Anda di halaman 1dari 4

NAMA: Muhammad Rudi Kurniawan

KELAS: XI MIPA 4
MALAM DINGIN FEBRUARI

Langit cerah tanpa cela menunjukan galaksi tengah asik bercengkrama.


Sementara ayam jago milik Pak Jati berkokok dengan nyaring ditengah malam.
Angin bertiup dari gunung Rinjani berhembus pelan tapi cukup membuat
membuat setiap manusia memeluk erat selimut.

Dalam keningan, seekor tikus bergerak cepat menyusuri dinding sampai


terhenti pada satu tempat. Sebuah kamar rapi, bersih dan harum. Tidak banyak
perkakas di kamar itu, hanya tempat tidur yang dingin dengan perempuan
renta tengah berbaring. Tak ada yang istimewa, tetap seperti biasa,
perempuan tua yang mulai lupa dan selalu menatap langit-langit dengan mata
menarawang. Hanya saja beberapa hari ini tikus sering melihat banyak orang
yang mondar mandir di kamar itu.

Tikus sudah biasa melihat Salih lelaki pengatar nasi, atau sekali juga melihat
anaknya Karin dan Karel yang mengatikan. Namun kali ini mereka yang ada
didalam ruangan itu asing. Orang-orang ini berbeda, mereka sebelumnya tak
pernah terlihat. Memang sudah dua malam ia melihat beberapa orang hilir
mudik dari kamar ini. Apakah perempuan tua itu sakit parah. “Sepertinya tidak,
karena aku tikus pemilik kamar ini pernah melihatnya lebih sakit dari malam
ini, tetapi dia tetap tidur sendiri” gumanya, Tikus berlari menuju lemari tua
usang berwarna coklat. Melalui celah kecil dibagian samping kiri bawah ia
masuk membawa makan, untuk anaknya.

Horee.. ibu sudah pulang” ucap si bungsu dari enam bersudara, Tikus segera
memberikan hasil buruan dengan adil, setiap anak mendapatkan jatah yang
sama. Setelah menyelesaikan makan malam dengan khidmat mereka bersiap
untuk istirahat, melepas lelah dari perburuan.
“Bu, apa yang terjadi di luar, sejak kemarin ribut sekali” ucap Sulung yang
penasaran
“keluarga si nenek tengah berkumpul”
“bukankah kata ibu bilang si nenek tidak memiliki anak”
“mereka bukan anaknya, tetapi keluarga”
“apakah yang bukan anak bisa jadi keluarga”
“dalam kehidupan manusia mereka saling bekerjasama, berkeluarga”
“tapi ibu sering bercerita jika nenek selalu tinggal sendiri dan tidak punya
keluarga”
“mungkin mereka orang-orang yang akan mendapatkan rumah ini”
“lalu si nenek”
“entahlah, sepertinya ia tidak akan tinggal lebih lama”
“kata Ibu, jika nenek sudah tidak ada kita akan pindah”
“iya”
“kenapa”
“kau tidak perlu tahu, hanya ikuti saja”.
Sulung menganguk tanpa bertanya lagi.

Jangan ada yang tidur dulu, berjagalah secara bergantian” ucap lelaki paruh
baya itu, ia mendekat dan mencoba mengajak Nenek berbicara, tetapi nenek
tidak bergerak terus terpejam dengan mata kiri yang berair, mungkin saja ia
tengah menagis.
“iya jangan” ucap perempuan yang tengah mengaduk air didalam gelas. Dua
orang yang lain tengah bercakap-cakap. Satu lagi tertidur. Diluar tetap dingin
sedingin ruangan itu. Sesekali nenek membuka mata yang bergerak kekiri dan
kenanan, lalu sedetik berpapasan dengan mata si tikus yang sejak tadi berdiam
diri diatas lemari mengamati. Si tikus terkejut, mata itu tidak bercahaya, tapi
menatap lembut tidak seperti biasanya. Yang selalu memelas menahan rasa
sakit. Mata yang selalu merindukan untuk segera menutup, yang lelah untuk
selalu menatap langit-langit. Sebelum benar-benar terpejam mata itu terbuka
lebar dan segaris senyum terbit. Senyum yang tak pernah hadir selama
beberapa tahun ini. Senyum yang terbit untuk tenggelam selamanya.

Tanpa kata, tanpa rintihan tanpa teriakan, si nenek menutup mata


menjatuhkan setitik air terakhir Mata itu benar-benar tertutup tanpa harus
ditutup. Bahkan sampai akhir ia menunjukan keangkuhanya. Ia benar-benar
angkuh bahkan sampai akhir. Ia tetap sendiri, berjuang sendiri dan kukuh pada
pendirianya meski harus dimusuhi oleh kakak kandungnya hanya karena
mempertahankan tanah warisan untuk keempat anak yatim itu.

Dalam gelap dingin ia pergi, meningalkan dunia yang puluhan tahun


memenjarakanya dalam kesepian, lepas dari hari yang dilalui dengan
pertanyaan akan waktu, istirahat dari peluh semasa muda, pergi untuk
mengakhiri kegelapan dunia menemui cahaya.

“Muliadi”… Ucap perempuan pemegang gelas, Mereka berpandang dan “sudah


tidak ada” ucap si perempuan sambil mendekatkan tangan ke hidung. Semua
yang ada di ruangan itu bangun, mengecek, lalu semua berakhir dengan kata
“sudah tidak ada”. Semua masih sepi hanya beberapa orang mulai
berdatangan memenuhi ruang sempit itu, yang lain banyak lagi diluar sedang
mempersiapakan tempat.

Semua itu tidak luput dari pengamatan Tikus. Setelah merasa tak ada lagi yang
harus diperhatikan. Tikus kembali, Berjalan lunglai dan berhenti pada titik
tergelap dalam lemari. “aku sudah lama tinggal tanpa cahaya, berjalan tanpa
cahaya, berburu tanpa cahaya, tapi tidak penah merasa seperti berada ruang
hampa”.

Sementara kegaduhan tengah terjadi diluar lemari, semua orang mengerjakan


peran masing-masing untuk menyiapkan pengataran terakhir nenek. Malam
makin dingin dengan terang bulan, Tidak ada yang menangis sambil meratap.
Hanya saja bulan dan bintang sejenak menghentikan percakapan, sebab
sebuah rombongan langit tengah melintas dan seperti biasa ditengah
rombongan ada seorang manusia.

Anda mungkin juga menyukai