Harimau itu suka berbuat tidak terpuji. Untuk mendapatkan
mangsanya ia sering membuat tipu daya. Untuk mencapai tujuannya, ia terkenal paling
jago memperedaya hewan lemah.
“Ya…. Aku paham, Cil. Reputasiku di hutan memang jelek,” ucap Harimau lagi
memudarkan lamunan Kancil. “Tapi, jangan samakan aku di sana dengan di sini, Cil. Di
hutan aku dapat berbuat apa saja karena aku raja. Tapi di sini? Apa kekuatanku? Apa
kekuasaanku? Jadi, tolong buang jauh-jauh rasa khawatirmu itu.”
Kancil meneliti mata dan wajah Harimau. Ia ingin tahu apakah kata-kata Harimau
itu benar atau tidak. Kancil menemukan kesungguhan pada rona wajah si Belang. Kancil
melihat gembok kokoh di pintu kerangkeng besi. Tanpa berkata ia berlari menuju ke dapur
rumah Pemburu. Kebetulan Pemburu dan keluarganya sedang tidak ada di rumah. Kancil
leluasa mencari anak kuncil itu. Kancil menemukannya. Ia bergegas Kembali menghampiri
Harimau. Begitu tiba, ia langsung membuka kuncil gembok itu. Sebelumnya tidak lupa ia
meminta Harimau untuk bersumpah. Bersumpah untuk tidak kabur. Bersumpah untuk
tidak memakannya. Bersumpah untuk hanya keluar sebentar. Setelah itu masuk lagi ke
dalam kandangnya.
“Tapi, Mau,” ucap Kancil. Sepertinya ia sudah menemukan cara baru untuk
mencegah niat Harimau. Sebetulnya Kancil enggan melakukan cara itu karena sama saja
sama denga cara-cara yang dulu. Kancil akan menipu Harimau itu lagi. Namun apalah
daya, melalui tipuan saja Harimau lapar itu bisa ditaklukkan. Kalau dengan cara lain?
Misalnya dengan mengajak duel, pasti Kancil akan kalah. Kalau Kancil meloloskan diri
dengan cara berlari, pasti pula Kancil akan kalah.
“Tapi kamu tidak mau mati, kan?” tanya Harimau sambil membelalakkan mata.
“Ehm… soal mati itu urusan yang di Atas, Mau. Jangankan di sini, tempat tidur pun
kematian dapat saja terjadi. Jangankan kamu terkam, terjerumus ke sumur saja ajal bisa
datang.”
“Lalu?”
“Aku Cuma tak mau melihat kamu kecewa.”
“Apa? Kecewa?”
“Ya, karena ada yang ingin sekali bertemu denganmu.”
“Apa maksudmu, Cil?” tanya Harimau seraya menatap tajam mata Kancil. Ucapan
Kancil langsung kena di hatinya. Ia jadi bertanya-tanya. Siapa yang ingin bertemu
dengannya? Apakah Raja Manusia yang ingin menjadikan dirinya saudara angkat? Apakah
putri Pemburu yang ingin menjadikannya suami?
“Di rumah Pemburu ada Harimau lain yang katanya saudara kembarmu,” ucap
Kancil sambil tersenyum manis. Ia senang karena rencananya mendapatkan angin segar.
“Saudara kembarku? Memangnya eh….”
“Ia katakan sendiri itu, Mau,” sambut Kancil dengan cepat. “Aku juga percaya
karena dia itu benar-benar mirip denganmu. Segalanya sama. Tubuhnya besar dan kekar.
Wajahnya tampan dan gagah. Suaranya juga mengalirkan wibawa yang kuat.”
“Ehm… Grr… Aum… itu memang aku banget, Cil!”
“Saudara kembarmu itu kasihan sekali. Sudah bertahun-tahun mencarimu. Ia telah
menjadi Harimau sukses. Ia telah menjadi raja di kerajaan hutan seberang. Ia hidup
bergelimpangan kemewahan. Katanya, ia mencarimu karena ingin berbagi kebahagiaan. Ia
ingin kamu hidup merdeka tanpa ada gangguan dari manusia. Iya ingin memberimu
makanan yang banyak. Kamu dapat memakan daging sesukamu tanpa harus berburu dulu.
Begitu, Mau.”
“O…” ucap Harimau dengan bibir membentuk hurup o. ia sangat tertarik oleh
ucapan Kancil. Ia ingin segera menemui saudara kembarnya itu.
“Antar aku ke sana, Cil,” ajak Harimau penuh semangat.
“Emang aku akan mengantarmu,” sambut Kancil sambil berjalan mendahului
Harimau.
Kancil dan Harimau berjalan beriringan. Kancil membawa Harimau masuk ke
rumah Pemburu. Mereka masuk dari dapur, kemudian ke ruang tengah. Harimau terpana
dengan pemandangan di dalam rumah Pemburu itu. Ia melihat benda-benda asing
terdapat di sana.
“Mana kembaranku itu, Cil?” tanya Harimau tidak sabar.
“Di sana, di kamar!” jawab Kancil sambil menunjuk sebuah kamar. “Ia sengaja
menunggumu di sana untuk membuat kejutan. Sebelumnya ia telah merias diri agar lebih
tampan dan lebih sopan. Di sana ia juga akan memberimu hadiah berupa beberapa
bongkah daging segar.”
“O…. ya?” sambut Harimau sambil menelan ludah.
“Kamu masuk sendiri saja, ya. Supaya bebas menumpahkan rindu,” ucap Kancil
sambil tersenyum. Selesai berkata, Kancil balik badan. Ia akan Kembali ke halaman
belakan rumah itu. Ia pergi bukan karena memberi waktu leluasa kepada Harimau untuk
menemui saudara kembarnya. Ia telah mendengar pintu depan rumah itu ada yang
membuka. Sepertinya tuan rumah sudah Kembali dari bepergiannya.
Harimau tidak mempedulikan Kancil lagi. Kini pikirannya terpusat pada saudara
kembarnya. Juga pada janji-janji manis si Kancil. Dengan tergesa-gesa, Harimau membuka
pintu kamar. Begitu di dalam, matanya langsung mencari-cari saudara kembarnya. Di
lantai, ia tidak menemukan saudara kembarnya itu. Di ranjang, ia tidak melihatnya sedang
tiduran. Di bawah ranjang juga tidak ada tanda-tanda kalau ia ada. Tapi… itu di sana?
Harimau menyapa saudara kembarnya dengan menyeringaikan mulut. Ia yakin
sikapnya itu akan terlihat manis dan penuh rasa persahabatan. Ia berharap saudara
kembarnya membalasnya dengan sapaan yang manis pula. Namun apa yang di
dapatkannya? Ia melihat saudaranya menyeringai pula, namun sama sekali tak ada manis-
manisnya. Mulut saudara kembarnya menganga besar. Gigi-giginya menyembul ke luar.
Sikap saudara kembarnya itu seperti sebuah tantangan.

Anda mungkin juga menyukai