-MOZA-
Dan dari segala keputusan yang pernah diambil oleh pilot yang menginjak
usia 30
Romeo
lebih
memilih
2
Ya, aku hamil. Dan usianya kini memasuki trimester dua. Perutku sudah
membuncit dan tentunya diketahui oleh seluruh
keluarga
besar,
termasuk
keponakan kesayangan kami, Leon. Ia sudah masuk SD dan senang sekali saat
mendapat kabar bakal punya adik sepupu baru. Ia bahkan sudah siap berbagi
mainannya kalau nantinya adik sepupunya ini laki-laki.
Well, saat USG terakhir kemarin, dokter sudah sempat mengira-ngira jenis
kelamin bayi kami. Namun semuanya akan lebih jelas pada usia 18 minggu
nanti. Rasanya tiap minggu begitu mendebarkan. Rasa antusias dan
kekhawatiran sering kali bertabrakan.
Pengalaman
buruk
pada
3
Ia mengikis satu per satu kekhawatiran dengan
perhatian-perhatian
kecilnya.
“Menurut
lo,
mana
yang
lebih
menggoda?”
Aku tergelak saat Shanika menunjukkan gambar-gambar lingerie di layar iPad
nya, saat rambutnya dikeringkan oleh hairstylist.
“Kali aja Arsen punya selera kayak papanya. Kazi „kan orang Jepang.”
“Kemarin kami nggak sengaja ketemu Mia di Ebeya. Terus gue sok-sok
ngedrama jadi nggak mood gitu. Padahal juga nggak kenapa-napa.”
Aku masih mengernyit. Tidak mengerti kenapa cewek satu ini harus pura-pura
cemburu dan bikin drama. Menyadari hal itu, Shanika berdecak.
“Biar seru aja, Moz… Gue pingin tau cara dia comfort gue gimana, gimana
cara dia ngeyakinin gue atau buktiin kalo gue itu satu-satunya
buat
dia
sekarang…
“Pura-pura ngambek?”
5
“Iya!! Berantem itu bumbu pernikahan, tau!”
“Wow… looks like you married earlier than me. Lo lupa, gue sempet mau
cerai tahun kemarin?”
“Oh iya. Lo sama Rommy udah mau dua tahun dong ya?”
membeberkan
ke-absurd-an
perayaan kemarin padanya. Namun melihat raut penasaran Shanika, aku pun
menyerah.
“Nonton. Di mobil.”
“Mobil?”
“Well, sejarah percintaan gue emang punya hubungan erat sama mobil.
Romeo aja ngelamar gue di mobil. Jadi… ya kita flashback momen itu.”
6
“Maksudnya?”
“Absolutely. Gue sama Arsen belum nyoba nih. Dia ngelamar gue juga di
mobil by the way… Gimana? Menantang, nggak?”
“Agak struggle iya, karena sempit. Tapi nggak yang menantang sih. Kan
mobilnya di halaman rumah sendiri. Kecuali kalo lo ngelakuinnya di parkiran
umum.”
“Okay… balik lagi ke anniv lo. Tahun ini lo mau ngerayain gimana?”
“Ehm… biasanya sih Rommy yang punya plan. Dia selalu punya surprise.”
“Paling nyiapin hadiah. Rommy tau gue orangnya nggak suka ribet.”
“Hmm… apa gue harus pura-pura lupa ulang tahun pernikahan? Terus bikin
kejutan?”
****
Being pregnant comes with a lot. A lot of emotions you never realized you
had.
8
Seperti malam ini, ketika Romeo sudah siap pergi ke pesta bujang salah satu
temannya. Semenjak hamil, aku bersumpah melihat Romeo bersiap-siap pergi
kemana pun tanpaku, adalah momen paling menjengkelkan.
Romeo
menghela
napas,
lantas
“Jadi momen itu lebih berharga ya, daripada nemenin aku malam ini?”
“It s ok. Minggu lalu kamu juga lebih milih nemenin investor kamu jalan-
jalan daripada nganterin aku kontrol.”
“Itu kerjaan. Kamu tau…” Romeo menunduk untuk mengecup perutku, lalu
mengusapnya. “Nemenin kamu „kan emang 9
kewajiban aku, rutinitas aku, besok juga bisa.”
Aku membuang muka. “Dan aku nggak cuma sehari. Paling cepet pulang
Minggu.”
“Seriously?”
“Iya. Jadi sementara kamu bisa libur dari tugas kamu dari jagain istri ribet
kayak aku.”
“Kamu marah?”
10
Punya istri super mandiri, nggak ribet, dan terkesan cuek… terkadang
membuat gue berharap andai saja Moza sedikit lebih manja ke gue. Dan
rupanya Tuhan mengabulkan doa gue dalam waktu yang tergolong cepat.
Moza hamil. Dan benar saja, tingkahnya berubah menggemaskan. Awal masa
kehamilan,
ia sudah
membuat gue
Hanya saja, kali ini agak berbeda dari biasanya. Moza yang gue kenal adalah
sosok yang toleran, pengertian, dan berpegang pada logika, meskipun sedang
terpengaruh hormon. Bukan malah ngambek dan mengasingkan diri ke rumah
orang tua karena hal sepele.
Gue berjalan masuk ke rumah Ayah dan Bunda. Seperti yang sudah
disampaikan Moza
sebelumnya,
gue
nggak
membiarkannya menginap lebih lama tanpa gue kali ini. Gue nggak
menjemputnya kemarin. Meskipun kemarin seharusnya menjadi hari dimana
kami merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke-2.
Bahkan ingat pun sepertinya enggak. Gue kecewa, jengkel… tapi semua itu
tentu saja 12
kalah dengan perasaan sayang dan bersalah gue terhadapnya. Yang gue
inginkan sekarang cuma segera memeluknya, maka amarah dan kekecewaan
ini mungkin bakal menguap.
“Sehat. Bunda?”
“Moza nungguin?”
“Ok. Makasih, Bunda.” Gue pun langsung meluncur ke lantai dua, home
theatre di rumah ini.
Gue memasuki ruangan dan langsung disambut oleh cahaya redup dan suhu
yang lebih rendah dari luar. Layar menyala, tapi gue nggak melihat ada sosok
Moza di sana.
Gue hendak keluar mencari Moza, sebelum akhirnya lampu padam dan
muncul tulisan di layar :
13
Take your seat, Rom…
Pintu sudah tertutup. Saat melihat ke arah sofa dan meja di hadapannya.
Sebuah kue, alat makan dan kartu ucapan tertata di sana.
Enjoy the video, ya. Cuma ini yang bisa aku kasih.
Bibir gue menarik senyuman, lalu tiba-tiba layar berganti. Sebuah video mulai
diputar. Moza duduk di sofa ruang santai kami.
“Udah
mulai?” tanyanya
sembari
merapikan rambutnya, entah bicara dengan siapa. Setelah mendapat kode dari
seseorang, ia mulai berdehem dan berbicara.
“Hai, Sayang… Well, aku nggak biasa bikin ginian. Jadi agak kaku. Ehm…”
Moza berdehem lagi. “Aku nggak tau kesannya bakal sama atau enggak,
kalau aku 14
Tapi mungkin, nggak aku nggak akan bisa ngomong selengkap dan sepanjang
ini kalo ada kamu. Karena kamu pasti udah bikin aku nerveous duluan. Atau
kalau enggak, kamu udah keburu nyium aku, kita make out, make love, dan
yah… apa yang mau aku sampein kepotong. So, di kesempatan ini… Aku
mau ngasih tau kamu, hal-hal yang mungkin belum kamu tau, selama kita
bareng-bareng 2 tahun ini. Tapi tentunya nggak seru kalo aku cuma ngomong
terusan kayak gini. So, aku minta bantuan Shanika, the one who suggest this
idea, untuk bikin pertanyaan-pertanyaan supaya aku bisa jawab spontan.”
Moza
kemudian
seperti
Shanika : “First question… Kalo kalian ikut pesta Halloween, kalian bakal
pake kostum apa dan kenapa?”
Moza : “Shadow Hunters costume. Clary and Jace. Itu keren banget. Nggak
pake muka blontang blonteng, tapi aura seremnya 15
gue rasa dapet. Dan yang penting, gue masih kelihatan cantik.”
Gue mengernyit. Rupanya, dia ingat ucapan gue di bioskop waktu itu.
Moza : “Godain gue pake chat mesum di jam kerja! Itu ganggu banget sih!”
„kan, Sayang?
16
Kini giliran Moza tertawa. Gue bertaruh pikiran Shanika mengarah ke arah
yang sama dengan gue.
Moza : “He even made me orgasm only with his finger. Well, semoga klip ini
nggak ditonton anak gue nanti.”
Moza : “Dia ganteng terus. Tapi ganteng yang paling gue suka adalah….
When he about to kiss me. Sama waktu dia lagi present atau ngomong di
depan orang banyak.”
Shanika : “Alright, next... Apa momen paling indah selama lo sama Romeo.”
Moza : “Di Raja Ampat. Waktu dia mau nyentuh gue lagi. Waktu itu gue
emang setengah sadar. Tapi gue inget gue sampe nangis bahagia malem itu.
Meski paginya gue nangis karena sedih. Well, Sayang…. hari itu kamu
keterlaluan banget! Aku berasa dibanting dari puncak Jaya Wijaya!”
17
Shanika tertawa. Jelas, kalimat terakhir Moza adalah lelucon. Namun, gue
nggak bisa tertawa sama sekali. Bagaimana pun itu adalah saat dimana kami
sama-sama terluka.
Shanika : “Kalo ada sesuatu yang bisa lo ubah, apa dan kenapa?”
Moza : “Dulu, gue ingin balik ke masa lalu. Seandainya gue lebih ngejagain
janin gue… Kita pasti bisa bareng-bareng. Tapi gue sadar. Mungkin dia ada
memang untuk bikin maminya jadi lebih siap. Dia ada supaya gue dan
Rommy bisa kayak sekarang. Jadi, nggak ada. Nggak ada yang mau gue
ubah.”
Shanika : “Last but not least… ada yang mau lo sampein ke Rommy?”
Moza melihat ke arah kamera.
Lebih… Aku mau tau gimana kamu kalo jadi Papa. Aku mau tau gimana
kamu kalo tetep muja aku pas aku udah nggak cantik lagi.
18
Aku mau ngerasain pegangan tangan sama kamu pas tangan kita udah sama-
sama keriput. Aku mau sama kamu….
Moza : “Maafin aku kalo akhir-akhir ini aku bawel dan ngerepotin. Kamu
suami terbaik, sabar, paling ngerti aku… mau ngalah… Aku cinta kamu,
Rom.”
“I love you more,” gue bergumam seraya mengusap air mata. Saat itulah foto
pernikahan
kami
memenuhi
layar,
bersamaan dengan lampu kembali terang dan Moza muncul dari belakang.
“Do you like it?” tanya Moza, ketika pelukan gue melonggar.
Menciumnya dalam-dalam.
19
“Tapi ini belum cukup buat aku maafin kamu,” ucap gue, saat ciuman kami
terlepas.
“Hukuman?”
“Hukuman yang cuma bisa dilakuin oleh suami ke istrinya.” Gue berbisik,
sementara tangan gue bergerak nakal menelusuri pinggulnya. “Hukuman
yang… harus kita lakuin di rumah, nggak di sini.”
*****
20
ANTIDOTE : NO WAY TO RUN
----MOZA----
bahwa
aku
harus
siap
menyongsong hukumanku.
Romeo.
Mencekalku,
lalu
menggelitiku,
berujung
dengan
tidak
membiarkanku
bergerak
dan
pasrah
menerima perlakuannya.
Aku melirik jari Romeo yang kini meremas pegangan pintu. Pipiku memanas.
Tiba-tiba saja aku menyesali jawabanku akan pertanyaan bodoh Shanika tadi.
Aku berani bertaruh Romeo pasti akan mengungkit hal itu di masa depan
dengan muka cengengesannya.
Suara Romeo seperti sengatan setrum yang menyentakku. Aku melotot dan
spontan memukulnya.
"Apa sih?"
22
Alih-alih tenang karena sudah bisa masuk ke dalam rumah, jantungku malah
berdebar makin kencang.
Setelah
buang
air
kecil
dan
Begitu masuk, aku melihat Romeo duduk sambil menjulurkan kakinya ke atas
meja.
23
"Di sini?" tanyaku sambil menunjuk mejanya yang masih ditempati
laptopnya.
"Kamu tau kenapa kita kesini?" Romeo berbisik dengan suara agak parau.
Aku menggeleng.
24
"Apa? Nggak ma--"
berhenti
berkicau
demi
Ingat saat aku bilang bahwa bibirnya adalah salah satu yang menjadi
favoritku?
Saat bibir itu melakukan tugasnya, dipadu dengan jam terbang pemiliknya,
maka hasilnya sempurna.
Kali ini ia melakukannya dengan sedikit kasar dan menuntut. Aku yang
hampir kualahan dan terdorong ke belakang, segera meraih lehernya untuk
berpegangan.
Saat
bibirnya
mengecap
brutal,
tangannya tidak tinggal diam. Tangan kanannya bergerilya ke dalam blusku,
membelai lembut perutku yang buncit.
"Emmh..."
25
"Ah, Sayang...."
26
Benar
saja,
tangannya
langsung
Aku
meremas
bahunya
seraya
"Aaksh..."
"Lagi?"
Aku belum sempat menjawab. Namun ia sudah menambahkan satu jari lagi
untuk 27
menerobos ke dalam. Keluar dan masuk perlahan, sesekali melakukan
gerakan berputar, sementara ibu jarinya membelai klit-ku.
Aku mulai berkeringat saat Romeo meraih bibirku lagi. Melumatnya selagi
jari-jarinya melakukan tugasnya di bawah.
"Nanti dulu, Sayang... Aku nggak mau buru-buru," ujar Romeo seraya
memainkan jarinya yang lengket karena cairanku. It's so damn sexy.
28
Romeo menepuk pahanya. "Sit here... Do your job, as a good secretary."
Aku mengernyit. "Kamu sering berfantasi main sama sekretaris kamu, ya?"
"Nggak sama sekali. Aku malah sering bayangin kalo kamu yang jadi
sekretaris aku. Then we can do this in my table, atau di sofa di kantor. Tapi
aku tau kamu nggak suka dan itu ngelanggar peraturan kantor.
Namun, aku tidak bisa menolak saat Romeo menarikku untuk naik ke
pangkuannya.
Dan mood-ku yang sempat turun akhirnya kembali begitu aku merasakan
sesuatu yang keras di antara pahanya.
29
Lengan
Romeo
bergerak
untuk
membantuku
melepas
kemejanya.
nipplenya
seperti
yang
dilakukannya padaku.
membuatku
kembali
Aku
tersenyum
ketika
mendapati
---ROMEO---
Gue sudah polos tanpa busana, sedangkan Moza masih masih memakai
pakaiannya lengkap. Ini sesuatu yang sangat jarang terjaadi dalam permainan
kami.
Biasanya, gue lah yang melucuti pakaiannya terlebih dulu. Atau paling nggak
bersamaan.
Gue sedikit menggeram saat Moza mengarahkan milik gue untuk bertemu
dengan miliknya yang masih dilapisi celana.
Ia
sengaja
bergerak
dan
31
menggesekkannya ke milik gue yang sudah menegang sejak tadi.
Shit!
Rupanya
gue
sudah
Begitu bra itu terlepas, gue segera meraup satu payudaranya yang makin
berisi semenjak hamil. Menciumi puting merah mudanya yang sudah
menegang, membasahi kulitnya
dengan
lidah
gue,
lantas
menyusu.
Membuat
Moza
menggelinjang dan menghentikan gerakan pinggulnya karena ingin fokus
menikmati sentuhan gue di dadanya.
32
terpacu
untuk
segera
menuju
permainan pertama.
Moza mengerang seraya mencengkeram bahu gue, saat gue mulai menerobos
masuk.
33
Napas kami beradu. Tubuh kami menyatu. Kami kembali mengecap bibir satu
sama lain. Kali ini lebih basah dan dalam dari sebelumnya.
"Rom.. ah aku..."
Napas kami masih memburu. Dan begitu mata kami bertemu... senyum kami
mengembang.
Moza
jatuh
pelukan
gue.
Gue
****
Moza masih tertidur saat gue mengusap perutnya. Ini adalah kegiatan yang
cukup sering gue lakukan semenjak dia hamil.
34
Beberapa kali gue mendapati perutnya bergerak karena mungkin si kecil
sedang menendang-nendang. Gue bergerak untuk memberikan kecupan di
sana.
mendapati
gue
sedang
mengecupi perutnya.
"Morning..." sapanya.
"Morning,"
balas
gue
seraya
mengecupnya.
"Kamu ngapain?"
"Apa katanya?"
"Dia pengen cepet keluar. Pengen ketemu papanya yang ganteng, penasaran
karena sering denger mamanya ngomong dalam hati kalo papanya ganteng."
Moza tertawa kecil, lalu menggeliat. Ia menarik lagi selimutnya ke atas untuk
menutupi tubuhnya yang masih telanjang akibat percintaan kami semalam.
35
"Gimana
rasanya
lembur
jadi
sekretaris?"
"Aku juga."
"Nggak ah, males. Semalem 'kan udah bakar kalori bareng kamu."
Gue yang masih berada di atas tempat tidur, tanpa sengaja bisa melihat isi
layarnya.
Shanika :
Free
nggak?
Golf
yuk!
36
Moza :
Dadakan banget
Shanika
"Oke," katanya lalu membalas pesan temannya itu. Gue juga nggak nyangka
mereka bisa seakrab itu sekarang.
37
Tentu
saja.
Gue
turut
serta
saham,
hingga
menjalin
kedekatan
dengan
para
pemangku
kebijakan.
dijadikan
pusat
bisnis
dan
38
Arsen. Gue memang ada rencana mengajaknya bermain bersama dalam waktu
dekat, apalagi Shanika beberapa kali menyebutkan bahwa ia tertarik untuk
berinvetasi property di sana.
Percakapannya
dengan
Moza
tadi
Gue menelpon Vivie, sekretaris gue, untuk menggeser jadwal gue demi dua
sahabat gue ini.
“Tolong kasih tau James, meeting-nya saya undur satu jam. Kalo nggak bisa,
jadwalin aja hari Senin, ada spare time after lunch „kan?”
“Ada, Pak. Baik,” balas Vivie dari seberang, lalu gue menyudahi percakapan.
“Nggak pa-pa. Dia cuma mau tanya gimana cara aku bisa bujuk Nick buat
gandeng dia jadi desainer lapangan golf. Jadi kurang lebih cuma sharing aja.”
39
“Oh.”
Gue tersenyum.
“Kenapa?”
“Kamu nggak milih aku, meskipun aku suami kamu?” gue meninggikan nada
tanpa peduli supir kami menguping dan mungkin bakal menceritakan ini saat
pulang ke rumahnya.
40
“Kamu yang nggak peka.”
„kan nggak usah ditanya… Kita pasti dukung papa kamu „kan, Sayang?”
“Meski kita tau Papa kamu banyak kalahnya. Kita tetep pendukung setia.”
Gemas, gue langsung mencubit pipi Moza yang makin cubby semenjak hamil.
“Kita bakal ketemu rival abadi. Namanya Om Arsen. Catet ya… Nanti kalo
Om Arsen punya anak, kamu juga musti waspada sama anaknya.”
Moza memukul tangan gue.
41
****
“Sayang! Lagi, dong! Tadi pose sama cahayanya bagus banget. Tapi aku
goyang…”
Shanika merajuk.
“Gimana?”
Arsen
bertanya,
minta
penjelasan.
42
“Pose lagi kayak tadi. Pas stick-nya kamu puter abis mukul bola,” ujar
Shanika seraya memperagakan aksi Arsen tadi.
Gue mulas melihatnya. Ditambah melihat bola Arsen yang melambung tinggi,
yang sepertinya bakal mendarat dengan bagus lagi.
Gue mengumpat begitu tahu sedikit lagi bolanya memasuki lubang. Satu
pukulan lagi, si timun jangkung itu akan menang. Gue menggenggam stick
cukup kuat, hendak melakukan pukulan. Sebelum benar-benar memukul, gue
melirik ke arah Moza, yang duduk di atas kursi buggy car*.
“Semangat, Papa…”
Moza berseru, seolah mengajak anak kami yang di dalam rahimnya untuk ikut
menyemangati.
Permainan
berlanjut…
dan
nggak
pemain
yang
berhasil
Petugas mendekat untuk mengambil stick gue. Arsen yang sudah berjalan di
dekat gue, mengulurkan tangan untuk bersalaman. Gue menjabat tangannya
seraya tersenyum.
“Next time kita harus duel di cabang olahraga yang lebih cocok sama gue.
Biar 44
Arsen tersenyum. “Gue pura-pura kalah aja deh kalo lo ngajakin Muay Thai.
Udah nggak muda lagi, ogah bonyok.”
MOZA
Aku dan Shanika duduk di beranda sebuah restoran, selagi Arsen dan Romeo
beridiri di salah satu sudut untuk mengucap perpisahan kepada kenalan
mereka, yang kebetulan mereka temui di sini.
tanya Shanika.
45
“Pleasure.” Shanika
tersenyum.
Aku
Aku tertawa mendengarnya memuji diri sendiri. Dalam file yang sebagian
besar mengabadikan potret Arsen itu, ada beberapa foto yang mengabadikan
mereka berdua.
“Shan…”
“Hm?"
“Maksud gue…"
“Lo sayang sama Arsen. That's why you'd love to see him happy.”
Shanika tergelak. “Gue rasa lo cukup pinter buat tau itu cuma candaan.”
46
Entah kenapa senyum Shanika tiba-tiba luntur. “Gue… nggak tau. Lo ngerti
„kan?
Arsen segitunya sama papanya. Gue 'kan salah satu lawyer di sana.”
“Arsen kayaknya nggak pengen gue cepet-cepet hamil. Dia malah nyuruh gue
sekolah lagi masa'? Kalo bisa sampe doctoral… yang bener aja. Gue udah siap
jadi wadah anak-anaknya!”
Aku tidak tahu harus bersikap bijak atau tertawa. Pasalnya, di saat
menceritakan hal serius, dia masih membalutnya dengan kalimat candaan.
“Udah sih. Tapi kayaknya perlu ngomong lagi. Waktu itu nggak terlalu
serius.”
Aku hendak menanggapi lagi, namun Romeo dan Arsen sudah menghampiri
meja kami. Wajah Shanika langsung berubah.
47
“Lama banget…” Shanika mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan
Arsen.
Arsen mengecup kening Shanika, lantas merangkul istrinya itu sembari duduk
di sampingnya,
membiarkan
Shanika
bersandar di bahunya.
Aku
sedikit
“Antara mesra sama physical attack beda tipis sih,” cibir Shanika.
Romeo
menunjuk
perutku,
48
“Aku udah pesenin, katanya tadi kamu pingin iga,” ujar Shanika yang dibalas
senyuman oleh Arsen.
“Ih, enak tau… kamu musti makan banyak apalagi tadi habis olahraga. Tadi
pagi cuma makan minta oat aku sesuap.” Shanika bercicit selagi menyuapkan
udang dari tomyam-nya ke mulut Arsen.
Tiba-tiba Romeo merapat dan berbisik padaku. “Sayang, kamu dulu juga
sering nyuapin Arsen kayak gitu, pas masih tunangan?”
“Nggak cemburu. Mastiin aja Arsen beneran pake susuk apa enggak. Karena
kalo kamu sampe nyuap-nyuapin dia kayak 49
gitu, berarti peletnya ampuh banget. Aku aja musti sakit dulu baru kamu
suapin.”
“Kalo gini „kan aku ngerti. Berarti emang bucinnya Shanika udah next level.”
Benar saja, karena yang selanjutnya terjadi adalah Shanika mengambil tisu
untuk mengelap bibir Arsen, meski pun Arsen bisa mengelapnya sendiri.
“Kata siapa? Aku juga bucin on the next level juga ke kamu.” Aku bicara
sambil mengaduk es kacang merahku, tanpa menatap Romeo. “Cuma love
language-nya aja yang beda.”
Nanti pulang aku attack lagi.” Romeo tersenyum nakal usai mempelesetkan
physical touch menjadi physical attack.
*FIN
50