Anda di halaman 1dari 70

1

ANTIDOTE : 2 YEARS OF BEING MOZA SYADIRAN

TWO YEARS OF BEING “MOZA SYADIRAN”

-MOZA-

Time flies, luckily… I m the pilot.

Dan dari segala keputusan yang pernah diambil oleh pilot yang menginjak
usia 30

tahun ini… Memberikan jawaban “iya” kepada Romeo saat mengajakku


menikah, adalah keputusan paling benar dalam hidupku.
Dua tahun menjalani rumah tangga bersama… hal-hal berubah seiring waktu.

Romeo sudah tidak lagi bertarung untuk melampiaskan amarah. Ia hanya


datang ke studio Muaythai sesekali untuk olahraga teratur. Tidak sesering
dulu… karena jika senggang,

Romeo

lebih

memilih

menemaniku senam ibu hamil alih-alih olahraga sendiri.

2
Ya, aku hamil. Dan usianya kini memasuki trimester dua. Perutku sudah
membuncit dan tentunya diketahui oleh seluruh

keluarga

besar,

termasuk

keponakan kesayangan kami, Leon. Ia sudah masuk SD dan senang sekali saat
mendapat kabar bakal punya adik sepupu baru. Ia bahkan sudah siap berbagi
mainannya kalau nantinya adik sepupunya ini laki-laki.

Well, saat USG terakhir kemarin, dokter sudah sempat mengira-ngira jenis
kelamin bayi kami. Namun semuanya akan lebih jelas pada usia 18 minggu
nanti. Rasanya tiap minggu begitu mendebarkan. Rasa antusias dan
kekhawatiran sering kali bertabrakan.

Romeo sering memergokiku membaca studi atau artikel tentang proses


persalinan atau risiko-risiko yang bakal dialami selama kehamilan.

Pengalaman

buruk

pada

kehamilan sebelumnya sangat berpengaruh terhadap bagaimana kami


menjalani proses ini. Meski begitu, Romeo selalu berhasil membuatku rileks.

3
Ia mengikis satu per satu kekhawatiran dengan

perhatian-perhatian

kecilnya.

Misalnya, keputusannya untuk merenovasi rumah demi membuatkanku salon


dan spa, agar aku tidak perlu keluar rumah cuma untuk nyalon. Dan… tebak
siapa tamu pertama yang menemani sekaligus mencoba salon ini?

“Menurut

lo,

mana

yang

lebih

menggoda?”
Aku tergelak saat Shanika menunjukkan gambar-gambar lingerie di layar iPad
nya, saat rambutnya dikeringkan oleh hairstylist.

Ya, tamuku adalah Shanika. Istri freak Arsen.

Entah kenapa kami jadi dekat beberapa bulan belakangan.

“Are you serious? Lo mau cosplay Meido*?”

“Kali aja Arsen punya selera kayak papanya. Kazi „kan orang Jepang.”

Aku masih tertawa.

*Meido : Pelayan Kafe di Jepang 4


“Come on… Gue mau kasih kejutan dia.

Kasian kemarin habis gue cuekin seharian.”

“Tumben. Biasanya lo yang clingy.”

Shanika tersenyum. “Pura-pura doang sih.”

Aku mengerutkan kening.

“Kemarin kami nggak sengaja ketemu Mia di Ebeya. Terus gue sok-sok
ngedrama jadi nggak mood gitu. Padahal juga nggak kenapa-napa.”

Aku masih mengernyit. Tidak mengerti kenapa cewek satu ini harus pura-pura
cemburu dan bikin drama. Menyadari hal itu, Shanika berdecak.

“Biar seru aja, Moz… Gue pingin tau cara dia comfort gue gimana, gimana
cara dia ngeyakinin gue atau buktiin kalo gue itu satu-satunya

buat

dia

sekarang…

Gimana effort dia… Lo musti cobain deh sesekali.”

“Pura-pura ngambek?”

5
“Iya!! Berantem itu bumbu pernikahan, tau!”

“Wow… looks like you married earlier than me. Lo lupa, gue sempet mau
cerai tahun kemarin?”

“Oh iya. Lo sama Rommy udah mau dua tahun dong ya?”

“Bentar lagi anniv.”

“Tahun pertama, kalian ngerayainnya ngapain?”

Aku menimang-nimang, apakah aku harus

membeberkan

ke-absurd-an

perayaan kemarin padanya. Namun melihat raut penasaran Shanika, aku pun
menyerah.

“Nonton. Di mobil.”

“Mobil?”

“Well, sejarah percintaan gue emang punya hubungan erat sama mobil.
Romeo aja ngelamar gue di mobil. Jadi… ya kita flashback momen itu.”

“Gimana rasanya di mobil?”

6
“Maksudnya?”

“Ya lo nggak mungkin nonton doang „kan di mobil. Pasti makeout.”

“Err… yeah, we had sex.”

“Absolutely. Gue sama Arsen belum nyoba nih. Dia ngelamar gue juga di
mobil by the way… Gimana? Menantang, nggak?”

“Agak struggle iya, karena sempit. Tapi nggak yang menantang sih. Kan
mobilnya di halaman rumah sendiri. Kecuali kalo lo ngelakuinnya di parkiran
umum.”

“Oke, masuk to do list.”


Mataku melebar, lantas mengelus perutku. Bisa-bisanya aku berbagi hal
pribadi dengan manusia ini.

“Okay… balik lagi ke anniv lo. Tahun ini lo mau ngerayain gimana?”

“Ehm… biasanya sih Rommy yang punya plan. Dia selalu punya surprise.”

“Lo nya? Duduk manis doang?”

“Paling nyiapin hadiah. Rommy tau gue orangnya nggak suka ribet.”

Shanika berdecak. “Sekali-kali lo yang gerak dong! Biar adil…”

“Hmm… apa gue harus pura-pura lupa ulang tahun pernikahan? Terus bikin
kejutan?”

“Jangan cuma pura-pura lupa tanggal….

Kerjain aja sekalian.”

“Ngerjain kayak gimana?”

Shanika memutar bola matanya, lantas mulai berkicau soal idenya.

****

Being pregnant comes with a lot. A lot of emotions you never realized you
had.

Ternyata… aku bisa menjalankan rencana gila Shanika tanpa bantuan


skenario darinya.

Alih-alih sepenuhnya berpura-pura, aku justru benar-benar terpancing dan


terlalu menghayati peran sebagai istri yang merajuk dan rewel.

8
Seperti malam ini, ketika Romeo sudah siap pergi ke pesta bujang salah satu
temannya. Semenjak hamil, aku bersumpah melihat Romeo bersiap-siap pergi
kemana pun tanpaku, adalah momen paling menjengkelkan.

“Kamu jadi pergi?” tanyaku, saat Romeo menyemprotkan parfum ke beberapa


bagian tubuhnya.

Romeo

menghela

napas,

lantas

menghampiriku yang memasang wajah cemberut di tempat tidur. “Keith


temen baik aku… Nggak enak buat ngelewatin momen ini.”

“Jadi momen itu lebih berharga ya, daripada nemenin aku malam ini?”

“Nggak gitu, Sayang…”

“It s ok. Minggu lalu kamu juga lebih milih nemenin investor kamu jalan-
jalan daripada nganterin aku kontrol.”

“Itu kerjaan. Kamu tau…” Romeo menunduk untuk mengecup perutku, lalu
mengusapnya. “Nemenin kamu „kan emang 9
kewajiban aku, rutinitas aku, besok juga bisa.”

“Besok aku mau nginep ke rumah Bunda.”

“Kok mendadak? Terus besok aku kondangan sama siapa?”

Aku mengedikkan bahu.

“Ya udah besok aku anter.”

“Nggak perlu. Aku dianter Gandhi aja.”

Aku membuang muka. “Dan aku nggak cuma sehari. Paling cepet pulang
Minggu.”

“What? Kamu lupa lusa hari apa?”

“Hari Sabtu. Jadwal kamu fighting „kan?”

“Seriously?”
“Iya. Jadi sementara kamu bisa libur dari tugas kamu dari jagain istri ribet
kayak aku.”

Romeo berdecak. “Whatever. Terserah kamu.”

“Kamu marah?”

10

“Enggak. Aku cuma…” Romeo melihat jam di tangannya. “Aku harus


berangkat sekarang. See you,” ucapnya, lalu mengecup keningku.

Boom… Aku menangkap kekecewaan terpancar dari wajahnya. Ingin aku


memeluknya saat itu juga. Namun, aku menahannya. Karena kalau tidak,
rencanaku bakal gagal.
----ROMEO---

Punya istri super mandiri, nggak ribet, dan terkesan cuek… terkadang
membuat gue berharap andai saja Moza sedikit lebih manja ke gue. Dan
rupanya Tuhan mengabulkan doa gue dalam waktu yang tergolong cepat.

Moza hamil. Dan benar saja, tingkahnya berubah menggemaskan. Awal masa
kehamilan,

ia sudah

membuat gue

menumbalkan ikan patin peliharaan gue, demi menuruti ngidamnya. Di hari-


hari setelahnya, ia selalu ingin dipeluk setiap 11
mau tidur. Dan akhir-akhir ini, wajahnya selalu cemberut setiap kali akan gue
tinggal pergi.

Sejujurnya gue bisa memaklumi, apalagi terlibat dalam setiap tahap


kehamilannya adalah keinginan dan kewajiban gue juga.

Hanya saja, kali ini agak berbeda dari biasanya. Moza yang gue kenal adalah
sosok yang toleran, pengertian, dan berpegang pada logika, meskipun sedang
terpengaruh hormon. Bukan malah ngambek dan mengasingkan diri ke rumah
orang tua karena hal sepele.

Gue berjalan masuk ke rumah Ayah dan Bunda. Seperti yang sudah
disampaikan Moza

sebelumnya,

gue

nggak

membiarkannya menginap lebih lama tanpa gue kali ini. Gue nggak
menjemputnya kemarin. Meskipun kemarin seharusnya menjadi hari dimana
kami merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke-2.

Nggak ada ucapan. Nggak ada perayaan.

Bahkan ingat pun sepertinya enggak. Gue kecewa, jengkel… tapi semua itu
tentu saja 12
kalah dengan perasaan sayang dan bersalah gue terhadapnya. Yang gue
inginkan sekarang cuma segera memeluknya, maka amarah dan kekecewaan
ini mungkin bakal menguap.

“Sehat, Rom?” Bunda menyambut gue, begitu gue masuk.

“Sehat. Bunda?”

“Sehat… Masuk gih, udah ditunggu Moza.”

“Moza nungguin?”

Bunda tersenyum seraya mengangguk.

“Kayaknya tadi dia lagi nonton di atas.”

“Ok. Makasih, Bunda.” Gue pun langsung meluncur ke lantai dua, home
theatre di rumah ini.

Gue memasuki ruangan dan langsung disambut oleh cahaya redup dan suhu
yang lebih rendah dari luar. Layar menyala, tapi gue nggak melihat ada sosok
Moza di sana.

Gue hendak keluar mencari Moza, sebelum akhirnya lampu padam dan
muncul tulisan di layar :

13
Take your seat, Rom…

Alih-alih duduk, gue menoleh sekeliling.

Pintu sudah tertutup. Saat melihat ke arah sofa dan meja di hadapannya.
Sebuah kue, alat makan dan kartu ucapan tertata di sana.

Happy 2nd anniversary.

Enjoy the video, ya. Cuma ini yang bisa aku kasih.

Love, Moza Syadiran.

Bibir gue menarik senyuman, lalu tiba-tiba layar berganti. Sebuah video mulai
diputar. Moza duduk di sofa ruang santai kami.

“Udah

mulai?” tanyanya

sembari
merapikan rambutnya, entah bicara dengan siapa. Setelah mendapat kode dari
seseorang, ia mulai berdehem dan berbicara.

“Hai, Sayang… Well, aku nggak biasa bikin ginian. Jadi agak kaku. Ehm…”
Moza berdehem lagi. “Aku nggak tau kesannya bakal sama atau enggak,
kalau aku 14

ngungkapin ini secara langsung ke kamu.

Tapi mungkin, nggak aku nggak akan bisa ngomong selengkap dan sepanjang
ini kalo ada kamu. Karena kamu pasti udah bikin aku nerveous duluan. Atau
kalau enggak, kamu udah keburu nyium aku, kita make out, make love, dan
yah… apa yang mau aku sampein kepotong. So, di kesempatan ini… Aku
mau ngasih tau kamu, hal-hal yang mungkin belum kamu tau, selama kita
bareng-bareng 2 tahun ini. Tapi tentunya nggak seru kalo aku cuma ngomong
terusan kayak gini. So, aku minta bantuan Shanika, the one who suggest this
idea, untuk bikin pertanyaan-pertanyaan supaya aku bisa jawab spontan.”
Moza

kemudian

seperti

memberikan kode melalui matanya, agar Shanika memulai.

Shanika : “First question… Kalo kalian ikut pesta Halloween, kalian bakal
pake kostum apa dan kenapa?”

Moza : “Shadow Hunters costume. Clary and Jace. Itu keren banget. Nggak
pake muka blontang blonteng, tapi aura seremnya 15
gue rasa dapet. Dan yang penting, gue masih kelihatan cantik.”

Gue tertawa. Moza is being Moza.

Shanika : “Next question… Kalau ada kesempatan honeymoon lagi, lo pengen


kemana?”

Moza : “Canada. Rommy bilang dia pingin ke sana.”

Gue mengernyit. Rupanya, dia ingat ucapan gue di bioskop waktu itu.

Shanika : “Kebiasaan Rommy yang paling ngeganggu.”

Moza : “Godain gue pake chat mesum di jam kerja! Itu ganggu banget sih!”

Gue tertawa lagi. Jelas… jadi kepengen

„kan, Sayang?

Shanika :“Bagian tubuh apa yang paling lo suka dari Rommy?”

Moza : “Jari. Oh, and his lips.”

Shanika : “Shit! Gue tau nih alasannya.”

16
Kini giliran Moza tertawa. Gue bertaruh pikiran Shanika mengarah ke arah
yang sama dengan gue.

Moza : “He even made me orgasm only with his finger. Well, semoga klip ini
nggak ditonton anak gue nanti.”

Shanika : “Next one. Menurut lo, Rommy paling ganteng saat…”

Moza : “Dia ganteng terus. Tapi ganteng yang paling gue suka adalah….
When he about to kiss me. Sama waktu dia lagi present atau ngomong di
depan orang banyak.”

Shanika : “Alright, next... Apa momen paling indah selama lo sama Romeo.”

Moza : “Di Raja Ampat. Waktu dia mau nyentuh gue lagi. Waktu itu gue
emang setengah sadar. Tapi gue inget gue sampe nangis bahagia malem itu.
Meski paginya gue nangis karena sedih. Well, Sayang…. hari itu kamu
keterlaluan banget! Aku berasa dibanting dari puncak Jaya Wijaya!”

17
Shanika tertawa. Jelas, kalimat terakhir Moza adalah lelucon. Namun, gue
nggak bisa tertawa sama sekali. Bagaimana pun itu adalah saat dimana kami
sama-sama terluka.

Shanika : “Kalo ada sesuatu yang bisa lo ubah, apa dan kenapa?”

Moza menunduk. Tangannya memegangi perutnya.

Moza : “Dulu, gue ingin balik ke masa lalu. Seandainya gue lebih ngejagain
janin gue… Kita pasti bisa bareng-bareng. Tapi gue sadar. Mungkin dia ada
memang untuk bikin maminya jadi lebih siap. Dia ada supaya gue dan
Rommy bisa kayak sekarang. Jadi, nggak ada. Nggak ada yang mau gue
ubah.”

Shanika : “Last but not least… ada yang mau lo sampein ke Rommy?”
Moza melihat ke arah kamera.

Moza : “Aku masih mau kenal kamu.

Lebih… Aku mau tau gimana kamu kalo jadi Papa. Aku mau tau gimana
kamu kalo tetep muja aku pas aku udah nggak cantik lagi.

18

Aku mau ngerasain pegangan tangan sama kamu pas tangan kita udah sama-
sama keriput. Aku mau sama kamu….

Moza mengusap matanya yang mulai basah.

Moza : “Maafin aku kalo akhir-akhir ini aku bawel dan ngerepotin. Kamu
suami terbaik, sabar, paling ngerti aku… mau ngalah… Aku cinta kamu,
Rom.”

“I love you more,” gue bergumam seraya mengusap air mata. Saat itulah foto
pernikahan

kami

memenuhi

layar,

bersamaan dengan lampu kembali terang dan Moza muncul dari belakang.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, gue langsung menghambur untuk memeluknya.

Mengecup dan menghirup puncak kepalanya.

“Do you like it?” tanya Moza, ketika pelukan gue melonggar.

Gue mengangguk, lalu meraih bibirnya.

Menciumnya dalam-dalam.

19
“Tapi ini belum cukup buat aku maafin kamu,” ucap gue, saat ciuman kami
terlepas.

Mata Moza melebar. “Aku harus ngapain lagi?”

“Kamu harus nerima hukuman aku.”

“Hukuman?”

“Hukuman yang cuma bisa dilakuin oleh suami ke istrinya.” Gue berbisik,
sementara tangan gue bergerak nakal menelusuri pinggulnya. “Hukuman
yang… harus kita lakuin di rumah, nggak di sini.”

Bibir gue menyimpul penuh arti, lalu menggandengnya keluar.

*****

20
ANTIDOTE : NO WAY TO RUN

----MOZA----

Pintu mobil tertutup, suaranya menjadi penanda

bahwa

aku

harus

siap

menyongsong hukumanku.

Wait, bukan...jangan salah sangka. Aku bukannya mendadak berubah jadi


wanita lembek yang takut sama laki-laki.

Aku masih suka ngomel-ngomel ke Romeo. Namun keterdiaman Romeo


selama perjalanan pulang, agaknya membuat jantungku berdebar dan gugup.

Siapa pun tahu hukuman apa yang dimaksud

Romeo.

Mencekalku,

lalu

menggelitiku,

berujung
dengan

tidak

membiarkanku

bergerak

dan

pasrah

menerima perlakuannya.

Bulu romaku tiba-tiba merinding. Kalau dipikir-pikir memang aneh. Dulu,


saat baru menikah, aku santai-santai saja dengan manusia ini. Namun seiring
berjalannya 21
waktu, perasaanku justru sering kali campur aduk kalau Romeo mendekat,
terutama sejak kehamilanku yang sekarang.

Aku melirik jari Romeo yang kini meremas pegangan pintu. Pipiku memanas.

Tiba-tiba saja aku menyesali jawabanku akan pertanyaan bodoh Shanika tadi.

Kemana harga diri lo, Moz? Bisa-bisanya mendeklarasikan kebucinan dan


ketularan virus mesum Romeo!

Aku berani bertaruh Romeo pasti akan mengungkit hal itu di masa depan
dengan muka cengengesannya.

"Kenapa? Nggak sabar dipegang juga?"

Suara Romeo seperti sengatan setrum yang menyentakku. Aku melotot dan
spontan memukulnya.

"Apa sih?"

Romeo tertawa. Detik berikutnya pintu terbuka.

22
Alih-alih tenang karena sudah bisa masuk ke dalam rumah, jantungku malah
berdebar makin kencang.

"Ehm... aku ke kamar mandi dulu,"

ucapku saat kami memasuki kamar.

"Aku tunggu di ruang kerja," katanya sambil meletakkan tas bawaanku.

Seketika aku mengernyit. Di ruang kerja?

Mau ngapain? Mau menjadikan pekerjaannya yang menumpuk sebagai


hukuman buatku?

Aku menyingsingkan lengan blusku. Oke, siapa takut?

Setelah

buang

air
kecil

dan

membersihkan diri, aku mengikuti arahan Romeo untuk ke ruang kerjanya.

Begitu masuk, aku melihat Romeo duduk sambil menjulurkan kakinya ke atas
meja.

"Duduk," tukasnya, mendadak otoriter.

Tanganku hendak menarik kursi, tapi kuhentikan karena mata Romeo


mengarah ke atas meja.

23
"Di sini?" tanyaku sambil menunjuk mejanya yang masih ditempati
laptopnya.

Tangan Romeo bergerak memindahkan laptop itu ke samping, lalu menepuk


meja.

Aku menelan ludah. Waspada dengan rencananya. Namun tetap melangkah


mendekat santai dan duduk di atas meja, di hadapannya.

Saat itu lah Romeo memajukan kursinya untuk mendekat ke arahku.


Wajahnya dekat sekali dengan dadaku yang rasanya mau meledak, satu
tangannya bergerak meraba pahaku, lalu bermain di punggungku...

mendorong supaya aku lebih dekat.

"Kamu tau kenapa kita kesini?" Romeo berbisik dengan suara agak parau.

Aku menggeleng.

Romeo berdiri perlahan sambil terus mengunci pandanganku, membuatku ikut


mendongak.

"Because I'll be the boss, and you'll be my secretary."

24
"Apa? Nggak ma--"

Saat itulah ia membungkam bibirku dengan ciuman.

Cukup efektif dan efisien, karena mulutku langsung

berhenti

berkicau

demi

menyambut sesuatu yang tidak bisa kutolak.

Ingat saat aku bilang bahwa bibirnya adalah salah satu yang menjadi
favoritku?

Saat bibir itu melakukan tugasnya, dipadu dengan jam terbang pemiliknya,
maka hasilnya sempurna.

Ya, ciuman Romeo tidak pernah gagal.

Kali ini ia melakukannya dengan sedikit kasar dan menuntut. Aku yang
hampir kualahan dan terdorong ke belakang, segera meraih lehernya untuk
berpegangan.

Saat

bibirnya

mengecap

brutal,
tangannya tidak tinggal diam. Tangan kanannya bergerilya ke dalam blusku,
membelai lembut perutku yang buncit.

"Emmh..."

25

Aku bersuara di sela-sela pagutannya, ketika merasakan tangannya perlahan


ke atas. Mengusap bra yang membungkus payudaraku, sebelum akhirnya
menyelinap ke baliknya tanpa membuka kaitan di bagian belakang. Membuat
bagian depan braku terangkat ke atas dan payudaraku jatuh keluar, bertemu
dengan tangannya.

Aku merasakan telapak tangannya membelai lembut, sebelum jarinya mulai


bergerak memainkan nipple ku. Aku membuka mulut, tak kuasa mendesah...
Saat itulah tautan bibir kami terpisah dan ciumannya berpindah ke leherku,
sementara tangannya masih betah memencet dan meremas buah dadaku
bergantian.

"Ah, Sayang...."

"It's just the beginning..." bisiknya.

Romeo meraih wajahku, tersenyum manis, lalu kembali memagutku.


Tangannya yang lain membelai lembut pahaku, meremasnya sebentar,
sebelum akhirnya menyelinap masuk ke dalam rokku.

26

Dan bingo! Dia tidak buang-buang waktu untuk menuju sasarannya.


"You're really wet," ucapnya, sambil memvalidasi keberhasilan perbuatannya
dengan membelai celana dalamku yang sudah basah.

Aku menggigit bibirku, bersiap menerima serangan selanjutnya.

Benar

saja,

tangannya

langsung

menyusup ke dalam tanpa permisi.

Membelai bibir kewanitaanku yang sudah licin.

Aku

meremas

bahunya

seraya

merapatkan paha, kala satu jarinya mulai menerobos masuk.

"Aaksh..."

Kami saling tatap. Romeo menyeringai seraya memperdalam ekspansinya di


bagian bawah tubuhku.

"Lagi?"

Aku belum sempat menjawab. Namun ia sudah menambahkan satu jari lagi
untuk 27
menerobos ke dalam. Keluar dan masuk perlahan, sesekali melakukan
gerakan berputar, sementara ibu jarinya membelai klit-ku.

Aku mulai berkeringat saat Romeo meraih bibirku lagi. Melumatnya selagi
jari-jarinya melakukan tugasnya di bawah.

Romeo mempercepat ritmenya, hampir mengantarku sampai puncak, sebelum


akhirnya melepas semuanya.

Ia menarik mundur jari-jarinya, juga melepaskan bibirnya dariku. Menjauh.

Aku membuka mata, mencarinya seperti orang tolol... sementara ia malah


duduk di kursinya.

"Nanti dulu, Sayang... Aku nggak mau buru-buru," ujar Romeo seraya
memainkan jarinya yang lengket karena cairanku. It's so damn sexy.

Aku masih berjuang mengatur napas, agak linglung.

28
Romeo menepuk pahanya. "Sit here... Do your job, as a good secretary."

Aku mengernyit. "Kamu sering berfantasi main sama sekretaris kamu, ya?"

"Nggak sama sekali. Aku malah sering bayangin kalo kamu yang jadi
sekretaris aku. Then we can do this in my table, atau di sofa di kantor. Tapi
aku tau kamu nggak suka dan itu ngelanggar peraturan kantor.

So, here we are... Di ruang kerja rumah sendiri."

Aku masih memasang wajah cemberut.

Namun, aku tidak bisa menolak saat Romeo menarikku untuk naik ke
pangkuannya.
Dan mood-ku yang sempat turun akhirnya kembali begitu aku merasakan
sesuatu yang keras di antara pahanya.

Aku membelai pipi Romeo. "Jadi kamu mau ngetest aku?"

Romeo tertawa kecil. "It's your turn, you know..."

29

Aku tidak membalas tawanya, melainkan langsung mendaratkan ciuman ke


bibirnya.

Memagutnya tak kalah intens dari yang dilakukannya tadi.

Tangan Romeo berada di pinggulku, sementara aku mulai membuka kancing


kemejanya satu per satu. Well, aku bukan dia yang akan bersabar untuk
menyusup dan menyelinap di bawah kain sialan ini. Aku akan
menyingkirkannya secara langsung.

Lengan

Romeo

bergerak

untuk

membantuku

melepas

kemejanya.

Gerakannya membuat sesuatu di sela pahanya menyenggol kewanitaanku


yang masih terbungkus pakaian.

Kini, Romeo sudah bertelanjang dada.

Menampakkan otot lengan dan perutnya yang menggoda. Aku membelai


bisepnya, bergerak ke dadanya yang bidang dan memainkan

nipplenya

seperti

yang

dilakukannya padaku.

Romeo memejamkan mata menikmati sentuhanku,

membuatku

kembali

menciumnya seraya jemariku bergerak 30


turun membelai perutnya yang ditumbuhi bulu tipis di sekitar pusarnya.

Selanjutnya, aku mulai melonggarkan sabuk dan membuka resleting


celananya.

Aku

tersenyum

ketika

mendapati

kejantanannya mencuat gagah begitu kutarik turun boxer.

"Naughty, Moza..." gumam Romeo ketika aku menyentuh miliknya.

---ROMEO---

Gue sudah polos tanpa busana, sedangkan Moza masih masih memakai
pakaiannya lengkap. Ini sesuatu yang sangat jarang terjaadi dalam permainan
kami.

Biasanya, gue lah yang melucuti pakaiannya terlebih dulu. Atau paling nggak
bersamaan.

Gue sedikit menggeram saat Moza mengarahkan milik gue untuk bertemu
dengan miliknya yang masih dilapisi celana.

Yeah, celana dalamnya yang sudah basah itu.

Ia

sengaja

bergerak

dan

31
menggesekkannya ke milik gue yang sudah menegang sejak tadi.

Shit!

Rupanya

gue

sudah

meremehkannya. Ia membuat gue panas dingin hanya dengan gerakan naik


turun tanpa membuka celananya.

Gue tentu saja nggak bisa tinggal diam.

Tangan gue segera meraih blusnya, menariknya ke atas dan melemparnya ke


lantai, disusul juga bra yang menutupi dua payudara indahnya.

Begitu bra itu terlepas, gue segera meraup satu payudaranya yang makin
berisi semenjak hamil. Menciumi puting merah mudanya yang sudah
menegang, membasahi kulitnya

dengan

lidah

gue,

lantas

memasukkannya ke dalam mulut seperti orang

menyusu.

Membuat

Moza
menggelinjang dan menghentikan gerakan pinggulnya karena ingin fokus
menikmati sentuhan gue di dadanya.

Moza terus membusungkan dadanya, sementara tangannya menekan kepala


gue agar lebih tenggelam di dadanya.

32

"Ehmmh Rom..." lenguhnya, membuat gue

terpacu

untuk

segera
menuju

permainan pertama.

Tangan gue mengangkat pinggulnya untuk melepas celana dalamnya. Begitu


celana itu terlepas, gue memandanginya.

Buah dadanya bebas tanpa penghalang, baby bumps-nya terlihat menggoda.


Hanya tersisa rok yang ia kenakan.

She's really the sexiest secretary I've ever see...

Gue menaikkan roknya hingga ke pinggul, lantas melebarkan kedua pahanya


agar bisa melesak masuk ke dalam dirinya yang hangat.

Moza mengerang seraya mencengkeram bahu gue, saat gue mulai menerobos
masuk.

Gue mendorong lagi, lalu dalam sekali sentakan...

"Akkhh!" Moza memekik saat gue berhasil mencapai inti tubuhnya.

33
Napas kami beradu. Tubuh kami menyatu. Kami kembali mengecap bibir satu
sama lain. Kali ini lebih basah dan dalam dari sebelumnya.

Gue melesakkan lidah gue ke dalam mulutnya, sambil bergerak memacu.


Moza pun bergerak menyeimbangi.

Kami saling memuja.

"Rom.. ah aku..."

Gue mempercepat tempo gerakan.

"Fuck, Moza..." umpat gue, ketika mencapai puncak kenikmatan.

Napas kami masih memburu. Dan begitu mata kami bertemu... senyum kami
mengembang.

Moza

jatuh

pelukan

gue.

Gue

mendekapnya penuh cinta.

****

Moza masih tertidur saat gue mengusap perutnya. Ini adalah kegiatan yang
cukup sering gue lakukan semenjak dia hamil.

34
Beberapa kali gue mendapati perutnya bergerak karena mungkin si kecil
sedang menendang-nendang. Gue bergerak untuk memberikan kecupan di
sana.

Tak lama kemudian, Moza terbangun. Ia tersenyum

mendapati

gue

sedang

mengecupi perutnya.

"Morning..." sapanya.
"Morning,"

balas

gue

seraya

mengecupnya.

"Kamu ngapain?"

"Lagi ngajak ngobrol anak aku."

"Apa katanya?"

"Dia pengen cepet keluar. Pengen ketemu papanya yang ganteng, penasaran
karena sering denger mamanya ngomong dalam hati kalo papanya ganteng."

Moza tertawa kecil, lalu menggeliat. Ia menarik lagi selimutnya ke atas untuk
menutupi tubuhnya yang masih telanjang akibat percintaan kami semalam.

35
"Gimana

rasanya

lembur

jadi

sekretaris?"

"Bosnya kamu, jadi oke aja."

"Oke aja atau nagih?"

Moza langsung melempar gue dengan bantal.

"Udah ah, aku mau mandi..."

"Aku juga."

"Ih, ikut-ikutan! Sana kek olahraga..."

"Nggak ah, males. Semalem 'kan udah bakar kalori bareng kamu."

Moza memutar bola mata, lantas beranjak dari tempat tidur.

Namun sebelum itu, ponselnya berbunyi.

Gue yang masih berada di atas tempat tidur, tanpa sengaja bisa melihat isi
layarnya.

Satu pesan masuk dari Shanika.

Shanika :

Free

nggak?
Golf

yuk!

Arsen pengen nyobain tempat baru di PIK

36

Moza :

Dadakan banget

Shanika

Tau nih. Jangan2 gue hamil, makanya dia ngidam


"Belom juga hamil udah heboh." Gue berkomentar.

"It's Shanika. What do you expect?"

"Terus gimana? Kamu iya-in ajakannya?"

"Kamu nggak capek?"

"Sounds good. Olahraganya ringan juga buat kamu."

"Oke," katanya lalu membalas pesan temannya itu. Gue juga nggak nyangka
mereka bisa seakrab itu sekarang.

37

ANTIDOTE : LOVE LANGUAGE


---ROMEO---

“Ada tempat golf baru di Kawasan Utara Jakarta.”

Tentu

saja.

Gue

turut

serta

meresmikannya kemarin. Menjadi proyek yang sempat mendapat banyak


kecaman dan dikenal kontroversial, akhirnya proyek tersebut mendapat titik
terang juga setelah dua tahun gue memperjuangkannya. Mulai dari
meyakinkan Zidan dan Papa, para pemegang

saham,

hingga

menjalin

kedekatan

dengan

para

pemangku

kebijakan.

Berkonsep one stop living, beberapa titik mulai

dijadikan

pusat

bisnis

dan

perekonomian, hunian, bahkan tempat favorit untuk berakhir pekan bersama


keluaga. Di antara semua itu, ada dua arena golf besar yang menjadi daya
tempat ini.

Salah satunya yang disebutkan Arsen.

38

Arsen. Gue memang ada rencana mengajaknya bermain bersama dalam waktu
dekat, apalagi Shanika beberapa kali menyebutkan bahwa ia tertarik untuk
berinvetasi property di sana.

Percakapannya

dengan

Moza
tadi

hanyalah gurauan agar gue mendampingi dan memberikan gambaran lebih


detail kepada mereka.

Gue menelpon Vivie, sekretaris gue, untuk menggeser jadwal gue demi dua
sahabat gue ini.

“Tolong kasih tau James, meeting-nya saya undur satu jam. Kalo nggak bisa,
jadwalin aja hari Senin, ada spare time after lunch „kan?”

“Ada, Pak. Baik,” balas Vivie dari seberang, lalu gue menyudahi percakapan.

“Nggak pa-pa?” tanya Moza.

“Nggak pa-pa. Dia cuma mau tanya gimana cara aku bisa bujuk Nick buat
gandeng dia jadi desainer lapangan golf. Jadi kurang lebih cuma sharing aja.”

39
“Oh.”

Gue tersenyum.

“Kenapa?”

“Kamu cantik kalo lagi perhatian gini.”

Moza membuang muka ke jendela, mungkin menyembunyikan rona pipinya


yang tersipu.

“Nanti aku mau duel sama Arsen ah…

Menurut kamu, siapa yang bakal menang?”

“Arsen.” Jawabnya super yakin dan tanpa dosa.

“Kamu nggak milih aku, meskipun aku suami kamu?” gue meninggikan nada
tanpa peduli supir kami menguping dan mungkin bakal menceritakan ini saat
pulang ke rumahnya.

“Kamu nanya siapa yang bakal menang

„kan? Bukan nanya aku bakal dukung siapa!?”

Gue nggak menjawab, cemberut.

“Lagian kamu nanya aneh-aneh.”

40
“Kamu yang nggak peka.”

“Rom, you re going to be a Dad...”

Moza berdecak, lalu mengelus perutnya.

“Papa kamu yang nggak ngerti. Kalo dukung,

„kan nggak usah ditanya… Kita pasti dukung papa kamu „kan, Sayang?”

Gue hendak tersenyum memeluknya, sebelum kalimat terakhirnya menyusul


keluar.

“Meski kita tau Papa kamu banyak kalahnya. Kita tetep pendukung setia.”

Gemas, gue langsung mencubit pipi Moza yang makin cubby semenjak hamil.

Kemudian gue menunduk untuk mengecup perutnya.

“Kita bakal ketemu rival abadi. Namanya Om Arsen. Catet ya… Nanti kalo
Om Arsen punya anak, kamu juga musti waspada sama anaknya.”
Moza memukul tangan gue.

“Ngomong apa sih?”

41

“Ngasih warning. I m going to be a Dad, you know?”

Moza menghela napas. Menggeleng-gelengkan kapala.

****

Hamparan hijau luas membentang di area berukuran 80 hektar. Pemandangan


indah menyegarkan mata, juga keunikan di arena seperti rintangan, fasilitas
driving range dan medan hijau yang luas, menjadi daya jual tempat ini.
Arsen memasang kuda-kuda untuk memukul bola, sementara Shanika sibuk
fangirling suaminya. Berkali-kali ia bergani pose, bukan untuk dipotret,
melainkan untuk memotret atau merekam aksi Arsen.

“Sayang! Lagi, dong! Tadi pose sama cahayanya bagus banget. Tapi aku
goyang…”

Shanika merajuk.

“Gimana?”

Arsen

bertanya,

minta

penjelasan.

42
“Pose lagi kayak tadi. Pas stick-nya kamu puter abis mukul bola,” ujar
Shanika seraya memperagakan aksi Arsen tadi.

Gue mulas melihatnya. Ditambah melihat bola Arsen yang melambung tinggi,
yang sepertinya bakal mendarat dengan bagus lagi.

Diikuti Shanika, Arsen mengejar bolanya.

“Wow dikit lagi!” seru Shanika, sang photographer sekaligus merangkap


sebagai pemandu sorak.

Gue mengumpat begitu tahu sedikit lagi bolanya memasuki lubang. Satu
pukulan lagi, si timun jangkung itu akan menang. Gue menggenggam stick
cukup kuat, hendak melakukan pukulan. Sebelum benar-benar memukul, gue
melirik ke arah Moza, yang duduk di atas kursi buggy car*.

*Buggy Car : Mobil untuk keliling arena golf.

Seharusnya, Shanika juga duduk di sana alih-alih membuntuti Arsen. Namun,


setelah mengobrol dan menemani Moza sebentar, 43
tampaknya energinya terlalu besar untuk sekedar duduk saja.

“Semangat, Papa…”

Moza berseru, seolah mengajak anak kami yang di dalam rahimnya untuk ikut
menyemangati.

Gue tersenyum, lalu melakukan pukulan.

Saking semangatnya, bola melambung tinggi melampaui lubang yang gue


sasar.

Permainan

berlanjut…

dan

nggak

menunggu waktu lama, Arsen berhasil menyelesaikan permainannya. Well,


golf adalah permainan yang mana pemenangnya merupakan

pemain

yang

berhasil

memasukkan bola dengan melakukan pukulan paling sedikit.

Petugas mendekat untuk mengambil stick gue. Arsen yang sudah berjalan di
dekat gue, mengulurkan tangan untuk bersalaman. Gue menjabat tangannya
seraya tersenyum.

“Next time kita harus duel di cabang olahraga yang lebih cocok sama gue.
Biar 44

sekali-kali gue menang, nggak malu depan istri.”

Arsen tersenyum. “Gue pura-pura kalah aja deh kalo lo ngajakin Muay Thai.
Udah nggak muda lagi, ogah bonyok.”

“Gue juga mikir-mikir sih mau gebukin lo.

Lo sekarang udah ada penjaganya. Tuh!” Gue menunjuk Shanika, yang


kebetulan sedang melambai ke arah kami.
Arsen tersenyum, membalas lambaian istrinya seraya mempercepat langkah.

MOZA

Aku dan Shanika duduk di beranda sebuah restoran, selagi Arsen dan Romeo
beridiri di salah satu sudut untuk mengucap perpisahan kepada kenalan
mereka, yang kebetulan mereka temui di sini.

“Gimana surprise kemarin? Sukses?”

tanya Shanika.

Gue mengangguk. “Thanks.”

45
“Pleasure.” Shanika

tersenyum.

Aku

melihat matanya sedang memperhatikan foto-foto yang ia ambil saat Arsen


tengah bermain golf tadi. “Ganteng banget ya temen lo, Moz. Istrinya juga.”

Aku tertawa mendengarnya memuji diri sendiri. Dalam file yang sebagian
besar mengabadikan potret Arsen itu, ada beberapa foto yang mengabadikan
mereka berdua.

“Shan…”

“Hm?"

“Gue seneng lihat lo sama Arsen.”

Shanika beralih menatapku.

“Maksud gue…"

“Lo sayang sama Arsen. That's why you'd love to see him happy.”

“Iya." Aku menyetujui. “Oh iya, lo jadi ngecek lo hamil?”

Shanika tergelak. “Gue rasa lo cukup pinter buat tau itu cuma candaan.”

46
Entah kenapa senyum Shanika tiba-tiba luntur. “Gue… nggak tau. Lo ngerti
„kan?

Arsen segitunya sama papanya. Gue 'kan salah satu lawyer di sana.”

Aku menunggu Shanika melanjutkan kalimatnya.

“Arsen kayaknya nggak pengen gue cepet-cepet hamil. Dia malah nyuruh gue
sekolah lagi masa'? Kalo bisa sampe doctoral… yang bener aja. Gue udah siap
jadi wadah anak-anaknya!”

Aku tidak tahu harus bersikap bijak atau tertawa. Pasalnya, di saat
menceritakan hal serius, dia masih membalutnya dengan kalimat candaan.

“Lo bilang kalo lo lebih milih punya anak dulu?”

“Udah sih. Tapi kayaknya perlu ngomong lagi. Waktu itu nggak terlalu
serius.”

Aku hendak menanggapi lagi, namun Romeo dan Arsen sudah menghampiri
meja kami. Wajah Shanika langsung berubah.

47
“Lama banget…” Shanika mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan
Arsen.

Arsen mengecup kening Shanika, lantas merangkul istrinya itu sembari duduk
di sampingnya,

membiarkan

Shanika

bersandar di bahunya.

“Pengantin baru…” Romeo bersuara, seraya mengambil tempat di sampingku.

“Hai pengantin lama,” sahut Shanika.

“Biar lama tapi nggak kalah mesra. Ya

„kan, Sayang?” Romeo mencium pipiku, lalu mempermainankannya.

Aku
sedikit

mengelak. Pasalnya akhir-akhir ini ia suka sekali menyerang pipiku. Bukan


hanya dengan tangan, tapi juga dengan bibir dan giginya, seolah pipiku
bakpau.

“Antara mesra sama physical attack beda tipis sih,” cibir Shanika.

“Harusnya lo banyak-banyak belajar sama pengantin lama. Nih, hasilnya


physical attack.”

Romeo

menunjuk

perutku,

membuatku menginjak kakinya.

“Udah ah, yuk makan!” ucapku.

48
“Aku udah pesenin, katanya tadi kamu pingin iga,” ujar Shanika yang dibalas
senyuman oleh Arsen.

Kami pun sibuk dengan makanan masing-masing, diselingi obrolan ringan.

“Sayang, cobain ini deh.” Aku mendengar Shanika bersuara.

“Nggak ah. Kenyang.”

“Ih, enak tau… kamu musti makan banyak apalagi tadi habis olahraga. Tadi
pagi cuma makan minta oat aku sesuap.” Shanika bercicit selagi menyuapkan
udang dari tomyam-nya ke mulut Arsen.

Tiba-tiba Romeo merapat dan berbisik padaku. “Sayang, kamu dulu juga
sering nyuapin Arsen kayak gitu, pas masih tunangan?”

“Enggak lah. Kenapa? Katanya udah nggak cemburu.”

“Nggak cemburu. Mastiin aja Arsen beneran pake susuk apa enggak. Karena
kalo kamu sampe nyuap-nyuapin dia kayak 49
gitu, berarti peletnya ampuh banget. Aku aja musti sakit dulu baru kamu
suapin.”

Aku tertawa mendengar isi kepalanya yang absurd.

“Kalo gini „kan aku ngerti. Berarti emang bucinnya Shanika udah next level.”

Benar saja, karena yang selanjutnya terjadi adalah Shanika mengambil tisu
untuk mengelap bibir Arsen, meski pun Arsen bisa mengelapnya sendiri.

“Kata siapa? Aku juga bucin on the next level juga ke kamu.” Aku bicara
sambil mengaduk es kacang merahku, tanpa menatap Romeo. “Cuma love
language-nya aja yang beda.”

“Oh iya. Kamu suka physical attack ya.

Nanti pulang aku attack lagi.” Romeo tersenyum nakal usai mempelesetkan
physical touch menjadi physical attack.

Aku pun mencubit lengannya.

*FIN

50

Anda mungkin juga menyukai