Anda di halaman 1dari 1068

Nyala Rahasia ; Season 2 ; Satu -

Dua - Tiga · Karyakarsa

Satu

Nyala tidak tahu, bahwa sinar matahari bisa semenyenangkan


ini.

Nyala tidah paham, kalau sepoi angin dapat senyaman ini.

Karena saat ini yang Nyala mengerti adalah ia merasakan


perasaan membuncah di dada. Bibirnya yang hanya berlapis
liptint, tak kunjung menghentikan senyuman. Seolah, tak
terpengaruh pada sengatan hangat sang pijar raksasa yang
bertengger di atas singgahsananya. Silau yang dihasilkan oleh
kemilau matahari pun tak jua menebalkan gundah.
Dengan kacamata menutupi netra, Nyala lemparkan
senyuman pada langit Bali yang tak pernah gagal
memamerkan warna serupa telaga yang menyejukkan.

Sungguh, ini menyenangkan. Serius, ini sangat

menentramkan.

Perut buncitnya terekspos begitu saja, bikini hitam yang


dikenakan memperlihatkan kekontrasan warna kulit. Walau
lilitan kain pantai menutupi bagian paha hingga tungkai kaki,
Nyala bersumpah, ia tidak pernah merasa berani seterbuka
ini di luar kamar. Tetapi, Harun Dierja meyakinkannya
bahwa hari ini hanya ada mereka berdua di villa.

Well, hanya ada mereka.

Dan Tuhan tahu, Nyala terus merasakan kepak kupu-kupu


terbang di perutnya.

“Saya masih menunggu laporan keuangan dari management


perusahaan saya. Kamu nggak apa-apa ‘kan di sini sendirian
dulu.”

Suara itu tak mengagetkan Nyala. Jadi, tak ada ekspresi


terkejut dari wajahnya saat mendongak sambil membuka
mata. Tak lupa, ia turunkan sejenak kacamata hitam di
hidungnya. Gelengan kepalanya, berbarengan dengan
senyum tipis yang tercetak di wajah. “Nggak masalah, Pak.
Kan, yang mau berenang tadi, Bapak. Saya cuma pengin
nyoba pakai ini aja kok, hehehe …,” ia menyentuh kain pantai
bermotif abstrak yang didominasi oleh warna orange dan
hitam.

Ia membelinya bersama Siska kemarin. Di saat Harun Dierja


tengah melakukan kunjungan kerja. Dan diam-diam, ia
diminta ikut. Mereka berada di mobil yang berbeda.
Interaksi mereka disepanjang acara pun nyaris tidak ada. Nyala
membaur bersama para audience yang kebanyakan warga lokal.
Dengan bunga di sisipan telinga, kemarin Nyala mengepang
rambutnya dengan bantuan Siska. Dan di sana,mereka hanya
saling lirik dalam diam.

“Saya pengin perut saya dilukis pakai hena, Pak. Boleh?”

Mata Harun menatap perut Nyala yang membuncit dan tampak


mengkilap.

Tadi, sebelum ia berkutat dengan pekerjaannya, ia sempat


membantu wanita itu untuk membaluri sunblock ke nyaris
seluruh kulitnya. Termasuk pada perut yang menyembul itu.
Buat Harun seketika saja melengkungkan senyuman.
“Silakan,” ia tak melarang. “Tapi kalau menurut saya, kamu
lebih cocok dengan kulit perut mulus seperti itu,” ia hanya
menyuarakan pendapatnya. “Namun, kalau kamu memang
menginginkannya, kita bisa membandingkannya nanti.”

Maksud Harun adalah membandingkan perut Nyala tanpa


hena, dan perut Nyala yang nanti akan berhias hena.

“Saran saya, kamu harus memiliki foto before – after, untuk


membandingkannya nanti.”

Serius, ini merupakan peningkatan dalam hubungan mereka.


Komunikasi mereka yang biasanya terbatas, beberapa hari
ini justru terasa lancar. Dengan obrolan-obrolan ringan yang
dapat memuat senyum-senyum tipis di wajah keduanya.

“Jadi, menurut Bapak, perut saya mulus?” Nyala menatap


perutnya sejenak. Mengusap bagian tersebut sambil berpikir
dan kemudian tertawa. “Sepertinya, Bapak benar,” ia tatap
Harun Dierja dengan pendar penuh rasa. “Saya juga lebih
suka perut saya seperti ini,” ungkapnya kemudian. “Mulus,
ya, Pak?” tak bermaksud meledek, Nyala hanya senang
dengan pernyataan pria itu.

Harun berdeham singkat.

Ia mencoba tak terpengaruh pada godaan yang tampak di


mata Nyala walau tersirat. Sambil memberikan segelas jus
jeruk yang baru saja ia tuang dari lemari es. Mata Harun
menatap pantai, yang sebenarnya tak terlalu jauh dari
villa pribadinya ini. “Saya ingin membawa kamu jalan-jalan di
sekitar pantai. Tapi, Putra agak keras menentang keinginan
saya itu,” desahnya penuh sesal.

Nyala mengerti.

Panggung politik sedang memanas.

Effendy Ghazali akan mengumumkan calon wakil presidennya


secara resmi melalui deklarasi yang digelar besok. Dan hal
tersebut, akan berlangsung di Bali. Walau lokasinya cukup jauh
dari villa yang mereka tempati.
Namun, Putra sudah mewanti-wanti, agar semua ajudan
bersikap waspada terhadap kemungkinan adanya
pers disekitar mereka.

“Bapak minta saya ke sini, kan, untuk menemani Bapak kerja.


Bukan untuk liburan,” ucap Nyala berusaha meredam kecewa
yang tampak di mata pria sibuk itu. “Saya juga nggak mau
mengambil resiko, Pak. Saya nggak pengin ketenangan saya
terusik sama media-media yang bisa saja menangkap
kebersamaan kita,” imbuhnya yang kini sudah begitumenyadari
perannya sebagai istri tersembunyi. “Saya nggak marah, Pak.
Saya juga lebih merasa tenang bila kita hanya bertemu di
tempat-tempat tertutup seperti ini. Bukannya nggak pengin,
jalan-jalan sama Bapak. Sumpah, saya pengin banget. Tapi, saya
nggak siap kalau-kalau ada media yang menghakimi gambar
yang mereka dapat dengan narasi- narasi yang salah.”

Pengampunan Harun Dierja terhadap kenyataan yang


membuat bayi mereka tumbuh di rahimnya, mau tak mau
mengharusnya Nyala juga wajib memahami situasi yang
dialami pria itu. Ia sudah cukup menuntut, karena selalu
merasa sebagai korban. Tetapi kini, ketika fakta bahwa sang
suami telah lama mengetahui kalau ia adalah putri dari
Sanusi Wijaya, sekaligus kaki-tangan dari peristiwa keji di
malam Rakernas itu. Nyala pun, berusaha keras meredam
segala egonya.

Ia tak mau lagi menuntut yang macam-macam.

Ia tak berharap lagi pada masa depan yang terang


benderang.

Cukup dengan menyadari betapa dirinya dihargai dengan


dinikahi walau hanya siri, Nyala pun berhenti merongrong pria
itu untuk memberi lebih.

Ya, sebab abu-abu pun merupakan sebuah warna. Jadi, ia akan

mensyukuri semua.

“Kalau dipikir-pikir lagi, saya sudah merasa cukup kok, Pak,


jadi wanita yang Bapak jadikan istri. Walau nanti bukan
satu-satunya istri yang Bapak nikahi, seenggaknya Bapak
nggak mungkin melupakan saya dengan mudah ‘kan?” ia
samarkan kenyataan perih itu dengan senyum cantik di
wajah. “Saya ini bukan sekadar staf biasa di DPP. Faktanya,
saya wanita pertama yang mengandung anak Bapak ini?”

Kemudian, tatap mereka tertuju pada perut Nyala yang


menyembul lucu.

“Tentu saja,” Harun mengangguk menyetujui. “Kamu bukan


sekadar staf biasa bagi saya,” sengaja membungkukkan
punggung, ia mengecup bibir Nyala sebentar. “Dan kamu adalah
perempuan pertama yang saya namanya saya sebut
dihadapan Tuhan.” Melalui prose Ijab Kabul. Nyala

adalah istrinya.

“Berarti, saya istimewa, Pak?”

Harun mengusap bibir bawah Nyala sambil pura-pura


berpikir. “Kamu istimewa, Nyala,” ucapnya sungguh-
sungguh. Sebelum kemudian, ia menegakkan punggung dan
menyapu tangannya memberi usapan lembut di kepala
istrinya itu. “Saya hanya tinggal menunggu laporan
keuangan. Setelah itu, saya akan mengajari kamu berenang.”

Kali ini, Nyala yang tertawa demi menimpali perkataan pria


itu. Telah ia lepaskan kacamata yang bertengger di wajah
sambil ikut berdiri. Kemudian dengan berani, ia
mengalungkan kedua lengannya pada leher seorang Harun
Dierja yang saat ini, tak mengenakan kacamata. Mungkin,
lensa optik tersebut di tinggal di meja kerjanya. Entahlah,
Nyala mencoba tak memusingkan hal itu. Masih
mengenakan t-shirt dan boxer yang menutupi briefnya,
Nyala menatap suaminya dengan pendar jenaka. “Terakhir
kali, saya punya kenangan agak berbeda dengan kolam
renang,” matanya mengerling pada kolam renang berdasar
biru di belakang punggungnya. “Dan itu bukan berenang,
Pak.”
Menahan kedutan geli, Harun kembali mengecup bibir
Nyala. Kedua lengannya bergantian memeluk punggung halus
Nyala dengan gerak menggoda. “Warna merah memang agak
berbahaya,” tuturnya dengan senyum kecil. “Tetapi hitam,
boleh juga,” ia melirik bikini yang kini menyembulkan segala
lekuk tubuh wanita itu yang menurutnya begitu pas tuk
memanjakan gairah. “Kamu jelas-jelas mengacaukan
konsentrasi saya,” celetuk Harun sebelum memutuskan
memangut bibir Nyala perlahan- lahan. “Kamu berbahaya,
Nyala Sabitah.”

Satu sesapan, tak puas.

Dua sesapan, tak jua menghapus dahaga.

Dan ketika Harun memutuskan menjatuhkan lumatan,


ponselnya yang berada di dalam saku bergetar. Buat pria itu
mau tak mau harus melepas cumbuan dengan hela napas
panjang.

“Well, sekretaris direktur keuangan sudah menghubungi,” ucap


Harun sembari merogoh sakunya. Ia memperlihatkan layar
ponsel pada wanita berbikini hitam tersebut sambil mengusap
jejak basah di sekitar bibir istrinya. “Saya harus kembali
bekerja.”

Nyala mengangguk maklum. Ia juga melepas rangkulan


lengannya di leher pria itu. “Politisi yang merangkum
pengusaha itu, sibuknya double, ya, Pak?”“Betul,” Harun

membenarkan.

“Apalagi, kalau lagi kerja begini, malah nekat bawah istri,


ya,
Pak?”

Harun tertawa. Tangannya merangkul pinggang Nyala.


Melabuhkan kecupan di pelipis, sebelum ia pamit untuk
mengerjakan tugasnya. “Sebentar, ya?”

Nyala mengangguk.

Sungguh, ketika tahu diri dan berusaha menerima takdir


yang sudah tergaris, rasanya benar-benar mudah. Buktinya,
Nyala tak merasakan sedikit pun nelangsa karena kembali
ditinggal bekerja.

Seperti yang dikatakan oleh Mayang, lebih baik ia menikmati


saja waktunya bersama Harun Dierja yang terbatas ini.
Daripada memusingkan perkara statusnya yang tak ada
habisnya. Bila kelak mereka akan berpisah, setidaknya Nyala
sudah pernah merasakan bagaimana menjadi istri pria
berusia 38 tahun itu. Selebihnya, biarkan takdir yang
kembali mengolah cerita.

“Nggak apa-apa, ya?” tangannya mengusap perutnya yang


membuncit mungil itu. Ia sapukan senyum kecil sambil
memandang bagian perutnya. “Yang penting, kamu juga bisa
ngerasain elusan bapak kamu,” wajahnya mengukir ekspresi
indah. “Ternyata, kamu nggak sama kok kayak aku,” ia
melanjutkan penuturan. “Bapak kamu beda sama bapak
aku,” tambahnya seketika. Ia kembali merebahkan diri pada sun
bed bermatras tipis yang tetap empuk di punggungnya.
“Bapak kamu orang baik,” ia meyakinkan bayinya.

Matanya memejam kembali.

Kali ini, tanpa kacamata yang menemani.

Sambil mendekap perutnya, ucapan-ucapan Mayang ternyata


masih membekas dalam ingatan.

“Lo bilang, pernikahan lo sampai bayi itu lahir ‘kan?


Berarti tinggal empat bulan lagi. Nah, mending lo puas-
puasin deh, gelendotan sama bapaknya si bayiikk.”

Ya

Itulah yang sedang Nyala lakukan sekarang.

Ia tengah memuas-muaskan waktunya dengan pria itu.

“Kamu juga beruntung lho, Bapakmu itu ganteng,” ujarnya


kalem. Namun senyumnya terpatri malu-malu. “Nggak kayak
bapakku,” dengkusnya sinis sekaligus geli.

Well, Sanusi Wijaya memang tidak tampan. Mungkin, ibunya


hanya menyukai kekayaan pria itu.
“Entahlah,” Nyala bergumam sembari menyamankan tubuh
untuk tidur. “Kita nunggu bapakmu sambil tidur-tiduran aja,
ya?”

Ketika kesadarannya nyaris melayang, ia sedikit terkejut


dengan gerakan samar di sisi sun bed yang ia duduki.
Dengan mata setengah terbuka, ia tolehkan kepala.

“Ngantuk?”

Mendengar pertanyaan itu, Nyala malah merapatkan


matanya kembali. Belaian hangat di pipi didampingi oleh
sepoi angin yang membuai, justru benar-benar kombinasi
yang pas untuk membuatnya melayang. “Bapak sudah
selesai?” gumamnya dengan mata terpejam.

“Pindah ke dalam, ya?”

Nyala menggeleng. Pelan-pelan, netranya pun membuka.


Pandangan pertama yang ia temukan adalah Harun Dierja yang
tak lagi menggunakan t-shirtnya. Buat senyum Nyala merekah.
“Bapak sudah siap berenang?”

Sun bed yang ditempati Nyala kini terasa sempit, sebab lelaki
itu memilih duduk di tepinya.

“Saya siap berenang.”

Tawa Nyala mendera.


Tangannya tak kuasa menahan laju demi menyusuri dada
bidang Harun Dierja yang memanjakan mata. “Bapak butuh
pemanasan?” tanyanya sambil mendongakkan wajah.

Dan yang dilakukan Harun adalah menggeleng pelan. Wajahnya


menunduk dan mengecup bahu wanita itu yang terbuka. “Saya
sudah panas,” bisiknya diselingi tawa. “Ayo,” ia membimbing
Nyala supaya duduk. “Kamu mau berenang atau di sini saja?”

“Saya mau berenang, Pak.”

Tak langsung memberi persetujuan, Harun melempar


pandangan penuh selidik demi memastikan bahwa kondisi
Nyala baik-baik saja. “Oke,” desahnya sambil berdiri.
Tangannya mengamit lengan Nyala agar melakukan hal yang
sama dengannya. “Mau dibuka?” maksudnya adalah kain
yang melilit di pinggang wanita itu. Ketika Nyala
mengangguk, Harun dengan terampil melepas simpul di
pinggang Nyala.

Sungguh, Harun mengatakan kejujuran terkait penilaiannya


terhadap bikini yang Nyala kenakan.

Tempo hari, Nyala mengenakan bikini merah yang


menggodanya dalam gelapnya malam yang menggelora. Dan
kini, ketika wanita itu memilih warna hitam yang melekat di
tubuh. Yang dapat Harun lihat adalah pancaran kulit
putihnya yang tampak bercahaya. Ditambah dengan
payudara membuncah, juga perut yang membuncit penuh
damba. Harun bersumpah, Nyala begitu indah.

Ya, Tuhan ….

Harun menelan ludah.

Apalagi ketika mereka sudah tiba di dalam air, siluet perut


buncit dan payudara Nyala yang tertimpa cahaya matahari
benar-benar memanjakan mata. Nyala berjinjit sambil
memeluknya. Buat kulit mereka bersinggungan di dalam air.
Perut Nyala yang membuncit menempel di perutnya.
Payudaranya yang berisi, menyentuh bagian bawah dadanya.

Ya, Tuhan ….

Haruskah mereka tak usah berenang saja?

Karena kini, keinginan Harun adalah merebahkan Nyala di


ranjang yang lebar. Membenamkan wajahnya di antara
payudara wanita itu, sembari mencari cela untuk menjadi satu

Shit!

Harun perlu memarahi otaknya yang mendadak cabul.

“Kamu memanggil bayi ini bagaimana?” Harun


memilih
mendekap Nyala dari belakang. Karena memandang wanita
itu sambil berhadapan, dapat menyebabkan bahaya untuk
kesehatan pusat gairahnya. Bukan apa-apa, mereka baru
memadu kasih di ranjang saat subuh tadi. Jadi, tolong
bantu Harun tuk menyingkirkan bayang-bayang Nyala yang
nir busana. “Saya sering melihat kamu berbicara dengan
bayinya,” kini sebelah tangannya malah menyasar ke arah
dada Nyala setelah tadi membelai perut wanita itu.
Menyentuh pinggiran branya, lalu memberi kecupan di bahu
Nyala yang basah. “Apa saja yang kalian bicarakan?” jemarinya
berhasil menyusup. Membelai payudara itu dari bawah.
Menekan ibu jarinya, Harun mendapatkan puncak payudara
Nyala yang menegang. “Apa yang kamu bicarakan dengannya?
Hm?”

Nyala sepenuhnya menengadah. Napasnya mulai memburu,


resah. Punggungnya ia biarkan menyandar di dada Harun
Dierja yang bidang. Matanya menutup demi menikmati
ritme cumbuan yang menjalar dari bahu menuju lehernya. Di
beberapa kesempatan, pria itu akan meninggalkan bekas
keunguan. “Saya ngobrolin Bapak,” akunya setengah
berbisik. Remasan di dada mulai terasa. Dan Nyala
menggigit bibirnya agar tak mengeluarkan desah. “Saya
bilang, dia lebih beruntung dari saya karena bapaknya
ganteng. Nggak kayak bapak saya.”
Harun mendengkus geli hanya tuk menyamarkan tawa yang
tertahan di ujung lidah. “Maksud kamu Sanusi Wijaya?”

Nyala mengangguk dengan senyum secerah matahari siang ini.


“Iya, Pak,” jawab Nyala jujur.

Kedutan geli di sudut bibirnya makin mereka. Dan hal itu,


akhirnya membuat Harun memperdengarkan tawa.
“Menurut kamu, Sanusi Wijaya bukan orang … ganteng?” ia
bahkan tak tahu bahwa perbincangan ringan seperti ini
terasa menyenangkan.

Nyala mengangguk tanpa beban. Senyumnya melebar, tanpa


dapat dicegah. “Dia memang nggak good looking, Pak. Tapi,
yang pasti, dia good rekening,” sahut Nyala lucu. “Beda sama
Bapak,” tangan Nyala merambat mengusap satu lengan pria
itu yang mendekap perutnya.

“Hm?”Harun hanya bergumam lirih. “Bedanya?”

“Bedanya? Bapak mau tahu?” Nyala berbisik. Ia sengaja ingin


menggoda.

“Sepertinya, ya, saya mau tahu.”

“Nanti deh,” Nyala menolak memberitahunya. Sambil


mendesah, ketika merasakan sesapan kuat hinggap di tubuh.
Ternyata, Harun Dierja membuat tanda di bahunya. Mereka
sempat bersitatap, sebelum tertawa bersama-sama.
“Sepertinya, pelajaran renang yang Bapak berikan salah,”
cicitnya menahan desah ketika bibir pria itu kembali
menyusuri bahu hingga tulang selangka. “Setahu saya, nggak
ada bagian begini dari pelajaran renang, Pak,” ia sentuh
punggung tangan pria itu dengan sengaja. “Bisa-bisanya,
murid Bapak semua tenggelam kalau gurunya modelan
seperti Bapak ini ngajarnya.”

Harun tertawa lembut. Ia merasa gemas dengan istri sirinya


ini. Tangannya memang melepas remasan, namun sebagai
gantinya ia rangkulkan kedua lengannya mendekap perut
berisi janinnya. “Saya memang suka berenang. Tapi, saya
sedikit payah bila harus mengajari orang,” ujarnya tanpa rasa
bersalah. “Dan, ya, biarkan saja mereka tenggelam.
Yang penting kamu, bisa saya selamatkan.”

Dengan sirat geli yang tidak meninggalkan wajah, Nyala


memutar tubuh demi berhadapan lagi dengan pria itu. Kedua
tangannya yang berada di air, ia sapukan ke atas dada Harun
Dierja yang tertimpa cahaya. Mengusap-usap air yang
mengalir di atas dada bidang itu, kemudian Nyala pun
tersenyum sebelum melabuhkan kecupan di sana.
“Pokoknya, saya nggak mau berdiri, Pak.”

Memperdengarkan tawa geli, Harun mendekap Nyala. “Tenang


saja. Saya akan membuat kamu terbang,” ocehnya asal.
Air kolam terasa hangat.

Tetapi keduanya sepakat mencipta aktivitas yang


memanaskan raga.

Nyatanya, sebelum dibawa terbang, Nyala disudutkan di


tepikolam renang.

Tentunya, dengan Harun Dierja yang memimpin


pergerakkan.

Tenang, mereka hanya sedang menjalin sebuah hubungan.

Lewat dekap dan juga cecap yang mengiring lumatan


menujuaktivitas yang tak terbatas.

Sekali lagi, hanya ada mereka berdua di villa ini.

***

DUA

Lagu kebangsaan Indonesia Raya bergema sesuai ketukan


irama. Jiwa nasionalisme kerap terpanggil, kala lirik demi lirik
terdengar di telinga. Kekhidmatan dalam mendengar lagu
tersebut merupakan hal yang sangat lumrah bagi seluruh
rakyat Indonesia. Disusul oleh lantunan merdu lirik penuh
makna dari lagu Bagimu Negeri, sudah pasti membuat jiwa raga
terpanggil demi membela Ibu Pertiwi tercinta.
Dalam derap suka cita, sekaligus semangat empat lima, para
pemuja Negara di luar Negara pun, akan segera menghadap
pada bendera pusaka. Melirihkan lirik penuh makna dengan
riak darah bak pahlawan di ujung medan perang.

Syahdu ….

Liriknya memang tak membuat candu. Namun percayalah, jiwa

kita utuh.

Dan semua lagu itu menggema lewat satu tayangan di


televisi. Yang tengah menayangkan pembukaan Deklarasi
Pengukuhan Cawapres oleh Capres yang diusung partai
Indonesia Perjuangan, yaitu Effendy Ghazali. Koalisi
Lanjutkan Perjuangan, tampaknya sudah menyepakati apa
pun yang menjadi landasan dasar dari terpilihnya Zuhri
Iskandar. Pria akhir 40-an, yang juga pernah bergelar sebagai
wakil ketua MPR RI di dua periode sebelumnya. Dan
menambah daftar dari tak biasanya seorang Zuhri Iskandar,
beliau merupakan menantu dari Presiden ketiga Republik
ini.

Lagi, peta kekuatan politik tak dapat ditebak.

Selalu saja ada berita mengejutkan saat menjelang pesta


demokrasi.

Seperti yang selalu santer dikemukakan, bahwa dalam


politiktidak ada musuh ataupun kawan abadi. Yang terjadi
adalah
semua bergerak berlandaskan kepentingan sendiri.

Well, Harun tidak kaget. Hanya saja, terkadang ia tak siapketika


harus putar siasat hanya supaya mereka tak terbentur realita
yang ada.

“Besok siang, Pak Effendy ingin bertemu dengan Bapak di


Nusa Dua.”

Informasi dari Putra buat Harun berdecih. “Mau apalagi?


Bukannya dia sudah punya pasangan sendiri?” sindirnya
setengah geli.

Bukan apa-apa, semenjak kabar hengkangnya Nusantara


Jaya dari koalisi yang mengusung Irawan Pramoedya sebagai
kandidat calon Presiden, Effendy Ghazali begitu gencar
menghubunginya dengan sambungan pribadi. Tak ada yang
aneh dari percakapan mereka melalui sambungan tersebut.
Dan Harun bisa mengasumsikan, Effendy Ghazali tidak
tahumenahu mengenai rahasia yang ia simpan. Secara
tersirat,sang mantan dosen tersebut masih berusaha
merayunya agarmerapat pada koalisi beliau. Namun,
lihatlah apa yang terjadi?

Tiba-tiba, muncul deklarasi yang tak disangka-sangka. Astaga,

inilah yang dinamakan lelucon politik. “Beramah-tamah, Pak.”


Dan mendengar itu, Harun langsung tertawa. Ia gelengkan
kepala, merasa tak mampu mengimbangi muslihat para
politisi senior di negeri ini. “Sudah sampai di mana Sanusi
Wijaya dan orang-orang Kusno Aji?” ia mematikan televisi.
Angin malam Bali, boleh saja buatnya mengantuk. Tetapi, ia
masih memiliki janji untuk menandatangani Sertifikat
Koalisi dengan Kusno Aji. “Kusno Aji benar-benar sangat
teliti, ya?” sungguh Harun mendengkus. Namun dibalik
dengkusannya itu, ia menyimpan sedikit kekaguman untuk
mantan Jenderal tersebut. “Siasatnya selalu tak terlacak. Dia
benar-benar selicik Sanusi.”

Untuk mengikat Harun dan Nusantara Jaya agar tak lagi


berpindah koalisi, Kusno Aji menyiapkan perjanjian resmi
yang dibalut dengan embel-embel Sertifikat
Koalisi. Poinnya, agar Harun dapat terjerat sanksi yang
memberatkan bila sekali-kali mencoba khianat. Tidak seperti di
koalisi bersama Irawan Pramoedya, yang menggelar denda
sekian milyar bila hengkang, Kusno Aji membuat sanksi yang
jauh lebih berat lagi. Yaitu, narasi mengenai keberadaan
seorang Nyala Sabitah di tengah hidup Harun dan juga Sanusi.

“Berapa orang yang mereka bawa?”

“Dari pihak koalisi, ada tiga orang yang akan menjadi saksi
penandatangan sertifikat. Dan dari pihak kita, ada empat
orang yang akan bergabung.”

Karena Harun menolak kembali ke DPP, maka Sertifikat Koalisi


diantar ke Bali. Dan karena ini merupakan perjanjian resmi,
Harun pun harus membiarkan elite partainya mendampingi
penandatanganan tersebut. Sebab, akan ada sesi dokumentasi.

“Bagaimana dengan Nyala?” ia bertanya sedikit ragu.

Putra yang sedari tadi mendekap ipad di dada demi


memastikan isi Setifikat Koalisi tidak ada yang melenceng
dari perjanjian awal terjadinya koalisi, akhirnya memberikan
atensi penuh pada atasannya tersebut. “Pertemuan akan
dilangsungkan di paviliun, Pak,” ucapnya yang sudah
mengatakan kalimat serupa sebanyak dua kali. “Paviliun dan
villa merupakan bangunan terpisah. Bapak jangan khawatir,
Mbak Nyala aman di dalam villa.”

“Masalahnya, saya tidak yakin dengan alasan yang membuat


Sanusi membawa serta Hadi Wijaya ke sini,” Harun
mengusap dagunya dengan kening mengerut curiga.

Salah satu tamunya, merupakan Hadi Wijaya.

Secara struktural, Hadi pernah menjadi bagian dari kader


Nusantara Jaya.

Dan secara personal, Hadi Wijaya merupakan putra dari


Sanusi Wijaya.

Untuk lebih terperinci lagi, kebetulan sekali istri sirinya,


merupakan dari keluarga Wijaya yang tak diakui.

“Pak Sanusi dan anggota keluarganya memang sedang


berada di Bali untuk merayakan ulang tahun putra sulung
Hadi Wijaya, Pak,” Putra menjelaskan dengan lebih
terperinci. “Selain itu, seminggu setelah ditetapkan sebagai
cawapres, isu mengenai Zuhri Iskandar yang tersandung
kasus korupsi akan dihembuskan. Dan kita akan
membahasnya di sini, malam ini, Pak.”

Harun segera mengurut kepalanya, pusing.

Kunjungan kerjanya di Bali harusnya memang berakhir hari ini.


Tetapi, ia memperpanjang waktu singgahnya hingga tiga hari ke
depan. Harun ingin bersantai sejenak, menikmati langit Bali.
Bersama dengan Nyala, ia ingin mereka rehat sebentar saja dari
geliat politik serta masalah yang menyertai. Tetapi ternyata,
segalanya tak mungkin terjadi.
Semenjak kabar deklarasi Effendy Ghazali dengan Zuhri
Iskandar terdengar, tiap-tiap koalisi pun mulai saling
merapatkan barisan.

Yang terbaru, Irawan Pramoedya pun sudah memilih


beberapa kandidat untuk menggantikannya. Nama Menpora,
Respavi Mahendra sempat disebut-sebut, namun teman
Harun itu menolak tegas rayuan sang kandidat calon
Presiden.

“Lo sialan banget sih, Run. Lo keluar dari koalisi, gue


dehjadinya yang dikejer Irawan!”

Ketika pemberitahuan bahwa mobil-mobil yang membawa


tamunya kian dekat, Harun memutuskan untuk menyambut
mereka langsung di paviliun. Ia meninggalkan villa, setelah
memberi banyak pesan pada para ajudan yang bertugas di sini.

“Saya tidak ingin ada masalah.”

Seperti Nyala yang tiba-tiba kabur.

Atau, ada penyusup yang mendadak saja ingin mencelakai


istrinya.

“Pastikan kalian berjaga dengan benar. Tidak ada yang boleh


masuk, ataupun keluar dari villa sebelum mendapat perintah
dari saya.”

“Siap, Pak!”

Harun mengangguk puas. Ia memang tidak ingin menjamu


tamu-tamu itu di dalam villa. Walau Nyala sudah dipastikan
aman, Harun tetap merasa tak nyaman.

Well, Harun memang seperti itu.


Ia begitu tegas memisahkan batas antara pekerjaan dan
lingkup pribadi. Ia punya nomor ponsel yang dapat
dihubungi oleh para kader-kadernya. Namun, ia juga
memiliki nomor pribadi yang diberikan pada orang-orang
terpilih.

Ketika akhirnya para tamunya tiba, Harun pun menarik


napasnya panjang.

Sepertinya, malam ini akan berakhir memusingkan.

Baiklah, ia akan berusaha mencoba agar segalanya berakhir


tanpa perdebatan.

Bukan apa-apa, kadang kala, Kusno Aji bisa berubah menjadi


lebih menyebalkan dibanding Sanusi. Oleh karena itu,
perjanjian yang sekiranya sudah mereka sepakati, jangan
coba diungkit-ungkit kembali. Sebab, pasti ada saja celah
untuk merevisinya.

“Selamat malam.”

Dan Harun pun sudah siap menyambut tamu-tamunya.

***

Tetapi rupanya, kedatangan Hadi Wijaya memiliki tujuan


berbeda.

Setelah diskusi panjang dengan kubu Kusno Aji yang


diwakilkan oleh Ketua Dewan Kehormatan, Sekjen, serta
Juru Bicara partai Barisan Indonesia Baru. Akhirnya,
penandatangan Sertifikat Koalisi berhasil diselesaikan tanpa
banyak drama. Walau ada perdebatan sengit mengenai
tempat yang akan mereka gunakan untuk deklarasi dua
bulan lagi, akhirnya Harun memenangkan perdebatan
dengan menunjuk Yogyakarta sebagai tempat
berlangsungnya acara itu nanti.

“Kita akan menjadi pasangan terakhir yang mengumumkan


koalisi serta deklarasi,” Sanusi Wijaya berkata tegas. “Saya
mau, jarak antara pengumuman koalisi dengan deklarasi
Cawapres, tidak berjarak terlalu lama.”

Dan kesepakatan itu final.

Deklarasi akan dilangsungkan paling lama dua minggu setelah


pengumuman koalisi.

Kini, sudah hampir dua jam berlalu sejak pertemuan itu.


Masing-masing tamu Harun pun pamit untuk menuju hotel
mereka. Yang tersisa, hanya Sanusi dan juga Hadi Wijaya.
Secara mengejutkan, Hadi menyatakan ingin bertemu
dengan anak rahasia ayahnya.

“Kalau kamu nggak bisa memberi izin saya untuk bertemu


dengannya. Saya akan membatalkan pemusnahan data
gratifikasi keluarga Irawan Pramoedya.”
Ancaman itu diberikan Hadi Wijaya tanpa riak emosi.

Pria seumuran Harun itu pun langsung melayangkan


pandangannya dengan tenang.

Kening Harun justru mengerut bingung. “Ada yang saya tidak


tahu?” pertanyaan itu ia tujukan untuk Hadi Wijaya.

Dan senyum juru bicara badan penyelidikan kasus-kasus


pejabat negeri ini, langsung melebar. “Wow, Papa
menyembunyikan kebaikan Papa selama ini?” sebuah
sindiran. “Seratus milyar bukan uang yang sedikit, Pap. Bisa-
bisanya Papa bertindak seperi hamba tuhan yang menolak
menyantumkan nama ketika memberi,” cibirnya terang-
terangan.

“Ada apa, Pak Sanusi? Kenapa saya tidak tahu mengenai


kasus Irawan Pramoedya?” kini tatapan Harun hanya
mengarah pada Sekjennya. “Seratus milyar itu, uang untuk
apa, Pak?”

“Ck,” Sanusi berdecak. “Antar Hadi kepada Nyala,” ia


memerintah ajudan dari ketua umumnya. “Kalian bisa
mengawasi mereka,” tambahnya memberi perintah.
Kemudian, ketika ia melihat Harun bereaksi tak setuju.
Sanusi segera menambahkan intruksinya. “Kamu ingin cerita
mengenai seratus milyar saya ‘kan?” ia tekankan pertanyaan
itu untuk sang ketua umum. “Tetap duduk di sini. Dan
biarkan Hadi bertemu Nyala.”

“Ada apa sebenarnya?” Harun bertanya curiga. Raut


wajahnya benar-benar penuh selidik. Apalagi, saat Hadi
Wijaya mulai bangkit dari kursinya. “Apa yang sebenarnya
terjadi?”

“Well, kami membuat kesepakatan dalam kesepakatan,”


Hadi Wijaya tersenyum masam. “Kamu bisa bertanya pada
Sekjen partai kamu, berapa banyak uang yang sudah dan
akan beliau keluarkan demi seorang anak rahasianya,” Hadi
sengaja membuat tanda kutip. “Dan saya memiliki kasus
besar yang harus saya lepaskan demi melindungi keberadaan
adik rahasia saya,” dengkusnya penuh cemooh.

“Maksudnya?” Harun tidak mengerti.

“Perintahkan ajudanmu untuk mengantar Hadi. Maka kamu


akan mendapat penjelasan penuh dari saya,” potong Sanusi
yang mulai tak sabar dengan sikap kolot Harun Dierja yang tak
ia sukai. “Inilah yang membuat kita tidak bisa sejalan, Run.
Kamu terlalu menuntut prokoler yang jelas. Sementara saya,
lebih menyukai membereskan semua masalah dengan cepat.”

“Tapi peraturan tetap peraturan, Pak Sanusi,” Harun


menekankan kalimatnya.

“Dan dalam aturan saya, beri perintah pada ajudanmu untuk


mengantar Hadi kepada Nyala,” desak Sanusi tegas. “Kamu
membawanya ‘kan? Ck, kamu memang senang sekali cari mati,”
decaknya sinis.

Tak segera memberi perintah, Harun merasa perlu


memikirkannya sejenak. Sebelum kemudian, ia memberi
anggukan pelan pada Rafael yang memang menunggu
perintahnya. “Jangan jauh-jauh dari Nyala. Kamu saya
persilakan mendengar obrolan mereka.”

“Tsk,” Hadi Wijaya mencebik. Tetapi selebihnya, ia malas


menanggapi. Ia sedang ingin menuntaskan rasa ingin
tahunya secepat mungkin. Makanya, ia meminta agar ajudan
milik ketua umum Nusantara Jaya segera membawanya
kepada anak rahasia sang ayah. “Saya nggak ingin bicara di
dalam. Bawa saja dia keluar.”

“Maaf, tapi Pak Harun tidak memperbolehkan Mbak Nyala


berada di luar ruangan saat malam seperti ini.”

Rafael memimpin jalan.

Dan saat ini, mereka sudah berada di tengah perjalanan


untuk menuju bangunan villa utama.

“Kenapa?”

“Mbak Nyala sedang hamil.”


Informasi itu membuat langkah Hadi Wijaya, melambat.
“Apa?”

Dan Rafael tanpa ragu mengulang informasinya. “Mbak Nyala


sedang hamil. Pak Ketum, tidak memperbolehkan Mbak Nyala
berada di luar ruangan di waktu semalam ini.” Sekarang sudah
pukul setengah sebelas malam. Anginnya bertiup cukup
kencang dan dingin. “Duduk saja di dalam,” mereka sampai di
villa. Dan Rafael menunjuk ruang tamu sebagai tempattunggu.
“Saya akan memanggil Mbak Nyala ke sini.”

Sungguh, ia tidak berekspektasi bahwa Nyala Sabitah yang


pernah ia dengar merupakan nama dari anak perempuan yang
dimiliki sang ayah buah dari ketidaksetiaan dengan ibunya, ia
temukan bersama seorang Harun Dierja Aminoto. Sempat
mengira mungkin saja, Harun membutuhkan waktu bermain
perempuan. Namun, pernyataan kalau Nyala Sabitah tengah
hamil, cukup membuatnya kehilangan kata.

Dan kemudian, sosok yang sempat membuatnya penasaran itu,


tiba dengan iringan ajudan yang berjalan di depan wanita itu.

Hadi tidak bergerak dari posisi duduknya. Namun, ia mahir


menguasai keadaan. Sebab kini, secara terang-terangan ia
tengah menyorot wanita itu dalam-dalam. Menilainya dari atas
ke bawah, lalu fokus pada bagian perutnya yang
menonjol mengindikasikan kehamilannya.

“Well, akhirnya kita bertemu, ya?” Hadi Wijaya pun berdiri.


Tetapi, ia tidak melangkah mendekat. Ia hanya berdiri di
tempatnya dengan sebelah tangan berada di saku celana.
“Saya tidak akan berbuat macam-macam,” ucapnya begitu
menyadari raut tak nyaman dari lawan bicaranya. “Saya
hanya ingin melihat, ke mana uang-uang papa saya
menghilang,” ungkapnya diselingi tawa hambar.

“Saya nggak pernah meminta uang dari Pak Sanusi,” Nyala


membela diri dengan berani. Cardigan lengan panjang yang
membalut piyamanya, kian ia rapatkan. Ketika pintu
kamarnya tadi diketuk, ia pikir Harun Dierja yang tiba.
Tetapi, informasi yang dibawa oleh Rafael Wiryawan, cukup
membuat Nyala resah untuk menghadapinya. Hadi Wijaya,
bukanlah nama asing di telinga. Sejak mengetahui bahwa
ayahnya bernama lengkap Sanusi Wijaya, Nyala mulai
bertanya-tanya siapa saja saudaranya. Dan beruntung saja, di
era yang semakin maju, ia dapat dengan mudah mengakses
banyak informasi tanpa kesusahan untuk bertanya ke mana-
mana. “Saya nggak pernah meminta uang,” tekannya
mengucapkan kebenaran.

“Tentu,” Hadi Wijaya mengangguk paham. “Papa


membutuhkan banyak uang untuk menyembunyikan
keberadaan kamu dari dunia,” senyum Hadi tersumir sinis.
“Demi menutupi keberadaan kamu dari lawan-lawan
politiknya, Papa sengaja menjadi dermawan dengan memberi
banyak uang.”

Nyala tidak paham.

Karena yang ia tahu selama ini, Sanusi Wijaya tak pernah


menoleh padanya.

“Seratus milyar untuk Irawan. Lalu akan ada satu koma lima
triliun untuk Kusno,” Hadi menarik napas panjang sambil
menggelengkan kepala. Merasa teramat lucu dengan
kelakuan ayahnya. “Saya sempat berpikir, bahwa mungkin
saja kamu sedang mengidap penyakit mematikan dan tengah
sekarat. Makanya, Papa butuh mengeluarkan banyak uang
untuk kamu. Tetapi ternyata, kamu baik-baik saja, ya?”
tawanya berderai pelan. “Mengulang kembali status sebagai
rahasia. Kali ini, untuk simpanan Harun Dierja?”

“Nyala istri saya,” sahutan itu berasal dari Harun yang baru
saja memasuki villa. Ia mendengar tudingan pertanyaan
Hadi Wijaya, dan langsung mengoreksinya tanpa menunggu
lama. “Nyala istri saya,” ulangnya lagi ketika langkah-
langkahnya telah menapaki ruang tamu. Ia berjalan di
sebelah sang istri dan merangkul bahu wanita itu tepat di
hadapan Hadi Wijaya. “Kami menikah,” terangnya dengan
tatap menghunus tajam.
Hadi Wijaya membalas tatapan itu sejenak, sebelum kemudian
ia mendengkus dan memutus benang netra yang tegang di
antara dirinya dan ketua umum partai Nusantara Jaya. “Kini,
dia menjadi rahasia untuk banyak orang, ya?” maksud Hadi
adalah Nyala. “Setelah berstatus sebagai anak rahasia. Rupanya,
dia juga bergelar sebagai istri rahasia,” kini kepalanya
mengangguk paham. “Sekarang, saya mengerti. Mengapa kini,
kamu dan Papa saja terlihat saling melindungi,” cibirnya
menebar tawa penuh ledekkan sinis.

“Hadi,” Sanusi menegur putranya. Setelah selesai


mengungkapkan fakta tersembunyi terkait Irawan
Pramoedya, ia pun mengikuti langkah Harun menuju villa
pria itu. “Kita pulang,” ajaknya kemudian.

Hadi Wijaya bukanlah anak kecil yang akan menurut bila


diperintah. Hanya saja, ia memang sudah tak memiliki
kepentingan lagi di tempat ini. Jadi, ia mengangguk demi
menyatakan persetujuan. “Kalau saya jadi kamu, saya nggak
akan diam saat diperlakukan tidak adil,” pandangannya
menelisik wanita hamil itu. “Jika mereka nggak bisa
memberikan pengakuan yang layak. Setidaknya, mereka
harus memberi kamu kehidupan yang layak,” wajah Hadi
Wijaya begitu serius. “Layangkan tuntutan. Minta tebusan
dari kasih sayang yang nggak bisa kamu terima. Keruk materi
dari mereka. Setidaknya, uang dapat menjadi
penghiburan. Walau hal itu nggak menggenapi kasih sayang,”
ia menutup penuturannya dengan lambaian tangan ke udara.
Berpamitan pada adik rahasia, yang akhirnya ia jumpa.

***

Nyala menyukai kala debarnya menjadi desah.

Nyala menikmati saat kulitnya disesap hingga menjadi tanda.

Dan ketika pacuan dari Harun Dierja membuat tubuhnya


tersentak-sentak, Nyala tahu bahwa yang harus ia lakukan
adalah merekam ekspresi pria itu di kepala. Sebelah
tangannya mencengkram seprai yang menjadi alas tubuhnya.
Sementara yang sebelah lagi, ia gunakan tuk meremas lengan
Harun yang berada di perutnya.

“Pak,” lenguhannya tercipta kala pria itu menarik


pinggulnya. Dadanya membusung, saat hujaman dalam
diberikan tanpa aba-aba. Rasa pusing karena seluruh indera
seolah bekerja demi mencicipi gairah yang tumpah ruah,
Nyala menyerah dalam jerit panjang sebuah pelepasan.
“Pak!”

Gerakkan Harun mereda.

Pinggulnya, memelan dengan sendirinya.


Bukan untuk berhenti, hanya ingin memberi jeda.

“Sakit?”

Nyala menggeleng lemah. Tangannya terulur demi


memindahkan tangan pria itu dari perut ke dadanya. Iaingin
disentuh di sana. Dan syukurnya, pria tersebut memahami
keinginannya. Jadi, setelah pulih dari orgasme yang
membuncah dada, Nyala siap menerima kembali pacuan
Harun Dierja di dalam tubuhnya.

Kedua kakinya yang tadi melingkari pinggang pria itu, kini


telah terurai. Namun, tak dilepas sepenuhnya, melainkan
dipindahkan ke arah bahu bidang Harun Dierja yang sudah tak
berbusana.

Diterangi oleh sinar mentari pagi yang menyusup melalui


celah horden yang belum terbuka, puncak surga yang mereka
daki berdua selepas subuh tadi, mulai menunjukkan tanda-
tanda. Hingga akhirnya, bukti gairah itu tumpah di atas
perutnya. Sebelum mereka tertawa bersama, diiringi desah
napas yang masih terengah-engah.

“Saya pengin maternity shoot, Pak,” ungkap Nyala setelah


Harun Dierja membersihkan perutnya. Belum berpakaian,
mereka hanya berlapis bed cover tuk menutupiketelanjangan.
“Mumpung di sini,” lanjutnya lagi.
Ia tak akan mendengarkan omongan-omongan yang
berpotensi menggoyahkan keyakinannya. Maka dari itu, ia
butuh pengalihan.

Terima kasih pada Mayang, sebab di saat-saat yang paling


membutuhkan, Nyala mengingat betul saran yang diocehkan
caddy golf itu.

Sungguh, ia tak mau mendengarkan provokasi berbalut


kenyataan yang dilempar Hadi Wijaya. Sebab, hal itu
berpotensi membuat hatinya gundah gulana. Makanya, ia
harus membuat ide gila Mayang menjadi realita.

“Saya mau maternity shoot di pantai, Pak. Kalau bisa, Bapak


juga harus basah-basahan sama saya.”

Bayangkan saja, Harun Dierja Aminoto mengenakan


kacamata hitam dengan kemeja putih dan celana chinos di
atas mata kaki. Sedang memeluknya dari belakang,
sementara itu ombak silih berganti memercik kemejanya
hingga basah. Berlatar senja yang megah, mereka tersenyum
bahagia menatap kamera.

Ya, berkhayal saja dulu.

Karena sungguh, Nyala tak berani mendengar jawabannya.

***
TIGA
Dua Bulan Setelahnya ….

***

Narasi Republika.com

Hengkang Dari Koalisi Indonesia Merdeka, Partai


Nusantara Jaya Merapat Pada Koalisi Indonesia
Baru. Benarkah Harun Dierja Aminoto, Akan
Kembali Diusung Sebagai Cawapres?

Sekitar dua bulan yang lalu, publik dikejutkan dengan


keluarnya Partai Nusantara Jaya dari Koalisi Indonesia
Merdeka, yang diusung oleh dua Partai koalisi. Kini, muncul
fakta baru bahwa partai yang dipimpin oleh Harun Dierja
Aminoto tersebut, baru saja menetapkan pilihannya untuk
bergabung dengan koalisi Indonesia Baru. Bersama Kusno
Aji (sang bakal calon Presiden), deklarasi penggabungan
tersebut dilakukan tepat di depan gedung DPP Partai Barisan
Indonesia Baru, siang kemarin.

Dihadiri oleh segenap kader dari kedua partai, deklarasi


tersebut juga diikuti oleh ketua umum Demokrasi Nasional,
Ahmad Bimasena. Yang beberapa saat lalu, juga sudah
mengumumkan bahwa partainya mendukung penuh
pencalonan Kusno Aji pada Pemilu tahun depan.
Namun, dengan bergabungnya Nusantara Jaya pada koalisi
Indonesia Baru, hal ini tentu saja membuat publik bertanya-
tanya. Pro dan kontra atas keputusan ini, tentu saja ramai
diperbincangkan oleh pengamat politik dan juga masyarakat.
Banyak perdebatan yang mengiringi keputusan-keputusanyang
diambil oleh ketua umum partai Nusantara Jaya tersebut.

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan koalisi sebelumnya?

Bukankah, Harun Dierja Aminoto telah digadang-gadang


akan menjadi cawapres yang mendampingi Irawan
Pramoedya ke kancah Pemilu?

Dan kini, setelah bergabung dengan Kusno Aji, akankah Harun


Dierja kembali diusung sebagai cawapres?

Beberapa pengamat politik menyebutkan, adanya masalah


internal yang terjadi di antara Harun Dierja dengan koalisi
sebelumnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa mahar
yang diminta koalisi Indonesia Merdeka, terlalu mahal.

Bahkan sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan


resmi dari para pihak terkait terhadap pemberitaan yang
menyangkut kepentingan mereka.

***

Media Dalam Berita.com

Partai Nusantara Jaya, Merapat Pada Kubu


Koalisi Indonesia Baru. Hal Itu Tentu Saja
Mengejutkan Banyak Pihak. Sempat Dikabarkan
Akan Bergabung Pada Koalisi Lanjutkan
Perjuangan Yang Mengusung Effendy Ghazali
Sebagai Bakal Calon Presiden, Hal Tersebut
Kemudian Pupus, Ketika Effendy Ghazali
Mengumumkan Bakal Calon Wakil Presiden Yang
Mendampinginya. Apakah Keputusan Partai
Nusantara Jaya Bergabung Dengan Kusno Aji
Merupakan Efek Dari Sakit Hati?

Sejak kepemimpinan Harun Dierja Aminoto sebagai ketua


umum, Partai Nusantara Jaya terus menuai sorotan. Tetapi,
bukan sebab kasus yang menimpa ketua umum terdahulunya.
Harun Dierja berhasil menyulap citra partai menjadi kembali
bersih semenjak ia memimpin. Gebrakan- gebrakannya dinilai
mengembalikan elektabilitas partai ke arah yang lebih baik.
Bahkan, publik seolah lupa pada kekacauan yang sempat dibuat
oleh para kader-kader terdahulunya.

Beberapa waktu lalu, publik sempat diramaikan dengan


keyakinan bahwa Harun Dierja Aminoto akan berpasangan
dengan Irawan Pramoedya dalam pemilihan umum tahun
2024. Tetapi, hal itu kemudian pupus ketika dua bulan yang
lalu, partai Nusantara Jaya mengundurkan diri dari koalisi
yang telah terlanjur direstui oleh masyarakat.

Belum selesai keterkejutan publik atas keputusan tersebut,


kemarin siang, bertepat di gedung utama partai Barisan
Indonesia Baru, Kusno Aji dan Harun Dierja Aminoto, malah
menggelar deklrasi kerjasama mereka. Dan sekali lagi,
Harun berhasil membuat nama sertai partainya menjadi
pembicaraan di berbagai media.

Ada isu yang menyebutkan, bahwa sebelum memutuskan untuk


bergabung bersama Kusno Aji, Harun Dierja sempat melobi
Effendy Ghazali. Namun, karena partai pengusung sang bakal
calon presiden itu telah memiliki kandidat nama yang akan
mendampinginya, maka Harun Dierja pun putarhaluan.

Seperti yang diketahui, partai Nusantara Jaya, memiliki


kader-kader elite yang namanya sangat berpengaruh pada
dunia politik di Negara ini. Oleh karena itu, merapatnya
partai Nusantara Jaya ke kubu Kusno Aji, membuat bakal
calon presiden tersebut dinilai memiliki value tinggi untuk
memenangkan pemilu nanti.

Pertanyaannya, apakah Harun Dierja Aminoto akan dipilih


sebagai bakal cawapresnya?

Kita tunggu saja.

***
Issue Terkini.Media

Kisruh Dunia Politik Kian Memanas. Perubahan


Koalisi Tentu Membuat Geger Peta Politik Saat Ini.
Harun Dierja Aminoto, Kembali Menjadi Sorotan.
Dan Yang Akan Dibahas Di Sini Bukan Hanya
Tentang Bergabungnya Partai Yang DiPimpin Oleh
Pria 38 Tahun Itu. Melainkan Juga, Mengenai
Hubungan Percintaannya. Putusnya Kerjasama
Antara Harun Dierja Dan Irawan Pramoedya,
Berdampak Pada Talian Asmara Sang Ketua Umum
dengan Ginta Maharani. Benarkah Hubungan
Mereka Sebelumnya Hanya Untuk Kepentingan
Politik?

Gulir politik semakin memanas.

Sementara hubungan asmara antara Harun Dierja dengan


Ginta Maharani, kian redup.

Dilaporkan, semenjak tak lagi berkoalisi bersama Irawan


Pramoedya, hubungan Harun dengan Ginta pun dipastikan
kandas. Kebersamaan mereka yang selama ini membuat publik
gemas, diduga hanya untuk kepentingan koalisi. Fakta tersebut,
tentu saja membuat banyak pihak didera kecewa.
Bahkan, disepanjang dua bulan ini, keduanya tak tertangkap
kamera tengah bersama.
Kisah asmara politisi muda dengan anak seorang pengusaha,
beberapa waktu lalu benar-benar menjadi fenomena yang
buat banyak masyarakat menaruh harapan semoga bagi
keduanya. Dengan kesetaraan derajat dan latar belakang,
keduanya digadang-gadang akan menjadi pasangan
sempurna ketika bersama.

Bahkan saat kunjungan kerja, Ginta pernah mendampingi


Harun dan hal tersebut dibagikan langsung oleh akun sosial
media partai Nusantara Jaya. Tetapi kini, mereka bahkan
jarang tertangkap kamera sedang berada di acara yang
sama. Jadi, ada yang menarik kesimpulan bahwa hubungan
yang mereka jalani hanya demi kepentingan politik semata.
Namun, banyak juga yang masih berharap bahwa keduanya
dapat kembali bersama. Syukur-syukur, sampai menikah.

***

“Well, sepertinya nama kamu terus trending,” Kusno Aji duduk


dengan menyilangkan sebelah kaki. Ia meletakkan komputer
tabletnya di atas meja kaju berpernis mengkilap yang berada di
ruangannya di DPP Barisan Indonesia Baru. Sementara itu,
matanya mengerling pada sang tamu yang belum menunjukkan
reaksi apa-apa. “Imbas dari koalisi ini, jelas menguntungkan
Nusantara Jaya,” lanjutnya yang kini tengah mengangkat gelas
kopi. “Beritahu admin
medsos kalian, siapa tahu, dia menerima endorsement tanpa
sepengetahuan kalian,” guraunya kemudian. “Tapi, ya,
semua narasi mereka keliru, ya? Kenapa tidak ada yang
menebak kalau Harun Dierja sudah menikah? Ck, mereka
benar-benar payah. Media-media sampah.”

Harun memilih tak menanggapi.

Ia sendiri juga tengah menggulirkan layar ponselnya demi


membaca ulang klausa-klausa yang telah mereka sepakati.
Deklarasi Pengukuhan bakal calon wakil Presiden akan digelar
dua minggu mendatang. Berlangsung di kota Yogyakarta,
persiapan untuk pengumuman tersebut pun sudah mulai
dilakukan sejak jauh-jauh hari.

“Pada akhirnya, koalisi ini bukan lagi demi kepentingan


politik. Tapi kepentingan bisnis,” Sanusi menimpalinya
dengan sinis. “Bukan lagi demi kepentingan rakyat secara
luas. Melainkan demi keberlangsungan karyawan-karyawan di
masing-masing perusahaan,” imbuhnya sambil tertawa. “Tapi,
apa pun itu, saya akan mulai menyiapkan dana taktis sesuai
perjanjian kita,” lanjutnya tanpa emosi sama sekali. Satu
koma lima triliun sudah mulai ia persiapkan. Namun,
pemberian uang tunai sebanyak itu tidak bisa dilakukan
dalam satu waktu. Harus bertahap. Dan tidak boleh melalui
rekening bank. Sebab, aktivitas perbankan sangat mudah
ditelusuri.
Kusno Aji mencebik. “Saya yakin, kamu dan Harun nggak
akan pernah menjadi mertua dan menantu yang akur di
masa depan,” ucapnya penuh ledekkan. Kini, ia sudah merasa
menang. Bahkan, hasil pemilihan umum tak terlalu ia
perhitungkan. Bukan apa-apa, ia telah memiliki Harun
Dierja beserta Sanusi Wijaya dalam genggaman.
“Hm, sepertinya, akan sulit menentukan bagaimana kalian
nanti akan berlebaran, ya?”

Harun hanya dapat mengembuskan napas jengah. Sudah


seminggu ini, ia dipusingkan oleh perjanjian-perjanjian
bisnis yang dibuat oleh Kusno Aji dan Sanusi. Sebenarnya,
perjanjian-perjanjian itu pun menguntungkan bisnisnya.
Karena sebagai politisi yang merangkap pengusaha,
keberlangsungan bisnis sangat terpengaruh oleh kemudahan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, koalisi
partai politik sebenarnya merupakan agenda lain demi
memajukan kepentingan pribadi dan golongan sendiri-
sendiri.

“Setidaknya, kita butuh satu partai lagi untuk bergabung


dalam koalisi ini ‘kan?” Harun perlu meluruskan apa yang
mereka butuhkan sekarang. “Effendy Ghazali, telah diusung
oleh empat partai. Sementara itu, Irawan Pramoedya
memiliki dua kekuatan absolute dari dua
partai pengusungnya. Walau dalam jumlah kursi anggota
legislative, koalisi kita tetap unggul. Kita tetap membutuhkan
partai lainnya, untuk bergabung. Peta politik harus kembali
dibuyarkan. Prediksi-prediksi kemenangan, harus dibuat
menguntungkan kita.”

Sungguh, Harun sudah mengerti cara mainnya sekarang.

Bagaimana di masa lalu, para kandidat selalu menggunakan


media demi melakukan survey-survey di kalangan basis
pendukung para kandidat itu sendiri. Kemudian, ketika hasil
quick count resmi diumumkan, banyak sekali yang
menudingkan kecurangan.

Dan sepertinya, kali ini Harun setuju untuk menggunakan cara


itu.

Setidaknya, kegaduhan yang bisa terjadi nanti dapat membuat


mereka mengajukan banding dengan indikasi ditemukannya
banyak kecurangan. Atau lebih tepatnya memanipulasi
kecurangan.

“Hm, jadi, kita perlu bos Citra Televisi, ya?” Kusno Aji
manggut-manggut. “Kita sudah punya bos Multi
Group,” gumamnya sambil mengingat koalisi mereka dengan
Ahmad Bimasena. Sang ketua umum partai Demokrasi
Nasional. Pemilik salah satu stasiun televisi swasta yang
selama ini selalu berada di pihak Kusno Aji. “Apa yang bisa
kita lakukan untuk menarik bos Citra Televisi, ya?”
Citra Tele Group di miliki oleh salah seorang konglomerat
yang dulu sempat digadang-gadang akan menjadi menteri di
pemerintahan. Mengingat, bagaimana dekatnya hubungansang
pemilik beberapa stasiun televisi tersebut, dengan koalisi
Presiden sebelumnya. Namun, setelah Presiden
mengumumkan para menterinya, nama Gideon Sutjatmoko tak
ada di sana. Tetapi, putra kedua dari sang bos media itu,
terpilih sebagai salah satu dari staf khusus yang bekerja
langsung untuk Presiden.

“Yoshua Sutjatmoko itu gay. Pasangan gaynya adalah sepupu


Harun. Jadi, biarkan Harun yang bekerja untuk itu,” sahut
Sanusi Wijaya santai.

“Ah, aktor itu?” Kusno Aji manggut-manggut. “Bagus! Selalu


ada kemudahan kalau kita benar-benar butuh, ya?” tawanya
hadir menyebalkan.

Benar.

Harun memiliki sepupu yang bernama Lucas Aminoto.


Berprofesi sebagai aktor, dan menikah dengan seorang
wanita bernama Khadijah Naziah. Namun ternyata,
pernikahan itu dilakukan hanya untuk menutupi kelakuan
dari sepupunya itu. Nyatanya Lucas Aminoto dituding
berselingkuh oleh istrinya sendiri. Dan yang membuat geger,
selingkuhan Lucas bukanlah seorang wanita. Melainkan
seorang pria. Dan orang itu adalah putra pertama dari
Gideon Sutjatmoko, Yoshua Sutjatmoko.

“Kasus itu hanya sebentar saja berada di media, ya?”

Karena Gideon Sutjatmoko, adalah tuan dari banyak media.


Jelas, pengaruhnya begitu luar biasa.

“Gideon melakukan tugasnya dengan baik. Dia menutup


skandal putranya. Lalu setelah itu, putranya yang lain
diangkat menjadi stafsus Presiden.”

Well, pengulangannya selalu seperti itu.

Anda punya uang, dan Anda memiliki kekuasaan.

Simple, masalahmu selesai.

“Bagaimana, Run? Kamu bisa membuat Lucas Aminoto


bekerjasama dengan kita?” Kusno Aji bertanya dengan
senyum yang terlihat begitu yakin. “Seperti yang kamu mau.
Kita butuh dukungan penuh dari Gideon Sutjatmoko.”

Harun akan mengusahakannya.

Namun, ia tidak ingin membuat orang-orang yang berada di sini


menjadi jemawa.

Jadi, ia simpan sendiri kemampuannya tersebut dalam hati.


Karena kini, ia sibuk memandangi arloji. “Oke. Sudah jam
sembilan malam. Kita akhiri diskusi hari ini sekarang,”
katanya seraya bangkit dari kursi. “Deklarasi pengumuman
resmi cawapres akan diadakan akhir bulan ini ‘kan?
Pastikan semua berjalan sesuai rencana.”

“Kamu bisa membawa istri kamu, Run,” sambar Kusno Aji


ikut berdiri. “Karena saya juga akan membawa istri saya,”
senyumnya terbit segaris. Namun netranya berpendar penuh
ejekkan. “Publik sangat suka dengan hal-hal berbau
romantis. Apalagi, dengan istri sendiri.”

Harun paham sekali makna sindiran itu. Ia bisa saja


langsung naik pitam, andai tak pintar meredam geliat di
dada. Jadi, alih-alih memikirkan cara untuk murka, ia ikuti
permainan Kusno Aji yang benar-benar mahir menyentil
emosi. “Kandungan istri saya sudah semakin besar. Agak
beresiko membawanya terbang hanya untuk melihat
deklarasi yang penuh sandiwara,” seringainya muncul tipis.
“Hm, dokter kandungan istri saya, tidak menganjurkan
untuk menonton pagelaran sampah,” ucapnya telak. Namun, ia
sisipkan senyum di wajah, agar Kusno Aji tidak marah. “Ah,
kalau begitu, saya benar-benar pamit, ya?”

***

Sejak dulu, Harun bukanlah pria yang suka mengomentari fisik


wanita.
Kanika adalah pacar terakhirnya, dan harus ia akui wanita
itu cantik memesona.

Lalu, belum lama ini, ada Ginta yang mampir mengisi hari- hari
politiknya. Ginta sempurna. Kepintaran dan fisiknya
berimbang.

Kemudian, datang seorang Nyala Sabitah. Wanita itu


menarik, walau hanya dalam sekali pandang. Namun, ketika
Nyala sudah resmi menjadi istrinya, Harun bersumpah
Nyala sungguh indah. Dan beriring dengan usia
kandungannya yang bertambah, perubahan fisik Nyala justru
membuatnya tak dapat memalingkan mata.

Bila wanita itu mengeluhkan berat badannya yang


bertambah, Harun justru kian menyukainya. Apalagi
sekarang ini, Nyala selalu menyambutnya dengan midi dress
berwarna-warna cerah. Yang panjangnya hanya sebatas paha
dengan lilitan tali spaghetti yang menyanggah bahu
mulusnya.

Ya, Tuhan ….

Harun kerap menelan ludah.

Makanya belakangan ini, Harun tak lagi pernah meminta


ajudan atau asisten pribadinya mengantar Harun hinggadepan
pintu apartemennya. Bukan apa-apa, Nyala pasti
menyambutnya dengan pakaian-pakaian mini yang menggoda.
Seperti malam ini, ketika ia membuka pintu apartemen, istri
manisnya keluar dari kamar sambil memasang senyum di
wajah. Sementara Harun harus mati-matian menghentikan
tatapan pada dress berwarna orange dengan bagian dada
berkerut memamerkan payudaranya yang seolah ingin tumpah.

“Bapak sudah pulang?”

“Ya,” Harun menghela sambil mencoba mengedarkan


tatapnya kesembarang arah. Rambut Nyala yang dikuncir
ekor kuda, justru kian membuat Harun menelan ludah.

Sial!

Leher jenjang wanita itu seolah minta diterkam.

Tulang selangkanya seakan merayu agar segera disesap.

Astaga ….

Sumpah, Nyala ini benar-benar berbahaya.

Dengan kandungan berusia tujuh bulan, perut Nyala sudah


membulat sempurna. Membuat bagian depan dress itu
terangkat memperlihatkan pahanya yang putih. Aroma lotion
yang manis, membaui hidung Harun. Seolah merayu agar ia
dapat menyusuri aroma itu dengan rakus.

“Bapak sudah makan?”


Sudah.

Entah kenapa, lidah Harun keluh untuk bersuara. Sebab


netranya seakan tertahan untuk mengagumi makhluk indah
bernama Nyala Sabitah. Wanita yang tengah mengandung tujuh
bulan, dengan perubahan fisik yang membuat wanita itu kian
menarik.

Tetapi satu hal yang pasti, entah sejak kapan tepatnya, Nyala
mulai sigap menyambutnya kala ia pulang. Membawakan tas
kerjanya. Lalu menunggu Harun di depan pintu ruang kerja. Ah,
Nyala bilang, ia memang tidak berani masuk ke ruangan itu bila
Harun tidak ada. Sebab, wanita itu sangat yakin, bila isi ruang
kerja tersebut memuat dokumen-dokumen penting.

“Mau saya buatin teh, Pak?”

Semenjak tak lagi bekerja, Nyala tampak lebih segar dan


ceria. Makan malam pun, tak perlu menunggu Harun agar
menyuapinya. Nyala beristirahat cukup di siang hari. Dan
terlelap tanpa gangguan di malam hari, bila Harun tidak
pulang karena kunjungan kerja.

“Atau mau saya pijetin, Pak?”

Tawaran itu menggiurkan. Tetapi, Harun justru mengerjap.

Hingga tanpa sadar, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia


rangkum wajah istrinya dengan kedua tangan. Sebab, tas kerja
yang tadi ia bawa telah berpindah ke tangan wanita itu. “Jadi,
ini maksud kamu dengan istilah pregnant
glowing?” ia labuhkan kecupan di puncak hidung Nyala.

Sambil terkikik, Nyala mengambil tiga langkah mundur ke


belakang. “Jadi, Bapak sudah benar-benar silau melihat
saya?” kekehnya sembari mengusap perut bundarnya.

Harun pura-pura mendengkus, tetapi tangannya terulur demi


mencapai pinggang Nyala dan mendekapnya. “Kamu
bersenang-senang hari ini?”

Nyala mengangguk. “Spa yang direkomendasikan Mayang,


benar-benar nyaman, Pak. Petugasnya juga ramah,” mereka
berjalan menuju living area. Nyala meletakkan tas kerja Harun
di atas meja, sementara dirinya menjatuhkan tubuh di sofa
bersama pria itu.

Pagi tadi, Nyala memang meminta izin pada Harun untuk


melakukan perawatan tubuh yang aman di masa kehamilan.
Mayang merekomendasikan klinik spa yang sangat nyaman.
Entah kenapa, Nyala sengaja menggoda Harun Dierja dengan
mengatakan bahwa ia ingin sekali luluran. Supaya aura
kehamilannya lebih terpancar menyilaukan.

Ya, sebenarnya, Nyala hanya asal saja menyebutkannya tadi.


Tetapi sepertinya, dampak yang dihasilkan perawatan
selama nyaris dua jam itu benar-benar nyata.

“Saya juga meni-pedi, Pak,” ia memperlihatkan kuku-kuku di


jemari tangannya. “Tenang, nggak saya pakein kutek kok,” ia
senang menjalani ibadah subuh bersama dengan pria itu.

Harun memperhatikan jemari lentik Nyala yang terawat. Iajuga


mengusap telapak tangan Nyala yang lembut. “Cantik,” ia
memuji jemari itu.

“Hm, cantik, ya, Pak?” mengangkat kedua tangannya tinggi,


Nyala menyandarkan kepalanya dengan berani di bahu pria di
sebelahnya.

“Iya.”

“Apalagi kalau dicat warna merah. Terus,” ia menjeda


ucapannya hanya tuk kembali menatap Harun Dierja.
Sampai-sampai, ia harus mengangkat kepalanya yang baru
saja bersandar sejenak di bahu pria tersebut.

“Terus?” sebelah alis Harun terangkat tinggi.

Tolong, salahkan hormon kehamilannya yang terlampau berani.


Sebab, alih-alih menggeleng karena isi pikirannya tak
terkendali, Nyala justru menggigit bibirnya sembari
menjalankan kesepuluh jemari cantiknya, ke arah dada sang
suami yang malam ini berlapis kemeja biru—warna kesukaan
pria itu. “Terus, bakalan cocok banget, kalau dibuat nyusuri
Dada Bapak yang keringetan.”

Sungguh, Nyala sudah gila.

Tetapi sepertinya, Harun Dierja sangat menikmati kegilaan


itu.

Karena buktinya, pria itu malah menarik lengan Nyala agar


duduk di pangkuannya.

Sumpah, Nyala memang berbahaya.

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ;
Empat - Lima · Karyakarsa

EMPAT

Pemilu semakin dekat.

KPU pun hampir rampung mempersiapkan pendaftaran bagi


kandidat pasangan Capres beserta Cawapres yang akan
berpartisipasi dalam pagelaran pesta demokrasi yang akan
digelar tak lama lagi. Di mana, rakyat yang memilih siapa
yang mereka inginkan untuk menjadi kepala Negara demi
menggantikan periode jabatan Presiden yang sekarang.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bukan rakyat yang memilih


Presiden beserta wakilnya. Rakyat hanya tak punya pilihan.
Sebab ketentuannya, selalu berada di tangan partai. Jadi,
bila sebutan Presiden dipilih oleh rakyat, sepertinya tidak
tepat. Karena nyatanya, partai politiklah yang menentukan.
Sementara rakyat, hanya menjalankan ketentuan.

Hm, karena selalu ada kepentingan golongan yang disamarkan


oleh narasi berkedok kepentingan rakyat.

Seperti yang dikatakan oleh Sanusi Wijaya, mereka akan


menjadi yang paling akhir mengumumkan deklarasi. Sebab,
malam ini ada Irawan Pramoedya yang mengumumkan bakal
calon wakilnya dalam Deklarasi Pengukuhan Koalisi Indonesia
Merdeka.

Well, sebenarnya sudah sejak awal mereka pasti milih


Basuki Nugraha,” komentar Hasbi sambil tertawa. Ia
mengerling pada kakak laki-lakinya sembari mengempaskan
punggungnya di sandaran sofa. Ia menumpangkan sebelah
kakinya ke paha, kemudian tersenyum seolah tebakannya
tepat sasaran. “Mas Harun cuma dijadikan opsi kedua
sekaligus parameter dalam mengukur masa pendukung
mereka,” lanjut adik laki-laki Harun dengan santai. “Dan
setelah mereka melihat respon positif dari masyarakat,
mereka tahu betul apa yang mereka harus lakukan.”

Harun dan keluarganya baru saja menyelesaikan makan


malam bersama. Setelah dua bulan ini, Harun absen dengan
berbagai alasan. Namun malam ini, ia tak mampu lagi
berkelit. Sebab, ayahnya sendiri yang menghubungi
asistennya. Dan bila sang ayah yang sudah menghubungi,
Harun tahu ia harus datang.

Sebelum acara makan malam tadi, Harun sempat berbicara


empat mata dengan ayahnya di ruang kerja pria setengah
baya itu. Pembahasan mengenai koalisinya dengan Kusno Aji
menjadi poin utama dalam obrolan mereka. Walau tak
mengatakannya secara langsung, Harun paham akhirnya
sang ayah merestui koalisi ini. Dan akan bergabungbersamanya
saat deklarasi minggu depan.

Dan sekarang ini, mereka semua berkumpul di ruang santai


sambil menatap televisi besar yang sedang menayangkan
pengumuman pasangan Irawan Pramoedya dalam Pemilu
nanti.

Ya, orang itu adalah Basuki Nugraha.

Ayah kandung Ginta Maharani, sekaligus besan dari


Presiden.

Pengusaha jalan tol yang terkenal karena kesederhanaan


dankedermawanannya.

“Sekarang jelas, kenapa Ginta bertahan di koalisi itu, ya,


Mas?” Hasbi kembali mengeluarkan asumsi. “Karena dia
tahu, elo cuma dijadiin opsi kedua. Sementara bapaknya
adalah kunci yang sengaja disimpan koalisi. Intinya sih,
kalau kemarin elo nggak cabut, mereka bakal bikin elo nggak
betah di koalisi itu.”

Benar.

Harun menghela sambil melepas kacamatanya.

Ia raih teh tawar yang ia minta sebagai teman menonton


televisi. Didampingi saudara dan kedua orangtuanya, mereka
menyaksikan pengukuhan Cawapres dari Koalisi Indonesia
Merdeka. “Pada akhirnya, kalau aku nggak keluar dari
koalisi, mereka yang bakal ngeluarin aku dengan membuat
skandal atau semacamnya,” ujar Harun sambil menatap
ibunya. Namun, wanita itu segera melengos. “Entah apa yang
bakal disiapkan Irawan dan koalisinya andai aku nggak
keluar dari koalisi itu.”

“Betul,” Hasbi mengangguk setuju. “Mereka nggak akan mau


ngajak elo diskusi kayak Kusno Aji. Narasi yang mereka buat,
pasti langsung diserahkan ke media.”

Mereka akan menyebarkan kabar bohong demi menurunkan


elektabilitasnya maupun partai. Atau bila mereka masih punya
hati, mereka akan memintanya datang untuk memusyawarakan
bahwa sebenarnya, bukan dirinya yang mereka inginkan untuk
menjadi wakil presiden dalam koalisi tersebut.

“Ya, nama Mas Harun pasti trending lagi deh,” komentar


Harla sambil mengecek ponselnya. “Yang bikin risih, pasti
selalu dikait-kaitkan sama Ginta,” cebiknya yang mulai malas
berhubungan dengan wanita itu.

Itu pasti.

Spekulasi mengenai hengkangnya ia dari koalisi yang


mengusung Irawan Pramoedya, pasti berembus kian liar
setelah ini. Namun satu hal yang pasti, elektabilitasnya
secara pribadi akan semakin tinggi.

“Narasinya, lebih banyak yang bilang kalau Mas Harun


dikhianati.”

Ya, seperti itulah.

Tak perlu membayar buzzer, Harun yang terkenal sebagai


anak baik, tentu akan mendapat dukungan dari masyarakat.

“Ya, Mam, gagal deh ngelobi Ginta lagi,” Harla mengerling


menatap ibunya yang benar-benar terlihat gusar beberapa hari
ini. Pasalnya, desas-desus deklarasi ini telah terdengar sejak
beberapa hari terakhir. Dan ketika nama Basuki Nugraha
muncul sebagai kandidat terkuat wakil Presiden untuk Irawan,
ibunya itu sudah dapat merasakan kejanggalan. “Jadi, makin
jelas, ya, Mam, kalau selama ini Ginta deketin Mas Harun cuma
demi kepentingan koalisi.”

Diam-diam, Harun ikut melirik ke arah sang ibu yang sejak tadi
sama sekali belum berbicara dengannya. Dalam hati, ia merasa
lega dengan pengumuman deklarasi ini. Sungguh, kini akhirnya
ia paham mengapa Ginta Maharani enggan ikut bersamanya
menyebrang koalisi.

“Kalau begini, pasti Irawan yang memenangkan Pemilu,”


gumam Dewi Gayatri dengan wajah mengeras.
“Belum tentu, Ma,” Harun menyahut santai. Ia paham
maksud sang ibu dengan berkata seperti itu. Status Basuki
Nugraha sebagai besan Presiden, sungguh membuat ngeri.
Banyak yang berpendapat bahwa Presiden akan sepenuhnya
mendukung sang besan. Padahal kalau menilik sikap Presiden
selama ini, beliau terlihat netral. “Presiden belum tentu
memberikan dukungan penuh untuk Irawan,” bukan sekadar
asumsi. Tetapi, hal itu merupakan bagian dari diskusi
terakhirnya bersama kader-kader elite di DPP siang tadi.
“Presiden juga nggak mungkin seterang-terangan itu buat
ngasih dukungan ke salah satu calon saja.”

“Tapi, dengan fakta kalau Basuki Nugraha itu adalah besan


Presiden. Orang-orang pasti berasumsi bahwa Presiden
mendukung mereka.”

Yang dimaksud oleh sang ibu adalah seluruh lapisan


masyarakat di negeri ini.

“Sudahlah, biarkan saja ke mana Presiden akan memberikan


dukungan,” Hassan Aminoto melerai. “Kusno Aji juga memiliki
banyak pendukung. Selisih persentase suara pendukungnya
dengan Presiden di Pemilu sebelumnya jugatidak terlalu jauh.
Sekarang, fokus kita adalah memenangkan Kusno Aji dengan
putra kita. Jangan pikirkan kandidat yang lain. Kita sudah
berada di kapal Kusno dan Harun sekarang.”
Memang seperti itulah seharusnya.
Fokus saja pada tujuan masing-masing.

“Semua gara-gara perempuan itu,” desis Dewi Gayatri


memandang Harun dengan sirat kesal. “Dan kamu masih saja
melindunginya,” tudingnya memperlihatkan amarah.

“Mau bagaimana lagi, Ma? Nyala sedang hamil,” rasanya Harun


hampir bosan mengatakan hal itu pada sang ibu yang begitu
terang-terangan memusuhinya. “Aku bukan Sanusi Wijaya yang
tega membiarkan darah dagingnya terluntah- luntah,” Harun
sedang membela keadaannya saat ini. “Mau nggak mau. Suka
nggak suka. Hal itu nggak akan ngerubah fakta, kalau bayi yang
dikandung Nyala adalah anakku, Ma. Cucu Mama,” ia tekankan
pernyataan tersebut sungguh- sungguh. “Kalau Mama mau
nolak dia, silakan. Itu hak Mama. Tapi, aku nggak bisa, Ma.”

Mereka tak lagi menatap televisi.

Namun, tak juga mengganti siaran tersebut.

Membiarkan deklarasi tetap berlangsung, sementara di


ruangan ini mereka tengah melangsungkan diskusi sarat
akan ketegangan. Padahal, bukan antara koalisi. Tetapi
tensinya, seakan berada di tengah-tengah musyawarah untuk
mencari mufakat dengan para kader koalisi.

“Kamu sedang menciptakan kehancuran sendiri untukkarirmu,


Mas,” Dewi Gayatri tak terpengaruh pada
penjabaran sang putra. Ia masih tetap berpegang teguh pada
penilaiannya sendiri. “Kamu sedang berada dipuncak karir.Dan
bersamaan dengan itu, kamu justru memelihara bom waktu.”

Keberadaan Nyala.Kehadiran bayi itu.

Juga, pernikahannya yang digelar terburu-buru serta tertutup


rapat, jelas akan menjadi masalah baru di kemudian hari.

“Udahlah, Ma,” Hasbi mencoba meredam. “Kan Pak Sanusi


sudah berusaha membuat kesepakatan. Beliau juga
memberikan banyak uang untuk Pak Kusno supaya rahasia ini
tetap tersimpan. Jadi, Mama berdoa aja. Supaya nggak ada
masalah serius yang bisa menghancurkan karir politik Mas
Harun.”

Kabar seserius ini, tak mungkin tak sampai ke telinga adik- adik
Harun. Walau mereka tak berkecimpung di dunia politik,
namun politik selalu menemani tumbuh kembang mereka sejak
dulu. Mereka tak asing dengan intrik politik yang memusingkan.
Karena, sebelum kakaknya menjabat, ayah mereka sudah
terlebih dahulu terjun ke dunia politik yang melelahkan ini.

“Harun benar,” Hassan menatap sang suling. Walau


kemudian, ia mendapat pendar ketajaman dari istrinya.
“Perempuan itu sudah terlanjur hamil dan dinikahi,” kini
pandangannya mengarah pada sang istri. “Fakta itu sudah
nggak bisa kita abaikan. Tapi,” ia menggantung kalimatnya
hanya tuk menatap satu per satu anggota keluarganya.
“Harun harus tetap teguh menjalankan rencana awal.”

“Maksudnya, Pa?” kini Harun yang tidak mengerti.

“Setelah perempuan itu melahirkan, ceraikan dia. Lalu,carikan


orangtua yang layak untuk anak itu.”

Deg.

Harun kontan menelan ludah.

Sungguh, ia memang mengatakan hal itu.Tetapi, dulu.

Beberapa bulan yang lalu.

Sesuai kesepakatannya dengan Nyala kala itu.

“Jangan beritahu perempuan itu siapa yang mengadopsi


anaknya. Berikan dia santunan yang layak. Buat surat
perjanjian yang memiliki kekuatan hukum. Lalu setelahnya,
hubungan kalian selesai.”

Terdengar begitu mudah.

Tetapi kini, Harun dilanda gelisah.


Ia dan Nyala belum membicarakan masalah ini kembali.
Karena belakangan ini, hubungan mereka terasa baik dan
benar. Harun menjelma layaknya suami yang selalu pulang
ke apartemen ketika selesai bekerja. Dan Nyala
menyambutnya, seperti seorang istri sebagaimana mestinya.

Dan demi Tuhan, semua terasa benar ketika mereka


melakoninya.

“Kamu nggak mungkin bisa mempertahankan perempuan itu


selamanya ‘kan, Run? Suatu saat nanti, kamu akan menikah.
Dan istri kamu yang sah, harus diketahui oleh publik. Jadi,
selesaikan hubunganmu dengan anak perempuan Sanusi
Wijaya itu. Kita harus fokus pada musim kampanye yang
akan digelar sebentar lagi.”

***

Ada rencana baru.

Demi menarik Gideon Sutjatmoko bergabung dengan koalisi,


Harun harus memastikan dirinya hadir di gender reveal
party yang diadakan adik dan iparnya sehari sebelum
deklarasi.

Lucas Aminoto tentu saja akan hadir di sana.

Dan kebetulan lainnya, Gideon Sutjatmoko pun dipastikan


datang.
Hasbi memiliki kerjasama bisnis dengan bos televisi
tersebut. Itulah mengapa, sang adik dapat memastikan
kehadiran dari Gideon Sutjatmoko diacaranya nanti.

Masalahnya, entah kenapa Harun merasa berat untuk


melangkahkan kaki ke acara itu. Bukan karena kepentingan
politiknya. Atau bertemu kembali dengan ibunya yang masih
menganggapnya tak berbakti. Hanya saja, ia merasa tak tega
dengan Nyala.

Ia ingat bagaimana wanita itu tampak kacau setelah dirinya


menghadiri tasyakuran empat bulanan sang ipar beberapa
bulan lalu. Sementara di apartemennya, Nyala pun memiliki
usia kandungan yang sama dengan adik iparnya itu. Dan kini,
ketika Ruby kembali mengadakan acara yang berhubungan
dengan kehamilannya, Harun selalu teringat pada Nyala yang
juga tengah berada dikondisi serupa.

Astaga …

Ia mengelus dadanya sendiri yang entah kenapa terasa gundah.

Dari segi apa pun, ia mampu memberikan Nyala hal yang sama
seperti yang selalu dilakukan oleh Hasbi untuk Ruby. Namun
dari kenyataan yang ada, Harun tak diperbolehkan melakukan
apa pun untuk istri dan anaknya.

Jangankan acara empat bulanan, atau gender


reveal, menemani Nyala kedokter pun Harun baru dapat
melakukannya mendekati jam tengah malam. Ia bahkan tak
pernah mengajak Nyala makan di luar. Atau berbelanja
mengelilingi pusat perbelanjaan. Sebab di hidup Harun, Nyala
merupakan sebuah rahasia yang harus disimpan rapat. Dan
sebagaimana rahasia itu bekerja, cara terbaiknya adalah tetap
bersembunyi dan tak melakukan apa-apa.

Ya Tuhan ….

Tangannya yang berada di atas meja makan terkepal. Ia


menelan ludah dengan susah payah. Sambil terus membidik
pergerakkan Nyala yang tengah menyiapkan sarapan
untuknya, Harun meneguhkan hati agar dirinya dapat
melewati semua ini.

“Jadi, Bapak nggak pulang nanti malam?”

Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna pink lembut.


Sedang mengaduk kopi untuknya setelah selesai
membuatkan sandwich. Harun membuka kacamatanya
sejenak hanya tuk memijat pangkal hidungnya. “Siska akan
menemani kamu malam ini,” ia kembali mengenakan
kacamatanya dan Nyala berjalan dengan kopi dan juga
sandwich tuna yang disodorkan untuknya. “Kamu nggak
sarapan?”
“Makan pagi gini, suka bikin eneg, Pak. Saya makannya jam
sepuluh nanti, sekalian makan siang yang pertama,” ujar
Nyala tersenyum. Nyala memiliki dua kali jam makan siang
di trimester ketiga ini. Dan entah berapa kali memasukkan
camilan agar membuat bayi di dalam perutnya tenang.
“Kalau lapar, saya suka langsung pusing, Pak. Terus bayinya,
suka nendang di satu sisi aja,” ia mengelus perut buncitnya
dengan sebelah tangan. “Kalau kelaperan, bayinya suka
miring ke satu sisi aja, Pak. Terus, durasinya lama,” Nyala
kembali menjelaskan. “Jadi rasanya nggak nyaman banget.”

Dihadapkan oleh perut buncit Nyala Sabitah yang berada


tepat di sebelah kursi tempatnya duduk, Harun pun
mengarahkan atensi penuh pada bagian paling membuncah itu.
Ia sentuh perut Nyala, seraya mengelusnya lembut.
Sudut bibirnya tertarik ke atas, kala merasakan gerak dari bayi
di dalam kandungan Nyala. “Saya selalu penasaran dengan
obrolan kamu dengan dia,” ucap Harun merujuk pada bayi
mereka. “Kamu selalu berbicara padanya. Tapi, kalau ada saya,
kamu langsung diam.”

Nyala menyandarkan sebelah tangannya di punggung kursi


yang diduduki sang ketua umum partai. Bibirnya melengkung
membentuk senyuman. Matanya mengarah ke arah cermin
pada lampu Kristal yang berada di atas ruang makan ini. Siluet
Harun Dierja yang telah rapi dengan jas dan dasi, tampak
terpantul di sana. “Sudah saya bilang ‘kan,
Pak, kalau saya ngomongin Bapak,” tutur Nyala jujur. “Saya
mau seperti orang-orang, yang suka ngomongin orang lain di
belakang,” imbuhnya memperdengarkan tawa. “Makanya,
begitu Bapak muncul, saya harus cepat-cepat diam. Supaya
Bapak nggak mendengar omongan saya.”

Harun mendengkus, namun ekor matanya tetap memandang


Nyala dengan lembut. “Dia bergerak,” lapornya dengan mata
berbinar. Sambil mengikuti pergerakkan bayinya, Harun tak
sadar bahwa sedari tadi ia masih melengkungkan senyuman.
Sejujurnya, ia juga sudah sering menyentuh perut Nyala.
Entah itu karena inisiatifnya sendiri, atau sering kali Nyala yang
memintanya kala merasakan bayi mereka begitu aktif. “Kamu
benar-benar nggak mau tahu jenis kelaminnya?”

Nyala mengangguk yakin.

Sejak bulan kelima kehamilan, dokter sudah mengatakan


bahwa jenis kelamin bayi sudah terlihat jelas. Namun,
sampai bulan ketujuh ini, Nyala tetap yakin untuk tak
mengetahui jenis kelamin anaknya.

“Saya mau dia jadi kejutan buat kita, Pak,” jawab Nyala jujur.

Mendengar perkataan Nyala itu, hati Harun menjadi kian tak


menentu. Demi menyamarkan gelisahnya, ia pun memberi
senyum kecil. “Saya pikir, kamu ingin membuat acara seperti
gender reveal,” gumamnya pelan.
“Siapa yang mau datang kalau saya bikin acara seperti itu,
Pak?”

Deg.

Harun tertegun mendengarnya.

Ia pandangi Nyala sejenak, sebelum mengarahkan tatapan lama


papda perut buncit berisi janinnya itu.

Ya, siapa yang akan mereka undang?

Tak seorang pun teman atau kolega-kolega Harun yang


mengetahui bahwa ia telah menikah. Lalu, apa jadinya bila
mereka tahu bahwa sebentar lagi, ia akan memiliki seorang
anak?

“Ah, yang paling penting, apa Bapak sanggup berdiri di


sebelah saya sambil mecahin balon cuma buat tahu jenis
kelamin anak kita?” pertanyaan Nyala diselingi tawa. Namun
percayalah, hatinya nyeri ketika mengutarakan hal itu.
“Nggak akan ada yang menyambutnya selain kita berdua,
Pak,” Nyala menatap perutnya dengan perasaan pedih. “Dia
nggak akan punya siapa-siapa selain kita.”

Nyala benar.

Bayi mereka tidak memiliki satu orang pun yang akan


menyambut kehadirannya dengan sukacita.
Bahkan keluarga Harun pun, tak mungkin melakukannya.

“Dia rahasia ‘kan, Pak? Bagaimana mungkin, Bapak berpikir


untuk merayakan sebuah rahasia.”

Bayinya akan menjadi rahasia.

Nyala akan menangis bila tak mengingat bahwa dirinya


sudah berusaha mengikhlaskan takdir yang
membelenggunya. Rasa sedih karena tak dapat berbuat
banyak pada hidupnya, sempat membuatnya menyalakan
semesta. Tetapi sekarang, ia telah berbesar hati.

“Tapi menjadi rahasia juga nggak selalu buruk kok, Pak,”


senyumnya terpatri miris. “Dia akan tetap menjadi manusia.”
Satu tangan Nyala yang bertengger di kursi, kini membelai
punggung suaminya. Dan ketika sampai di bahu pria itu,
Nyala memberi usapan lembut di sana. “Bapak tahu kenapa
sampai sekarang saya belum belanja perlengkapan bayi?”

Harun tidak tahu.

Tetapi satu hal yang pasti, ia sudah memberi fasilitas pada


Nyala untuk membeli semua keperluan untuk bayi mereka.
Namun, ia tidak tidak bisa menemaninya berbelanja. Makadari
itu, Harun memerintahkan dua ajudannya untuk menemani
Nyala.
“Karena saya bingung, Pak.”
“Bingung?”

Nyala mengangguk. “Kalau semuanya sesuai dengan perjanjian


kita di awal, bukankah itu berarti setelah bayi ini lahir, dia akan
diasuh orang?”

Deg.

Jantung Harun seolah tertikam.

“Jadi, saya bingung, haruskah saya berbelanja perlengkapan


kelahirannya. Atau hanya menyiapkan beberapa pakaian saja,
sebelum nanti orangtua angkatnya akan datang untuk
mengambilnya dari saya. Mengambilnya dari kita, Pak.”

***

LIMA

Berkomitmen dalam pernikahan merupakan adaptasi yang


tidak cukup dalam sehari. Setiap detiknya bagai petualangan
yang tak terhindari. Seru, senang, bahagia, juga terkadang
dihinggapi frustrasi karena ternyata segalanya tak bisa baik-
baik saja setelah menikah. Bak labirin, mahligai pernikahan
lebih rumit dari yang bisa terbayangkan. Sebab, hilang arah
kadang kala menjadi bagian terpahit dalam mengoreksi
eksistensi sebuah pernikahan.
“Hari ini gue ulangtahun.”
Mayang melirik kakak perempuannya itu melalui ekor mata.
Sebelum kemudian, ia kembali menatap cermin kecil di
depannya seolah tak mendengar apa-apa. Tengah mengoles
ombre terakhir untuk bibirnya, Mayang perlu memastikan
ia tak kebanyakan mengoles lipcream di sana. “Oh,” sahutnya
singkat. “Happy birthday to you, happy birthday to you,” ia
gumamkan sedikit lirik dari lagu bertambahnya usia itu dengan
tampang datar. “Make a wish, terus tiup anginnya,” celoteh
Mayang dengan fokus mengarah pada cermin yang
menampilkan seluruh wajahnya.

Nyala hanya menghela.

Ia pandangi televisi yang tengah menayangkan serial drama


yang ia pilih secara random demi memupus kebosanan sedari
tadi.

“Gue nggak punya temen. Siska, ajudannya si bapak katanya


dikasih cuti buat persiapan setelah deklarasi. Terus, temen gue
di DPP juga cuma sedikit,” keluhnya mencurahkan isi hati.
“Pengin ngerayain ultah,” imbuhnya membuat mimiknelangsa.
“Pengin dikasih surprise,” anggaplah hal tersebut merupakan
bagian dari mengidam di trimester ketiga ini.

Mendengar desahan Nyala, Mayang merotasikan bola


matanya jengah. “Please, ya, La. Kita nggak pernah tuh dari
kecil ngerayain ultah,” cibirnya dengan wajah sewot. “Nggak
ada tuh istilahnya, keluarga yang pertama ngasih ucapan.
Halah, basi! Inget, La, kita keluarga kita bukan cemara!”

Nyala tahu.

Di tahun-tahun sebelumnya pun, ia tidak peduli dengan


bertambahnya usia.

Namun, semenjak bekerja di DPP Nusantara Jaya, ia mulai


terbiasa mengeluarkan uang untuk makan-makan bersama
teman-temannya ketika tanggal kelahirannya tiba. Sungguh, ia
mulai menyukai tradisi itu. Tetapi, entah setan dari mana yang
menghasut Nyala di ulangtahunnya yang ke 27 tahun ini. Tiba-
tiba saja, ia menginginkan sebuah perayaan.

“Kayaknya gue kebawa hormon deh,” desahnya bertampang

Kembali, lirikkan sebatas ibu tiri, Mayang layangkan pada


kakaknya itu. “Terus aja deh lo salahin tuh hormon,”
cebiknya menahan gemas. Antara ingin menempeleng kepala
Nyala, atau langsung menjedutkan saja kepala kakaknya itu
ke tembok. “Bilang aja, lo lagi nunggu seseorang ngasih
surprise party,” ejeknya tepat sasaran.

Sambil manyun, Nyala yang hanya mengenakan


longdress berbahan katun hitam dengan model berkancing
panjang dari dada hingga atas mata kaki, memilih membelai
perutnya yang benar-benar terlihat begitu bundar dengan
bahan kain ringan tersebut. “Bapaknya nih bayi sibuk banget
menjelang deklarasi,” ia sentuh perutnya dengan wajah
cemberut. Padahal, yang sedang ia lakukan adalah curhat
terselubung. “Pulang sih, pulang, cuma ya, tengah malem.
Terus, harus pergi pagi-pagi,” keluh Nyala sambil mengusap
perutnya. Tak ada deep talk sebelum tidur. Selesai Subuh pun,
Harun Dierja berpamitan menuju ruang kerjanya. “Malam ini
katanya nggak pulang. Ada acara, terus lanjut ke Jogja buat
deklarasi besoknya. Nggak tahu deh, balik ke apartemen
kapan.”

Mayang manggut-manggut saja.

Ia datang ke apartemen Nyala, setelah wanita itu


menghubungi ingin makan beef teriyaki. Tapi, ingin yang
restorannya berada di dekat tempat tinggal Mayang. Dan
Mayang yang tengah berbaik hati, rela mengantar makan
siang Nyala walau harus mengomel panjang. Padahal, ia
sudah ada acara untuk siang ini. Maka dari itu, timbang ia
harus balik ke indekostnya untuk berdandan. Ia boyong saja
sekalian peralatan make upnya ke sini.

“Kangen bilang?” sindir Mayang sambil berpura-pura sinis. “Si


bayik sih, pasti nggak bawel, ya, karena bapaknya udah jarang
ngelus-ngelus dia. Nyokapnya aja pasti yang rewel karena nggak
bisa kelonan sama bapaknya,” dengkus Mayang yang kini ingin
menambahkan sedikit bloush on di
tulang pipi. Ia tidak boleh terlihat norak. Harus elegant dan
berkelas. Karena acara yang ia datangi nanti, akan berisi orang-
orang kaya yang memiliki nominal rupiah tidak berseri. “Eh,
tapi, bapaknya si bayik, udah ngucapin selamat ulangtahun
buat lo?”

Nyala menggeleng. “Boro-boro,” desahnya tak bersemangat.


“Kayaknya, dia juga nggak tahu gue lahir tanggal berapa,”
kini bahunya melorot jatuh.

Mayang terkikik geli menyadari raut menyedihkan kakaknya


itu. “Mau gue sindir nggak nih di IG? Kalau gue ngetag akun
partainya, kira-kira direpost nggak sama adminnya?”

“Ck,” Nyala menoyor kepala Mayang sambil mencebik. “Lo


nggak usah pergi aja kenapa sih, May? Gue traktik makan
yuk, entah ke mana gitu? Suntuk banget gue, Ya, Tuhan …,”
desah Nyala terdengar benar-benar putus asa. “Ke mal, yuk?
Gue jajanin deh. Serius, gue banyak duit sekarang.”

“Iya deh, Ibu Ketum,” ledek Mayang singkat. “Jatah lahir batin
dari Pak Ketum, pasti memuaskan banget, ya?” godanya lagi.

“Apaa sih, lo?”

“Halah,” Mayang mengibaskan rambut sebahunya dengan


sengaja. “Nggak bisa. Gue ‘kan, pengin jadi ani-ani sosialita,”
ia kemudian tertawa. “Hari ini, gue mau dampingi Balarama
Hutomo sambil nimbrung obrolannya ibu-ibu pejabat,”
tuturnya penuh rencana.

“Lo jadinya sama siapa sih? Anaknya atau bapaknya?” Nyala


mengenal nama yang disebutkan oleh Mayang barusan. Dan
dari yang Nyala ingat, Mayang itu sedang dekat dengan Arhan
Hutomo, walau secara terang-terangan, Mayang ingin sekali
mendapatkan Balarama Hutomo.

“Ya, sekarang sih, masih sama anaknya. Bapaknya sopaaaan


bangeeett. Greget gue,” Mayang benar-benar terlihat gemaskali
ini. “Si Arhan lagi main sama temen-temennya si Singapur. Dia
minta gue nemenin bapaknya. Ya, ayok aja sih kalau gue.”

“Kok bapaknya nggak nolak ditemenin sama lo?”

“Si Arhan bilangnya, gue pengin belajar nyaleg buat priode


selanjutnya. Bapaknya disuruh ngenalin gue ke relasi-relasi
kader Barisan Indonesia Baru. Bapaknya bilang, gue harus
banyak ngobrol sama yang lebih senior biar dapet ilmunya.
Terus, kalau bisa gue disaranin kuliah sama bapaknya, La. Gue
sih manggut-manggut aja. Gue iyain aja sambil tebar- tebar
pesona,” Mayang terkikik. “Pengen deh ngegandeng lengan
bapaknya, terus pas ngobrol-ngobrol sama temen- temennya
yang pejabat, tangan doi stay di punggung gue,” Mayang
berkhayal jauh.
Kali ini, giliran Nyala yang memandang adiknya itu dengan
sinis. Menatap kembali penampilan Mayang yang kerap
mengenakan outfit yang cocok dengan tubuhnya. Mayang
jarang mengenakan pakaian seksi, namun entah kenapa di
matanya Mayang selalu tampak demikian. Mungkin, karena
bentuk pinggul ramping dan bokong sekalnya yang meniru
ibu mereka. Juga, bentuk payudaranya yang lebih bervolume
dari pada Nyala.

Sungguh, Mayang juga memiliki senyum sensual berkat


filler di bibir yang dilakukannya setahun yang lalu.

“Padahal cuma gender reveal aja, ya, May? Kok bisa sih
semeriah itu?” desah Nyala akhirnya. Ia tak lagi menjadikan
Mayang sebagai pusat atensi. Sebagai gantinya, ia tatap langit
cerah di luar sana. “Yang diundang kalangan pejabat, ya? Pasti
artis-artis juga banyak.”

“Pasti ada unsur politiknya, sih, La. Secara, besok si Harun


bakal deklarasi jadi Cawapresnya Kusno Aji. Ya, sekalian cari
dukungan. Karena menurut Arhan, si Kusno ini juga bakal
datang. Makanya, bapaknya Arhan juga diundang dan wajib
datang katanya,” Mayang membeberkan informasi itu pada
Nyala. “Di Jogja nanti, mungkin deklarasi resminya.
Dan siang ini, ibarat mereka lagi gladi resik.”
Nyala mengerti.
Acara yang didatangi Mayang sebentar lagi merupakan acara
tujuh bulanan atau yang sekarang lebih terkenal dengan
gender reveal party. Kemudian, Nyala teringat pada salah
satu momen percakapannya dengan sang suami di suatu
pagi. Pria itu pernah membahas acara seperti ini dengannya.
Mungkin, karena pria itu sudah mendengar kabar bahwa
Hasbi dan juga Ruby akan mengadakan acara tersebut
dengan meriah.

Serius, hidup Ruby itu sempurna.Dia memiliki suami yang


mencintainya, mertua yang menerimanya, juga orangtua yang
teramat menyayanginya. Setelah acara tasyakuran empat
bulanan, kini ada lagi acara untuk menyambut calon bayi ketiga
dari pasangan itu. Dan tampaknya, semua orang akan
bersukacita.

Sementara dirinya?

Nyala menghela napas panjang. Ia tatap perutnya dengan


perasaan perih yang coba ia singkirkan.

“Gue pengin ikut, May.”

“Heh! Nggak usah aneh-aneh deh lo!” tuding Mayang tak setuju.

“Janji deh, May, gue nggak bakal bikin rusuh.”

“Ck,” Mayang mendelik seketika. “Mau ngapain sih, La?


Udah, lo di sini aja. Ntar gue bakal report deh, kelakuan laki
lo di sana.”

“Pengin ikut, May.”“Iihh, biar apa sih?”

“Biar bikin makin sakit hati,” celetuk Nyala dengan mimik


nelangsa di wajah. “Gue mau nyakitin diri sendiri, May.”

“Gila lo!” seru Mayang tak habis pikir. “Udah, deh, La. Lo
baek-baek aja di sini. Pikirin tuh bayiik dalam perut.”

“Makanya, please, May. Ajak gue ke sana, ya? Semua ini, demi
bayi dalam perut gue. Lo nggak kasihan apa sama gue, May?
Sama anak gue?”

“Idiiih,” Mayang menatap Nyala dengan ekspresi pura-pura


akan muntah.

“May,” namun sepertinya Nyala tak gentar. Kegilaan yang


berbalut dengan kenekatan, buatnya mencoba kembali
merayu adiknya itu. “Lo tahu ‘kan, pernikahan gue sama
bapaknya si bayi ini tinggal bentar lagi?” jika memang harus
berakhir ketika sang bayi lahir, berarti tidak sampai dua
bulan lagi. “Setelah itu, gue nggak tahu gimana nasib gue
kedepannya, May. Gue nggak yakin bisa ketemu beliau lagi,
setelah deklarasi Senin nanti. Apa aja bisa terjadi ‘kan, May?
Dan Pak Harun bisa aja harus ngejauhi gue buat sementara
waktu karena udah pasti, pihak-pihak yang kontra sama
beliau, bakal coba nyari kesalahan beliau.”

Dan bila hal itu terjadi, Nyala tidak bisa menyalahkan


HarunDierja sepenuhnya.

Ia memang butuh perhatian suami, tetapi lelaki itu jugaperlu


memastikan citranya aman dalam pemilu nanti.

Dan berada di sekitar Nyala, jelas begitu membahayakan.

“Sebelum beliau benar-benar jadi pusat atensi hari Senin nanti.


Tolong, May, biarin gue ketemu beliau di hari Minggu ini.”

Segalanya bisa terjadi.

Semua hal dapat tak terkendali.Ia akan bersedih, itu pasti.

Tetapi, entah kenapa ia begitu percaya, bahwa Harun Dierja


pun sedang gelisah memikirkan akhir dari hubungan mereka
nanti.

“Iiih, gue najis banget sih sama omongan lo, La!”

Namun, Nyala belum selesai. Ia masih punya banyak kalimat


bernada provokasi yang dibalut dengan untaian kata yang
menyayat hati. “Kasihan banget, bayi gue, ya, May?” tuturnya
dengan nada miris. “Padahal, dia anak pertamanya Harun
Dierja Aminoto. Eh, sambutan kehadirannya kala meriah sama
anak ketiganya Pak Hasbi sama Bu Ruby,” senyumnya terpatri
sendu. Tangannya mencoba merasakan gerak-gerak bayinya
yang aktif di dalam sana. “Bapaknya dia calon wakil presiden,
May. Ketua umum partai. Sekaligus, pengusaha juga. Tapi,
nggak akan ada orang yang tahu kalau dia ini anaknya Harun
Dierja.”

Nyala menyorot Mayang dengan sirat pedih.

“Bahkan, kayaknya nggak akan ada yang nyambut kelahiran


dengan sukacita, May. Dia bakal berakhir kayak gue. Jadi
rahasia selamanya.”

Fine! Lo ikut gue ke sana! Biar gue telpon dulu, calon


gebetan masa depan gue!”

***

Walau enggan, akhirnya Harun menyisihkan jadwal di


Minggu siangnya untuk menghadiri acara pengumuman
jenis kelamin keponakannya yang kelima. Well, Harun sudah
memiliki empat keponakan sebelumnya. Dan kini, ia akan
mendapatkan keponakan kembali. Mirisnya, kelahiran sang
keponakan akan berdekatan dengan kelahiran anaknya.

Anaknya?
Ya, anaknya.
Harun mengelus dadanya yang berdesir nyeri. Sudah berapa

hari ia tidak pulang ke apartemen? Tiga hari.

Sungguh, bukan karena ia sengaja ingin menghindari


istrinya. Tentu saja, bukan karena hal itu. Tetapi,
kesibukkannya menjelang deklarasi benar-benar menyita
seluruh waktunya. Tiga malam ini, ia harus lembur demi
menyamakan visi dan misinya dengan Kusno Aji. Mereka
bertekat untuk melanjutkan segala pembangunan yang
belum rampung di periode ini. Mereka tak akan muluk-
muluk mengumbar janji dengan membebaskan biaya
kesehatan, juga menurunkan harga BBM. Karena sungguh,
menilik hutang Negara saat ini, hal itu tak mungkin terjadi.

Dengan bantuan para pakar politik yang bergabung dengan


koalisi mereka, Harun dan Kusno Aji mencoba membuat
sketsa kasar dari kebijakan politik yang dapat mereka
terapkan tanpa mengobral janji-janji yang tak masuk akal
untuk masyarakat. Sambil mempertimbangkan pendapatan
Negara, serta menyusun strategi demi mengurangi jumlah
hutang Negara, mereka semua berkomitmen untuk
memberikan program kerja yang realistis, namun tak
membuat pesimis.

“Gimana, Run, sudah beres perangkuman visi misi?”


Harun menatap sang ayah yang mendatanginya seorang diri.
Tamu belum terlalu ramai, hanya anggota keluarga inti yang
sudah mengisi ballroom ini. Sambil menganggukkan kepala,
Harun mencoba mencari keberadaan ibunya. Dan ternyata,
wanita setengah baya itu sedang bersama dengan tante-
tantenya. “Sudah, Pa.”

“Sampai jam berapa kamu bekerja kemarin malam?”

“Jam setengah tiga Subuh, Pa. Kita nggak boleh menyontoh


tagline Presiden. Tapi, kita harus buat tagline lain yang dapat
diingat.”

Di acara ini, Harun akan berdiri sebagai pihak keluarga inti.


Jadi, ia tidak boleh datang berbarengan dengan para tamu
undangan. Ia harus tiba, paling lama setengah jam dari
tamu-tamu. Sebab, ia yang akan menyambut mereka. Karena
kebanyakan dari tamu-tamu yang hadir di ballroom hotel ini
merupakan para pengusaha, pejabat, dan petinggi-petinggi
partai politik.

Mengenakan kemeja biru sesuai dress code yang telah


disepakati, Harun hadir tanpa asisten maupun ajudannya.
Bukan apa-apa, ia sengaja memberi mereka libur untuk
menghabiskan waktu bersama keluarga. Sebab, mulai malam
nanti jadwa mereka akan padat hingga selesai perhitungan
suara dalam Pemilu. Itulah mengapa, Harun meliburkan
para bawahannya sejak kemarin. Karena malam nanti, mereka
akan bertolak ke Jogja, lalu hari-hari super sibuk pun di mulai.

“Ya, sudah, ayo kita sapa kerabat-kerabat kita yang sudah


berdatangan.”

Harun mengangguk, ia mengikuti sang ayah untuk menyapa


keluarga besar mereka yang sudah hadir. Beramah-tamah
dengan keluarga besar, sudah lama sekali tak ia lakoni. Jadi,
ketika bertemu dengan adik-adik sang ayah, serta para
sepupunya, Harun tak sungkan melebarkan senyum juga
memperdengarkan tawa.

“Wah, akhirnya ketemu sama Mas Harun di sini.”

Harun langsung menghampiri orangtua dari adik iparnya


yang baru saja tiba. barusan. “Apa kabar, Tan?” ia
menyalami wanita paruh baya berkerudung pink sesuai
dresscode untuk keluarga dari pihak adik iparnya alias Ruby.
“Tante sehat?”

“Alhamdulillah, Mas,” ibu kandung Ruby itu langsung


menepuk-nepuk lengannya. “Pokoknya, suara Tante sama Om,
buat Mas Harun sepenuhnya,” ia beri dukungan dengan senyum
tulus yang lebar. “Nggak cuma Om sama Tante, Mas. Tapi,
semua suara keluarga besar kami, buat Mas Harun.”

“Makasih banyak, Tante,” Harun juga mengucapkan rasa


syukurnya dengan tulus. “Om, apa kabar?”

“Baik juga, Mas Harun. Besok kita ketemu lagi, ya, di Jogja? Om
udah janjian sama Papa kamu, buat ngehadirindeklarasi.”

“Wah, terima kasih banyak, Om.”

Jujur saja, awalnya Harun hanya setengah hati dalam


menjalankan koalisi ini. Kalau bukan karena ancaman Kusno
Aji, ia tidak mungkin dapat berada di titik ini. Namun,
setelah mendengar doa-doa tulus para saudara dan
kerabatnya hari ini, entah kenapa Harun terpacu ingin
memenangkan Pemilu nanti. Ia mengubah tekadnya, dan
benar-benar ingin memajukan negeri ini.

“Run!”

Lucas Aminoto akhirnya tiba juga.

Masih berprofesi sebagai aktor, gosip yang menimpanya


beberapa tahun yang lalu seolah dilupakan orang-orang.
Apalagi, kabar rujuknya sang aktor dengan istrinya yang
bercadar, mulai ramai diperbincangkan. Setelah Lucas dan
mantan istrinya itu terlihat berada di pusat perbelanjaan
bersama anak mereka yang masih berusia setahun lebih.
Sedikit informasi, sewaktu bercerai dulu, baik Lucas maupun
istrinya tidak ada yang menyadari bahwa wanita itu sedang
mengandung. Walau akhirnya ikrar talak ditanggguhkan
sampai bayi mereka lahir, tetapi hal tersebut tak menyurutkan
tekad Khadijah, untuk tetap menggugat cerai Lucas Aminoto.

“Jadi gimana?” Harun langsung saja. Toh, ia sudah berbicara


dengan Lucas seminggu yang lalu mengenai rencana ini. “Bisa
‘kan?”

“Ck,” Lucas berdecak singkat. Aktor 35 tahun itu, tampak gusar


ketika berpikir. “Gue beneran lagi mengupayakan rujuk sama
Khadijah.”

“Gue cuma minta bantuan lo, Luke. Gue nggak minta lo


balikan sama Yoshua,” ujar Harun gamblang.

“Masalahnya, mereka pasti minta gue nemuin Yoshua lagi


sebagai imbalan atas koalisi itu,” balas Lucas mengemukakan
alasan dari keengganannya.

“Yoshua masih sakit?” tanya Harun meringis.

Lucas mengangguk. “Dia masih nyari-nyari gue,” desahnya


seolah berat. “Tapi, nanti gue bakal usahain ngobrol sama
Mamanya dulu deh.”

“Ibu Tiara Sutjatmoko?”

“Iya. Nyokapnya sayang banget sama Yoshua. Kalau memang


nanti deal, dan mereka ngasih lampu ijo ke elo supaya bisa
ngobrol sama Pak Gideon. Lo harus nemenin gue nemuin
Yoshua, ya?”

Kali Harun yang meringis tanpa sadar. “Dia masih obsess


banget sama lo?”

Sekali lagi, Lucas mengangguk. “Bokapnya, udah nawarin


film macem-macem sama gue. Nggak buat balikan sama
anaknya dalam tanda kutip, ya? Cuma, ya, bokapnya pengin
gue nemenin anaknya tiap kali konsul. Biar bisa
sembuh kayak gue. Tapi gue nggak mau, ah. Sumpah, Run,
gue lagi berusaha memperbaiki diri. Gue beneran mau rujuk
sama Khadijah. Gue udah ada anak. Sebulan sekali ketemu
mereka rasanya nggak cukup, Run. Dan kalau ada acara-
acara kumpul keluarga gini, rasanya gue pengin banget
ngajak mereka buat gabung sama kita.”

“Mereka?”

“Iya. Mantan istri sama anak gue. Sumpah, gue pengin


banget ngajak mereka kumpul-kumpul sama keluarga kita.”

Dan entah kenapa, perkataan Lucas menohok tepat kejantung


Harun.

Buatnya otomatis menarik napas, berusaha mengurai sesak


yang mendadak saja terasa memenuhi raga.

“Lo pasti nggak paham, Run. Karena lo belum nikah dan


punya anak.”
Sudah.

Harun sudah menikah.

Dan sebentar lagi, ia juga akan memiliki anak.

Jadi, ia bisa merasakan langsung apa yang dimaksudkan oleh


sepupunya itu.

Sambil menghela, Harun pun mencoba mengedarkan


pandangan ke seluruh ballroom hotel. Tamu-tamu mulai
berdatangan. Sapaan-sapaan memanggilnya pun terdengar
bersahut-sahutan. Ia tak bermaksud meneliti satu per satu
tamu yang hadir, namun entah kenapa, hatinya sontak berdesir.
Matanya mengerjap tak yakin, sementara dadanya berdegub
kencang.

Deg. Deg. Deg. Tidak mungkin.Matanya pasti salah.

Minus di lensanya sepertinya bertambah. Ya, pasti seperti itu.

Karena entah kenapa, netranya menangkap sosok Nyala Sabitah


yang sudah tak ia jumpai tiga hari ini, melangkah masuk ke
dalam ballroom.

Tidak mungkin.
Harun pasti salah.

Tetapi, perut buncit itu ….

Deg.

Demi Tuhan … itu Nyala?

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Enam
- Tujuh · Karyakarsa

ENAM

Kasih sayang itu layaknya angin yang berembus jauh. Memang,


tak dapat dilihat. Namun, bisa dirasakan. Ia juga mampu
dicipta, tetapi tidak untuk dipaksa.

Simplenya begini, berikan masing-masing satu kesempatan


sebagai jalan menuju kelayakkan. Bila ia tak jua ingin
diperjuangkan, ya, sudah, cepat tinggalkan. Tetapi, bila ia
datang dengan bergandengan tangan, rentangkan selamat
datang. Meski jalannya tak mudah, setidaknya, ia telah
berusaha pulang.

“Ini kakak saya, Om. Namanya, Nyala,” Mayang


memperkenalkan Nyala pada Balarama Hutomo. Pria
pertengahan 40 dengan beberapa uban yang mulai tumbuh di
antara rambutnya yang hitam. Mengenakan batik
casual berwarna mint segar, sosoknya yang gagah dan
berwibawa itu buat Mayang merasa pusing di kepala.
“Suaminya lagi tugas di Lebanon, Om. Saya nggak tega kalau
ninggalin dia sendirian. Soalnya, suaminya udah pesan
supaya saya ngejagain dia,” disentuhnya lengan Nyala,
sembari merangkai dusta yang begitu lancar.

Ya, ketimbang Mayang harus terbang saat mencium aroma


parfume dari pria itu, lebih baik ia membuat otaknya sibuk
mengarang cerita.

“Hallo, Nyala. Saya Balarama,” ia ulurkan tangan dengan sopan.


“Suami kamu berprofesi sebagai apa, sampai harus bertugas di
Lebanon?”

Nyala kontan gelagapan.

Namun, tenang saja, Mayang sudah merencanakan dustanya


dengan matang.

“TNI, Om,” Mayang menjawab cepat. Ia lempar cengiran pada


sang kakak yang direspon ringisan dari perempuan itu. “Dapat
tugas buat misi perdamaian di sana. Ehm, masuk Satgas
Kontingen Garuda, ya, La?” ia menekan pundak Nyala sembari
memberi pelototan agar kakaknya itu segera mengangguk demi
membenarkan kebohongannya. “Ya, ‘kan, La?”

“I—iya,” jawab Nyala meringis. Karena merasa cengkraman


Mayang di pundaknya kian terasa kencang, Nyala pun berupaya
berdeham. “Maaf, ya, Pak,” ia tak mungkin memanggil
Balarama Hutomo dengan sebutan yang sama seperti Mayang.
Satu sisi, karena mereka belum kenal dekat. Sementara di sisi
lain, pembawaan pria tersebut yang begitu
berwibawa, membuat Nyala segan. “Kebetulan, hari ini saya
berulangtahun, Pak. Niatnya, mau mengajak Mayang jalan.
Tapi ternyata, dia sudah punya janji dengan Bapak.
Makanya, karena takut saya kesepian di rumah, dia ngajak saya
pergi bersamanya, Pak.”

Mereka bertemu dengan Balarama di lobi hotel, tempat


berlangsungnya acara.

Awalnya, pria itu berniat menjemput Mayang, namun tak


mungkin Mayang memberikan alamat apartemen Harun
Dierja sebagai lokasi penjemputan. Bukan apa-apa, tower
milik Hartala Group itu terlampau eksklusive untuk
dijadikan tempat menjemput seorang caddy dan staf
frontliner sebuah partai. Walau tak secara terang-terangan,
Balarama Hutomo tentu saja akan curiga mengapa ia dan
Nyala bisa berada di sana.

Hm, kondisi Nyala sebagai istri rahasia Harun Dierja belum


terbongkar. Jadi, Mayang akan berusaha tidak meninggalkan
jejak macam-macam. Maka dari itu, Mayang pun mengambil
jalan tengah dengan mengatakan untuk bertemu di hotel
saja. Meski ia merasa sangat menyayangkan tidak dapat
semobil dengan “Paman panas” itu.

“Nggak masalah kok, Nyala,” Balarama Hutomo tersenyum


dengan ramah. “Ngomong-ngomong, selamat ulangtahun,
ya?” ujarnya kemudian.

Nyala tersenyum kikuk, sambil mengangguk. Tangan kirinya


menenteng luxury brand yang pertama kali ia kenakan—atas
paksaan Mayang. Sumpah mati, bila tak menjadi istri ketua
umum Nusantara Jaya, seumur hidup Nyala pasti tak akan
pernah memiliki Hermes seperti yang saat ini tengah iabawa.

“Iihhh, lo ternyata punya Hermes, toh? Pake, deh, Nyala. Buat


apa si Ketum Nusantara Jaya kerja mati-matianngebangun
elektabilitas partai kalau sebagai istri, elo menyia-nyiakan
kesempatan buat naikin elektabilitas lo.

Ya, dan akhirnya untuk pertama kali, Nyala menenteng tas


seharga satu rumah bersubsidi itu dengan teramat berhati-hati.

Mempercayakan seluruh outfit yang ia kenakan hari ini pada


Mayang yang sudah terlebih dahulu tampil elegant dengan
stelan ala ibu Negara Korea Selatan kala berkunjung ke
Indonesia. Wanita itu benar-benar membuat auranya
layaknya seorang istri pejabat yang fasionable.

Mayang bilang, seharusnya mereka mengenakan pakaian


berwarna-warna mentereng seperti merah atau orange agar
menonjolkan kulit mereka yang cerah. Namun, karena
mereka masih bergelar wanita-wanita setengah pejabat
slash istri rahasia pejabat slash calon gebetan pejabat, jadi
mereka harus memilih warna-warna kalem untuk membaur
dengan sopan.

Jadilah, Nyala dipilihkan sebuah midi dress dengan design


kimono berwarna burgundy, membalut tubuhnya hingga
bawah lutut. V-neck yang terbentuk di kerah
dress tersebut tidak terlalu rendah, membuat tampilan Nyala
masih terbilang sopan. Untuk tambahan, Mayang memaksanya
mengenakan perhiasan yang memang belum pernah ia gunakan
semenjak Harun Dierja menghadiahinya satu set berlian
selepas liburan singkat mereka di Bali waktuitu.

Dan kini, kalung dengan bandul berlian seberat satu karat


melingkari lehernya yang jenjang.

Nyala bersumpah, ia sangat takut menghilangkan perhiasan-


perhiasan tersebut.

Astaga, dulu Nyala hanya pernah menyentuh benda-benda


yang ia kenakan ini ketika ibu mereka masih hidup. Ada
waktu di mana Sanusi Wijaya mengiriminya perhiasan-
perhiasaan itu. Tetapi, menurut ibunya, ia terlalu kecil untuk
mengenakan benda berkilau itu. Ibunya yang akan
menyimpan. Tetapi pada akhirnya, Nyala tidak tahu ke mana
perhiasan tersebut berada.
Sudahlah, itu masalalu.

Masih dengan paksaan Mayang, Nyala yang semula hanya


ingin mengenakan flatshoes yang aman, kini mengalasi
kakinya dengan heels 3,5 senti dengan aksen strap hitam.
Katanya, ia akan terus menggandeng Nyala dan memastikan
bahwa Nyala tak akan jatuh maupun tersandung ketika
mengenakan heels tersebut.

“Nyala, Midi dress itu cakepnya pake heels. Lagian, lo


wajib pamer kejenjangan kaki lo, La. Perut lo boleh aja
buncit, tapi body lo masih yahud. Dan please, deh, La. Lo lagi
datang ke party nih. Jadi, lo harus all out.”

Dan setelah itu, Nyala pasrah ketika Mayang mulai


mendandaninya.

“Kita harus bikin, ketua umum Nusantara Jaya plus para


sanak keluarganya, melotot ngelihatin lo,” kikik Mayang
penuh dengki. “Lagian, apa gunanya lo rajin beli dress- dress
begini kalau nggak lo pakai, hah?”

“Dan kalau gue boleh ngingetin, elo yang milih dress-dress


ini buat gue, ya, May?”

Benar.

Mereka pernah dua kali berbelanja bersama.


Dan nyaris isi walk in closet Nyala yang sekarang,
merupakan gaun-gaun yang dipilihkan Mayang untuknya.
Atau, bila sedang senggang, adiknya itu kerap mengirimi link
website yang menjual baju-baju luar negeri, yang
menurutnya cocok untuk Nyala.

Nyala kadang mengeluhkan harga-harga baju tersebut.


Terbiasa melakukan check out di aplikasi orange pada tanggal-
tanggal kembar demi mendapatkan extra cashback dan gratis
biaya pengiriman, Nyala mendadak terserang pusing ketika
harus membayar baju-baju rekomendasi dari Mayang plus
biaya pengirimannya.

“Jadi, kamu sebenarnya berapa bersaudara, May?”

Nyala mengerjap ketika akhirnya menyadari bahwa Mayang


mulai membawa dirinya melangkah menuju lift. Ditemani
obrolan-obrolan singkat dari Balarama Hutomo dan Mayang,
Nyala memilih menikmati obrolan-obrolan tersebut dalam
diam.

Karena sesungguhnya, ia gugup setengah mati.

“Oh, jadi kakak laki-laki kamu caleg?”

Nah, iya.

Bagus memang calon anggota legislative, dengan modal nekat


yang luar biasa nekat.
“Dari partai mana, May?”
“Partai mana, La?” Mayang melemparkan pertanyaan itupada
kakaknya.

Nyala sontak menggeleng. “Nggak ingat,” jawab Nyala


jujur.

“Sama.”

Kemudian mereka berdua tertawa.

Paling tidak, Nyala bersyukur ia dapat menurunkan sedikittensi


kegugupannya. Karena percayalah, saat ini kedua telapak
tangannya telah mendingin.

Jujur, sejak dulu Nyala memang yang paling nekat di antara


Bagus dan juga Mayang. Ia juga satu-satunya anak, yang
mengaku merupakan yatim di sekolah, padahal ia tahu ayah
biologisnya masih hidup kala itu. Berbagai kenekatan telah ia
lakukan semenjak remaja hingga dewasa seperti ini. Tetapi
entah kenapa, kenekatan kali ini membuatnya ingin muntah
saking gugupnya.

Sumpah, ia jadi bingung haruskah tetap meneruskan kenekatan


ini?

Atau, langsung putar haluan saja mumpung masih berada di


dalam lift?

“Gue deg-degan,” bisik Nyala pada Mayang. Dari pantulan


dinding lift, ia dapat melihat bias siluetnya. Rambutnya yang
panjang, tidak ditata macam-macam. Hanya diikat menjadi
ponytail tinggi, agar lehernya yang dilingkari berlian dapat
terlihat. Namun, agar rambutnya tidak terlihat sangat biasa,
Mayang membuat gelombang di ujung rambutnya. “Gue pengin
pipis.”

“Ck,” Mayang berdecak sambil melirik Nyala sinis. “Lo pakai


pembalut. Udah, pipisin aja di situ dulu,” gumamnya seraya
menatap sadis. “Lo yang minta ikut ke sini, ya, Nyala
monyet,” desis Mayang mengingatkan. “Udah, tarik napas
dulu. Tuh bayiik, kayaknya nggak sabar mau ketemu
bapaknya. Makanya, dia salto-salto nendang tempat pipis
elo,” Mayang mengarang ucapannya. “Sans, La. Anggun,
please,” ia tepuk punggung kakaknya itu agar tegak kembali.
“Nah, cakep,” komentarnya puas. Kemudian, ia kembali
mengarahkan atensi penuh pada Balarama Hutomo yang
sepertinya kebal terhadap pesonanya.

Tendangan bayi di dalam perutnya begitu terasa seiring


dengan langkah kaki Nyala yang mengayun meninggalkan lift
yang telah terbuka. Ia masih berjalan sambil memegangi
lengan Mayang, sementara saudaranya itu tampak berusaha
mengobrol luwes dengan Balarama Hutomo. Saat mereka
akan tiba di ballroom hotel, tempat diadakannya acara
gender reveal party, Nyala menelan ludah gugup. Antrian
untuk masuk ke dalam sedikit mengular di pintu masuk.
“Lebih meriah dari acara tujuh bulanannya Aurel kemarin
ya, Om?”“Aurel siapa?”

“Itu lho, Om, anaknya Krisdayanti,” Mayang menjelaskan


dengan sabar.

“Wah, saya kurang tahu, May. Kebetulan, saya tidak


diundang.”

Ya, ampun, Mayang juga tidak diundang.Hanya saja,

cuplikan acaranya fyp di Tiktok.

Maklumlah, Mayang terkadang live di sana demi mendapat


saweran receh para brondong-brondong mantan bocil epep.

“Aduh, Om, saya agak deg-degan nih, ketemu para pejabat


di
sini,” ujar Mayang sok kalem.

“Ya, begitulah, May. Kebetulan, Harun Dierja itu kakaknya


Hasbi. Pak Hassan sendiri adalah pendiri partai Nusantara Jaya.
Sekaligus, besok itu deklarasi Cawapres. Pak Kusno juga
dipastikan hadir. Makanya, momen acara ini pas sekali untuk
memberi dukungan dan doa bagi kandidat
Capres serta Cawapres yang sudah direstui anggota koalisi.”

Dan ketika nama suaminya disebut, Nyala bisa merasakan


gerak janjinnya semakin heboh. Sambil berusaha
mengimbangi langkah Mayang yang begitu riang, Nyala
mengelus perutnya demi menentramkan sang calon buah hati.
Sebab, ia pun butuh ketenangan.

“Nyala sendiri, sudah tahu mau mendukung siapa nanti?”

Pertanyaan tak terduga dari Balarama Hutomo, membuat Nyala


tak siap. “Y—ya, Pak?”

Sambil mencibir tak kentara, Mayang mendelik menatap


sang kakak. Tetapi tenang saja, hal itu hanya sebentar,
karena selanjutnya Mayang sudah melebarkan senyumnya.
“Oh, kalau Nyala jelas, Om. Pilihannya yang ada Harun
Dierja-nya,” ucapnya cengengesan.

Nyala ingin berusaha menimpali tawa itu dengan tawa


serupa. Namun, ketika kaki-kakinya mulai memijak
ballroom hotel semakin dalam, Nyala tahu ia tak dapat
melakukan itu. Sebab, degub jantungnya semakin menggila,
gerak janinnya terasa mengelilingi seluruh perutnya. Dan
hasrat ingin menuntaskan air seni, berpadu menjadi satu.

“May?”

“Hm?”

Nyala tak bermaksud untuk mendahului adiknya tersebut.


Hanya saja, ketika Mayang dan Pak Balarama sedang
melakukan scan demi mengonfirmasi kehadiran, Nyala
melangkah begitu saja menyusuri karpet bermotif
abstrak yang membentang untuk melapisi lantai. Dan tahu-
tahu saja, Nyala disambut oleh wanita paruh baya yang
bertanggung jawab atas eksistensi Harun Dierja di dunia.

Deg. “Kamu …”Deg.

Deg.Deg.

Senyum di wajah Dewi Gayatri langsung pudar.Nyala

sendiri, jelas gelagapan.

Sampai kemudian, ia merasakan dorongan lembut di


punggungnya.

“Tante Dewi, saya yang akan mengurusnya.”

Hah?

Nyala tak sempat menoleh ke belakang. Sebab sejurus


kemudian, lengannya ditarik menuju pintu keluar. Tidak
kasar, namun penuh ketegasan. Hingga ia merasa kepayahan
dalam mengimbangi langkah pria yang akan membawanya
pergi entah ke mana.

“P—Pak Hadi?”
Ketika akhirnya Nyala memberanikan diri menatap pria
yangkini berada di sampingnya, ia kontan menelan ludah.

Hadi Wijaya.Ya, Tuhan.

Benar.

Ternyata orang itu adalah Hadi Wijaya.

“Sedang apa kamu di sini?” desis Hadi Wijaya tajam.

“Sa—saya …,” Nyala merasakan lidahnya keluh. Ia mencoba


mencari pertolongan pada Mayang. Namun, mereka sudah
melewatinya tadi. Ia tak mungkin berteriak memanggil adiknya
itu. Jadi, yang bisa Nyala lakukan adalah mencoba melindungi
perutnya yang terasa tak nyaman saat ia melangkahkan kaki
secepat ini.

“Mas, pelan-pelan sedikit. Dia sedang hamil, Mas.”

Kepala Nyala tertoleh ke belakang.

Ternyata, ada seorang wanita yang mengikuti langkah mereka


sedari tadi.

Hadi Wijaya menurut, ia pelankan langkah sampai akhirnya


mereka tiba di depan lift. Ia melepaskan cekalannya pada Nyala
demi merogoh ponsel di saku celana. Sementara tangannya
yang lain sibuk memencet tombol lift agar segera
terbuka. “Di mana?” tanyanya dengan seseorang di seberang
sana tanpa basa-basi. “Cepat keluar,” ia memberikan perintah
yang harus segera dituruti.

Sementara itu, lift tak kunjung terbuka.

Dan satu dua orang, mulai mencuri tatap penasaran ke arah


mereka.

Akhirnya, Hadi Wijaya memutuskan membawa Nyala menuju


ujung lorong tempat di mana tangga darurat berada.

“Saya membawanya ke tangga darurat. Saya tunggu kamu


secepatnya,” ucap Hadi Wijaya tanpa menunggu respon
balasan dari Harun Dierja di seberang panggilan. “Sayang,”
kemudian ia menolehkan kepala ke belakang. Ke arah
istrinya yang sedari tadi mengikuti tanpa banyak bertanya.
“Dia Nyala,” ia menunjuk Nyala dengan dagu. “Anaknya
papa.”

***

“Ada apa dengan Nyala?”

“Saya tidak tahu,” Harun menjawab pertanyaan Sanusi Wijaya


dengan cepat dan benar. “Well, saya akan mencoba mencari
tahu,” tuturnya sambil menghela.

Sanusi Wijaya tiba tak lama setelah Hadi Wijaya


menghubunginya. Dan tampaknya, Hadi pun telah
menghubungi pria di depannya ini terkait kehadiran Nyala yang
tak disangka-sangka.

“Anak itu memang sulit diatur,” cebik Sanusi dengan


tampang muram. “Ada hubungan apa Balarama dengan anak
itu? Kenapa dia bisa datang dengan Balarama?”

Nah, untuk hal itu Harun benar-benar tidak tahu.

Ia bahkan baru mendengar, bahwa yang membawa istrinya


ke sini adalah Balarama Hutomo. Sebab, tadi ia sempat
melihat Mayang yang sepertinya tengah mencari-cari
keberadaan istrinya. Asumsi Harun, Nyala datang ke sini
bersama Mayang. Sama sekali tidak memperkirakan bahwa
Balarama Hutomo turut andil.

“Saya akan menemuinya,” putus Harun segera.

“Jangan dulu,” Sanusi melarang. “Kusno Aji sudah berada di


lift. Setidaknya, kamu harus terlihat menyambutnya.”

Kehadiran Nyala yang tak terduga, jelas tak hanya membuat


Harun Dierja sendiri yang jantungan. Melainkan, bagi segelintir
orang yang mengetahui hubungan keduanya. Tidak cuma
orangtua Harun saja yang dibuat terkejut, tetapi Sanusi
Wijaya dan Kusno Aji juga merasakan hal serupa.

Bila waktu itu, Nyala Sabitah hanya menjadi titik lemah bagi
Harun dan juga Sanusi. Kini, ketika koalisi telah terjadi
keberadaan Nyala Sabitah juga dapat mengancam keutuhan
koalisi yang dipimpin oleh Kusno Aji.

Akan sangat berbahaya bila pihak di luar koalisi mencurigai


keberadaan wanita itu di sini. Sebab di masa-masa ini, akan
banyak pihak oposisi yang berkeliaran demi mencari celah
untuk menjatuhkan mereka.

“Kenapa dia ada di sini?”

Kusno Aji baru saja tiba.

Ia langsung mendapat laporan dari anak buahnya, terkait


kehadiran Nyala Sabitah yang seharusnya tidak seterang-
terangan ini berada di depan publik.

“Kamu sudah gila?” bisiknya sembari menyalami bakal


pasangan Cawapresnya itu.

Harun mengeratkan rahang dan meneliti puluhan mata yang


menyorot mereka sambil tersenyum dengan bangga.
“Cobalah membuat sedikit keriuhan saat menyalami tamu-
tamu yang lain. Supaya saya dapat menyelinap keluar dan
menanyakan sendiri kepada istri saya, mengapa dia ada di
sini,” desis Harun sama pelannya. Lalu setelah itu, ia
mencoba menarik diri dari pelukan yang diberikan Kusno Aji
saat datang tadi. “Selamat datang, ya, Pak. Semoga
menikmati acaranya.
“Terima kasih, Pak Harun. Wah, nggak sabar buat besok, ya,
Pak?” Kusno Aji pun ikut bermain peran. Maklumlah, banyak
lensa kamera yang sedang mengabadikan momen pertemuan
mereka. “Pak Herlambang,” ia memanggil nama salah seorang
anggota dewan yang berada tak jauh darinya. “Gimana, nih, Pak
Herlambang? Sudah cocok belum fotonya Pak Harun dipajang
di gedung DPR?”

“Wah, sudah jelas paling cocok, Pak,” Herlambang Susanto


menyambut dengan baik pertanyaan berlapis jenaka
barusan. “Pokoknya, saya sudah bisa membayangkan
bagaimana klopnya, foto Pak Kusno dan Pak Harun
terpajang di tiap-tiap kantor pemerintahan,” ia
mengacungkan jempol tinggi.

Lalu kemudian, tawa membahana terdengar menyenangkan.


Karena rupanya, Kusno Aji begitu pintar melempar candaan.

Pelan-pelan, Harun pun mencoba menyelinap dari sana


tanpa ketahuan. Walau sempat berpapasan dengan beberapa
orang, Harun membohongi semua orang yang ia lewati
dengan menempelkan ponsel di telinga. Berpura-pura
berbicara dengan orang, walau tetap melempar senyum
ramah pada para kader koalisi yang menyapa.

“Mas Harun.”
Namun hadangan di dekat pintu keluar, buat Harun harus
menghentikan aksi pura-puranya. Di sana, ada ibu dan
ayahnya. Dan wajah keduanya mengindikasikan kecemasan
yang begitu kentara. Sungguh, Harun belum pernah melihat
ibunya berekspresi sepanik ini.

“Kenapa perempuan itu ada di sini, Mas?”

“Sebentar, ya, Ma, aku tanya dulu,” jawab Harun tenang. Entah
kenapa, kegugupan yang tadi sempat melandanya saat melihat
keberadaan Nyala, seketika menghilang begitu menemukan
wajah panik ibunya. Sungguh, Harun menyukai ekspresi ibunya
sekarang. Karena percaya atau tidak, ibunya tampak manusia
dibanding ekspresi-ekspresi sang ibu selama ini.

“Mas—“

“Ma,” Harun begitu jarang menyela ibunya ketika berbicara.


Namun, ekor matanya menangkap gerak Sanusi Wijaya yang
tadi terlihat tertawa-tawa bersama guyonan Kusno Aji. “Pak
Kusno bawa istrinya. Lebih baik, Mama menyapa Ibu Herlita,
daripada berdiri cemas di sini. Oke?”

Dan ia pun melangkah kembali.

Kali ini, benar-benar keluar dari ballroom.

Melangkah cepat menuju pintu tangga darurat, Harun perlu


memastikan tak ada satu pun tamu yang menaruh perhatian
pada langkahnya yang ganjil ini. Sungguh, tiadaan ajudan serta
asisten di sisinya, cukup membuat Harun kelabakan. Terbiasa
memerintah, kini ia harus turun tangan sendiri.

“Nyala?”

“Oke. Kamu sudah datang,” Hadi pun mengajak istrinya


beranjak dari sana. “Silakan uraikan sendiri persoalan ini,”
lanjutnya yang benar-benar angkat kaki.

Dan ketika hanya ada dirinya dan Nyala di tangga daruratlantai


lima, Harun menatap sang istri lamat-lamat.

Demi Tuhan, ternyata wanita inilah yang membuat gegerpara


petinggi politik negeri ini.

***

TUJUH

Senja tak akan bosan mendengar manusia bercerita mengenai


resah yang tiada habisnya. Walau hanya sekejab dipandang
mata, namun senja tetap memastikan para makluhk fana tak
sendiri ketika menghadapi kegelapan. Ia meminta rembulan
datang, menerangi kelam supaya hati yang dirundung gelisah,
dapat tenang.

Dan bagi Harun, Nyala Sabitah merupakan wujud nyata dari


keresahan sekaligus ketenangan di hidupnya. Dalam balutan
gaun burgundy yang membalut kulit putih hingga bawah
lutut, wanita itu tampak cemerlang. Kandungan berusia
tujuh bulan bukan penghalang untuk memancarkan
keindahannya. Leher mulusnya yang jenjang, terlihat
berbahaya lewat V-neck yang untungnya tidak terlalu
rendah. Namun yang buat Harun meringis ngeri kala
menyadari keberadaan heels berhak runcing yang
menyanggah tubuh wanita tersebut.

Astaga, benda itu tampak berbahaya.

Berusaha meredam emosi di dada, Harun melepas kacamata


sejenak hanya tuk memijat pangkal hidungnya yang terasa
letih. Barulah setelah itu, ia fokuskan kembali netra pada
Nyala Sabitah yang keluar rumah tanpa pamit darinya.

“Sedang apa?” tanya Harun dengan nada ringan tanpa


kemarahan.

Nyala tentu tak siap dengan sapaan itu.

Sebab, di kepalanya sudah banyak berseliweran


kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di antara mereka.
Salah satunya adalah pertengkaran. Harun layak
menghardiknya, menanyakan padanya kepentingan apa yang
membuatnya datang ke tempat ini. Dan bila hal itu terjadi,
Nyala tentu akan sigap melawannya.
“Kenapa tidak memberitahu saya kalau datang ke sini?”
Harun melangkah pelan. Ponselnya yang berada di saku celana
bergetar. Namun ia memilih mengabaikan panggilan itu. Sebab
kini, ia harus mengurusi istri sirinya, yang berada jauh dari
apartemen tempat tinggal mereka. “Dengan siapa kamu ke
sini?” tanyanya penuh kesabaran. Karena, sedari tadi, istrinya
itu tak berani mengangkat wajah. “Nyala?”

Ketika Harun mengamit tangannya, Nyala kontan tersentak.


Sambil menyentuh perut dengan sebelah tangan yang bebas,
akhirnya ia pun memberanikan diri menatap pria berkacamata
itu. “Bapak boleh memarahi saya,” ujarnyamendongak.

Ia siap bertempur.

Ia akan berteriak kali ini. Baik, mereka akan bertengkar.

Namun, ketika Nyala sudah resah demi mempersiapkan diri,


yang ia dapati dari pria itu adalah sorot mata yang dalam dan
teduh. Ada kemarahan yang tersimpan di sana. Tetapi entah
kenapa, kemarahan itu kala pada tatapan yang meluruh
untuknya.

Ya, Tuhan … tolong buat Harun marah.

Dan respon pertama yang diberikan Harun adalah


anggukkan kepala. “Iya, nanti,” katanya santai. “Saya akan
memarahi kamu nanti,” janjinya tanpa senyum sama sekali.
“Tapi sekarang, ada yang lebih penting lagi,” telapak tangan
sang istri terasa dingin. Sementara itu, Harun juga tak
memiliki jas yang bisa ia beri tuk menutupi tubuh wanita
tersebut. “Tangan kamu dingin,” ia meremas-remas tangan
Nyala yang berada dalam genggaman. “Dan lihat, betapa
mengerikannya sepatu yang kamu gunakan hari ini,”
ringisnya sambil berdecak. “Kamu nggak nyaman ‘kan?”

Nyala menatap heels dengan strap hitam yang membebat


kakinya. Benar kata Mayang, sepatu tersebut cantik di
kakinya. Namun, perkataan Harun Dierja tidak salah. Ia
perlu memastikan seseorang di sebelahnya untuk
berpegangan agar ia tidak terjerembab.

“Kamu mau menggantinya dengan yang lebih nyaman?”


tanya Harun kembali dengan kesabaran yang luar biasa. Dan
ketika sang istri menjawabnya dengan anggukkan, Harun
pun bersiap merogoh saku celananya demi menghubungi
anak buahnya. Namun, ketika benda pipih tersebut telah
didapat, ia pun baru teringat bahwa ia meliburkan semua
anggotanya. “Astaga, mereka sedang saya liburkan,”
ringisnya tertahan.

Nyala tahu, dan ia pun hanya menatap pria itu. “Bapak nggak
marah?” hal itulah yang terus menari dalam benak. “Saya perlu
dimarah segera, Pak. Supaya saya bisa membuat
sanggahan perlawanan,” ujarnya jujur menantang.

Dan kening Harun langsung berkerut mendengar hal itu. Ia


menatap Nyala dengan takjub. “Kamu ingin mendengar saya
marah?”

Nyala mengangguk. “Iya.”

Tetapi kemudian, Harun mendesah tertahan. Ia ulurkan


sebelah tangannya dan mengusap perut Nyala yang berisi
janinnya. “Saya marah, Nyala,” ucap Harun sambil
menatapnya. Tetapi, tangannya tidak berhenti bergerak tuk
memutari perut tersebut. “Saya marah, sampai rasanya saya
kehilangan kata-kata saya untuk mendeskripsikan semua
itu,” tuturnya jujur. “Kamu datang ke sini tanpa mengabari
saya. Kamu datang ke sini, dengan sepatu runcing yang bisa
membuat kamu celaka kapan saja. Ada apa lagi sekarang,
Nyala? Apa lagi yang salah dengan saya? Sampai kamu
bertindak senekat ini?”

Harun tidak berniat mencerca, hanya saja kalau dipikir-pikir


lagi, pasti yang membuat Nyala nekat mendatangi tempat ini
adalah karena dirinya.

“Ada apa?” kini suara Harun lebih mendesak dari


sebelumnya. “Hal apa yang membuat kamu senekat ini?”

Mendengar penuturan pria itu, Nyala sontak memberi jarak.


“Bapak nggak berniat lebih marah lagi dari ini?”
“Maksudnya?”

“Saya mikirnya, Bapak bakal teriak-teriak sama saya,” ujar


Nyala jujur. “Mungkin, kalau Baapak teriak-teriak sekarang,
saya bakal balas teriakan Bapak sambil berdarah-darah.
Setelah itu, saya akan memutuskan pergi.”“Kamu

sedang menantang saya?”

Nyala mengangguk. Dan Harun tertawa.

Sungguh, istri sirinya benar-benar menghibur.

“Saya senang kalau kamu bertingkah sesuai usia,” cebiknya


sembari menggelengkan kepala. “Kamu benar-benar terlihat
seperti wanita muda berusia 26 tahun yang sedang terjebak
pada jalan buntu sebuah fase kedewasaan. Dan ya, saya suka
fakta jika usia kita memang terpaut sejauh itu.”

“Sekarang saya 27 tahun, Pak,” Nyala mengoreksi kalimat


Harun Dierja segera. “Hari ini, saya tepat berusia 27 tahun.”

Harun tak langsung memberinya respon seperti tadi. Sebagai

gantinya, ia menatap wanita itu lamat-lamat.

Tatapnya kemudian jatuh pada berlian yang berkilau di


lehersang istri.

Hingga sebuah kesadaran menghantamnya, dan buat dirinya


mendesah dengan berat.

Ponsel di saku celana masih terus bergetar, Harun harus


kembali karena pasti acara sudah atau sudah dimulai.
Tetapi, ia tak mungkin meninggalkan istrinya ini di sini.
Memilih mengabaikan getar di saku, Harun pun kembali
mengeliminasi jarak mereka. Kedua tangannya meraih
tangan Nyala. Menggenggam telapak tangan dingin itu
seraya menganggukkan kepalanya sedikit. “Jadi, karena itu,”
kini ia dapat menyimpulkan benang merah tersebut. “Karena
itu kamu nekat kemari?”

Nyala menggigit bibirnya.

Padahal, dirinya yang ingin memprovikasi. Tetapi nyatanya,


justru ia yang terprovokasi.

“Selamat ulangtahun,” ucap Harun sungguh-sungguh.


“Ternyata, bukan saya yang harusnya marah, ya? Tetapi kamu,”
melepas sebelah genggaman tangannya, jemari Harun beralih
mengusap pipi Nyala yang lembut. “Kamu marah karena saya
tidak ada di rumah untuk merayakan ulangtahun kamu ‘kan?”

Sejujurnya, iya.

Tapi, Nyala tidak akan mengatakannya.

“Selamat ulangtahun Nyala Sabitah. Semoga kamu diberi


kesehatan dan juga umur yang panjang,” doa Harun mengalun
perlahan-lahan.

Mata Nyala berkaca-kaca. Hormon kehamilan ini sungguh luar


biasa. Sungguh, Nyala tidak mengada-ada. Karena sering kali,
ia seperti tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri.
Kadang-kadang, ia dapat merasakan perasaan membuncah
yang tak terkendali. Tetapi tak lama berselang, ia bisa
menghabiskan harinya bergelung dilanda kesedihan.

Sebelah tangannya yang bebas mengarah pada dada Harun


Dierja yang dilapisi kemeja polos berwarna biru muda.
Telapak tangannya menyusuri serat kain di bahan tersebut
dengan kepala tertunduk. “Saya bingung, Pak,” akunya
mengaku kalah pada desakkan nurani. “Bayinya rindu
Bapak,” cicitnya tak berani memperlihatkan wajah.

Senyum Harun terbit lebar. Dengan kesadaran penuh, ia


tarik Nyala agar berada dalam dekapnya. Tangannya
mengelus punggung wanita itu, sementara hidungnya
menghirup rakus aroma Nyala yang terasa manis. “Saya
senang kamu menggunakannya,” jemarinya menyusup demi
menyentuh berlian yang menjadi bandul kalung di leher sang
istri. Ponsel Harun di dalam saku terus bergetar. Namun
keindahan Nyala tak membuatnya gentar. “Tapi pakaiannya
terlalu pendek, Nyala,” ia sentuh lengan Nyala yang hanya
tertutup setengah bahan lengan dari gaun yang dikenakannya.
“Dan kaki-kaki kamu terlihat.”

“Mayang bilang, gaunnya cocok untuk saya, Pak.”

“Benar,” Harun mengangguk setuju. Warna


burgundy tampak kontras dengan kulit Nyala yang bersih.
“Saya suka,” akunya dengan jujur. “Tapi, tidak suka kalau kamu
menggunakannya di sini.” Ada banyak pasang mata. Walau
faktanya, Nyala telah berbadan dua, tetap saja lekuk wanita itu
masih indah. “Pulang, ya?” ia merayu, bukan memerintah.
“Saya akan meminta Siska menemani kamu di apartemen.”

Mendongak, Nyala menggeleng. Ia raih tangan Harun Dierja


agar tetap berada di atas perutnya. Karena saat ini, bayi mereka
sedang aktif-aktifnya bergerak. “Saya pengin datang ke pesta,
Pak,” akunya jujur.

“Nyala—“

“Pak,” Nyala memotong ucapan Harun dengan berani. “Saya


janji nggak akan bikin ulah apa-apa. Saya bakal duduk
tenang dan berusaha keras supaya nggak menarik atensi.
Bapak kemarin nanya ‘kan, apa saya mau dibuatin gender
reveal buat mengetahui jenis kelamin bayi ini? Nah, anggap
saja, kehadiran saya ke sini untuk mencari referensi, Pak.
Kalau menurut saya acaranya bagus dan saya terhibur, saya
bakal bilang ke Bapak untuk ngebuatin saya acara seperti
ini,
Pak.”

Harun sedang berpikir, tetapi Nyala dengan sigap


menambahkan beban pikiran untuk pria itu.

Tak masalah, Nyala mahir melakukannya.

“Anggaplah saya sedang study banding, Pak. Kalau memang


ada pelajaran yang bisa saya petik, saya akan menerapkannya
segera. Tapi, jika merasa acara ini sia-sia, saya bakal
menyimpannya sebagai salah satu memori saat saya masih
berstatus sebagai istri Bapak. Bagaimana, Pak? Boleh ‘kan?”

Sungguh, Harun tak setuju.

Nyala bisa saja berada dalam bahaya bila ia terang-terangan


membiarkan wanita itu bergabung di dalam satu acara yang
sama dengannya.

“Saya janji, akan pura-pura nggak kenal sama Bapak. Saya juga
nggak akan berinteraksi dengan Bapak disepanjang acara.
Seperti yang kita lakukan di Bali, Pak. Izinkan saya, menjadi
bagian dari acara yang ada Bapaknya,” ia mengutip sedikitkata-
kata Mayang tadi. “Boleh, ya, Pak? Hari ini saya ulangtahun,
Pak. Hukumnya, wajib lho Pak, mengabulkan permintaan yang
sedang berulangtahun.”
Masalahnya, bukan tentang ulangtahun Nyala.

Melainkan, keberadaan orang-orang hebat di dalam


ballroom yang mengenal istrinya.

Harun khawatir, mereka yang akan membuat ulah.Eh, tapi

tungguh ….

Harun sedang memikirkan sesuatu.

Hm, sepertinya tidak buruk juga.

Maksudnya adalah membiarkan Nyala berada di tengah- tengah


acara.

Toh, mereka memang sudah pernah melakukannya selama


kunjungan Harun di Bali waktu itu. Nyala ia ajak serta dan
wanita itu tidak melakukan kontak fisik dengannya
disepanjang acara. Tetapi, di sana tidak ada ayah dan
ibunya,juga Kusno Aji dan Sanusi Wijaya.

“Kita sudah lama nggak ketemu, Pak. Dan setelah ini, Bapak
juga bakal sibuk untuk deklarasi ‘kan? Bayinya kangen, Pak,”
Nyala terpaksa menjual nama anaknya. Padahal,
sesungguhnya, ia yang resah karena sudah lama tak
berjumpa.

Di sana ada ayah dan ibunya, Harun terus mengulang informasi


itu dalam benak.
Di sana juga ada Kusno Aji dan Sanusi Wijaya, benaknya
menekankan fakta itu dalam otak.

Tapi ….

Ya, ada tetapi yang ia dapat di tengah-tengah keberadaan


orang-orang tersebut.

Sembari menatap Nyala tanpa berkedip, sepertinya Harun


tahu harus melakukan apa.

“Oke,” katanya dengan senyum kecil yang kini hadir


mengusir resah. “Kamu boleh menghadiri acara itu.”

Karena sepertinya, akan sedikit menyenangkan melihat raut


panik, ayah dan ibunya serta Kusno Aji dan Sanusi Wijaya
disepenjang acara.

Baik.

Harun akan mengambil resiko ini segera.

“Hubungi adik kamu. Minta dia menjemput kamu di sini.


Saya akan keluar setelah kamu keluar.”

***

Mungkin, Harun tertular kegilaan Nyala.Atau bisa jadi,

sebenarnya Harun yang gila.


Yang jelas, Harun tahu betul bahwa ayah dan ibunya tidak
memiliki riwayat penyakit jantung. Entah dengan Kusno Aji
dan Sanusi Wijaya. Sebab, Harun menolak memberikan
pertanggungjawaban bila terjadi apa-apa pada kedua pria
paruh baya itu. Ketika mereka menyadari bahwa ia malah
membawa Nyala kembali memasuki ballroom.

“Raf?”

Rupanya, banyak hal terduga yang terjadi di saat ia tidak


didampingi oleh ajudan dan juga asisten pribadinya.

“Siap, Pak.”

“Sepertinya, kamu harus merelakan beberapa jam waktu


libur kamu yang tersisa untuk saya,” dengan sangat
menyesal, Harun menghubungi ajudannya.

“Ada masalah, Pak?”

Harun mengangguk, meski Rafael tak mungkin melihatnya.


“Nyala ada di hotel saat ini,” tuturnya pelan. “Dia datang ke
acara Hasbi dengan Mayang dan juga Balarama Hutomo,”
jelas Harun. Matanya mengerling pada Nyala dan Mayang
yang berjalan tiga meter di depannya. “Kusno Aji dan
Sanusisudah mengetahui keberadaannya, Raf.”

“Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi yang lain. Butuh


supir untuk stand by di lobi, Pak?”
Rafael itu cekatan.
Harun teramat suka pada kepala ajudannya itu.

“Ya,” jawabnya langsung. “Minta Siska untuk mengenakan


pakaian biasa saja. Supaya dia bisa membaur dengan tamu-
tamu sambil menjaga Nyala.”

“Baik, Pak. Ada lagi, Pak?”

“Sampaikan permintaan maaf saya pada yang lain. Saya akan


segera mengganti waktu libur kalian dengan tambahan gaji.”

“Terima kasih, Pak.”

Walau sambungan telah terputus, Harun tetap menempelkan


ponselnya di telinga. Ia sedang pura-pura menghubungi
seseorang. Sementara matanya terus memastikan Nyala
melangkah dengan benar dan tanpa tersandung apa-apa.
Hingga kemudian, sebuah sapaan asing terdengar di telinganya.
Dan anehnya, Nyala justru menyahut seolah panggilan itu
untuknya.

“Sabitah?!”

Harun menghentikan langkah.

Seorang pria berbatik yang didominasi warna cokelat tua,


namun memiliki aksen-aksen biru di antara polanya, baru saja
keluar dari dalam lift. Awalnya, pria itu tampak ragu. Tetapi,
saat pria itu mempercepat langkah, wajahnya yang taditerlihat
tak yakin sontak melebarkan senyum hangat
seolah ia benar dalam mengenali.

“Sabitah ‘kan?”

Sabitah?

Mata Harun memicing curiga.Sabitah.

Apa maksudnya adalah Nyala Sabitah?Benar.

Itu nama istrinya.

“Astaga, ini beneran kamu, Sab?”“Mas Iqbal?”

Mas Iqbal?Siapa?

“Iya.”

Ah, jadi istrinya benar-benar mengenal pria itu.Tetapi siapa?

Hingga kemudian, celetukan Mayang membuat rasa


penasaran Harun terjawab.

Ciyee, dunia permantanan akhirnya bertemu, ya? Iqbalyang


bukan Koboy Junior, akhirnya lo terlihat bagai senior,
ya?” celetuk Mayang asal.

“Ck, May, lo masih nyebelin aja, ya, jadi adek?”

Oh, jadi begitu.

Dan Harun memutuskan untuk tidak berlama-lama melihat


reuni tersebut. Lagi pula, pintu masuk ballroom sudah
berada di depan. Ia yakin, Nyala akan masuk ke dalam dan
duduk dengan aman selama acara berlangsung.

Jadi, ia pun melangkah melewati orang-orang itu.

Tentunya dengan senyum sopan, karena ternyata masih banyak


orang di depan pintu masuk ballroom yang sedangmelakukan
scan kehadiran.

Sesampainya di ballroom, Harun langsung melangkahkan


kakinya ke dalam. Ia menuju meja yang berada paling depan.
Tentunya dengan Kusno Aji yang sudah terlebih dahulu
menempati tempat itu.

“Bagaimana? Sudah kamu bereskan?”

Tanpa berbasa-basi, Kusno Aji langsung membidik


pertanyaan.

Pria setengah baya itu langsung berdiri seolah sengaja


menyambutnya.
Letak meja yang berdekatan dengan keluarga Sanusi Wijaya,
buat Harun terpaksa harus membagi perhatian juga pada
Sanusi dan Hadi Wijaya yang telah menyembunyikan Nyala
sementara dari amukkan sang ibu.

Sambil menghela, Harun membuka tutup air mineral di meja


yang berisi kedua orangtua serta adik perempuan dan juga
iparnya. Ia juga belum duduk, masih berdiri seolah tengah
bercakap-cakap ringan dengan kandidat Presiden yang akan
menjadi pasangannya mulai esok. “Istri saya sedang
berulangtahun,” ucap Harun tenang. “Kado yang dia minta
adalah diizinkan tetap berada di sini dengan syarat tidak
boleh terluka atau terganggu. Jelas, Pak?” bukan hanya
sebuah pemberitahuan. Harun pun memberikan peringatan.
“Istri saya akan masuk ke dalam. Bapak, jangan menoleh ke
belakang. Atau rahasia kita semua akan ketahuan,”
imbuhnya penuh sarkas. Tak lupa, ia juga melempar senyum
penuh arti pada Sanusi Wijaya yang berada di sebelah
mejanya. “Pak Sanusi benar, anak perempuan Bapak itu,
memang keras kepala.”

“Harun,” geraman tertahan terdengar dari bibir Dewi Gayatri


yang tertutup rapat. Ia mendesis lirih dengan mata tajam
menghardik sang putra. “Apa-apaan kamu, Run?” desisnya
geram.

“Mam, acara sebentar lagi di mulai,” kemudian ia


memutuskan duduk di kursi tanpa memperhatikan kembali
ekspresi Kusno Aji dan Sanusi. Kedua MC yang berada di depan
meminta mereka semua berdiri untuk menyambut Hasbi dan
juga Ruby. Namun, sebelum adik dan iparnya itu memasuki
ruang. Mata Harun justru tertuju pada sang istri yang tengah
menggandeng tangan pria asing tadi. “Ke mana Mayang?”
gumamnya lirih. Ia terus mengikuti pergerakan wanita itu. Dan
ternyata, pria asing tadi membawa istrinyaduduk di meja yang
jauh dari tempatnya saat ini.

“Yang, itu Iqbal udah datang.”

Harun kontan menoleh pada sang ipar. “Kamu kenal?”


tanyanya tanpa berpikir.

“Oh, dia residen di rumah sakitku, Mas.”

Ah, jadi begitu.

Mantan pacar istrinya adalah dokter. Baiklah, Harun akan

memikirkannya nanti.

Yang terpenting, ia tahu di mana istrinya duduk saat ini.

“Aku nggak tahu deh, Yang, kalau Iqbal sudah punya istri.”

Kali ini, lirikkan Harun mengarah pada sang adik.

“Mana istrinya lagi hamil, ya, kan?”

Harla …
Harun mencoba menyabarkan hati.

Tetapi entah kenapa, lidahnya ingin meluruskan sesuatuyang


tak dapat ia terima.

“Dia istri saya,” tutur Harun tanpa diminta. “Wanita yang


sedang hamil tadi. Dia istri saya.”

Mengabaikan tatap tajam sang ibu, Harun juga mencoba tak


ambil pusing pada pendar mematikan yang dilayangkan
Kusno Aji dan juga Saanusi. Satu hal yang pasti, netranya
justru menelisik, pada pria asing yang tadi membawa
istrinya.

Baiklah, pria itu bukan apa-apa.Hanya sekadar mantanpacar.

Lagipula, Nyala jelas-jelas tengah berbadan dua, Harun tak


boleh berburuk sangka.

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ;
Delapan - Sembilan - Sepuluh ·
Karyakarsa

DELAPAN

Persisnya begini, manusia mengeluhkan kelelahan di malam


hari. Menangis tiada henti. Namun, ketika mentari telah
menyingsing, mereka harus tetap mengangkat tubuhnya yang
letih. Mengais timbunan rezeki, karena hakikat menjadi dewasa
itu berat sekali. Makanya, perandaian untuk kembali ke masa-
masa penuh kenangan saat masih menjadi anak kecil yang
menyenangkan, kerap hadir demi menggulung sepi. Tetapi
percayalah, menjadi dewasa itu seru. Kita bisa jatuh, kita dapat
bermandi peluh. Lalu, akan tetap tersenyum menatap langit
sendu. Sambil berbisik luruh, hari esok akan memberi harapan
baru.

Nyala, Mayang serta Iqbal sudah berjalan melewati lift dan


akan segera masuk ke ballroom saat mendengar suara tangis
dari pintu lift yang terbuka. Beberapa orang tampak
mengantri untuk masuk, namun tertahan karena suara
tangis itu.
“Ada apa sih?”

Mayang bukanlah orang yang gampang penasaran, tetapi entah


setan dari mana yang membuat kakinya melangkah mendekati
lift tersebut. Tanpa merasa kepayahan, ia bergerak luwes
dengan heels runcing sepuluh sentinya.
Meninggalkan Nyala yang tak mungkin ia bawa berlari. Perut
bundar kakak perempuannya bisa menggelinding bila ia
melakukan hal itu.

Aduh, membayangkannya saja sudah ngilu.

“Maaf, kalau begitu tolong tahan liftnya sebentar. Saya


akan
keluar.”

Seorang pria.

Dengan balita laki-laki yang menangis dalamgendongannya.

Sementara itu, tangan pria tersebut pun penuh. Ada


travelbag berukuran sedang yang ia bawa, serta sebuah
ransel biru mungil bergambar hiu yang diyakini pasti adalah
milik si balita yang tengah tantrum itu.

“Gakk mauu … mauu ikut Papaa ….”

“Onty Liz udah nunggu di bawah. Papa sebentar aja kok.”

“Gak mauu ….”


Suara-suara ayah dan anak itu terdengar seiring dengan
langkah kaki si pria dewasa yang menjejak lantai koridor.

“Wah, siapa nih yang lagi ngemong anak?” Mayang mengenali


pria tersebut. Dengan pendar jenaka yang sarat akan tipu daya,
Mayang berlagak membuat mimik wajah senduh yang begitu
kontras dengan tatapannya. “Istrinya mana, Mas? Kabur, ya?”
Mayang terkikik geli.

Dan pria yang dimaksud oleh Mayang adalah Rafael


Wiryawan.

Ajudan Ketua Umum Partai Nusantara Jaya yang paling


setia.

Jadi, Mayang sungguh mengenalnya.

Bahkan, sebelum kakaknya berurusan dengan atasan laki- laki


itu, ia sudah mengenal Rafael sejak berkencan dengan salah
seorang caddy senior di tempatnya bekerja dulu.
Well, ia tidak langsung memulai karir di Bukit Indah Golf.
Walau sejak lulus sekolah ia memang sudah menasbihkan diri
untuk bekerja sebagai caddy, namun tidak serta merta
membuatnya langsung bekerja di tempat bonafit itu.

Dengan jas hitam dan celana bahan yang sewarna dengan


setelan jasnya, pria itu tampak siap melakukan pekerjaan.
Namun, keberadaan anak laki-laki dalam gendongan, tentu saja
begitu kontras dengan imej dinginnya selama ini.
“Jangan kelihatan banget, ah, ngenesnya,” ledek Mayang lagi.

Sambil menarik napas, Rafael pun menurunkan


travelbag, namun tidak dengan anaknya. “Boleh saya minta
tolong?” ia hampir menyerah. Dan kebetulan ada Mayang
yang ia kenal walau tak secara personal.

Senyum Mayang terpatri usil. Ia tatap Rafael dengan netra


pura-pura menyipit. “Hm, kalau minta tolong sama gue,
syarat dan ketentuan berlaku lho,” kini Mayang
mengedipkan mata.

“Saya harus membawa anak saya ke bawa. Adik saya akan


menjemputnya,” ucap Rafael tanpa meladeni ucapan Mayang
barusan.

“Bukannya lo dikasih libur, ya?” kini Mayang memicing curiga.


Ia mendengar dari Nyala, bahwa Harun Dierja yang kadang-
kadang tak terduga, meliburkan anggotanya. “Jangan-jangan
lo mau nyari pengganti Indira kamvret itu, ya?” ia sebut mantan
istri dari pria di depannya ini.

Rafael menghela semakin berat. Tangisan putranya, sudah


sedikit mereda. Namun, pelukan lengannya di leher Rafael
justru tak mengender sama sekali. “Saya sedang
staycation di sini bersama putra saya. Sengaja, supaya kalau
Bapak membutuhkan, saya dapat segera tiba. Dan beberapa
saat lalu, Bapak memanggil saya. Jadi, saya harus datang.”

Uhm, dasar bucinnya Harun Dierja,” cebik Mayang sok


sebal. “Gue yakin deh, dulu si Indira jablay itu, pasti nanya,
siapa yang bakal lo pilih, dia atau Harun Dierja. Dan jawaban lo
pasti atasan lo itu ‘kan?”

“Bukan urusan kamu.”

Kini Mayang mencibir.

“Jadi, kamu mau membantu saya?”

“Bantu apa? Pura-pura jadi istri lo?” sahut Mayang


mengada-ada. “Hm, boleh deh,” ia menyentuhkan
telunjuknya di lengan ajudan tersebut. “Nafkah lahir batin gue
mahal. Lo sanggup?”

Sungguh, Rafael tak punya waktu untuk meladeni tingkah


Mayang ini. Sebab matanya, sudah melihat sendiri bahwa
istri siri sang atasan memang berada di tempat ini. Ia
khawatir bila di dalam nanti situasi akan berlangsung kacau.
“Saya bisa minta bantuan kamu?” ulangnya sekali lagi.

Mayang pura-pura mencebik. Ia tarik telunjuknya dan segera


bersidekap di atas dada. Kemudian, mengarahkan
tatapannya ke arah Nyala. “La!” ia memanggil saudaranya
itu. “Lo masuk duluan aja, ya? Gue mau ngebantuin fakir
kasih sayang dulu,” celotehnya sambil menunjuk Rafael
tanpa sungkan. “Bal, please, lo berguna, ya, jadi mantan.
Gandengin Nyala sampai tempat acara.”

“Nggak berani gue, May,” balas Iqbal sambil tertawa.

“Nggak berani kenapa?” ketika ia melihat dagu Iqbal


mengarah pada perut kakaknya, Mayang langsung
memasang seringai. “Nggak apa-apa, Bal. Nyala janda.
Lakinya udah gugur di medan laga. Lo boleh kok gandeng dia
ke mana-mana.”

“May!” Nyala berseru tak terima.

Namun Mayang mengabaikannya. Ia hanya melambai pada


kakaknya itu, kemudian kembali melabuhkan atensi pada duda
di hadapannya ini. “Oke, apa yang sekarang bisa guebantu, Mas
ajudan?”

Sungguh, ia senang bermain-main dengan pria kaku.

***

“Yang Mayang bilang tadi bener?”

Mereka sudah berada di dalam ballroom.

Nyala duduk bersama Iqbal dan rekan-rekan seprofesi lelaki itu.


Ia diperkenalkan sebagai temannya. Kemudian mengalirkan
kisah, bahwa mereka sempat berpacaran saat SMA. Riuh
sahutan dari teman-teman Iqbal membuat Nyala
meringis. Mereka langsung menertawakan Iqbal dan
mengatakan bahwa Iqbal pasti menyesal telah melepasnya.
Terlepas dari kondisinya yang tengah berbadan dua, teman-
teman Iqbal justru semakin mengasihani lelaki itu karena telah
ditinggal menikah olehnya.

Sungguh, Nyala masih tidak percaya pada pertemuan ini.

Namun, satu hal yang pasti.

Iqbal mengakuinya tanpa paksaan.

Iqbal mengenalkannya pada teman-teman pria itu bahwa dulu


mereka sempat menjalin hubungan.

Ya, sejak dulu, Iqbal memang tidak pernah


menyembunyikannya dari semesta mungil yang dimiliki lelaki
tersebut.

Iqbal kerap memintanya menunggu laki-laki itu saat


ekskul Paskibraka.

Iqbal membawanya menonton pertandingan sepak bola


bersama.

Iqbal juga datang ke rumahnya setiap Sabtu malam seperti


remaja-remaja pada umumnya.

Benar.
Iqbal selalu seterang-terangan itu padanya.
Seolah, lelaki tersebut bangga telah memilikinya. Astaga ….

Nyala mengusap dadanya yang berdenyut nyeri. Sapuannya


kemudian beralih pada perut bundarnya yang berisi janin
milik Harun Dierja. Pria yang tak mungkin mengenalkannya
pada dunia yang dihuni oleh sang kandidat calon wakil
Presiden itu. Dirinya merupakan aib nyata yang dimiliki
Harun Dierja yang kerap dinilai tanpa cela. Siapa pun tak
akan percaya, bahwa ketua umum partai Nusantara Jaya itu,
melanggar norma dan menghamilinya di luar pernikahan.

Dan di manakah pria itu berada?Di sana.

Di meja paling depan dan tengah bercengkrama dengan


keluarganya.

Sementara dia berada jauh di belakang pria itu dengan


kandungan berusia tujuh bulan lebih. Di mana, bayi mereka
sedang aktif-aktifnya bergerak demi memberitahu bahwa
eksistensinya nyata.

Pilu.

Itulah yang Nyala rasakan saat ini.

“Sabitah?”
Sabitah ….

Kepalanya menoleh ke arah Iqbal Ghifari. “Aku pikir, dulu Mas


bakal jadi polisi,” tutur Nyala saat baru tadi mengetahui profesi
mantan kekasihnya itu. “Dulu, Mas udah masuk pelatihan
‘kan?” Mayang sudah kembali dari misi membantu Rafael.
Namun Nyala sudah terlanjur duduk bersama Iqbal. Agak segan
berpindah meja, karena teman-teman Iqbal begitu ramah
padanya. “Mas gagal?”

Iqbal mengangguk. Suasana di ballroom ini memang tengah


riuh. Namun untung saja, meja yang ia tempati cukup jauh
dari jangkauan MC dan beberapa orang penyanyi yang hadir
untuk memeriahkan acara ini. “Kenapa kabur dari rumah
waktu itu?” tanya Iqbal ingin tahu. “Karena kelakuan
mamaku?”

Nyala ingin menggeleng, tetapi entah kenapa ia justru


mengangguk membenarkan. “Aku malu, Mas,” aku Nyala
dengan jujur. “Malu setelah dilabrak mamanya Mas Iqbal.
Terus aku juga malu sama kelakuan mamaku. Aku pengin
mamaku tobat dan berhenti godain bapak-bapak itu. Tapi
semakin dilarang, mamaku semakin menjadi-jadi, Mas.”

“Mas datang ke rumah sewaktu mama kamu meninggal. Tapi


kamu nggak ada di sana.”
Nyala ada.
Ia ada di rumah waktu itu.

Hanya saja, ia mengurung diri di kamarnya.

Ia terlalu takut bertemu dengan Iqbal yang dipikirannya kala itu


telah berhasil menjadi polisi. Sementara dirinya, hanyalah
tukang fotocopy. Berita kaburnya dirinya tentu saja
menggemparkan waktu itu. Mamanya bahkan menuduh Iqbal
yang membawanya kabur. Sampai-sampai, mamanya
mendatangi rumah orangtua Iqbal untuk meminta
pertanggungjawaban. Padahal, mereka sudah putus lama.
Iqbal yang satu tingkat di atasnya, bahkan sudah memulai
pelatihannya untuk masuk di akademi kepolisian. Nyala juga
sudah selesai melaksanakan ujian.

“Setelah itu, kamu nggak pernah pulang ‘kan?” Iqbal mengejar


jawaban.

Memilih tak menanggapi.

Perasaan Nyala justru carut marut saat melihat ayah dari bayi
di dalam perutnya ini, justru sudah berada ke atas panggung
bersama dengan keluarga pria itu. Acara utama peletusan
balon akan segera di mulai. Dan para keluarga yang
mengenakan dress code pink dan blue diminta bersama-
sama untuk naik ke atas panggung tersebut.

“Meriah, ya, Mas?” gumamnya miris. Hampir menangis, karena


di saat seperti ini justru gerak bayinya semakin tak
terkendali di dalam perutnya. “Ssshhh …,” ia mengusap perut
sementara netranya terus tertancap pada pria berkacamata
yang berdiri di samping adik perempuan pria itu. “Padahal,
anak ketiga, ya, Mas? Tapi sambutan untuk kelahiran bayinya,
luar biasa.”

Sumpah, Nyala iri. Sungguh, Nyala cemburu.

Hingga ketika kehebohan semakin tak terkendali, begitu


balon hitam yang berada di tengah-tengah tadi meletus dan
mengeluarkan balon-balon kecil berwarna pink dari
dalamnya. Dan yang bisa Nyala lakukan adalah menangis
tanpa sadar. Air matanya mengalir. Sementara gurat
kepedihan di wajahnya tercetak jelas.

“Mereka bahagia,” gumam Nyala dalam hati.

Bayi perempuan dalam kandungan Ruby, disambut dengan


banyak cinta.

Mereka yang berada di depan sana, saling berpelukan


sambiltertawa.

Dan yang lebih menyakitkan, ada suaminya juga.Ayah

kandung dari bayi dalam perutnya.

Nyala tidak sadar ketika ia meremas sejumput kain yang


melapisi perutnya. Hatinya patah begitu saja. Ia sukses
menyakiti diri sendiri dengan nekat datang ke acara ini.
Selamat, harapannya itu terkabul.

“Nggak apa-apa, ya?”

Tetapi masalahnya, kini ia yang hampir binasa merasakan


pedihnya tusukkan belati yang menancap di sanubari.

Ya, Tuhan ….

Mengapa mereka tega sekali?

Mengapa mereka sanggup bersenang-senang sendiri?

Sementara di rahimnya, juga ada bayi yang akan lahirsebentar


lagi.

Tapi kenapa, tak seorang pun bersuka cita menyambutnya?

Kenapa, tak seorang pun teringat pada bayinya?

Benarkah dirinya tak seberharga itu bagi dunia?Tapi

kenapa, harus bayinya juga?

“Sab?”

Sebuah panggilan terdengar lirih, Nyala menoleh berbarengan


dengan sebuah tangan yang menggenggam tangannya dengan
berani.
“Kamu masih suka Cornetto yang dijaman kita pacaran dulu,
harganya selangit?”

Nyala masih tertegun, tak memberi tanggapan. Hatinya kacau,

jiwanya risau.

“Temenku ada yang buka kafe. Dessertnya juara banget, Sab.


Rasanya, kayak Cornetto yang dulu kamu suka banget. Ke sana,
yuk?”

Air matanya masih melintasi pipi, tetapi tak sedikit pun Iqbal
mencoba menegurnya. Pria itu juga tidak menghapusnya.
Hanya mengajaknya berdiri, di saat Nyala sendiri tidak tahu
harus ke mana ia langkahkan kakinya.

“Mas?”

“Anggaplah aku percaya omongan Mayang tadi. Aku mauajak


kamu pergi.”

Ucapan Mayang?

“Nggak apa-apa, Bal. Nyala janda. Lakinya udah gugur


dimedan laga. Lo boleh kok gandeng dia ke mana-mana.”

Nyala tahu, ia seharusnya tidak mengikuti ajakan Iqbal.Ia

adalah wanita bersuami.

Terlebih, laki-laki yang menikahinya adalah salah satu


kandidat pemimpin negeri.
Seharusnya, ia diam saja dan terus bersembunyi. Sebab
dikhawatirkan gerak-geriknya akan memicu sebuah sensasi.
Tetapi kali ini, Nyala benar-benar lelah menjadi rahasia. Ia
ingin dikenalkan dengan banyak orang. Ia letih menerima
takdirnya begitu saja. Jadi, kali ini, tolong biarkan ia
menjadidiri sendiri.

“Aku mau, Mas.”

Ya, sesekali.

Biarkan ia melakukan hal ini.

***

Harun menatap kepergian wanita itu dengan rahang mengerat


kaku.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa dengan jelas melihat siapa- siapa


saja yang keluar dari tempat ini. Tak pernah berpikir bahwa
istrinya adalah bagian dari segelintir orang yangmelewati pintu
ballroom dan tak kembali.

Kedua tangannya terkepal, sejurus kemudian, ia menatap sang


ajudan yang tengah berbicara dengan ajudan lainnya secara
berbisik. Dan ketika akhirnya kepala ajudannya itu melangkah
menuju panggung yang berisi keluarganya yang tengah bersuka
cita, Harun tahu berita yang dibawa pria itu sama sekali
bukanlah hal yang dapat menggembirakannya.
“Mbak Nyala pergi, Pak,” bisik Rafael sambil menghela.

“Ke mana?” rahang Harun semakin kaku. Ia menatap tajam


pada meja tempat berkumpulnya dokter-dokter dari rumah
sakit milik keluarga iparnya tadi. “Ke mana?” ulang Harun
dengan nada diliputi emosi tertahan. Ia harus tahu ke mana
istrinya pergi.

“Siska masih mengikutinya, Pak.”

Kini, tatap tajam Harun mengarah pada sang ajudan.


“Dia
keluar dari hotel ini?”

Rafael mengangguk, berat. “Benar, Pak. Saat ini, Mbak


Nyalasedang berkendara.”

Sial! Berengsek!

Harun harusnya mengeluarkan umpatannya.

Tetapi, karena banyaknya pasang mata yang mengikuti


geraknya, Harun terpaksa hanya mampu membalikkan
tubuhnya. Napasnya mendengkus kesal. Sementara kepalan
tangannya sudah siap untuk menerjang. “Selidiki tentang
dokter tadi. Tanya pada caddy itu,” ia menunjuk Mayang
dengan dagu. Sepertinya, adik istrinya itu sama sekali tidak
mengetahui bahwa Nyala telah pergi dari tempat ini. “Shit!”
umpat Harun lirih sekali.
Sungguh, inginnya adalah berlari dan mengejar istrinya.
Membawa Nyala kembali ke apartemen mereka. Lalu
memastikan wanita itu tidak ke mana-mana. Nyala harus
berada di tempat teraman versinya. Agar dia dapat mengarungi
hari-hari dengan keyakinan bahwa wanita itu baik-baik saja.

Tetapi ….

Astaga ….

Ia memang memiliki kendali penuh atas hidupnya sendiri.

Namun, tidak dengan rahasia yang dimilikinya.

Nyala.

Ya, wanita bergelar istrinya itu, merupakan rahasia yang


harus ia sembunyikan dari dunia politiknya. Padahal, akhir-
akhir ini, Harun ingin sekali membawa wanita itu terus
bersamanya. Ia mulai menyukai konsep berpergian
membawa istrinya. Ia senang saat mengetahui ada Nyala
yang menunggunya setelah ia lelah seharian berinteraksi
dengan orang-orang banyak.

“Beri saya kabar secepatnya,” pengendalian dirinya begitu


sempurna. Walau emosi telah berada di ubun-ubun kepala,ia
masih bisa memberikan tepuk tangan meski ia tidak tahu entah
untuk apa. “Minta Siska membawa Nyala ke
apartemen. Saya akan segera ke sana, begitu acara sialan ini
selesai,” gumamnya sembari mempertahankan wajah keras.
“Sekarang, Rafael. Kerjakan semua itu sekarang.”

“Baik, Pak.”

Acara ini merupakan momen sialan yang membuat Harun


harus terjebak hingga usai.

Sebab, setelah gender reveal berakhir, ia dan Kusno Aji akan


menyambungnya dengan pidato singkat demi mengamankan
suasa para tamu undangan yang datang ke sini.

“Ada apa?”

Begitu Harun turun dari panggung, Sanusi Wijaya segera


menanyainya.

“Ajudanmu terlihat sibuk sekali.”

Harun membuka penutup air mineralnya tanpa sabar.


Seharusnya, ia menuang air dari dalam botol itu ke gelas.
Tetapi karena emosinya tak kunjung reda, Harun meneguk
saja langsung dari botolnya. “Well, anak Anda memang
sangat sulit diatur, ya?” sindir Harun memperlihatkan
seringai. “Baru saja, dia kabur dengan mantan kekasihnya,
tepat di depan suaminya sendiri,” tambah Harun dengan
ucapan pelan. “Dan, ya, ajudan saya sedang sibuk mencari
keberadaannya,” ia remas botol air mineral itu dengan
geram.

***

SEMBILAN

Selalu ada sebab, dibalik perubahan sikap. Entah itu karena


letih yang menyandra diri. Atau bisa saja, karena tak lagi
dihargai. Bila membuat orang senang malah merusak
sanubari, maka berhenti. Dunia ini terlampau ngeri jika
hanya digunakan tuk mengiris nadi.

Nyala mematikan ponselnya, entah untuk apa. Ia hanya ingin


menikmati hari-hari dengan melakukan hal yang ia suka.
Sempat didera bimbang, bahwa bisa saja Harun Dierja akan
mencarinya, namun Nyala meneguhkan hati. Hari ini
ulangtahunnya.

Ia ingin merayakan pertambahan usia dalam kondisi


berbadan dua. Jadi, tolong biarkan saja ia menikmati
harinya. Walau faktanya, tak ada yang berharga saat
kelahirannya. Bahkan, ia tidak yakin apakah kedua
orangtuanya menginginkan keberadaannya 27 tahun yang
lalu.

Well, darah Sanusi Wijaya yang mengaliri tubuhnya, ternyata


tidak membuatnya istimewa. Karena pada akhirnya, ia hanya
akan dikenal sebagai putri Lidia Lestari yang suka menggoda
pria-pria beristri.

Astaga, tolong jangan nodai suasana hatinya yang membaik ini.

Semangkuk es krim dengan tiga buah red cherry di atasnya,


sedang bersarang di lambungnya. Buat bayinya bergerak
tiada henti, seolah paham bahwa es krim adalah salah satu
kegemarannya.

Sambil memandang teduh perutnya, Nyala menerbitkan


senyum. Terserah, bila 27 tahun yang lalu tidak ada yang
menginginkan kelahirannya. Tetapi untuk bayinya, hal itu
jelas berbeda. Ia bahkan tak sabar bertemu dengan penghuni
rahimnya saat ini. “Memang kalau habis makan es krim
ataucokelat, bayinya suka makin aktif gini, ya, Mas?”

Mereka masih berada di kafe milik temannya Iqbal. Dan


dessert ice cream yang disombongkan Iqbal tadi, memang
sangat enak. Nyala menyukainya. Dan ia berjanji akan
datang ke sini suatu saat nanti.

“Aku juga suka, Mas.”

Iqbal hanya melempar senyum geli. Di kepalanya


berseliweran ragam pertanyaan yang sulit untuk diabaikan.
Ia pilih satu yang paling mendesak menurutnya. “Suami
kamu benar-benar udah meninggal, Sab?”
“Hah?”

“Kamu terlihat nggak bahagia,” tutur Iqbal jujur. “Walau Mas


juga nggak percaya omongan Mayang tadi. Tapi kesedihan
kamu yang tadi Mas lihat, mengindikasikan banyak beban
berat. Boleh ‘kan, kalau Mas berprasangka, kalau suami kamu
sudah meninggal?”

Nyala tersenyum geli.

Pendar matanya mengerling jenaka pada lawan bicaranya.


“Suamiku masih ada kok, Mas,” jawabnya dengan senyum kecil.

“Di mana?” Iqbal hanya ingin memastikan bahwa Nyala baik-


baik saja.

“Ada,” jawab Nyala lagi. “Dia di sini kok.”

Iqbal tak berani bertanya lebih.

Jadi, ia pun diam kembali sembari mengarahkan pandangan


ke seluruh sudut kafe yang cukup ramai di Minggu siang ini.
Rata-rata adalah remaja. Entah itu berpasangan, atau
bersama teman-teman.

“Mas Iqbal udah nikah?” kini Nyala yang bergantian


mengintrogasi.

Dan jawaban Iqbal adalah dengan mengangkat kedua telapak


tangannya menghadap Nyala. “Belum ada cincin ‘kan?”

Nyala seketika mendengkus dibarengi tawa kecil. “Jadi


artinya apa, Mas? Karena suamiku juga nggak pakai cincin
kok,” imbuhnya kemudian. Netranya beralih menatap cincin
pernikahannya. Namun, seperti yang ia katakan tadi, Harun
Dierja tidak mengenakan cincin di jari manapun. Sebab,
pernikahan mereka hanya diketahui oleh segelintir orang.

“Artinya, aku belum nikah, Sab.”“Kenapa, Mas?”

“Ya, masih mau ngejar spesialis, Sab. Lagian, belum ada


yangsecantik kamu mampir di hidupku lagi,” Iqbal
cengengesan.

Well, ia hanyalah pria 28 tahun yang masih memikirkan


visualisasi dari sebuah pasangan. Terlebih, ia masih
mengejar karir kedokterannya. Jadi, untuk menikah
sekarang ini, ia sama sekali belum memikirkannya.

“Mayang belum nikah, Mas,” tanggap Nyala sambil


mendengkus kecil.

“Mayang tuh tahu banget kalau dia cantik. Terus, dia dulu jadi
mayoret, ya, Sab? Jadi, ya, ia ngerti banget cara nonjolin diri.”

Sementara Nyala, selalu hidup dengan tekanan bahwa ibunya


adalah wanita yang tidak benar. Dan ia merasa harus
menanggung malu atas perilaku sang ibu. Padahal seharusnya,
ia tak perlu memikirkan hal itu.

“Kamu jutek banget dulu. Mainnya juga sama anak-anak


yang biasa aja. Tantangan banget lho, Sab, waktu pertama
kali say hello ke kamu,” aku Iqbal jujur. “Kamu cuek. Untung
aja, aku tahu kamu adiknya Bagus. Makanya, PDKTnya ke
Bagus dulu baru ke kamu.”

Mengingat hal itu Nyala jadi tertawa. “Pertama kali datang, Mas
bukannya bawa bakso atau martabak, ya, tapi knalpot racing
second buat Bagus.”

“Betul,” Iqbal tertawa bila mengingatnya. “Abis, kamu susah


banget dideketin. Mau nyoba minta tolong sama Mayang,
adik kamu itu rese banget.”

Hubungan Nyala dan Mayang memang tidak pernah baik.

Dan semakin renggang ketika mereka memasuki masa putih


abu-abu.

“Dulu, Mayang pernah suka sama temennya Bagus juga. Terus,


temennya Bagus itu suka sama aku, Mas,” Nyala tak akan lupa.
Itu memang bukan pertama kalinya ia dan Mayang
bertengkar. Namun menjadi yang pertama, ketika mereka
bertengkar hanya gara-gara cowok. “Bagus ‘kan sekolahnya di
SMK bagian otomotif, jadi temennya cowok semua. Suka banget
main ke rumah. Ada yang namanya
Fahri, ganteng emang. Cuma perokok, aku nggak suka. Eh,dia
yang suka aku.”

Cerita mengenai masa muda memang menyenangkan.

Apalagi, bercerita dengan orang-orang yang berasal dari masa


yang sama dengannya.

Maka, Nyala pun tak lagi merasakan kecanggungan. Semua


mengalir begitu saja. Mereka saling tertawa, menertawakan
kekonyolan semasa remaja. Juga pada kisah cinta mereka yang
kandas. Membuat sejenak saja Nyala lupa, bahwa hidupnya
yang sekarang tidak sesederhana kisah masalalunya. Kini,
hidupnya bertalian dengan Harun Dierja, Sanusi Wijaya, juga
martabat partai Nusantara Jaya.

Ia memang bukan yang teristimewa.

Namun, kemunculannya dapat membuat sebuah partai


kehilangan eletabilitasnya, seorang ketua umum partai,
kehilangan martabatnya. Juga, ia mampu menenggelamkan
citra bersih dari koalisi yang bersiap mengampanyekan diri
sebagai pemimpin negeri.

Well, ia memang bukan yang teristimewa. Karena ia, adalah aib

yang tak semestinya ada.Ya, Tuhan ….


“Papa sama mamaku udah meninggal, Sab.”

Sekali lagi, Nyala terhenyak.

Kenyataan yang diucap Iqbal tanpa aba-aba, membuat Nyala


mengerjap.

“Apa, Mas?”

Iqbal memainkan sendok di piringnya. Sebelum kemudian,


tersenyum tipis demi memulai mengisahkan kepergian
kedua orangtuanya. “Papa meninggal sewaktu tugas,
ehm, nggak lama setelah mama kamu meninggal, Sab. Terus
mamaku meninggal setahun yang lalu. Mama ‘kan, memang
punya riwayat hipertensi. Tiba-tiba pingsan waktu lagi belanja.
Pas dibawa ke rumah sakit, ternyata pembuluhdarahnya sudah
pecah.”

Nyala menelan ludahnya, tiba-tiba.

Ia teringat pada sumpah jahatnya beberapa tahun lalu, usai


dilabrak oleh ASN berpangkat tinggi itu.

Dan kini, ia mendengar bahwa orang tersebut telah


meninggal dunia.

Sungguh, ia jadi merasa jahat.

“Ja—jadi, sekarang Mas tinggal di mana?”


“Nyicil apartemen,” Iqbal melengkungkan senyum tipis.
“Mbak Intan udah nikah, Sab. Sekarang tinggal di Semarang
sama suaminya. Ismi juga udah kerja di Bandung. Ya, sekarang
kami mencar-mencar.”

Nyala ingat, seperti itulah impiannya dalam hidup.

Menikah dengan seorang pria yang tak lagi memiliki


orangtua. Lalu, tidak dekat dengan keluarganya. Dan
setelahnya, hanya ada mereka saja dalam biduk rumah
tangga. Barusan, Iqbal menyampaikan impiannya tersebut
secara gamblang. Buat Nyala langsung menelan ludah.

Kenapa, Tuhan?

Kenapa ada takdir pertemuan ini setelah sekian lama?

Mungkinkah ….

Namun gerakkan bayi di dalam perutnya membuat Nyala


seketika sadar.

Ia telah menikah dan sedang hamil besar.

Bisa-bisanya, ia memikirkan takdir lain yang tak mungkin


lagi terjadi padanya?

Ya, ia sudah menikah.

Dengan pria yang memiliki keluarga cemara. Dekat dengan


para saudara. Juga tak mungkin jatuh bangun dalam
membangun kehidupan. Sebab, pria itu telah memiliki
segalanya.

“Aku juga kuliah, Mas,” entah untuk apa informasi itu ia beri.
“Tapi, cuma sampai D3 aja.” “Oh, ya? Wah, hebat, Sab.”

Iqbal memujinya.

Dan tak ada alasan bagi Nyala untuk tak menerbitkan


senyuman.

“Sekarang kerja di mana, Sab?”

“Resepsionis di partai Nusantara Jaya, Mas. Di gedung


utamanya,” ia tak sungkan untuk memberitahukan
pekerjaannya.

“Sekarang masih kerja?”

Resign, Mas. Lagi hamil gini,” tawanya terasa hambar.

Iqbal mengerti.

Dan sekali lagi, ia tatap mantan pacarnya itu lamat-lamat.

Ia basahi bibirnya sebentar hanya tuk menyuarakan pertanyaan


lain yang mendesak.

“Suami kamu baik ‘kan?”

Nyala tidak butuh waktu lama untuk mengangguk dengan


yakin. “Suami aku baik, Mas,” tuturnya jujur. Harun Dierja
memang baik. “Dia baik,” Nyala meyakinkan. “Cuma,
mungkin kami ketemu di waktu yang nggak baik. Sampai
akhirnya, situasi yang kami alami pun kurang baik.”

Mereka tidak memulai hubungan dengan rasa tertarik


apalagi cinta. Keberadaan bayi dalam perut Nyala
merupakan alasan dari kebersamaan mereka. Tetapi semakin
lama, Nyala dengan mudah hanyut dalam pesona Harun
Dierja. Walau tak setiap hari berjumpa, Nyala yakin debar di
dadanya adalah sesuatu yang minta diberi nama.

Ketika ternyata Nyala terhanyut dalam pikirannya yang


resah. Iqbal telah berdiri menggeser kursi. Sama seperti
ketika di ballroom hotel tadi, ia juga mengulurkan tangan,
meminta Nyala untuk menyambutnya.

“Mas antar pulang, ya?”

Pulang?

“Kamu harus istirahat.”

Nyala mengangguk.

“Mau Mas antar pulang ke mana?”

Ya, ke mana?

Bukankah Nyala tidak memiliki rumah?


***
Harun bukanlah orang yang gampang terdistraksi oleh suatu
masalah.

Ia begitu pandai menyiasati pikirannya, agar tetap fokus pada


apa pun tujuan yang sedang ia usahakan. Apalagi bila hal itu
termasuk pekerjaan atau kepentingan partai.

Namun kali ini, Harun harus mengakui, ia terus gelisah


disepanjang sisa acara. Bahkan, pidato yang ia sampaikan tadi,
begitu singkat dan terdengar tergesa-gesa. Ketika kader-
kadernya yang hadir di sini bertanya, apa ia sedang sakit, Harun
hanya menjawab bahwa ia tengah dilanda kegugupan
menjelang deklarasi pengukuhan esok hari.
Kemudian yang ia dapatkan dari mereka adalah kalimat
penyemagat.

Padahal yang terjadi adalah, ia sedang memikirkan istrinya


yang menurut laporan tidak kembali ke apartemen. Sedari
siang sampai sore ini, sang istri masih bersama laki-laki yang
ia ketahui bernama Iqbal itu. Dan alih-alih pulang ke
apartemen, istrinya yang menurut Sanusi Wijaya “sulit
diatur”, malah datang ke rumah kakak laki-laki dari wanita
itu.

Sungguh, Nyala benar-benar sedang menguji kesabarannya


hari ini.
Pertama, wanita itu datang ke sini tiba-tiba.
Lalu setelahnya, malah menghilang tak tahu ke mana.

“Mbak Nyala tidak ingin pulang ke apartemen, Pak.”

Rafael datang dengan laporan baru yang diterimanya dari


Siska. Ia sengaja berbisik pada sang atasan, agar tak ada
orang lain yang mencuri dengan pembicaraan mereka.

“Apa perintah selanjutnya, Pak?”

Harun diam.

Matanya mengamati para politikus yang hadir di acara ini. Ia


menatap satu per satu dengan wajah minim ekspresi. Namun
percayalah, pikirannya sedang ribut membaca situasi saat ini.
“Sekarang jam berapa?” tanyanya tanpa riak emosi.

“Jam setengah lima sore, Pak,” jawab Rafael cepat.

Pesawatnya menuju Yogyakarta akan berangkat jam


sembilan malam. Dan itu berarti ia nyaris tidak memiliki
waktu untuk mengurusi keberadaan Nyala. Walau barang-
barang yang akan ia bawa telah dibereskan oleh para
anggotanya, tetap saja ia masih memiliki segudang
pertemuan yang harus ia hadiri.

“Siska sudah membujuk Mbak Nyala untuk kembali ke


apartemen. Tetapi, Mbak Nyala menolak, Pak.”
Harusnya, ia biarkan saja istrinya itu berada di rumah Bagus
Cendarkna. Toh, pria tersebut adalah kakak istrinya. Tak
masalah. Lagipula, ia bisa mengirim anak buahnya untuk
berjaga di sana. Tetapi sayangnya, Harun punya pemikiran
gila.

Alih-alih tetap berada di tengah acara, ia justru bangkit dari


kursinya tiba-tiba.

Ia yang akan menjemput wanita itu segera.

Setidaknya, ia harus memastikan Nyala berada di


apartemennya di saat ia harus terbang demi deklarasi esok hari.

“Pak,” Putra yang telah kembali setelah cuti yang diberikan


sang atasan, langsung berdiri sigap mengikuti. Ia juga sudah
mengetahui berita terkini mengenai keberadaan Nyala
Sabitah. Dan ia bersumpah, ia dapat membaca pikiran
atasannya itu sekarang juga. “Jangan, Pak,” cegahnya dengan
gumam rendah. “Tetap di sini, Pak,” ujarnya lagi dengan
nada yang sama pelan seperti sebelumnya. “Sebelum kita
berangkat ke bandara, Bapak akan makan malam bersama
Pak Gideon dan juga Pak Kusno. Selangkah lagi, kita akan
dapat dukungan penuh dari Pak Gideon serta seluruh media
miliknya.”

Lucas Aminoto berhasil melaksanakan tugasnya.

Entah bagaimana sepupu Harun itu melakukan negosiasi


dengan Gideon Sutjatmoko, yang jelas, bos televisi tersebut
bersedia menjadwalkan makan malam dengan Harun dan
Kusno Aji pukul enam sore nanti.

“Pak, semua kader kita bergantung pada Bapak.”

Putra bukan jahat.

Hanya saja, ada kepentingan orang banyak yang


dipertaruhkan di sini.

Jadi, ia pun harus mengingatkan atasannya itu agar tidak


bertindak gegabah.

Sebab, untuk sampai di titik ini, mereka sudah melalui


banyak kejadian yang memusingkan kepala. Atasannya itu
harus ingat, bahwa apa yang mereka kerjakan saat ini
bukanlah untuk mereka sendiri. Ada harapan baik yang ingin
mereka semogakan demi negeri ini.

“Saya akan memastikan Mbak Nyala aman, Pak,” janji Putra


sungguh-sungguh. “Kita tidak bisa mengacaukan semua kerja
keras kita, Pak.”

Harun menghela.

Ia tutup mata seraya melepas kacamatanya.

Putra dengan segala sikap rasionalnya, selalu dapat


diandalkan bila Harun sudah bertindak tidak tahu diri.
Sembari menghela, ia buka mata dan menatap sang asisten
dalam diam. Ketika akhirnya ia mengenakan kacamatanya
kembali, Harun baru menyadari bahwa sudah banyak pasang
mata yang menancapkan atensi pada mereka.

“Kalau Bapak mengizinkan, saya sendiri yang akan mengecek


kondisi Mbak Nyala sekarang. Saya berjanji, akan kembali
secepatnya sebelum acara makan malam di mulai.”

Harun terjerat oleh kepentingan politik yang mengikat.

Harun harus tunduk demi kepentingan golongan dan


masyarakat.

Di dalam susunan agendanya yang padat menjelang


deklarasi, siapa yang akan menyangka bahwa istrinya
mampu membuatnya resah. Namun sayangnya, Harun tak
berdaya ketika nyatanya ia terjegal realita.

“Bapak adalah ketua umum partai Nusantara Jaya.”

Ya, benar.

“Dan besok, Bapak juga akan bergelar sebagai bakal calon Wakil
Presiden.”

Putra harus bersikap kritis di saat atasannya mulai


memalingkan perhatian pada tujuan yang dengan susah payah
mereka daki.
“Pertemuan ini sangat penting, Pak.”

Dan sekarang, kepala Harun yang terasa pusing.

Karena jauh di sudut hatinya, ia ingin menyuarakan bahwa


Nyala pun sama pentingnya. Sayang sekali, ia tidak mampu
mengatakannya.

“Ada apa Pak Harun?” seorang pejabat pemerintahan


menghampirinya. Wakil ketua DPR RI, Zulfikar Firdaus,
menelisik Harun dengan kening berkerut. “Ada masalah, Pak?”

Panggung politik itu bak wadah sebuah pertunjukkan. Terlalu

banyak kepura-puraan.

Dan tak sedikit pula kebohongan.

Harun pun, mulai mahir bermain peran. Berakting demi


menutupi dusta, bukan lagi masalah baru untuknya. “Oh,
nggak ada apa-apa, Pak,” senyum profesionalnya terbit
hanya agar wajah kakunya tak terlihat menyeramkan. “Saya
hanya ingin ke toilet,” tuturnya sembari melangkah menjauh
dari mejanya. “Mari, Pak.”

Diikuti oleh asisten dan juga ajudan, Harun memang keluar


dari pintu ballroom dan berbelok ke arah toilet pria.

“Bagaimana, Pak?” ketika menyadari toilet itu kosong, Putra


kembali menanyakan jawaban dari sang atasan. “Apakah saya
diperbolehkan menjemput Mbak Nyala untuk dibawa ke
apartemen Bapak?”

Harun mencuci tangannya di westafel, matanya menatap


cermin yang memantulkan bayangannya juga kedua
bawahannya yang paling setia. Sebelum kemudian ia
menggelengkan kepala. “Tidak perlu,” tuturnya singkat.
“Biarkan dia di sana.”

Sebab, ia sudah memiliki rencana.

Dan ia harap, tidak ada yang menghalanginya. “Saya hanya

perlu bertemu dengan Gideon ‘kan?” Itu mudah.

Harun akan melaluinya.

“Benar, Pak.Baik.

***

SEPULUH

Nyala selalu bertindak nekat, namun ia jarang bertingkah


impulsive.

Well, bagi Nyala, nekat dan impulsive itu merupakan dua hal
yang berbeda.

Nekat merupakan wujud dari usaha terakhirnya atas sesuatu


yang tak bisa ia dapat dengan mudah. Namun, ia tetap
mengetahui konsekuensinya. Berbeda dengan
impulsive. Karena impulsive merupakan keinginan tiba-tiba
yang terlintas di kepala, kemudian ia melakukannya tanpa tahu
bahaya atau konsekuensi dari tindakannya tersebut.

Dan ya, Nyala baru saja melakukan tindakan


impulsive dengan meminta Iqbal mengantarnya ke rumah
Bagus.

Ah, maksud Nyala, rumah kontrakannya bagus.

Yang mencengangkan, rumah kontrakan itu memang lebih


bagus dari rumah ibu mereka yang dijual Bagus. Walau tidak
memiliki pagar seperti rumah lama mereka, tetapi kontrakan
Bagus ini berada di komplek perumahan menengah yang
mengusung konsep modern minimalis dengan dua lantai.
Konsep yang disukai oleh pasutri-pasutri muda dengan satu
anak.

“Kok lo bisa jalan sama Iqbal, La?” tanya Bagus yang sudah
penasaran. “Lo lagi nggak ada niat bikin skandal
perselingkuhan ‘kan?”

“Apaan deh, lo,” dengkus Nyala mengabaikan pertanyaan


konyol sang kakak.
“Nyala, lo harus mempertahankan garis kesuksesan kita,”
ucap Bagus yang tak dimengerti adiknya. Tetapi, ia tak
peduli. Ia lanjutkan saja improvisasinya dalam
mendramatisir sebuah keadaan. “Kita nih, harus jadi
panutan para anak-anak broken home. Biar mereka menilai,
nggak punya keluarga utuh bukan berarti nggak bisa sukses.”

Memandang Bagus dengan ngeri, Nyala menaikkan sebelah


sudut bibirnya. “Omongan lo udah persis banget kayak
oknum caleg gagal nyaleg,” celetuknya tertawa. “Sana ah,
ngeri gue.”

Tsk, untung lo lagi bunting, kalau nggak, gue geplak pala lo,”
Bagus langsung sensi dengan perkataan adiknya itu. Bisa-
bisanya, Nyala mendoakannya gagal dalam Pemilihan
Umum nanti. Ck, ia sudah keluar modal banyak. Rumah pun
sampai terjual. “Kita bertiga tuh simbol kesuksesan anak-
anak broken home,” ia ulangi kalimatnya tadi dengan mimik
yang lebih serius. “Lo sukses sebagai istri pejabat,” ia tunjuk
Nyala dengan senyum bangga. “Mayang sukses jadi Caddy di
lingkungan pejabat sekaligus seleb Tiktok,” ia melanjutkan
lagi. “Sementara gue,” ia menunjuk dirinya sendiri
lewatsenyum merekah. “Adalah calon pejabat yang bakal
melenggang ke Senayan atas sumbangsi anak muda,” iatepuk
dadanya bangga.
“Jijik, Gus,” Nyala langsung bergidik.
Sepertinya, ungkapan banyak caleg-caleg yang mengalami
gangguan kejiwaan usai kalah dalam Pemilu, juga akan
berlaku pada Bagus.

“Nih rumah, berapa setahunnya, Gus?” Nyala tentu saja tak


memperkirakan sebelumnya bahwa rumah seperti inilah
yang disewa sang kakak. Setelah tadi, Bagus sempat basa-
basi sejenak dengan Iqbal yang mengantarnya, kini ia
digiring ke lantai dua. Tentunya, dengan Bagus yang
membantunya naik. Sebab, di lantai satu rumah ini telah
berisi orang-orang partai yang menurut bahasa ajaib Bagus
merupakan timsesnya. “Gus?”

Ck,” Bagus berdecak, enggan menjawab. Sebab tahu betul,


adiknya itu akan memukul kepalanya bila ia sebutkan
nominal yang harus ia keluarkan demi tinggal di rumah ini.
“Gue butuh rumah ini bukan cuma demi gengsi. Tapi,
sebagai simbol kalau gue mampu. Gue cuma punya satu
tempat tidur di sini. Ya, udah, lo tidur di kamar gue aja,” ujar
Bagus sambil membuka pintu kamarnya. “Muka lo jangan
jijik gitu deh, La,” Bagus menatap sebal adiknya. “Ganti
seprei aja, kalau lo ogah nidurin bekasan gue,” ia menarik
seprai bersih dari salah satu laci.

“Nah, itu tahu,” sunggut Nyala yang kemudian mulai memasuki


kamar Bagus. “Kamar lo nggak ada apa-apanya gini, Gus?”
benar-benar hanya sebuah ranjang dan lemari
pakaian yang sudah menempel dengan dinding. “Sumpah,
Gus?”

“Iya deh, yang isi kamarnya lengkap,” sindir Bagus pada sang
adik. Kemudian, ia bersiul ketika akhirnya meneliti
penampilan Nyala dari atas ke bawah. Persis gadun, yang
sedang memperhatikan anak didiknya. “Berlian, oke juga
tuh,” ia tunjuk kalung Nyala dengan dagu. “Tas, juga oke
punya, tuh,” imbuhnya sambil menaikkan alis dengan
sengaja. “Nah, sepatu yang di bawah tadi, juga cakep. Bisa
dong …,” ia sengaja menggantung kalimatnya dengan
seringai tercetak di wajah.

“Bisa banget, dipake buat nyuci otak lo!” sembur Nyala galak.
“Mana sepreinya, sini!” ia rampas seprai di tangan kakaknya
segera. “Sekalian gue pinjem kaos lo yang oblong dong, Gus,”
pintanya kemudian. “Pengin mandi. Tapi, kamar mandi lo jorok
nggak sih?”

Heh, mentang-mentang bini rahasianya Harun Dierja, lo jadi


semena-mena, sama gue, ya, La?”

Nyala tertawa geli melihat ekspresi Bagus yang sok tersakiti.


“Gue juga butuh celana training atau celana kolor lo yang
gombrong dong, Gus,” pintanya lagi.

“Ck, dasar kaum duafa,” cebiknya kesal. “Ah,” namun tiba- tiba
ia teringat sesuatu. Hingga membuat wajah masamnya
tadi langsung semringah. “Gue punya kaos baru deh,”
bukannya membuka lemari untuk mengambil kaos tersebut,
Bagus justru kembali turun ke bawah. “Bentar, La!”

Sepeninggal Bagus, Nyala segera melepas seprei Barcelona


kusut di atas ranjang kakaknya itu. Ranjang Bagus pun tidak
lebar. Paling ukurannya hanya 160x200 meter saja. Terdapat
dua bantal guling yang sudah lepek. Kemudian ada satu bantal
besar dan beberapa bantal kecil.

“Jorok banget deh, Bagus ini,” Nyala mencebik namun tetap


meneruskan pekerjaan untuk memasang ranjang itu dengan
seprai bersih. Bukan apa-apa, ia sungguh lelah dan butuh
merebahkan diri.

“La!” Bagus datang kembali dengan langkah terburu-buru.


“Nih,” ia menyerahkan satu plastik bening yang didalamnya
berisi kaos bergambar dirinya. “Kaos partai gue. Ada muka gue
di belakangnya. Pakai, gih!” ia serahkan dengan senyum
secerah matahari siang hari. “Oh, lo butuh kolor juga, ya?
Bentar,” dan barulah ia membuka lemari. Mencari celana
yang sekiranya dapat digunakan oleh adiknya yang sedang
hamil itu. “Training aja, ya, La? Ini bersih kok. Celana
training dari partai juga. Buruan sana lo ganti,” ia menunjuk
kamar mandi dengan semangat. “Terus nanti, gue foto dulu, La.
Kalung sama tas lo, harus tetap lo pakai, ya?”
Rencana Bagus, ia akan mengaploud foto sang adik di
feed sosial medianya.

Percuma memiliki adik canti bila tidak dipergunakan


sebagaimana mestinya.

“Gue mau bikin caption, “Partai Bintang Reformasi untuk


semua golongan”,” ia sudah membayangkan pasti banyak
teman-teman kadernya yang berkomentar. “Terus nanti kita
tag Mayang, biar direpost sama dia di story,” pasti namanya
akan spektakuler. Atau paling tidak, fyp lah. “Lo kudu
nunjukkin Hermes sama berlian lo, La,” ujarnya berapi-api.
“Oh, sekalian pakai heels yang tadi, ya, La? Tuh tadi merek
apa? Saint Laurent, ya? Bentar, gue ambil ke bawah.”

Sumpah, Nyala kehilangan kata-katanya. Ah, tidak.

Nyala justru tak bisa berkata-kata.

Bahkan, ia tak mampu berkedip saking terkejutnya dengan


ucapan ajaib Bagus barusan.

Tetapi sialnya, kaus partai yang tadi diserahkan oleh kakaknya


itu, telah berada di tangannya. Dan hal tersebut, kontan
membuatnya mengerjap.

Apa kata Bagus tadi?


Dan setelah sadar dari keterpanaannya, Nyala segera
mengumpat Bagus seraya melupakan kenyataan bahwa ia
sedang berbadan dua.

“Bagus, Kamprer!” teriaknya membabi buta. “Cuci otak lo biar


bersih, Gus! Emang gila lo, ye?!”

Nyala, bisa mendengar tawa Bagus mengudara.

Sepertinya, Bagus memang senang sekali memancing amarah


adik-adiknya.

“Bentar, ya, Nyala yang lagi menyala-nyala menikmati


kemewahan! Ada yang mau gue tandatangani dulu. Lo ganti
baju aja, La! Bentar lagi gue jadiin model partai!”

Bagus, sialan!

Bisa-bisanya, Nyala malah dimanfaatkan.

***

Pertemuan dengan Gideon Sutjatmoko serta Kusno Aji,


berjalan lancar. Walau agak sulit meyakinkan bos media
tersebut, pada akhirnya Gideon menerima tawaran yang
mereka berikan sebagai timbal balik dari bergabungnya pria
keturunan Tionghoa itu pada Koalisi mereka.

Dan yang diinginkan Gideon bukanlah harta. Jelas, pria itu


memilikinya.
Gideon membutuhkan bantuan Lucas agar menemani
Yoshua Sutjatmoko dalam proses pemulihan kejiwaan.
Awalnya, Lucas sungguh berat mengiakan. Dan hal tersebut,
buat Harun merasa tidak enak pada sepupunya tersebut.
Bukan apa-apa, Lucas sedang berusaha memperbaiki
hubungannya dengan sang mantan istri. Kalau bisa, Lucas
ingin rujuk demi berkumpul dengan keluarga kecilnya.

Tetapi, pada akhirnya Lucas menyetujuinya.

Dengan interval pertemuan hanya dua kali dalam sebulan.

Itu pun, ia tidak boleh mengantar Yoshua sendirian. Ia akan


berusaha mengajak serta mantan istrinya demi menghindari
kesalahpahaman.

Harun memiliki hutang budi pada sepupunya itu, dan sebagai


gantinya ia akan menjadi donatur tetap bagi pondok pesantren
milik orangtua Khadijah.

“Kita langsung ke bandara, Pak?”

Mereka sudah berada di dalam mobil. Dengan formasi,


Harun dan Putra di kursi penumpang. Sementara Rafael
beserta supirnya berada di kursi depan. Mereka siap
membela jalanan.

Mobil telah melaju, namun Harun belum memberi tanggapan


atas pertanyaan sang asisten pribadi. Malam ini
juga, Kusno Aji dan Sanusi akan ikut terbang bersamanya ke
Yogyakarta. Mereka juga berada di satu hotel yang sama.
Hotel yang sudah di booking dari jauh-jauh hari untuk para
kader serta pendukung koalisi mereka.

Sebagai tambahan, selain agan digelar Deklarasi Pengukuhan,


mereka juga akan memperkenalkan GideonSutjatmoko sebagai
bagian dari koalisi. Bos media tersebut akan datang besok
dengan jet pribadinya.

“Jam berapa sekarang?” tanya Harun yang malas mengecek


arloji di pergelangan tangannya.

“Setengah delapan, Pak.”

Maskapai yang akan mereka gunakan merupakan maskapai


milik Chandra Hardja. Walau sempat tersandung kasus
perselingkuhan dengan Anyelir Pratista Malik, Chandra Hardja
tidak bercerai dengan istrinya. Namun dari beberapa sumber
terdengar berita, bahwa seluruh kekayaan Chandra Hardja
berada dalam pengawasan istrinya.

“Bapak bisa mandi di lounge,” tambah Putra yang tahu betul


pasti sang atasan sudah gerah. “Semua perlengkapan Bapak
sudah kami siapkan. Faura juga sudah berada di bandara untuk
mengecek koper-koper Bapak yang sudah terlebih dahulu tiba
di sana.”
Harun mengangguk.
Ia lepas kacamatanya seraya menatap jalanan melalui jendela
mobil.

Sejenak, ia pejamkan mata demi menatap kembali pikiran di


kepala yang rasanya tumpang tindih. Ia hela napas panjang,
seraya menyandarkan punggungnya. Mencoba mengatur
pernapasan agar tenang. Harun justru mengumpat sambil
membuka mata.

“Sial!” makinya yang sama sekali tak dapat menggapai


kesabarannya. Napasnya justru memburu, ketika ia ingat
betul bahwa sosok wanita yang mengganggu pikirannya
masih belum kembali ke apartemennya. Buatnya kontan
mengeratkan rahang, sementara kedua tangannya mengepal.
“Putar balik!” perintahnya tiba-tiba.

“Pak—“

“Diam, Putra,” suaranya rendah mengancam. Sementara


lirikkan matanya setajam samurai yang siap menancap di dada
lawan. “Raf!”

“Siap, Pak!” Rafael tahu maksud sang atasan. Jadi, setelah


mengubah haluan, Rafael memberitahu sang supir ke mana
mereka harus berkendara.

Sementara itu, Putra didera sakit kepala. Ia tak mungkin


mengumpat seperti atasannya tadi. Jadi, yang bisa ia lakukan
adalah menarik napas panjang demi menyabarkan
hati. Seperti Rafael yang tahu betul apa yang diinginkan oleh
atasan mereka, Putra pun tahu apa yang harus ia lakukan.
“Saya akan menghubungi pihak maskapai. Kita hanya akan
menjemput Mbak Nyala dan mengantarnya pulang ke
apartemen ‘kan, Pak?” sengaja ia tekankan
kalimatterakhirnya. “Pak?”

Putra butuh kepastian, agar ia dapat mengubah susunan


schedule dari banyaknya kegiatan yang harus diikuti ketua
umum partai Nusantara Jaya tersebut.

“Bapak tidak bisa membahayakan koalisi,” ia harus tetap


rasional di tengah tingkah sang atasan yang belakangan ini
mulai sulit diatasi. “Kita hanya akan menjemput Mbak Nyala,
lalu mengantarnya pulang ke apartemen ‘kan, Pak?” ia
tekankan hal itu sekali lagi.

“Pak—“

“Saya akan tiba di Jogja besok.”“Pak?” Putra

kehilangan kata-katanya.

Sementara Rafael segera berbagi tatapan dengan supir di


sebelahnya.

Putra memilih tak langsung menanggapi. Ia menunggu


sampai mobil yang mereka tumpangi benar-benar sampai di
alamat yang mereka tuju. Dan perjalanan pun dihinggapi
keheningan yang mencekam. Baik Putra maupun Harun
sama sekali tak menggubris panggilan pada ponsel mereka
masing-masing. Padahal sebelumnya, Putra adalah orang
yang begitu cekatan menerima panggilan agar mempercepat
pekerjaannya.

Mereka tiba di rumah Bagus Cendrakna, kakak laki-laki


Nyala Sabitah, hampir jam setengah sembilan malam.
Jelasnya, mereka benar-benar tidak akan berangkat malam ini.

“Ini rumahnya, Pak,” Rafael memberitahu. Di jalan masuk ke


komplek perumahan ini, mereka sudah bertemu dengan Siska
dan Denny yang memang ditugaskan untuk memantau
keberadaan Nyala. “Sebentar, saya keluar dulu, Pak,” Rafael
membuka pintu mobil.

“Tidak usah, Raf,” Harun segera mencegah ajudannya itu.


“Saya yang akan turun sendiri,” tuturnya setelah memikirkan
segala konsekuensi yang bisa saja terjadi. Membuka pintu
dengan tenang, Harun menjejakkan kakinya di jalanan
komplek yang beraspal.

Di dalam mobil, Putra meremas rambutnya tanpa sadar. “Ini


gila, Raf,” dengkusnya yang enggan menuruti perintah
atasannya begitu saja. “Kita udah sampai sejauh ini,”
gumamnya yang langsung ikut membuka pintu mobil.
“Put,” Rafael bermaksud menahan rekannya tersebut. Namun
ternyata, Putra memilih tak mendengarnya. Hal yang kontan
saya membuat Rafael pun harus melakukan hal yang sama.
Yaitu, keluar dari mobil demi mencegah konfrontasi yang akan
dilakukan Putra pada atasan mereka.

“Bapak,” Putra mencoba meraup segala sisa ketenangan yang


masih tersimpan dalam diri. “Kita jelas tidak bisa mengejar
pesawat,” komplek itu terlihat sepi. Tetapi, Putra tetap
mengawasi lingkungan di sekitar tempat ini. Dan tak jauh
dari mobil mereka, ada mobil milik Siska dan Denny yang
sengaja terparkir cukup jauh agar tak memicu kecurigaan.
“Maaf kalau saya harus mengatakan hal ini,” ia butuh
memaparkan tingkah tak biasa sang atasan belakangan ini.
“Bapak agak tidak rasional belakangan ini,” tutur Putra
dengan jujur. “Kami nyaris kewalahan demi memastikan
citra Bapak tidak ternoda oleh berita-berita miring yang bisa
saja menggiring opini buruk tentang Bapak.”

Maternity shoot di Bali adalah awal dari sulitnya mereka


menjaga nama baik Harun Dierja Aminoto. Bertempat di
outdoor, foto-foto kehamilan tersebut nyaris bocor ke media
karena ketidakprofesionalan fotoghrafer yang sempat
mengaupload foto-foto tersebut ke laman web resmi milik
fotoghrafer itu. Untungnya, tim IT mereka sempat mengecek
profil sang fotoghrafer setelah pengambilan gambar. Dan
syukurnya, belum ada yang melihat foto-foto tersebut.

Selain itu, ada banyak momen yang menurut Putra, sang ketua
umum menjadi tidak professional. Banyaknya jadwal meeting
yang mundur di pagi hari. Lalu, mengabaikan banyak undangan
makan malam yang jauh-jauh hari sudah ia ingatkan.

Dan sekarang ini, kandidat calon Wakil Presiden itu, baru


saja membatalkan jadwal terbang mereka secara sepihak.
Walau Putra telah mengintruksikan, agar tim mereka yang
sudah sampai di bandara agar mengikuti jadwal yang tertera.
Namun tetap saja, ketidakprofesionalan dari ketua umum
mereka, tentu akan berdampak buruk.

“Kita berdua, baru saja mengabaikan panggilan dari Pak Kusno


dan beberapa elite koalisi, Pak,” Putra memang sengaja
meninggalkan di mobil. “Mereka pasti bertanya- tanya
mengenai keberadaan Bapak.”

“Biarkan saja,” sahut Harun enteng. Ia memasukkan satu


tangannya ke dalam saku celana. Kemudian menatap
bangunan rumah di hadapannya dengan helaan berat. “Saya
yang akan menangani mereka besok,” ia meyakinkan asisten
pribadinya yang tampak stress malam ini. “Yang penting,
kita akan sampai di Jogja sebelum acara. Minta mereka
berhenti berisik. Kita tidak akan mengacau.”
Ketika sang Aspri hanya diam dan tak menanggapi
perintahnya, Harun menyeringai. Sebelum kemudian, ia tarik
napas panjang dan mengubah ekspresi wajahnya dengan
serius.

“Kita akan sampai di Jogja tepat waktu, Putra,” ucapnya


tegas. “Kalau-kalau kamu lupa, selain bergelar sebagai ketua
umum partai dan kandidat Wakil Presiden, saya adalah
manusia biasa, Put,” pandangannya tenang namun penuh
selidik. “Di antara ratusan hari dalam satu tahun ini, istri
saya berulangtahun di tanggal ini,” tekannya dengan tatap
menghunus tajam. “Setidaknya, saya ingin menghabiskan
waktu beberapa jam ini dengan istri saya di tanggal
kelahirannya. Sebelum besok, saya akan kembali menjadi
milik publik yang entah kapan bisa pulang ke rumah. Jadi,
apa menurut kamu keinginan saya itu salah?”

Tanpa membuang waktu, Putra segera menjawabnya. “Salah,


Pak.”

Dan Harun memperdengarkan tawa kecil sambil menepuk-


nepuk bahu sang asisten pribadi. “Oke,” ia mengangguk kepala
dengan pendar lucu di wajah. “Ketuk pintunya, Raf,” lalu ia
menggantikan ekspresi jenaka tadi dengan wajah kaku. “Saya
masih punya urusan dengan Nyala Sabitah.”
***
Nyala Rahasia ; Season 2 ;
Sebelas - Dua Belas - Tiga Belas ·
Karyakarsa

SEBELAS

Tiap-tiap makhluk fana, memiliki banyak kisah. Namun, tak


lantas segalanya dapat didongengkan pada sesama. Sebab,
cerita yang dimiliki masing-masing manusia tidak semuanya
dapat diterima telinga. Simpan saja semampunya. Bila tak lagi
dapat menahannya, pilih seseorang yang dapat dipercaya.

Bagus hanya mengisi furniture di lantai satu. Semata, hanya


agar relasi atau tim-tim suksesnya meyakin bahwa ia memiliki
harta berlimpah. Hal itu bertujuan, supaya ia tidak disepelekan.
Bagi kaum mendang-mending golongan menengah ke bawah
yang terbiasa bergaul dengan kalangan atas, tentunya membuat
dirinya juga haus akan pengakuan. Untuk itulah, ia rela
merogoh kocek sebesar 60 juta untuk mengontrak rumah ini
selama dua tahun. Bagus merupakan defenisi nyata dari
“Jangan menilai buku hanya dari sampul luarnya saja”. Karena
pada kenyataannya, Bagus sudah tidak memiliki apa-apa.
Selain sisa uang penjualan rumah yang
belum dibaginya.

“Terus, kalau nanti lo gagal gimana?”

Nyala terus mengutarakan kemungkinan yang dapat


dirasakannya terhadap masa depan Bagus. Bukan apa-apa,
Bagus tadi bercerita bahwa partainya terlanjur masuk dalam
koalisi yang mengusung Irawan Pramoedya dan juga Basuki
Nugraha. Yang artinya, partai Bagus merupakan oposisi bagi
koalisi Harun dan juga Kusno Aji.

“Lo kenapa nggak mulai nyaleg dari yang paling bawah dulu
sih, Gus? Misal, kayak DPRD atau DPD gitu. Bisa juga mulai
dari Kepala Desa, Gus. Baru naik ke Camat. Bupati atau
Walikota. Nah, lo ujug-ujug sok-sokan banget langsung DPR
RI. Sumpah, Gus, lo mah bukannya nekat. Tapi, gila,”
cerocos Nyala sambil menyuapkan makan malamnya yang
disponsori oleh Bagus malam ini.

“Ah, elah, bawel lu,” sunggut Bagus kesal. “Kesempatan


nggak datang dua kali, La. Dan ini kesempatan gue,”
celotehnya berusaha membela diri.

“Ini bukan kesempatan, Bagus kambing. Ini tuh namanya


jebakan,” Nyala menunjuk Bagus dengan sumpitnya. Mereka
tengah makan malam dengan bakmi yang mendadak saja Nyala
idamkan sejak sore tadi. “Ck, kemarin duit rumah dapet
berapa sih? Inget, ya, Gus. Ada jatah gue sama Mayang
di situ—Aduh!” Nyala meringis begitu merasakan tendangansi
kecil yang sedikit terlalu kencang dari biasanya. “Kenapa sih
kamu?” ia mengelus bagian perutnya yang baru saja terkena
tendangan itu. “Nggak suka makanannya, iya?”

“Dia nggak suka lo ngomel mulu, Nyala,” ledek Bagus sambil


tertawa. Kemudian, ia memindai penampilan adiknya itu dari
atas sampai bawah. “Suer, La, kaos partai gue, jadi berkilau
banget berkat berlian lo,” decaknya seolah bangga.

Ia tak jadi memotret Nyala dan mengunggahnya di sosial media.

Entah kenapa, ia tadi teringat bahwa partainya tidak lagi


berada di bawah koalisi Harun Dierja. Bukan apa-apa, walau
publik belum mengetahui bahwa adiknya itu merupakan
istri dari ketua umum partai Nusantara Jaya, alangkah
baiknya bila ia meminimalisir masalah. Sebab, jejak digital
itu sulit dilupa.

“Ngomong-ngomong, si monyet satu lagi ke mana sih? Soksibuk


banget, heran deh,” yang Bagus maksud adalah Mayang. “Rama
Hutomo tuh susahlah didekatin. Lagian duda cermai mati yang
bertahun-tahun nggak kawin lagi, biasanya gamon sama
mendiang istrinya.”

Meletakkan sumpit, Nyala mencoba bersandar di kursi makan


Bagus yang hanya dapat diisi oleh empat orang saja.
Mejanya berbentuk oval lonjong. Terbuat dari kaca tebal yang
sama sekali tidak dilapisi oleh alas apa pun. “Hari ini, anak gue
aktif banget,” elusannya berpindah ke bagian kanan perut. Di
mana, si bayi dalam rahimnya baru saja bergerak di sekitar
situ.”Nggak tahu lagi seneng, atau tendangan- tendangannya
tadi adalah wujud protesnya sih,” ringis Nyala pelan.

Btw, lo beneran lagi kabur dari Harun Dierja? Kenapa?


Berantem?” cerca Bagus menatap Nyala penuh selidik.
“Eksistensi gue nggak bakal hilang ‘kan, gara-gara nampung lo
di sini?”

Pasalnya sore tadi, dua orang ajudan Harun Dierja datang dan
menyatakan ingin menjemput Nyala. Namun, adiknya itu
menolak dengan mengatakan bahwa ia akan menginap di sini
untuk sementara waktu.

“Lo tuh suka banget sih, La, berurusan sama orang-orang


gede?” Bagus menghela sok nelangsa. “Dari bapak lo yang
ternyata Sanusi Wijaya. Terus, laki lo malah Harun Dierja.
Stress gue lama-lama ngelihat drama di hidup lo. Soalnya,
pemerannya tuh nggak tanggung-tanggung. Klan Wijaya sama
Aminoto. Serem gue, La.”

Nyala mendengkus, mendadak saja ia kehilangan selera


makannya. “Lo tahu ‘kan, pernikahan gue sama Harun cuma
sampe nih bayi lahir?” tangannya yang berada di atas perut
kembali membelai bagian tersebut. Abai pada kenyataan
bahwa ia benar-benar mengenakan kaos berlambang partai
sekaligus bersablon wajah Bagus yang tidak ada bagus-
bagusnya. “Tadi, gue baru aja ngehadiri acara tujuh bulanan
adek iparnya Harun. Mendadak aja, gue sakit hati banget,
Gus. Di sana, Harun sama keluarganya kelihatan antusias
banget nyambut kelahiran anaknya Pak Hasbi. Sementara
itu, di sana juga ada gue, yang lagi ngandung calon anggota
keluarga mereka.”

Ia tatap perutnya dengan wajah sendu.

Mengelus permukaan perut bundarnya, kemudian terenyuh


kala sapuannya mendapat respon dari gerak sang bayi.

“Anak gue kan juga bagian dari keluarga mereka, Gus. Ada
darah Aminoto yang ngalir di dalam badannya sewaktu lahir
nanti.”

Tim sukses Bagus sudah pulang selepas Magrib tadi. Makanya,


Nyala pun akhirnya turun ke bawah karena Bagus bilang, ia
sudah memesankan bakmi yang diinginkan Nyala.

“Nggak ada yang bakalan nyambut anak gue, Gus,” ia


dongakkan wajah menatap kakaknya itu. Memperlihatkan
senyum pedih. “Dia anaknya Harun Dierja, Gus. Tapi
selamanya, nggak akan ada orang yang percaya ‘kan, Gus?”
Anaknya hanya akan menjadi rahasia. Sama seperti dirinya.

“Kayak gue, Gus. Mana ada orang yang percaya, kalau gue
anaknya Sanusi Wijaya ‘kan?”

“Ya, udahlah, mau gimana lagi?” respon Bagus pasrah. “Toh, lo


tetap hidup juga ‘kan, walau nggak diakui bapak lo,” ia
paparkan realita yang mungkin saja Nyala lupa. “Terus,
pernikahan lo cuma sampai bayi itu lahir aja?” ketika sang
adik menjawabnya dengan anggukkan, Bagus mencoba
berpikir sejenak. “Kontrakan ini, udah gue bayar buat dua
tahun ke depan. Bawa ajalah, anak lo tinggal di sini kalau lo
nggak ada tempat tinggal nanti,” usulnya spontan.

“Masalahnya, gue nggak tahu gimana nasib anak ini ke


depannya, Gus.”

“Maksud lo?”

Nyala menghela demi menyesali kebodohannya. “Sebelum


Harun setuju nikahin gue, gue pernah bilang ke dia, kalaugue
mau lahirin anak ini. Cuma, gue nggak bisa ngerawat dia.
Makanya, kami sepakat kalau anak ini bakal diadopsi sama
orang lain. Karena, Harun juga nggak mungkin bisa ngakuin
anaknya.”

Ck, lo sama Harun ternyata drama abis, ya?” Bagus


menggeleng-gelengkan kepalanya sok dramatis. “Dan kalian
berdua ini, blo’on abis,” imbuhnya sambil berdecak. “Nyala
bego,” ia lempar Nyala dengan tisu bekas menyeka bibirnya.
“Udah, minta revisi lagi perjanjian kalian diawal. Bilang ke
Harun, kalau lo berubah pikiran dan bakalan ngerawat anak lo
sendiri. Kalau dia nggak mau ngerevisi. Bilang dong,
undang-undang aja sering direvisi,” ia kemudian tertawa.
“Udah, gitu ajalah. Lo tinggal di sini bareng anak lo. Jangan
sok-sokan nggak butuh nafkah. Gaji suster mahal. Mau
masuk JIS itu, bayarnya pakai uang, bukan doa. Jadi, kudu
minta nafkah buat anak lo.”

Bagus bukan mengajari Nyala bertindak matrealis.

Sungguh, yang ia katakan merupakan suatu hal yang realistis.

“Nggak masalah, kalau sampai kapan pun anak lo nggak diakui


bapaknya, La. Toh, kita bertiga juga baik-baik aja hidup tanpa
sosok bapak ‘kan?”

Entah kenapa, perkataan Bagus membuat Nyala menangis.


“Padahal, gue punya cita-cita sederhana, Gus. Pengin punya
keluarga. Supaya anak gue, nggak ngerasain kekosongan kayak
kita.”

“Ya, mau gimana lagi, La? Kita nggak seberuntung Harun


Dierja atau Hadi Wijaya yang lahir di tengah-tengah keluarga
cemara,” Bagus terkekeh hanya tuk membesarkan hatinya
sendiri. “Udahlah, anak lo nanti bakal punya keluarga kok. Ada
gue, Mayang, ya, walau kita nggak deket-deket amat,”
tambahnya lagi tertawa puas.

Hingga kemudian, ketukan pintu terdengar. Buat sepasang

saudara itu saling menatap.

“Lo punya tamu?” tanya Nyala penuh selidik. “Timses lo datang


lagi?”

Bagus tak segera memberi jawaban, karena ia sedang


memeriksa ponselnya. “Nggak ada,” jawabnya sembari
membuka aplikasi pesan. “Nggak ada yang janjian mau
datang,” ucapnya yang kemudian memilih berjalan ke arah
pintu tanpa prasangka apa-apa. “Sebentar!”

Dan Nyala memilih berada tetap di ruang makan, sembari


mencoba menyuapkan kembali bakmi yang sudah dingin itu ke
dalam mulutnya.

“Selamat malam.”

Deg.

Nyala merasakan desiran halus di dada.

Entah kenapa, ia seperti mengenali suara itu dengan sangat


baik.
“Saya ingin menjemput Nyala.”

Dan tanpa berpikir dua kali, Nyala sontak bangkit dari


kursinya.

Jantungnya berdebar kencang.Harun Dierja berada di depan.

***

Aura ini dikuasai kecanggungan.

Atau sebenarnya, hanya Bagus saja yang merasakan hal seperti


itu.

Tetapi, keberadaan Harun Dierja Aminoto bersama seorang


ajudan di ruang tamu rumah kontrakannya jelas-jelas tak
bisa ia lukiskan. Calon Wakil Presiden yang besok akan
memulai deklarasinya tersebut, duduk dalam diam di sofa
hitam yang ia beli lewat aplikasi online karena harganya
lebih murah. Siapa yang menyangka, calon masa depan
negeri ini, mendudukinya.

Walau secara struktural pria tersebut merupakan adik


iparnya, namun Bagus tak berani menganggapnya demikian.
Mungkin, ia adalah caleg, tetapi percayalah kedudukannya
dengan Harun Dierja, bak seorang tuan dengan hamba
sahayanya.
Yang artinya, sudahlah, jangan coba macam-macam.

Namun, ya, bukan Bagus namanya yang tidak ingin bercoleh.

“Partai kami, dulunya berada di koalisinya Pak Harun dengan


Pak Irawan,” bibir Bagus membela hanya untuk menepikan
aura ketegangan di ruang tamu minimalisnya ini. “Ketua umum
partai kami, begitu mengidolakan Pak Harun. Tapi, begitu Pak
Harun keluar koalisi, partai kami nggak bisa mengikuti, Pak.
Karena ada sanksi yang harus dibayar bilakeluar koalisi.”

“Benar,” respon Harun singkat.

Buat Bagus langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Sudahlah,

ia tak akan mencoba basa-basi lagi.

Dan ketika akhirnya adiknya muncul berbarengan dengan


seorang ajudan wanita milik ketua umum partai Nusantara
Jaya itu, Bagus menarik napas lega. Sepertinya, mentalnya
belum sekuat baja. “Ah, itu Nyala, Pak,” meski tak perlu
menjemput adiknya yang baru saja melewati tangga terakhir,
tetapi Bagus melakukannya karena merasa mati gaya berdiri
di hadapan Harun Dierja. “Laki lo bikin gue merinding, La,”
bisik Bagus yang menggandeng tangan Nyala. “Serem.”

Nyala tak memberi tanggapan.


Sebab fokusnya sudah mengarah tepat pada sosok Harun
Dierja yang kini berdiri begitu melihat kehadirannya.

“Sudah?”

Entah pertanyaan itu untuk siapa, yang jelas Nyala


mengangguk sebagai jawaban.

Ia ke atas hanya untuk mengambil barang-barangnya,


sepertitas, gaun dan juga heels.

Nyala tak mengganti bajunya.Ah, soal baju ….

“Oh, maaf ya, Pak Harun, ini tadi Nyala pengin ganti baju.
Saya nggak punya baju bersih yang muat buat Nyala.
Makanya, dia terpaksa pakai baju partai saya ini. Suer, Pak.
Ini nggak bermaksud apa-apa kok,” jelas Bagus dengan nada
panik. “Ya, kan, La?” ia memberi pelototan pada Nyala agar
membantunya. “Lo terpaksa banget ‘kan, pakai baju ini?”

“Tidak masalah,” Harun berdeham singkat. “Lagipula, gaun


yang digunakan Nyala tadi memang tidak nyaman,” tambahnya
menginformasikan penilaiannya sendiri.
Heels itu jangan digunakan lagi,” ia menunjuk sepatu
berhak runcing yang kini ditenteng oleh ajudan wanitanya.
“Siska sudah membelikan sandal nyaman untuk kamu.”

“Sebentar, saya ambil dulu, Pak,” sambil membawa barang-


barang milik istri sang atasan, Siska pun keluar terlebih dahulu.

Harun hanya mengangguk samar, kemudian ia pun memutar


tumit. “Ayo,” ia tak menggandeng Nyala. Tetapi, ekor
matanya melirik pergerakkan sang istri yang akhirnya
mengikutinya. “Saya akan mengemudi sendiri,” Harun
mengumumkan keinginannya begitu tiba di teras. Di mana,
sang asisten pribadi masih memandangnya dengan sirat
kesal yang dapat ia temukan. “Besok, kita akan berangkat
dengan pesawat pertama. Pastikan kamu sudah mengatur
ulang jadwal saya.”

Sambil menarik napas panjang, Putra tahu betul ia tidak


diperbolehkan marah pada sang atasan. Mengusir kesal yang
sempat menerpa dada, ia pun mengangguk demi mengiakan
perintah itu. “Baik, Pak,” ujarnya tanpa keraguan. “Kami akan
menjemput Bapak.”

“Bagus,” Harun mengangguk puas. Ia menerima kunci mobil


dari supirnya, kemudian menolehkan kepala ke belakang.
“Terima kasih karena sudah memastikan Nyala aman,”
ungkapan tersebut ia berikan pada kakak lelaki dari istrinya.
“Kami pamit.”

“Oh, i—iya, Pak.”

Nyala menatap kakaknya dengan ekspresi mencibir. “Sok


kalem banget lo,” sindirnya pelan. “Biasanya, nyap- nyap
kalau sama orang.”

“Diem, Nyet—eh, Nyala,” ia merevisi ucapannya sambil


berdeham. “Gue ini calon Anggota Dewan. Jadi, harus
santun jadi orang,” ia beri pelototan singkat pada sang adik.
Kemudian, melabuhkan senyum sopan pada Harun Dierja
Aminoto di depan rumahnya. “Maaf, ya, Pak. Saya boleh
minta foto nggak sama Bapak?”

Dan Nyala langsung menepuk keningnya.Sumpah, Bagus

memang memalukan.

***

Sebelumnya, Nyala tidak pernah berpikir bahwa Harun Dierja


akan menjemputnya. Ia hanya meyakini sosok tersebut hanya
akan menyuruh para bawahannya. Seperti tadi sore, Siska dan
Denny sudah datang untuk mengajaknya kembali ke
apartemen. Walau pada akhirnya Nyala menolak ajakkan
mereka.

Tetapi malam ini, begitu yang berdiri di depan rumah


kontrakan Bagus adalah suaminya. Nyala tahu, ia tak
mungkin menolak sosok tersebut. Jadi, dengan jantung
berdebar karena takut, Nyala pun mengemasi barang-
barangnya yang ada di kamar Bagus.
Mereka nyaris tidak berbicara selama perjalanan pulang.

Dan saat memasuki lift untuk menuju unit apartemen tersebut,


barulah Nyala berani menatap pria itu.

“Maaf, Pak,” cicitnya menatap ragu.

Harun segera memberi reaksi atas ucapan sang istri. “Maaf?”


suaranya terdengar tak bersahabat. “Maaf untuk apa?”
dengkusnya dibarengi tawa hambar.

Buat Nyala kontan menggigit bibirnya, resah. “Maaf, karena


harus membuat jadwal penerbangan Bapak tertunda.”

Sebelum ia memasuki mobil, asisten pribadi sang suami sempat


menegurnya. Walau kalimatnya terdengar begitu sopan, namun
Nyala tahu pria itu terlihat kesal.

“Mbak Nyala, saya mohon kerjasamanya.”

“Eh, maksudnya, Mas?” karena sungguh Nyala tidak


mengerti.

“Tidak ada maksud apa-apa, Mbak. Semoga istirahatnya


nyenyak ya, Mbak. Supaya besok pagi, Bapak dapat
meneruskan penerbangannya yang tertunda malam ini.”

Kalimat tersebut berisi sarkas yang dibungkus apik lewat tutur


kata yang mengandung kesopanan. Dan ketika mengingat-
ingat kembali, memang seharunya malam ini
Harun Dierja sudah terbang ke Jogja demi persiapan
Deklarasi Pengukuhan esok hari. Tetapi nyatanya, Harun
Dierja malah berada di sini bersamanya.

“Saya nggak bermaksud membuat jadwal Bapak kacau.”

“Sudah terjadi,” komentar Harun tanpa melirik sang istri.

“Bapak nggak marah?”

Kini, ia berikan lirikan tajam pada sosok wanita di


sebelahnya. “Sudah. Saya sudah marah di sepanjang hari
ini,” jawab Barun yang mempertahankan wajah dinginnya.

Nyala kembali menggigit bibir merasa bersalah. Sebelah


tangannya mengusap perut buncitnya. Rambutnya yang tadi
siang terkuncir rapi, kini tengah ia gerai dan tampak kusut.
“Pak, saya boleh minta sesuatu?”

Akhirnya Harun memalingkan wajah dan menatap istrinya


lurus-lurus. “Apa?”

Denting lift membuat permohonan Nyala terjeda.Sebab,

mereka harus keluar dari sana sekarang juga.

Ketika tiba di depan unit apartemen, langkah mereka


melambat. Kemudian berhenti tepat di sana.

“Sekarang, sudah hampir jam sepuluh malam. Tapi, masih


terhitung sebagai hari ulangtahun saya ‘kan, Pak? Jadi, saya
ada satu permintaan.”“Apa?”

“Saya ingin merawat anak saya sendiri, Pak,” dengan sebelah


tangan berada di atas perut, Nyala menyorot sosok Harun
dalam-dalam. “Saya nggak mau menyerahkannya untuk
dibesarkan orang lain, Pak. Saya ingin membesarkannya
sendiri. Nggak masalah kalau Bapak nggak akan pernah
mengakui keberadaannya. Karena setelah Bapak
menceraikan saya nanti, dia hanya akan menjadi anak saya,
Pak.”

Harun mengunci mulutnya rapat.

Matanya yang biasa menatap tajam pada lawan bicaranya, kini


mengerjap dengan bergetar. Rahangnya mengerat samar,
sementara tarikan napasnya terasa tercekat.

“Hanya itu yang saya inginkan, Pak.”

“Oh,” respon Harun setelah berhasil mengendalikan diri.


Tangannya yang tadi sempat terkepal, telah ia gunakan tuk
membuka pintu apartemennya. Ia masuk ke dalam sana
tanpa menoleh pada sang istri.

Padahal, ada yang ingin ia tunjukkan. Padahal, ada yang ingin

ia perlihatkan.
Tetapi rupanya, yang diinginkan Nyala bukanlah sesuatu
yang berhubungan dengan mereka bertiga. Wanita itu,
hanya menginginkan hubungan dengan anaknya saja.

Baiklah.

“Pak? Ini ….”

Suara istrinya yang tampak tercekat di belakang sana, buat


Harun harus menarik napas dalam-dalam. Kemudian,
menghentikan langkah demi melihat sebuah dekorasi pada
living area yang ia persiapkan untuk wanita itu, semenjak
mengetahui bahwa hari ini merupakan hari ulangtahunnya.

“Kamu bilang, hanya akan ada kita berdua yang menyambut


bayinya, kan?” akhirnya Harun berbalik. Ia memandangNyala,
kemudian kembali mengalihkan perhatian pada mini gender
reveal party yang disiapkan Putra atas bantuan EO yang dapat
dipercaya. “Saya berpikir, kamu akan pulang setelah
menghadiri acara Ruby tadi. Dan nggak lama setelah itu, saya
akan menyusul kamu. Walau waktu saya terbatas, kita bisa
memecahkan balon itu,” ia menunjuk balon emas besar di
antara balon-balon biru dan merah muda. “Kita akan
membuat acara sendiri yang sederhana dan singkat.
Sekaligus, merayakan hari ulangtahun kamu. Tetapi rupanya,
kamu memiliki tujuan berbeda. Well, nggak masalah.
Sepertinya merayakan ulangtahun dengan
menyantap es krim, jauh lebih menyenangkan.”

Lalu, Harun memilih kembali memutar langkah.

Ia menuju kamarnya dan meninggalkan Nyala meratapi rasa


bersalahnya.

“Put?”

“Ya, Pak?”

“Ada sedikit masalah, Put.”“Ada apa, Pak?”

“Nyala menghadiri acara Ruby. Sekarang, dia sudah


berada di hotel.”

“Hah? Bagaimana bisa, Pak?”

“Saya tidak tahu. Tapi, saya sudah meminta Rafael untuk


segera menemui saya di hotel.”

“Baik, Pak. Kalau begitu, saya akan segera menyusul.”

“Kamu jangan langsung ke sini, Put.”

“Maaf, Pak?”

“Saya punya tugas kecil untuk kamu.”“Apa itu, Pak?”

“Saya ingin membuat acara seperti Ruby di apartemen


saya. Hanya saya dengan Nyala saja. Jadi sekarang, saya
ingin kamu mencari EO yang bisa mengerjakannya dalam
beberapa jam. Kemudian, hubungi dokter kandungan Nyala
untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. Saya ingin kamu
mendekorasi apartemen saya. Yang sederhana saja, Put. Dan
belikan kue, karena hari ini, Nyala juga berulang tahun. Kamu
bisa melakukannya, Put?”

“Baik, Pak. Saya akan mengusahakannya.”

Dan Putra benar-benar berhasil mewujudkan perintah


dadakan dari Harun.

Tetapi masalahnya, ternyata Nyala tidak pulang ke


apartemen.

Kemudian, Harun merasa tidak baik-baik saja.

***

DUA BELAS

Nyala termenung lama, menatap dekorasi gender


reveal yang ada di hadapannya. Mungkin tidak semeriah yang
berada di ballroom hotel siang tadi. Namun sangat indah, untuk
hatinya yang sama sekali tidak menyangka dengan kejutan ini.

Ya, ini pesta kejutan.


Seperti inginnya.Seperti harapannya.

Dan Harun Dierja mengabulkan semua itu, tanpa sekalipunia


perlu mengatakannya.

Berlapis wall decor berwarna putih, balon biru dan merah


muda menghiasi masing-masing sisinya dengan meriah.
Dibagian tengah wall décor, ada namanya dan Harun Dierja.
Mengenakan huruf keemasan, Nyala terhenyak ketika akhirnya
ia dapat melihat nama mereka disandingkan.

Gender Reveal

Mr. Harun Dierja Aminoto & Mrs. Nyala Sabitah

Membacanya saja, sudah membuat mata Nyala berkaca- kaca.

Demi Tuhan, ia sama sekali tak pernah memikirkan bahwa


suatu hari nanti, namanya dan sang suami akan saling
berdampingan. Latar belakangnya sama sekali tidak pantas
disandingkan dengan pria terhormat seperti Harun Dierja
Aminoto. Tetapi malam ini, matanya dengan lahap menyusuri
susunan kata yang mengukir nama mereka.

Mr. Harun Dierja Aminoto & Mrs. Nyala Sabitah.

Sungguh, Nyala tak akan bosan mengejanya.


Sebuah balon latex berwarna emas berdiri menjulang di
antara balon-balon lainnya. Berukuran lebih besar dari yang
lainnya. Juga menjadi satu-satunya yang terikat oleh benang
tebal yang dililitkan pada meja bundar yang di masing-
masing sisi meja tersebut terdapat sepasang sepasang sepatu
berwarna biru dan merah muda. Di permukaan balon
tersebut tertulis gender boy or girl, lengkap dengan sticker
barbie dan juga robot. Dalam sekali pandang, Nyala tahu di
dalam balon tersebut pasti tersimpan confetti berwarna
sesuai jenis kelamin anaknya.

Ya, anaknya. Anak mereka.

“Kamu lihat?” bibir Nyala bergumam lirih. Tangannya


mengelus perutnya namun matanya tidak meninggalkan
kehindahan dekorasi yang dipersiapkan ini. “Bapak kamu
beda sama bapak aku,” bisiknya pada sang bayi. “Bapakmu
inget sama kamu,” senyumnya dengan bibir bergetar. Air
mata menetes perlahan. Sementara di dalam dadanya,
muncul buncah perasaan haru yang tak mampu ia lukiskan.
“Bapakmu udah siap nyambut kamu,” cicitnya tercekat air
mata sendiri. “Kamu, benar-benar anaknya Harun Dierja
Aminoto.”

Lalu, pandangan Nyala mengarah pada meja bundar lain


yang berukuran lebih besar daripada yang sebelumnya.
Berisi cupcake berwarna serupa balon-balon di depan
matanya. Boneka beruang berwarna merah muda terbungkus
dengan pita dan bersandar di tengah-tengah wall
décor. Bersanding dengan sebuah bola yang berada di ataskotak
berwarna biru. Seolah-olah, itulah hadiah yang akan didapat
oleh anak laki-laki atau anak perempuan mereka ketika lahir
nanti.

“Bapakmu memang selalu nggak terduga,” Nyala hapus air


mata yang melintasi pipi. Tatapnya kemudian mengarah
pada daun pintu kamar yang tertutup rapat. Harun Dierja
berada di baliknya. Entah melakukan apa, tetapi Nyala yakin
pria itu sedang mandi. “Bapakmu baik, ya? Seharusnya tadi,
kita pulang aja ke sini. Supaya bisa ngerayain ini sama-
sama.”

Penyesalan Nyala sungguh terasa dramatis. Bahkan di saat ia


dengan sengaja membesarkan benyak skenario buruk
tentang Harun Dierja di kepalanya, pria itu justru tengah
mempersiapkan kejutan untuknya.

Sekali lagi, Nyala menatap pintu kamar yang tertutup


tersebut dengan hati pilu. Ia menyesal, sungguh. Harun
Dierja memang tak dapat ditebak.
“Bapakmu pasti nggak cuma sekadar marah, ya? Dia kecewa
berat sekarang.”

Harun Dierja melewatkan penerbangannya malam ini, untuk


menjemput Nyala. Pria itu memikirkan perasaannya agar tak
berkecil hati, setelah menghadiri gender reveal party yang
diselenggarakan oleh adik dan iparnya. Maka, perayaan
sederhana ini digelar untuknya. Sementara yang Nyala
lakukan sedari tadi hanyalah meratapi nasibnya yang tak
berharga. Padahal, ada pria luar biasa yang sedang
mengupayakan sesuatu untuknya di tengah-tengah kemelut
hubungan mereka.

Nyala menangis sambil menutup wajahnya.

Sungguh, ternyata ia terlalu serakah sebagai wanita.

Harun Dierja bahkan menikahinya, di saat dengan mudah


dapat menyingkirkannya.

Ia diperlakukan layaknya nyonya. Diberikan tempat tinggal


mewah. Diberi perhiasan indah. Juga, ia tidak diperbolehkan
mengerjakan apa-apa.

Ya, Tuhan ….

Nyala menekan dadanya yang pilu.

Kemudian, tanpa aba-aba, ia memilih melangkah menuju


kamar mereka.
Sesampainya di kamar, pria itu tidak ada di sana. Namun
Nyala tahu, pria itu pasti tengah mandi. Melihat pada kemeja
yang dikenakan sejak siang tadi, Nyala mengasumsikan
bahwa pria itu tidak sempat mandi karena padatnya jadwal
menjelang deklarasi. Terlebih, Harun adalah sosok
pembersih. Jam berapa pun pria itu pulang ke apartemen ini,
Nyala bisa memastikan bahwa Harun akan mandi terlebih
dahulu, sebelum terlelap di sisinya.

Mencoba peruntungan, Nyala mengetuk pintu kamar mandi.


“Pak?” panggilnya dengan suara bergetar menahan tangis.

“Ada apa?”

Nyala menelan ludah.

Tetapi setidaknya, panggilannya mendapat tanggapan.

“Bapak masih lama?”

“Saya sedang berendam.”

Kini, Nyala baru menyadari. Semarah-marahnya pria itu


padanya, Harun Dierja tidak pernah mendiamkannya. Walau
ketus, pria tersebut pasti berbicara.

Nyala ingin minta maaf.

Tetapi menanti hingga suaminya itu selesai berendam,rasanya


terlalu lama.
Jadi, dengan segenap keyakinan dalam diri, Nyala memilih
melucuti pakaiannya sendiri. Kemudian, melapisinya dengan
bathrobe bersih yang baru saja ia ambil.

Ia membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Melewati


wetafel tempatnya biasa menyikat gigi, Nyala melangkah
perlahan menuju bathup yang posisinya berada setelah
closet dan juga shower.

“Pak?”

Harun tengah memejamkan mata, kala panggilan dari


istrinya terasa begitu dekat. Kedua tangannya terentang di
masing-masing sisi bathup. Memastikan tubuhnya
terendam, Harun sengaja menyandarkan penuh
punggungnya di dinding bathup tersebut.

Namun kini, matanya pun mengerjap. Kepalanya menoleh


sedikit ke arah sumber suara yang memanggilnya. Istrinya
yang seharian ini membuat pusing kepala, mendadak muncul
dengan bathrobe dan rambut terurai. Sejenak, Harun perlu
menelisik. Jadi, alih-alih menjawab, ia pandangi wanita itu
dari atas ke bawah. Tatapnya terpaku lama pada perut buncit
istrinya. Tak mengira, bahwa ia akan memiliki seorang anak
dalam kurun waktu sekurang-kurangnya dua bulan ke
depan. Siapa menyangka, peristiwa yang ia beri label laknat.
Justru membawanya pada status baru di antara
interval waktu yang nyaris bersamaan.

Well, ia menjadi suami, sekaligus calon ayah.

“Ada apa?” sambil menghela, ia tegakkan punggungnya. Buat


bagian dadanya tak lagi tenggelam di dalam air. Sambil
membilas busa-busa yang menempel hingga bahunya, Harun
menjadikan istrinya pusat atensi. “Mau mandi?” tanyanya basa-
basi.

Ketika sang istri menjawabnya dengan anggukkan kening


Harun segera berkerut. Ingatannya berlari pada kaos partai
yang tadi melekat di tubuh sang istri. Warna hijau, sama
sekali tak cocok untuk wanita itu. Nyala tentu saja akan
memukai dengan warna biru, sesuai identitas partainya.

“Saya nggak suka wangi sabunnya, Bagus, Pak.”

Harun menaikkan sebelah alisnya sebagai respon dari


ucapan tersebut.

“Saya mau mandi ulang pakai sabun saya sendiri. Saya mau
gabung sama, Bapak, boleh?”

Biasanya, Harun dengan senang hati akan mempersilakan.

Sebagaimana yang beberapa bulan lalu mereka lakukan saat


berada di Bali.
Tetapi, dengan segala yang terjadi hari ini, Harun sedang
berusaha meraba hatinya.

Apakah terlalu kekanakan bila ia merasa kecewa pada sang


istri?

Sementara di sisi lain, dirinyalah yang kerap mengecewakan


wanita itu.

Namun, apa sih yang sebenarnya tengah ia kecewakan?

Fakta bahwa istrinya tidak pulang ke apartemen atau karena


wanita itu pergi bersama pria lain dan tampak sangat akrab?

Ck, entahlah.

Kadang hatinya pun serba salah.

Jadi, setelah memenangkan prahara atas egonya yang


terkadang masih bertingkah tak dewasa, Harun mengulurkan
tangannya secara sadar. “Jangan terlalu lama. Sudah malam,”
ucapnya ketika melihat waktu yang menginjak pukul
setengah sebelas malam. “Sini,” ia menunggu Nyala
membalas uluran tangannya.

Tak ada keraguan, saat Nyala akhirnya mendekat.

Tangannya terulur, meraih tangan Harun Dierja yang


menanti.

Sembari berhati-hati, ia pun melangkah memasuki


bathup dengan bathrobe yang masih membungkus tubuh.
Saat kedua kakinya sudah menapak di dalam dan ujung
bathrobenya basah, barulah Nyala membuka ikatan longgar
yang melilit perutnya. Sebelum kemudian melepaskan
bathrobe tersebut dari tubuh. Ia tak berani bertatap muka
dengan Harun Dierja. Makanya, ia memilih membelakangi
pria itu saja.

Harun sudah mengatakan, bahwa Nyala itu indah. Baik dari

paras, hingga lekuk tubuhnya.

Dan ketika wanita itu memberinya punggung untuk ditatap


dalam jangka waktu lama, tangan Harun bergerak secara
naluria, menuang air sabun pada punggung mulus itu.
Seperti, hari-hari saat mereka di Bali. Kulit Nyala masih
sehalus yang diingat sentuhannya. Menyentuh Nyala sama saja
dengan mematik gairah di dalam tubuhnya yang
nir busana.

“Saya mau minta maaf, Pak,” ujar Nyala merasa tak ingin
menjeda permohonan maafnya ini lebih lama. “Maafkan, saya
yang terus menyusahkan, Bapak.”

Harun tak segera memberi reaksi.

Geraknya menyirami punggung Nyala pun terhenti.

Sejujurnya, sejak awal hubungan mereka bermasalah. Namun


entah kenapa, seiring berjalannya waktu, Harun
dapat menerima bahwa saat ini Nyala merupakan bagian
dari takdirnya. Hidup bersama Nyala, bukanlah sebuah dosa.
Walau bagi yang lainnya, hal itu terlihat salah. Dan sekarang
ini, Harun terlampau lelah untuk memikirkan penilaian-
penilaian orang yang setinggi langit untuknya. Seolah
mereka lupa, bahwa ia hanyalah laki-laki biasa.

Jadi, mengabaikan kemelut yang tiada habis membabat jiwa,


Harun merengkuh pinggang Nyala dan membawa wanita itu
agar menyandarkan punggung di dadanya.

Ya, kali ini baru terasa benar.

Beginilah, seharusnya mereka menghabiskan waktu terbatas


itu.

“Pak,” Nyala terkesiap pelan. Tidak sampai terkejut yang


berlebihan, ia hanya tak menyangka Harun Dierja masih ingin
memeluknya. Namun diam-diam, ia menarik napas lega. Ia
pasrahkan tubuh secara penuh pada laki-laki itu. “Maafkan
saya, Pak,” ulangnya sambil menikmati ritme jantung mereka
yang berdetak sama.

Selanjutnya, mereka tidak mengatakan apa-apa.Suhu di

dalam air sudah tidak terlalu hangat.

Tetapi, Nyala menikmatinya tanpa merasa


kedinginan. Sampai akhirnya, Harun Dierja

membawa telapak tangannya


dalam genggaman. Kemudian, pria itu mengangkatnya tinggi.
Sebelum menjatuhkannya dengan perlahan di atas perut
buncitnya.

“Saya melihat dia menggenggam tangan kamu hari ini,” bisik


Harun yang menatap tautan tangan mereka dari balik bahu
kanan Nyala. “Dia memegangi kamu agar tidak jatuh ketika
berjalan,” belum melepaskan genggaman, Harun justru
mengeratkan tautan tangan. “Sesuatu yang tidak bisa saya
berikan kepada kamu,” gumamnya sambil menganggukkan
kepala ringan. “Dia menuntun kamu berjalan di antara
keramaian. Dan saya tidak bisa melakukan itu untuk kamu.”

“Maksud Bapak?” Nyala menoleh hanya demi melihat raut


wajah pria itu. “Mas Iqbal?” tebaknya seolah yakin.

Dan tanggapan pertama Harun adalah tertawa dengan ekspresi


yang terlihat masam. Ia geleng-gelengkan kepala singkat,
sembari menatap istrinya lamat-lamat. “Mas Iqbal?” ia
membeo panggilan Nyala tadi. “Jadi, namanya Mas Iqbal?”
sungguh, ia memang sedang bertanya. Tetapi entah kenapa,
nada suaranya terasa menyebalkan. “Bahkan, kamu memiliki
panggilan khusus untuknya,” dengkus Harun pelan.

Nyala mengubah posisi duduknya menjadi sedikit


menyamping. Membuat, genggaman tangan mereka terlepas.
Tetapi Nyala tidak perlu khawatir, sebab Harun Dierja kini
menyentuh perut bulatnya di dalam air. “Usia Mas Iqbal, satu
tahun di atas saya, Pak. Nggak mungkin, saya panggil Adik,”
Nyala memberi alasan.

“Dan usia saya sebelas tahun di atas kamu,” Harun


mengingatkan.

“Saya tahu, Pak. Makanya, saya menghormati Bapak.”

Harun mengangguk dengan wajahnya tampak sedikit tak


peduli. “Oke,” putusnya tiba-tiba. “Sebelumnya, ada Mas
Rafael, Mas Putra dan sekarang Mas Iqbal,” ia mengangguk
sok paham. “Dan saya adalah Bapak. Begitu ‘kan?”

“Maksudnya gimana sih, Pak?”

Nah! Pak? Bapak?

Bapak Harun Dierja.

Ya, memang itulah sapaannya.Lalu di mana salahnya?

Tidak ada.

Hanya saja, Harun terkadang punya sisi irasional yang sulit


dipercaya.
“Sudah hampir jam sebelas,” Harun meraup air di dalam
bathup dengan kedua tangan. Kemudian, ia sapukan ke atas
bahu Nyala hingga dadanya. Ia lewati payudara wanita itu,
supaya mereka tidak terjebak semakin malam di dalam sini.
“Ayo, bilas,” ia yang berdiri terlebih dahulu.

Dengan keadaan nir busana seperti istrinya, Harun


mencoba tak peduli pada reaksi alami yang terjadi padapusat
tubuh. Jelas, ia normal. Istrinya yang memiliki lekuk
menggoda, tak mungkin saja tak mengusik hasratnya.
Payudara membuncah dengan putting mengeras, tentu saja tak
dapat ia abaikan dengan mudah. Tetapi, ia tak ingin wanita
itu kedinginan bila terus berada di dalam air.

“Kamu masih memiliki sisa satu jam di hari ulangtahun kamu


ini. Dan Mas Putra,” ia menekan nama sang Aspri dengan
sebutan yang biasanya digunakan istrinya untuk memanggil
bawahannya itu. “Menyimpan tart di lemari es.”

Nyala membiarkan pria itu membantunya bangkit.


Membimbingnya turun dari bathup hingga menjejak lantai
kamar mandi yang kesat. Sejujurnya, Nyala pusing ingin
menatap ke arah mana. Sebab, ketika ia memandang mata
pria tersebut, ada kobaran hasrat yang coba diredam. Dan
kala Nyala menurunkan pandangannya, netranya justru
bertumbuk pada bukti gairah milik suaminya. Kemudian, ia
merasa serba salah. “Pak?”

Harun menghela napas panjang. “Abaikan saja,” ia tahu ke


mana pertanyaan Nyala akan bermuara. “Ayo mandi,” mereka
telah berada di bawah shower. Harun mencoba tidak menatap
tubuh sang istri dan hanya fokus pada wajah wanitaitu saja.

“Pak, anaknya dari tadi nendangnya sakit lho, Pak,” ia


mengadukan kelakukan anak mereka yang berada di
kandungannya.

“Dia tahu, Ibunya hari ini bandel.”

Nyala tersenyum lebar. Sembari menggosok tubuhnya, ia


pandangannya jatuh menuju perutnya yang bundar. “Dia
ngambek, Pak. Mungkin, karena saya nggak izin samaBapak.”

“Betul,” Harun meraih botol sampo milik Nyala, ia tuang ke atas


telapak tangannya, lalu mengusapnya ke arah rambut panjang
sang istri. “Dia tahu, kamu agak nakal hari ini.”

Senyum Nyala masih terpatri lebar. Ia tak sanggup


menjangkau kepala Harun Dierja untuk bergantian menuang
sampo. Jadi, yang ia lakukan adalah menyabuni dada pria itu
yang bidang. Mengusapnya dari bahu lebarnya, kemudian
jatuh ke dada hingga bagian perut. Pria itu tidak memiliki
tubuh atletis dengan massa otot bak seorang binaragawan.
Namun menurut Nyala, tubuh Harun proporsional sesuai
usianya. Perutnya tidak berbentuk kotak-kotak, tetapi cukup
padat dan tidak terlalu ramping.

“Jangan ke bawah,” Harun menangkap tangan Nyala. “Kamu


bisa kehilangan momen hari lahir kamu, bila kamu
menyentuhnya,” suara Harun terdengar serak sekaligus
berat. “Mandi saja.”

“Tapi, saya belum dapat hadiah ulangtahun dari Bapak.”

“Kamu bisa meminta apa saja, setelah kamu mengeringkan


tubuh kamu dan berpakaian lengkap.”

“Dicicil sedikit boleh nggak, Pak?”“Nggak.”

Nyala terkekeh.

Tetapi kemudian, ia mendapatkan satu ciuman di sudut


bibirnya. Sesuatu yang menyulut keberanian lain darinya.
Sebab, ia malah bersiap mengalungkan kedua lengannya di
leher Harun Dierja.

“Nyala,” Harun memperingatkan.

“Saya nggak kedinginan, Pak. Airnya hangat kok,” alibinya


dengan senyum di wajah.

Ck,” Harun berdecak. Namun tak berselang lama, ia


rengkuh punggung sang istri. Lalu mendaratkan ciuman tepat
di atas bibir seorang Nyala Sabitah. “Selamat ulangtahun,”
bisiknya disela cumbuan yang mendominasi malam.

***

TIGA BELAS

Perempuan adalah makhluk istimewa. Terkadang, mereka tak


membutuhkan teman tuk berbagi rahasia. Cukup melamun
saja, mereka akan berkelana lewat alam bawah sadar yang
hanya diperuntukkan bagi mereka. Tempat di mana,
perempuan dapat melakukan apa pun semaunya.
Sebuah dimensi yang tercipta atas ketidakpuasan hidup di alam
semesta.

Ya, walau hal tersebut hanya sementara.

Tetapi tak masalah, sebentar pun cukup bagi mereka.

Namun untuk Nyala, ia sedang hidup di dunia nyatanya.


Tengah menjalani takdir semesta menjadi istri Harun Dierja.
Sebentar lagi, ia akan bergelar sebagai orangtua, di mana
momen itu merupakan hal berharga.

Harun Dierja menghadiahinya intimate party yang hanya


akan dirayakan oleh mereka berdua. Dan bagi Nyala, hal
tersebut sudah luar biasa. Ia menyukainya. Ia tak bisa
menyembunyikan senyumnya.

“Tart yang dibeli Mas Putra kamu, mengeras,” Harun


membawa kue ulangtahun itu sembari tak melupakan sindiran.
“Bagaimana, kamu sedih karena tidak bisa langsung
memakannya?”

Nyala terkekeh geli. “Bapak bukan lagi kode minta dipanggil


“mas” juga ‘kan?” ia membuat tanda kutip di udara.

Harun merespon ucapan tersebut dengan dengkusan.


Namun setelah itu, ia bergabung dengan sang istri yang
sudah duduk manis di sofa living room apartemennya.
Wanita itu mengenakan summer dress berwarna pink di
bawah lutut, rambutnya yang basah sudah mengering berkat
bantuan hair dryer. Namun, wanita tersebut memilih
menggerai rambutnya untuk menutupi masing-masing
bahunya yang hanya disanggah oleh satu tali dress saja.
Masih ada sisa waktu 30 menit sebelum pergantian hari baru.
Wanita itu siap merayakan ulangtahunnya di sisa hari ini.

Dan Harun, diminta untuk mengenakan kemeja biru, lagi. Ya,

lagi.

Sebab sepanjang hari ini, Harun sudah mengenakan warna


tersebut di tubuhnya.
Well, Nyala juga ingin memecahkan balon keemasan tersebut
demi merayakan intimate gender reveal mereka.

“Saya lebih suka makan buah yang dipotong Bapak,” Nyala


menusuk potongan apel di piringnya dengan garpu. “Bayinya
juga suka buah, Pak.”

Menyamarkan senyum dengan dengkusan, Harun meletakkan


kue yang ia bawah di atas meja. Matanya kemudian melirik
pada potongan-potongan buah yang berada di piring tersebut.
Hatinya mendadak menghangat, ketika Nyala memang lebih
memilih mengunyah buah-buah yang ia potong saat menunggu
wanita itu bersiap. “Jadi, lilin ini mau dipasang di atas piring
buah?”

Sudah ada angka dua dan juga tujuh dalam masing-masing


kotak yang membungkus lilin tersebut. Pematiknya juga
tersedia di sana.

“Putra tidak bisa membuat kue custume di toko kue ini, di jam-
jam mepet seperti tadi. Jadi, ya, hanya kue ini yang bisa ia pilih.
Menurutnya, ini kue yang paling bagus di toko itu.”

“Sebenarnya, ulangtahun itu bukan karena kuenya, Pak. Tapi,


dengan siapa kita merayakannya,” cicit Nyala malu- malu.

“Jadi, kita bisa menyalakan lilinnya sekarang?” Harun bukan


enggan memberi tanggapan. Hanya saja, jantungnya cukup
berdebar menerima senyum Nyala malam ini. Seingatnya,
wanita itu tidak mengenakan perona pipi, tetapi entah
kenapa semu merah terlihat merambat memberi warna pada
kulit wajahnya yang putih. “Sepertinya, kita memiliki agenda
lain setelah acara tiup lilin ‘kan?” Harun menunjuk balon
emas di depan sana dengan dagunya.

Nyala segera mengangguk. “Saya nggak sabar, Pak,” ucapnya


penuh semangat.

“Seingat saja, dulu kamu tidak mau mengetahui jenis kelamin


bayinya sampai lahir,” Harun mengingatkan kalau- kalau Nyala
lupa.

“Itu dulu, Pak. Kalau sekarang, saya sudah nggak sabar,” ia


elus perutnya sambil melebarkan senyum. Suaminya itu
hanya menggeleng merespon tingkahnya. Lalu, mulai
memasangkan lilin di atas tart yang dilapisi cokelat putih
yang mengeras. “Saya boleh ambil foto dulu, Pak? Saya
janji,akan simpan foto ini untuk kenang-kenangan.”

“Silakan.”

Nyala mengambil banyak foto dengan kue berhias angka 27 itu.


Ia juga meminta bantuan Harun Dierja memotretnya ketika ia
mengangkat kue tersebut bersamanya.

“Sudah?” tanya Harun ketika istrinya itu meletakkan kembali


kue tersebut ke atas meja. “Perlu menyanyikan lagu untuk
meniup lilin?” tanyanya setengah meringis. Pasalnya, hanya
ada mereka berdua di apartemen ini. Bisa dipastikan, ia
harus turut bernyanyi.

“Nggak usah, Pak,” Nyala tertawa geli. “Cukup doain saja,


Pak.”

“Selamat ulangtahun, Nyala Sabitah,” Harun mengucapkan


kalimat itu lagi. Kali ini dengan nuansa yang jauh lebih
khidmat dari sebelumnya. “Saya nggak tahu bagaimana
takdir kita bermuara, tapi yang saya inginkan, agar kamu
selalu bahagia.”

“Saya ingin bahagia dengan kamu, Pak.”

Namun Nyala hanya berani menyimpan sendiri keinginan


tersebut.

“Terima kasih telah bersedia mengandung bayi saya,” tatap


Harun berganti ke arah perut buncit wanita itu. “Tadi, kamu
bilang ingin membesarkannya, ya?” kini suara Harunterdengar
berat. Matanya tampak bergetar, sementara rahangnya kaku.
“Silakan,” ia teguk ludahnya susah payah.“Saya izinkan kamu
membesarkannya.”

“Pak,” kini Nyala yang kehilangan kata. Matanya seketika saja


terasa panas. Ia enggan berkedip karena khawatir hanya akan
ada air mata yang tumpah.
“Karena itu,” tangan Harun menyentuh tangan Nyala. Ia
usap punggung tangan wanita tersebut, seraya menatap
Nyala penuh arti. “Kamu bisa berlanja perlengkapan
kelahirannya mulai besok. Beli apa pun yang kamu mau. Dan
kirimkan barang-barang itu ke sini,” maksud Harun adalah
apartemennya. “Saya tidak mengizinkan kamu tinggal di
mana pun selain tempat yang memang saya sediakan untuk
kamu. Karena itu, jangan ke mana-mana, ya?” ia menatap
Nyala dalam-dalam. “Jangan pergi ke mana pun,” Harun
eratkan genggaman tangan mereka. “Jangan pernah ke
mana-mana tanpa izin dari saya.”

Tak kuasa membendung air mata, Nyala menggigit bibirnya


demi isak yang hendak larut dalam malam yang berharga ini.
“Sa—saya,” Nyala tak kuasa menahan sesak di dada. Demi
Tuhan, ia ingin sekali menyebutkan permintaannya yang sudah
berada di ujung lidah.

“Saya ingin bahagia dengan Bapak.”

“Saya ingin membesarkan bayi ini bersama Bapak.” “Dan

saya bersumpah, tidak akan pergi dari sisi Bapak.” Tetapi

kenapa, rasanya sulit sekali?

Karena sungguh, ia takut membebani masa depan pria itu


dengan beristrikan wanita seperti dirinya.
“Sebentar lagi jam dua belas,” Harun mengingatkan sambil
menghapus air mata sang istri. “Sekarang, tiup lilinnya, ya?” ia
berikan senyum hangat seolah ingin menginformasikan bahwa
segalanya akan baik-baik saja. “Kita masih harus memecahkan
balonnya.”

Menelan semua yang ingin ia ucap, Nyala mengangguk susah


payah. Ia berusaha menarik napas demi mengusir gemuruh
yang bersemayam di dada. Sebelum kemudian, matanya
menutup. Siap meniup api yang bertengger di atas lilin.

“Ya, Tuhan, saya ingin bahagia dengan pria ini,” mohon Nyala
dalam hati.

Dan lilin itu pun padam.

Dengan senyuman Harun Dierja yang begitu indah di


matanya.

***

“Bapak pengin anak laki-laki atau perempuan?”

Mereka sudah berdiri di hadapan balon keemasan yang


menyimpan kode warna untuk mengetahui jenis kelamin
anak mereka. Atas permintaan Nyala, akhirnya Harun
bersedia dipotret bersama dirinya. Walau agak susah, karena
tak memiliki siapa pun untuk mengambil gambar mereka
secara utuh, namun tak masalah, Nyala tetap bersyukur.
“Kamu ingin anak perempuan?” Harun membalas pertanyaan
sang istri dengan pertanyaan lain. “Kamu memaksa saya
mengenakan kemeja biru. Dan kamumemakai pink.”

“Anak kita jadi bahan taruhan lho, Pak,” mendadak saja


Nyala mengingat taruhan bodong yang dilakukan oleh
Mayang dan juga Bagus. “Mayang yakin anak kita cewek,
karena waktu trimester awal itu saya baru bisa makan kalau
disuapin Bapak. Katanya, itu karena anak kita perempuan.
Jadi, dia pengin dimanja sama bapaknya,” tutur Nyala
diiringi senyum. “Kalau Bagus maunya cowok. Supaya dia
bisa mempraktekkan azan yang udah dia kuasai,” Nyala
menjadi geli dengan alasan yang dikemukakan Bagus itu.

Feeling kamu sendiri?”

“Sebenarnya saya pengin cewek, Pak,” aku Nyala dengan


jujur. “Biar bisa didandani cantik-cantik,” imbuhnya lagi
sambil tertawa. “Tapi kemudian, saya takut kalau nanti dia
berakhir seperti saya,” walau ia menyiasatinya dengan
senyuman percayalah nada kemirisan itu nyata di ujung
kalimatnya. “Saya khawatir, dia akan merasa nggak
berharga,” cicit Nyala menundukkan wajah.

“Tapi saya bukan Sanusi Wijaya,” Harun menyentuh dagu


istrinya agar kembali menatapnya. “Dan Nyala, bila nanti dia
juga akan terlihat seperti kamu, saya tidak
mempermasalahkannya. Karena menurut saya, menjadi kamu
juga luar biasa. Kamu hebat, sebab dapat menerima takdirkamu
tanpa mengeluh.”

Air mata yang tadi sempat surut, kini menggenang kembali di


pelupuknya. “Saya boleh cium Bapak?”

Harun tak perlu memberikan jawaban, sebab dirinya sendiri


yang segera menundukkan wajah demi mempertemukan bibir
mereka.

“Jadi, Bapak mau anak laki-laki atau perempuan?” pertanyaan


Nyala tadi belum dijawab. Makanya, ia kembali
mempertanyakannya.

Harun tampak termenung lama. Sebelum kemudian, ia


mengusap rambut Nyala dengan lembut. “Kalau boleh
meminta, saya ingin keduanya,” ujar Harun jujur.

“Tapi bayi kita cuma satu, Pak.”

“Saya tahu,” senyum Harun terpatri lembut. “Itu hanya


keinginan saya,” tangannya terarah mengelus perut Nyala.
“Tapi sepertinya, anak laki-laki juga boleh.”

“Sepertinya, cewek sih, Pak?”

“Kenapa yakin begitu? Apa karena kamu baru bisa makan saat
saya suapi?” ketika Nyala mengangguk, Harun
mengusap lengan wanita itu dengan sayang. “Kemungkinannya,
dia adalah anak laki-laki yang ingin melihat saya
memperhatikan ibunya. Supaya saya tidak lupa pada tanggung
jawab saya di sela-sela kesibukkan saya yang padat waktu itu.”

Kemudian, mereka pun bersiap dengan untuk memecahkan


balon di hadapan keduanya.

Dengan kamera ponsel milik Nyala yang merekam tiap


momen yang akan tercipta, mereka pun mulai menghitung.

“Satu … dua … tiga …”

Duaarr ….

Lalu confetti yang mengisi balon tersebut pun berhamburan.

Warna birunya menghiasi senyuman sepasang calon orangtua


yang siap menyambut kelahiran bayi mereka.

“Laki-laki, Pak?!” seru Nyala tertahan. Ia tertawa di antararinai


air mata yang ikut tumpah. Sebelah tangannya memeluk
pinggang Harun Dierja dengan erat. Sementara yang sebelah
lagi, sibuk menampung confetti-confetti yang berterbangan.

Harun ikut tersenyum. “Selamat,” ia memberikan ungkapan


itu pada sang istri.
“Selamat juga buat Bapak. Anak pertamanya laki-laki,” suara
Nyala tercekat haru. “Dia pasti bangga, punya orangtua seperti
Bapak.”

Walau, kelak tak ia tidak akan memperoleh pengakuan apa-


apa.

Ya, Tuhan … tolong, berikan keikhlasan itu padanya.

Supaya sesak yang menyandra dada Nyala, nantinya jugaakan


dirasakan anaknya.

“Nanti, tolong azanin anak saya, ya, Pak? Tolong temani


saya
melahirkannya.”

Dan Nyala tak kuat.

Ia memilih menumpahkan tangisnya di atas dada Harun


Dierja.

“Saya ingin membesarkannya dengan Bapak. Demi Tuhan,


saya ingin merawat anak kita bersama-sama, Pak.”

***

Faktanya, terlihat tenang bukan berarti senang. Kadang-


kadang, mereka hanya sedang berjuang. Berusaha menerima
kenyataan tanpa perlu membenci keadaan.
Deklarasi Pengukuhan Kusno Aji – Harun Dierja Aminoto akan
segera dimulai. Lobi hotel tempat diberlangsungkannya
acara sudah dipadati oleh media-media yang haus akan
berita. Beberapa stasiun televisi pun mengadakan siaran
langsung terhadap jalannya deklarasi yang sebentar lagi akan
berlangsung. Para awak media, sedang menunggu bintang
utama acara hari ini.

Para kader inti dari lima partai yang bergabung dengan koalisi
pemenangan pasangan Kusno Aji dan Harun Dierja, sudah
memenuhi ballroom acara. Tinggal menanti sang kandidat
calon Presiden dan wakilnya yang dipastikan akan tiba sebentar
lagi.

Dan begitu mobil-mobil yang membawa para petinggi partai


koalisi merapat, masing-masing awak media sudah
menyiapkan kameranya demi menyorot calon-calon
pemimpin negeri ini.

Satu per satu pemimpin-pemimpin partai itu meninggalkan


mobil mereka. Berjalan beriringan memasuki lobi dengan
senyum yang menularkan semangat positif. Para pewarta
memanggil-manggil mereka, supaya kamera-kamera dengan
flash yang mendera dapat mengabadikan momen-momen
penting ini.

Ketika akhirnya ke lima petinggi partai dan juga bos media alias
Gideon Sutjatmoko memasuki ballroom, para kader- kader
mereka yang hari ini kompak mengenakan kemeja
putih langsung berdiri dan memberi tepuk tangan meriah.
Sorak-sorai pendukung koalisi terdengar begitu meriah.
Seolah, para kader tersebut telah merestui pencalonan ini.

“Wah, sambutannya meriah sekali ‘kan, Pak Harun?” sambil


berjalan menuju panggung yang telah siap untuk deklarasi,
Kusno Aji menepuk punggung calon pasangannya sembari
menggumamkan kekaguman pada basis pendukung mereka.
“Untung saja, Pak Harun memutuskan datang pagi tadi,” ia
melempar sarkas dengan berani. “Kami semua agak panik,
begitu menyadari bahwa Pak Harun sengaja ketinggalan
pesawat,” sindirnya tanpa menutup-nutupinya lagi. “Bahkan,
Pak Sekjen hampir meminta private jetnya yang berada di
Makassar untuk menjemput Bapak yang ternyata sedang
merayakan ulangtahun istrinya.”

Rahang Harun mengerat.

Sembari menaikin panggung dan mulai duduk di kursi yang


disediakan, ia mengerling sejenak pada Kusno Aji.

“Dalam satu tahun, saya memiliki 365 hari sibuk. Dan istri saya,
hanya memiliki satu hari berharga di tanggal kelahirannya,”
balas Harun tenang. Kemudian, matanya menemukan sorot
penuh perhitungan yang dilempar olek Sekjen partainya yang
duduk di barisan paling depan bersama dengan ayahnya dan
tamu kehormatan lainnya.
Sambil mendengkus, Harun teringat pada rentetan pesan
bernada marah yang dikirimkan oleh pria tua itu. “Seperti yang
Pak Kusno ketahui, istri saya agak tidak disayang oleh ayahnya.”

Kusno Aji tertawa.

Ia menatap ke arah pandang Harun Dierja dengan senyum


merekah.

“Saya sangat suka dengan selera humor Pak Harun,”


kekehnya seolah Harun benar-benar melempar guyonan
lucu. “Saya yakin, kita akan cocok,” ia mengulurkan tangan
untuk berjabat tangan.

Walau sambil mendengkus sinis, Harun tak punya kuasa


untuk menolak jabatan tangan itu. “Saya ingin serius
mengabdi pada negeri ini, Pak Kusno. Dan saya ingin, Bapak
memastikan tidak ada skandal siapa pun yang menjegal
langkah kita.”

“Aman,” Kusno Aji meyakinkan. “Saya sangat menghargai satu


koma lima triliyun, Pak Harun.”

Meski bukan uangnya, Harun merasa cukup kasihan pada


Sanusi Wijaya, yang menggelontorkan dana sebanyak itu untuk
mendanai kampanye mereka nanti. Padahal, kalau saja Sanusi
Wijaya tidak menyembunyikan Nyala dari dunia, pria setengah
baya tersebut tak perlu mengeluarkan uang
hingga triliyunan rupiah. Cukup mengakui Nyala, atau bila
memang tak ingin publik mengendus dosanya, kirim saja Nyala
ke luar negeri untuk bersekolah dan tinggal di sana.

Tetapi, ya, itu pemikiran rasionalnya.

Terkadang, kita tak pernah tahu bagaimana isi hati seseorang


sebenarnya.

Harun menggelengkan kepala demi mengusir pikiran- pikiran


tersebut. Ia harus fokus untuk bersiap diperkenalkan secara
resmi ke hadapan publik sebagai calon Wakil Presiden yang
akan mendampingi Kusno Aji.

Dan ketika acara sudah di mulai dengan kata sambutan yang


begitu luar biasa dari Kusno Aji, Harun jadi menatap sosok itu
lamat-lamat. Seperti yang Harun pernah katakan dulu, ia
mengagumi sosok tersebut. Baik melalui masalalunya sebagai
seorang Jenderal, maupun pada kepemimpinannya pada
partainya sendiri. Secara professional, Kusno Aji memang layak
diperhitungkan untuk menjadi salah satu kandidat paling layak
memimpin negeri ini. Visi dan Misi yang dituturkan pria
tersebut begitu jelas dan berstruktuk.
Pidatonya membuat ribuan pasang telinga terfokus.

…. Dan untuk membuat perubahan, saya tidak bisa


menjalankannya seorang diri. Saya membutuhkan partner,
rekan kerja, sekaligus teman yang mau berjuang
bersama saya demi Indonesia yang lebih baik. Dan orang yang
saya pilih dan menurut saya merupakan orang yang palingtepat
adalah ketua umum paling ganteng dari partai Nusantara Jaya.
Ayo, berikan tepuk tangan yang meriah untuk Bapak Harun
Dierja Aminoto. Calon Wakil Presiden yang akan mendampingi
saya dalam pesta demokrasi. Baik, mari kita sambut, Harun
Dierja Aminoto.”

Ketika tepuk tangan terus menggema.

Dan tepukan-tepukan lembut di punggungnya terasa bak


dukungan yang menguatkan.

Harun pun akhirnya berdiri dari kursinya. Dalam hati, ia

sedang menghitung langkah. Sebentar lagi, hidupnya tak lagi

sama.

Dan semoga apa pun takdirnya, semoga tak ada yang tersakiti
oleh tiap keputusannya. Karena sekarang ini, ia tak hanya
sekadar ketua umum sebuah partai. Melainkan, calon Wakil
presiden yang siap bertarung lewat gagasan dalam upaya
menghapus jurang kesengsaraan di tengah-tengah lapisan
masyarakat.

“Bagaimana, Pak Harun? Siap mengemban tugas baru?”

Netranya menyapu ribuan audience yang nyaris seluruhnya


merupakan kader-kader partai. Senyum merekah di wajah
mereka semua bak bahan bakar yang siap mengantarnya pada
tanggung jawab yang bila Tuhan mengendaki akan
membuatnya menjadi orang nomor dua di negeri ini.

Setelah menarik napas dan menjernihkan pikiran, akhirnya


Harun pun melengkungkan senyuman. Di tangannya sudahada
mic yang digenggam. Sebelum menjawab pertanyaan tadi
melalui lisan, ia mengganggukkan kepalanya sebentar. “Saya
siap, Pak.”

Lalu, kini gilirannya yang akan menyampaikan kata sambutan


untuk mengisi deklarasi ini.

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Empat
Belas - Lima Belas - EnamBelas ·
Karyakarsa

EMPAT BELAS

Tidak semua badai datang tuk mengganggu hidup kita.


Kadang kala, kehadirannya justru demi membersihkan jalan
yang semula tertimpa banyak prahara. Hidup di dunia
memang penuh intriks dan drama. Tetapi biasanya, akan
terselip tawa-tawa kecil di tiap ujungnya. Sabar saja, sebab
tak ada derita yang berlangsung selamanya.

Dan Harun Dierja sedang bersiap menyampaikan pesan


pertamanya sebagai calon Wakil Presiden yang diusung oleh
lima partai politik. Dengan para kader-kader hebat yang siap
memenangkannya. Walau di masa depan masih terlalu abu- abu
untuk ditebak. Usai mengucapkan salam serta serangkaian
terima kasih atas kehadiran para pendukung di sini, Harun
menebarkan senyum tipis ke seluruh penjuru ballroom.

“Saya ingat, dulu Pak Sekjen partai saya, yaitu Pak Sanusi
Wijaya pernah berkata bahwa saya terlalu idealis dan sangat
tidak flexible sebagai seorang pemimpin partai. Lalu, dalam
hati saya mengiakannya. Tapi, saya tidak berani mengakui
hal itu di depan beliau. Karena, beliau pun mengatakannya
di belakang saya,” ia lempar nada gurauan walau kalimat
yang ia ucapkan penuh keseriusan. Mengakibatkan suasana
ballroom menjadi ramai dengan tawa dari para kader-kader
partai yang tak tahu apa-apa. “Seiring berjalannya waktu,
justru beliau adalah orang pertama yang mendukung saya
untuk maju sebagai calon Wakil Presiden untuk
mendampingi Bapak Kusno Aji.”

Sebuah sindiran.

Namun tampaknya, Kusno Aji menikmati kalimat satir itu


dengan tawa menyebalkan.

Beda hal dengan Sanusi Wijaya yang terus menerus


mengkerutkan wajahnya. Seolah keberadaan Harun di depan
sana membuatnya kesal.

“Dan Sekjen partai saya juga yang mengatakan pada kami,”


yang dimaksud Harun tentulah pada dirinya dengan Kusno Aji.
“Kita akan melakukan deklarasi paling akhir. Karena pahlawan,
selalu datang belakangan.”

Harun melempar senyum lebar, lalu gempita tepuk tangan


merayap hingga memenuhi ballroom dengan aura
menyenangkan. Kemudian, Harun menatap wajah Sekjen
partainya yang sama sekali tidak tersentuh pada pujian yang ia
sampaikan barusan. Well, Harun tahu betul bahwa Sanusi
Wijaya masih teramat kesal padanya.

“Kamu bertindak terlalu gegabah Harun Dierja,” Sanusi


melotot dengan rahang mengerat begitu sosok ketua umum
partainya yang menghilang sejak malam kemarin
akhirnya menampakkan diri di lorong hotel tempat di
mana kamar mereka berada. “Banyak mata yang sedang
mengikuti tiap gerakmu. Kamu menghilang hanya untuk
menjemput anak nakal itu, sementara kamu punya selusin
orang yang bisa diperintah.”

“Istri saya sedang berulangtahun,” Harun ungkap kejujuran


dengan desah kasar. “Dia membutuhkan saya untuk
merayakannya.”

“Ck, kalau kamu lupa, istrimu itu sudah bukan anak kecil lagi.
Dia tidak butuh hal itu.”

“Justru, karena sedari kecil dia tidak pernah merasakan


perayaan ulangtahun. Jadi, saya bertekad memberinya
sedikit kejutan. Dan ngomong-ngomong, di tanggal kemarin,
27 tahun lalu anak perempuan Anda lahir ke dunia. Anda
bisa mengingat, di mana Anda waktu itu?”

Berusaha mengalihkan ingatan pada konfrontasi kecilnya


dengan Sanusi Wijaya pagi tadi, Harun kembali menatap
naskah deklarasi yang dibuatnya bersama Putra dengan
beragam revisi hingga siang ini.

“Pak Kusno Aji, merupakan salah satu tokoh yang saya


idolakan,” bukan sekadar narasi semata. Jauh di dasar hati,
Harun memang sempat mengagumi Kusno Aji. “Papa saya,
sering membawa saya ketemu teman-temannya waktu saya
masih remaja. Pertama kali ketemu Pak Kusno sewaktu beliau
masih menjadi Jenderal. Auranya sungguh luar biasa. Dan saya
selalu terkesima dengan strategi-strategi yang beliau lakukan.
Baik di militer, maupun di lapangan
golf. Benar begitu ‘kan, Pak?”

Kusno Aji tertawa keras.

Seolah begitu senang dengan joke yang dilempar Harun Dierja.

Masyarakat biasa, tentu saja akan menganggapnya


garing. Tetapi tampaknya para kader partai yang berada di
tempat ini, menyukainya seperti Kusno Aji.

“Sewaktu saya masih remaja, saya sering menemani Papa


saya yang sedang bertukar cerita dengan Pak Kusno. Dan
saya sama sekali tidak menyangka, bahwa kini adalah giliran
saya yang akan menemani Pak Kusno mewujudkan semua
cita-cita yang beliau himpun sebagai anak bangsa yang selalu
ingin menjaga keutuhan Negara.”
Harun harus mengakui, menjadi pemimpin harus pintar
mengolah diksi saat bercerita. Bukan sekadar orasi yang
berapi-api. Audience juga perlu dilarutkan dalam keindahan
birama lewat kata yang bersimfoni dengan nada.

Membakar semangat, itu pasti.

Tetapi, pemimpin juga harus membuat kalimat-kalimatnya


diingat.

Intruksi melalui sebuah bentakkan tidak akan membuatnya


dikenang.

Namun, panggillah orang-orang tuk berkumpul dengan


irama sayang.

Dan Harun, mempelajari semua itu dari sang ibu.

“Awalnya, saya dan Kusno berseberangan visi dan juga misi.


Lalu, kami membuat banyak pertemuan untuk saling mengenal
pribadi masing-masing. Hingga terumuslah jalan tengah yang
akan menjembatani tujuan kami dalam mewujudkan
demokrasi sejati,” suara Harun begitu tenang.

Ia begitu percaya diri dengan puluhan kamera yang


membidiknya tiada henti. Dan acara deklarasi ini, juga
ditayangkan secara langsung oleh dua statiun televisi milik
Gideon Sutjatmoko. Yang itu berarti, selain para kader yang
berada di sini, jutaan pasang mata mungkin saja tengah
memantau dirinya dari televisi atau media elektronik
lainnya.

Dan itu berarti, ada istrinya yang juga tengah


menontonnya saat ini.

Istrinya … Nyala Sabitah.

Yang ia tinggal pagi tadi masih dalam keadaan mengantuk.


Namun, tetap mengantarnya menuju basement.

Ya, sedang apa wanita itu sekarang? Tentu saja, tengah

menonton dirinya.

***

Benar saja.

Nyala sedang mengagumi pria berkacamata dengan kemeja


putih dan dua kancing teratasnya terbuka. Celana berwarna
khaki yang semi formal, membalut kaki pria itu yang tinggi.
Ekspresi Harun Dierja adalah sebuah keindahan lain dari
betapa luar biasanya ketua umum partai Nusantara Jaya
terlihat ketika tengah bekerja.

Sampai-sampai, Nyala menggigit bibir karena tak kuasa


menahan pesonanya.

Ya, Tuhan ….
“Gila ya, tuh, lakik.”
Bahkan, Nyala tak menolehkan kepalanya sedikit pun.

Ia mengabaikan Mayang, dan memilih tetap menyanggah


dagunya pada bantalan sofa yang ia letakkan di atas perut
bundarnya.

“Pasti banyak anak gadis orang yang di sosmed yang lagi


ngejerit-jerit “rahim anget”, celetuk Mayang sambil
menggelengkan kepala lucu. “Harun Dierja kalau lagi
ngomong serius, emang nggak ada obat. Kacamatanya bikin
auranya makin aur-auran. Hebat lo, La, tuh lakik cuma
ngangetin rahim lo doang,” sengaja ia senggol lengan
kakaknya.

Nyala hanya mampu tersipu.

Tangannya memindahkan bantalan sofa tersebut ke sebelah.


Sebab kini, yang ia inginkan adalah mengelus bayinya yang
tengah bergerak-gerak di dalam sana.

“Mana act of servicenya bikin melting,” Mayang


menyambung ucapannya tadi sambil menarik napas
panjang. “Nggak kebayang kalau doi beneran jadi
Wapres kita. Pas lagi ngasih bantuan ke rakyat yang isinya
beras, gula, minyak, tapi rakyatnya langsung pingsan begitu
disodorin tangan sama senyum pelitnya yang bikin melilit itu,”
ia geleng-gelengkan kepala tak sanggup membayangkan.
“Dulu, waktu dia belum nerabas elo, kok
gue nggak pernah deg-deg ser, ya, kalau nemenin dia main
golf. Ya, tahu sih, dia ganteng. Tapi, gue dulu mikirnya gini,
cowok ganteng, kaya, punya kuasa, bakal sepele banget sama
cewek-cewek kayak kita. Makanya, gue anti sama cowok
ganteng kaya raya. Mending sama duda-duda setengah baya
yang kesepian tapi tetap kaya.”

Mayang meluruskan kakinya di atas meja marmer yangkalaudi


jual ia masih dapat memperoleh uang jutaan rupiah.
Sengaja datang hari ini demi mendengar kisah lengkap yang
terjadi pada kakaknya kemarin. Ia justru mendapati sang kakak
sedang tersenyum-senyum di depan televisi.

“Emang gitu sih, La, laki orang lebih menggoda. Makanya,


nyokap kita demen banget dikawini laki orang,” dengkus
Mayang mendadak sebal. “Asli, gue nggak abis pikir sama
mama deh,” mereka jarang membahas ibu mereka. Salah
satu alasannya adalah karena sudah terlalu muak dengan
semua tingkah sang ibu sewaktu masih berada di dunia. Dan
alasan yang lain, mereka tidak terlalu dekat untuk
melakukan sesi curhat dari hati ke hati. “Mama tuh cantik
gila. Apalagi di masa dulu-dulu. Jelas, dia caddy primadona.
Kenapa coba nggak berusaha ngegaet anak-anak konglo
jaman itu? Anak-Anak atau cucu-cucunya pejabat orde baru
‘kan, pasti hobinya juga ngegolf. Eh, malah kepincutnya
sama laki orang,” decak Mayang merasa tak habis pikir
dengan jalan hidup yang dipilih sang ibu.

“Ngomong-ngomong, May,” Nyala ingin membawa


pembahasan baru. Tidak melulu mengenai ibu mereka,
sebab membahas soal wanita itu pasti tak ada habisnya. Kali
ini, ia ingin meminta pendapat dari saudaranya terkait
kebingungannya atas sikap Harun Dierja kemarin malam.
“Menurut lo, gue harus ganti panggilan nggak sih, ke Pak
Harun?”

Mayang yang masih mempertahankan warna hitam


rambutnya, langsung menatap Nyala dengan kening
berkerut. “Memangnya selama ini lo masih manggil dia
bapak?” saat Nyala mengangguk, Mayang tak segan-segan
menoyor kakaknya itu. Tak peduli bahwa Nyala sedang hamil
besar saat ini. “Bego,” ungkapnya sambil memutar bola
mata. “Tiap making love, lo manggil dia Bapak?” saat Nyala
kembali mengangguk, Mayang merasa sangat geregetan.
“Untung masih turn on, ya, bapaknya si bayik,” decaknya
merasa kasihan. “Laki-laki itu, egonya tinggilah. Sebenarnya
sih, gampang banget naklukin mereka. Ya, salah satu
caranya, kasih makan terus egonya. Panggil mereka pake
panggilan sayang kalau lagi berduan. Apalagi, kalau mereka
lagi naik-naiknya, beugh, dipanggil sayang doang, besok
Civic Turbo pasti udah ada di depan,” kekehnya
mengajarkan Nyala sebuah perumpaan.
Tetapi, kalau kakaknya itu lemot, ya bukan salahnya.

Kadang-kadang, Nyala terlalu blo’on bila menyangkut


masalah sosial manusia yang ada di sekitarnya. Maklumlah,
harkat dan martabat Nyala sebenarnya merupakan putri
konglomerat. Yang enggan menebarkan jaring pada
himpunan rakyat jelata.

Lihat saja itu, begitu menyebar jaring, yang tersangkut justru


seorang Harun Dierja.

“Minimal, Mas, bisa kali, La,” Mayang melirik kakaknya


sebentar. “Atau Daddy sekalian. Hm, jangan Om deh,” ia
kemudian berhenti mengoceh karena tengah memikirkan
sesuatu. “Eh, tunggu!” serunya tiba-tiba. “Lo ngebahasin
Harun ke bayi lo pake panggilan apaan? Bapak juga?” tebak
Mayang yang seratus persen pasti akurat. “Ck, ya udahlah,
Harun Dierja pantes kok jadi bapak buat dua anak,”
celetuknya spontan. “Lo anak ketemu gede. Nah, si
bayik, anak yang diproduksi sendiri. Sip! Cakep!”

“Apaan sih, lo?” Nyala memukul lengan Mayang. “Gue serius,


May,” Nyala tak terima karena Mayang mencercanya. “Gue
pengin manggil yang aneh-aneh takutnya dia malah nggak
suka.”

“Manggil yang aneh-aneh gimana? Misalnya, kayak babe?


Honey? Hubby? Darling?” Mayang tertawa setelah
mengabsen panggilan-panggilan yang biasanya digunakanoleh
pasangan di luar sana.

“Nggak cocok, ya, May?” kini Nyala meringis. “Hm, kalau lo


sendiri gimana, May? Nanti kalau punya suami, lo mau manggil
dia apa?”

“Baginda,” jawab Mayang dengan lugas. “Iya, gue mau


panggil dia Baginda. Supaya dia inget, kalau gue adalah satu-
satunya Ratu di hidupnya,” kemudian Mayang langsung
cekikikan. “Suer, La, gue udah prepare panggilan itu buat
nanti kalau gue berumah tangga. Gue juga nggak mau
dipanggil Ibu sama anak gue, karena kesabaran gue setipis
tisu. Gue juga ogah dipanggil Bunda, karena gue nggak
punya senyum lembut kayak bidadari surga.”

“Terus? Mami? Mama?”

No, itu sih terlalu basic,” sahut Mayang enteng. “Nanti, anak
gue, wajib manggil gue Yang Mulia,” Mayang menepuk dadanya
dengan bangga. “Your Highness,” ucapnya sekali lagi dengan
kedua alis dinaik-turunkan di hadapan Nyala. “Biar anak gue
nanti paham, dia nggak boleh ngelawan perintah gue,” kikik
Mayang dengan puas. “Misalnya, ya, gue panggil nih, Adek
ambilin minum. Terus nanti dia bakal jawab, baik Yang
Mulia. Seru ‘kan?” tawa Mayang makin lebar ketika
membayangkannya.
“Sinting lo!” Nyala ikut tertawa.

Namun keseruan mereka tak berlangsung lama.

Entah kenapa, Siska yang juga berada di ruangan yang sama


dengan kedua kakak beradik itu, mendadak menderapkan
langkah menuju pintu.

“Kenape ajudan lo? kebelet kentut?” “Omongan lo, May,”

Nyala mencebik.

Mayang segera menatap arlojinya. Ia akan menemani tamu di


jam empat sore nanti. Maklumlah, terkadang orang-orang kaya
itu suka sekali membuat jadwal di luar jam kerjanya.
Andai tipnya tidak besar, mana mungkin Mayang mau
menemani para sugar daddy yang kerap menjadi lovely
daddy ketika berada di postingan sosial media istrinya. “Gue
cabut,” ia langsung berdiri dan menyambar tasnya. “Ah, iya,”
ia melupakan sesuatu. “Minta tolong dong, kasih ke
ajudannya laki lo,” ia menyodokan sebuah hot wheels dari
dalam tasnya.

“Apa, nih? Maksud gue, punya siapa nih?” Nyala meralat


ucapannya yang keliru.

“Anaknya ajudan laki lo,” jawab Mayang sembari menyisir


rambutnya dengan jemari. “Kemarin, anaknya nakal banget.
Mukul-mukul gue, waktu gue gangguin. Sekalian aja deh, gue
rampas mainannya. Makin trantrum tuh bocah,” cerita Mayang
tanpa rasa bersalah sama sekali.

“Terus, sama si Om duda gimana?”

“Kacau,” Mayang mengeluh. “Bisa-bisanya, yang diobrolin


sama gue tentang almarhum istrinya. Pesona gue nggak
mempan banget kayaknya. Bisa-bisanya, waktu gue modus
minta tolong benerin anting, matanya nggak ada tanda-tanda
bergairah liat gue.”

Padahal, ya, Mayang itu memiliki payudara dan bokong yang


lebih sekal dibanding Nyala. Bibirnya sensual, setengah
karena ciptaan Tuhan. Sementara setengahnya lagi, berkat
filler ciptaan dokter kecantikan.

“Oke, deh, bye!”

Nyala mengantarkan Mayang sampai di depan pintu unitnya.

Lalu ketika pintu terbuka dari luar dan menampilkan sosok


yang seharusnya tidak berada di sini demi menjaga
kewarasannya, Nyala kontan memegang lengan Mayang
kencang.

“May?”

“Nyokapnya Harun?”
Nyala mengangguk pelan.
Perut bundarnya tidak bisa lagi disembunyikan. Dan sungguh,

sekarang ia ketakutan.

“Mbak Nyala, maaf, tapi Ibu memaksa ingin mampir sebentar,”


Siska mendatangi Nyala sambil menghaturkan permohonan
maafnya. “Saya berusaha menolak, Mbak.
Tetapi, Ibu meyakinkan bahwa kunjungan hanya
sebentar
saja.”

Sambil menelan ludah, Nyala tetap menjadikan lengan Mayang


sebagai pegangan. Ia tatap sosok Dewi Gayatri yang kini
mendekat.

“Jangan tegang seperti itu,” Dewi Gayatri hadir dengan


senyuman mematikan. “Saya tidak akan melukai atau bahkan
menembak perut kamu,” sambungnya dengan aura ramah yang
terasa begitu kejam. “Wah, kamu kedatangan tamu?”

Nyala dan Mayang sama sekali tidak bereaksi.

Keduanya memilih bungkam, seolah paham bahwa


membuka mulut sama sekali tak dapat menang melawan
keanggunan Dewi Gayatri yang memancarkan tatap
kematian yang begitu pekat.

“Saya hanya ingin mengantar barang-barang untuk kamu,”


di belakangnya sudah ada beberapa orang pengawal yang
membawa tiga kardus berukuran sedang. Kemudian, melalui
ekor matanya Dewi Gayatri menyuruh mereka meletakkan
barang-barang itu di depan pintu. “Supaya kamu dan anak
kamu tidak terlalu menjadi parasit untuk anak saya. Saya
datang membawa perlengkapan bayi milik cucu-cucu saya
sebelumnya.”

Deg.

Entah kenapa, Nyala merasa nyeri di ulu hati.

“Siapa tahu kamu dan bayi kamu membutuhkan. Silakan,


pergunakan,” ucapnya dengan sirat penuh cemooh. Namun,
pandainya wanita setengah baya itu, ia mengamuflasekannya
lewat senyuman demi menyamarkan ketidaksukaan. “Walau
barang-barang bekas. Saya bisa menjamin, kualitasnya tidak
main-main. Cocok kok, untuk kamu dan bayi kamu.”

Sungguh, rasanya menyakitkan.

Walau dibalut oleh senyuman, Nyala tahu segalanya adalah


kepalsuan.

Bibirnya yang sempat bergetar, segera ia katupkan.

Mayang terlihat bersiap melawan, tetapi Nyala yang akan


mengambil alih perang kata siang ini.

Baik.
Ia pun berhasil memulas senyum yang juga palsu. “Kalau-
kalau Ibu lupa,” ia memulai dengan melepas cengkraman
tangannya di lengan sang adik. “Suami saya adalah Harun
Dierja. Dan bagi suami saya, bayi ini,” ia sengaja
memperlihatkan perut buncitnya dengan bangga. “Adalah
anak pertamanya,” ia tatap wajah Dewi Gayatri dengan
keberanian yang berhasil ia teguhkan. “Pantang bagi suami
saya memberikan barang-barang bekas untuk anaknya.
Saran saya, Bu, silakan bawa barang-barang itu kembali.
Atau, serahkan saja pada panti-panti asuhan yang
membutuhkan. Karena anak saya, memiliki orangtua
lengkap dan sangat berkecukupan.”

Dewi Gayatri jelas tersulut.

Namun, ia begitu lihai mengendalikan diri.

Jadi, alih-alih meledak, ia justru tertawa. “Sombong sekali


mantan frontliner ini,” sindirnya dengan nada jengah.

Kemudian, Nyala mengangguk demi membenarkan sindiran


itu. “Iya, Bu. Karena ternyata, saya juga anaknya Sanusi
Wijaya, yang rela mengeluarkan triliyunan uang untuk
mengampanyekan anak Ibu,” balasnya telak.

Demi Tuhan, ia tidak bermaksud seperti itu.

Hanya saja, Dewi Gayatri yang terhormat tak kunjung pergi dari
hadapannya.
“Ah, apa saya harus menghubungi suami saya saat ini, Bu?
Atau malah ayah saya?”

Nyala hanya menggertak.

Tetapi, kalau Ibu Dewi memaksa, ia akan nekat menghubungi


salah satu dari pilihan yang ia sebutkan di atas.

***

LIMA BELAS

Dewasa itu melelahkan. Walau takdir tiap orang tidak sama,


namun letihnya tetap serupa.

Mereka yang kaya merasa menanggung beban dunia.


Sementara si miskin sibuk meratapinya. Tidak apa-apa,
selagi udara yang terhirup tetap sama. Hanya saja, kadang
kala rasanya begitu berbeda. Saat yang tengah bergelimang
harta sibuk menimbunnya, tetapi yang tidak punya apa-apa
harus bersimbah air mata demi sepiring nasi beserta
lauknya.

Usai menggelar deklarasi, Harun dan para petinggi partai


koalisi yang hadir masih terus menggelar kegiatan bersama.
Agendanya adalah safari politik untuk meningkatkan
keakraban. Padahal yang terjadi adalah saling mengancam
lewat gurauan yang sesekali memang mengundang tawa.
“Ada apa?” Harun berbisik ketika sang ajudan berada di
sebelahnya. Di tengah hiruk pikuk sorai pendukung tadi, ia
sempat menyaksikan wajah panik sang ajudan ketika
menerima telepon. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi.
Namun, karena ia masih dikelilingi para kader dan
simpatisan, ia menahan diri untuk menghampiri sang
ajudan. “Ada yang salah?”

“Sore tadi, Ibu Dewi ada di apartemen, Pak.”

Harun menarik napas. “Bagaimana kondisi Nyala?” ia belum


bisa menghubungi wanita itu sekarang ini. Di sekitarnya selalu
ramai. Tak ada kesempatan baginya untuk menyendiri dan
berbicara dengan istrinya tersebut. Ia sedang menjadi pusat
perhatian.

“Mbak Nyala baik-baik saja,” Rafael memelankan suaranya.


“Bu Dewi hanya sebentar di sana, Pak.”

“Saya sudah sangat kelelahan menghadapi orang-orang partai,


Raf. Pastikan, masalah pribadi saya, tidak membuat saya main
lelah,” ungkap Harun sungguh merasa kehabisan tenaga.

“Baik, Pak.”

Waktu sudah menginjak pukul sembilan malam lewat dua


puluh menit. Tetapi, agenda tetap terus berjalan. Setelah selesai
makan malam, beberapa pejabat dan juga petinggi
koalisi ada yang memilih berpamitan karena harus mengejar
pesawat. Ada juga yang punya jadwal lain dan sebagainya.
Namun saat ini, Harun adalah salah satu bintang utama. Ia jelas
tidak dapat melakukan hal serupa.

Sambil melangkah keluar dari lift demi mencapai


Presidential suits room di hotel tempat mereka menggelar
deklarasi. Harun tentu saja tak sendiri. Ada sekitar selusin
orang yang akan memenuhi meeting area di kamar tersebut.

Para ajudan, sekretaris ataupun asisten pribadi milik sang


petinggi politik, sudah stand by di belakang atasannya
masing-masing. Sebab, mereka akan merampungkan
beberapa ideologi yang belum sejalan demi mencipta
keselarasan kemufakatan.

“Kapan kita akan mendaftar ke KPU?”

Sekitar dua minggu lagi, KPU akan membuka pendaftaran.


Hal tersebut akan dimulai dengan tahapan verifikasi dan
pemeriksaan kesehatan Capres – Cawapres. Berlangsung
selama dua pekan, demi pemeriksaan mendetail terkait
kesiapan para kandidat memasuki masa kampanye yang
begitu berat.

Tak hanya kesehatan fisik, pemeriksaan kejiwaan juga akan


dilakukan. Sebab, berdasarkan aturan, Capres –
Cawapres harus sehat secara jasmani ataupun rohani dalam
menjalankan tugas-tugasnya nanti. Biasanya, tes kesehatan
terhadap kandidat akan dilangsungkan secara bergilir.
Hasilnya nanti akan didiskusikan oleh tim dokter yang
kompeten dibidangnya. Barulah, hasil akhir dari observasi
tersebut diserahkan pada KPU.

Setelah masa verifikasi kesehatan selesai, barulah penetapan


kelayakan Capres – Cawapres akan diumumkan. Jangan
lupa, bahwa tiap-tiap pasangan juga harus menyerahkan
Laporan Harta Kekayaan penyelenggara Negara, untuk
melengkapi berkas Pemilu. Baru selanjutnya, pengundian
penetapan nomor urut akan dilangsungkan. Lalu, para
kandidat dan partai-partai pendukung, diminta
mempersiapkan kampanye yang damai dan tertib.

“Kita akan menjadi orang pertama yang mendaftar,” Sanusi


Wijaya telah berkoordinasi dengan banyak pihak terkait
kandidat-kandidat lain yang akan mendaftar juga di hari
pertama pembukaan pendaftaran oleh KPU. “Saya yakin,
kandidat lain juga akan melakukan pendaftaran di hari
pertama. Karena itu, kita juga akan melakukannya di hari
yang sama.”

Harun langsung menatap Sekjen partainya itu dengan


pandangan defenisif. Entah apa yang sekarang bersarang di
kepala licik ayah kandung istrinya itu. Yang jelas, Harun
mencoba tidak berkomentar.
“Kita harus membuat suasana menjadi riuh,” Sanusi tampak
tenang ketika mengutarakan rencananya. “Pendukung
masing-masing kandidat akan memadati jalanan. Perang
yel-yel akan terjadi. Suasana pasti berjalan tidak kondusif
dan kita harus manfaatkannya.”

“Saya setuju,” dukungan pertama datang dari Gideon


Sutjatmoko. Pria keturunan Tionghoa tersebut baru saja
diperkenalkan secara resmi sebagai bagian dari koalisi ini,
siang tadi. Tampaknya sudah dapat menyesuaikan ritme
dengan pemikiran koalisi. Padahal, ia bergabung juga karena
keterpaksaan. Namun, setelah melihat deklarasi tadi,
mendadak saja ia merasa harus mendukung penuh koalisi
ini. “Akan ada perang media. Pawai para pendukung yang
saling sikut bisa menjadi bahan empuk untuk mencoreng
elektabilitas kandidat lain. Dan kita, memiliki amunisi untuk
itu.”

Well, seperti headline news yang akan menggambarkan


kearoganan masa pendukung partai lain ‘kan?” sahut KusnoAji
yang akhirnya mendapat benang merah dari rencana yang
disusun oleh Sekjen partai Nusantara Jaya itu. “Harus ada
penyusup. Siapkan provokasi. Lalu, giring narasi,” senyumnya
mengembang culas.

Tapi, ya, memang harus seperti itu.


Bila ingin membuat suasana ricuh, mereka harus menyiapkan
penyusup yang akan menjadi bagian dari para masa pendukung
kandidat lain. Latih beberapa provokator. Kemudian, terjunkan
langsung ke pihak lawan.

“Mulai siapkan dari sekarang,” Sanusi berkata lagi. “Lima orang


untuk masing-masing koalisi. Dan kita, juga harus menyiapkan
banyak buzzer untuk berjaga di sosial media,” sarannya lagi.
“Kerahkan banyak tim IT untuk menghapus opini menyesatkan
dari pihak oposisi.”

Kemudian, rencana-rencana lain pun mulai dipersiapkan.

Sekretaris dari masing-masing DPP partai yang berkoalisi,


menyimak sambil menuliskan hal-hal penting. Sementara para
ketua melanjutkan diskusi, Harun merasa ingin muntah.
Sungguh, proses ini akan berlangsung panjang.
Bahkan teramat panjang dan melelahkan. Tetapi yang
mengherankan tidak ada perdebatan sengit yang terjadi di
antara 12 orang yang memenuhi meja rapat ini. Seolah semua
sudah mencapai kesepakatan demi memenangkankoalisi.

“Mulai seleksi panggilan wawancara dari stasiun televisi.


Pastikan, wawancara tersebut berada di ranahnya Pak
Gideon,” Hassan Aminoto memberikan masukan. “Hindari
dulu debat dengan mahasiswa. Periksa latar belakang
Universitas yang ingin mengundang Harun maupun Pak
Kusno. Pastikan, ada hubungan yang dapat menjerat
rektornya, bila mahasiswa yang berada di forum-forum
diskusi itu mulai menyerang lewat ideologi-ideologi mereka.”

Karena setelah ini akan ada banyak panggilan wawancara baik


yang disiarkan oleh televisi. Maupun wawancara berkedok
diskusi yang seringnya dihadiri oleh mahasiswa- mahasiswi
beridealis tinggi. Padahal, nanti kita penerapan telah terjadi,
ilmu yang dijunjung tinggi tidak terlalu berdedikasi.

Harun adalah contoh nyata dari semua itu.

“Dan satu lagi,” Gideon Sutjatmoko menatap satu per satu


rekan koalisinya. “Sebelum kita terlalu jauh, kita semua
harus mengetahui rahasia-rahasia apa saja yang tersembunyi di
sini. Supaya, ketika nanti terbongkar atau terendus pihak
oposisi, kita semua dapat menanggulanginya bersama tanpa
merasa dikhianati.”

Harun reflek menatap Sanusi Wijaya dan juga Kusno Aji.

“Baik, kita harus saling jujur, ya?” Kusno Aji malahmenyahut


dengan santai. Seolah tak terpengaruh pada tatapan tajam
yang dilempar Harun Dierja. “Well, saya mendapat
sumbangan dana satu koma lima triliyun dari Widjaja
Group,” senyumnya terkembang lepas. “Dalam hal
ini, tentu saja diwakili langsung oleh Pak Sanusi
Wijaya.”

Seluruh peserta meeting segera mengerutkan kening.

Pandangan mereka segera mengusik keterdiaman Sanusi.

“Kami memiliki perjanjian sebelum terbentuknya koalisi ini,”


Kusno Aji melanjutkan. “Dan hal itu merupakan perjanjian
pribadi.”

Harun sudah memejamkan mata.

Bukan apa-apa, Nyala sedang berada di fase tujuh bulan


kehamilan. Ia khawatir orang-orang yang berada di sini akan
mulai mengusik keberadaan istrinya. Karena, rekan politik
itu sifatnya hanya sementara saja. Bila sudah tak sejalan,
akan berubah menjadi lawan. Lalu, rahasia-rahasia yang
pernah didengar dapat menjadi ancaman.

“Pak Sanusi dan saya, memiliki sejarah masalalu. Jadi, ya,


anggap saja Pak Sanusi sedang membantu.”

“Semua yang terjadi melalui perjanjian itu bersifat priabdi,”


Sanusi meluruskan. “Sama sekali tidak terbentuk untuk
kepentingan politik. Anggaplah, saya sedang berinvestasi,” ia
labuhkan senyum kecil.

“Oke, sekarang mari membahas perihal lembaga survei,” Harun


menyela agar pembahasan tersebut tak merambat ke mana-
mana. Orang-orang tua licik itu pasti akan berhasil
memancingnya. “Sejauh apa kita akan mendapat
keuntungandari situ?”

Lalu, pembahasan mereka pun berlanjut hingga tengah


malam.

Permasalahan jumlah harta yang nanti juga harusdilaporkan


ikut menjadi perbincangan. Tidak boleh dilaporkan semua.
Dan mereka wajib memiliki uang tunai yang tak bisa dilacakbila
tengah melakukan transaksi.

Semakin larut, semakin banyak yang undur diri. Termasuk

Harun.

Ia memapah ayahnya yang menempati kamar di sebelah


kamarnya.

Mereka akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan jam


sembilan pagi. Kemudian, Harun harus langsung mampir ke
DPP. Ia akan menemui perwakilan dari anggota legislative
yang berkunjung untuk meninjau kesiapan partai dalam
menyongsong Pemiliu 2024.

“Kenapa Mama mendatangi Nyala sore tadi, Pa?”

Dalam perjalanan menuju kamar, Harun tak dapat menahan


laju pertanyaan itu semenjak ajudannya melaporkan
kedatangan sang ibu ke apartemennya.
“Papa malah nggak tahu kalau Mamamu ke sana, Mas,” ucap
Hassan Aminoto jujur.

Harun hanya meresponnya dengan decakan.

Pantas saja ibunya itu menolak datang ke acara deklarasi hari


ini. Beralasan tidak enak badan karena lelah dengan acara
Hasbi kemarin, rupanya ibunya sudah memiliki rencanasendiri.

“Jangan ganggu Nyala, Pa,” desah Harun sangat lelah. “Dia


sedang hamil. Dia harus berada dalam kondisi yang baik
untuk melahirkan nanti. Tolong, sampaikan ke Mama.”

Sebelum memasuki kamarnya, Hassan Aminoto menatap


sang sulung. “Mas Harun tahu ‘kan, setelah melahirkan nanti
Mas Harun harus menceraikannya? Kenapa sekarang Mas
Harun terlihat sangat khawatir? Sudah jatuh cinta?”

Sudah jatuh cinta?

Astaga, memangnya ia remaja?

Harun memilih enggan menjawabnya.Hari ini, ia sudah

lelah tubuh dan pikiran.

Setelah ini pun, hari-hari yang akan ia lewati sama


melelahkannya.

“Sanusi juga seperti itu,” Hassan Aminoto berdiri di ambang


pintu kamarnya. Membiarkan ajudan mereka menunggu, sang
pendiri partai Nusantara Jaya itu, memilih berbicara dengan
anaknya terlebih dahulu. “Pada akhirnya, dia jatuh cinta,”
ekspresinya terlihat sengit ketika membicarakan Sekjen
partainya tersebut. “Benar, Mas. Pada akhirnya, Sanusi jatuh
cinta pada wanita itu.”

Yang ia maksudkan adalah ibu dari istri siri sang Putra.

Saat sang putra terlihat tertarik, Hassan Aminoto justru


mendengkus.

Bila istrinya ada di sini, ia bisa memastikan bahwa anak laki-


laki mereka ini, akan dicecar habis-habisan.

“Tapi sayang, wanita itu adalah pelacur.”

Harun mengerjap karena terkejut ayahnya dapat seterang-


terangan itu mengatakannya.

Well, benar-benar pelacur, Mas. Dia bahkan tidur dengan dua


pria di saat tengah mengandung,” Hassan menggeleng merasa
tak habis pikir. “Mas tahu kenapa Sanusi nggak mau mengakui
anak itu?”

Yang Harun tahu, hubungan Sanusi dan juga ibu kandung Nyala
hanyalah hubungan bersenang-senang semata. Dan seperti
kebanyakan pria hidung belang lainnya, akankelabakan bila
mengetahui pasangan kencannya hamil.
Ya, seperti itulah Harun menilai Sanusi Wijaya selama ini.

“Wanita itu, melakukan hubungan sex dengan dua orang


pria, sehari setelah mengatakan pada Sanusi kalau dia
hamil,” Hassan mengenal Sanusi cukup lama. Sedikit kisah
masalalunya, tentu saja pernah Hassan dengar. Hanya saja,
tidak semuanya ia ceritakan pada sang istri. Lagipula, itu
adalah aib temannya.“Padahal saat itu, Sanusi yang ditemani
oleh Amrullah Hidayat, datang untuk memberikan solusi
atas kehamilan itu. Bisa saja dengan menikahinya secara siri
atau paling nggak memberikan nafkah yang layak bagi
bayinya. Tapi kemudian, wanita itu mencoreng kepercayaan
Sanusi. Kebenciannya mengalahkan cintanya.”

“Papa tahu dari mana kalau Sanusi jatuh cinta?”

Well, harus Papa akui, caddy itu sangat cantik. Sanusi selalu
terlihat hidup bila berbicara dengannya. Sanusi mulai terlalu
sering datang dari Makassar ke Jakarta hanya untuk bertemu
wanita itu. Ia beralasan sedang ingin mempelajari politik.
Bergabung dengan partai yang sama dengan Papa dan
Amrullah hanya sebagai kedok semata saja awalnya. Karena
tujuannya, hanya agar bisa menghabiskan waktu dengan
caddy itu,” dengkus Hassan geli bila mengingat kelakukan
Sanusi Wijaya di masa lalu. “Sanusi menikah terlalu muda,
Mas.”
Sanusi dan istri sahnya menikah karena perjodohan. Usia
Sanusi pun masih muda ketika pernikahan itu akhirnya
digelar. Belum puas menikmati hidupnya sebagai anak
muda, kemudian Sanusi diberi tanggung jawab berupa
perusahaan keluarga. Jadi, mau tak mau ia pun mulai
mempelajari bisnis dan menghabiskan hari-harinya yang
penuh tekanan di perusahaannya.

“Sanusi yang awalnya berniat bertanggung jawab, mendadak


merasa jijik pada wanita itu,” lanjut Hassan sambil menghela
napas panjang. “Kemudian, dia nggak lagi percaya bahwa bayi
yang dikandung wanita itu adalah darah dagingnya.
Sanusi melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana
wanita itu melayani dua orang pria di rumah kontrakannya.”

Walau saat bayi itu lahir dan tes DNA yang dilakukan
memuat informasi akurat. Namun Sanusi terlanjur kecewa.
Ia enggan menemui anaknya. Ia biarkan wanita itu yang
membesarkannya. Melihat anak itu hanya akan mengingat
kelakuan ibunya. Dan Sanusi benar-benar sudah tak mau
peduli.

“Jadi, Mas Harun, wanita yang sekarang jadi istri siri Mas
Harun, memiliki histori buruk terkait kehadirannya. Papa
minta, jangan diteruskan, Mas. Pernikahan siri ini, jangan
diteruskan.”
Deg.

Harun tidak suka mendengar permintaan itu.Sudah

berapa kali, ya, ia mendengarnya?

Rasanya begitu sering akhir-akhir ini.

Walau faktanya, ia dan Nyala sendirilah yang telah menyetujui


hal tersebut di awal pernikahan mereka. Bahwa, pernikahan
yang mereka jalani akan berakhir sewaktu Nyala melahirkan.
Kemudian, bayi itu akan mereka serahkan pada orang. Tetapi
entah kenapa, setiap kali ada yang memintanya berpegang
teguh pada perjanjian tersebut, Harun merasa marah.

“Yang salah orangtuanya, Pa. Anak yang mereka hadirkan


lewat perselingkuhan itu, justru yang paling menderita. Apa
selamanya, dia akan menanggung semua itu?”

“Mungkin itu takdirnya, Mas,” jawab Hassan tanpa terpancing


emosi seperti yang saat ini tengah dialami sangputra. “Suatu
saat, dia mungkin akan bahagia. Tapi Papa minta, bukan Mas
Harun yang mengentasnya dari derita hidupnya. Mas Harun
mengerti? Papa nggak suka terlibat pada hal-hal yang memiliki
indikasi mencoreng nama baik kita.”

Selalu begitu.
Ibunya memiliki harapan setinggi langit untuknya. Sementara

sang ayah menyuruhnya tidak berbuat ulah.

“Dari dulu, Papa selalu begitu, ya?” gumam Harun dengan


sirat pedih. Tak menyangka, pada akhirnya ia akan merasa
selelah ini menghadapi orangtuanya. “Kanika yang pertama,
Pa. Dan sekarang, apa Nyala juga?”

Ia meninggalkan Kanika, tepat setelah ayah dari kekasih yang


lima tahun dipacarinya tertangkap KPK. Terbukti melakukan
korupsi, Hassan Aminoto langsung menitahkan Harun
memutuskan hubungan dengan Kanika kala itu juga.

“Kanika juga seperti Nyala, Pa. Mereka nggak bersalah.


Kemalangan yang terjadi dihidup mereka, bukan salah
mereka.”

Kadang hidup itu memang lucu.

Orangtua tidak serta merta serupa dewa yang hidup tanpa


bersalah.

Tetapi sayangnya, kenapa harus anak-anaknya yang


tercipratdosa?

***

ENAM BELAS
“Sedang apa?”
Harun sangat jarang melakukan video call dengan seseorang.
Mungkin para keponakannya adalah pengecualian. Sebab,
mereka sering menghubunginya untuk melakukan panggilan
video. Selebihnya, Harun lebih suka berkomunikasi melalui
panggilan suara saja.

“Kenapa belum tidur?”

Sudah jam satu dinihari ketika akhirnnya ia selesai mandi.


Bermaksud untuk segera beristirahat, ia teringat pada ponsel
pribadinya yang belum ia lihat sedari siang tadi. Alhasil, ia
mengeceknya terlebih dahulu. Beberapa pesan ia abaikan.
Namun, pesan yang dikirimkan Nyala segera ia buka.

Nyala Sabitah :

Bapak udah sampai jogja? Semoga acaranya sukses, Pak.

10.45

Nyala Sabitah : Saya lihat Bapak di tv.Keren, Pak.

14.12

Nyala Sabitah :
Bapak nginep ya, di jogja?

Hehehe … kalau ada waktu sempetin nengokin saya, ya,Pak?

Bayinya kangen Bapak.21.56

Nyala Sabitah :

Bayinya nendang terus, Pak.

Padahal, hari ini saya baik bgt lho, di apartemen terus.

Kenapa, ya, Pak?

23.20

Harun Dierja :

Maaf, saya baru buka pesan kamu.Subuh nanti saya

telpon.

01.13

Namun tanda pesan yang dikirimkan Harun segera berubah.

Balasan dari Nyala pun datang tak lama kemudian. Wanitaitu


meminta izin untuk menghubunginya. Harun memberikan
izin. Lalu, ya, Nyala justru menghubunginya lewat panggilan
video. Tak mungkin menolak, Harun menerimanya sambil
duduk bersandar di ranjang kamar
hotelnya.

“Sudah selarut ini, Nyala.”

“Saya nggak bisa tidur, Pak.”

Lampu di kamar apartemen itu menyala terang. Buat Harun


dapat dengan mudah melihat wajah senduh wanita itu. “Coba
lampunya dimatikan seperti biasa. Mungkin karena terlalu
terang, jadi kamu belum mengantuk.”

“Bayinya gerak terus, Pak.”

Kemudian layar pun berganti.

Tidak lagi memuat wajah Nyala, melainkan perut bundar


wanita itu. Nyala tidak melapisi tubuhnya dengan
bedcover. Hingga Harun gampang sekali mengenali pakaian
yang dikenakan Nyala saat ini. Jadi, alih-alih memberi solusi
terhadap bayinya yang terus bergerak, Harun justru
mengomentari pakaian wanita itu. “Kamu pakai bajusepertiitu
di apartemen, bukannya ada Denny di sana?”

Harun menugaskan Siska dan juga Denny untuk menemani


Nyala selama ia sibuk mengerus Pemilihan Umum. Kedua
ajudannya tersebut, tak lagi ia tugasnya untuk stand by di
DPP. Tugas mereka kini adalah menjaga Nyala.

“Saya pakai cardigan, Pak.”


Nyala menyahut sembari mengganti kembali kamera
ponselnya menjadi mode di depan. Tak lupa ia perlihatkan
juga kain yang melapisi bahunya. Wajahnya langsung
cemberut. Rambutnya yang panjang tampak kusut.

“Saya juga tahu gimana harus berpakaian, Pak.”

Pakaian tidur Nyala itu tidak serta merta merupakan daster


longgar atau piyama saja Tetapi, juga gaun tidur yang
memperlihatkan bahu dengan bagian dada beraksen serut. Atau
seperti sekarang ini, Nyala sedang gencar-gencarnya
mengoleksi slip dress dengan bahan silky yang jelas-jelas
mengikuti bentuk tubuhnya.

Dan ya, itulah yang malam ini dikenakan oleh ibu hamil tujuh
bulan itu. Hingga pusarnya yang mulai menonjol, dapat Harun
lihat dengan samar.

“Jangan berkeliaran di luar kamar. Kalau perlu apa-apa,


hubungi saja Siska. Minta dia membawakan apa yang kamu
butuhkan.”

Nyala manggut-manggut seolah paham. Ia menumpuk bantal di


belakang kepalanya, sehingga posisinya terasa Nyaman. “Bapak
sudah ngantuk?”

Harun menatap layar ponselnya, lamat-lamat. Netranya yang


mengenakan kacamata begitu detail memperhatikan
keseluruhan paras Nyala Sabitah. Wanita itu cantik. Masih
mudah dan penuh energik. Bersama Nyala, membuat Harun
seperti tengah menaiki sebuah wahana. Makanya, ia khawatir
bila suatu saat wahana tersebut tak lagi beroperasi. Yang
artinya, mungkin saja mereka tidak akan bersama.

“Mama saya menyakiti kamu?” andai berada didekat wanita itu,


sudah pasti Harun akan memeluknya. “Saya sama sekali tidak
mengetahui bahwa Mama akan datang ke apartemen.”

Nyala sontak menggeleng. “Mamanya Bapak nggak nyakiti


saya kok. Beliau datang bawa barang bekas buat anak kita.
Katanya, supaya saya dan bayi ini nggak terlalu
menyusahkan Bapak. Makanya, beliau membawakan
pakaian-pakaian bayi milik keponakan-keponakan Bapak.”

Rafael sudah memberitahunya.

Menurut laporan Siska, ibunya memang tidak melakukanapa


pun selain mencoba menghina istrinya.

“Tapi tenang saja, Pak. Pemberian mamanya Bapak,


saya
tolak.”

Senyum yang tersemat di bibir Nyala, entah kenapa juga


menular pada Harun. “Rafael bilang, kamu melawan Mama
saya, ya?” tidak ada ekspresi keberatan di wajah Harun
Dierja pada fakta tersebut. Tatapnya justru melembut,
memancarkan jutaan kasih pada wanita di dalam layar
ponselnya.
“Nggak ngelawan sih, Pak. Saya cuma ngasih tahu aja ke
mamanya Bapak, kalau saya ini istrinya Harun Dierja,
juga anaknya Sanusi Wijaya. Jadi, saya nggak butuh
disumbang seperti itu.”

Harun menyamarkan senyumnya melalui dengkus pelan.


Dipandanginya Nyala yang kini kembali mengganti posisi
menjadi berbaring di ranjang. “Sudah ngantuk?”

Nyala mengangguk.

Dan yang diinginkan Harun adalah membelai wajah wanita itu


sampai jatuh terlelap dalam pelukannya.

“Tidur,” titahnya pada wanita itu. “Ada janji ‘kan, dengan


store manager dari baby shopnya? Nah, istirahat sekarang,
ya? Pagi nanti, kamu pasti pusing melihat katalog-katalog
perlengkapan bayinya.”

Putra telah mengatur pertemuan Nyala dengan


manager salah satu toko perlengkapan bayi yang cukup
ternama untuk datang membawa katalog-katalog produk
mereka. Ia juga sudah meminta Putra mencarikan design
interior untuk kamar bayi di apartemen tersebut. Mungkin,
selama renovasi nanti, Nyala akan ia bawa tinggal di
apartemennya yang lain sementara waktu. Tidak mungkin
iabawa ke Puri Indah. Karena rumahnya itu, akan selalu
ramaidengan kunjungan orang-orang. Apalagi setelah
deklarasi
siang tadi.

“Pak?”

“Hmm?”

“Saya pengin banget makan nasi goreng, Pak.”

“Oke, saya akan hubungi rest—“

“Makan nasi goreng gerobakan, Pak. Tengah malam gini.


Terus, perginya sama Bapak.”

Nyala ….

Harun menarik napas panjang.Maaf, sepertinya hal itu

sulit.

“Sekali aja, Pak. Sebelum bayinya, lahir. Please, makan


nasigoreng berdua.”

Sulit.

Permintaan sederhana itu, hanya akan berakhir rumit bila


Harun nekat menurutinya.

***

Tidak mungkin menolak semua undangan interview atau


Pada akhirnya, mereka harus tampil demi memperkenalkan
diri sebagai calon wakil Negara yang mumpuni. Tidak
langsung tampil berdua layaknya debat Capres – Cawapres
yang biasanya terjadi di saat musim kampanye, Harun dan
Kusno Aji membagi tugas.

Satu per satu dari mereka menghadiri beberapa talk show.

Menunjukkan kehebatan dalam menjawab kritik dan juga


pertanyaan-pertanyaan bernada introgasi dengan gagasan
yang mereka miliki. Maka dari itu, kemampuan berpikir cepat
pun begitu diperlukan. Bagi Harun, lebih baik menghindari
pertanyaan yang menyudutkan dibanding harus memberi
jawaban tanpa penyelesaian. Bahasa yang sedang trend saat ini
adalah blunder.

“Selamat malam semuanya, wah, penonton kita yang hadir


malam ini sungguh banyak sekali, ya?”

Berada di auditorium Perpustakaan Nasional yang disulap


sebagai mini venue tempat berlangsungnya acara talk show
yang cukup popular di Indonesia, Harun berhadapan dengan
200 orang audience yang semuanya merupakan mahasiswa
dan mahasiswi dari beberapa perwakilan universitas.
Dipandu oleh pembaca acara wanita, Ilana Alatas, Harun
melempar senyum kala kamera mulai menyorotnya.

“Penonton di sini adalah adik-adik mahasiswa, yang


merupakan perwakilan dari kampus-kampusnya, ya?”
Sahutan penonton demi menjawab pertanyaan barusan
membuat Ilana Alatas tertawa. Setelah keriuhan agakmereda,
ia pun kembali mencoba memandu acaranya.

“Malam ini, saya sangat merasa terhormat. Karena akhirnya,


Mas Harun Dierja Aminoto yang sudah resmi menjadi bakal
calon Wakil Presiden dari koalisi Lanjutkan Perjuangan,
akhirnya menyisihkan waktunya untuk hadir di sini. Wah,
apakabar ini Mas Harun?”

“Alhamdulillah, kabar saya baik Mbak Ilana. Senang akhirnya


dapat menyapa semua yang hadir di sini malam ini.”

“Jadi bagaimana ini Mas Harun, akhirnya di deklarasikan


sebagai calon Wakil Presiden oleh koalisi yang baru?”
pertanyaan yang dilempar merupakan bentuk pancingan.
“Berarti lebih koalisi ini lebih bagus, ya, Mas? Atau sebenarnya,
koalisi sebelumnya itu buruk, Mas Harun?”

Mengenakan kemeja warna favoritenya, yaitu biru. Harun


tampil casual dengan chinos berwarna khaki. Ia sempat
merapikan sedikit potongan rambutnya hari ini, sehingga
penampilannya terlihat segar. Kacamata yang merupakan
identitasnya, melekat sempurna membingkai netranya yang
beriris gelap. “Sebenarnya, penilaian baik atau buruk itu
dapat membentuk sebuah gagasan yang sentiment bila sudah
menyangkut politik. Dan sentiment itu sendiri adalah bagian
dari ketidakrasionalan yang nggak boleh ada dalam
berpoilitik. Jadi, kalau dibilang, koalisi yang lama buruk
ataupun koalisi yang sekarang baik, jawaban saya semua
adalah tergantung pilihan.”

Ilana Alatas menyimak jawaban tersebut dengan khidmat. Tak


berniat memotong, ia memberikan kesempatan pada bintang
tamunya untuk memberikan penjelasan. Ia hanya perlu
memancing penekanan atas jawaban tadi. “Berarti, koalisi
kemarin bukan pilihan Mas Harun?”

“Tetap pilihan saya,” jawab Harun lugas. “Tapi saya memilih


untuk mengundurkan diri dari koalisi sebelumnya. Karena
ternyata, koalisi yang sekarang lebih menarik minat saya untuk
menetap.”

“Wah, perbincangan apa nih dengan Pak Kusno Aji yang bisa
membuat Mas Harun yakin untuk bergabung ke koalisi.”

Ancaman.

Kemudian Harun tertawa kecil demi menyamarkan dengkus


sinis yang berusaha merusak ketenangannya. “Simplenya
begini, Mbak Ilana. Pak Kusno sangat mahir melakukan
orasi, jadi nanti sewaktu kampanye dimulai, saya bagian
pembuka saja. Sementara bagian inti, dipegang Pak Kusno,”
guraunya yang menyulut tawa.
“Mantan Jenderal memang punya semangat juangnya tinggi,
ya, Mas?” Ilana Alatas ikut tertawa. “Sebelum kita masuk ke
pertanyaan-pertanyaan serius, boleh dong kita kasih tepuk
tangan lagi yang lebih meriah, untuk bujangan politik yang
paling diminati. Mas Harun tahu nggak sih, kalau Mas Harun
ini terkenal banget dikalangan anak muda? Terutama untuk
cewek-ceweknya nih, Mas.”

Harun hanya mampu menampilkan tawa kecut yang tak


seorang pun menyadari.

Bujangan?

Well, dua bulan lagi putranya akan lahir.

Dan sepertinya, istrinya pun tengah menyaksikan acara ini.

“Sebenarnya, kriteria pasangan idaman Mas Harun yang


gimana sih? Terakhir kemarin, kabar kedekatan Mas Harun
dengan Ginta Maharani, beneran nggak Mas cuma gimmick
yang dibuat oleh koalisi sebelumnya?”

Ilana Alatas begitu mahir dalam mengolah pertanyaannya.


Walau pertanyaan tadi terdengar bak seorang host
infotainment acara gosip, namun kalimat terakhir selalu
menyangkut pada isu politik.

“Apa jangan-jangan, permainan gimmick ini, ya, yang membuat


Mas Harun akhirnya memilih hengkang?”
Nah, seperti itu.

Harun akan dijebak oleh pertanyaan-pertanyaan politik


yangselama ini terdengar, namun tak juga ia konfirmasi.

“Pertanyaannya banyak nih, Mbak. Mau yang mana dulusaya


jawab?”

“Tipe ideal calon istrinya, Pak Harun!”

Teriakan dari audience membuat mereka semua tertawa.

Seorang mahasiswi dengan almamater hijau, menarik


perhatian.

“Nah, itu, Pak. Sudah dijawab oleh adik-adik kita.”

“Tipe ideal calon istri, ya?” Harun mengangguk sambil


mencoba mendeskripsikan sosok Nyala dalam ingatan. “Saya
nggak punya kriteria khusus. Dulu, saya mematok wanita
yang usianya tidak terlalu jauh dengan saya. Tetapi, kadang-
kadang jodoh itu seperti hantu. Dia datang tiba-tiba dan
mengganggu segala susunan tipe ideal yang sudah terencana
di otak,” Harun mengembangkan senyum. Hal itulah yang
terjadi dalam hidupnya. Nyala Sabitah adalah wanita yang
jauh dari kriteria. Tetapi pada akhirnya, wanita itulah yang
namanya ia sebut dalam pernikahan. “Saya hanya ingin
menemukan tempat pulang ternyaman. Yang tidak
bersinggungan dengan politik yang saya jalani seharian.
Mungkin yang usianya, sepuluh atau sebelas tahun dibawa saja,
boleh juga,” tuturnya tanpa meninggalkan senyum di wajah.

Yang Harun tidak tahu, ada Nyala Sabitah di apartemennya


yang tengah menahan rona merah di wajah. Senyumnya
terlalu lebar, hingga ia merasa perlu menutupinya dengan
bantal.

“Lalu, mengenai gimmick politik, Mas Harun? Benar nggak sih,


sekelas Mas Harun dan Ginta Maharani, mau menjalani
gimmick seperti itu.”

“Well, saya hanya bisa bilang, bahwa kami tidak


berjodoh,”
Harun memberi jawaban bijak.

Kemudian, pertanyaan-pertanyaan pun berlanjut.

Semakin lama, pembahasan alot politik mulai mendominasi.

Dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bersama para


mahasiswa, Harun berusaha semampunya memberikan
jawaban singkat yang tidak menimbulkan potensi untuk
menghadirkan pertanyaan lanjutan dari topik yang serupa.

***

Sudah empat hari usai deklarasi pengukuhan digelar.Dan

selama itu pula, ia belum pulang ke apartemennya.


Agendanya yang padat membuat Harun kerap berpindah-
pindah kota demi bertemu masa pendukungnya. Harun juga
sudah mulai akrab dengan mic yang setiap hari pasti berada
dalam genggamannya saat bertemu dengan kader-kader
maupun simpatisan pendukungnya. Ia dan Kusno Aji mulai
membagi tugas. Dan yang kewalahan menyusun jadwal-
jadwalnya adalah Putra.

“Boleh saya mengajukan pertanyaan, Pak?”

Mereka sedang berkendara di jam sebelas malam, usai


merampungkan acara talk show yang sebenarnya sudah
selesai sejak satu jam yang lalu. Namun, karena banyaknya
antusiasme masa pendukung, Harun harus menunggu
keadaan cukup kondusif untuk keluar dari gedung itu.

“Silakan,” Harun melepaskan kacamatanya. Memijat pangkal


hidungnya yang lelah, kemudian menutup mata.

“Bapak ingin membuat kamar bayi di apartemen Bapak saat ini.


Apa itu berarti, apartemen milik Bapak itu, akan Bapak berikan
kepada Mbak Nyala usai Bapak menceraikannya?”

Netra Harun sontak membuka.

Ia tolehkan kepala ke sisi kiri di mana keberadaan Putra


berada.
“Renovasinya akan memakan waktu seminggu, Pak. Dan
perlengkapan bayi yang sudah Mbak Nyala pilih, akan diantar
ke apartemen begitu kamar bayinya selesai. Jadi, apa benar,
apartemen itu yang akan Bapak berikan kepada Mbak Nyala?”

Tercenung lama, Harun mendesah sambil kembali menutup


matanya. “Kehidupan politik saya sangat melelahkan, Put.
Rasanya, saya ingin sekali memiliki kehidupan pribadi yang
dapat menenangkan.”

“Tapi, keberadaan Mbak Nyala dan bayinya, nggak akan pernah


membuat hidup Bapak tenang,” komentar Putra berusaha
rasional.

“Begitukah?” gumam Harun tampak benar-benar lelah. “Tetapi


sepertinya, kalau nanti mereka tidak ada, hidup saya nggak
akan sama,” dengkusnya sambil tertawa.
Menertawakan dirinya. “Gimana menurut kamu, Raf?”

Rafael yang duduk di depan, menolehkan kepala pada


atasannya sejenak. Bebagi pandangan dengan Putra, Rafael
mendesah. “Saya punya tempat rekomendasi nasi goreng
gerobakan yang enak, Pak. Bapak ingin membelinya?”

Senyum Harun terpatri lebar.

Ia gelengkan kepala seraya menatap geli pada asisten danjuga


ajudannya yang kembali tidak sejalan.
“Sepertinya saya memang butuh pulang ke apartemen saya, ya,
Put?” ia lirik Putra dengan sengaja.

“Saya akan menjemput Bapak besok pagi.”

Harun tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya


merentangkan tangannya demi menepuk-nepuk bahu Putra
sambil tertawa. “Kamu harus jatuh cinta, Put,” komentar
Harun sambil tertawa.

“Memangnya Bapak sudah?”

Dan balasan Putra seketika saja membuat tawa Harun mereda.

Memangnya Bapak sudah?

Entahlah.

***

Harun tiba di apartemen lewat tengah malam.

Rafael sudah mengabari Siska dan Denny terkait kepulangan


ketua umum mereka, makanya kedua ajudan tersebut telah
bersiap.

“Terima kasih sudah memastikan Nyala baik-baik saja. Kalian


berdua boleh pulang.”

“Siap, Pak!” jawab keduanya serentak.


Harun membawa bungkusan di tangannya ke ruang makan.
Apartemen sudah gelap ketika ia masuk tadi. Dan saat
membuka pintu kamar, keningnya justru berkerut ketika
menyadari televisi masih menyala sementara wanita yang
berada di atas ranjang telah terlelap.

Sebenarnya, Harun tak tega membangunkan.

Namun, nasi goreng yang dibelinya tadi perlu dicicipi oleh


wanita tersebut.

Jadi, sambil melepas jam tangan dan meletakkan kacamatanya


di atas meja, ia melangkahkan kaki menuju ranjang.

Ia tak langsung membangunkan wanita itu, ia raih remote


televisi dan mematikannya. Kemudian, barulah
pandangannya menyusuri wajah Nyala Sabitah yang tampak
damai dalam tidurnya. Ia duduk di tepi ranjang, kemudian
punggung tangannya terangkat menyusuri pipi Nyala yang
lembut. Menyibak selimut wanita itu, lalu tangannya yang
lain membelai perut Nyala yang bundar.

Nyala sudah mengeluhkan intensitas buang air kecilnya yang


meningkat. Wanita itu juga bercerita, tidurnya kerap
terganggu karena keinginan buang air kecil yang tak bisa
ditahan. Belum lagi aktivitas bayinya yang kian aktif di usia
kandungan yang sekarang.
“Pak?” suara Nyala mengalun serak. Matanya mengerjap
berkali-kali demi meyakinin bahwa sosok di tepi ranjang itu
bukanlah hasil dari imaji. “Bapak?”

“Ya,” jawab Harun tersenyum. “Saya pulang.”

Tak ada yang lebih melegakan selain mendengar seorang


Harun Dierja Aminoto mengatakan hal itu. Hingga nyawa
Nyala yang tadinya belum terkumpul sempurnya, kini telah
berkumpul di raga. Tali dari slip dress berbahan silky yang ia
kenakan saat ini, melorot ke bahu kiri ketika ia mencoba
bangkit dari lelapnya. Dan ketika pria berstatus suaminya itu
membenahi tali dressnya, Nyala langsung tersipu.

Demi Tuhan, ia rindu.

Walau wajah Harun Dierja kerap wara-wiri di televisi dan sosial


media, tetapi nyatanya Nyala membutuhkan wujud pria itu
yang dapat ia sentuh.

“Bayinya bergerak,” tangan Harun merasakan pergerakan


dari bayi dalam perut Nyala.

“Sepertinya, dia kangen Bapak,” celetuk Nyala tertawa. Ia ikut


meraba perutnya, lalu merasakan tendangan halus si kecil. “Dia
tahu bapaknya pulang,” komentar Nyala lagi.

Pulang.
Benar, Harun pulang.
Bukan lagi ke rumah orangtuanya.

Kata pulang sekarang, sudah berada di tujuan yang berbeda.

Pulang yang Harun rasakan saat ini merupakan, tempat dimana


Nyala Sabitah berada.

Demi Tuhan, Harun tak pernah membayangkan bahwa


hubungan yang ia jalani bersama Nyala akan berubah secara
perlahan. Nyala yang dulu ia anggap sebagai kesalahan, kini
justru menjelma sebagai tempatnya pulang.

“Saya bawa nasi goreng untuk kamu,” tutur Harun membiarkan


jemari Nyala mengusap dadanya yang masih berlapis kemeja.
“Nasi goreng gerobakan,” ia geli ketika mengatakannya.
“Rekomendasi dari Rafael. Sepertinyaenak.”

Tertegun lama, kini pandangan Nyala jatuh menelisik wajah


Harun Dierja dari keremangan lampu tidur. Tangannya yang
berada di atas dada, kini bergerak mengusap leher belakang
laki-laki itu.

“Saya belum bisa membawa kamu makan di sana sesuai


keinginan kamu,” jemari Harun membenahi rambut Nyala
yang kusut. “Saya ingin. Tapi keadaan saya saat ini,
membuatsaya tidak mampu melakukannya.”

“Saya paham, Pak,” Nyala tak akan menuntut lebih. Ia sudah


sangat berterima kasih pada segala hal yang Harun beri.
“Sepertinya, nggak hanya bayinya saja yang rindu Bapak,” ujar
Nyala dengan tatap tengah mengarah pada netra suaminya.
“Nyatanya, saya yang lebih merindukan Bapak dibanding bayi
kita.”

“Saya tahu,” bisik Harun mendekatkan wajah. Ia mengecup


belakang telinga Nyala dengan sengaja. “Karena dalam tidur
saya, saya selalu menemukan kamu memanggil nama saya,”
imbuhnya sambil tertawa.

“Betul. Saya rindu Bapak. Sampai-sampai, saya resah karena


nggak kunjung bertemu Bapak,” Nyala mengakuinya. Ia
berusaha menggeser tubuh. Mengangkat bokongnya dengan
bantuan lelaki itu dan menjatuhkannya di atas pangkuan
sang calon Wakil Presiden negeri ini, andai beliau terpilih
nanti. “Tolong saya, Pak. Rindu saya terasa menyakitkan,”
bisik Nyala tertahan.

Dan Harun tahu harus melakukan apa untuk menuntaskan


rindu itu.

Sebab, ia pun merasakan hal padu.Nasi goreng dapat

menunggu.

Tetapi deru napas mereka yang menggebu, harus menjadi


satu.
***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Tujuh
Belas - Delapan Belas - Sembilan
Belas · Karyakarsa

TUJUH BELAS

Rindu memang membutuhkan temu agar jiwa yang


menghilang kembali utuh.

Dan Harun meletakkan segalanya saat bersimpuh di antara


lipatan terdalam milik istrinya.

Menjelajah wanita itu dengan hangat sapuan lidah. Jemarinya


merambat menyusuri kulit wanita itu yang meremang
mendambakan dirinya. Mengelus lembut tempat tumbuh
kembang janinnya. Lantas, ia membiarkan Nyala Sabitah
meremas rambutnya.

“Pak …”

Desah itu mengalun membakar gairah.

Memperdengarkan keresahan juga kegelisahan demi mencapai


puncak nirwana dunia.

Meremangkan bulu-bulu di tubuh, menggelinjang penuh saat


lidah hangat itu menyerbu.
Ya, Tuhan … Nyala Sabitah adalah candu.

Waktu boleh saja melaju jauh. Namun rindu mereka yang


menggebu, harus dinikmati malu-malu. Sesap yang Harun buat,
menimbulkan pekik haru yang membuat jiwanya seketika
terpacu. Nyala Harus datang di lidahnya. Wanita itu wajib
mengerang di dalam mulutnya.

Dan itulah yang sedang Harun usahakan saat ini.

Lidahnya membasahi tiap inci ruang sempit sang istri.


Mencecap rasa yang tak sekalipun akan ia bagi pada yang
lainnya. Nyala Sabitah adalah miliknya. Jadi, yang boleh
membuat wanita itu hilang kendali hanya dirinya.
Kemudian, itulah yang terjadi. Ketika kedua telapak kaki
istrinya yang berada di atas bahunya mulai menekan tak
terkendali, tak lama wanita itu pun mengejang meneriakan
namanya.

“Pak ….”

Silky dress yang tadi menyambut Harun, memang begitu pas


membalut tubuh istrinya. Bahannya halus begitu
menyenangkan saat ia mengelusnya. Tetapi, kala Harun harus
memilih, ia lebih menyukai melucutinya pakaian tersebut. Agar
matanya dapat melahap segala keindahan yang tercipta dari
seorang Nyala Sabitah. Ketika payudaranya yang dulu begitu
pas digenggaman Harun kini
terasa bervolume dan tumpah. Pinggul rampingnya, telah
menghilang akibat kehamilan namun hal itu tak mengurangi
esensi luar biasa dari raga wanita hamil tersebut. Bokong
sekalnya terasa kian padat kala diremas.

Dan kini, semua itu dapat Harun nikmati seorang diri.

Tubuh tanpa busana tersebut memamerkan puncak dada yang


menyembul menantang.

Kulit payudaranya merona, akibat remasannya.

Tetapi yang membuat gairah Harun makin terpacu adalah bibir


Nyala yang memerah. Sementara wanita itu menatapnya sayu
penuh damba.

Hm ….

“Sakit?”

Gelengan Nyala dibarengi dengan napas yang menderu.


Cengraman tangan wanita itu masih menguat, sementara perut
bundarnya tampak berkilau saat terkena cahaya lampu. Harun
yang memang menyalakan kembali penerangan kamar tuk
memandangi tubuh sang istri.

Saat Harun merenggangkan kedua paha istrinya, ruang sempit


itu begitu merona. Basah, mengkilap, seolah tengah
memanggil-manggilnya. “Gini nyaman?” Harun harus
memastikan Nyala merasakan kenyamanan. Kehamilannya
yang semakin besar, membuat gerak mereka pun terbatas.
Namun, hal tersebut tidak mengurangi nikmat yang akan
diraih. Hanya saja, sekarang ini mereka harus berhati-hati.
Euhm, nyaman, Pak,” cicit Nyala dengan napas yang masih
memburu. “Tapi nggak bisa sentuh dada Bapak,” ujar Nyala
jujur. Dada bidang Harun Dierja yang berpeluh merupakan
pemandangan syahdu bagi Nyala. Tak akan ada yang percaya,
bahwa dirinya dapat menikmati memandang tubuh dari calon
Wakil Presiden yang tengah ramai dibahas baik di linimasa
maupun forum-forum nasional.

Setelah pelepasan pertama sang istri terjadi, Harun memang


langsung menegakkan punggung yang tadi meluruh demi
mencecap Nyala secara utuh. Namun, jemari-jemarinya tetap
tinggal di pusat gairah tersebut. Menerobos masuk, menyentuh
ruang sempit yang tak lama lagi akan terisi oleh dirinya. Namun
sebelum itu, ia masih ingin menyusuri kulit Nyala yang kini
terasa lembab. Tertawa kecil demi meningkahi kejujuran Nyala
barusan, Harun pun menundukkan sedikit tubuhnya. “Capek,
nggak?” bisiknya di belakang telinga Nyala.

Nyala menggeleng.

Kecupan demi kecupan yang dilayangkan pria itu, buatnya


mengerang kalah.
Lehernya menengadah, memberi akses lebih mudah agar
Harun Dierja dapat bermain di sana.

“Jangan dibuat tanda, Pak,” erangnya saat merasakan pria itu


menggigiti area lehernya. “Malu sama Siska,” kini ia dapat
menyentuh dada sang ketua umum partai dengan bebas. Peluh
yang menempel di dada terasa dingin di bawahsapuannya.

Mengakhiri kecupan di leher dengan meraup bibir Nyala dalam


cumbuan, Harun menyelipkan kembali jemarinya di lipatan
sempit di bawah sana. Merasakan Nyala nyaris mengerang
dalam cumbuan, Harun sengaja memperdalamnya menjadi
lumatan yang panjang penuh gairah.

Ia pertemukan dadanya dengan dada Nyala yang telah


nir busana. Ia sangat menyukai sensasi ketika perut Nyala
berjumpa dengan perutnya. Rasanya, begitu menyenangkan.
“Dia gerak,” Harun mendadak tertawa begitu merasakan bayi
mereka bergerak di dalam perut Nyala. Ia sampai melepaskan
cumbuan, demi melihat geliat bayi mereka melalui permukaan
perut istrinya itu.

“Digangguin Bapak, bangun dia,” Nyala tersenyum geli. Ia raih


tangan sang suami dan meletakkannya di dada. “Pengen dua-
duanya, Pak,” cicit Nyala yang kini tak lagi malu tuk
memberitahu apa yang diinginkannya.

Harun paham, ia angkat jemarinya yang berada di dalam ruang


sempit milik sang istri. Ia remas kedua payudara tersebut
dengan masing-masing tangannya. Mengusap putingnya yang
keras lewat ibu jari. Kemudian menambahkan jentikkan lidah
saat ia menunduk untuk meraupnya.

“Pak!”

Ya, Harun menyukai pekik itu. Jadi, ia melakukannya sekali

lagi.

Dan lengkungan punggung Nyala justru kian membakargairah.


Hingga Harun kembali meraih paha istrinya itu. Melingkarkan
salah satu ke pinggangnya, sementara sebelah tangannya mulai
menuntun bukti gairahnya agar segera merasuki liang sempit
Nyala Sabitah yang basah.

Ia sudah tak tahan.

Jadi, pelan-pelan Harun menginvasi ruang.

Dengan penuh kelembutan, Harun mendorong dirinya


tenggelam.

Erang mereka memenuhi kamar luas yang hanya dihuni


keduanya. Tamparan pendingin ruangan, buat kulit berpeluh
mereka menjadi lembab. Andai tak memacu, mereka bisa
menggigil kedinginan. Bila tidak saling mencumbu, gelombak
hasrat tak akan bergerak melaju.

Jadi, setelah memastikan istrinya nyaman, Harun mulai


menggerakkan tubuh.

Perlahan-lahan. Penuh kehati-hatian.Tak ingin menyakiti.

Dan ia berusaha membuat wanita itu menikmati.

Namun, kala gulungan hasrat yang menari-nari tak mampu


lagi menunggu, Harun memacu dengan bibir yang mencumbu
perut buncit Nyala yang mengkilap. Matanya melahap
keindahan payudara yang bergerak sesuai ritme hujamannya.
Bibir Nyala mendesah, mata wanita itu memejam. Nyala
kembali mendapat pelepasan, sementara Harun belum selesai
menghujam.

Jadi, malam bagi mereka masih panjang.Harun dan Nyala

sedang merajut temu.

Karena belum tentu, esok mereka akan kembali bertatap


muka.

***
“Nasi gorengnya sudah dingin,” Harun membuka bungkusan
tersebut dan memeriksa suhu makanan itu. “Saya panaskan
dulu,” ia mengganti wadah sebelum memasukkannya ke dalam
microwave.

“Saya pengin makannya sambil selonjoran, Pak,” Nyala sudah


mengenakan gaun tidur baru. Kali ini, yang panjangnya hanya
di atas lutut. Berbahan karet lentur yang mengikuti lekuk
tubuhnya. Bahan kainnya sendiri teramat dingin di kulitnya.
Tanpa bra, putingnya tercetak. Namun, ia sedang tidak nyaman
mengenakan penyanggah dada itu.
Payudaranya kian sensitive.

“Capek?” Harun menuang jus jeruk dingin dari lemari es.


Meneguk setengah, kemudian menambahkan kembali sampai
memenuhi gelas. Barulah setelah itu ia bawa minuman tersebut
pada Nyala di yang sudah terlebih dahulu duduk di atas karpet
living area. “Minum dulu,” ia sodorkan gelasnya pada wanita
itu.

Nyala menerimanya sambil tersenyum. “Bukan capek sih, Pak.


Cuma nggak tahu, sekarang napas saya kayaknya pendek. Jadi
gampang ngos-ngosan.”

Andai tidak ingat bahwa Harun baru saja membuat wanita itu
terengah-engah, mungkin ia sudah menjatuhkan cumbuan
untuk membungkam bibir manis itu. Untung saja,
kali ini ia hanya tersenyum singkat menanggapi kejujuran
wanita itu.

Harun menatap jam dinding sekali lagi. Sudah setengah tiga


pagi. Sementara jadwalnya akan dimulai jam delapan pagi ini.
Sambil mengelus kepala Nyala, ia menoleh ke arah microwave
yang baru saja berdenting. “Sebentar, ya?”

Nyala mengangguk. Punggungnya ia sandaran ke kaki sofa,


sementara kedua kakinya lurus ke depan. Ia mengelus
pinggangnya, kemudian menyapukan sapuan lembut di
perutnya. Entah kenapa, ia senang bahwa setiap kali mereka
melakukannya, tak ada lagi kecanggungan yang membuat
perasaan jadi tak nyaman. Kebiasaan Harun Dierja yang kerap
mengajaknya membersihkan diri selepas berhubungan,
merupakan bagian yang paling ia dambakan selain deru napas
memburu yang mereka lakukan sebelumnya.

Sungguh, pria itu begitu perhatian.

Penuh kehati-hatian dan … entahlah, Nyala tak mampu


menjabarkannya lebih.

“Bapakmu pulang,” ia bergumam kecil pada bayi dalam


perutnya. “Kamu senang?” senyumnya terpatri malu-malu.

Ketika kandungannya belum sebesar ini, Harun bergitu hati-


hati saat mengajaknya beranjak. Dan setelah kandungannya
sudah sebulat ini, Harun makin berhati-hati bahkan ketika
iaharus melangkah.

Pria itu …

Nyala menggigit bibirnya, saat punggung Harun Dierja yang


lebar tertutup selembar kaos rumahan. Punggung bidang itu,
berkali-kali ia cakar ketika hujaman yang diberikan begitu
terasa dalam.

Ya, Tuhan …

Pesona pria matang memang tiada tandingan. Harun sama

sekali tak tercela di mata Nyala.

Baik dalam konteks profesionalnya sebagai seorang ketua


umum partai, maupun kepribadiannya sebagai pria yang
menikahi Nyala.

Mendadak saja, Nyala tak ingin melepaskannya. Tetapi

keinginannya tersebut, terbentur realita. Harun Dierja tak

mungkin untuknya.

Tanpa sadar, ia pun mendesah. Tatap yang tadi ia berikan


pada pria itu seutuhnya, kini ia bagikan pada perutnya saja.

“Ada apa? Kenapa kamu menghela napas seperti itu?


Bayinya menendang lagi?”
Pertanyaan beruntun dari Harun Dierja, buat Nyala mendongak
ke arah pria itu. Ia menerima sepiring nasi goreng yang
disodorkan ke arahnya. Tak lama berselang, pria tersebut pun
ikut duduk di sisinya dengan tumbler berisi air putih. “Bapak
cuma beli satu?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Kamu yang pengin nasi goreng.”

“Kan sayang bilangnya, pengin makan nasi goreng berdua sama


Bapak,” Nyala mengulang kalimat yang ia ucap ketika
melangsungkan video call tempo hari.

“Oke, kalau begitu, saya akan makan di piring yang sama


dengan kamu.”

Senyum Nyala ditutupi dengan dengkus dari bibirnya. Sengaja,


agar sang ketua umum tersebut tak mengetahui bahwa ia luluh
begitu mudah.

Mereka makan seperti kala Nyala berada di trimester pertama.


Harun Dierja menyuapinya tanpa ia minta. Tidak berkata apa-
apa, namun menatapnya tiap kali makanan itu ia kunyah.

Setelah suapan terakhir dan Nyala menandaskan minuman di


dalam tumbler, mereka tak serta merta langsung beranjak.
“Kenapa Bapak ngasih perhiasan lagi ke saya?” dua hari yang
lalu, salah seorang ajudannya Harun Dierja mampir ke
apartemen. Bukan Denny maupun Siska. Namun, ajudan lain
yang sering ikut berpergian bersama Bapak dan juga Rafael.
Memberinya bingkisan yang katanya merupakan titipan dari
pria di sebelahnya ini.

“Hadiah ulangtahun,” sahut Harun tanpa beban.

Nyala ingin mendebat, namun ia pun mengurungkan niatnya.


Mencoba bercanda, ia pun menatap sang ketua umum dengan
pendar jenaka. “Perhiasan-perhiasan yang Bapak kasih itu, bisa
dijual lagi nggak sih, Pak?”

“Bisa,” jawab Harun lugas. “Ada sertifikat keaslian di tiap- tiap


perhiasan itu. Kamu bisa menjualnya kalau kamu sudah tidak
suka.”

Dalam hati, Nyala pun mencibir. Namun, ia tidak berani


mengutarakan cibiran tersebut. “Kalau dijual pasti dapat uang
banyak, ya, Pak? Bisa dong, buat saya ke luar negeri,”
celetuknya asal.

Namun, tanggapan Harun begitu serius. “Kamu ingin ke luar


negeri?”

Nyala bisa mengangguk demi meneruskan candaannya. Tetapi,


ketika menyadari bahwa raut wajah pria di sebelahnya itu
begitu serius, Nyala pun tak berani.
“Kamu ingin tinggal di luar negeri?” kejar Harun
dengan
pertanyaan yang lebih spesifik lagi. Daan kali ini, Nyala

mencoba berani.

Sebab, jawaban yang ia beri, benar-benar berasal dari hati.

“Saya ingin tinggal di mana pun Bapak tinggal,” tuturnya sambil


meneguk ludah. Netra mereka saling memandang. “Apa itu
diperbolehkan, Pak?” cicitnya menekan rasa panasdi antara
kedua matanya. “Tinggal sama Bapak,” ia tekankan lagi. Kali
ini dengan jemari yang telah berhasil berlabuh diatas dada
bidang itu. “Bertiga, Pak. Bareng bayi ini juga,” Nyala mengamit
tangan pria itu dan meletakkannya di atas perut. “Boleh, Pak?”
ia tetap memandang sang suami dengan matanya yang sudah
berkaca-kaca. “Apa boleh, Pak?”

Harun mengeratkan rahangnya seketika.

Matanya memandangi Nyala Sabitah dengan segunung


perasaan yang tak mampu ia ungkapkan. Debar jantungnya
terasa ngilu kala menatap air mata wanita itu yang mulai
menetes jatuh. Sementara itu, tangannya yang berada di atas
perut Nyala, terkepal. Ia tak kuasa mengelus perut itu.

“Saya nggak percaya, Bagus bisa ngajarin anak kita sopan


santun,” bibir Nyala bergetar. Sementara suara yang dihasilkan
terdengar lirih. “Saya nggak percaya, Bagus bisa diandalkan
sewaktu anak kita sakit,” air mata yang tadi
menetes, kini semakin deras. “Saya juga nggak bisa percaya
sama Bagus, sewaktu dia menemani anak kita dikhitan,” rasa
sesak itu datang melahap akal sehat Nyala. Jadi, ia sadar betul
ketika mengutarakan segala kekhawatirannya. “Bagus bukan
ayahnya, Pak,” bibirnya berbisik. “Dia milik Bapak,” Nyala
menyatakannya tanpa keraguan. “Apa Bapak yakin, akan ada
seseorang yang boleh memilikinya selain, Bapak?”

Tidak.

Harun tak akan sudi membiarkan siapapun merasa


memilikianaknya.

Tetapi bagaimana dengan partainya?

Bagaimana dengan politik yang sudah menjadi


dunianya?

Keberadaan Nyala … Keberadaan anaknya …Ya Tuhan …

“Tapi saya tahu, Pak. Keberadaan kami adalah kesalahan di


hidup Bapak,” ujar Nyala seolah dapat mendengar resah yang
ditanggung pria itu. “Ternyata rasanya begini, ya, Pak?” Nyala
mencoba menghapus air matanya sendiri. Dengan perlahan, ia
coba tersenyum walau berat. “Ternyata, begini rasanya
mencintai Bapak.”
Deg.

Harun menelan ludah.

Jantungnya yang nyeri terasa bertalu-talu hebat.

“Iya, Pak,” Nyala mengangguk tanpa berusaha menutupi lagi.


“Begini rasanya mencintai Bapak, yang ternyata nggak bisa
kami miliki.”

***

DELAPAN BELAS

Harun terlambat.Itu jelas.

Setelah ungkapan cinta istrinya yang terasa menyakitkan untuk


mereka berdua, Harun tak dapat memejamkan mata. Ia
menjalan ibadah Subuhnya, tanpa membangunkan Nyala. Pada
sujud terakhir, ia bersimpuh lama. Tak kuasa menahan rasa
yang mendera, ia ceritakan semua.

Namun rasanya tak juga lega.

Ia ingin sekali tak melakukan apa pun hari ini.

Tetapi, Putra sudah menuliskan sejumlah jadwal yang harus ia


hadiri. Harun tak bisa mangkir. Lagipula, kedudukannya kini
tak hanya seorang ketua umum partai, melainkan juga
calon Wakil Presiden yang wajib memenangkan suara
dalampemilihan umum nanti.

“Putra.”

“Iya, Pak?”

Diperjalanan menuju janji temunya dengan mantan salah satu


kader senior partai Nusantara Jaya yang memilih menarik diri
dari dunia politik, Amrullah Hidayat. Harun tak sanggup lagi
menutupi keresahannya.

“Saya ingin hidup dengan Nyala,” tuturnya tanpa aba-aba.

Hal yang sontak saja buat Putra, Rafael, bahkan supir


kepercayaan mereka kontan menoleh ke arah sang ketua
umum.

“Bagaimana caranya, agar saya bisa hidup dengan Nyala, Put?”

Sungguh, Putra masih belum percaya pada apa yang ia dengar


sekarang ini.

Yang ia tahu, Harun Dierja Aminoto, tidak pernah seblak-


blakan ini bila mengumumkan keinginan pribadinya.

Tetapi, barusan?

Ya, Tuhan …

Sepertinya ada yang salah.


Sungguh, Putra sampai harus menahan napas setelah
telinganya dilewati oleh kalimat-kalimat mencengangkan
barusan. “Maaf, Pak?” jadi setelah berhasil memulihkan
keterkejutan, Putra pun mencoba membuat sang atasan
kembali mengucapkan pertanyaannya tadi. “Bapak tadi bilang
apa? Sepertinya saya tidak fokus, Pak,” ujarnya sopan. Ia
menutup ipadnya, memiringkan sedikit posisi duduknya.
Kemudian, hanya memfokuskan diri pada Harun Dierja
Aminoto. “Bisa diulang, Pak?”

“Saya ingin hidup dengan Nyala, Put.”

Oh, oke.

Ternyata Putra tidak salah dengar. Baik.

Tetapi tunggu, ia perlu menarik napasnya dalam-dalam.Bahkan


dalam tarikan napas tersebut, otaknya sudah dapat melihat
kekacauan yang siap menghadang.

“Hal itu terlalu beresiko, Pak,” ia akan utarakan kejujuran yang


menyakitkan. Mungkin, sang atasan hanya perlu disadarkan.
“Pengumuman pernikahan Bapak dengan Mbak Nyala, benar-
benar akan menghancurkan semuanya,” tuturnya terus terang.
“Alasan pernikahan yang terjadi antara Bapak dan Mbak Nyala,
tidak akan dibenarkan. Dan pengunduran diri Bapak dari
jabatan yang Bapak emban saat
ini, tidak akan menyelesaikan apa-apa.”

Putra tahu, opsi pengunduran diri dari dunia politik, pasti


sempat terpikirkan oleh sang atasan. Makanya, ia paparkan saja
kenyataan apa yang bisa terjadi bila beliau nekat melakukan hal
tersebut di masa-masa sekarang.

Putra mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya.

Sekalipun, keinginannya adalah mencerca sang atasan agar


kembali sadar seperti sedia kala. Hal itu tak ia lakukan.
Karena, Putra tahu betul menasehati orang yang sedang jatuh
cinta dengan amarah yang meledak-ledak, sama sekali tak
berguna. Walau ia pun menyadari, apa yang ia katakan initidak
seratus persen didengar.

Well, jatuh cinta?Benar.

Mau diingkari bagaimana pun juga, Putra sangat yakin bahwa


Harun Dierja Aminoto, telah jatuh cinta dengan istri sirinya.

Sungguh, ia tidak marah.

Hanya saja, kenapa harus dalam kondisi seperti ini?

Di saat mereka sedang gila-gilaan mengusahakanpencapaian.


“Pertama, ketika akhirnya Bapak mengumumkan pernikahan
yang tiba-tiba, hal tersebut tidak lagi menjadi buah bibir
dikalangan masyarakat. Namun, juga senjata yang akan
membuat oposisi menyerang Bapak secara personal dengan
mengorek setiap informasi mengenai Mbak Nyala sampai ke
akar-akarnya. Lalu, tragedi malam Rakernas akan terbuka
dihadapan publik. Kemudian, publik akan mengetahui bahwa
dalang dibalik malam Rakernas itu adalah kader kita sendiri,”
penjabaran ini akan panjang. Putra hanya berharap
ketenangannya dapat bertahan hingga ia selesai memberi
penjelasan. “Dan parahnya lagi, orang itu merupakan Sekjen
partai kita, Pak. Dengan kenyataan, bahwa orang itu
merupakan ayah biologis dari istri Bapak.”

Kemacetan membuat perjalanan ini terasa lama dan panas.

Putra harus meneguk air mineralnya, agar terhindar dari


dehidrasi yang menyiksa.

Iya, menyiksa jiwa dan raga.

Astaga, tolong kembalikan atasannya seperti sedia kala.

Belakangan ini, mereka benar-benar tidak pernah sejalan.

“Partai kita akan binasa seketika. Para kader yang sudah habis-
habisan menggelontorkan dana untuk melaju pada Pemilu,
akan sengsara. Sebab, mereka tidak akan mendapat suara
karena adanya skandal besar di lingkungan partai.
Bapak akan dikecam. Walau pro dan kontra mungkin sedikit
meringinkan kecaman. Namun hal itu, tidak mengubah fakta
bahwa pernikahan Bapak dan Mbak Nyala terjadi, ketika Mbak
Nyala sudah terlanjur hamil,” Putra meneguk ludahnya sendiri.
Entah kenapa, ia merasa sangat frustrasi. “Bapak mungkin
tidak peduli bila nama baik Bapak tercoreng. Lalu bagaimana
dengan keluarga Bapak? Adik- adik Bapak? Dankecaman yang
akan diterima Mbak Nyala setelah itu, Pak?”

Sungguh, yang ingin Putra lakukan hanyalah membuka


tempurung kepala sang atasan. Supaya ia dapat memprogram
ulang, dan mengembalikan ketua umum partainya, menjadi
sosok Harun Dierja sebelum bertemu dengan Nyala Sabitah.

“Dan kerusakan yang terjadi selanjutnya, kehidupan saudara-


saudara Mbak Nyala pun akan terusik. Sebagai caddy, Mayang
Elvira, akan terciprat citra buruk dari skandal Mbak Nyala
maupun karena profesinya. Lalu, Bagus Cendarkna yang sudah
mati-matian mengumpulkan dana demi Pemilu kali ini. Besar
harapannya bisa melaju ke Senayan. Walau faktanya, ia tidak
mungkin bisa melenggang ke sana. Namun, skandal yang
ditimbulkan Mbak Nyala, akan menyeretnya, Pak. Tidak ada
yang selamat bila oposisi sudah bergerak mencari data-data
valid. Temuan mengenai
latar belakang ibu kandung Mbak Nyala, tentu saja akan
membuat daftar skandal yang Bapak lakukan kian panjang dan
tercoreng.”

Putra butuh selusin kopi.

Ya, ia membutuhkan kafein agar bercampur dengan


darahnya.

Benar.

Ia akan membelinya sebentar lagi.

“Tetapi, bila Bapak memang ingin bersama dengan Mbak Nyala


bahkan setelah Mbak Nyala melahirkan tanpa merusak
semuanya, silakan tetap menjadikan Mbak Nyala sebagai
rahasia, Pak.”

Putra bukannya kejam.

Ia sedang memaparkan segala kemungkinan yang akan terjadi


bila sang atasan memang menginginkan demikian.

“Silakan tetap bersama, Pak. Tapi, akan ada masa di mana


publik mendesak Bapak untuk berkeluarga. Sementara yang
mereka tidak tahu, Bapak sudah memilikinya. Hal itu akan
menjadi masalah serius, Pak. Apalagi, ketika nanti Bapak
berhasil menjadi kepala Negara. Bapak tidak mungkin tidak
didampingi Ibu Negara. Memperkenalkan Mbak Nyala di
kemudian hari, hanya akan membuat Bapak babak belur
dihakimi oleh omongan seluruh lapisan masyarakat.
Sementara menyembunyikan Mbak Nyala selamanya, akan
membuat hidupnya menderita.”

Oh, jelas.

Itulah yang akan terjadi, bila Harun Dierja Aminoto ingin tetap
bersama sang istri rahasia tanpa menunjukkannya ke media.
Nyala dan anak mereka akan tersiksa.

“Jadi, saya harus apa?” tanya Harun setelah mendengarkan


penjelasan panjang asisten pribadinya.

“Yang harus Bapak lakukan sekarang adalah keluar dari mobil


ini, Pak. Karena kita sudah sampai,” Putra menipiskan bibirnya
saat menyadari ketenangannya pun nyaris menguap.

Benar saja, kemudian mobil yang mereka tumpangi pun


berhenti sejenak, menanti pagar tinggi di depan sana terbuka
untuk mereka.

Senyum penuh tekanan yang diberikan oleh Putra mengiringi


sang ketua umum untuk membuka pintu terlebih dahulu.
Setelah mereka berada di luar, Putra pun menghampiri sang
atasan.“Saya akan meminta Faura untuk menemani jadwal
Bapak siang nanti.”

“Lho, kenapa?” kening Harun berkerut dalam. “Saya nggak


suka didampingi dia,” ujar Harun terus terang. “Dia lambat.”

“Tapi hari ini, saya sangat ingin meledak, Pak,” ucap Putra
berterus terang. “Saya butuh kopi, Pak. Saya juga butuh
menenangkan diri. Atau, saya tidak akan terkendali.”

Sialannya, Harun justru tertawa mendengar sarkas sangasisten.


Menepuk punggung Putra dengan tawanya yang mendera,
Harun menyorot sang asisten dengan pendar geli. “Jangan
meledak sekarang, Put. Saya masih sangat membutuhkan
kamu,” kelakar Harun denganmempertahankan senyum kecil
di wajah.

“Makanya, Pak. Saya butuh berliter-liter kopi, untuk


memandikan emosi saya.”

***

Sementara itu, linimasa sedang dihebohkan oleh cuitan seorang


anonym tanpa pengikut dan baru saja membuat akun social
medianya. Yang mengherankan, cuitan yang diunggahkan telah
di retweets oleh para
influencer penggiat aplikasi tersebut. Dan telah dibagikan
berkali-kali oleh pengguna aplikasi milik Elon Musk tersebut.
Meski belum menaiki trending topic di jagad maya. Namun
tulisan yang beredar, telah menjadi forum diskusi bagi siapa
pun yang mampir untuk membaca cuitannya.
Anonimnews @annmnews
Gosip pejabat kelas atas.

Sebuah utas dari berita yang didengar dari orang-orang


didalam gedung.

Spekulasi juga benang merah dari sebait interview dan


kenyataan di lapangan.

~a Thread

2.090 Retweet 899 Quote Retweet 2.100 Like

Anonimnews @annmnews

Bukan buzzer salah satu koalisi. Tapi gue adalah pengamat.

Dimulai dari info yang gue denger langsung dari gedung


utama partai NJ.

Mulanya, cuma gosip biasa, tentang salah satu


karyawannmereka. Inget, karyawan ya?

Bukan kader. Yang dikabarin hamil di luar nikah.

Anonimnews @annmnews

Oh, ya, btw, screenshoot aja thread gue ini. khawatirnya,


bentar lgi ngilang.

Balik ke kabar karyawan partai NJ yang ketahuan hamil


tanpa suami.
Permasalahannya jdi merembet ke mana-mana.
Awalnya dicurigai, kalau pacar si karyawan ini adalah
kepala ajudan dari Ketumnya.

Tapi, kabarnya dibantah sama keduanya. Lho, jadi si cewek

ini hamil sama siapa dong? Anonimnews @annmnews

Setelah itu, si cewek nggak lama ngajuin resign.Di sinilah

muncul kejanggalan baru.

Mau tahu apa?Wkwkwkk

Ternyata, one month notice gak dilakukan sebagai mana


mestinya.

Tapi, pihak HR katanya tetap hrs ngeluarin gaji plus surat


rekomen padahal si cewek ini gak ngegenapin kewajiban
sebulan terakhirnya.

Aneh ‘kan? tapi, ya, itulah yang terjadi.

Anonimnews @annmnews

Pihak atas katanya udah tahu “kedudukan cewek


ini”

Makanya, gk ada yang berani speek up.

Tapi masalahnya, bocor gara2 anak baru yang masuk di


bagian HR.
Doi sebenarnya gak salah. Doi cuma heran aja, kenapa
si cewek ini “spesial”

Doi ceritalah ke staf divisi2 yg lain di DPP partai NJ.

Sampai kemudian ada yg notice kalo belakangan sblm si


cewek resign,

Si cewek ini suka di anter jemput sama Xpander dan CR-


VTurbo.

Yg kata si cewek ini tuh, grap or gocar or apalah.

Anonimnews @annmnews

Sampai suatu hari ada yang ngeh. Kalo kedua mobil itu
tuh,mobilnya para ajudannya si Ketum NJ ini.

Waw, gila gak tuh?

Sampai usut punya usut, ternyata ada salah satu staf di sana
yang jadi sugar baby anggota dewan. Terus, wktu doi
ngunjungi daddynya di salah satu apart hits punyanya
Hartala Group. Doi terang-terangan ngelihat si cewek ini
masuk ke tower yg sama. Dan dianterin sama salah satu
ajudannya si Ketum NJ.

Wooowwww ….

GILAAKKK.
Anonimnews @annmnews
Jadi intinya, si cewek yg hamil ini tuh bukan sama
ajudannya.

Tapi sama ketua umumnya.Maybe, begitulah

spekulasi.

Sampai kemarin malam, si ketua umum slash calon wapres


nyebutin ciri-ciri cewek idamannya. Dan doi secara terang-
terangan nyebut kalo nggak masalah punya gap 11 – 12 thn
sma tipe idealnya. Dan begitu dicari tahu, ternyata nih cewek
baru umur 26-27. Cocok sih sama yg disampaikan.

Anonimnews @annmnewsPict bonus.

Ternyata si cewek dtg ke gender reveal Hasbi dan Ruby


Aminoto.

Mana perutnya jg udah gede bgt ‘kan?

Di sini, si cewek dtg sama adeknya. Fyi, adeknya ini


caddyplus2 juga seleb tiktok.

Dan bapak2 yg bareng mereka itu Balarama Hutomo, ygy.

Anonimnews @annmnews

Mau percaya atau nggak sama asumsi ini, yg jelas, bukti


mulai terkumpul.
Nanti, kalau benar-benar udah valid, bakal gue share lagi.

Tenang, kalaupun akun ini nanti ilang. Gue bakal bikin


akun baru kok.

1.011 Retweet 897 QuoteRetweet 2.900 like

Jokemamang @jkmamang

Reply @annmnews

The real turun grade kalau bener. Ginta Maharani as dewi.

Dan cewek itu maybe …?? Larissman @Larissman Reply

@annmnews

Gilak.

Kemarin pada heboh “rahim anget”

Ternyata emang tukang nyebar rahim anget ya.

Hsbcghy @numericsalawReply @annmnews

Mantannya Kanika Arthila, balikan gih. Janda juga

lebih berkelas dibanding yg ini.


Markisajeruk @lalitatumeangReply @annmnews

Nyebar gosip aja luuu

Asumsi-asumsi lo bilang? Yg ada nih fitnah, woy! Ditangkap

nnti nanges.

Jfranda @jessicafrandaReply @annmnews Buzzer

oposisi lu.

Tim sakit hati ‘kan, lu?

Jht bgsd!

HarianGeo @hariangeografisReply @annmnews

Ck, udah jelas buzzer.

Ini juga bnyak bgt sih qrt gaibnya.Udahlah mbak, solat tobat

sana.

Ketangkep nnti ngakunya khilaf

Yerrykang @kangyerry Reply @annmnews


Jgn nodai cawapres gue woy!Rahim anget-rahim anget.

Rahim lo gue cabein mau?!!

Lalu, cuitan tersebut, hilang.

Sesuai perintah Sanusi Wijaya, tim IT mereka telah berjagadi


berbagai sosial media.

***

Dewi Gayatri tak bisa membiarkannya.

Walau postingan yang terang-terangan menyeret nama sang


putra telah terhapus. Namun tetap saja, beberapa oknum pasti
sudah menyimpan postingan tersebut. Apalagi, si pembuat
menginstruksikan secara terang-terangan, kemungkinan yang
akan terjadi pada aktivitas cuitannya.

“Apa yang kita punya sekarang?” Dewi Gayatri menatap sang


sekretaris juga asisten pribadinya. “Saya tidak ingin Harun
dikaitkan-kaitan dengan wanita itu. Buat pengalihan. Yang
tidak hanya berlaku di sosial media. Namun juga untuk diDPP.”

Karena sumbernya berasal dari kantor pusat Nusantara Jaya.

Jadi, sudah pasti, mereka harus membungkam orang-orang


yang berada di sana sekalian.
Masalahnya, tak bisa melalui ancaman. Sebab sekarang, apa-
apa serba viral.

“Bagaimana?” Ibu tiga orang anak itu semakin tak sabar. “Apa
yang bisa kita lakukan untuk menjauhkan Harun dari wanita
itu?”

“Kita punya foto Nyala Sabitah dengan dokter dari rumah


sakit—“

Ck, dia belum mapan!” Dewi Gayatri langsung memotong


dengan lugas. “Sudah ada yang mengetahui bahwa wanita itu
tinggal di apartemen Harun. Dokter itu bahkan masih residen.
Bagaimana mungkin dia bisa membeli apartemen itu.”

Mereka butuh sosok lain.

Yang lebih masuk akan dan tentunya dinilai memiliki uang.

Hingga kemudian, masukan dari ajudannya membuat Dewi


Gayatri seketika saja mencoba membuat skenario yang masuk
akal untuk narasi tersebut.

“Bagaaimana dengan yang ini, Bu?”

Dewi Gayatri meraih ponsel milik sang ajudan. Meneliti


gambarnya namun tak kunjung memberi tanggapan.

“Apa yang bisa kita buat dengan foto ini?”


Kini, ia tertarik.

“Bukankah hal ini bisa merusak reputasi partai?”

Walau begitu, ia tetap mengkhawatirkan elektabilitas partai


Nusantara Jaya juga.

“Bukannya sudah sejak lama Ibu ingin menyingkirkannya?”


sang ajudan mengingatkan. “Jadi, mungkin sekarang waktunya,
Bu. Mas Harun akan baik-baik saja. Beliau ditopang oleh
koalisi yang solid. Kisruh ini akan menggoyang DPP, tapi
sedikit. Selebihnya, kita akan melihatnya mundur.”

Dewi Gayatri menimang ponsel tersebut di tangan. Matanya

menghunus tajam.

Dan kemudian, ia memejam.

“Oke,” desahnya setelah yakin dengan resiko yang akan ia ambil


sekarang. “Biarkan saya yang membuat narasi untuk tajuk
utama berita esok hari.”

***

Media.Tv

[BREAKING NEWS]

SEKJEN PARTAI NUSANTARA JAYA TERCIDUK


MEMILIKI ISTRI BARU.
INTIP 7 FOTO SEKJEN PARTAI NUSANTARA JAYA,
SEKALIGUS PRESIDEN WIDJAJA GROUP DENGAN
ISTRI BARUNYA. MASIH MUDA DAN TENGAH
HAMIL TUA.

*** Beritadalamdunia.com[HOT TOPIC]

SEKRETARIS JENDERAL PARTAI NUSANTARA JAYA


DIKABARKAN MEMILIKI ISTRI KEDUA. SAAT INI,
WANITA TERSEBUT DIKABARKAN TENGAH
BERBADAN DUA. TERSEBAR FOTO-FOTO DI LINI
MASA MENGENAI KEDEKATAN MEREKA. DAN
KABARNYA, WANITA TERSEBUT MERUPAKAN
SALAH SEORANG STAF DI DPP NUSANTARA JAYA.

***

Markisajeruk @lalitatumeang

Mana nih yg kemarin bilang ketum kesayangan gue


“ngangetin rahim” tuh cewek?

Keluar lo, woy!

Tua bangka yg punya kerja. Mengcapeekkk bgsd.


#IstriMuda #SekjenNJ #PartaiNJ
#HarunDierjaAminoto

Jasjusmangga @LutfiabiMbaknya cakep woy!

Kenapa doyan aki-aki sih Mbak?

Oh, iya, lupa, yg penting duitnya abadi smpai mati, ya,Mbak?

#SekjenNJ #SanusiWijaya #WidjajaGroup


#HarunDierjaAminoto

ArielbukanNoah @jajangsenoAni-aninya bening sekaleee

Mbak, kalo si pak sekjen mati, saya janji kerja keras buat
dptin mbaknya.

Gini dong, berita tuh valid pake foto.

Jgn nyebar hoax aja

#anianiNusantara Jaya #IstriMuda #SekjenNJ


#PartaiNJ #HarunDierjaAminoto

Kalamalam @gilangsayangSpill akunnya dong.

Mau silaturahmi sama mbaknya.


Aslii cantiik wooyy!

Lagi hamil aja seksi. Gimana sebelum hamil, ya?

#anianiNusantara Jaya #IstriMuda #SekjenNJ


#PartaiNJ #HarunDierjaAminoto

HarianGeo @hariangeografis Harun Dierja Aminoto, tetap

di jiwa.

Tolong, ya, buzzer-buzzer oposisi, hoaxnya yg ngotak.Pak

Harun idaman kaula muda.

Jgn bawa-bawa beliau

#HarunDierjaAminoto #SekjenNJ
#anianiNusantaraJaya

Yerrykang @kangyerry Sekjen NJ inget umuurrr dong!!

Yawlaa udah aki-aki masih doyan aja daun mudaInget, cucu

pliiiss

@inkawidjaja kelakuan bapak lo bikin istigfar

#SekjenNusantaraJaya #NusantaraJaya
#SanusiWijaya #aniani

DelinaSujatmiko @Delina
Namanya siapa sih nih cewek?

Perasaan pernah liat, ya tp lupa di mana?Cantik gini, mau2

aja jdi simpenan.

Kerja kali, Mbak.

Biar bisa hepi-hepi nafkahi bujangan korea.

#anianiNusantaraJaya Istrinyanyai @putrimelaniBuset

dah, sampai hamil.

Gk pro mbaknya.

Mau aja sama aki-aki sampe dihamilin segala.Harusnya

hepi-hepi aja, Mbak.

Keruk duitnya, terus tinggalin. Baru nnti tobat.

#SekjenNusantaraJaya #NusantaraJaya
#SanusiWijaya #aniani

Karvikarose @kartikamawar

Ini mbak2 FL di NJ ‘kan?

Gue pernah ke kantor DPP NJ.

Kalo gk salah Mbak ini FL di sana deh.


Duh, jauuhh ya mbak mainnya?

Dari FL di lantai bawah, sampai ke ruangan bos-bos dilantai


atas.

#SekjenNusantaraJaya #NusantaraJaya
#SanusiWijaya #anianiNusantara Jaya

Lolitaf @llolitaf

Tapi, nih partai emang problematik deh.

Mksd gue, kader2 lamanya emang pada gk ada akhlaksemua.

Capek2 Pak Harun ngebenahi partai, adaaaa aja ulah aki-aki


gk tahu malu.

Keluarin aja deh tuh Sekjen @NusantaraJaya hempasin aja


doi jauh-jauh.

Pokoknya, gk ada yg boleh nyakitin Pak Harun gueeee

#SekjenNusantaraJaya #NusantaraJaya
#SanusiWijaya #aniani

Sesuai keinginan, Dewi Gayatri berhasil membalikkan


keadaan sesuai narasi yang ia inginkan.

***

SEMBILAN BELAS
Seminggu menjelang pendaftaran KPU, tiga koalisi pun
mendapatkan serangan badai secara serentak. Siapa pun yang
pertama kali menyulut api, pasti berikutnya mereka yang akan
terbakar. Metodenya terus begitu. Hingga perang di jagad maya
menjadi perang utama di saat ketiga pasangan kandidat, belum
dipertemukan dalam satu frame kegiatan yang sama.

Basis para pendukung semakin menggila. Gerak saling cuit di


linimasa, seolah tak ada habisnya. Pada akhirnya, tidak ada
yang benar-benar menjadi rahasia di dunia politik. Karena
mendadak, segala yang mereka sebut kerahasiaan, menjelma
bak rahasia umum yang dibuka dihadapan publik.

Harun dan Kusno Aji tentu saja tak lepas dari hantaman ombak
yang menghantam mereka. Statusnya memang masih berada di
sosial media, namun ranah yang sudah terjamah benar-benar
lebih jauh dari palung mariana. Singkatnya begini, terlalu
mudah membenci orang dengan modal katanya. Dibanding
dengan mengenalnya, lewat tatapmuka.

Jadi, hal tersebutlah yang dilakukan para pembenci untuk


menyebar fitnah.

Tetapi untungnya, di kubu mereka ada Gideon Sutjatmoko yang


dapat membersihkan sampah-sampah yang
berterbaran di linimasa. Bahkan dengan kekuasaannya, isu- isu
tersebut tidak pernah terangkat di stasiun-stasiun televisi
miliknya.

Isu pelanggaran HAM yang dilakukan Kusno Aji selama masih


menjadi Jenderal, kembali diperbincangan oleh oknum- oknum
sok tahu. Narasi-narasi yang mereka keluarkan menggigiring
opini kekejaman yang seolah-olah dilakukan Kusno Aji dengan
sengaja. Ketua-ketua umum partai yang bergabung dengan
koalisi pun terkena imbas dari betapa jahatnya pihak oposisi
ingin menjatuhkan lawan.

Sebaliknya, dengan kekuasaannya, Gideon malah membuat


iklan mengenai koalisi mereka sesuka hatinya. Tanpa perlu
membayar apa pun, ia kerap memunculkan Harun dan Kusno
Aji dalam selipan iklan di tiap-tiap sinetron yang menjadi
primadona stasiun televisinya.

Perang digital benar-benar mengerikan.

Dan sepertinya, hal tersebut yang menjadi perang utama di


mana-mana.

Hingga satu ketika, ketika lemparan dari kubu sebelah berhasil


mereka patahkan. Kabar baru beredar bak bola yang bergulir
panas. Kali ini, tak sekadar berita kosong. Sebab, hal tersebut
nyata adanya.
Nyala Sabitah pada akhirnya ikut mengambil peran.
Kali ini, tak sekadar dipasangkan dengan sembarang orang.

Si pembuat keributan di linimasa, berhasil memasangkan


Nyala dengan orang yang tepat.

Ya, Harun Dierja.

Siapapun yang berada dibalik akun yang kini telah


terhapusmemiliki insting yang tajam.

“Siapa?”

Harun mengepalkan tangan di atas meja.

“Dalangnya masih dicari, Pak. Tapi sebelum itu, sepertinya


kita harus memindahkan Mbak Nyala dari apartemenBapak.”

Orang yang paling sibuk setelah berita itu dimuat tentulahPutra


Fernandi. Ia terhubung dengan asisten serta sekretaris dari
banyak pihak hanya tuk meyakinkan mereka semua bahwa
berita yang beredar salah.

Dan ketika kelimpungan tersebut belum mereda, puncak


darikomedi politik ini semakin tak terduga.

Sialan!

Nyala kembali disebutkan.

Namun kali ini, pasangannya bukan lagi Harun Dierja.


Melainkan, Sanusi Wijaya.

Astaga ….

Apa-apaan?

Keriuhan semakin menjadi-jadi. Kehebohan tak lagiterhindari.

Foto-foto yang beredar, memperlihatkan sosok Nyala dan


Sanusi Wijaya dari beberapa sudut foto. Dan sialannya,
interaksi yang terlihat dari foto-foto yang beredar pun di mulai
dari kandungan Nyala belum benar-benar terlihat, sampai
sudah sebesar sekarang.

“Siapa lagi sekarang?!” Harun mulai geram.

Kantor utama DPP Nusantara Jaya sedang gempar. Banyak


suara-suara sumbang menyebutkan betapa tak menyangkanya
mereka dengan kenyataan yang ada. Nyala Sabitah yang dikenal
sebagai staf biasa, ternyata menyeret banyak nama saat
kehamilannya.

Dan Harun tengah menyuruh seluruh timnya bekerja demi


melacak kebenaran di balik headline-headline news yang
menggembarkan. Namun, belum juga selesai permasalahan
tersebut, utusan Kusno Aji datang.

“Maaf, Pak Harun. Tetapi, Pak Kusno Aji meminta bertemu


malam ini. Semua ketua umum koalisi akan hadir. Pak Harun
juga diminta membawa Sekjen partai Nusantara Jaya ke rumah
beliau malam ini.”

Sungguh, Harun sudah bisa menebak ke arah mana


pembahasan kali ini akan bermuara.

Nyaris seluruh kader koalisi pasti sedang panas dingin sambil


memantau survey juga berusaha keras menjaga elektabilitas
suara masyarakat agar tak terpengaruh pada isu yang
berkembang liar.

“Pak?”

Usai utusan Kusno Aji pergi, Rafael datang dengan terburu-


buru.

“Isu pertama yang merebak tentang Mbak Nyala ditulis oleh


Vika Febriyanti, Pak. Mantan perawat di DPP yang Bapak pecat
beberapa bulan yang lalu,” Rafael membawa ipadnya
kehadapan sang ketua umum. Ia menggeser slide demi
slide demi memastikan sang atasan bahwa informasi yang ia
bawa ini valid. “Dia bekerja untuk Zuhri Iskandar, Pak,” Rafael
menyebutkan nama Cawapres yang mendampingi Effendy
Ghazali. “Dan temannya bertukar informasi adalah rekan kerja
Mbak Nyala di meja frontliner.”

Harun mengembuskan napas tertahan.


“Adisty, Pak. Dia juga tercatat memiliki hubungan dengan
Herlambang Susanto,” Rafael menjabarkan. “Bagaimana, Pak?
Kita bereskan sekarang?”

Harun tak langsung menjawab. Ia memberi kode pada Putra


agar mendekat.

“Ya, Pak?”

“Panggil Herlambang Susanto sekarang. Dia yang akan


membereskan mainannya,” geram Harun tertahan. “Dan
perawat itu,” kini tatapnya mengarah pada Rafael. “Buat dia
membuat skandal dengan Zuhri Iskandar. Lalu, bereskan.”

“Baik, Pak.”

Sahut kedua orang kepercayaan Harun itu serentak. Ketukan

pintu terdengar, sekretaris Harun masuk ke dalam


untuk menyampaikan pemberitahuan. “Maaf, Pak. PakSanusi
ingin bertemu.”

Ah, ini dia.

Harun mengangguk mempersilakan.

Ia baru akan bangkit dari kursinya dan hendak menyambut


Sanusi Wijaya di sofa ruangannya, ketika Sekjen partainya
tersebut langsung mengungkapkan fakta yang masih ia cari
keberadaannya.
“Yang terakhir, ulah ibu kamu,” ujar Sanusi Wijaya tanpa basa-
basi. Bahkan sebelum dipersilahkan duduk. “Datangi ibu
kamu sekarang. Tanyakan padanya, apa sebenarnya yang dia
inginkan?” walau terlihat tenang, namun sorot mata Sanusi
Wijaya tampak geram. “Kita tidak bisa meminta satu koma lima
triliyun itu kembali bila ibu kamu memangmenginginkan kamu
mundur. Tanyakan padanya, apa yang ia inginkan, Run. Kalau
memang dia ingin kita mundur.
Minta dia untuk mengganti mahar yang sudah saya berikan.”

Ya, Tuhan … apalagi sekarang?

Harun kontan mengusap tengkuknya dengan helaan napas


panjang dan mata memejam.

“Dan soal Nyala.”

Mata Harun kembali membuka saat nama istrinya


disebutkan.

“Pindahkan dia dari apartemen kamu hari ini juga.”“Ke

mana?”

“Rumah saya.”

“Ck,” Harun langsung berdecak. “Butuh gempa bumi yang dapat


meratakan seluruh bangunan di dunia ini, baru saya akan
membawanya ke sana,” dengkusnya sinis. “Saya akan mengurus
mama saya dan juga Nyala. Jangan khawatir, saya
bisa melakukannya.”

Enak saja.

Harun segera meraih ponselnya, kemudian meminta Rafael


memindahkan Nyala hari ini juga.

“Jangan lupa, Pak Sanusi. Kita ada undangan beramah- tamah


malam ini,” sarkasnya demi menyikapi masalah yang seolah tak
ada habisnya.

***

Nyala sudah tak bertemu suaminya selama tiga hari ini.

Terakhir kali mereka berjumpa adalah malam itu.

Di saat pria itu pulang membawakan nasi goreng untuknya,

Dan selama hari-hari yang tak mereka lewati, banyak sekali isu-
isu yang bermunculan di linimasa menyangkut dirinya. Yang
terakhir adalah yang pagi ini membuat heboh. Hingga Nyala
gemetar membacanya.

“Mbak Nyala?”

Siska mengetuk pintu kamar.

“Buka aja, Mbak Siska,” sahut Nyala dari dalam.

Tak lama kemudian Siska memang membukanya. Ajudan


wanita itu masuk ke dalam dengan langkah tegas.
“Ada apa, ya, Mbak?” tanya Nyala penasaran. Biasanya,ajudan-
ajudan ketua umum partai yang menjaganya hanya akan
menghampiri dirinya bila ada sesuatu hal yang penting. Mereka
benar-benar tidak bisa berteman. Kedua ajudan itu terlihat
menjaga jarak. Saat Nyala menanyakan hal tersebut pada sang
suami, jawaban Harun Dierja membuatnya akhirnya mengerti.
“Kenapa, Mbak?”

“Mbak Nyala, untuk sementara waktu, kita harus keluar dari


apartemen ini dulu.”

Penuturan tersebut sontak saja membuat Nyala ingin berdiri.


Tetapi, dengan perut besarnya, ia harus ekstra hati-hati.
“Kenapa, Mbak?” Nyala meringis. Bayinya menendang ketika
ia berusaha bangkit dari ranjang. “Duh,” ia mengusap perutnya.
“Ada apa, Mbak?” ia berdiri dengan sebelah tangan
berpegangan pada kepala ranjang. Sebelah tangannya
menopang pinggang yang akhir-akhir ini terasa pegal.

“Untuk keamanan Mbak Nyala,” sahut Siska sigap. “Kalau


Mbak mengizinkan, biar saya saja yang mengemas
perlengkapan Mbak Nyala untuk satu atau dua minggu ke
depan.”

“Memangnya kita mau ke mana, Mbak?” Nyala mencoba


berjalan, tetapi rasanya hari ini perutnya begitu berat. Ia lelah,
harus bolak-balik buang air kecil. Jadi, ia memutuskan
kembali duduk sambil mengusap-usap pinggangnya yangterasa
pegal.

“Belum ada intruksi lanjutan dari Bapak, Mbak. Beliau hanya


meminta kami untuk mengemasi barang-barang pribadi Mbak
Nyala.”

Mencoba mengerti dengan keadaan yang pasti sedang genting


di luar sana, Nyala mengangguk memberikan izin. “Kopernya
ada di gudang, Mbak,” ujar Nyala seraya bangkit kembali. Ia
menuju walk in closet terlebih dahulu. Meneliti manakah
pakaian yang harus ia bawa untuk paling lama dua minggu ke
depan. “Bawain pakaian harian yang sering saya pakai aja, ya,
Mbak? Makin bulet gini,” ia menunjuk perutnya saat Siska
sudah membawa koper. “Saya makingerah.”

“Baik, Mbak.”

Kemudian, ia membiarkan Siska mengemasi pakaiannya.

Tentunya dengan instruksi sungkan yang Nyala berikan agar


ajudan tersebut tidak salah dalam memasukkan baju- bajunya
ke dalam koper.

“Gara-gara berita pagi ini, ya, Mbak?” cicit Nyala mencoba


bertanya.

Pasalnya, sejak kemarin ponselnya ramai oleh denting pesan


dari rekan-rekannya di DPP Nusantara Jaya. Kebanyakan dari
mereka hanya penasaran sambil mengutarakan basa- basi
menyebalkan. Mereka pasti ingin tahu keabsahan dari kabar
yang beredar.

Hanya Ajeng saja yang tidak mengiriminya pesan.

Jelas, karena wanita itu tahu siapa ayah kandung bayinya.

Dan saking penasarannya dengan respon Ajeng, justru Nyala


yang mengirimi temannya itu pesan.

“Jujur aja, Mbak Siska,” karena pertanyaan Nyala tadi belum


terjawab, Nyala mencoba meyakinkan ajudan tersebut, bahwa
ia sangat ingin mendengarnya. “Saya juga perlu tahu ‘kan, Mbak
Siska? Nyembunyiin sesuatu sama ibu hamil itu dosa lho,
Mbak,” ia mengarang cerita.

Tetapi sungguh, ia sangat pensaran.

Karena sampai saat ini pun, pesannya belum dibalas oleh Ajeng.

Sejak kemarin, DPP pasti sudah heboh dengan cuitan tanpa


bukti yang jelas bahwa bayi yang dikandungnya adalah anak
Harun Dierja. Walau begitulah faktanya. Dan hari ini, berita
menggemparkan kembali merajai sosial media. Namun semua
yang dimuat di sana merupakan hal yang salah.

Sanusi Wijaya adalah ayahnya.


Sementara Harun Dierja merupakan suaminya.

Namun, setelah membaca banyaknya komentar di linimasa,


hati Nyala sontak saja merasa nyeri. Orang-orang yang tak
mengenalnya, sedang sibuk membubuhkan penilaian buruk
tentangnya. Dan Nyala yakin, orang-orang yang mengenalnya,
lebih parah lagi dalam mengisahkan kebohongan tentang jalan
hidupnya.

“Malam ini akan ada rapat internal koalisi Lanjutkan


Perjuangan di kediaman pribadi Bapak Kusno Aji, Mbak,” Siska
yang sedari tadi diam menyimpan informasi, akhirnya tak tega
juga. “Malam ini pun, Bapak bisa dipastikan akanmenyangkal
hubungan antara Bapak dengan Mbak Nyala.
Sementara pihak koalisi tidak mungkin percaya begitu saja.
Mereka akan mencari informasi mendetail tentang Bapak
setelah ini. Dan bila mereka menemukan keberadaan Mbak
Nyala di sini, Bapak khawatir mereka dapat menjadikan Mbak
Nyala sebagai media untuk memeras Bapak. Atau yang lebih
parah, mereka bisa saja menyakiti Mbak Nyala. Dan Bapak
tidak mau hal itu terjadi,” tutur Siska dengan jelas.

Sebuah penjelasan panjang, yang seketika saja buat Nyala


terhenyak.

Ternyata, selain dikejar oposisi, keberadaannya juga sedang


diincar koalisi.
Deg.

Nyala menelan ludah sambil mengerjap, ngeri.

“Semula, Bapak ingin agar Mbak Nyala dipindahkan ke


apartemen Bapak yang lainnya. Tapi, Bapak nggak jadi
mengintruksikan ke sana. Sebab, baik oposisi maupun koalisi
pasti sudah mengetahui apa-apa saja properti yang dimiliki
Bapak. Makanya, kita tinggal menunggu intruksi selanjutnya,
Mbak.”

Nyala kembali menelan ludah.

Sungguh, ia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan


selelah ini.

Ia sedang hamil besar.

Alih-alih ditemani, ia harus merasakan letihnya lari dari satu


masalah ke masalah lainnya hanya agar keberadaannya tidak
terendus banyak orang.

“Kalau boleh memilih, saya juga nggak pengin tragedi malam


Rakernas itu terjadi, Mbak,” Nyala merasa sesak bila terus
mengingatnya. “Andai malam itu saya nggak di sana.
Mungkin, Pak Harun nggak akan memiliki dosa seperti saya dan
anak saya ini,” ia elus perutnya dengan tatap sendu. “Bapak
nggak akan punya cela, Mbak. Saya bisa jamin, andai malam
Rakernas itu nggak ada, Bapak akan menjadi politisi
yang paling bersih.”

Dan Nyala, tidak perlu merasa pedih karena kelak anaknya akan
bernasib sama seperti dirinya.

“Tetapi, malam itu udah terjadi, ya, Mbak Siska?” Nyala berujar
murung. “Bayi ini sedang tumbuh di rahim saya. Saya nggak
tega menggugurkannya. Saya juga nggak bisa memberikannya
kepada orang,” setitik air matanya jatuh. “Maafin saya, ya,
Mbak Siska? Karena keberadaan saya, Mbak Siska dan yang
lainnya jadi punya banyak kerjaan.”

“Mbak Nyala tidak perlu minta maaf. Hal itu sudah jadi bagian
dari pekerjaan saya. Tapi, satu hal yang pasti, Mbak. Bapak itu
orang baik. Bapak menyayangi Mbak Nyala dan juga bayinya.
Maka dari itu, Bapak perlu memastikan bahwa tak seorang pun
dari pihak lawan maupun kawan yang dapat menyakiti Mbak
Nyala.”

Nyala terharu sungguh.

Walau air matanya semakin deras melintasi pipi, tetapi


percayalah senyumnya ikut merekah.

“Jangan sedih terus, Mbak. Saya yakin, Bapak akan


mengupayakan yang terbaik untuk Mbak Nyala dan anaknya.”

Entah kenapa, Nyala merasa percaya.


Ia yakin, Harun Dierja pasti akan melakukannya.

***

Sebelum menemui ibunya, Harun harus memastikan bahwa


Nyala sudah berada di tempat teraman yang jauh dari
jangkauan orang-orang yang ingin menguliti hidupnya.
Tetapi sampai sekarang, ia sama sekali belum menemukan
lokasi yang tepat.

Untuk sementara waktu, Nyala tidak boleh berada di dalam


properti-properti miliknya. Tidak mungkin juga, bila terus
berada di hotel.

Jadi, harus ke mana?

Harun mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan gusar. Jam

dinding sudah hampir mendekati waktu sore.


Sementara itu, ia masih terjebak di kantor DPP dengan
sejumlah pengesahan terhadap kader-kader partainya yang ikut
dalam bursa calon legislative yang sengit.

“Di mana saya harus menyembunyikan Nyala sementara


waktu?” ia bergumam sambil memejam. Membiarkan Nyala
tinggal bersama Mayang atau Bagus, hanya akan membuat
wanita itu semakin mudah ditemukan. Apalagi saat ini, target
oposisi dan koalisinya sendiri bukan hanya dia seorang diri.
Melainkan juga Sanusi Wijaya. “Nggak mungkin
ke Respavi,” Menpora adalah temannya. Lagipula, temannya itu
bekerja di pemerintahan. Harun tidak mau menyusahkan karir
temannya tersebut. “Di mana?”

Saking frustrasinya, Harun sampai menjambak rambutnya.

Bibirnya mendesah panjang, sementara matanya pun ikut


terbuka.

Astaga ….

Ia tak tahu tempat mana yang aman saat ini.Sosok Nyala

sudah ketahuan.

Walau hubungan mereka belum terungkap.

Tetapi fakta, bahwa Nyala tengah diterpa rumor yang menyeret


namanya dan Sanusi Wijaya, para politisi yang ada disekitarnya
pasti paham bahwa keberadaan Nyala patut dipertanyakan.

Tidak mungkin, ada asap bila tidak ada api?

Pasti, dua atau tiga orang politisi akan mencari tahu.

Sebab, orang pasti bertanaya-tanya, bagaimana mungkin staf


biasa seperti Nyala Sabitah, bisa dikait-kaitkan dengan dua
nama besar di partai Nusantara Jaya. Orang akan berduyun-
duyun curiga. Walau nanti, ia dan Sanusi Wijaya akan
membantah tudingan tersebut.
Matanya yang resah kemudian tertuju pada holder yang berisi
business card. Ia raih benda itu. Kemudian mengeluarkan
semua kartu nama yang berada di dalamnya. Ia hanya sedang
memilah-milah, siapa tahu ada yang terlewat darinya.

Dan benar saja, matanya menemukan sebuah nama yang tak


asing tertera di sana. Ia raih kartu nama tersebut danmembaca
nama yang tertulis dengan tinda hitam itu dengan saksama.

“Aksara Bhumi Alfath …,” bibirnya menggumamkan nama


itu.

Pria pemilik nama tersebut pernah meminta bantuannya di


masa lalu.

Tetapi, haruskah kini ia melakukan hal serupa?Mereka tidak

akrab.

Ya, itulah poin yang ingin ia cari.

Mereka harus tidak akrab, hingga tak seorang pun mengira


Harun menitipkan istrinya di sana. Namun, apakah pengacara
tersebut bersedia? Dan yang paling penting, apakah istrinya
akan aman?

Astaga …
Harun benar-benar sakit kepala.

Ia harus mencari tempat teraman untuk istri dan anaknya


sementara waktu.

Dan tak ada satu pun nama yang bisa ia percaya.

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Dua
Puluh - Dua Puluh Satu - Dua
Puluh Dua · Karyakarsa

DUA PULUH

Dua tahun yang lalu, Harun pernah dimintai bantuan oleh


seorang pengacara, yang ayahnya merupakan salah seorang
kader senior di Nusantara Jaya. Bantuan yang diminta
tersebut memiliki resiko yang sangat besar. Karena
melibatkan kader-kader senior Nusantara Jaya beserta ketua
umum yang menjabat sewaktu itu. Banyak profesi yang
terliibat. Dan banyak pula pangkat yang kemudian dicopot
atau diturunkan. Tak hanya itu, beberapa orang terpaksa
harus mendekam di jeruji besi. Suasana kacau tak bisa
dihindari.

Tetapi, mereka melakukan kerjasama dengan sangat baik.

Melibatkan banyak pihak, mereka menjatuhkan orang-orang


paling berkuasa di Nusantara Jaya kala itu.

Dan sekarang, Harun sedang mencoba cara yang sama.

Ia ingin meminta bantuan pada pengacara itu untuk


melindungi istrinya untuk sementara waktu. Paling tidak,
sampai koalisi Lanjutkan Indonesia dapat mengantar Harun
dan Kusno Aji menuju pendaftaran di KPU.

Seminggu atau dua minggu ke depan.

Sampai Harun yakin, ia dapat mengendalikan petinggi- petinggi


di koalisi.

Sungguh, kepala Harun ingin pecah rasanya. Ia tak dapat


mendampingi Nyala untuk sementara waktu. Ia tidak bisa
bertemu wanita itu karena ia yakin gerak-geriknya akan terus
diikuti. Ia hanya berharap, Nyala baik-baik saja. Bayi mereka
akan lahir tepat waktu. Harun dapat memberikan hunian
dengan keamanan yang tak membuatnya resah seperti
sekarang ini.

“Saya butuh bantuan,” ucap Harun melalui sambungan telpon.


Waktunya terbatas, ia tidak dapat bertemu atau mengundang
Aksara Bhumi atau yang biasa ia sapa dengan nama panggilan
Aksa itu sekarang ini. “Saya membutuhkan pertolongan.”

“Sepertinya agak serius, ya?”

Sahutan diseberang sana membuat Harun mengangguk


mengiakan. Jemarinya masih mengetuk-ngetuk permukaan
meja kerjanya. “Seluruh properti milik saya sedang diawasi.
Baik oleh partai oposisi maupun partai koalisi,” ujar Harun
berterus terang. “Dan …,” ia memberi jeda hanya tuk
meyakinkan diri bahwa Aksa dapat dipercaya. “Saya
punya
istri,” Harun membasahi bibirnya tanpa sadar.

Sebab, ini adalah kali pertama ia mengaku memiliki seorang


istri pada orang lain.

“Istri saya sedang hamil,” ketika mengatakannya entah


kenapa Harun merasa jiwanya tercubit. Bayangan Nyala
yang sudah tampak kesulitan membawa kandungannya yang
hampir berusia delapan bulan itu pergi meninggalkan
apartemennya, membuat perasaan Harun menjadi kalut.
“Saya membutuhkan tempat untuk menyembunyikan istri
saya dari kejaran oposisi dan juga koalisi. Sebuah tempat di
mana, keberadaannya tidak mungkin dicurigai.”

Setelah ini, Harun akan bertemu dengan Herlambang


Susanto. Baru setelah itu, ia akan mengerjar
pertanggungjawaban ibunya. Berlanjut pada pertemuan para
kader koalisi di kediaman Kusno Aji. Namun sebelum
rentetan pertemuan panjang pertemuan itu ia lakukan, ia
harus memastikan istrinya berada di tempat aman.

Dan Aksara Bhumi adalah salah satu nama dari sedikitnya


pilihan yang ia miliki.

Mereka nyaris tidak pernah menggelar pertemuan yang


diketahui publik.

Mereka tampak tak pernah bersinggungan.


Bahkan ketika pengacara itu menikah kembali dengan mantan
istrinya, Harun berhalangan hadir.

Padahal dibalik segala yang tak tampak di mata, mereka


pernah bekerjasama mencari bukti untuk memenjarakan
Rangkuti Malik beserta beberapa orang petinggi partai
lainnya.

“Saya berjanji, tidak akan melibatkan keluarga kamu. Akan


ada beberapa ajudan saya yang berjaga. Tapi, saya bisa
pastikan keberadaan mereka tidak mencolok. Dan tidak akan
membuat keluarga kamu menjadi tidak nyaman.”

Terjadi keheningan lama.

Sebelum kemudian jawaban Aksa mengalun memberi


tanggapan atas permintaan tersebut.

“Saya perlu membicarakannya terlebih dahulu dengan


istrisaya. Saya akan menghubungi kamu setengah jam lagi.”

“Baik. Terima kasih.”

Tanpa basa-basi, mereka memutuskan sambungan.Lalu,

Harun pun menarik napas panjang.

“Kenapa Bapak tidak menerima penawaran Pak Sanusi,


Pak?”
Sambil mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi di
belakangnya, Harun mengerling menatap Putra. “Sanusi
tidak hanya akan menyembunyikan Nyala untuk sementara
waktu. Tapi, pria itu jelas-jelas ingin menjauhkan Nyala dari
radar saya,” Harun tiba-tiba saja mendengkus. “Dia ingin
saya fokus pada pemilihan umum. Sementara itu, dia yang
akan mengurus Nyala. Ck, enak saja,” decaknya sinis.
Kemudian, Harun teringat sesuatu. “Bagaimana dengan tante
Inggrid?” ia menyebutkan nama istri dari Sanusi. “Imbas
pemberitaan ini, apa sudah mempengaruhi saham Widjaja
Group?”

“Sampai saat ini belum ada penurunan yang signifikan, Pak,”


lapor Putra seraya mengecek indeks saham melalui ipad di
tangannya.

Tak lama kemudian, Harun menerima laporan dari


sekretarisnya bahwa Herlambang Susanto sudah tiba di DPP.
Harun akan mempersilakannya masuk, ketika Rafael tiba-
tiba merangsek ke dalam dengan napas memburu.

“Ada ap—“

“Pak Sanusi membawa Mbak Nyala, Pak.”“Apa?!”

Harun sontak bangkit dari kursinya.

“Dan saat ini, Pak Sanusi sudah tidak ada di DPP.”


***
Sanusi Wijaya memiliki satu unit apartemen di tower yang
sama dengan Harun Dierja. Mudah baginya untuk masuk ke
sana tanpa perlu membuat banyak mata menaruh curiga.
Akses card liftnya memang khusus melaju sampai di lantai 13,
sementara unit milik Harun Dierja ada di dua lantai di atasnya.
Tak masalah, ia masih mampu menyusup lewat tangga darurat
yang dapat diakses oleh seluruh penghuni.

Membawa serta para ajudannya yang ia minta menerobos


melalui lift barang. Sanusi tiba di lantai Harun dengan mudah.

Ia hanya perlu bersikap biasa.

Memencet bel selayaknya tamu pada umumnya.

Namun, ketika akhirnya pintu dibuka, ia pun menjadi


pemaksa. Ketika Nyala Sabitah dihalang-halangi untuk ikut
bersamanya. Dua orang ajudan Harun Dierja tak mampu
melawan enam orang ajudan yang ia bawa serta. Mereka
jelas kalah. Kemudian, Nyala Sabitah berhasil ia bawa.
Tentunya dengan tangis yang menyertai wanita itu. Tetapi
tenang, Sanusi tidak menyeretnya. Ia tidak gila. Ia tahu
wanita itu tengah membawa kehamilan yang hampir
mencapai bulan kelahiran.

“Kenapa Bapak melakukan ini?” Nyala mengkerut takut. Air


mata menetes satu per satu di pipi. Ia tepikan supaya dapat
melihat sosok di sebelahnya dengan jelas. “Sebenarnya
kenapa, Pak?” sebelah tangannya berada di atas perut.
Berusaha melindungi, walau ia tahu segalanya sia-sia karena
sudah pasti ia kalah. Sungguh, ia sangat ingin mengusap
pinggangnya yang terus menerus terasa pegal. Namun saat
ini, tak ada waktu tuk mengurusi rasa tak nyaman yang
bergelanyut di dirinya. “Kenapa bapak ngelukai Mbak Siska
sama Mas Denny?”

Ia sudah berada di dalam mobil bersama Sanusi Wijaya.


Sementara itu, kedua ajudan Harun Dierja babak belur
karena berusaha melindunginya. Enam orang pria yang
dibawa Sanusi berhasil mengalahkan mereka. Dua orang di
antaranya, tadi sempat menodongkan senjata. Buat Nyala
terserang panik, khawatir bila mereka akan melukai anaknya
juga.

Namun ternyata, Nyala tidak diapa-apakan selain diminta ikut


dengan Sanusi Wijaya. Penuh tekanan, akhirnya iamemutuskan
mengikuti langkah-langkah sang ayah biologis tanpa banyak
drama.

“Bukannya Bapak tidak ingin terlibat dengan saya?” Nyala


kembali menuntut jawaban. “Kenapa justru Bapak yang
datang?”
“Harun itu bodoh bila mempercayakan keamananmu hanya
dengan dua orang ajudan saja,” dengkus Sanusi tanpa
menoleh ke arah anak yang tak pernah ia akui keberadaannya
itu. Sengaja, ia abaikan tuntutan pertanyaan, sebab ia sendiri
tak mengetahui jawaban apa yang harus ia berikan. “Hartala
Group juga cuma menjual omong kosong dengan
mengatakan apartemen yang mereka jual memiliki sistem
keamanan yang akurat,” kini ia mencibir pengembang
apartemen. “Ck, melibatkan Harun dengan politik saat ini
benar-benar menyusahkan,” decaknya diliputi emosi. “Harun
terlalu sentimentil. Sementara ibunya, justru yang tidak
memiliki perasaan.”

Bagaimana mungkin konsepnya terbalik begini?

Dewi Gayatri yang terkenal anggun dan penuh kelembutan,


ternyata tak lebih bak seorang pembunuh berdarah dingin
yang tidak memiliki hati. Sementara Harun Dierja yang
terlihat kaku dan dingin, rupanya merupakan sosok yang
sangat mengedepankan perasaan. Sehingga, alih-alih
membencinya, Nyala justru jatuh hati padanya.

Nyala memilih memejamkan mata, ketika tuntutan


pertanyaannya tadi tidak dijawab. Ponselnya tertinggal di
apartemen. Dan kini, ia hanya bisa pasrah ke mana pun
Sanusi Wijaya akan membawanya. Ia mencoba
menyamankan posisi duduk demi meredakan sedikit pegal di
pinggang. Bayinya terus bergejolak di dalam sana. Geraknya
yang sedikit heboh, membuat Nyala meringis. “Ssshhs …,” ia
usap-usap perutnya. Duduknya pun semakin tidak nyaman.

Dan gerakan Nyala tersebut tak luput dari perhatian ekor


mata Sanusi. Pria setengah baya itu menipiskan bibirnya
entah sebab apa. Yang jelas, ia sedang mencoba tidak
peduli.Karena kini, wajahnya ia hadapkan ke depan.
Memperhatikan supir beserta ajudannya yang berada di baris
terdepan. Ajudannya yang lain, mengawal melalui mobil yang
berbeda. Namun sayangnya, ekor matanya kerap berkhianat.
Hingga akhirnya ia pun mendengkus tak tahan. “Barang-
barang Nyala sudah diangkut semua?” pertanyaan itu ia ajukan
pada sang ajudan.

“Sudah, Pak.”

“Perlengkapan-perlengkapan bayinya?” tanya Sanusi yang tiba-


tiba saja merasa harus menanyakan hal tersebut. Anak itu
bisa melahirkan kapan saja. Estiminasi kelahiran yang
dokter perkirakan, kadang-kadang tak bisa dipercaya. Ia
memiliki empat anak yang dua di antaranya lahir jauh
sebelum tanggal prediksi dari dokter. Dan sudah beberapa
kali, ia melihat Nyala meringis tak nyaman sambil mengusap
perutnya.

“Tidak ada perlengkapan bayi di dalam apartemen tadi,


Pak.”
Laporan dari sang ajudan serta merta buat Sanusi akhirnya
menoleh ke arah Nyala. Mata wanita itu pun tak lagi
terpejam. Membalas tatapannya walau dengan pendar
berbeda. “Harun belum membelikanmu perlengkapan
kelahiran?” tanyanya tajam. Menelisik anak itu dari atas
kepala hingga bermuara pada perut Nyala yang bundar.
“Sebenarnya, apa yang kalian sepakati?” kini giliran ia yang
mencerca. “Bayi itu akan kalian berikan pada siapa?”
mengingat tak ada perlengkapan bayi, Sanusi
mengasumsikan Harun dan Nyala akan memberikan bayi itu
seperti yang semula mereka sepakati.

Nyala tak segera menjawab rentetan pertanyaan tersebut.


Karena ia memilih untuk menatap sosok tersebut lamat- lamat.
“Kenapa Bapak melakukan ini?” ia menanyakan pertanyaan itu
lagi sebab yang tadi tidak terjawab. “Kenapa Bapak membawa
saya?”

Rahang Sanusi Wijaya mengerat. Pandangannya yang tadi


menusuk, langsung melengos saat itu juga. “Harun itu lambat,”
tuturnya dengan wajah yang tampak diliputi emosi. “Banyak hal
yang harus diurusnya. Tapi dia malah berlama- lama mengurus
kamu,” Sanusi geram. “Makanya, sedang berusaha
membantunya membereskan sedikit kekacauan.”

“Jadi, menurut Bapak, saya adalah kekacauan?” sahut Nyala


dengan berani.
“Ya,” Sanusi menjawabnya dengan nada gamang. “Kamu adalah
kekacauan,” gumamnya meneruskan. “Sejak awal, seharusnya
kamu sudah saya bereskan.”

“Dan kenapa Bapak tidak membereskan saya sejak awal?”


tanya Nyala lagi. Sungguh, hatinya sudah kebal dengan
perasaan perih. Tetapi tetap saja, tusukkan berduri mampu
mencipta nyeri. Namun tenang, ia sudah pandai
menentramkan hati. Walau sebagai gantinya, air mata di
kelopaknya tetap ingin merayakan pedih. “Jadi, Bapak
datang untuk membereskan saya?” ia peluk perutnya dengan
sebelah tangan. Kepalanya mengangguk-angguk kecil seolah
paham apa yang dimaksud oleh ayah kandungnya itu.
Matanya memancarkan kesedihan, percayalah, Nyala tegar.
“Tapi, jangan dibunuh, ya, Pak?” pintanya mengiba. Ia tahu,

dirinya tak pernah diinginkan.

Bagi ibunya, ia adalah senjata untuk menguras harta Sanusi


Wijaya saat ia masih sekolah.

Sementara bagi ayahnya, ia tak lebih dari parasit pengganggu


yang seharusnya tak pernah ada.

“Dulu sekali, saya merasa muak hidup di dunia ini,” Nyala


mencurahkan isi hati. “Tidak ada yang menyayangi saya.
Tidak ada yang merindukan saya. Dan ya, saya tidak
memiliki siapa pun yang akan menangis bila saya
menghilang atau pergi.”

Walau dibesarkan oleh seorang ibu, Nyala merasa tidak


mendapatkan kasih sayang dari sosok tersebut. Ibunya
berbeda dengan ibu pada umumnya. Ibunya tidak pernah
menyayangi anak-anaknya. Ibunya hanya terobsesi pada diri
sendiri.

Ya, seperti itu.

“Tapi sekarang, saya merasa harus hidup, Pak,” mata Nyala


berkedip hanya tuk menjatuhkan air mata. “Ada bayi saya
yang harus saya urus,” tatapnya beralih pada perutnya yang
bundar. Senyumnya tertarik pedih, ketika merasakan gerak
sang bayi yang menari-nari di perutnya. “Kalau Bapak
memang ingin membereskan saya,” Nyala mengembalikan
tatap pada pria setengah baya di sebelahnya. “Tolong, jangan
bunuh saya, ya, Pak?” ibanya menekan sakit di dada.
“Sembunyikan saja, Pak. Karena sepertinya, saya mulai
menikmati status sebagai seseorang yang memang harus
dirahasiakan. Nggak apa-apa, Pak. Yang penting, biarkan
saya melahirkan bayi saya. Dan merawatnya.”

Sanusi langsung mendengkus.

Ia alihkan perhatian kembali ke depan.

“Lemah,” decaknya sinis. “Seingat saya, ibu kamu bahkan tidak


pernah menangis demi memohon kehidupan untuk
kamu dulu.”

Nyala mengangguk membenarkan. “Mungkin sebenarnya,


karena sifat saya mirip Bapak,” ujar Nyala terus terang.

Yang langsung membuat Sanusi kembali menoleh padasosok


itu. “Maksud kamu?”

“Kita berdua terlalu manusiawi, Pak,” tuturnya mengutarakan


kejujuran. “Lemah pada semua yang berhubungan dengan
perasaan. Kita hanya berpura-pura kebal. Supaya orang-orang
melabeli kita manusia tanpa perasaan.”

Sanusi terdiam.

Sementara Nyala melengkungkan senyuman. Selanjutnya,

perjalanan diisi dengan kebungkaman.

“Saya jatuh cinta pada bayi saya, Pak,” tutur Nyala tanpa
diminta.

Nyala enggan bertanya ke mana ia akan dibawa. Dan Sanusi


juga tidak menjelaskan, ke mana ia akan membawa anaknya.
Tubuh Nyala yang tadi diliputi emosi kini merasa lelah.Mata
yang semenjak beberapa saat lalu terus mengeluarkan air
mata, saat ini memberat dan perih bila dibuka terlalu lama.
Tetapi, Nyala berusaha agar terus terjaga.
“Bapak ingin menyembunyikan saya, supaya Pak Harun dapat
melaksanakan Pemilu tanpa gangguan ‘kan, Pak?”

Sanusi tak menjawab.

Jalanan yang dipilih supir itu, terasa berbeda dengan jalan


menuju hunian mewah Sanusi Wijaya. Jadi, Nyala paham betul,
bahwa dirinya benar-benar akan disembunyikan.
Walau rasa takut mendominasi jiwa, Nyala mencoba mencoba
terlihat tenang.

“Sembunyikan saja saya, Pak,” Nyala tak lagi merasa


keberatan. “Biarkan Pak Harun melalui Pemilu ini dengan
tenang. Suatu saat nanti, saya percaya, dia akan menemukan
saya dan anak kami.”

Walau itu berarti, Nyala tidak akan ditemani ketika


melahirkan bayi ini.

Meski itu artinya, azan yang nanti didengar putra mereka


bukan berasal dari Harun Dierja.

Ya, Tuhan ….

Semoga benar-benar ada suatu hari nanti untuk mereka.

Menyadari Nyala telah tertidur, Sanusi menghela napas dengan


berat. Jemarinya memijat kening, sementara netranya menutup
rapat.
Ia ingin membenci anak itu.

Ia ingin mencabik-cabik anak itu.

“Ibu dan Pak Farid berada dalam perjalanan, Pak,” lapor ajudan
Sanusi sesaat setelah mendapat informasi dari Makassar.

Sanusi tidak terkejut. Ia sudah memprediksi segala


kemungkinan yang bisa saja terjadi setelah ini. “Siapkan
semuanya.”

“Baik, Pak.”

Ya, ia memiliki rencana.

Dan hal itu akan melibatkan Nyala Sabitah.

***

DUA PULUH SATU

Hakikatnya, tak ada yang benar-benar sembuh dari luka.


Bagian perih itu akan terus ada. Sesekali, dapat kambuh juga.
Namun hebatnya manusia, selalu mahir membalutnya dengan
canda dan tawa. Walau ketika malam tiba, air mata menetes
tanpa disangka-sangka.

“Berengsek!”

Nyala tidak ada di mana-mana.


Harun tiba di apartemennya dan mendapati huniannya
tersebut berantakan.

Jejak-jejak kekerasan ia temukan di sana.

Kedua ajudannya terluka, namun syukurnya tidak ada yang


serius pada luka yang mereka derita. Dari cctv yang kemudian
ia periksa sendiri, Nyala sama sekali tidak terluka. Walau
tampak terguncang, tetapi untungnya tidak seorang pun
menyakiti istrinya. Tetapi sialannya, ponsel Nyala tertinggal di
sofa. Sementara Sanusi Wijaya tidak dapat ia lacak
keberadaannya.

“Sial!” seru Harun memaki kesal.Sanusi adalah orang yang

licik.

Rencana-rencananya tak dapat baca dengan mudah.

Hal tersebutlah yang membuat Harun dilanda frustrasi tiada


habisnya.

Tak ada tanda-tanda Sanusi pulang ke rumahnya. Sanusi juga


tidak mungkin kembali ke Makassar, di saat aktivitas private
jetnya justru tengah menuju Jakarta. Harun sudah menugaskan
beberapa anggotanya untuk menanti di bandara. Kemungkinan
yang datang adalah tante Inggrid dan juga Farid—putra
pertama Sanusi Wijaya.
Saking fokusnya mencari keberadaan Nyala, Harun
melupakan banyak hal yang harus ia urus. Keadaan DPP yang
masih ramai membicarakan perihal skandal Sanusi dan Nyala,
membuatnya benar-benar sakit kepala. Pemburu berita yang
masih menanti di depan gedung utama, belum ia usir karena
kepanikannya tadi sungguh luar biasa.
Masyarakat pemilik sosial media, masih berbondong- bondong
mengomentari skandal tersebut. Ia bahkan belum sempat
mengurus ibunya. Herlambang Susanto yang keberadaannya
tadi terabai saking paniknya dirinya begitu mendengar laporan
sang ajudan, kini pasti sudah meradang. Harun memanggilnya,
namun malah tak menggubrisnya. Ia juga tak sempat
memberitahu sang anggota dewan tersebut bahwa gundiknya
bermasalah.

Astaga …

Harun ingin muntah.

Dan itulah yang ia lakukan ketika merasa permasalahan yang


ia hadapi terlampau berat.

Lalu, tahu-tahu saja matahari telah tenggelam. Sementara


Nyala belum juga ia temukan. Beberapa kali, Harun
kehilangan kendali atas kesabarannya sendiri. Ia sampai
harus memaki para pengguna jalan. Harun perlu mandi demi
menenangkan pikiran. Ada pertemuan lain yang terjadwal
dengan embel-embel “penting” yang harus ia hadiri. Syukur-
syukur ia dapat menemukan Sanusi di sana.

Demi Tuhan, ia harus tahu di mana tua bangka itu


menyembunyikan istrinya.

Nyala ….

“Saya sudah reservasi restoran untuk makan malam,


Pak.”

Harun ingin menolak.

Sebab, ia sendiri tidak berselera makan. Namun, ia sadar bahwa


anggota yang kini bersamanya pun belum makan sejak tadi.
Jadi, mau tak mau ia akhirnya turun dari mobil.

“Saat ini, Pak Kusno masih menjadi bintang tamu di salah


satu acara talk show, Pak,” Putra mereservasi private room
yang menyediakan televisi di ruangannya. Saat makanan
dihidangkan, ia pun mengganti channel yang menayangkan
acara tersebut. “Pak Kusno datang bersama dengan anggota
keluarganya, Pak. Tim pemenangan menyarankan agar Pak
Kusno mulai rajin bersafari dengan para anggota keluarganya.
Sebagaimana yang kita ketahui, masyarakat menyukai bila
para kandidat pemimpin memperkenalkan anggota-anggota
keluarganya di depan publik. Terkhususnya, para anak-anak
mereka.”

Harun tahu.
Ayahnya pun turut melakukan hal itu, ketika masih menjabat
sebagai ketua umum partai.

Makanya, sosok Harun sudah dikenal, bahkan sebelum ia


menjabat sebagai ketua umum seperti sekarang ini.

“Acaranya akan selesai sebentar lagi, Pak. Tetapi sepertinya,


masa pendukung Pak Kusno masih memadati jalanan. Jadi,
bisa dipastikan beliau akan sedikit terlambat.”

Harun mengangguk, paham.

Kemudian, tatapnya mengarah ke arah layar datar televisi.

Kusno Aji tampak ramah ketika berkumpul bersama anggota


keluarganya. Memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu
perempuan. Sosok Kemala Puspita Aji—alias putri terakhir
Kusno Aji, pasti menjadi sorotan. Karena belum menikah,
Kemala juga berusia jauh di bawah kakak-kakaknya. Kaffa
Agustio Aji, putra pertama Kusno yang berprofesi sebagai
pengusaha. Lalu, ada Keylan Hanggono Aji seorang dosen
ilmu politik, yang digadang-gadang akan meneruskan tahta
ketua umum partai setelah Kusno Aji lengser. Dan istri
Kusno Aji merupakan mantan perawat. Ibu Herlita Armila
sangat popular di kalangan istri-istri pejabat yang memiliki
sosial media. Sebab, Ibu Herlita memang sangat aktif
membagikan tiap momen bahagianya bersama cucu-
cucunya.
Dan publik menyukai hal tersebut.
Politik itu mengerikan, namun bila disisipkan oleh kisah- kisah
pribadi, tentulah akan mengundang rasa penasaran orang-
orang. Sebagaimana yang diketahui, masyarakat negeri ini,
menyukai kisah-kisah sentimentil.

“Ada kabar dari Rafael?” Harun mulai memperhatikan


makanan yang terhidang di mejanya. Bila ia tidak mulai
makan, maka para bawahannya ini pun tidak akan pernah
memulainya.

“Belum, Pak.”

Harun hanya berharap bahwa istrinya baik-baik saja.Sanusi

tidak akan menyakiti anaknya sendiri.

Namun entah kenapa, Harun tak kunjung memperoleh


ketenangannya.

Ini jelas penculikan.

Tetapi sayang sekali, Nyala adalah anak dari Sanusi. Walau


wanita itu bergelar istrinya. Namun Harun tak kuasa
melaporkannya. Sebab, Nyala Sabitah hanya istri rahasianya.

“Saya tidak suka perasaan ini, Put,” aku Harun dengan wajah
muram. “Saya ingin Rafael segera menemukan Nyala,”
tangannya yang berada di atas meja mengepal. Bayangan
Nyala yang sudah mulai kesulitan bergerak memenuhi
benak. Dan Harun benci memikirkan bahwa ia tak dapat
bersikap tenang, ketika seluruh masalah nyaris datang
menghadang. “Cari Nyala sampai ketemu!”

Harun resmi mendorong makanannya.

***

“Sejak awal saya bergabung dengan koalisi ini, saya sudah


menekankan agar kita semua terbuka mengenai hal-hal yang
dapat menimbulkan skandal,” Gideon Sutjatmoko tampak tak
senang. Wajahnya begitu tidak ramah ketika akhirnya mereka
berkumpul malam ini. “Walau beritanya sudah saya take down,
tetapi saya tidak bisa menghentikan komentar- komentar
miring di luar sana.”

Lebih mudah menangani kasus penyuapan dibanding kasus


perselingkuhan kalangan pejabat. Padahal, korupsi
merupakan kasus yang merugikan banyak orang. Namun,
perselingkuhan yang sudah pasti mendapat hujatan habis-
habisan. Apalagi bila kasus tersebut berada di ranah pejabat dan
tokoh politik. Masyarakat tentu saja langsung melabelinya
hina dan tak tahu malu.

“Dan sebenarnya, ada masalah internal apa sih dengan


Nusantara Jaya?” masih Gideon yang bertanya. “Sampai-
sampai, Ibu Dewi Gayatri yang menyebarkan rumor itu ke
media.”
Nah, Harun belum bertemu ibunya.
Keberadaan Nyala yang masih tak terjangkau olehnya, buat
wanita itu menjadi fokus utama Harun di sisa hari ini. Ia
benar-benar lupa mencerca sang ibu, padahal ia sudah
mengetahui kabar itu sejak pagi tadi.

“Sepertinya hanya kesalahpahaman,” Harun menahan diri


agar tetap berada di sini. Di saat Sanusi Wijaya tak ia
temukan di mana-mana. “Mama saya masih meyakini bahwa
orang yang sudah menghasut saya berpindah koalisi adalah
Pak Sanusi,” Harun mengarang alasan. Semata, hanya agar
tak ada yang membahas mengenai istrinya. Walau hanya
Kusno Aji yang mengetahui fakta sebenarnya. Harun teramat
malas bila para petinggi partai-partai ini, mulai mengusik
wanita yang dirumorkan kejam oleh ibunya sendiri.
“Padahal, jelas-jelas keputusan berpindah, mutlak keputusan
saya sendiri,” imbuh Harun seraya melirik ke arah Kusno Aji
yang tampak puas dengan jawabannya.

“Ibunya masih terobsesi memiliki menantu Ginta Maharani.


Jadi, ibunya menyalahkan Sanusi atas putusnya hubungan
antara Harun dengan Ginta,” sambung Kusno Aji dengan
mimik wajah tanpa rasa bersalah. “Yang penting, rumor yang
beredar tentang Harun sudah tenggelam dengan pemberitaan
Sanusi. Setidaknya, masa pendukung kita mulai tenang
kembali.”
Diam-diam, Kusno Aji dapat memahami mengapa Dewi
Gayatri nekat menyebar foto-foto tersebut ke media.
Ditambah lagi dengan narasi yang rumornya ditulis langsung
oleh mantan istri ketua umum Nusantara Jaya. Tidak lain
adalah untuk menutupi kabar yang terlanjur beredar
mengenai kebenaran yang disembunyikan Harun Dierja.

“Dalang dibalik cuitan yang beredar waktu itu mengenai Harun


dilakukan oleh orang suruhan Zuhri Iskandar ‘kan?”

“Benar,” Gideon membenarkan. “Kita akan membalas. Serang


langsung Effendy Ghazali. Tim kita sedang mencari rekam
jejaknya selama menjadi dosen.”

Ini dia.

Babak balas dendam selalu terdengar lebih mengerikan.

“Tapi, saya agak penasaran dengan wanita ini,” Keylan


Hanggono, putra kedua Kusno Aji yang malam ini
menyempatkan diri untuk hadir dalam diskusi ini,
memperbesar tampilan foto di layar ipadnya. “Siapa sih
wanita ini sebenarnya?”

Jantung Harun berdentam kuat begitu menyaksikan potret


yang diperbesar itu adalah istrinya.

Sial!

Tangannya mengepal.
Siap menerjang, andai saja ia tak ingat bahwa keberadaan
Nyala merupakan suatu rahasia.

“Siapa sih wanita itu sampai-sampai, Pak Harun pun juga


dirumorkan memiliki hubungan dengannya?”

Wanita itu istrinya.

Harun menggigit bibirnya sendiri demi menahan laju lidah


yang ingin mengungkapkan kebenaran itu.

“Apa benar, dia gundik Sanusi?” Keylan bertanya penasaran.

Tetapi pertanyaannya bagai sebuah hinaan yang mengusik


emosi Harun.

Nyala istrinya.

Demi Tuhan, wanita itu istrinya.

“Agak menyayangkan sebenarnya, bila Pak Sanusi memang


memelihara wanita itu,” sahut Hermawan Zulfikar, salah satu
ketua umum partai yang bergabung dengan koalisi ini.

“Sayang karena ketahuan?” kekeh seorang lagi anggotakoalisi.

Dan komentar-komentar itu membuat Harun kian


meradang.

Demi Tuhan, ia harus memukul orang-orang ini.


Demi Tuhan, ia harus membuat mereka bungkam.

Tepat ketika ia ingin beranjak dari kursinya yang telah terasa


panas, langkah yang ia ambil tersebut ternyata sudah dibaca
oleh asisten pribadinya. Hingga dengan sigap, Putra segera
menghampiri mejanya.

“Maaf Pak, saya butuh finger Bapak untuk membuka document


ini,” Putra menyodorkan ipad miliknya. Lalu dengan tenang,
menatap sang atasan berharap Harun Dierja Aminoto dapat
mempertahankan ketenangannya. “Rafael sedang mengikuti
mobil yang diduga ditumpangi oleh Farid dan Hadi Wijaya,
Pak,” bisiknya kemudian. “Tolong, tetap tenang, Pak.”

Harun mengeratkan rahang.

Sambil membuang muka, ia raih botol air mineral dan


menuangkannya sendiri ke dalam gelas. Semua ia lakukan
hanya untuk mengalihkan emosi yang masih menggelegak
dalam darah. Mencoba meredam, Harun pun menghela.
“Pantau terus,” perintahnya pada sang asisten. “Saya ingin
membawa pulang Nyala, apapun yang terjadi.”

“Baik, Pak,” Putra pun beranjak dari sebelah atasannya setelah


merasa pria itu mulai memegang kendali atas emosinya.

Harun pikir, pembahasan tersebut telah selesai.


Namun tampaknya, Keylan Hanggono benar-benar berbakat
memancing emosinya.

“Apa wanita ini benar-benar karyawan di Nusantara Jaya?”

“Gosipnya, frontliner,” tambah Hermawan. “Katanya, salah


satu anggota keluarganya ada yang mencalonkan diri sebagai
caleg. Mungkin, dia memang istri muda Pak Sanusi, seperti
yang dilaporkan oleh ibunya Pak Harun ke media.”

“Hey-hey, kenapa jadi ikut bergosip seperti ini,” Kusno Aji


melerai. Bukan apa-apa, ia dapat melihat dengan mata
kepalanya sendiri bahwa Harun Dierja tampak siap meledak
kapan saja. Sebagai pemberi mahal satu koma lima triliyun,
Kusno berjanji tak akan membuka rahasia. “Di mana Pak
Sanusi? Kenapa beliau tidak hadir?”

Si berengsek itulah yang Harun tunggu sedari tadi.

“Tidak ada yang tahu di mana dia?” suara tanya Harun


tampak kaku. Sebab, ia masih berjuang menekan emosinya.
“Panggilan saya tidak dijawab. Dia menolak seluruh
panggilan saya. Mungkin, beliau marah karena ulah ibu
saya,” kilah Harun demi mempertahankan kewarasan.

Gideon Sutjatmoko menengok sebentar pada arloji yang


melingkari pergelangan tangannya. “Sebentar lagi kita akan
melihatnya,” kemudian ia meminta ajudan Kusno Aji untuk
menyalakan plasma besar dan menyuruhn ajudan tersebut
mencari siaran stasiun televisi miliknya. “Dia akan
membuat
pengakuan.”

“Pengakuan apa?!” Harun sontak berseru. “Pengakuan


seperti apa maksudnya?” tuntutnya butuh penjelasan yang
jelas. Atau, ia bisa mati panik sekarang juga.

Well, ternyata wanita itu adalah anaknya,” sahut Gideon


singkat.

Dan Harun sontak mengerjap. “A—apa?” ia tak sempat


memperbaiki ucapnya yang gagap. “Maksudnya apa, Pak
Gideon?”

“Iya, ternyata wanita yang berada di foto itu adalah anak


kandung Sanusi.”

Deg.

Harun merasakan jantungnya tidak aman.

Ia perlu mengerjap, agar informasi yang terdengar dari Gideon


dapat terserap.

“Pak Sanusi menghubungi saya sore tadi. Dia bilang, kalau


wanita hamil yang bersamanya di dalam foto itu adalah
anaknya. Ada lembaran tes DNA yang dia kirim serta.
Tampaknya, Sekjen Nusantara Jaya tidak berbohong.”
“Anaknya?” Hermawan terdengar tak percaya. “Anak
perempuannya bukannya cuma Inka Wijaya?”

“Benar, anaknya,” Gideon menjawab keraguan itu dengan


lugas. “Saya tidaka tahu lebih banyak. Dan sebentar lagi,
beliau akan melakukan konferensi pers singkat di hadapan
media. Katanya, beliau ingin meluruskan kesalahpahaman.
Juga berniat akan mengancam si pembuat onar dalam tanda
kutip di sini adalah ibunya Pak Harun, agar tidak semena -
mena menyebarkan kehidupan pribadinya pada media.”

Keylan Hanggono tertawa. “Sepertinya, Nusantara Jaya


sedang mengalami krisis internal partai, ya?” ejeknya terang-
terangan. “Bisa-bisanya, ibunya Pak Harun malah
menyerang Sekjen partainya yang paling royal.”

Harun tidak bereaksi.

Sebab, ia masih terlampau emosi.

“Suatu saat nanti, Pak Harun harus bisa membuat ibunya


duduk bersama Pak Sanusi untuk meluruskan kesalahpahaman
yang terjadi.”

Keylan Hanggono Aji, memang tak bisa bertingkah sopan


bila berada jauh dari sorot media. Sebab, nama besar Kusno
Aji dan sumber kekayaan calon Presiden itu, jelas saja
membuat tokoh politik lainnya segan.
Sayang sekali, hal itu tak mempan untuk Harun Dierja.
Dan kini, satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah menghajar
Keylan Hanggono itu sampai mulut besarnya tersebut,
bungkam.

“Kita lihat saja sebentar lagi,” Gideon kembali memeriksa


arlojinya. “Saya sudah mengatur bahwa prime time
malam ini akan menampilkan konferensi pers Sanusi
Wijaya secara langsung.”

“Wow,” Kusno Aji jelas tak menduga bahwa Sanusi Wijaya


sendirilah yang akan membokar rahasia tersebut. Jadi, ia
arahkan tatapnya pada Harun Dierja yang tampak
shock. “Bagaimana ini Pak Harun?” pertanyaan itu memiliki
banyak makna. Namun, Kusno percaya Harun Dierja
memahaminya. “Kira-kira, pengakuan apa saja yang akan
dibuat seorang Sanusi Wijaya? Selain memperkenalkan
anaknya ke media, kira-kira apalagi yang akan
diperkenalkannya?”

“Ya, menantunya, Pap,” sambar Keylan santai. “Selain


memperkenalkan anaknya pada media. Pak Sanusi sudah
seharusnya ikut memperkenalkan menantunya juga. Dan aku
yakin, menantunya pasti adalah orang yang nggak pernah kita
sangka-sangka, Pap.”

Harun mencoba meraih ketenangannya yang terasa sia-sia.


Bahkan, usahanya meraih gelas berisi air mineral pun
terlihat payah. Gemetar yang terlihat di antara kelima
jemarinya, membuat Harun nyaris menyuarakan sumpah
serapah.

Ya, Tuhan … apa sebenarnya yang direncanakan oleh Sanusi


Wijaya?

Pengakuan apa yang akan pria setengah baya itu berikan ke


media?

Lalu, bagaimana dengan istrinya?

Di antara sakit kepala yang menyiksa, Harun bangkit dari


kursinya.

Ia ingin muntah.

Dan itulah yang ia lakukan ketika dirinya menjadi pusat


perhatian ketika melangkah menuju toilet pribadi milik Kusno
Aji yang berada di paviliun.

Persetan!

Harun tak tahan lagi.

***

DUA PULUH DUA

Nyala pikir, ia akan dibawa ke tengah pedesan.


Atau paling tidak, ke pinggiran kota yang sulit diakses
kendaraan.

Namun rupanya, tempat persembunyian yang disiapkan


Sanusi Wijaya adalah sebuah rumah berlantai dua yang
berada di jantung kota. Komplek perumahan tersebut, terasa
begitu cocok bagi pemilik kepribadian introvert. Karena
sejauh mata memandang, pagar-pagar menjulanglah yang
tampak mengelilingi rumah.

Berada di balik bukit golf yang Nyala sendiri tidak mengetahui


namanya, perumahan-perumahan yang berada di sana sungguh
membuat tercengang. Jarak antara bangun satu ke bangunan
lainnya berjarak sekitar sepuluh meter.
Buat privasi para pemilik hunian tersebut benar-benar terjaga.

Gerbang utama komplek perumahan ini dijaga oleh empat


orang penjaga. Dan setiap tamu yang masuk ke dalam, wajib
membuka kaca mobil dan melakukan pendataan
pemeriksaan. Bila apartemen Harun Dierja merupakan milik
Hartala Group, maka perumahan-perumahan elite yang
berada di sini merupakan milik kompetitornya. Agam Sedaya
Group, berani mematok harga selangit untuk tiap meter
tanah yang berada di tempat ini. Namun, sebagai gantinya
perusahaan tersebut wajib menjamin kerahasiaan pemilik di
masing-masing property.
Dan, ya, Sanusi Wijaya memiliki satu hunian di sini.

“Tempatkan Nyala di lantai satu.”

Nyala baru saja menapakkan kedua kakinya di atas


paving ketika perintah dari Sanusi Wijaya mendarat di
telinga. Nyala mencoba menatap seorang ajudan pria yang
berdiri tak jauh darinya. Dengan earphone yang melekat di
telinga, pria itu mengangguk mendengar perintah tuannya.

“Baik, Pak.”

Nyala mendesah.

Belakangan ini, hidupnya memang harus berhubungan dengan


para ajudan yang selalu mengiakan perintah atasan- atasan
mereka.

“Masuk!”

Ketika Nyala tak kunjung melangkah, perintah Sanusi


kembali menyemarakkan telinga. Buat Nyala kontan
mengarahkan tatapnya pada pria yang membuatnya terlahir ke
dunia. “Saya merasa sesak,” ucap Nyala dengan berani. “Saya
ingin berada di luar sebentar.”

Sanusi Wijaya tampak tak ramah kala membalas tatapan anak


perempuannya itu. Namun kemudian, ia mengerling pada
ajudan yang ia tugaskan untuk mengawasi Nyala. “Awasi dia.”
“Baik, Pak.”

Nyala hampir mendengkus mendengar tek-tok antara atasan


dan sang ajudan. Sungguh, percakapannya nyaris serupa
dengan apa yang ia dengar selama ini. Harun Dierja Aminoto
juga menggunakan perintah yang sama setiap waktu. Dan
jawaban dari ajudan-ajudannya, benar-benar sama.

Ketika Sanusi Wijaya melangkah masuk, Nyala pun mencoba


memandangi tempatnya berdiri sekarang ini. Ia memang
memijak paving block saat ini, tetapi, sekeliling halaman
merupakan rumput hijau yang mirip dengan padang rumput
di lapangan golf yang mereka lewati tadi. Sungguh, halamannya
begitu luas. Namun tak ada tanaman yang tumbuh di sana.
Langit sore telah memayunginya, membuat angin yang
berembus menjadi sejuk.

“Sebaiknya kamu masuk sekarang.”

Eh?

Nyala kontan menoleh ke belakang. Matanya mengerjap,


sementara tangannya mengusap perut yang baru saja terkena
tendangan si kecil. “P—Pak Hadi,” ucapannya terbata. Lalu,
ia buru-buru berdeham, berusaha melancarkan tenggorokkan.

“Ya,” Hadi Wijaya menyimpan kedua tangannya di dalam saku.


“Masuk ke dalam. Dan langsung istirahat saja. Mama
saya sedang dalam perjalanan.”

“A—apa?!” Nyala tak sengaja memekik. Pegal pada


pinggangnya sontak menghilang setelah mendengar
pemberitahuan itu. Kemudian, ia pun dihinggapi ketakutan.
Dan hal itu malah membuat perutnya terasa kram. “Maafkan
saya, Pak,” Nyala menelan ludah karena merasa bahwa
reaksinya tadi berlebihan. Tetapi tak lama kemudian, ia
meringis saat merasakan perut bawahnya terasa menegang.
Inggrid Caturangga bukanlah sekadar wanita biasa. Beliau
adalah istri pertama Sanusi Wijaya. “Tadi Bapak bilang kalau
ibunya Bapak dalam perjalanan ke sini?” ia menunjuk
bangunan di depan sana dengan gemetar. “Maksudnya, ibu
Inggrid, kan, Pak?”

Serius, ketika mulai mencari tahu mengenai sang ayah


biologis, Nyala tak mungkin dapat melupakan fakta bahwa
ayahnya sudah berkeluarga. Memiliki seorang istri yang
bukan ibunya. Juga memiliki anak lain, yang tak hanya
dirinya.

Dan profil Inggrid Caturangga, sungguh luar biasa.

Bila di Jakarta, Sanusi Wijaya sibuk membangun karir politik,


maka di Makassar, istrinya tersebut merupakan kesayangan
masyarakat. Sosoknya kerap berderma.
Memperjuangkan hak-hak masyarakat kelas bawah dengan
turun langsung membantu mereka. Wanita itu tetap enejik,
walaupun usia telah membuat sendi-sendinya tak seluwes dulu.
Beliau bukan sosok yang lemah lembut. Namun, penuh
ketegasan dan keberanian.

Jadi, tolong, biarkan Nyala membesarkan ketakutan dalam


dirinya sekarang ini.

Sungguh, walau belum pernah bertemu langsung, Nyala


yakin Inggrid akan melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan Dewi Gayatri sejak pertama kali mengetahui
bahwa Harun Dierja menikahinya.

Ya, sebuah penghinaan.

Nyala akan memanen hardikan.Ya, Tuhan ….

Kini, yang ia inginkan adalah menghilang.

“Iya,” Hadi menjawab dengan nada santai. “Mas Farid juga


akan tiba bersama Mama saya.”

Tuhan ….

Nyala butuh pegangan.

Untunglah, keberadaannya masih tak jauh dari mobil yang tadi


mengangkut dirinya.

Jadi, ia menopangkan berat tubuhnya pada sebelah telapak


tangan yang ia tekan ke sana.

“Bukan salah saya, Pak,” mendadak matanya memanas. Saat


ini, ia merasa siap dihukum mati. “Bukan saya yang
menyebarkan foto-foto itu,” bibirnya bergetar. Demi Tuhan,
ia merasa sendirian dan tak memiliki penopang. “Bukan salah
saya, Pak,” ia ulangi kalimatnya kembali sementara air mata
telah menggenang. “Sumpah, bukan saya yang melakukannya,
Pak.”

Ia semakin merasa tak berdaya.Ia yakin akan dihakimi.

Ia percaya semua semakin tak mudah.

“Saya nggak punya keinginan untuk mendapatkan


pengakuan dari siapa pun, Pak,” bibirnya bergetar.
Sementara suaranya terdengar lirih. Di hadapan Hadi
Wijaya, ia tahu ia tidak memiliki kuasa apa pun. “Bukan
keinginan saya, Pak, untuk berada dalam situasi ini,” ujarnya
makin menyayat hati. “Demi Tuhan, bukan saya yang
menyebarkan foto-foto itu, Pak,” air matanya mengalir deras.
Nyala tak punya siapa-siapa selain bayi dalam
kandungannya. Tak seorang pun akan menolongnya. Dan tak
seorang pun dapat ia harapkan.

Hadi Wijaya sudah cukup lelah hari ini. Selain pemberitaan


mengenai ayahnya, ia memiliki tanggung jawab lain di
lembaga pemerintahan. “Masuk saja. Kamar kamu sudah
disiapkan,” ia tak mampu memberi penenangan. Karena
sepertinya, itu memang bukan tugasnya.

“Jangan bunuh saya, Pak,” mohonnya dengan iba. “Kali ini


saya benar-benar takut mati,” sebelah tangannya melingkari
perut dengan posesif. “Saya punya bayi, Pak. Saya ingin
hidup dengan bayi saya ini.”

Berdecak, Hadi Wijaya mengeratkan rahangnya. Ia pandangi


anak perempuan sang ayah yang kini bermandi air mata di
depannya. “Saya sudah pernah bilang ‘kan, keruk harta
mereka,” maksud Hadi adalah ayahnya dan juga Harun
Dierja. “Tapi kamu malah memilih bermain perasaan. Dan
lihat, pada akhirnya kamu tetap menjadi rahasia mereka.”

“Saya nggak keberatan, Pak,” jawab Nyala sembari mengusap


air mata. “Saya sudah cukup dengan menjadi sebuah rahasia.
Saya nggak akan menuntut pengakuan. Yang terpenting, tolong
biarkan saya hidup.”

Demi Tuhan, Nyala takut. Ia tak memiliki siapa pun.

Di atas segala kepentingan, Harun Dierja tentu saja harus


mendahulukan citranya dibanding Nyala dan anak mereka.
Nyala tidak membenci, hanya saja ia merasa sedih.
Hadi Wijaya berbalik dan menatap anak kandung dari
ayahnya itu lurus-lurus. “Kalau begitu, selamat. Setelah ini,
kamu nggak akan pernah lagi menjadi rahasia.”

“Maksudnya, Pak?”

“Kamu akan tahu nanti. Masuk saja terlebih dahulu,” Hadi


memutar tumit dan melangkahkan kaki menuju rumah.
Tetapi tak lama berselang, ia menolehkan kepala ke belakang.
“Dan Nyala,” ia panggil wanita hamil itu. “Tidak ada yang ingin
membunuh kamu.”

Mendengar hal itu, Nyala kembali menangis. Ia menarik


napas panjang sambil mengelus perutnya. “Terima kasih,
Pak,” susah payah ia berhasil mengeluarkan cicit suara.
“Terima kasih,” ulangnya seolah benar-benar bersyukur pada
kalimat itu.

Karena itu berarti, ia bisa melahirkan bayinya.

Walau setelahnya, ia tidak tahu harus bagaimana mengarungi


kehidupan setelah ini.

Ia diantar oleh seorang ajudan yang sedari tadi


menungguinya. Ia digiring menuju sebuah kamar di lantai
satu. Dipersilakan masuk, lalu diberitahu bahwa koper-
kopernya telah berada di kamar ini sejak tadi.
Ketika memutuskan melangkah kian dalam ke kamar itu,
Nyala bisa merasakan bahwa ia tak lebih dari sekadar
tawanan. Dan saat pintu di belakangnya ditutup, Nyala
mengira ia akan terkunci. Namun, sampai ia menghentikan
langkah, tak ada terdengar bunyi yang mengindikasikan
bahwa pintu itu sedang dikunci. Sepertinya, ia hanya
dibiarkan.

Duduk di tepi ranjang, Nyala menyentuh permukaan


seprainya yang halus. Pandangannya yang semula mematri
seluruh ruang, kini berganti menatap perut bundarnya.
“Nggak apa-apa, ya?” ia berbisik lirih. “Yang penting, aku
bakal ngelindungi kamu,” ujarnya sembari menitikan air
mata. “Aku nggak tahu gimana hidup kita ke depannya.
Kamu tenang aja, kamu harus lahir. Walau nanti, kita nggak
kapan bisa ketemu sama bapakmu lagi.”

***

Katanya begini, jika tidak mampu sekuat hujan yang


menyatukan langit dan bumi. Maka, jadilah selembut doa
yang dapat menyatukan takdir dan juga harapan.

Sayangnya, takdir Nyala terlalu samar untuk telusuri.

Sementara harapannya, nyaris tak dapat diperhitungkan. Ia

ketiduran.
Dan terbangun setelah ketukan pintu berulang kali
terdengar. Netranya mengerjap saat menyadari bahwa
tempatnya terjaga begitu gelap. Yang pertama kali ia lakukan
adalah meraba perutnya yang bundar. Merasa begitu lega, kala
kandungannya masih seperti sebelum ia menutup mata. Nyala
pun beringsut menurunkan kakinya dari ranjang.

“Siapa?” ia bertanya dengan suara yang ia keraskan.

“Saya, Bu. Pak Sanusi meminta saya membantu Ibu


bersiap.”

Sahutan dari luar membuat Nyala mengernyit. Ia menyerukan


sosok wanita itu agar masuk. Sebab, ia begitutakut melangkah
dalam gelap seperti ini.

Lampu menyala ketika wanita yang berada di balik pintu tadi


telah masuk ke dalam. Membuat Nyala dapat menyesuaikan
keadaan di sekelilingnya dengan helaan napas lega. “Kamu
siapa?” Nyala bertanya ketika atensinya memaku seorang
wanita muda mendatanginya.

“Saya salah satu asisten di rumah ini, Bu,” wanita itu


memperkenalkan diri dengan ramah. “Nama saya Rita, Bu.
Pak Sanusi menugaskan saya untuk membantu Ibu bersiap.”

Mata Nyala kemudian memaku pada jam dinding yang sudah


menunjukkan ke angka tujuh. Lelah fisik dan pikiran
membuatnya tak sadar bahwa ia telah tertidur selama tiga
jam. “Bersiap ke mana, Mbak?” tanya Nyala yang mulai
bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kopernya, namun
wanita muda tadi seolah dapat mengetahui pemikirannya.
Sebab berikutnya, wanita itulah yang sudah terlebih dahulu
menyentuh koper-kopernya.

“Ibu duduk saja, biar saya yang menyiapkan kebutuhan Ibu.”

Nyala mengernyit, namun selebihnya ia tak mengatakan apa-


apa. “Saya harus bersiap ke mana, Mbak?” ia tanyakan lagi
pertanyaan yang belum terjawab.

“Saya kurang tahu, Bu. Tetapi kata Bapak, setengah jam dari
sekarang Ibu sudah harus selesai. Jadi, lebih baik, Ibu mandi
dulu, Bu. Saya yang akan menyiapkan kebutuhan Ibu.”

Sebagai tawanan, Nyala tidak memiliki banyak pilihan.


Sebab, satu-satunya yang harus ia lakukan adalah menuruti
segala perintah yang telah tertuang untuknya.

Baik.

Karena itu, Nyala pun melaksanakannya tanpa banyak


bertanya.

Nyala mengenakan terusan di bawah lutut, kemudian menutupi


bahunya dengan cardigan hitam. Ia tidak menggerai
rambutnya, hanya mengikatnya ekor kuda saja supaya terlihat
lebih rapi. Ia masih bertelanjang kaki ketika kakinya melangkah
keluar kamar. Asisten tadi
membuntutinya sampai ruang tamu. Kemudian
mempersilakannya duduk, karena Rita akan menyuguhkan
camilan yang Nyala inginkan.

Well, Nyala ingin puding cokelat sambil meminum perasan


jeruk hangat yang tidak terlalu manis.

Ajaibnya, puding cokelat yang ia inginkan ada di lemari es, dan


asisten tadi tak keberatan membuatkannya minuman seperti
yang ia inginkan.

Jadi, sembari menunggu, Nyala menatap rumah yang dari


luar tadi tampak bergaya America clasik. Sementara di
dalamnya, mengenakan lantai parkit yang membentang dari
kamarnya hingga penjuru ruang.

Tak lama kemudian, pudingnya pun dihidangkan. Nyala


mengucapkan terima kasih dan segera menyantap puding
dingin itu. Rasanya sungguh menyegarkan, ditambah dengan
jeruk hangat yang diminumnya. Nyala merasa, bayinya
bergerak semakin aktif ketika ia sudah menghabiskan
setengah puding tersebut.

Hingga tiba-tiba, sosok pria yang mirip dengan Hadi Wijaya,


berjalan ke arahnya. Membuat Nyala refleks menghentikan
kunyahannya. Dan berdiri pelan-pelan sambil menyentuh
perutnya.
“Jadi kamu anak itu?”
Nyala menahan napas.

Farid Wijaya, CEO dari Widjaja Group dan merupakan putra


pertama dari Sanusi Wijaya, telah berada di hadapan Nyala.
Dengan pendar serius di mata, Farid Wijaya tampak seperti
Sanusi yang tak ramah. Buat Nyala kontan menelan ludah.
Merasa gugup, juga takut.

“Kamu benar-benar merepotkan, ya?”

“Ma—maaf, Pak,” belum apa-apa Nyala sudah merasakan


tangannya berkeringat dingin. Ia menggigit bibirnya supaya
gemetarnya dapat disamarkan. “Bukan saya pelakunya, Pak,”
ia masih berpikir bahwa semua yang terjadi hari ini akibat
dari pemberitaan mengenai dirinya dan Sanusi Wijaya.
“Demi Tuhan, bukan saya yang menyebar berita itu, Pak.”

Nyala merasakan dadanya nyeri.

Tatap yang tersemat untuknya benar-benar tajam dan


mengerikan.

“Satu koma lima triliyun hanya untuk melindungi kamu.


Lalu ada seratus milyar lainnya, yang tetap digunakan untuk
kamu. Papa saya benar-benar sangat royal dalam
menyembunyikan kamu, ya?”

Tak lama berselang, Hadi Wijaya pun bergabung dengan


mereka.
Sama seperti kakaknya, ia tidak duduk di sofa. Bila sang kakak
berdiri sambil berkacak pinggang, maka Hadi Wijaya kini
bersidekap. Selebihnya, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya
menatap kakaknya dan anak perempuan ayah mereka secara
bergantian.

“Dan sekarang, ibu mertua kamu membuat kami


kerepotan.”

Nyala tidak mengerti maksudnya. Namun, ia juga tidak berani

bertanya.

Hingga kemudian, ketukan konstan dari langkah yang


menuruni tangga membuat mereka semua menoleh. Dan di
sanalah, Nyala Sabitah menemukan Inggrid Caturangga
untuk pertama kalinya.

Deg.

Nyala menelan ludah.

Kegugupan bertemu Farid Wijaya, kini berkali-kali lipat saat


mendapati nyonya Wijaya itu menuruni tangga. Dan
tentunya tak seorang diri, sebab pria setengah baya yang
menjadi sumber utama permasalahannya ini, berada di
sebelah wanita luar biasa itu.

“Oh, jadi ini anak kamu?” Inggrid menoleh sebentar pada


suaminya. Kemudian, ketika mereka sudah berada di ruang
tamu, ia lepaskan pegangannya pada lengan sang suami.
Berjalan mendekati sofa, kemudian menatap seorang Nyala
Sabitah dari atas ke bawah. “Inka pasti akan sangat
membenci kamu,” ia katakan hal tersebut dengan lugas.
“Inka baru saja keguguran.”

“Dan Girsa sangat membenci perselingkuhan,” imbuh Farid


menyebutkan nama adiknya yang lain.

Inggrid mengangguk sambil melangkahkan kaki mendekati


wanita asing yang merupakan wujud nyata dari dosa yang
dilakukan suaminya. “Sangat menyakitkan melihat kamu
berdiri di sini,” ucap Inggrid terus terang. “Keberadaan kamu
membuat saya menyadari seberapa tidak bergunanya kesetiaan
saya pada suami saya selama ini,” tuturnya disertai senyum
penuh cemooh. “Harusnya, saya buang saja papa kamu, ya?
Sayang sekali, kami harus tetap bersama karena perpisahan
kami hanya akan membuat karyawan-karyawan kami
kehilangan pekerjaan.”

Nyala tidak tahu harus merespon bagaimana informasi


tersebut. Yang jelas, ia menelan ludahnya dengan gugup.
Tangannya yang tadi mengelus perut, kini sudah saling
meremas, takut. Apalagi, saat istri dari ayah biologisnya itu
melangkah mendekatinya. Nyala menggigit bibir. Matanya
memejam, karena yakin bahwa ia akan ditampar.
***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Dua
Puluh Tiga - Dua Puluh Empat -
Dua Puluh Lima · Karyakarsa

DUA PULUH TIGA

Cinta itu rumit.

Rasa yang membelit pun begitu sulit.

Makanya, terkadang ada yang hampir gila tuk melepaskan


romansa yang terlanjur terpenjara dalam dada.
Keterpaksaan akan keadaan, nyaris buat manusia saling
mengutuk garis yang disiapkan semesta. Pertanyaannya,
mengapa harus terselip cinta, bila dia tak mungkin bersanding
di jiwa?

Nyala tahu, jatuh cinta pada Harun Dierja begitu mudah.


Namun, yang tak Nyala pahami bahwa tuk bersanding
dengannya ia harus melewati ribuan prahara. Kebersamaan
mereka terjadi hanya karena bayi di perutnya. Tetapi kini,
mereka terpisah. Bukan sekadar kunjungan kerja yang
membuat Harun tak mampu menemuinya. Faktanya, keadaan
yang menjerat terasa tidak sesederhana yangseharusnya.
Nyala dihadapkan pada keluarga ayah kandungnya yang tak ia
sangka-sangka. Berhadapan dengan sang Nyonya Wijaya, juga
pewaris utamanya. Nyala diterpa ketakutan yang membuat
gemetaran. Matanya memejam, mengkhawatirkan tamparan
yang akan diterima. Ia khawatir akan dibunuh tiba-tiba.
Namun, tubuhnya mendadak terhenyak begitu yang didapatnya
adalah tepukan pelan di pipi.

Hanya sebuah tepukan. Ya, tepukan singkat.

“Bukannya kamu resepsionis? Kenapa tidak menggunakan


make up?”

Matanya Nyala terbuka.

Ia mengerjap dengan linglung.

Di depannya, masih berdiri seorang Inggrid Caturangga. Istri


sah dan satu-satunya istri yang dimiliki Sanusi Wijaya.

“Wajahnya akan terlihat pucat di televisi,” Inggrid mengambil


langkah mundur tanpa memperdulikan wajah bingung di
hadapannya. “Susan?”

“Iya, Bu?” asisten pribadi Inggrid langsung mendekat.

“Dandani dia. Jangan sampai terlihat pucat di televisi


nanti,”
seru Inggrid memberi perintah. Dan kemudian, ia pun
memilih duduk. Tatapnya mengarah pada suaminya. Meminta
pria itu ikut duduk bersamanya. “Jadi gimana, Pap? Udah
disiapin naskahnya?” bibirnya mencebikkan sindiran.

Sanusi Wijaya mendengkus, namun hal itu takmenghalanginya


tuk bergabung dengan sang istri. Diikuti oleh kedua putranya,
mereka berbincang sebentar sebelum dirinya memanggil
sekretaris juga asisten pribadi untuk mendekat. Kemudian,
mereka pun berdiskusi. Mendengar sekretaris Sanusi
menjelaskan skenario yang akan akan mereka lakukan nanti.

Sementara itu, Nyala yang masih terlalu kaget hanya bisa


mengerjap berulang kali. Ia menarik napas, mencobamencerna
semua. Namun, sebelum ia mampu mencernasegala, ia telah
diajak menuju kamarnya. Dengan seorang wanita berkacamata
dengan tunik batik dan celana bahan berwarna hitam, Nyala
digiring kembali memasuki kamar.

“Susan, gaunnya juga ganti saja,” perintah Inggrid lagi. “Kalau


dia bawa perhiasan, pakaikan sekalian.”

“Siap, Bu.”

Ketakutan Nyala menemui kebimbangan. Ludahnya tertelan


dengan kebingungan tuk mencerna situasi ini. Sampai ketika
ia hampir mendekati pintu kamar yang beberapa jam lalu ia
tempati, Nyala pun memutar tumit dan kembali menjadikan
sosok Inggrid Caturangga sebagai atensi. Bagaimana wanita
setengah baya itu tampil dengan aura kemewahan yang begitu
terlihat walau tak ada gemericik emas yang menyinggahi
tubuhnya. Namun, kilau berlian lewat giwang dan juga dua
buah cincin di jemari tangan kirinya, sudah menjadi bukti
betapa uang bukanlah apa-apa untuk wanita itu.

“Ibu tidak menampar saya?” Nyala membiarkan jantungnya


berpacu dengan keringat dingin yang membasahi kedua telapak
tangannya. Ia menelan ludah demi membasahi tenggorokkan
yang terasa perih, akibat terlalu lama menahan diri. “Saya layak
mendapatkan itu, Bu,” ia bukan menantang. Hanya sedang
mencoba menanyakan eksekusi mengenai dirinya yang
mungkin saja dilupakan wanita itu. “Ibu dan Pak Farid juga
belum mencerca saya.”

Inggrid tak suka dengan potongan rambut panjang. Sejak dulu,


ia tidak pernah membiarkan rambutnya melewati bahu. Dan
kini, panjang mahkota tersebut hanya sebatas telinga. Dia juga
tidak suka mengecat rambutnya. Jadi, ia biarkan saja rambut
putih bersaing dengan rambut-rambut hitam di kepala. “Bodoh
sekali kalau kamu merasa kamu layak mendapatkan
tamparan,”dengkusnya memperdengarkan tawa kecil. Kerut di
wajahnya tak lagi
dapat diakali dengan menggunakan botox di klinik kecantikan.
Ia biarkan saja terlihat, toh, hal itu tak akan mengurangi
kepercayaan dirinya. “Saya sudah menghajar Papa kamu sekitar
27 tahun yang lalu. Tepatnya, ketika kamu lahir,” ucap Inggri
tenang. “Saya ingin sekali meludahi ibu kamu. Tapi ternyata,
dia benar-benar seorang pelacur yang butuh pria kaya untuk
menopang hidupnya. Dan, ya, saya bahkan merasa dia tidak
seberharga itu untuk menerima amarah saya.”

Sambil menopang sebelah kakinya, Inggrid mengerling melihat


anak dari perselingkuhan suaminya itu. Melihatnya dari kepala
hingga ujung rambutnya. Walau sudah berusia
64 tahun, namun Inggrid paham bagaimana harus
berpenampilan. Ia juga masih menghias wajahnya. Dan kini,
setelah ia mengamati wanita itu, kepalanya sontak menggeleng.

“Kasihan sekali kamu hidup dengan ibu seperti ibumu itu,”


pukasnya mendecakkan lidah. “Di saat Papa kamu adalah
Sanusi Wijaya. Kamu malah harus bekerja susah payah,” ia
melempar tatap mencemooh untuk suaminya. “Diumpankan
pada Harun Dierja. Lalu bersusah payah mengandung bayinya.
Hmm, hidup kamu agak menyedihkan. Dan saya tidak suka
menyakiti perempuan,” jelasnya kemudian. “Papa kamu sudah
menerima hukumannya. Walau tidak dibenci
oleh anak-anaknya, Papa kamu nggak bisa dekat
dengan
mereka.”

“Aku cukup dekat dengan mereka,” bantah Sanusi yang


tidak
terima dengan perkataan sang istri.

“Dekat karena masalah pekerjaan ‘kan?” Inggrid mengoreksi.


“Tapi selebihnya, apa pernah kamu dihubungi mereka berjam-
jam hanya untuk memperlihatkan kota yang sedang mereka
kunjungi?” sebuah ejekkan dan Inggrid selalu berhasil
melakukannya.

Nyala tidak mengerti bagaimana orang-orang kaya menyikapi


masalah. Namun tampaknya, mereka tidak seperti dirinya yang
harus menangis darah ketika masalah kehidupan datang tiba-
tiba. Mungkin, karena mereka tidak memusingkan harta.
Sebagaimana Nyala jelas sangat takut akan masa depan gelap
untuk anaknya bila Harun Dierja tidak bertanggung jawab
padanya waktu itu.

Namun sepertinya, ketakutan tersebut tidak berlaku untuk para


orang kaya.

Buat Nyala merasa begitu berbeda berdiri di tengah-tengah


keluarga Wijaya.
Karena sungguh, walau tidak diterima dengan hangat, namun
Nyala agak terkejut karena ia tidak ditolak. Mereka bersikap
dingin, itu wajar. Yang Nyala herankan, mereka
bahkan tak meledak-ledak mencaci-maki dirinya.

“Peristiwa pengkhianatan Papa kamu sudah berlangsung lama.


Sampai saya pun sudah lupa dengan sakitnya,” imbuh Inggrid
kemudian. Tatapnya yang tadi tertuju untuk sang suami, kini
kembali menancap atensi untuk anak dari suaminya itu. “Saya
sudah berdamai dengan keadaan.
Bukannya laki-laki memang kebanyakan seperti itu?”
kerlingannya penuh cemooh. “Tapi saya menganggapnya khilaf
yang dapat dimaafkan,” tutupnya dengan senyum tipis di
wajah.

Toh, setelah itu Sanusi Wijaya tidak melakukan hal serupa.

Pengakuan sang suami padanya kala itu, mungkin cukup


menyakitkan.

Tetapi, Inggrid bertahan demi anak-anak juga masa depan.

“Papa kamu saya usir dari rumah kami di Makassar. Makanya,


dia berada di Jakarta selama ini. Alasannya tentu saja sedang
sibuk berpolitik, padahal kenyataannya, dia tidak punya tempat
di sana,” tutur Inggrid sembari tertawa. “Dia saya perbolehkan
pulang kalau cucu-cucunya rindu saja.
Atau paling, ya, kalau ada arisan keluarga, ya, Pap?” cibirnya
mengerling sang suami. “Saya bisa saja menceraikannya sejak
lama. Tapi perusahaan itu butuh kami. Ada banyak karyawan
yang bergantung pada keutuhan rumah tangga
kami. Karena kalau kamu bercerai, seluruh asset ketikabersama
akan dibagi dua. Sementara saya, tidak terlalumengerti tentang
perusahaan.”

Kini giliran Sanusi yang mendengkus. Menatap istrinya dengan


jengah, ia kemudian mengarahkan pandangan ke arah Nyala.
“Kamu terlalu banyak bicara untuk pertemuan pertama,” kini
giliran dirinya yang menyindir istrinya. “Sudah sana, bawa
Nyala untuk bersiap!” ia usir Nyala dengan gerak tangan ke
udara. “Nanti kita terlambat!”

Nyala masih tak paham, makanya ia berkeras untuk bertahan.


“Lalu, kenapa akhirnya Ibu dan Pak Farid datang ke sini?”

Farid yang duduk membelakangi posisi Nyala, segera memutar


tubuhnya. Tanpa basa-basi, ia tuangkan alasan mengapa ia
meninggalkan Makassar secara mendadak untuk tiba di sini.
“Kamu akan diakui sebagai anak Papa sebentar lagi. Papa harus
meluruskan kesalahpahaman yang disengaja oleh ibu mertua
kamu. Widjaja Group memegang beberapa proyek IKN. Papa
nggak bisa mengundurkan diri dari partai seperti yang
diinginkan oleh ibu mertua kamu. Jadi, satu- satunya carauntuk
meredakan skandal itu adalah mengakui kamu sebagai
putrinya. Bukan istri mudanya.”

Nyala menarik napas.


Baiklah, kini ia tak akan bertanya lagi.

“Dan nanti,” kini giliran Hadi Wijaya yang memberi


penjelasan. “Nama ibu kamu tidak akan disebutkan. Kamu
hanya akan diakui sebagai anak Sanusi Wijaya. Publik tidak
perlu tahu siapa ibumu.”

“Tapi, bagaimana kalau ada yang mencari tahu?” tanya Nyala


tanpa ragu.

“Nggak akan,” ujar Hadi percaya diri. “Sebenarnya,


pengumuman ini hanya untuk membersihkan nama Papa di
pemerintahan. Orang-orang hanya akan tahu, kalau kamu
adalah anak Sanusi Wijaya. Supaya tuduhan perselingkuhan
yang direncanakan oleh ibunya Harun Dierja, segera
terbantahkan. Ibunya Harun, menginginkan Papa
mengundurkan diri dari kepengurusan partai.”

Jadi, dalang dari kabar yang beredar mengenai dirinya dan


Sanusi Wijaya berasal dari ibu Dewi Gayatri?

Entah kenapa, Nyala merasa bahwa perutnya kembalimerasa


kram.

Sampai-sampai, ia harus berulang kali mengusap bagian


tersebut demi meredakan ketegangan.

***
Bertempat di sebuah restoran di hotel bintang lima.
Sanusi Wijaya dan keluarganya, menempati private
dinning yang sudah dipesan oleh sekretarisnya sejak siang
tadi. Mereka makan malam dengan diskusi yang menyertai.
Tanpa repot-repot menjelaskan pada Nyala yang menjadi
satu-satunya pihak yang tidak mengetahui apa-apa. Keluarga
Wijaya itu tampaknya memang orang-orang sibuk yang tak
mungkin memiliki waktu untuk sekadar mengurusi hidup
orang-orang.

Nyala telah berganti pakaian.

Wajahnya pun telah dihias dengan sangat baik, meski


sesungguhnya ia mampu melakukan hal tersebut sendirian.

Mengenakan white dress di bawah lutut, obi belt hitam yang


melingkar di atas perutnya menjadi pemanis untuk
dress polos tersebut. Bagian lengannya pendek,
memperlihatkan jam tangan bertabur berlian di pergelangan
tangannya. Bagian kerahnya berbentuk V-neck yang tidak
terlalu rendah. Cocok untuk memamerkan berlian lain yang
melingkari lehernya. Ponytail dipilih sebagai model rambut
teraman yang menunjukkan penampilan elegannya. Ia tidak
boleh tampak terlalu mewah, makanya make up yang tersapu di
wajahnya pun tampak simple namun mempertegas rahang dan
juga hidung mancungnya.
Perutnya jelas tak dapat disembunyikan.
Berkali-kali bagian tersebut merasa kram. Jadi, Nyala memilih
flat shoes untuk menjadi alas kakinya. Ia tidak mau menyakiti
dirinya sendiri dengan memaksa mengenakan heels.

Makan malam yang terhidang, sama sekali tak menggunggah


selera. Namun Nyala harus makan demi bayinya.

“Kamu nggak hanya akan mendapat pengakuan nanti,” di sela-


sela usahanya mendengar penjelasan dari asisten pribadi sang
ayah, Farid menancapkan atensi pada adik perempuan
barunya. “Kamu akan mendapat tunjangan dana perwalian.
Tapi, kamu nggak berhak atas saham yang berada di
perusahaan,” ucap Farid tenang. Namun, tatapnya penuh
ketajaman. “Peraturan perusahaan kami sangat ketat. Saham
yang berada di sana, hanya berhak diberikan oleh anak dari
perkawinan yang sah. Sementara Papa dan ibu kamu sama
sekali nggak menikah.”

Nyala tak jadi menyendokkan makanan ke mulutnya. Dengan


takut-takut, ia mencoba mengangkat kepala demi bertemu
pandang dengan Farid Hanggara Wijaya. Usianya 42 tahun.
Dari berita yang Nyala baca, ayah kandungnya dan Inggrid
Wijaya menikah pada usia yang masih sangat muda. “Saya
nggak mengharapkan apa-apa, Pak,” tutur Nyala jujur. “Saya
hanya ingin jaminan bahwa saya dapat melahirkan anak saya
dengan selamat. Lalu, memiliki tempat tinggal
yang layak.”

“Terima saja,” Inggrid menyelesaikan makannya. “Peta politik


tidak dapat diduga. Harun bisa kalah dan lupa pada semua
janji-janjinya. Ambil uang itu untuk membesarkan anakmu dan
juga menjamin kehidupan kamu setelahnya. Jangan mau hidup
susah lagi selama ini,” jelasnya panjang. “Pap, rumah yang tadi
kasih saja ke anakmu,” lalu ia mengarahkan perhatian pada
suaminya. “Kamu nggak terlalu butuh rumah itu ‘kan?”

Sanusi tak segera menjawab, ia berdeham singkat seraya


menggeleng. “Nggak.”

“Nah, gimana? Tinggal saja di situ. Kalau kamu tidak suka


dengan bangunannya, kamu bisa minta renovasi. Lagipula,
pernikahan kamu dan Harun Dierja itu hanya siri ‘kan?
Tidak ada kekuatan hukumnya. Kalian juga akan bercerai
setelah kamu melahirkan ‘kan?”

Nyala tidak diberikan waktu untuk menjawab.

Karena kemudian, mereka mendengar kabar bahwa media dari


televisi milik Gideon Sutjatmoko telah tiba di lobi.

Dan sekarang, Nyala dihinggapi kegugupan.

Ya, Tuhan ….

Bagaimana ini?
***

Private dinning itu diisi dengan banyak orang. Sebenarnya,

hanya lima orang yang akan tampil di layar.

Namun, empat orang di antaranya memiliki asisten, ajudan,


juga sekretaris yang memantau jalannya private konferensipers
yang memang dilakukan secara intimate dan hanya
mengundang satu media saja. Hak siarnya hanya dimiliki oleh
Citra televisi. Sementara sisanya, mungkin akan
menyebarkannya lewat potongan-potongan video yang di
record selama konferensi pers ini berlangsung.

Ruang makan tersebut telah bersih dari makanan yang tadi


terhidang. Sebagai gantinya, tiga buah microphone tertata di
meja mengarah pada narasumbernya. Berikut dengan logo Citra
televisi yang terhampar di sana. Di belakang meja tersebut,
telah duduk keluarga Sanusi Wijaya. Termasuk dengan Nyala
Sabitah yang merupakan sosok yang menjadi buah bibir
belakangan ini. Pencahayaan pun telah diatur, sorot kamera
dipastikan dapat memuat seluruh wajah konglomerat dari
wilayah timur yang enggan tersorot media. Konferensipers ini
akan menjadi sangat eksklusif, karena Citra televisi adalah satu-
satunya media yang dipercaya oleh keluarga Wijaya untuk
mengklarifikasi berita yang beredar.
Saat aba-aba diberikan, Sanusi menjadi orang pertama yang
membuka suaranya. Tanpa sapaan yang terlalu lama.
Pengusaha yang lebih dikenal saat menjadi Sekjen partai
Nusantara Jaya itu pun, langsung saja menyangkal bahwa
berita yang beredar mengenai dirinya tidak benar.

“Jadi, berita yang beredar itu sama sekali keliru. Karena wanita
yang berada di foto itu bukanlah selingkuhan atau pun istri
muda saya,” ucap Sanusi tanpa ragu sama sekali. “Wanita yang
berada di foto itu, kebetulan juga tengah berada di sebelah
saya,” pandangan Sanusi berpindah sejenak pada Nyala
Sabitah yang memang duduk di sisi kanannya. Sementara sang
istri di sisi kiri. Farid berada di sebelah Inggrid. Dan Hadi di
samping Nyala. Tujuan formasi ini dilakukan adalah agar publik
dapat melihat dengan jelas sosok Nyala. “Dia berada di sini. Dan
dia adalah putri kandung saya.”

Nyala menahan napas ketika kalimat itu didengungkan.

Bayinya menendang, hingga membuatnya nyaris meringis.

Sambil mengusap perutnya, Nyala berusaha fokus menatap


kamera yang menyorotnya.

“Namanya, Nyala Sabitah Wijaya.”Tuhan ….

Nyala langsung menelan ludah.


Keinginan tuk menatap pria yang baru saya menambahkan
nama belakang untuknya, teramat besar. Tetapi, agar publik tak
curiga pada gerak geriknya, ia berusaha bersikap biasa ketika
pengakuan yang ia tunggu selama 27 tahun, akhirnya
terealisasikan.

Detak jantungnya terpacu cepat. Tangannya yang mengelus


perut, kini sudah saling bertaut. Meremas dengan gusar.
Merasakan jiwanya mendadak mengembang dan mengempis
secara bersamaan.

Astaga …

Nyala tak kuasa.

Ia ingin limbung ke bawah, beruntung saja Hadi Wijaya


menahan punggungnya dengan tangan pria itu dari belakang.

“Fokus saja,” bisik Hadi tanpa menoleh.

Dan akhirnya, Nyala mencoba melakukan hal itu.

“Dia adalah putri bungsu saya. Selama ini, dia memang


menginginkan kehidupan yang tidak biasa. Makanya, saya
menempatkannya sebagai karyawan di DPP Nusantara Jaya,
supaya dapat mengawasinya.”

Hal itu tidak sepenuhnya dusta.


Sebab, Sanusi memang menempatkan Nyala di DPP supaya
dapat mengawasi anak itu dengan mudah.

“Maafkan kami karena telah membuat keributan di sosial


media,” kini Sanusi menghaturkan permohonan maaf penuh
sesal. “Tetapi, saya harus kembali menekankan, bahwa berita
itu tidak benar. Karena Nyala Sabitah adalah putri saya. Dan
sekarang, dia sedang mengandung cucu saya.”

Sumpah, Nyala sudah menahan napasnya berkali-kali dalam


periode singkat ini.

Pernyataan-pernyataan yang keluar dari bibir seorang


SanusiWijaya, benar-benar mengejutkan akal dan juga
jiwanya.
Sampai-sampai, ia merasa bahwa sesungguhnya hal
tersebuttidak nyata.

“Dan bagaimana dengan menantunya, Pak? Apa Bapaktidak


ingin memperkenalkannya?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja.Buat Nyala kontan

terhenyak.

Kali ini, ia tidak dapat menahan diri untuk menatap

Sanusi.Tidak.
Harun Dierja tidak boleh terlibat terlebih dahulu.

***
DUA PULUH EMPAT

“Wow, jadi beneran anaknya, ya?” komentar Keylan tanpa


menunggu. Ia bahkan tertawa di saat yang lain tengah sibuk
menonton tanpa menoleh padanya. “Gila nih Pak Sanusi,
beneran punya anak perempuan selain Inka. Begitu kok nggak
pernah dikenalin ke kita, ya, Pa?” ia melirik sang ayah yang
seolah tak terpengaruh pada ucapannya. “Dulu Bang Kaffa
pernah hampir deket sama Inka. Tapi nggak jadi pacaran
mereka. Ya, kalau tahu ada Nyala Sabitah Wijaya ini, aku bakal
minta dikenalin juga, Pa.”

Benar.

Nyala Sabitah Wijaya.

Putri bungu Sanusi Wijaya, yang baru diperkenalkan pada


publik ketika tengah berbadan dua. Itu pun karena tak Dewi
Gayatri membuat ulah. Meriuhkan suasana politik yang kian
memanas dengan berita palsu yang sengaja direka.

Agenda musyawarah malam ini, ditutup dengan menonton


konferensi pers Sanusi Wijaya. Sebenarnya, bukan konferensi
pers sih, melainkan sebuah pengakuan demi meluruskan berita
simpang siur yang sudah terlanjur terjadi. Didampingi oleh istri
dan anak-anaknya, Sanusi seolah ingin meyakinkan publik
bahwa perkataannya jauh lebih bisa dipercaya dibanding kabar
miring yang beredar tentangnya.
Keberadaan Farid Wijaya yang selama ini dikenal sebagai CEO
dari Widjaja Group tentu saja menarik perhatian. Bila Hadi
Wijaya sering wara-wiri sebagai juru bicara KPK, maka Farid
Wijaya begitu sulit tampil di depan kamera.

“Widjaja Group ini paling mahir menutup diri, tetapi gara-gara


mamanya Pak Harun, sampai-sampai Farid pun turungunung,”
komentar Gideon yang tak menyangka bahwa konferensi pers
tersebut juga dihadiri oleh Farid Wijaya.

“Tapi, anaknya yang ini beneran cantik,” Hermawan ikut


berkomentar setelah tadi sibuk mencoba mengingat-ingat di
mana bertemu dengan anak perempuan Sanusi Wijaya itu.
“Sayang banget lagi hamil,” kekehnya yang kini menyandarkan
kepala sepenuhnya pada sandaran kursi di belakangnya.

“Lengkapnya begini Pak Hermawan, sedang hamil saja tetap


cantik. Gimana bentuknya, sebelum hamil, ya? Begitu ‘kan,
maksudnya Pak Hermawan?” Keylan merevisi dengan santai.
“Beruntung banget suaminya,” imbuhnya kemudian. “Eh, tapi,
iya kalau punya suami,” masih suaranya yang merajai ruangan.
“Papa kenal suaminya, Pa?”

Sekali lagi, Kusno Aji mengabaikan anaknya.Sebab diam-

diam, ia merasa resah.

Satu koma lima triliyun yang ia terima, juga memiliki


persyaratan. Di antaranya, ia harus memastikan bahwa tak
seorang pun tahu bahwa Sanusi Wijaya memiliki anak
perempuan lain, selain Inka Wijaya. Dan kini, satu tabir telah
terkuak. Sanusi yang licik itu, dapat membalikkan keadaan.

“Yang jelas, pasti suaminya bukan orang biasa juga. Pak Sanusi
nggak mungkin membiarkan anaknya menikah dengan
sembarang orang,” komentar lain bergema.

Benar.

Suami dari putri yang dirahasiakan oleh Sanusi Wijaya,


bukanlah golongan orang biasa.

Pria itu merupakan politisi, pengusaha, dan kini hanya


tinggal selangkah lagi tuk menjadi pejabat Negara.

Dan orang itu adalah Harun Dierja Aminoto.

Yang beberapa saat lalu, baru saja menguras isi lambungnya.


Sementara saat ini harus dihadapkan pada kemunculan sang
istri di televisi. Berada di tengah-tengah keluarga Wijaya.
Istrinya jelas merupakan jelmaan jelita yang buat rindunya
makin tak leluasa ingin tumpah.

Ya, Tuhan …

Nyala luar biasa bila bersanding dengan warna merah.


Tetapi, warna hitam pun jelas memesona. Siapa sangka,
warna putih yang dikenakan wanita itu saat ini, malahmembuat
Nyala makin indah. Layar plasma yang besar, membuat istrinya
tampak istimewa. Kecantikannya tersiar. Dan entah kenapa,
Harun tak terima.

Harun menginginkan Nyala Sabitah.

Jadi, ia kepalkan buku-buku jemarinya di atas meja.

Mencoba memanggil sabar yang mulai menipis di dalam dada,


Harun hanya berharap ia tidak menghajar manusia- manusia
yang baru saja berkomentar tentang istrinya.

“Sepertinya suaminya orang luar,” ketua umum partai Garuda


Indonesia yang bernama Pandji Setyo akhirnya ikut
meramaikan tebak-tebakkan mengenai menantu Sanusi
Wijaya. “Yang ini tidak mirip dengan Inka. Sanusi beristri dua?”

Kepala Harun segera menoleh pada politisi problematik yang


baru saja bergabung dengan koalisi mereka.

“Dia pasti nggak akan pernah membahasnya,” Kusno Aji


berdeham singkat. Tatapnya mengarah dengan penuh kehati-
hatian ke arah Harun Dierja yang sedari tadi terlihat diam.
“Yang ingin diluruskan oleh Pak Sanusi adalah status anak itu.
Jadi, pembahasan mengenai istrinya yang lain atau pun
menantunya, tidak akan kita dengar,” ujarnya berharap bahwa
apa yang ia ungkap benar-benar terjadi. Ia bisa
kehilangan dana taktis Pemilu, bila semua rahasia dibuka oleh
Sanusi sekaligus. “Pak Gideon, gimana?
Rating acaranya aman?” ia mencoba mencairkan suasana.

“Sebenarnya akan sangat seru kalau menantu Pak Sanusi ikut


diperkenalkan juga. Mengingat semua anak-anak Pak Sanusi
menikah dengan orang-orang hebat. Saya yakin, putri
bungsunya ini juga begitu. Saya sangat penasaran dengan
menantunya.”

Harun memejamkan mata.

Ia ingin segera berangkat menuju hotel di mana acara itu


sedang berlangsung. Tetapi, Rafael melaporkan, telah banyak
wartawan yang menunggu di luar. Bahkan, ada yang berjaga di
gedung belakang hotel. Mengantisipasi Sanusi Wijaya bisa saja
lewat dari sana.

Jadi, yang saat ini dilakukan Harun adalah menunggu. Dan

apakah ia sabar dengan semua itu?

Tentu saja, tidak.

Karena sepertinya, tak lama lagi ia akan meninggalkan ruangan


ini dan nekat bunuh diri dengan mendatangi hotel itu bak
tersangka yang tengah menyerahkan diri.

Demi Tuhan, Harun bisa gila.


“Perhiasan yang dipakai sama anaknya, sudah menunjukkan
kelas kok,” Keylan mengamati layar plasmanya dengan jeli.
“Mungkin pengusaha, atau malah pejabat. Tapi sepertinya,
bukan dari kalangan keluarga Hartala. Karena biasanya, mereka
selalu menggelar pesta mewah untuk setiap pernikahan
keluarganya.”

“Sebenarnya, anak itu belum pernah diakui oleh Pak Sanusi


sebelumnya,” cerita dari bibir Gideon mengalir. “Pak Sanusi
sempat meragukan anak perempuannya itu. Makanya, beliau
melakukan tes DNA,” Gideon Sutjatmoko hanya sedang
menganalisa. Transkip lembar DNA yang dikirim melalui email
yang ditujukan untuknya, sudah merupakan sebuah tanda. Ada
yang tidak beres dengan keberadaan anak perempuannya itu.
“Siapapun suami dari anak perempuan Pak Sanusi, saya yakin
mereka menikah dengan sangat tertutup.”

Analisa dari Gideon Sutjatmoko, buat Harun meremang.Demi

Tuhan, ia sudah tak tahan lagi.

Jadi, sebelum dirinya nekat menggebrak meja, ia langsung


berdiri.

Dan bersamaan dengan itu, jawaban yang dilempar Sanusi,


seketika saja buat Harun ingin sekali menerjang laki-laki tua
itu.
“Suami dari putri saya, sudah meninggal.”

Shit!

Bangsat!

Harun pun mengumpat!Astaga, Sanusi sialan!

***

“Suami dari putri saya, sudah meninggal.”

Nyala melotot.

Tangannya tanpa sadar meremas ujung lengan kemeja dari


ayah kandungnya tersebut.

Apa-apaan?

“Pak?” cicitnya karena terkejut. Matanya langsung berkaca-


kaca, kepalanya menggeleng pelan, seolah tak terima dengan
pengumuman itu.

Suaminya masih hidup.

Demi Tuhan, Harun Dierja masih ada di dunia ini.

Namun tampaknya, Sanusi Wijaya tidak terpengaruh sedikit


pun pada raut sang anak. Buktinya, ia terus melanjutkan.
“Suaminya sudah meninggal. Makanya, beberapa kali dia
memang terlihat bersama saya tanpa didampingi oleh
suaminya.”

Kepala Nyala sontak dihantam pusing.

Ia menghela napas, dan merasa tak sanggup untuk berada di


sini lebih lama.

Haruskah ia pura-pura pingsan saja? Sepertinya, acara akan

jadi lebih menarik. Sumpah, Nyala benar-benar tidak tahan.

“Menantu kami memang sudah meninggal,” Inggridmenimpali.


Tatapnya berubah teduh ketika memandang Nyala. “Maka dari
itu, kami semua sangat menyesal dengan berita bohong yang
beredar,” ungkapnya dengan mimik wajah benar-benar
terguncang.

“Jadi, sekali lagi saya ingin menjelaskan bahwa berita yang


beredar mengenai saya tidak benar,” Sanusi mengulangnya lagi.
“Wanita yang mereka isukan sebagai selingkuhan saya, adalah
anak kandung saya. Saya memiliki bukti, bahwa Nyala
merupakan putri kandung saya,” kemudian ia mengerling pada
asistennya untuk membawa dua amplop yang sudah mereka
persiapkan. “Kamera boleh mendekat,” perintahnya agar lensa
tersebut dapat menangkap dengan jelas transkip dari data yang
berada di kertas. “Ini adalah hasil tes DNA.”
“Kami hanya ingin mengimbau, untuk para penyebar kabar
palsu, agar berhati-hati,” Farid menuangkan beberapa poin
yang memang harus ia sampaikan. “Kami akan menindak tegas
terhadap kabar-kabar palsu yang beredar di masyarakat.
Pengacara keluarga kami, juga sudah siap melaporkan
permasalahan ini kepada pihak kepolisian,” tuturnya dengan
ekspresi keras. Karena terang saja, permasalahan ini benar-
benar merepotkannya. “Kami tidak akan pandang bulu pada
siapa pun yang berusaha merusak ataupun memfitnah anggota
keluarga kami.”

“Apa sudah ada nama yang dicurigai, Pak? Dan apakah orang
itu merupakan lawan politik? Mengingat berita sebelumnya
juga sempat menyeret nama ketua umum partai Nusantara
Jaya, sekaligus calon Wakil Presiden dari koalisi Lanjutkan
Perjuangan, yaitu, Bapak Harun Dierja Aminoto.”

“Untuk masalah itu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada


pengacara keluarga kami,” jawab Farid lugas. “Yang jelas, siapa
pun orangnya, dia harus dihukum.”

“Terakhir, Pak. Kenapa Mbak Nyala Sabitah ini, tidak


terekspose sebelumnya?”

Sesuai perkataan Farid sebelum mereka semua berangkat,


tidak akan ada yang menyebutkan asal-usul Nyala. Semua
sudah disepakati. Beberapa keyword di sosial media juga akan
di blokir. Hingga, tidak ada yang bisa mencari tahu lebih banyak
mengenai asal usul Nyala Sabitah. Mungkin, beberapa teman
atau orang-orang yang mengenal Nyala akan bermunculan.
Tetapi, hal itu tidak akan dipermasalahkan. Ia memiliki orang-
orang kepercayaan yang dapat menghilangkan sebuah akun
atau postingan dengan mudah.

“Mungkin, pertanyaan terakhir tadi akan dijawab oleh adik


perempuan kami langsung,” senyum Farid terbit walau kecil.
“Ayo, Nyala, jawab pertanyaan terakhir mereka,” suaranya
terdengar bercanda. Tetapi percayalah, Farid pun
menginginkan agar acara ini segera berakhir.

Nyala paham arti tatapan itu. Tetapi masalahnya, lidahnya kelu.

“Kita bisa mengakhirinya segera Nyala,” bisik Hadi di


sebelah.

Mendengar itu, Nyala menelan ludah.

Matanya menelisik tepat ke arah lensa kamera yang


membidiknya.

Benar.

Ia teramat lelah untuk hari ini.


Ia sungguh-sungguh menginginkan hal ini berakhir segera.

Jadi, dengan sisa-sisa kekuatan, ia pun menarik napas


panjang.

Siap mengarang.Siap ikut terbang.

“Saya ingin memiliki kehidupan sendiri,” ungkapnya sambil


membasahi bibir. “Sebuah kehidupan yang jauh dari bayang-
bayang nama Wijaya,” padahal betapa dulu ia pernah berharap
memiliki nama belakang itu. Ia pernah menunggu pengakuan
dari ayahnya tersebut. Lalu mengentasnya dalam kehidupan
menyesakkan bersama ibunya. “Maka, saya memilih
menjauhkan diri.”

Dusta telah terangkai apik.

Jejak digital akan menggores sejarahnya.

Semua yang telah terucap tak akan pernah bisa ditarik


kembali.

Dan, ya, inilah kehidupan.

Entah bagaimana masa depan nanti berjalan, mungkin


suatusaat mereka akan panen hujatan.

Tetapi, apa hal itu akan berpengaruh pada raksasa dariTimur,


seperti Widjaja family?
Tentu saja, tidak.

***

Ternyata, Farid tidak mengatakan omong kosong. Tepat setelah

ucapannya barusan, kediaman Hassan


Aminoto dibuat geger oleh email resmi yang dikirimkan oleh
tim pengacara Widjaja Group ke alamat surel resmi sekretariat
keluarga Aminoto.

Dan isinya tidak main-main.

Mereka melampirkan bukti mengenai keterlibatan Dewi


Gayatri dalam menyebarkan berita bohong mengenai anggota
keluarga Wijaya. Dalam kasus ini, tentulah tentang Sanusi
Wijaya dan juga anak perempuannya, Nyala Sabitah.

Untuk itu, tim pengacara Widjaja Group ingin membuat


kesepakatan. Dan bila kesepakatan tersebut tidak dapat
dipenuhi, maka semua bukti yang mereka miliki akan segera
diserahkan pada pihak berwajib supaya dapat diproses hukum.

Hal yang tentu saja membuat Dewi Gayatri meradang kian tak
terkendali.

Berani-beraninya Sanusi mengancamnya. Iya, karena

perempuan itu.
Nyala Sabitah. Istri dari putranya. Cih!

Berani-beraninya ….

“Ini akibatnya, bila kamu selalu ingin bertindak sesuka


hatimu!”

Dewi Gayatri yang tadi meradang karena ancaman Sanusi,


mendadak langsung terserang keterkejutan mendengar
amarah suaminya yang meledak tiba-tiba. “Ada apa, Pa?” ia
memang berada di ruang kerjanya ketika email tersebut
diterima oleh sekretarisnya. Sambil menonton siaran itu tentu
saja. Dan tiba-tiba, suaminya membuka kasar pintu ruang
kerjanya. “Kenapa Papa datang-datang marah seperti ini?”

Belakangan ini, kondisi kesehatan Hassan Aminoto


memburuk. Ia semakin sulit untuk berjalan tanpamenggunakan
alat bantu. Dalam hal ini, tongkat berjalan. Namun, hal tersebut
tidak menyurutkan niatnya untuk segera mendatangi istrinya
yang berada di lantai dua, sementara sebelumnya ia berada di
kamar mereka di lantai satu. “Kusno Aji meminta ganti rugi.”

“Atas apa?”
Hassan tampak sangat geram saat ini. “Sanusi berencana
menarik dana taktisnya kepada Kusno Aji. Karena sekarang ini,
Sanusi merasa sudah tidak memiliki lagi rahasia yang harus dia
tutupi. Selain, malam Rakernas itu. Maka dari itu, perjanjian
mereka akan direvisi.”

Bukannya menyesal, Dewi Gayatri justru semakin marah.


Sanusi Wijaya dan anak haramnya itu, benar-benar
mengacaukan hidupnya. “Lalu?” ia masih angkuh. Sebab, ia
merasa bahwa keadaan ini masih dapat dikendalikan.

“Lalu?!” Hassan Aminoto meninggikan suara demi mencerca


pertanyaan istrinya itu. “Mereka tahu kalau kamu yang
membuat berita itu, Ma,” ujarnya geram. “Kamu justru
menjerumuskan karir Harun.”

“Dan barusan, kita menerima email resmi dari tim pengacara


Widjaja Group, Pak,” sekretaris Dewi Gayatri membuka
kenyataan. “Ancaman Pak Farid ketika konferensi pers tadi
benar-benar direalisasikan. Mereka sudah memiliki bukti,
bahwa informasi tersebut berasal dari kita.”

Hassan Aminoto tak mampu berkata-kata setelah


mendengarkan penjelasan tadi.

Astaga ….

Masalahnya benar-benar seseriun ini.


“Ma!” membentak Dewi Gayatri untuk pertama kali, Hassan
Aminoto melangkah dengan berang mendekati sang istri yang
masih saja duduk tanpa rasa bersalah di kursinya. “Lihat ‘kan,
Ma?!”

“Masih bisa diurus,” Dewi Gayatri berdeham singkat. “Papa


tenang saja,” ucapnya dengan nada yang malah terdengar ragu.

Menggeleng tak percaya pada keangkuhan istrinya yang


semakin tak masuk akal, Hassan Aminoto menggertakkan
giginya. “Oke,” nada suaranya terdengar lelah. “Mama yang
urus,” ia serahkan saja pada sang istri. “Karena Mama yang
sudah melakukan keteledoran ini. Tapi, jangan pernah
membawa-bawa nama Mas Harun. Dan pastikan, nama Mas
Harun tidak akan terseret pada apa pun yang Mama kerjakan.”

Ketenangan palsu yang diperlihatkan Dewi Gayatri dihadapan


sang suami langsung luruh begitu sosok itu telah keluar dari
ruang kerjanya. Ia sontak memejam dengan tangan terkepal.
“Bagaimana mungkin situasinya bisa seperti ini?” gumamnya
sambil memegangi kepala yang mendadak pusing. “Panggil
semuanya,” perintahnya tanpa membuka mata. “Balas email itu
segera. Tanya, apa mau mereka sebenarnya.”
Intinya, koalisi pemenangan Kusno Aji dan Harun Dierja tidak
lagi solid.

Terlalu banyak rahasia yang akhirnya terkuak.

***

DUA PULUH LIMA

Nyala tidak tahu apa yang terjadi di sosial media, begitu


konferensi pers tersebut selesai ditayangkan. Ponselnya tidak
ada di tangan. Bertanya pada anggota keluarga barunya, ia
begitu segan. Walhasil, ia menelan rasa penasaran tersebut
diam-diam. Tubuhnya yang letih, telah berganti pakaian.
Pinggangnya yang terus menerus pegal sedari tadi, kini telah ia
sandarkan. Ia mencoba melemaskan perutnya yang berulang
kali terasa kram hari ini.

“Kamu kenapa?” tangannya menyapu lembut permukaan


perutnya yang bundar. Mencoba berbicara pada bayinya. Kedua
kakinya terjulur lurus di atas ranjang. Pelan-pelan, matanya
memejam. “Jangan sakit-sakit, please,” ibanya untuk
keadaannya saat ini. “Aku nggak tahu mau minta tolong sama
siapa kalau kamu sakit,” tuturnya menjelaskan. “Nggak ada
Siska sama Denny yang bisa nelponin bapakmu kalau kamu lagi
ngambek gini. Tenang, ya?”
Entah kenapa, justru Nyala yang menangis.
Air mata berjatuhan di pipi dan ia malah terisak.

“Aku juga nggak tahu, ke depannya kita harus gimana,” ia peluk


perutnya dengan perasaan pedih. “Aku nggak tahu harus
gimana nyambut kelahiran kamu nanti,” bisiknya menyayat
hati. Masa depan semakin abu-abu setelah ini. “Aku juga nggak
tahu, apa yang harus kujelaskan ke kamu suatu hari nanti.
Semuanya nggak pasti, Nak. Semuanya terasa makin
menakutkan.”

Jujur, Nyala masih merasakan itu.

Diam-diam, jiwanya masih menggigil ketakutan. Ia merasakan


ribuan kecemasan tiada henti. Bohong jika ia merasa dapat
menanggung semua sendirian. Karena jujur saja, Nyala
membutuhkan pegangan. Harun Dierja memang tidak setiap
hari bersamanya, tetapi entah kenapa Nyala selalu yakin bahwa
pria itu pasti pulang. Namun, sekarang dirinya yang tak akan
ditemukan. Hal itulah yang buatnya kacau seharian.

“Bapakmu lagi ngapain, ya?” isaknya melantun pedih. “Kamu


kangen ‘kan sama bapakmu? Sama,” Nyala menggigit bibirnya.
“Aku juga kangen sama dia,” entah kenapa rasanya makin
menyedihkan sekarang ini. “Kira-kira, Bapakmu nyariin kita
nggak, ya?”

Nyala tidak tahu saja bahwa Harun nyaris gila karena tak
dapat menemukannya di mana-mana.

Larut dalam tangis, tak membuatnya abai pada keadaan di


sekeliling. Sebaliknya, Nyala menjadi lebih awas. Maka, saat
pintu kamarnya diketuk dari luar, Nyala langsung mendengar.
Ia buru-buru menghapus air mata. Kemudian, menarik
bedcover untuk menutupi perutnya, sebelum kemudian ia
menyerukan pada siapa pun yang berada di sana untuk masuk.

Ia nyaris melompat dari ranjang begitu yang terlihat di sana


adalah Inggrid Caturangga. Di belakang wanita itu, ada
asprinya—Susan—yang tadi mendandani Nyala agar tidak
mengecewakan saat tampil di depan televisi.

“Bu,” ia menurunkan kedua kakinya dari ranjang. Tak lupa,


memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.

“Saya bukan Ratu. Kamu nggak perlu bersikap seperti itu,”


cegah Inggrid ketika membaca gerak-gerik Nyala yang hendak
turun dari ranjang itu. “Duduk saja. Saya mau bicara sebentar.”

Nyala langsung meringis kecil. Ia memilih duduk di tepi dengan


sebelah tangan menyanggah di ranjang. Sungguh, pinggangnya
sangat pegal.

“Sudah berapa bulan kandungan kamu?” Inggrid duduk saat


sebuah kursi di angkat ke dekatnya oleh sang aspri. “Saya
melihat kamu terus meringis sedari tadi. Apa sudah
mendekati HPL?”

Pertanyaan itu mau tak mau membuat Nyala mengerjap. Wajah


sungkannya, kini terlihat kebingungan. “Minggu depan baru
delapan bulan, Bu,” jawabnya segan.

Inggrid hanya mengangguk. “Saya akan kembali ke Makassar


besok. Tapi, Farid akan berada di sini untuk dua hari ke depan.
Setelah ini, mungkin ada beberapa asset milik papakamu yang
akan menjadi milik kamu. Kamu hanya berhakmenerima aset-
aset pribadi milik papa kamu. Kamu nggak berhak atas apa pun
yang berada dalam jangkauan perusahaan.”

Sumpah, Nyala tak menginginkan semua itu. Bahkan sekarang


ini, ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. “Saya boleh
bertanya, Bu?”

Inggrid mengangguk. “Silakan.”

“Setelah pengakuan ini, apa yang nanti akan terjadi pada saya,
Bu?”

Nyala bisa merasakan bahwa istri dari ayah kandungnya itu


tidak jahat. Walau tidak berlaku hangat, tetapi setidaknya
wanita tersebut tidak menghardiknya. Buktinya, wanita yang
sudah memiliki empat anak itu, belum pernah sekalipun
mencercanya sebagai anak haram. Justru, ibu Inggrid ini
selalu menggunakan kata “papa kamu” untuk menyebutkan
sosok Sanusi Wijaya dihadapannya. Tidak seperti ibu dari
suaminya, yang menyatakan dengan terus terang mengenai
statusnya yang lahir di luar pernikahan.

“Setelah saya diakui sebagai anaknya Bapak, selanjutnya apa


yang akan terjadi pada saya, Bu?” ulang Nyala meminta
kepastian.

Inggrid tak segera menjawabnya. Sebagai gantinya, ia tatap


anak tersebut lamat-lamat. “Mungkin, pertama-tama kamu
harus memanggilnya dengan sebutan papa,” ujarnya santai.

Nyala meneguk ludahnya. Tak percaya pada apa yang ia dengar.


“Ma—maksudnya, pada Pak Sanusi, Bu?” cicitnya tak yakin.

Namun anggukan yang diberikan Inggrid begitu tegas. “Iya,”


sahutnya. “Dan setelah itu apa lagi, ya?” ia mencoba berpikir.
Hm, mungkin kamu akan memiliki rekening koran atas nama
kamu. Beberapa properti, ya, mungkin mobil, rumah,” ia angkat
bahu dengan santai.

“Lalu, bagaimana dengan kehidupan saya, Bu?”

“Kehidupan kamu?” Inggrid mengerut turut bingung. “Nggak


ada yang berubah. Selama kamu masih mengandung bayi
Harun Dierja, sepertinya status kamu masih sama saja,”
ujarnya terus terang. Bukannya kejam, tetapi seperti itulah
kenyataan. “Kamu mungkin bukan lagi rahasia. Tapi
keberadaan kamu masih harus disembunyikan.”

“Berarti, nggak ada perbedaan untuk saya ‘kan, Bu?”

“Ada,” sahut Inggrid dengan yakin. “Semula, kamu adalah


Rapunzel yang keberadaannya harus dirahasiakan di menara
tinggi. Tapi sekarang, kamu merupakan Aurora yang harus
bersembunyi dari kejaran takdir kejam,” dengkusnya berupa
candaan. Namun kemudian, Inggrid Caturangga menariknapas
panjang. “Kalau kamu mau, kamu boleh ikut saya ke Makassar.
Kamu bisa lahirkan bayi kamu di sana. Bila tidak ingin satu
rumah dengan saya, kita bisa mencarikan hunian yang buat
kamu nyaman. Tidak masalah. Kalau kamu kesepian, hire
banyak ART di sana. Sekarang ini, saya melakukan itu. Saya
tinggal dengan delapan ART, lain dengan supir dan tukang
kebun. Anak-anak saya sudah memiliki rumah masing-
masing.”

Jantung Nyala berdentam.

Ia teguk ludah seolah tak percaya pada apa yang ia dengar.

“Setelah Pemilu ini berakhir, papa kamu pun akan kembali ke


Makassar. Yang akan ada di sini hanya Hadi dan juga Inka.
Selebihnya, kami semua berada di sana.”

Tawaran itu menggiurkan.


Bayangan memiliki keluarga yang memuat ayah dan ibu sebagai
porosnya, buat jiwa Nyala meneriakkan keinginan. Namun,
tendangan pelan yang berasal dari perutnya, kontan
menyadarkan Nyala dari impian yang diam-diam masih
mengendap di dasar relung terdalam.

Perlahan, ia kembali menjatuhkan pandangan pada perut


bundarnya. Tangannya mengusap bagian itu. Sembari
menghela dengan napas panjang.

“Tapi, suami saya ada di sini, Bu,” Nyala menolaknya. “Dan


beliau berjanji untuk menemani saya melahirkan bayi kami,”
senyum Nyala terpatri sendu. Tangannya terus membelai
perutnya, seolah meminta ketenangan dari bayi yangbermukim
di sana. “Jadi, saya di sini saja, Bu. Saya masihmenunggu suami
saya,” bisiknya penuh kesedihan. Hingga perlahan-lahan, air
mata yang tadi sempat ia tepikan, kembali menampakkan
wujud. Melintasi pipi, membanjiri kelopaknya. “Suami saya
masih hidup, Bu,” ia ingat pada pernyataan yang dilakukan oleh
ayah kandungnya tadi. “Kenapa Bapak sama Ibu harus
mengatakan itu?”

“Bukannya kalian akan bercerai setelah bayi itu lahir?”

Memang.

Seperti itulah perjanjian di awal pernikahan.


“Jadi, dibanding mengumumkan perceraian. Lebih baik,
langsung menyebutnya tidak ada sekalian. Supaya tidak ada
yang bertanya-tanya, sosok mantan suami kamu di masa
depan.”

Lalu terdengar keributan dari luar.

Pintu kamar yang tak tertutup, membuat mereka yang berada


di dalam tentu saja mendengar keriuhan yang tiba- tiba itu.

“Ada apa?” Inggrid melihat suaminya melintas. Dan ia


segeramenghentikan lelaki itu. “Kenapa, Pap?”

“Harun Dierja datang,” decih Sanusi sinis. “Ck, anak


itu
memang merepotkan.”

Namun, Nyala justru kesenangan.Hingga ia kontan

bangkit dari ranjang.

Mengabaikan sakit di pinggang, Nyala meringis mengelus


perutnya yang lagi-lagi merasa kram.

“Bapakmu datang.”

Mengabaikan rasa tak nyaman, Nyala melangkah perlahan.

Air mata yang menetes merupakan luap dari sebuahkelegaan


yang sedari tadi ia tahan.

Ya, Tuhan … ia menginginkan suaminya.


Tolong, biarkan pria itu membawanya pulang.

***

Harun memang tidak memiliki akses untuk memasuki


Townhouse Regency di hadapannya ini. Namun, mertua dari
adik perempuannya, tinggal di komplek elit ini. Setelah
mengonfirmasi kunjungan sebagai tamu dari dokter Yusril
Mahendra, Harun baru diperkenankan masuk.

Rafael berhasil melacak keberadaan Nyala.

Sebenarnya, Harun sudah tidak sabar untuk menjemputistrinya


sewaktu masih berada di hotel. Namun, Putra tak setuju dengan
kenekatannya itu. Asisten pribadinya bersikeras bahwa
keadaan sedang genting. Ada surel resmi yang dikirim oleh
pengacara keluarga Wijaya pada kedua orangtuanya. Dan berita
yang tertera dalam surel tersebut merupakan bukti keterlibatan
sang ibu pada penyebaran berita palsu yang terlanjur merebak.

Farid Wijaya, lebih gila dari Sanusi Wijaya.

Bila Sanusi saja tak mampu Harun kejar, maka bagaimana ia


bisa menghadapi Farid Wijaya?

Makanya, ia membiarkan mereka membawa istrinya dengan


jaminan bahwa Rafael tahu di mana Nyala disembunyikan
darinya.
“Yang mana rumahnya?”

Sudah jam sebelas malam dan mereka masih mengintai rumah


orang.

“Di sana, Pak,” Rafael sudah berada di dalam mobil yang sama
dengan sang atasan. “Menurut informasi dari supir pribadi
dokter Yusril, rumah Sanusi Wijaya berada tidak jauh dari
rumah dokter Yusril.”

“Tabrak saja nanti pagarnya, bila mereka tidak mau


membukanya,” perintah Harun sungguh-sungguh. “Saya
nggak peduli dengan Farid atau pun yang lainnya. Saya hanya
ingin menjemput istri saya,” ucapnya mutlak.

Makanya, ia memilih mengendarai Alphardnya malam ini.


Alasan utamanya adalah untuk memberikan istrinya kenyaman
saat ia jemput nanti. Sementara alasan lainnya, mobil ini
memang cukup kuat untuk ditabrakan pada pagar- pagar tinggi
yang mengelilingi tiap hunian di komplek ini.

Karena Harun yakin betul, Sanusi Wijaya tentu tidak akan


menerima kunjungannya dengan senang hati. Di lingkup DPP,
mereka adalah rekan politisi. Secara struktural, jabatan Harun
memang lebih tinggi dari Sanusi. Tetapi di luar itu, mereka tak
lebih dari dua manusia yang ditakdirkan untuk saling
membenci.
“Tabrak Saja, Mus,” ia memberi perintah pada supirnya,
Musa. Sebab, klakson yang mereka bunyikan tidak diberi
tanggapan. Padahal, ada pos penjaga di depan. “Ck, tabraksaja!”
Harun mulai kehilangan kesabaran.

“Kalau kita menabrak pagar ini dan mobil kemudian rusak,


kita harus membawa Mbak Nyala menggunakan kendaraanapa,
Pak?” dengan kesabaran yang sudah sama-sama tipis, Putra
pun mencoba menyadarkan atasannya yang sudahseperti orang
kesetanan. “Sementara, Bapak tahu betul, akses memasuki
tempat ini sangat ketat. Kita tidak bisa menyuruh orang untuk
menjemput kita, Pak,” Putra memberi penjelasan logis di antara
carut marutnya kekacauan hari ini. “Sabar sedikit lagi, Pak.”

Tapi, maaf, Harun tak bisa melakukannya.

Jadi, dengan kesadaran penuh, ia lepas seatbelt. “Buka


pintunya, Mus,” perintahnya dengan nada dingin menakutkan.

“Pak—“

“Jangan ikut campur, Putra,” serunya tegas. “Kamu melarang


saya untuk menabrak pagar itu. Jadi, jangan halangi saya untuk
turun dari mobil ini,” lirik matanya terlihat benar-benar
menakutkan. “Buka pintunya sekarang!”

Bila sudah begini, Putra tak akan mampu melerai. Walau ia pun
sangat lelah, namun dedikasinya untuk nama baik sang
atasan berada di atas segalanya. Jadi, setelah memberi kode
pada supir mereka untuk membuka door locknya, ia pun
melepas seatbelt yang membelit tubuh. Dan setelah itu, ia
mengikuti atasannya membuka pintu.

“Hubungi asisten Sanusi. Saya tidak masalah membuat


keributan yang lebih dari ini,” begitu menapakkan kakinya di
tanah Harun kembali memberi perintah pada Putra. “Saya
sudah sangat lelah bermain petak umpet begini,” dengkus
Harun sambil menyugar rambut. “Minta Musa terus
membunyikan klakson. Biar saja bila penghuni lainnya
terganggu.”

Kali ini, Putra bertukar lirikkan dengan Rafael.

Dan kemudian, masing-masing mulai melaksanakan tugas.

“Cepat, Putra!”

Putra memejamkan mata, ia bahkan masih mencari nomor


kontak asisten pribadi Sanusi Wijaya di ponselnya. Tetapi
atasannya itu, sudah kembali berteriak. Mengabaikan
ketidaksabaran Harun Dierja yang luar biasa menguras
emosinya hari ini, Putra pun menempelkan ponsel ke telinga
tanpa berkata apa-apa.

“Bagaimana, Raf?! “Sebentar, Pak.”


“Panjat saja, Raf!” perintahnya kembali meledak-ledak.

Dengan kedua tangan berada di saku celana, Harunmengawasi


pagar tinggi yang tertutup rapat itu dengan rahang mengerat.
Kemudian mengerling demi memastikan bawahannya
mengerjakan semua perintahnya. Musa membuat keributan
lewat klakson yang terus dibunyikan. Sementara Putra,
meneror lewat panggilan. Dan Rafael, sedang mencari celah
pada pagar agar bisa dipanjat.

Tetapi rasanya, Harun sudah nyaris meledak.

Harun tidak membawa banyak ajudan masuk ke dalam, karena


hal itu akan membuat petugas keamanan yang menjaga portal
tadi menaruh curiga. Namun, sudah ada dua mobil yang
menunggu mereka tak jauh dari gerbang portal. Bila
keadaannya memang tak lagi memungkinkan untuk bersikap
santun. Harun tak segan memerintahkan mereka semua tuk
menerobos masuk dan bersama-sama membuat keributan.

“Masuk ke mobil, Pak,” Rafael melangkah mundur mendekati


sang atasan. “Ada yang datang,” ucapnya memberitahu.

“Nanti saja,” Harun menolak.

Hingga tak berselang lama, gerbang itu pun akhirnya terbuka.


Memperlihatkan halaman luas yang bermandi
cahaya dari lampu-lampu jalan yang terpasang menuju
bangunan utama.

“Silakan masuk, Pak,” pria berseragam security itu


mempersilakan mereka. “Pak Sanusi dan Pak Farid sudah
menunggu.”

Harun masuk ke dalam dengan mengendaraii mobil. Dan begitu


tiba di sana, ia disambut oleh Farid Wijaya yang sepertinya
sengaja menunggunya di teras.

“Kamu agak mengecewakan, ya? Cara masukmu kampungan,”


ejek Farid sinis.

“Well, istri saya diculik. Saya hanya berniat menjemputnya


segera. Maaf saja, kalau saya tidak menggunakan cara keren
yang membuat kamu terkesan,” sindiran itu berbalas.

Hm,” Farid pura-pura berpikir. “Ah, istri kamu itu adik baru
saya, ya?” ia tergelak penuh cemooh. “Sayang sekali, papa saya
tadi bilang, kalau suaminya sudah meninggal.”

“Berengsek!” maki Harun yang sudah benar-benar kehilangan


kesabaran. Ia merangsek maju berusaha tuk menerjang Farid
Wijaya. Namun usahanya itu urung dilakukan ketika suara
teriakan terdengar dari dalam.

Apa? Ada apa?


Dan bayangan istrinya yang jatuh pingsan justru terbayang
dalam ingatan.

Hal yang kemudian membuat Harun memilih berlari masukke


dalam.

“Nyala!”

Tidak ada yang jatuh pingsan seperti yang tadi ia takutkan.

Sebuah guci berukuran besar, tergeletak dengan kepingan


keramiknya yang berhamburan.

“Nyala?!”

Dan wanita yang dicarinya berada tak jauh dari pecahan guci
tersebut. Tampak ketakutan dengan air mata yang menetes
berjatuhan. Kedua tangan wanita itu memeluk perut buncitnya
dengan kepayahan. Kemudian matanya terlihat melebar, begitu
melihat dirinya melangkah semakin dalam.

“Ba—Bapak,” bibir Nyala bergetar lirih.

“Di situ saja,” Harun tidak membiarkan wanita itu berlari ke


arahnya. Karena dirinyalah yang akan menghampiri istrinya
itu.

“Sa—saya nggak sengaja, Pak,” setelah Harun berada di


dekatnya, Nyala segera mengadukan perbuatannya. “Saya
nggak sengaja, Pak.” Ia begitu terburu-buru hingga tak
memperhatikan guci keramik itu tersenggol lengannya.

“Nggak masalah. Saya akan menggantinya. Nggak apa-apa.


Yang penting, kamu baik-baik saja ‘kan?” Harun meneliti tubuh
istrinya terlebih secara menyeluruh. Setelah memastikan tidak
ada goresan luka di kulit Nyala, barulah ia menghela lega. Ia
membawa wanita itu ke dalam peluknya. Membaui aromanya,
kemudian menutup mata. “Saya bersumpah, tidak akan pernah
menjadikan Sanusi sebagai menteri,” ungkapnya menyuarakan
kekesalan.

Tuhan tahu, bagaimana Harun nyaris gila mencari istrinya.

Dua kali.

Ya, sudah dua kali, ia kelimpungan mencari keberadaanNyala


yang mendadak tak ada dalam radar teramannya.

Dan dua kali itu juga, Harun merasa ia bisa gila kapan

saja.Lalu, bisakah setelah ini mereka berpisah secara suka

rela?

Di saat Harun tahu betul, hatinya menginginkan Nyala


tinggal di sisinya selamanya.

Ya, Tuhan … tolong, buat semua mudah.

“Saya tidak terima dikatakan sudah meninggal dunia,”


mendadak saja Harun merasa kesal pada pernyataan Sanusi
tadi.
Enak saja ia dinyatakan mati.

Ngomong-ngomong, ke mana orang itu?Kenapa tidak

menampakkan diri?

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Dua
Puluh Enam - Dua Puluh Tujuh ·
Karyakarsa

DUA PULUH ENAM

Terkadang, kita melangkah terlalu jauh dalam pemikiran.


Hingga lupa, bahwa takdir yang sudah tertulis demikian. Jatuh
ketika melepas bayangan, padahal kita tahu cinta tak selamanya
sejalan.

Mayang tengah mengganti pakaian di ruang ganti selepas


memandu VIP terakhirnya hari ini. Sesaat kemudian,
ponselnya berbunyi nyaring. Merasa malas mengangkat
panggilan dari kakak laki-lakinya, Mayang membiarkan
panggilan tersebut berakhir. Namun sepertinya, Bagus
memiliki mental seorang pejuang. Sebab, setelah itu Bagus
kembali menghubunginya.

“Siapa sih, May? Pinjol?” Jeslyn—salah seorang rekan


caddynya berkomentar karena Mayang terlihat mencebik
begitu menatap layar ponselnya. “Paylater nunggak?”

“Iyuuh, sorry, ya, Beb, gue nggak butuh paylater selama kita
masih punya Daddy later,” kekehnya dengan gemas. “Abang
gue,” Mayang akhirnya meraih ponsel dan memperlihatkan
layarnya yang berkedip pada Jeslyn. “Dia mau nyaleg jadi
membernya para Senayaners. Cuma, duitnya pas-pasan.
Ck, nggak tahu malu banget dia, mau bersaing sama para
pemegang hirarki yang nggak pernah lengser,” cebiknya lalu
memutuskan mereject panggilan Bagus. “Yuk, ninetyfour, yuk?
Ownernya ‘kan, baru ngunjungi kita. Kita kasih kunjungan
balasan dong,” ia kedipkan sebelah mata seraya melenggang
dari ruang ganti. “Suka nggak kuat, ya, bad boy yang
menantang? Megantara, juga, bisa dong kita bungkus selain
ownernya.”

“Produk Hartala emang nggak ada yang gagal,” timpal Jeslyn


yang mensejajarkan langkahnya dengan Mayang. “Minta
banget pagi-pagi begitu bangun tidur, kita disadarkan
ternyata kita salah satu anak rekan bisnisnya. Ya, dijodohin
sama yang mana aja gue mau.”

“Gue kalau lihat cucu-cucunya yang cewek suka insecure,”


timpal Mayang mengakui betapa rupawannya garis keturunan
para pewaris. Bukan perintis, sepertinya dirinya ini. “Kifana
tuh, beeuuh, cantik gila.”

“Lyra juga sih. Tapi, sombongnya selevel Hurem deh


kayaknya.”
Kemudian mereka tertawa bersama.
Hingga begitu kaki-kaki mereka melangkah menuju lobi yang
mulai sepi, kening Mayang seketika mengerut begitu mendapati
beberapa tamu serta rekan-rekan caddy yang belum pulang,
tampak begitu serius menatap plasma besar televisi.

“Namanya, Nyala Sabitah Wijaya.”

Heh?!

Siapa itu, yang bicara?!

Mayang seketika saja menancapkan atensi pada layar dataryang


tengah menjadi fokus utama orang-orang yang berada di sini.

“Dia adalah putri bungsu saya. Selama ini, dia memang


menginginkan kehidupan yang tidak biasa. Makanya, saya
menempatkannya sebagai karyawan di DPP Nusantara
Jaya, supaya dapat mengawasinya.”

Tunggu, Mayang perlu mengerjap.

Benar, sosok itu adalah kakak perempuannya.

Tetapi namanya hanya Nyala Sabitah. Tidak pernah ada nama


belakang seperti para pertalian darah pemilik dinasti.

Ya, hanya Nyala Sabitah.

Kenapa sekarang harus ditambah Wijaya?


Dan saat menyadari orang-orang yang duduk di sebelah
kakaknya, Mayang sontak menutup mulutnya.

“Gilak! Klan Wijaya!” pekiknya tanpa sadar.

“Tuh cewek yang kemarin viral dituduh simpenannya Pak


Sanusi Wijaya. Eh, ternyata doi anaknya.”

Mayang menoleh kaget, begitu Prisila alias Sisil datang


menjelaskan dari arah belakang. Yang Mayang ingat, Sisil
memang pamit terlebih dahulu dari mereka. Ternyata, Sisil
masih berada di lobi. “Itu sebenarnya ngapain, Sil?”
maksudnya jelas mengenai keberadaan Nyala dan keluarga
Wijaya di televisi. “Ada apa? Talk show? Kok gue nggak
denger kabarnya?” tuntutnya berapi-api.

Gila sekali Nyala ini!

Bisa-bisanya untuk berita sebesar ini, wanita itu tidak


mengabarinya.

“Pers conference,” Sisil mengangkat dagu menunjuk layar


plasma besar yang berada di lobi. “Dadakan banget kayaknya
deh. Udah gitu, cuma tayang di Citra tv. Mbak-mbak itu,
ternyata anaknya,” ia ulang kembali informasi sebab dirinya
sudah berdiri lebih lama di lobi ini dibanding dengan dua
temannya barusan. “Anaknya lagi nyamar jadi rakjel, deh.
Bisa-bisanya kerja jadi resepsionis di Nusantara Jaya.”
Kepala Mayang mendadak pusing.Apa-apaan sih?

Siapa yang berpura-pura menjadi rakyat jelata?Nyala?

“Suami dari putri saya, sudah meninggal.”

HEH???

Guoblok!

Siapa yang bilang itu?!

“Janda, Beb,” Jeslyn menatap layar penuh minat. Astaga, ini

sudah tidak benar.

Mungkin, Mayang memang pernah berkata pada mantan


kekasih kakaknya, kalau suami Nyala sudah meninggal. Tetapi,
ia tidak mengira bahwa bacotannya itu masuk dalam agenda
yang diutarakan oleh Sanusi Wijaya secara langsung.

Gila!

Harun Dierja Aminoto bisa panjang umur, bila terus menerus


disumpahi tiada.

Mayang memilih menyingkir dari teman-temannya. Kemudian,


mencari nomor kontak Nyala dan mencoba menghubunginya
walau gagal. “Ck, sialan banget nih si
Nyala,” gerutu Mayang kesal. Kemudian, ia mengalihkan
panggilan pada Bagus yang sedari tadi menghubunginya.
Sepertinya, Bagus ingin mengabarinya mengenai kemunculan
Nyala di televisi “Gus?”

“Apaan lo ngereject gue?” tuntut Bagus terdengar kesal.

Mengabaikan omelan itu, Mayang segera saja menanyakan


kabar yang baru saja dilihat dan didengarnya tersebut.
“Sebenernya kenapa sih sama Nyala, Gus?”

“Mana gue tahu! Gue telpon, nggak aktif!”

“Iya, sama. Hidupnya emang drama abis, ya, Gus? Tiba-tiba


hamil, tiba-tiba nikah sama Harun Dierja, dan sekarang tiba-
tiba diakuin jadi adeknya Farid Wijaya,” keluh Mayang tak
habis pikir. “Kenapa sih yang kaya raya cepet nikah?”

Heh, lu mah salfoknya sama si Farid doang!”

Garang, Gus. Ganteng banyak uang,” celetuk Mayang tanpa


berpikir. “Tipe gue banget. Istrinya nggak mau meninggal aja
gitu, ya, Gus? Atau selingkuh, kek. Biar gue yang ngerawat
luka batinnya,” Mayang menyugar rambut baiknya yang
berwarna hitam. “Tipe-tipe gue banget sih itu. Alisnya bikin
gue pengin nyisirin.”

“Jangan gila deh lo, May! Ini kita lagi mikirin Nyala yang
kurang kerjaan woy!”
“Oh iya,” Mayang langsung mengerjap. “Jadi gimana nih,
Gus? Nyala diakui sama bapaknya. Terus nanti kita gimana?
Bakal kebuka nggak sih, kalau kita juga saudaranya?”

“Kayaknya nggak sih, May. Tujuan Pak Sanusi ini buat


ngebersihin namanya aja. Noh, si Harun Dierja aja nggak
diakui. Ck, serius deh, ngeri banget hidupnya Nyala ini.
Udah diluar jangkauannya kita, May.”

“Lo nggak pengin ngaku-ngaku jadi sodara ‘kan, Gus?”

“Nggak minat.”

Sama.

Karena urusannya akan mengerikan.

Farid Wijaya, memiliki reputasi keras bila hal tersebut sudah


menyangkut lawan-lawan bisnisnya. Tak peduli bila anak
perusahaannya dituduh memenangkan tender karena campur
tangan Sanusi Wijaya di pemerintahan. Farid Wijaya
membungkam omongan-omongan nyinyir tersebut dengan
maha karya.

Bila keluarga Hartala dikenal publik dengan ketampanan


dan kecantikan para pewarisnya, maka keluarga Wijaya
benar-benar tertutup mengenai kehidupan para pewarisnya.
Mereka bergerak di belakang layar baik politik maupun
pemerintah. Membabat habis wilayah Timur dengan gurita
bisnisnya. Kemudian, memilih tak tersorot kamera. Dan satu
hal yang pasti, mereka sama berbahayanya dengan Hartala.

“Gue nggak mau deh nyari gara-gara,” sambung Bagus.


“Ya, kalau Nyala sekarang udah diakuin sama keluarga
bapaknya, ya, oke-oke aja, ya, May? Kita mah, kalau nanti
dia nelpon kita, angkat aja. Kalau dia ngabarin lahiran,
dateng. Gitu aja kali, ya, May? Lagian, lakinya juga
Aminoto. Kalau tadi lakinya cuma tukang ojek pengkolan,
bisa deh kita berhubungan.”

“Iya, sih,” Mayang mengangguk membenarkan. “Jadi, udah


nih kita gini aja?”

“Gini aja gimana?”

“Ya, pura-pura nggak sodaraan sama dia.”

“Ya, selama ini kita juga selalu begitu ‘kan? Ya, udahlah,
jalanin hidup masing-masing kayak biasanya aja.”

“Oke, deh,” Mayang mengembuskan napas. Walau ia masih


penasaran. Tetapi, Bagus juga tidak bias diharapkan. Andai bisa
menghubungi Nyala pun, hidup Nyala sudah terlalu banyak
rahasia. “Ya, udah, gue mau balik aja deh ke kosan,” mendadak
ia tak bersemangat untuk bersenang-senang.

“Hm, gue juga masih diskusi nih sama timses gue. Ya, udah,
bye!”
“Bye.”

Ya, segalanya tidak ada yang berubah.

Baik untuk Bagus, Mayang maupun Nyala sendiri.

Karena selama ini pun, mereka selalu melakukan segalanya


sendiri-sendiri. Mereka menjalani kehidupan yang mereka
inginkan. Jadi, mereka memang tak pernah bergantung satu
sama lainnya. Dan bila pada akhirnya Nyala diakui oleh
keluarga ayahnya, hal itu tidak berarti apa-apa bagi hubungan
persaudaraan mereka yang rumit.

Ya, sudah.

***

Tren untuk Anda

Sedang trend dalam topik IndonesiaNadia Omura

Entertainment. Populercipung

Junho.populer #LeeJunho Musik.populer

Petualangan Sherina 2
Sedang trend dalam topik IndonesiaWijaya

Politik.IndonediaSanusi Wijaya

Sedang trend dalam topik IndonesiaNyala Sabitah

Wijaya

Tampilkan lebih banyak

Jawabrlfes @jawabrlfes

Politik // Wijaya // Partai Nusantara JayaMemang

ya, dunia ini penuh kejutan.

Udah bukan dunia penuh tipu-tipu lagi, gaes.

Si mbak yang ramai-ramai dihujat waktu pagi, mendadak anak


konglo berdasi waktu bulan menyinari wkwkwk siapa yg
terkecoh?

[screenshoot video upload]

Potongan wawancaranya ada di kolom komentar gais

Jawabrlfes @jawabrlfes Video. Cr Citra Televisi

jenggerMerpati @Dikamuach
lo cakep, lo kaya, lo janda.Perfect.

Siapamaumain @Adamsusenbukanno

Sepanjang streaming, gue cuma fokus sama betapa


kemilaunya mbak Wijaya ini

Katanya FL di Nusantara Jaya, ya?

Apa gk ada tamunya yang mleyot disenyumin disepanjang


kunjungan?

Biawakberdasi @Gumilaradi

Kenyataan kalau dia janda, gk akan ngerubah fakta dia


anak Sanusi Wijaya

Sadar kalian para perayu mama muda.Mbaknya tak

terhingga Yudimaniakcinta @YudiArdiansyah Ibarat gini,

Wir.

Lo suka dia. Tapi dia anaknya Sanusi Wijaya.Biar janda. Lo

nggak bakal bisa nafkahi dia.

Karena gaji UMR lo gak sebanding sama skincarenya.

KatiyaNauli @Katiyanauli
Cowok-cowok yg komen pada salfok kalau mbaknya udahgk
pnya suami.

Nah, gue dong, salfok sama kehidupan yg dipilih mbaknya


selama ini.

Gila, dia milih kerja di FL biar bisa ngerasain gimana


rasanya jadi rakjel yg ngejar UMR, ya? Tolong, Mbaknya
bisa jadi inspirasi cipung di masa depan nih.

MarinaEliya @marina

Enaknya gini, Mbak.

Bapak lo yg punya Widjaja Group.

Kakak cowok lo yg ngebesarin Widjaja GroupNyokap lo ibu

peri di tanah Makassar

Dan lo, milih jadi FL?

Pliiss, Mbak, minimal ketum Nusantara Jaya kepincutdong.

Marimasgaksuka @Deriandurian

Emang dari awal fotonya juga udah janggal

Kalo doi selingkuhan atau bini kedua, kenapa tiap keluar


mobil hrs cemberut?

Terus, ketemuannya jg bukan di hotel atau apart.


Ini selalu dibasemen gedung pnya bapaknya yg
terbengkalai.

Wartawan yg nulis berita, apakabar ya, skrg?

Extrajosjambu @Lalilu

Auranya aja mahal.

The real anak sultan, ya, bukan sultan2 skincare viral

Hamilnya cakep.

Nobitasayangaku @Nobitasayang

Waktu difoto-foto itu aja, udah tahu betul mbaknya cakep

Nah, giliran ngelihat lgsg di tv, gue istighfar.

Gila, wktu mbaknya nyamar jdi rakyat jelata, pasti pernah


pesen ojol ‘kan?

Sial, beruntung bgt tuh ojol.

Giringcaprescapek @Ijalpakuwon

Yg lain fokus sm mbaknya. Kalo gue fokus ke kakak2


cowoknya.

Hadi Wijaya jubir KPK

Farid Wijaya CEO Widjaja Group


Ada juga Girsa Wijaya Presdir Bumi Timur Kontraktor
Inka Wijaya wktu nikah aja sulit bgt minta restukakak2nya
ini.

Lha, alm suami mbaknya, dulu gimana ngadepin calon


iparberpowernya ini?

LuhurbukanPanjatpinang @PutraSiregar Suaminya apa

nggak nyesel, ya, mati duluan?Yg ditinggal spek bidadari

gini.

***

CNM Indonesia.

[Headline News]

Sehubung dengan postingan media online kami


pada hari Rabu, yang ternyata memuat informasi
yang salah. Maka, kami seluruh jajaran Direksi CNM
Indonesia ingin menyampaikan permohonan maaf
kami yang sebesar-besarnya pada keluarga besar
Wijaya, dalam hal ini terkhususnya untuk Bapak
Sanusi Wijaya dan Ibu Nyala Sabitah Wijaya. Atas
kesalahan kami dalam menulis informasi terkait
hubungan antara Pak Sanusi dengan putri
kandungnya.
Dengan layangan somasi yang telah kami terima
dari pengacara Widjaja Group, kami siap diperiksa
secara hukum. Dan apabila kami terbukti bersalah,
kami dan seluruh jajaran Direksi CNM Indonesia
bersedia menerima hukuman sebagaimana yang
diatur oleh perundang-undangan negeri ini.

Sekali lagi, kami memohon maaf yang sebesar-


besarnya untuk keluarga besar Wijaya. Bapak Sanusi
Wijaya, juga Ibu Nyala Sabitah Wijaya.

Salam, CNM Indonesia

***

Narasi Media.

[Klarifikasi Jurnalis]

Atas nama pribadi dan juga perusahaan, saya,


Deswita Herlina, jurnalis Narasi Media, ingin
mengucapkan permohonan maaf yang sedalam-
dalamnya untuk Widjaja Group secara luas. Dan
pada Bapak Sanusi Wijaya bersama keluarga secara
spesifik.

Adapun permasalahan ini bermula, sejak saja yang


secara tidak sadar telah menuliskan berita yang tidak
benar yang menyangkut hubungan antara Bapak
Sanusi Wijaya dengan anak perempuannya,
yaitu, Ibu Nyala Sabitah Wijaya.

Saya selaku jurnalis Narasi Media, benar-benar sudah


ceroboh dengan menggiring opini publik hanya
berdasarkan foto-foto yang dikirimkan ke alamat
redaksi kami. Tanpa pendalaman terhadap
narasumber, saya segera menulis artikel yang sangat
keliru yang sudah merugikan banyak pihak.

Saya juga ingin meminta maaf pada seluruh kader


Partai Nusantara Jaya, yang karena artikel saya,
banyak masyarakat yang menghujat, dan berbicara
yang tidak baik mengenai partai tersebut.

Sehubungan dengan somasi yang saya terima, saya


bersedia dilaporkan kepada pihak yang berwajib
atas isi artikel yang yang buat dan terbitkan
tersebut. Untuk itu, sekali lagi saya ingin
mengucapkan permohonan maaf yang sedalam-
dalamnya pada semua pihak yang dirugikan.

Salam, jurnalis Narasi Media.

*** Instagram

Partai Nusantara Jaya

29.090 suka
PartaiNusantaraJaya sehubungan dengan berita yang
beredar mengenai ketua umum serta Sekjen partai kita
yang tidak benar. Para kader dihimbau agar tiidak
termakan berita hoax yang beredar. Para kader
diharapkan saling memercayai satu sama lain. Sehingga
hubungan antar kader dapat berjalan kian solid. Menjelang
pesta demokrasi yang semakin dekat, kita harus
bergandengan tangan semakin erat. Partai Nusantara
Jaya memiliki misi untuk menjadikan negeri ini semakin
baik.

Salam, Dewan Pengurus Partai.

Lihat semua 1.567 komentar

Herlambangsst Nusantara Jaya harus semakin jaya. Pak


Harun dan Pak Sanusi semakin jaya.

Rahmatsailendra semakin tinggi pohon, angin yg


berhembus semakin kencang. Salam perjuangan Pak Harun
dan Pak Sanusi.

Ranifransiska Nusantara Jaya pasti semakin solid. Kami


mendukung Pak Harun sepenuhnya.

***

DUA PULUH TUJUH


Kenyataan yang paling menyedihkan adalah ketika kita
menyadari bahwa kita telah jatuh hati pada seseorang yang tak
bisa dimiliki. Rasa ingin mencabut cinta yang terlanjur
mengakar dalam jiwa pun tak mudah. Perlu waktu dan banyak
usaha tuk menutup luka yang menganga di sana.
Sembuh dan pulih seperti sedia kala, tampaknya akan
berlangsung lama.

Harun sudah siap membawa Nyala pergi dari tempat


persembunyiannya, namun Sanusi Wijaya memang suka sekali
membuat gara-gara. Setelah menyatakan bahwa ia meninggal
dunia, kini si tua itu malah melarang Harun tuk membawa
istrinya.

“Agak terlambat mengakui anak sendiri setelah 27 tahun


lamanya. Tapi, ya, walau begitu saya tetap mengapresiasi,”
Harun melontarkan sindiran tanpa peduli pada para Wijaya
yang kini sudah duduk bersamanya dengan aura tegang.
“Jadi, sebelum semuanya semakin runyam, saya akan
membawa kembali istri saya pulang,” tegasnya tanpa peduli.

“Seperti kalian memiliki rumah bersama saja,” sahut Sanusi


tajam. “Kamu juga akan menyembunyikannya dalam
apartemen yang tidak aman itu ‘kan?” sengitnya dengan
netra menatap kejam.
“Apartemen itu aman,” Harun menjawab sentimen tersebut
dengan argumennya. “Nggak akan ada yang bisa masuk ke
sana dengan cara licik seperti Anda, Pak Sanusi,” ia ingatkan
kalau-kalau Sekjen partainya itu lupa. “Dan saya tidak akan
membawa Nyala ke sana.”

“Lalu, kamu akan menitipkannya ke mana?” Farid Wijaya


mengempaskan punggung ke sandaran sofa di belakangnya.
Kedua tangannya terlipat di dada. Memandang Harun Dierja
dengan sorot tak terbaca. Kemudian mengalihkan tatap
kepada adiknya, Hadi Wijaya. “Biar dia di sini saja. Rumah
Hadi tidak jauh dari sini. Istrinya Hadi bisa sesekali datang.
dan Hadi juga bisa melihatnya ketika pulang bekerja.”

“Tolong bertingkah seperti biasa saja,” balas Harun terhadap


omong kosong para Wijaya yang mengepungnya. “Kebetulan,
ada proyek yang sedang kalian kerjakan, hingga membuat
kalian pada akhirnya mengakui keberadaan Nyala di depan
publik,” Harun memaparkan kenyataan itu segera.
“Pengakuan kalian terhadap Nyala, tidak berarti kalian akan
merangkulnya sebagai keluarga sungguhan ‘kan?” cercanya
dibalut seringai tipis di wajah.

Well, kamu pasti memenangkan debat Pilpres nanti,” Farid


membuat guyonan untuk menghibur dirinya sendiri. “Kamu
sangat fasih mengolah kata. Sepertinya, didikan ibu Dewi
Gayatri, benar-benar tepat sasaran.”
Harun mendengkus singkat. Inginnya langsung merotasikan
bola mata, tetapi ia ingat betul bahwa sikap seperti itu tidak
mencerminkan sebuah ketenangan. Sementara di sini, Harun
harus memperlihatkan ketenangannya.

“Keadaan kamu masih belum aman ‘kan?” Hadi Wijaya


mengutarakan tentang posisi Harun yang masih jauh dari
kata aman. “Walau Papa sudah memberikan klarifikasi, tapi
bila kamu terlihat berinteraksi dengan Nyala, hal itu tetap
mencurigakan. Jadi, lebih baik kalian menjaga jarak dulu.
Biarkan Nyala di sini. Kamu juga akan sibuk dengan
kampanye.”

Harun tidak setuju.

Kegiatan politiknya, harus berbanding lurus dengan


ketentraman jiwanya.

Dalam hal ini, ia baru akan merasa tenang bila Nyala sudah
berada dalam pengawasannya sendiri.

“Lagipula, pernikahan kalian akan berakhir sebentar lagi


‘kan? Untuk apa kamu repot-repot membawa Nyala lagi?
Toh, sebentar lagi Nyala melahirkan. Dan pernikahan kalian
selesai.”

Kepala Harun langsung pusing mendengarnya. Kalimat itu


berasal dari Inggrid Caturangga yang
menembaknya tepat ke ulu hati. Buat Harun seketika
mengeraskan rahang. Diam-diam, matanya mengarah
kepada istrinya yang berada di sebelah. Wanita itu tertunduk
sambil meremas kedua tangan di atas pangkuan.

“Talak saja Nyala sekarang.”

Ya, Tuhan ….

Harun mengusap dadanya tanpa sadar.

Kenapa semua orang benar-benar menginginkan


pernikahannya berakhir?

Kenapa tak satu pun mengatakan bahwa mereka dapat


bertahan andai saling menguatkan?

Kedua orangtuanya yang pertama, dan tampaknya kini keluarga


Wijaya pun akan berpikiran serupa.

“Nanti atau sekarang sama saja ‘kan?” Inggrid mengedikkan


bahu. “Talak dia sekarang, lalu masa iddahnya akan sampai dia
melahirkan.”

Astaga …

Harun mengepalkan tangan tanpa sadar.

Ia mencoba menarik napas demi mengisi kewarasan yang telah


menipis. “Terima kasih atas masukannya, Bu Inggrid,” ia
memulai sarkas dengan seringai tipis yang sesungguhnya
adalah sebuah senyum miris. “Nyala mungkin adalah bagian
dari kalian saat ini. Tapi, dia masih istri saya. Kepatuhannya
harus mendahulukan saya. Dan ketika saya ingin membawanya
pulang, kalian semua tidak berhak melarang. Karena, ketika
saya lepas mengucap ijab, semua bakti serta kepatuhannya,
menjadi milik saya.”

Harun perlu menegaskan batasan.

Nyala masih istrinya, walau seribu kali orang-orang terus


membicarakan kemungkinan perceraian mereka.

“Nyala tanggung jawab saya,” Harun kembali menekankan.


“Apa pun yang terjadi padanya dan akan terjadi padanya, itu
semua akan menjadi tanggung jawab saja. Jadi, malam ini saya
akan membawa istri saya pulang.” Dan sebelum mereka semua
mempertanyakan rumah yang ia tuju, Harun segera
menambahkan detail ucapannya. “Nyala akan saya bawa
pulang ke tempat yang aman versi saya.”

Ia tidak boleh kalah walau posisinya, empat lawan satu.

Sesungguhnya, Harun hanya sedang menahan diri saja.

“Perceraian saya dan Nyala akan terjadi bila memang kami


mengendakinya,” ia jelaskan dengan sangat diplomatis. Agar
orang-orang itu tidak menuduhnya sentimentil. “Kami
sendiri yang akan menentukan waktunya. Setelah
melahirkan atau bahkan kapan saja.”
Mereka tak tahu saja bahwa Harun sudah seperti orang gila
ketika mencari keberadaan istrinya. Jadi, tolong, jangan paksa
ia untuk menceraikan Nyala Sabitah dengan segera.

“Keras kepala,” decak Farid Wijaya mulai terlihat kesal.


“Percuma, kalau dia terlihat bersama kamu, Harun. Status
kalian sangat tidak masuk akal. Biarkan istri kamu tetap
berada di sini. Dia bisa melahirkan di sini. Papa sudah setuju
memberikan rumah ini untuknya.”

“Dan saya suaminya,” rasanya Harun hampir meledak


sekarang ini. “Istri saya tidak butuh rumah dari orang lain, di
saat suaminya juga memilikinya,” ia tekankan kalimat itu
dengan nada geram.

Decakan Farid mengalun. Ia menatap Harun Dierja dengan


pendar yang diliputi emosi. “Fine, begini saja,” ia tegakkan
punggungnya dan mengurai dekapa di tangannya. “Kami akan
memberikan akses penuh untuk kamu. Jadi, kamu dapat keluar
dan masuk rumah ini kapan saja.”

Harun sama sekali tak tersentuh. Justru, ia memberi


pandangan penuh penuh penilaiannya pada Farid Wijaya.
“Sebenarnya, apa sih yang sedang kalian rencanakan?”
selidiknya ingin tahu. “Kalian sangat mencurigakan,”
tuduhnya terang-terangan.
“Ibumu itu ancaman, Harun,” Inggrid tampak geregetan
karena Harun Dierja benar-benar tidak dapat mengalah
dengan mudah. “Ibumu merusak tatanan partai dengan
tindakan gilanya. Dia yang menyebar rumor ke mana-mana.
Mengirim foto-foto tersebut, lalu membuat artikel gila. Dan
bila Nyala tetap menjadi istri kamu, entah apa yang akan
dilakukan ibumu lagi.”

“Saya belum boleh meninggalkan partai dalam waktu dekat,”


Sanusi berbicara mengenai posisinya sebagai politisi. “Dan yang
diinginkan oleh ibu kamu adalah supaya saya hengkang dari
partai secepatnya.”

“Ah,” Harun mengangguk dengan senyum penuh ejekkan.


“Jadi, bukan karena kepedulian Anda terhadap istri saya,
ya?” ia manggut-manggut menyebalkan. “Semua hanya demi
kepentingan bisnis yang melibatkan politik itu. Baik, baik,
saya paham,” kekehnya dengan suara tawa menyebalkan.

Harun semakin membenci Sanusi Wijaya.

Dan tenang, ia akan terus mendebat keluarga itu. Ia tidak suka

bila mereka yang mengaturnya.

Namun kemudian, malah istrinya sendiri yang mengatakan


kesediaannya tinggal di tempat ini. Anehnya, Harun justru
menuruti.
“Kalian tidak bisa mengatur saya,” pukas Harun dengan raut
keras. “Sebenarnya, saya sama sekali tidak membutuhkan
izin kalian untuk membawa istri saya pulang,” imbuhnya di
antara lelah dan kesabaran yang semakin habis. “Saya akan
membawa istri saya sekarang. Dan saya tidak membutuhkan
omong kosong seperti ini,” ia langsung berdiri. Ia mengamit
tangan istrinya, berniat membawa wanita itu untuk
bersamanya. “Nyala?”

Tetapi Nyala malah menggigit bibirnya. Ia membiarkan


tangan mereka menggantung di udara, sementara raganya
tetap duduk seperti sedia kala.

“Nyala?” sekali lagi Harun memanggil sang istri.

Dan Nyala malah meringis. “Pak,” ia membasahi bibirnya yang


terasa kering. “Sepertinya, lebih baik memang saya berada di
sini,” tuturnya yang pasti membuat Harun terkejut.
“Sejujurnya, saya takut tinggal di apartemen. Mungkin, saya
memang sekampungan itu, Pak. Karena saya lebih menyukai
tinggal di dekat tanah.”

Artinya, Nyala menyukai sebuah rumah.

Hanya saja, selama ini ia tak punya keberanian untuk


mengungkapkan.

“Saya juga masih takut dengan ibunya Bapak,” ujarnya terus


terang. “Di sini saja, Pak. Tapi tolong, bawakan Mbak Siska
dan Mas Denny untuk menjaga saya. Saya merasa nyaman
dengan mereka, Pak.”

Sudah diputuskan.

Dan Harun si pemilik sisi rasional paling tinggi, mendadak


langsung mengiakan.

Ada dua sisi dunia Harun belakangan ini.

Sisi pertama adalah bagian paling konstan sebelum bertemu


dengan Nyala. Dan sisi kedua adalah bagian paling
membingungkan setelah ia bertemu dengan wanita itu.
Harun tidak menyukai kebingungan ini. Tetapi entah kenapa, ia
memilih memasrahkan dirinya dalam kebingungan yang
meresahkan itu.

Harun, gila.

Dan sepertinya, itu adalah ulah Nyala Sabitah.

***

Menemui ajudan dan juga asisten pribadinya yang berada di


teras rumah penculikan, Harun menggaruk alisnya dengan jari
kelingking. Sementara satu tangannya yang lain tersimpan di
saku.

“Saya …,” ia menjeda ucapannya hanya tuk berpikir mencari


kalimat yang mudah dipahami. Tetapi rupanya, bahkan
sebelum ia mengucapkannya, kedua bawahannya yang
paling
setia itu sudah paham.

“Kami mengerti, Pak.”

Kening Harun berkerut kian dalam. Sebelah alisnya


terangkat tinggi. Menatap kedua bawahannya itu keheranan.
Namun tak lama berselang, Harun berdeham. “Oke,”
sahutnya yang tak ingin memperpanjang masalah. “Minta
Siska dan Denny untuk berjaga di sini mulai malam ini.”

“Siap, Pak!” sahut Rafael segera. “Tetapi sebelum itu, saya ingin
memberitahu bahwa Vika Febriyanti, sudah berhasil kita
amankan, Pak.”

Wah, itu kabar baik.

“Apa perintahnya, Pak?” Rafael menunggu.Harun diam

sejenak.

Ia mencoba menggodok isi pikirannya sebentar.

“Telanjangi dia,” perintah Harun meluncur setelahnya.


“Umpankan pada putra Zuhri Iskandar.”

Rafael paham, jadi ia pun mengangguk. Berbicara dengan anak


buahnya, ia menyampaikan perintah dari atasan mereka.

“Saya ingin pemberitaannya dimuat dengan cepat,” tambah


Harun yang mulai dapat mengejar ritme permainan politisi-
politisi ini. “Soal Herlambang dan juga frontliner itu, Sanusi
yang akan mengurusnya. Herlambang agak membangkang
pada saya. Tapi dia sangat menurut pada Sanusi. Jadi, besok
Sanusi yang akan menemuinya,” tutur Harun seraya
menjelaskan pembahasan singkatnya dengan Sanusi beberapa
saat lalu. “Semua yang terlibat wajib mendapatkan sanksi.”

“Lalu, bagaimana dengan Bu Dewi, Pak?” masih Rafael yang


mengajukan pertanyaannya.

“Saya yang akan mengurusnya,” Harun merasa sakit kepala.


Ibunya benar-benar tak dapat dipercaya. Kemudian,
tatapnya mengarah ke arah sang aspri yang terlihat diam
saja. “Kamu kelelahan, Put?”

Ini sudah lewat tengah malam.

Dan pertanyaan Harun sama sekali tak membutuhkan validasi.

“Besok saya akan membawa baju ganti untuk Bapak,” Putra


tahu apa yang harus dilakukannya. “Untuk malam ini, Bapak
bisa berganti dengan baju yang berada di dalam mobil.”

Harun mengangguk.

Setiap harinya, ia memang membawa pakaian cadangan di


mobilnya. Berjaga-jaga, bila sesuatu terjadi ketika ia tengah
menghadiri sebuah acara. Entah itu tidak sengaja
menumpahkan minuman ke baju, atau menabrak seseorang
yang membawa minuman berwarna. Ya, hal-hal seperti itu,bisa
saja terjadi sewaktu-waktu.

“Besok jadwal Bapak cukup padat. Dan berhubung rumah ini


cukup jauh dari DPP, saya menyarankan agar Bapak bersiap
lebih pagi dari biasanya.”

“Oke, Put,” sahut Harun sekenanya saja. “Sudah lewat tengah


malam. Sebaiknya, kalian kembali sekarang.”

Kedua bawahan Harun mengangguk.

Namun, sebelum mereka pergi, Putra kembali menatap sang


atasan dengan sirat berani.

“Sebelum melanjutkan jadwal makan siang besok, sepertinya


harus ada yang saya sampaikan pada Bapak.”

Mata Harun langsung memicing. Ia menatap sengit Putra


Fernandi dengan kedua tangan yang tersimpan di saku
celana. “Saya tidak menerima surat pengunduran diri,”
ancamnya sungguh-sungguh. “Batalkan. Bila hal itulah yang
ada di kepalamu.”

Putra tertawa kecil, namun terdengar penuh sarkas. “Oke,” ia


langsung mengangguk. “Tapi tolong saya, Pak.”
“Apa?”
“Kembalilah bersikap rasional seperti biasa. Atau saya akan
merendam kepala saya dalam seember wine, lalu menyerahkan
tagihannya kepada Bapak.”

Harun mencebik seketika, wajahnya yang tadi tegang mulai


mengendur. Tawa kecilnya hadir menyemarakkan malam yang
semakin dingin. “Saya tidak bisa apa-apa tanpa kamu, Put.Jadi,
sana tidur! Kamu agak menakutkan saat melantur!”

Setelah para bawahannya pergi, Harun agak ragu melangkahke


dalam.

Di tangannya sudah ada travel bag mini miliknya yang


memuat barang-barang pribadinya. Ada pakaian, peralatan
mandi travel size, dan beberapa perlengkapan lainnya.
Namun, ketika menatap pintu depan rumah itu, Harun merasa
aneh.

Ia jarang menginap di rumah orang.

Bila keluar kota, ia selalu berada di hotel.

“Masuk saja,” Hadi Wijaya keluar dengan menenteng tas dan


kunci mobilnya. “Saya mau pulang.”

Harun mengangguk kecil. Rumah Hadi Wijaya, benar-benar


berada di komplek ini. Gaji seorang jubir tidak akan
membuat pria itu sanggup membeli hunian di tempat ini.
Tetapi, nama belakang yang disandangnya tentu saja
membuat orang-orang dari kalangan mereka, langsung
paham dari mana sumber kekayaan pria tersebut berasal.
“Ngomong-ngomong, saya masih agak tidak terima
diperkenalkan telah meninggal dunia.”

“Well, script di tangan papa,” Hadi Wijaya mengedikkan


bahunya seolah tak peduli. “Kamar Nyala di lantai bawah. Dan
yang lainnya berada di lantai kedua.”

Sejak tadi menahan diri untuk merotasikan bola mata, kali


ini Harun tak dapat menahannya lagi. “Oke. Saya ke dalam.”

Hadi Wijaya tidak memberi tanggapan lebih. Sebab, ia


memilih langsung memasuki mobilnya saja.

Sementara itu, Harun merasa gamang ketika menginjakkan


kembali kakinya ke dalam rumah ini. Suasananya sudah sepi.
Namun ternyata, Nyala Sabitah menunggunya di ruang tamu.

“Bapak?”

“Kamu menunggu saya?” ketika wanita itu mengangguk,


Harun tak kembali mengamit tangan Nyala dan membantu
wanita itu berdiri. “Kamu perlu istirahat dan saya harus
mandi,” ia teliti wajah istrinya. Kemudian tangannya
mengelus lembut permukaan pipi wanita itu. “Ayo,
tunjukkan kamarnya,” ia beri senyum kecil yang tulus di
mata.

Nyala kembali mengangguk. Sambil membiarkan Harun


Dierja merangkul pinggangnya, mereka berjalan pelan-pelan
menuju kamar yang Nyala tempati. Sesampainya di kamar,
Nyala mempersilakan suaminya mandi terlebih dahulu.
Sementara dirinya mengeluarkan pakaian pria itu dari travel
bag yang tadi diletakkan di atas ranjang. Selesai dengan semua
itu, Nyala memilih mengistirahatkan punggung dan
pinggangnya yang terasa pegal.

Harun selesai tak lama kemudian.

Ia mengenakan pakaiannya dengan cepat.

“Ponsel saya ketinggalan di apartemen, Pak,” sambil


memalingkan wajah karena pria itu malah dengan seenaknya
saja membuka handuknya. Nyala mencoba mengajak bicara.

“Besok, saya minta Rafael untuk mengambilnya.”

Nyala mengangguk paham. “Ngomong-ngomong, saya


lumayan kepo sama yang terjadi di sosmed, Pak,” ujar Nyala
terus terang. “Maksud saya, setelah penampilan saya tadi di
televisi, bagaimana respon orang-orang.”

Well, kamu terlihat cantik,” Harun berkata jujur. Setelah


merasa bahwa rambutnya sudah setengah kering, Harun pun
bergabung dengan sang istri di atas ranjang. “Dan saya tidak
suka saat orang-orang itu menyukai fakta bahwa suami kamu
sudah meninggal dunia,” cebik Harun malas.

Nyala meringis tipis. Pada headboard ranjang yang menjadi


sandaran mereka, Nyala menatap sang suami dengan jarak
yang begitu dekat. “Suami saya masih hidup, Pak,” dengan
berani ia angkat sebelah tangannya tuk membelai pipi
seorang Harun Dierja yang terasa dingin sehabis mandi.
“Suami saya masih hidup. Dan sekarang sedang menatap
saya.”

Harun tersenyum senang.

Walau lelah menguasai tubuh dan pikirannya, tetapi ia sangat


menyukai menatap wajah Nyala Sabitah yang layaknya pualam.

“Dan sekarang, suami saya sedang tersenyum pada saya,”


Nyala ikut tersenyum. Lalu, ketika tangannya ditangkap
untuk dikecup, Nyala hanya mampu tertawa kecil. “Barusan,
dia juga mencium tangan saya, Pak,” ungkapnya senang.
“Jadi, berita itu salah, Pak. Sepertinya, hidup saya mulai
dikelilingi hoax sekarang. Bapak sabar-sabar, ya?”

“Saya tidak pernah bisa sabar bila itu menyangkut kamu,”


ungkap Harun jujur. Kini, bergantian dirinya yang membelai
wajah Nyala dengan punggung jemari. “Saya
mengkhawatirkan kamu, Nyala.”
“Kalau saya, saya justru merindukan Bapak.”

Ungkapan kerinduan itu buat senyum di wajah lelah Harun kian


merekah. Memilih mendekap Nyala, Harun meletakkan kepala
wanita itu di dadanya. “Hari ini sangat menyeramkan, ya? Tapi,
terima kasih, karena kamu masih menyempatkan diri
merindukan saya.”

Nyala mendongak, buat pria itu menghadiahi bibirnya dengan


kecupan. “Saya selalu merindukan Bapak,” tuturnya dengan
pandangan sedih. “Bahkan hari ini, rasanya saya lebih
merindukan Bapak dibanding hari-hari sebelumnya.
Saya khawatir tidak bisa bertemu dengan Bapak lagi. Terima
kasih karena telah menemukan saya, Pak,” Nyala mengulum
senyumnya. Kemudian, meletakkan sebelah tangan Harun
Dierja di perutnya.

Ada banyak yang harus mereka ungkap.Ada banyak hal

yang wajib mereka bahas.

Tetapi sepertinya, malam ini mereka hanya ingin berbagi


cerita.

Mengenai rindu dan degub jantung di dada yang membuat


resah.

“Terima kasih sudah menemukan kami, Pak,” tendangan


si
kecil di dalam perutnya membuat Nyala jelas harus mengikut
sertakan anaknya juga. “Saya cemas, kalau bukan Bapakyang
nanti menyambutnya.”

“Saya—“

“Saya jatuh cinta, Pak,” memotong ucapan Harun dengan


ungkapan cintanya. Nyala menatap wajah itu dengan pendar
penuh damba. “Saya ingin hidup dengan bayi kita, sepaket
dengan Bapak di dalamnya. Apa Bapak bisa?”

Nyala tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi setelah


malam ini.

Kegiatan Harun Dierja yang semakin hari semakin sibuk


menjelang pendaftaran Pemilu, tentunya membuat waktu
kebersamaan mereka menjadi tak menentu.

Jadi, sebelum komunikasi kembali menjadi masalah, lebih


baik ia ungkap semua yang ada di dalam dada. Termasuk
keinginannya tuk bersama.

“Bisa.”

Nyala mengerjap.

“Saya bisa,” Harun Dierja menelan ludah. Namun, hal itu tidak
mengurangi kadar keseriusannya. “Saya bisa, hidup dengan
kamu dan anak kita.”
***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Dua
Puluh Delapan - Dua Puluh
Sembilan - Tiga Puluh ·
Karyakarsa

DUA PULUH DELAPAN

Nyatanya, cinta memang tak harus bersama. Karena tuk


melangkah mengikat semesta, banyak keyakinan yang harus
kita tumbuhkan. Saat dimensi lara menyerang romansa,
patah hati adalah peristiwa paling sering yang buat kita
berdarah-darah. Padahal ketika nekat membangun rumah
tangga, patah hati kerap kita telan supaya kata pisah tak
tercetus ketika murka memenuhi jiwa.

Harun Dierja Aminoto, merupakan sosok yang idealis ketika


menjadi mahasiswa. Saat mulai bekerja, ia adalah pemimpin
yang menuntut karyawanannya bekerja dengan sempurna.
Beralih menjadi petinggi partai, ternyata menjadi idealis sangat
tidak berguna. Dan kesempurnaan yang ia tuntut, tak lagi bisa
buatnya bangga.

Sekarang ini, ia bergerak atas semua kesepakatan. Walau kerap


bertentangan, namun ritme politik tak mampu ia
kendalikan. Terlalu banyak kepentingan golongan yang harus
dipikirkan. Tetapi, ia tidak mau terhanyut begitu saja dengan
arus yang tak sejalan. Ia ingin membuat perubahan. Tetapi,
usianya selalu dianggap sepele oleh politisi-politis sok tahu
di negeri ini.

Ah, entahlah.

Yang jelas, ia tidak pernah merasa secanggung ini ketika


bangun di pagi hari. Bahkan, saat melakukannya untuk
pertama kali dengan Nyala waktu itu, Harun tidak diterpa
kecanggungan, namun kebingungan. Dan kini, siapa yang
bisa memprediksi, bahwa Harun Dierja terbangun di rumah
milik Sekjen partainya.

Gila ‘kan?

Tentu saja.

Sayangnya, semuanya adalah kenyataan.

Bukan mimpi yang dapat ia tinggalkan ketika terjaga dari


tidurnya.

“Kamu lapar?” sebelum memutuskan keluar dari kamar,


Harun ingin memastikan sekali lagi bahwa ia memang harus
melangkahkan kaki ke meja makan karena istrinya
kelaparan. “Kamu mau sarapan sekarang?”
Sekitar sepuluh menit yang lalu, pintu kamar yang mereka
tempati diketuk oleh asisten rumah tangga yang
memberitahukan bahwa sarapan telah disiapkan. Mereka
diminta untuk sarapan bersama dengan anggota keluarga
Wijaya yang berada di rumah ini.

Dan sungguh, formasi itu masih membuat Harun tak nyaman.

Lidah Farid Wijaya itu bagai bisa, sangat berbahaya.

Dan kesinisan Sanusi Wijaya, tidak akan membawa obrolan


mereka ke mana-mana.

Di sini, ia memang tidak akan mendapat ledekkan.

Tetapi jelas sekali, mereka bisa dengan mudah melakukan baku


hantam.

“Saya lapar, Pak,” Nyala sudah mandi dan mengenakan dress


babydollnya yang panjang hingga bawah lutut. Rambutnya
diikat tinggi, agar tak membuatnya gerah. Mengenakan
lipstick shades favoritnya, Nyala hanya berusaha agar dirinya
tidak nampak pucat. Sedang duduk di tepi ranjang, di mana
Harun Dierja berdiri di depannya, Nyala sedang sibuk
mengusap-usap perutnya. “Dia kalau laper suka bergerak ke
satu sisi aja, Pak,” Nyala membawa tangan Harun mendarat
di sisi kiri perutnya. “Dari tadi di sini terus.”

Harun menghela.
Ia keluar dari kamar ini sejam yang lalu untuk mengambil
pakaian kerja yang dikirimkan oleh salah seorang ajudannya.
Setelah membuat kesepakatan dengan para Wijaya dini hari
tadi, akhirnya Harun dapat memerintahkan ajudannya untuk
datang kemari dengan mudah. Ponsel Nyala pun dibawa serta.
Dan sekarang sedang diisi daya oleh wanita itu.

“Oke,” Harun menarik napas panjang sambil mengusap-usap


perut istrinya. “Kita sarapan sekarang,” ia mengamit tangan
Nyala agar wanita itu berdiri. Namun, setelah berhadapan,
Harun tak membawa istrinya langsung keluar dari kamar.
Justru, sapuan yang tadi berada di perut, kini ia letakkan di
pinggang belakang sang istri. “Masih pegal?” ia usap-usap
dengan mimik wajah khawatir. “Nggak ada indikasi akan
melahirkan dalam waktu dekat ‘kan?” ia sanksi dengan
jadwal kelahiran bayi mereka ketika Nyala mengeluhkan
pinggangnya sakit dan juga pegal.

“Semoga lahir tepat waktu, ya, Pak?” Nyala menatap


perutnya yang bulat. Kemudian, tangannya terangkat
menyentuh dada Harun Dierja yang berlapis kemeja putih
tanpa dasi. Pria itu memang jarang mengikat kerahnya
dengan dasi, namun jasnya sering menemani. “Kemarin, saya
sempat pasrah kalau nanti melahirkan tanpa ditungguin Bapak.
Tapi sekarang, kayaknya saya tetap mau Bapak.”
“Saya akan minta Putra buat janji dengan dokter kandungan
kamu,” Harun berusaha mengurangi rasa pegal tersebut
dengan usapan-usapannya. “Saya nggak tahu malam ini bisa
kembali ke sini atau tidak,” kini sebelah tangannya yang
bebas menyelipkan anak rambut Nyala di balik telinga.
“Tapi, Siska dan Denny akan menjaga kamu dari luar.”

Nyala kembali mengangguk. Ia mengalungkan kedua lengannya


di leher sang ketua umum sambil berjinjit. Mengelus tengkuk
pria itu, seraya mengusap rambut belakangnya dengan gerakan
halus yang tak merusak tatanan tersebut. “Saya bakal terus
nungguin Bapak,” janjinya sambil tersenyum.

Harun melabuhkan satu ciuman di bibir Nyala dengan


postur tubuh setengah membungkuk. Kedua tangannya
sudah memerangkap punggung wanita itu agar tak bergerak ke
mana-mana. “Saya akan berusaha menemukan jalan untuk
kita,” ungkapnya tulus. “Kamu dan bayi ini, milik saya,”ucap
Harun tegas.

“Saya tahu,” Nyala melebarkan senyumnya. Lalu menutup


mata, kala Harun Dierja kembali menyapu bibirnya. Kali ini,
lebih lama dari ciuman yang pertama. Sampai-sampai, Nyala
pun tak ingin menyudahinya.

Namun rupanya, Harun berhasil menang melawan gairahnya.


Walau berat, ia akhirnya melepaskan cumbuan.
Beralih mengecup pipi Nyala, hingga pelipis wanita itu
sambil berusaha menenangkan diri. Kondisi Nyala masih
kurang fit, lagipula, ia tak nyaman melakukannya di rumah
orang. Apalagi bila orang itu adalah keluarga Wijaya.
Terkhususnya Sanusi Wijaya dan juga Farid Wijaya. “Kamu dan
bayinya harus makan,” ia bersihkan bibir Nyala dengan ibu jari.

Tak pernah terbayang sebelumnya Harun akan memulai


harinya di atap yang sama dengan Sanusi Wijaya. Makan pagi
yang terasa benar-benar tak terduga, Harun harus
mempertahankan diri atas ketidaknyamanan ini.

Tetapi untungnya, tidak ada basa-basi yang terjadi di meja


makan saat mereka tiba. Sanusi dan Farid tampak sibuk dengan
rutinitas pagi mereka sendiri-sendiri. Sanusi tengah membaca
di tabletnya dengan kacamata. Sementara Farid, sedang
melakukan panggilan video dengan anak-anaknya di Makassar.
Dan di mana Inggrid Wijaya?

Entahlah, wanita paruh baya itu belum terlihat.

“Herlambang sudah memberi sanksi untuk frontliner itu.


Dan hari ini, HRD akan memecatnya,” informasi dari Sanusi
Wijaya menjadi awal terbentuknya diskusi alot untuk
mereka.

“Si—siapa yang Bapak maksud?” bukan Harun, tetapi Nyala


yang meresponnya. “Maksud Bapak, frontliner di DPP ‘kan,
Pak?” ia perlu memastikan. “Rekan-rekan saya dulu, Pak?”

“Ya,” jawab Sanusi enteng. “Rekan frontliner kamu itu,


bekerja sama dengan mantan perawat di DPP yang bekerja
di bawah perintah Zuhri Iskandar untuk menyebarkan
rumor mengenai kehamilan kamu di sosial media,” wajah
Sanusi langsung kecut.

Nyala meringis tak percaya. “Siapa orangnya, Pak?”


tuntutnya membutuhkan nama.

“Adisti,” sahut Harun sambil menerima kopinya dari asisten


rumah tangga yang bekerja di rumah ini. “Susu istri saya sudah
sesuai takaran ‘kan?” ketika asisten tersebut mengangsurkan
segelas susu pada istrinya, hal itu tentu saja tak luput dari
perhatian Harun. “Merk susu ini, sama seperti yang terbiasa
kamu konsumsi?” kini pertanyaan ia lempar pada sang istri.

“Benar, Pak. Ini susu milik Ibu Nyala.”

“Iya, Pak, ini susu saya yang ada di apartemen,” Nyala


menambahkan.

Harun manggut-manggut.

“Pak, yang tadi maksud Bapak adalah Adisti teman saya


‘kan,Pak?” Nyala kembali membahas nama Adisti yang tadi
disebut-sebut oleh suaminya.

“Teman?” Sanusi mendengkus. “Dia adalah selingkuhan


Herlambang Susanto. Dan dia juga terlibat pada malam
Rakernas itu.”

Nyala melotot tak percaya.

Informasi yang ia dapatkan pagi ini, sudah luar biasa


mencengangkan.

“Jangan dipikirkan,” Harun mengusap pinggang belakang


Nyala demi membuat sang istri tenang. “Minum dulu susunya,”
ia mencoba mengalihkan perhatian wanita itu. “Sudah nyaman
‘kan?” yang Harun maksud adalah posisi duduk Nyala saat ini.
Ia khawatir perut bundar Nyala akan terbentur meja. “Mau
sarapan apa?” ia masih mengusap- usap pinggang sang istri
seraya menanyakan menu makan pagi yang diinginkan wanita
itu.

Di meja terhidang nasi kuning, lengkap dengan pelengkapnya


seperti ayam goreng, bihun dan yang lainnya. Kemudian, nasi
putih pun tersedia. Berdampinginan dengan coto khas
Makassar, bawang goreng disediakan terpisah.

Dan mendadak saja Nyala menginginkan semuanya.Tiba-

tiba, ia benar-benar merasa lapar.


“Cicipi saja semuanya,” Inggrid baru tiba dari dapur sambil
membawa sepiring gorengan yang sangat mirip bentuknya
dengan pastel. “Atau kamu mau coba ini dulu?” ia
mendekatkan piring itu pada anak perempuan suaminya.
“Rid, telpon dong Hadi. Mama sudah masak sarapan banyak,
kok dia belum ke sini sih?” mengambil tempat duduk di
sebelah Farid, Inggrid sedang menanti menantu dan juga
cucu-cucunya yang akan sarapan bersama dengan mereka
pagi ini. “Pap, nanti Mama ke bandara dianter Danti,” ia
menyebutkan nama menantu perempuannya. “Nggak jadi
pagi ini, Pap. Siangan, sekalian nungguin Alina sama Dean
pulang.”

Sayangnya, begitu mendengar hal itu, jiwa insecure Nyala


justru kambuh.

Perasaan lapar yang tadi begitu menggebu di lambungnya,


kini malah membuatnya kehilangan selera. Entah kenapa, ia tak
siap bertemu anggota keluarga Wijaya yang lainnya. Ia tidak
percaya diri. Keinginan tuk mengambil gorengan yang belum
ia ketahui namanya itu pun, terhenti. Ia tak jadi
melakukannya. Sebagai gantinya, ia malah menarik tangan
Harun Dierja yang berada di pinggang tuk bergantian
mengusap perutnya.

“Kenapa?” Harun bertanya bingung.


Namun Nyala hanya menjawabnya dengan gelengan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Zuhri
Iskandar?”
Sanusi bertanya pada ketua umum partainya.

“Vika sudah melakukan tugasnya,” Harun mengangguk yakin.


“Tidak peduli bahwa akhirnya nanti wanita itu membuka mulut.
Zuhri Iskandar harus tahu, bahwa saya yang membalas
perbuatannya.”

Sanusi tertawa dengan seringai jahat di wajah. “Baik,” ia


mengangguk dan tampak cukup puas. “Kamu mulai memahami
ritme permainannya, ya?” ejeknya terang- terangan.

Harun hanya mendecakkan lidah sebagai tanggapan. Tangan


kanannya yang sibuk mengusap perut istrinya, ia biarkan
tetap berada di sana. Sementara tangan kirinya yang bebas,
ia gunakan tuk meraih gelas kopinya. “Dan soal ibu saya,”
kini tatapnya mengarah pada Farid Wijaya. “Silakan
menakut-nakutinya dengan pengacara keluarga Wijaya.
Kadang-kadang, ibu saya harus merasakan bagaimana
terdesak, supaya dia bisa meminta pertolongan.”

Well, kamu akan dikutuk,” timpal Farid yang baru saja


menghubungi adiknya. “Tapi ada syaratnya,” ia menyeringai
licik. Persis Sanusi bila sedang merencanakan sesuatu. “Saya
ingin kamu menghubungkan saya dengan adik ipar kamu.
Pemilik rumah sakit Jantung Indonesia.”
Harun tahu, Farid tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
untuk bernegosiasi. Pria itu benar-benar pengusaha sejati. “Bisa
diatur,” Harun menyanggupi. “Saya menerima laporan pagi ini,
kalau dini hari tadi, Keylan dan Kaffa terdengar bertengkar di
kediamannya Kusno Aji,” ia memberikan informasi yang ia
terima dari ajudannya yang berhasil menyusup menjadi bagian
dari pekerja di kediaman Kusno Aji.

“Keylan itu menginginkan jabatan ketua umum ayahnya. Tapi


sepertinya, Kusno Aji akan memberikannya pada Kaffa,” Sanusi
tidak terkejut dengan kabar itu. Sudah sejak lama, kedua anak
laki-laki Kusno Aji memang tidak akur.

“Mereka saling merebutkan jabatan agar sesegera mungkin


mengorupsi uang kadernya, ya?” ejek Farid sambil tertawa.

“Saya agak mengkhawatirkan pengecekan medis setelah


pendaftaran nanti,” Sanusi membagikan kekhawatirannya.
“Kusno memiliki hipertensi. Juga, pernah melakukan operasi
pemasangan ring di jantungnya karena penyempitan pembuluh
darah,” ungkap Sanusi yang berhasil menyelidiki riwayat
kesehatan Kusno Aji. “Walau selama ini, hasil pemeriksaan
kesehatannya berhasil disembunyikan oleh dokter-dokter
militer yang berada di bawah kendalinya, saya agak khawatir
bahwa hal itu tidak berlaku ketika pemeriksaan pendaftaran
nanti.”
Kader-kader partai, tidak selamanya mendukung para ketua
umumnya.

Ada saja, yang berniat menggulingkan walau masa


jabatannya masih lama.

Hassan Aminoto, merupakan contoh dari betapa tak


terduganya kader-kader yang bernaung bersama dalam
partai yang sama. Hanya karena isu kesehatan, Hassan
Aminoto berhasil digulingkan. Dan mungkin, Kusno Aji juga
berpikir demikian. Makanya, ia selalu memperlihatkan
bahwa dirinya sehat pada para kadernya.

“Keylan itu nggak bisa jadi pemimpin,” komentar Farid yang


pernah bertemu beberapa kali dengan Keylan Aji. “Sementara
Kaffa nggak menginginkan jabatan itu.”

Benar sekali.

Kadang kala, memang seperti itu.

Yang tidak mampu, terlalu ambisius mengejar jabatan.


Sementara yang diperkirakan mampu, malah tidak tertarik
pada jabatan yang ditawarkan.

Sementara mereka membahas banyak kemungkinan yang dapat


terjadi ke depannya. Harun tak melupakan tugasnya untuk
memastikan Nyala mengonsumsi sarapannya. “Coba nasi
kuningnya dulu, sedikit, ya?”
Nyala mengangguk. Kemudian merasa aneh ketika piring di
depan sang suami masih berada dalam keadaan telungkup.
“Bapak nggak sarapan?”

“Sarapan kok,” jawab Harun cepat. Tak ada kecanggungan


sama sekali ketika dengan cekatan ia mengambilkan
makanan untuk istrinya. Dari mulai nasi kuning, sampai
ayam goreng, Harun yang meletakkan semua itu di piring
istrinya. Toh, ketika Nyala masih mengalami mual dan
muntah di trimester pertama, wanita itu bahkan tak bisa
makan bila suapan tidak datang dari tangannya sendiri.
“Bagaimana? Mual nggak?”

Harun masih terus menaruh perhatian penuh pada Nyala.


Bahkan, ia juga tak segan untuk mengelus perut wanita itu kala
Nyala mengatakan bahwa bayinya menendang. Hingga
celetukan Farid lantas membuatnya mendengkus masam.

“Sepertinya, kalian harmonis, ya?” sebuah sarkas yang


dibarengi dengan tawa menyebalkan. “Mungkin ini yang
dinamakan jodoh selalu datang tidak tahu tempat,” imbuhnya
lagi masih memperdengarkan tawa. “Pap, sepertinya Papa
bukan mengumpankan Nyala di malam Rakernas itu. Justru,
Papa sedang mencarikannya jodoh potensial pilihan Papa. Dan
ya, pilihan Papa jatuh kepada ketua umum partai. Well, Harun
memang tipe menantu idaman yang diperlukan untuk
mengipasi ego mertua, ya,
Pap? Karir politiknya melejit pesat.” “Diam,” sahut Harun kesal.

Farid tidak mau menuruti. Ia masih memiliki segudang


kalimat berisi sarkas yang belum setengahnya ia keluarkan.
“Kita harusnya berfoto bersama, sebelum Harun dilantik
sebagai Wakil Presiden,” tuturnya geli sendiri. “Saya perlu
memajang foto kamu di ruangan saya, supaya saya tidak
lupa, bahwa Wakil Presiden saya yang baru nanti,
merupakan adik ipar saya.”

“Ck,” Harun berdecak sinis. Namun ia enggan membalasnya.


“Malam ini, saya akan menghadiri acara ulangtahun
pernikahan Amrullah Hidayat,” Harun memberitahu. “Saya
titip Nyala di sini. Karena sepertinya, saya tidak sempat
untuk ke sini. Saya memiliki penerbangan ke Palembang
besok paginya.”

“Jangan khawatir,” Farid yang menimpali. “Kalau-kalau kamu


merindukan istri kamu, kami bisa membawanya ke acara itu
malam nanti.”

“Ck, tolong, jangan main-main,” dengkus Harun yang lagi-lai


tak mampu menutupi kekesalannya.

“Siapa yang main-main, ya, Pap?” Farid tertawa penuh cemooh.


“Acara malam nanti adalah debut perdana Nyala menghadiri
pesta bersama keluarganya,” Farid membuat
tanda kutip di udara dengan ekspresi sengit. “Dan kamu akan
bertemu Nyala di sana.”

“Saya tidak mengizinkannya,” kata Harun tegas. Ia menoleh


pada sang istri dengan cepat. “Saya nggak mengizinkan
kamu datang ke acara itu.”

“I—iya, Pak,” Nyala mengangguk paham.

“Kamu ini bagaimana sih, Run?” Inggrid Wijaya langsung


ikut berkomentar. “Untuk membuat publik yakin pada status
Nyala saat ini, Nyala harus sering mengikuti acara-acara
seperti ini. Dia akan menemani papanya.”

“Bu Inggrid—“

“Saya tahu, kamu mau bilang kalau kamu suaminya ‘kan?”


sambar Inggrid seketika. “Tapi yang saat ini publik ketahui,
bahwa Nyala adalah anak dari Sanusi Wijaya. Jadi, biarkan dia
menghadiri acara bersama papa dan kakak laki-lakinya. Kamu
jangan coba-coba melarang.”

***

DUA PULUH SEMBILAN

Kesendirian kadang kala terlihat bak perahu kecil yang


terombang-ambing di tengah lautan. Penuh ketakutan dan
nyaris menyerah pada keadaan. Walau penuh kepasrahan,
kesendirian ini memaksa untuk mengendalikan agar tidak
karam. Karena sebaik-baiknya kesempatan, adalah mencoba
bertahan dalam kehidupan.

Ajeng turun setelah melakukan briefieng paginya dengan


wajah ketat. Terlalu banyak berita yang menjerat datang
beruntun tak tahu sebab, buatnya seketika didera sakit kepala.
Dari mulai rumor mengenai mantan rekannya, Nyala Sabitah,
hingga kenyataan bahwa rekannya tersebut merupakan putri
bungsu dari Sekjen mereka. Dan barusan, ia mendapatkan
info mengenai pemecatan rekannya, Adisti.

Begitu tiba di lobi, langkah Ajeng segera mengarah mantab


menuju front table. Di sana, ia sudah menemukan Rani, Adisti
dan juga rekan baru pengganti Nyala, yang bernama Tantri.
Terdengar sayup dari jauh bahwa Rani masih begitu tak
percaya bahwa Nyala merupakan anak dari Sekjen partai
mereka.

“Dis,” tetapi Ajeng memilih tak merespon kehebohan Rani yang


bercerita dengan menggebu. “Lo bikin kesalahan fatal apa sih?”
waktu kerja sudah hampir dimulai. Ajeng tak sempat untuk
menarik Adisti menjauh dari front
table mereka.

“Eh, kenapa, Jeng?” menyadari aura yang tak biasa dari


rekannya, Rani pun menyela. “Kenapa sama Adisti?”
Jujur, Ajeng sudah mendengar selentingan ini cukup lama.
Mengenai status Adisti yang diam-diam menjadi simpanan
dari salah satu kader senior mereka yang berkantor di
Senayan. Bukan apa-apa, bagi Ajeng hal itu bukan ranahnya.
Selama tidak mengganggu pekerjaan, maka sebagai leader,
Ajeng enggan ikut campur di dalamnya. “Lo ngerjain apa sih,
Dis, sama si Vika?” tanya Ajeng tampak lelah. “Dis, gueselalu
bilang ke kalian semua buat berhenti ikut campur sama
masalah pejabat atas. Kita cuma karyawan biasa di sini. Tugas
kita melayani tamu. Ngasih mereka pengarahan.
Bukan malah umbar aib yang terbukti hoax ke mana- mana,”
cercanya tak lagi mampu menahan diri. “Dan sekarang, lo
lihat akibatnya, kan, Dis? Orang yang lo fitnah, derajatnya
jelas di atas lo.”

Walau yang dituangkan oleh Vika tidak sepenuhnya salah,


namun di sini Ajeng akan bersikap seolah tak tahu apa-apa
mengenai hubungan Nyala dengan ketua umum partai mereka.

“Jeng, kenapa sih?” Rani kembali melempar pertanyaan yang


sama dengan sebelumnya. “Ada masalah apa sama lo, Dis?”
kini pertanyaan bernada serupa ia berikan kepada Adisti.

“Sori, Jeng,” Adisti hanya dapat menghela napas panjang.


Kepalanya tertunduk sementara gairah hidupnya benar- benar
lenyap sejak malam kemarin. “Gue nggak tahu kalau
bakal berakhir gini,” ungkapnya penuh sesal.

“Woy! Kalian kenapa sih?!” Rani mendadak geregetan


karena tak satu pun dari Ajeng maupun Adisti yang
menjawab pertanyaan beruntunnya. “Kenapa ini saudara-
saudara? Apa sih yang nggak gue tahu?”

Ck,” Ajeng berdecak tanpa sadar. “Adisti dipecat per hari


ini,” ungkapnya dengan kesadaran penuh.

“Hah?! Kok bisa?!” Rani berseru dengan heboh.

Sambil bersiap di tempatnya, Ajeng menatap jam besar di


lobi. “Cuitan heboh di X kemarin, kerjaanya Adisti sama
Vika,” ungkap Ajeng tanpa ingin menutup-nutupi lagi. “Pak
Sekjen sama Pak Ketum udah tahu siapa pelakunya.
Makanya, Adisti dipecat.”

“Gila lo, Dis!” seru Rani tak percaya. “Serius, lo yang nyebar
hoax itu? Anjir! Gue pikir elo sama Nyala itu besti! Tahunya, lo
tai, ya?” Rani berdecak tak habis pikir. “Terus, foto-foto
Nyala sama Pak Sekjen, dari lo juga?”

“Nggak, sumpah. Kalau itu, gue bener-bener nggak tahu,”


aku Adisti jujur.

“Terus siapa?”

“Heh, udah-udah, Bapak datang,” Ajeng menangkap sebuah


mobil yang sudah ia kenal baik. “Siap-siap,” ia pun mengatur
posisi teman-temannya.

“Kalau Bapak sempet belok ke sini, pasti doi mau nampar elo,
Dis,” bisik Rani tajam.

Hal yang kontan saja buat Adisti semakin menundukkan


pandangan, setengah mati ketakutan. Karena sungguh, ia
menderita banyak kerugian. Selain dipecat dari pekerjaan, ia
juga diputuskan oleh pria yang selama ini menjadi sumber
uang.

***

“Sudah diproses semuanya ‘kan?” memasuki lobi DPP,


Harun berdiskusi dengan Putra yang berjalan di sebelahnya.
Matanya melirik pada meja penerimaan tamu, tempat di
mana istrinya berada dulu. Tetapi kini, posisi sang istri
sudah ada yang menggantikan. “Vika buka mulut tentang
kita?”

“Sudah, Pak,” Putra menjawab cepat. “Siang ini beritanya


akan dimuat. Dan sesuai instruksi Bapak, Zuhri Iskandar
juga sudah mengetahui bahwa kita yang mengutus perawat
itu.”

“Baguslah,” Harun mengangguk merasa cukup puas. Ia tak lagi


perlu menyembunyikan diri atas perbuatannya. Sebab, Zuhri
Iskandar harus paham, bahwa ia pun pandai membalas
dendam. “Lalu frontliner itu?” dengan samar ia
menggerakkan dagunya ketika mereka melewati meja
penerimaan tamu.

“Berkasnya sudah naik ke HRD. Dia akan dipecat hari ini.


Herlambang Susanto pun sudah mencabut segala fasilitas yang
diberikan untuk pacarnya itu, Pak.”

Harun kembali mengangguk.

Satu per satu masalah sudah dapat dibereskan.

Tinggal ibunya saja yang sejak pagi tadi terus menerornya


melalui sambungan telepon. Tak ketinggalan, Putra dan
Rafael juga ikut menjadi target sang ibu karena Harun sama
sekali tidak mengangkat panggilan itu.

“Herlambang juga sudah meminta maaf pada Pak Sanusi.


Gusti Hanif bahkan sampai menangis menghubungi Pak
Sanusi setelah mengetahui bahwa Mbak Nyala adalah anak
Pak Sanusi.”

Harun tahu, segalanya sudah menjadi kehebohan.

Baik untuk karyawan di DPP sendiri, maupun untuk para kader.


Baik senior maupun junior.

“Tapi, mereka belum tahu kalau Mbak Nyala adalah istri


Bapak,” Putra menyambung kalimat tadi setelah mereka
memasuki lift.
Seringai Harun terbit segaris mendengar pernyataan Putra.
Sambil melirik sang asisten pribadi yang tampaknya hari ini
sudah sehat dibanding dini hari tadi, Harun jadi tertantang
untuk mengatakan sesuatu yang pastinya akan mendapat
penolakan keras dari sang Aspri. “Apa saya juga perlu membuat
pers conference untuk menyatakan bahwa Nyala adalah istri
saya?”

Putra seketika saja mendelik. “Pak!” sergahnya tak


menyadari nada suaranya yang meninggi. “Tolong, fokus pada
pemilihan umum saja, Pak!”

Dan Harun merasa terpingkal. Ia jarang tertawa seperti ini.

Namun, ekspresi Putra yang sesuai ekspektasinya, benar-


benar menghibur. “Nyala ingin hidup bersama saya, Put,”
mendadak senyumnya lenyap begitu teringat pada keinginan
istrinya. “Dan saya, juga ingin hidup bersamanya.

Putra menarik napas panjang.

Sepertinya, ia tak berniat menjawab apa pun sekarang.

“Saya akan menganggap bahwa Bapak tidak pernah


mengatakan apa pun pagi ini.”

Harun mendengkus atas tanggapan Putra yang sangat Putra


sekali itu. Tetapi tenang, ia masih memiliki Rafael yang akan
selalu menanggapi perkataannya dengan respon-respon yang
kadang tak terduga. “Bagaimana menurut kamu, Raf? Apa
sekiranya yang bisa membuat keinginan saya dan Nyala itu
terlaksana? Tentunya, tanpa mencederai perjanjian politik
yang sudah terlanjur saya lakukan.”

Rafael sungguh tak siap dengan semua pertanyaan sang


atasan. Namun, ia mencoba memikirkan jawaban diplomatis
yang tidak mengada-ada apalagi menyesatkan. “Mungkin
satu-satunya yang tidak mencederai perjanjian adalah bila
Pak Kusno Aji yang mengundurkan diri dari kandidat calon
Presiden, Pak. Lalu, membubarkan koalisi.”

“Dan itu artinya adalah kemustahilan, Pak.” sahut Putra


dengan mimik tak senang.

Harun mendengkus geli melihat kedua bawahannya itu. Dan


sungguh, ia pun tahu teramat mustahil memukul mundur
Kusno Aji dari kontes Pemilu. “Iya, Put, itu tidak mungkin,
ya?”

“Benar, Pak. Jadi, mari lupakan pembahasan ini. Ayo fokus


pada usaha kita dalam pemenangan Bapak.”

Ketika akhirnya lift terbuka di lantai yang mereka tuju, Harun


melangkah terlebih dahulu melalui lorong untuk mencapai
ruangannya. Namun, sebelum ia sampai ke sana, ia malah
menghentikan langkah begitu mendengar kalimat
yang dilempar Rafael untuknya.

“Kadang-kadang, Pak, kita tidak perlu memamerkan


kepemilikan. Cukup dengan membuat orang-orang tahu
bahwa Bapak memilikinya, saya rasa itu sudah jauh dari kata
cukup,” tutur Rafael dengan gurat ekspresi serius. “Jangan
memberi makan rasa penasaran orang dengan mengorbankan
banyak hal, Pak. Menurut saya, Bapak nggak perlu
memperkenalkan Mbak Nyala ke hadapan publik.
Cukup beri saja pengakuan bahwa Bapak sudah menikah.
Tetapi syaratnya, cuma satu, Pak.”

“Apa itu?” Harun merasa ingin tahu.

“Jadilah pejabat pemerintahan biasa, bukan kepala


Negara.”

Tepat. Sangat tepat.

Buat Harun kontan terdiam.

Jadilah pejabat pemerintahan biasa, bukan kepala Negara.

“Tetapi masalahnya, saya didanai untuk dipilih menjadi bagian


dari kepala Negara, Raf. Jadi, agak mengecewakan, ya?”
sarkasnya terdengar sedih.

Kemudian, ia pun meneruskan langkah.

Sementara di sebelah, Putra diminta membaca agendanya


untuk hari ini.

Ia hanya sebentar saja mampir ke DPP, untuk mengecek


berkas berisi laporan kekayaannya yang akan diserahkan
usai pendaftaran diri ke KPU beberapa hari lagi. Kemudian,
ia akan bertemu Wakil Presiden yang ketiga jam sepuluh
nanti. Dilanjut makan siang bersama dengan sejumlah
Presiden Mahasiswa dari sepuluh universitas ternama.
Kemudian, sorenya ia akan menjadi bintang tamu sebuah
acara talk show yang dipandu oleh Karma Ilmiyas. Dan
malamnya, menghadiri acara ulangtahun pernikahan salah
satu kader seniornya.

“Pagi, Pak,” Faura menyapa atasannya dengan mimik wajah


tegang.

“Pagi,” Harun membalas sekenanya saja. “Ada berita apa pagi


ini?” ia bertanya saat sekretarisnya itu ikut masuk ke dalam
ruang kerjanya dengan langkah terburu-buru.

“Sepuluh menit yang lalu, Bapak mendapatkan undangan


pelantikkan ketua umum Partai Garuda Raya Indonesia, Pak,”
Faura menyodorkan ipadnya demi memperlihatkan undangan
digital yang tertera di sana.

Harun merebut ipad itu tergesa.

Pendaftaran KPU tinggal menghitung hari, dan Partai Garuda


Raya Indonesia justru mengganti ketua umumnya?
Pasti ada sebuah konspirasi.

“Siapa?” Harun memiliki firasat.

Walau desas-desusnya sudah didengar kalangan elite politik


sejak dua hari ini, namun ia tak percaya bahwa pergantian
tersebut benar-benar terjadi.

“Ganesha Sri Narendra, Pak.”

Benar ‘kan?

Harun menarik napas.

Sungguh, pada Pemilu peride ini, sepertinya peta kekuatan


politik benar-benar tidak bisa diprediksi.

“Belum ada kabar resmi yang beredar?”

Faura dan Putra pun sibuk berlancar di jejaring maya.


Mereka berusaha menemukan situs-situs berita yang
memuat kabar ini. Namun sepertinya, memang belum ada
yang memuatnya di mana-mana.

“Belum ada yang memuat, Pak,” lapor Putra setelah meyakini.


“Sepertinya, disimpan untuk internal partai terlebih dahulu,
Pak. Dan undangan ini bersifat pribadi. Karena belum ada
pihak dari koalisi yang menghubungi kita.”

“Acaranya besok,” Harun membaca undangan itu sekali lagi.


“Ganesh sendiri yang mengirimkan undangan ini,” alamat
email pengirim merupakan email pribadi dari sang putra
sulung Presiden.

Ya.

Putra pertama Presiden.

Sekaligus menantu dari Basuki Nugraha.

Bukankah sudah jelas ke mana suara partai tersebut akan


bermuara?

Ya, pasangan Irawan Pramoedya dan Basuki Nugraha.Tetapi,

kenapa Ganesha ingin bertemu dengannya?

“Apa yang dia inginkan dari Bapak?” tanya Putra cukup


penasaran. “Bukankah kepastian bahwa ke mana suara
mereka akan menuju sudah jelas, ya?” Putra sungguh heran.

Harun juga berpikir demikian. Kemudian, ia mencoba


menghubungi temannya Menpora, Respavi Mahendra. “Res?”

“Ya?”

“Sudah dengar tentang Ganesh?” Harun tak membutuhakn


basa-basi.

“Lo dapat undangan?”


Benar.

“Wait, Run,” terdengar bahwa Respavi tengah melangkah


menjauhi kebisingan yang tadi menjadi latar suaranya. “Oke,”
ucapnya setelah menemukan tempat yang aman. “Besok acara
pelantikannya bernama KOPDARNAS PGRI. Kopi Darat
Nasional Partai Garuda Raya Indonesia. Dan di sana, Ganesh
akan ditunjuk sebagai ketua umum. Lo dapat undangan untuk
jam berapa?”

Harun melihat jam yang tertera di sana. “Jam satu siang.”

“Kopdarnas diadakan jam empat. Kayaknya, dia bakal


ngasih hint deh, ke mana suara partainya bakal bermuara.”

“Agak aneh nggak sih, kalau PGRI limpahin suaranya ke


gue?”

“Aneh, pasti. Cuma, dibanding harus ikut Pak Presiden yang


mau nggak mau ngasih suara ke Effendy Ghazali atau ke
mertuanya, kayaknya Ganesh butuh kesepakatan sendiri.
Dan lo masuk dalam jajaran orang yang dia
perhitungkan.”

“Buat apa? Dia nggak mungkin mau jadi Menteri,” Harun


membuat asumsi.

“Itu dia. Ini tuh sebenarnya bikin pesanaran sekaligus


menakutkan, Run. Lo hati-hati aja.”

“Lo mikir ini jebakan?”

“Nggak juga sih, Run. Btw, lo datang ke Anniversarynya


Amrullah Hidayat ‘kan? Nanti kita ketemu di sana aja, ya?
Gue lagi kena apes nih, target medali emas nggak tercapai,”
curhatnya kemudian. “Entar aja kita ngobrol lagi, ya?”

“Oke,” Harun pun mengakhiri panggilan. Ia kembali


menatap para bawahannya yang siap mendengarkan
perintah. “Faura,” ia memanggil sekretarisnya untuk titah
pertama. “Konfirmasi kehadiran saya besok di jam dua siang.
Kalau Pak Ganesh tidak bisa menerimanya, maka batalkan
saja.”

“Baik, Pak.”

Harun mengangguk saat sekretarisnya itu pamit terlebih


dahulu. “Put, nggak perlu menunggu sampai siang. Naikan
berita itu segera. Saya khawatir, berita tentang putra Zuhri
Iskandar akan tenggelam begitu kabar Ganesha akan menjadi
Ketua Umum PGRI berembus. Jadi, minta mereka untuk
menaikan beritanya ke media sekarang juga.”

“Baik, Pak.”

Dan Putra pun mulai bekerja demi mengecek satu per satu
artikel yang sudah ditulis oleh reporter-reporter yang ia
percayai.

“Raf?”

“Ya, Pak?”

“Minta anggota kamu untuk menyusup ke dalam DPP PGRI.


Pastikan dia mendapatkan info yang kita butuhkan sebelum
saya bertolak dari Palembang besok.”

“Siap, Pak.”

Harun mencoba menghubungi Kusno Aji setelahnya, namun


nomor tersebut tidak aktif. Ia coba menelpon ajudan pasangan
Presidennya itu, dan respon yang ia dapatkan bahwa Kusno Aji
tak dapat diganggu. “Aneh,” gumam Harun yang kemudian
memilih meninjau kembali daftar harta kekayaannya yang akan
ia serahkan usai pendaftaran. Tetapi kemudian, ia kembali
meraih ponselnya untuk menghubungi Sanusi Wijaya. Ia
bertanya di mana ayah biologis istrinya itu berada. Meminta
waktu bertemu. “Raf?”

“Ya, Pak?”

“Ada berita apalagi dari rumah Kusno Aji?” ia menjadi


penasaran. “Pak Kusno tidak bisa saya hubungi. Sepertinya,
pertengkaran Kaffa dan Keylan cukup serius.”
“Saya akan mencoba menghubungi anggota kita yang berada
di sana, Pak.”

Baik, Harun akan menunggu.

***

Namun, sampai malam tiba, ia tidak mendapat kabar apa-


apa mengenai Kusno Aji. Hanya pesan singkat dari sekretaris
pribadinya saja yang mengatakan bahwa nanti Pak Kusno
sendiri yang akan menghubunginya.

Berita mengenai putra Zuhri Iskandar yang baru saja


menjadi mahasiswa dan terlibat kemesuman di salah satu
kelab malam, langsung menjadi trending dalam berita
pencarian.

Suasana politik jelas makin memanas.

Tetapi kali ini, Harun yang sedang berada di atas awan.

Ancaman Zuhri Iskandar tak lagi dapat menggoyahkannya.

“Selamat ulangtahun pernikahan, Pak Amrullah dan Ibu


Yashinta,” Harun mengucapkan doanya untuk pasangan
yang sudah menikah selama 40 tahun itu. “Semoga hanya
maut yang dapat memisahkan,” imbuhnya penuh ketulusan.

“Terima kasih sudah bersedia datang, ya, Run,” respon hangat


itu berasal dari Ibu Yashinta. Ia memeluk Harun dengan
senyum lembut sambil mengusap-usap
lengannya.“Pasti kamu lagi sibuk-sibuknya, ya? Malah
nyempetin datang.”

“Nggak juga kok, Bu,” Harun membalas sambutan hangat itu


dengan senyum kecil. Tak lupa, ia juga menyapa anak-anak
Amrullah yang secara struktural memang ia kenal. Namun
bila menyangkut personal, ia hanya pernah berinteraksi
dengan seorang saja. Yaitu, Aksara Bhumi. Dan kemudian,
pria itu pun mengajak Harun untuk berdiskusi sejenak.

“Kamu tidak jadi menitipkan istri kamu pada saya?”

Pertanyaan langsung dari Aksa yang berprofesi sebagai


pengacara itu, buat Harun seketika saja harus melihat
sekeliling. Ia harus memastikan tak seorang pun mencuri
dengar percakapan mereka. “Well, ada sedikit masalah,”
hanya itu yang dapat ia bagi. Karena tak mungkin ia
mengisahkan bahwa istrinya diculik oleh ayah kandung
wnaita itu sendiri. “Tapi terima kasih karena sudah sempat
berniat untuk menampung istri saya.”

“Saya agak ketinggalan informasi atau bagaimana, ya?” Aksa


mencoba mengulik fakta yang tak terungkap. “Atau memang
saya dan keluarga saya yang tidak diundang?” pertanyaan
tersebut jelas saja merujuk pada pernikahan Harun Dierja
Aminoto.
Harun mengerti maksud pertanyaan itu. “Saya tidak
menggelar pesta pernikahan,” jawab Harun bijak. “Maaf
kalau membuat kamu kebingungan.”

“Nggak masalah. Jadi, sudah tidak ada yang perlu saya


bantu
‘kan?”

Sambil menghela napas, Harun mengangguk singkat.


“Untuk
saat ini, semoga saja tidak. Tapi, saya tidak tahu nanti.”

“Pastikan kamu menghubungi saya saja. Saya tidak ingin


berutang budi.”

Kemudian mereka pun berpisah.

Harun menginginkan ketenangan sejenak. Namun, apa yang


bisa ia harapkan, bila statusnya sebagai ketua umum partai
sekaligus kandidat calon Wakil Presiden, bila tidak beramah-
tamah menyambut para pejabat yang datang mendekatinya.

“Pak Effendy pasti merasa menyesal memilih wakilnya.”

“Benar. Apalagi, setelah menempatkan Pak Harun pada


opsikedua. Pasti, Pak Effendy sangat menyesalinya.”

Pembahasan mereka tak jauh dari kabar yang


menggemparkan jagad maya.

Mengenai putra dari kandidat Wakil Presiden yang tengah


mabuk-mabukan di sebuah kelab ibukota. Tak tanggung-
tanggung, mahasiswa itu ditemukan tengah mencumbu
seorang wanita telanjang yang disinyalir merupakan teman
kencan satu malamnya. Padahal yang tidak diketahui orang-
orang, Harun yang melaksanakan skenario penjebakan.

“Mbak Nyala sudah sampai, Pak.”

Informasi yang dibisikkan oleh Rafael, membuat kepala


Harun tertoleh ke arah pintu masuk. Pesta ini tidak
dilakukan di ballroom hotel. Melainkan, di halaman
belakang rumah Amrullah Hidayat yang sangat luas.
Bertema garden party, para tamu diminta mengenakan
pakaian casual yang nyaman. Tamu yang diundang pun tidak
terlalu banyak. Hanya para kader senior Nusantara Jaya, juga
rekan-rekan Amrullah dan keluarga besarnya.

Dan istrinya yang sudah ia tunggu-tunggu sedari tadi pun


akhirnya memperlihatkan diri. Dengan mengamit lengan
Sanusi Wijaya, Nyala Sabitah teramat berbahaya dengan
warna merah. Namun hitam, membuat dirinya terlihat lebih
indah.

Ya, Tuhan, Harun ingin sekali menyembunyikan istrinya dari


dunia.

Dress A-line berwarna hitam yang panjangnya hingga mata


kaki, membalut tubuh wanita tersebut dengan begitu pas.
Neckline atasannya tampak manis dalam balutan lace yang
dipadukan dengan lengan ¾ berbahan sama. Dibagian
pinggang, terdapat pita kecil yang simpulnya berada di
punggung. Kalung berlian yang mengalungi leher Nyala,
tampak berkilau saat tertimpa lampu-lampu taman. Namun
yang paling menyita perhatian, tentu saja adalah tonjolan
perut wanita itu yang tak lagi bisa disembunyikan.

Ya, Tuhan … mereka miliknya.

Nyala dan bayi dalam kandungannya, adalah milik seorang


Harun Dierja.

“Anak Pak Sanusi yang ini, benar-benar cantik, ya?” “Masih

muda juga.”

Harun tersadar ketika mendengar suara-suara kekaguman


untuk istrinya.

“Tapi kasihan, cantik-cantik suaminya meninggal.”

Sial!

Harun mengeratkan rahang.

Entah kenapa, ia merasa sangat tak terima ketika orang- orang


tersebut mulai membicarakan istrinya.

“Pak Harun sudah berkenalan dengan anak Pak Sekjen kita?”

Pertanyaan dari seorang kader Nusantara Jaya yang menjabat


sebagai wakil Menteri Keuangan, mau tak mau bawa Harun
kembali melakoni perannya sebagai ketua
umum yang ramah. Jadi, setelah mati-matian menerbitkan
senyum kecil, ia pun menggeleng. “Belum, Pak,” ucapnya
menahan diri. “Bapak sudah kenal?”

“Belum juga, Pak Harun. Ayo, mari kita ke sana.”

“Iya, Pak Harun, kita kenalan dulu sama anaknya Pak


Sekjen.”

“Kasihan, ya, jadi janda sewaktu hamil begini.”

Kepala Harun sampai pusing mendengar komentar- komentar


mereka terkait istrinya.

Ya, Tuhan, andai keadaan sialan ini tidak mengukungnya,


sudah pasti, ia akan merangkul pinggang Nyala dan
memperkenalkan wanita itu pada seluruh kader-kader
partainya.

Sialan sekali, kenapa Sanusi tidak mengakui istrinya sedari


dulu!

Kenapa harus ada drama penyabotasean malam Rakernas?

Dan kenapa, ia harus menghamili Nyala terlebih dahulu,baru


menikahinya?

Sial!

Harun mengepalkan tangan tanpa sadar.


Sungguh, yang ia inginkan saat ini adalah mengakui Nyala
sebagai istrinya.

“Kita mau menemui Pak Sanusi, Pak?” tanya Rafael pelan.

Harun kemudian menggeleng. “Saya perlu bernapas, Raf,”


ungkapnya membalikkan tubuh. “Demi Tuhan, saya
menginginkan Nyala dan anak saya, Raf,” desahnya yang kini
terdengar putus asa.

***

TIGA PULUH

Sebagai manusia, satu hal yang tak mungkin terhindar


adalah rasa kecewa. Mau sebaik apa pun seseorang
menghargai hidup kita, kekecewaan terhadapnya pasti
pernah menyelip di sana. Tidak masalah. Itu bukan berarti ia
jahat. Hanya saja, kita harus ingat tak manusia yang
sempurna di semesta.

Harun tidak bergerak dari tempatnya. Ia memilih memandang

dari kejauhan.

Membiarkan kader-kader partainya mengelilingi Sanusi dan


juga Nyala Sabitah. Ia hanya ingin memantau dalam diam.
Karena bergerak pun, ia tak dapat melakukan apa-apa. Tak
akan ada yang percaya bahwa ia adalah suami dari putri sang
Sekjen. Ayah dari bayi yang tengah dikandung oleh wanita di
depan sana.

“Bapak akan melakukan sambutan dengan kata-kata Bapak


sendiri atau dengan salinan teks dari saya?” Putra baru saja
menyelesaikan urusannya dengan orang dalam di beberapa
media terkait keabsahan informasi yang berasal darinya.
Karena semenjak kasus Sanusi Wijaya kemarin, banyak media
yang menjadi lebih sangat selektif saat menerima informasi dari
nara sumber yang enggan menyebutkan nama asli. Dan
barusan, ia telah berkoordinasi dengan sekretaris pribadi
Amrullah Hidayat terkait susunan acara malam ini.
Ada satu segmen yang memang akan diisi oleh atasannya atas
permintaan Amrullah Hidayat. “Saya sudah menyiap—“

“Saya akan melakukannya sendiri, Put,” Harun memotong


ucapan sang aspri dengan sikap tenang. Kemeja creamnya
dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Celana bahan hanya
menggantung sampai mata kaki. Mengalasi telapak kakinya
dengan loafers cokelat muda yang sedikit mirip dengan warna
kemejanya. Harun melingkari pergelangan tangan kirinya
dengan Fossil hitam yang tak mencolok. “Saya tahu apa yang
mereka inginkan,” lanjut Harun lagi. “Semoga mereka tidak
bosan dengan kampanye terselubung ini, ya, Put?” Harun
mencoba tertawa tetapi matanya menataptajam ke depan.

Mengikuti arah pandang sang atasan, mau tak mau Putra


langsung menghela. Ia tak mau berkomentar banyak. “Saat ini
jejaring maya sedang sibuk membahas skandal anaknya Pak
Zuhri Iskandar. Sampai-sampai, tidak ada komentar miring
yang ingin tahu kenapa Mbak Nyala harus bersembunyi selama
ini.”

“Memang itu ‘kan tujuannya?” “Benar, Pak.”

Upaya agar masyarakat tidak mengulik terlalu dalam


mengenai sosok Nyala Sabitah yang baru saja diakuisebagai
putri Sanusi Wijaya adalah dengan melemparkan skandal
baru. Dan itulah kenapa, mereka harus bergerak cepat
mencipta berita itu. Untung saja Zuhri Iskandar berada
dalam genggaman. Jadi, mudah bagi mereka untuk
membuat narasi.

Sebuah troli yang memuat dua buah tart berwarna hitam


dan juga magenta melintas tak jauh dari mereka. Simbol-
simbol hukum, lalu beberapa peralatan make up berada di
bagian troli terbawah. Kening Harun berkerut samar, lalu tak
lama kemudian tart lain pun berjalan di belakang.

“Apa itu?” ia bertanya penasaran.

“Ulangtahun pernikahan ini, berbarengan dengan


ulangtahun cucu kembar Pak Amrullah dan Ibu Yashinta,
Pak,” Rafael yang menjawabnya. Sebab, ia pernah ditugaskan
untuk memeriksa seluk beluk keluarga ini. Jadi, ia cukup
memiliki banyak informasi yang bisa ia bagikan. “Anak-anak
Pak Aksa dari istri pertamanya yang sekarang sudah menjadi
istrinya kembali, akan dirayakan bersama dengan
ulangtahun pernikahan Pak Amrullah dan istrinya.”

Ah, benar.

Harun baru ingat.

Sebelum menikah dengan seorang politisi, ternyata putra ketiga


Amrullah Hidayat itu rupanya pernah menikah dengan
kekasihnya semasa kuliah. Kemudian, mereka bercerai demi
menutupi skandal yang dicipta putra kedua Amrullah Hidayat
dengan putri terakhir Rangkuti Malik.

Pandangan Harun segera mencari sosok yang dibicarakan


barusan. Aksara Bhumi pun terlihat di sana. Tengah
menggendong seorang balita dengan seorang wanita yang ia
yakini merupakan istri pengacara itu.

“Siapa yang pernah mengira bahwa sebelum menikah dengan


Anyelir, Aksa sudah terlebih dahulu menikah dan punya bayi
kembar,” Harun mengedik terhadap kenyataan itu. “Anak-
anaknya sudah remaja ‘kan?”

“Benar, Pak,” sahut Rafael memberi tanggapan. “Dan seperti


itulah yang saya maksud, Pak.”
Kening Harun berkerut saat melihat sang ajudan. “Yang mana?”
tanyanya bingung.

“Tidak semua hal layak menjadi konsumsi publik, Pak. Yang


penting adalah, mereka mengetahui bahwa Bapak telah
menikah. Siapa istri Bapak, dan bagaimana rupa anak-anak
Bapak, hal tersebut tidak wajib diberitakan. Seperti Pak
Aksa, beliau tidak menggelar konferensi pers untuk
memperkenalkan anak-anak dari istri pertamanya. Beliau
juga tidak mengundang media untuk meliput
pernikahannya. Tapi, beliau hanya menyampaikan, bahwa
beliau menikah kembali dengan istri pertamanya yang dulu
sempat diceraikan.”

Harun terhenyak mendengarnya.

Matanya mengerjap dengan netra yang tak terfokus.

Ia kontan membagi perhatian pada Aksa dan juga pada


istrinya di depan sana.

“Tapi, hal itu nggak bisa terjadi kalau Bapak yang terpilih
menjadi bagian dari kepala Negara.”

Benar.

Hasrat ingin menang pada pemilu nanti, seketika saja luntur.

Harun merasa sangat gila, ketika keinginan untuk kalah


justru menari-nari di kepala.
Memilih memejamkan mata demi menentramkan gejolak di
dada, Harun pun menghela ketika akhirnya ia dapati
ketenangan itu akhirnya bersemayam dalam jiwa.

“Ayo,” ia ajak kedua bawahannya yang setia melangkah.

“Ke mana, Pak?” Putra memang mengikuti, namun


pertanyaan tetap mengalun demi sebuah keingintahuan.

“Berkenalan dengan istri saya,” dengkus Harun diiringi tawa.


“Ingat, kalian harus berakting dengan natural,” kelakarnya
sambil menancapkan atensi penuh pada keluarga Wijaya yang
terlihat bahagia. “Kita akan menyapa anggota keluarga inti dari
konglomerat Sulawesi.”

Well, Wijaya itu mengerikan.Bukan membahagiakan.

Dan istrinya merupakan bagian dari Wijaya sialan itu.

***

Nyala bukan Mayang yang senang menjadi pusat perhatian.

Nyala juga bukan Bagus yang selalu mencari perhatian.

Nyala adalah Nyala, dengan kepribadian yang tidak terlalu


spesial. Ia tak pernah bermaksud menonjolkan kecantikan,
karena ia percaya banyak yang lebih cantik darinya. Ia bahkan
mengkhawatirkan sebuah atensi, sebab hal itu dapat
membuat frustrasi.

Tetapi malam ini, di saat ia dikenal sebagai salah satu anggota


keluarga Wijaya, mendadak saja ia menjadi pusat perhatian.
Banyak kader senior yang dulu selalu ia lihat melewati lobi
tanpa menoleh sedikitpun padanya, sekarang malah sibuk
menjabat tangannya. Ia dipuji karena kecantikannya. Gusti
Hanif yang waktu itu begitu garang menghinanya, kini
tertunduk malu sambil mengucapkan permohonan maaf
bahkan di depan orang-orang di sekitar mereka.

Beauty privilege mungkin memang benar adanya.

Namun percayalah, bahwa harta, kuasa dan nama besar


keluarga adalah pemenangnya.

Dan itulah yang terjadi di hidup Nyala.

Kecantikannya sebagai frontliner sering kali disebut sebagai


modal menggoda para kader dan juga pengusaha. Namun,
ketika bubuhan nama Wijaya bergabung dengan nama
lahirnya, tiba-tiba saja orang mulai mengaguminya.

Skill basa-basi memang telah ia kuasi semenjak tiga tahun


menjabat sebagai frontliner. Senyum karir ketika menghadapi
tamu-tamu cerewet, begitu mahir ia terapkan dalam situasi ini.
Walau sungguh, yang ia rasakan kini adalah rasa gelisah.
Ia ingin duduk dan berhenti menyalami semua. Ia ingin

mencari di mana keberadaan suaminya.

Dan di sela-sela mendengar obrolan antara ayah biologisnya


dan para kader yang sedang menjilat, akhirnya ia menemukan
apa yang dicarinya sedari tadi. Hingga ia tak dapat menahan
senyum lebar yang terpatri di wajahnya saat ini. Harun Dierja
Aminoto, melangkah menuju ke arahnya.

“Selamat malam Pak Sanusi.”

Binar di mata Nyala tak mampu berbohong lagi.

Demi Tuhan, mengapa jatuh cinta pada Harun Dierja harus


semendebarkan ini?

Bayi didalam perutnya seolah memahami situasi, karena kini


gerak sang bayi terasa heboh didalam sana.

“Wah, ini dia calon Wakil Presiden kita,” suara Sanusi


menyambut Harun dengan antusias. Wajahnya yang sehari-
hari berwajah kecut, akan berubah saat situasi tertentu.
Contohnya adalah dalam hal ini. Di mana ia memang harus
berpura-pura excited bertemu dengan ketua umum partainya di
hadapan orang banyak. “Apa kabar, Pak? Sibuk terus, ya,
sepertinya?” mereka saling menjabat tangan dengan senyum
yang tak lekang. “Oh, iya, Pak Harun, kenalkan ini anak
saya,” panggung sandiwara politik ini akan berlangsung
sangat lama. Jadi, mereka harus memerankan peran dengan
sangat baik. “Namanya Nyala, Pak. Dia bekerja di DPP. Belum
lama ini mengajukan resign karena kehamilannya.”

Debar di jantung Nyala jelas menggila kala tatap Harun


mengarah ke arah dirinya.

Ia meneguk ludah susah payah agar situasi ini tak


membuatnya mengacaukan keadaan yang ada.

Tangan pria itu berada di depannya. Sementara bibir tipis


tersebut menyunggingkan senyum tipis yang tampak
menggoda. Nyala bersumpah, tak ada yang lebih baik dari
senyum Harun Dierja yang sesekali mampir ke netranya.

“Saya Harun, senang akhirnya bisa bertemu dengan anaknya


Pak Sanusi.”

Ketika tangan besar itu menjabat tangannya, yang diinginkan


Nyala adalah membawa tangan tersebut mengusap perutnya.
Agar pria itu mengetahui gerak antusias dari bayi mereka di
dalam sana. “Nyala, Pak,” ucap Nyala gugup. Sayang sekali,
mereka semua sedang bermain peran di sini. Jadi, alih-alih
merengkuh tangan itu, Nyala harus merelakan genggaman
tersebut terlepas darinya.

“Sepertinya, kita harus mengobrol sambil duduk. Putrinya Pak


Sanusi terlihat lelah.”
Nyala menggigit bibir ketika menyadari bahwa Harun Dierja
masih mengamatinya. Keberadaan tangannya sendiri yang
tengah mengusap pinggang, pastilah tak luput dari perhatian
pria itu. Sepertinya, Nyala mulai tak sanggup berpura-pura
tidak mengenali ayah dari bayinya. Padahal selama ini, ia selalu
mampu ketika berpura-pura tidak mengal ayah kandungnya
sendiri.

Sebuah kursi ditarikkan langsung oleh Harun Dierja


untuknya. Nyala yang tak mampu berpaling dari pria itu
hanya bisa membalasnya dengan senyum resah. Ketika
akhirnya mereka duduk bersama di satu meja, semua
berjalan dengan alami. Tak ada yang menaruh curiga. Tidak
ada yang terlihat salah. Mungkin, hanya tatap Farid Wijaya
saja yang menghunus begitu tajam.

Astaga, tampaknya Harun Dierja dan Farid Wijaya tidak akan


bisa akur selamanya.

Dan ketika semua sudah duduk mengitari meja bulat, yang


disediakan untuk para tamu. Pembahasan yang mereka angkat
menjadi sangat serius. Absennya Kusno Aji malam ini, cukup
menjadi tanda tanya besar. Apalagi, setelah diketahui, bahwa
kandidat calon Presiden itu juga membatalkan seluruh
kegiatannya hari ini. Mereka sedang menerka-nerka, bahwa hal
tersebut pasti berkaitan dengan pertengkaran kedua anaknya
dini hari tadi.
“Kalau sampai besok pagi kita tidak bisa menghubungi beliau,
salah satu dari anggota koalisi harus ada yang datangke
rumahnya.”

Harun jelas tidak bisa.

Ia akan berada di Palembang besok pagi. Kemudian


siangnya, harus bertemu dengan Ganesha Sri Narendra.
Dilanjut dengan menghadiri pelantikan ketua umum partai
Garuda Raya Indonesia. Dan entah jam berapa acara itu
akan selesai. Lalu, Harun akan melanjutkan jadwalnya
dengan bertemu kedua orangtuanya.

Ya, ibunya mendadak saja membatalkan kehadirannya di acara


ini.

Asumsi Harun adalah karena keberadaan Farid Wijaya.

Entah kenapa, Harun juga merasa lega ibunya tidak jadi datang.

“Apa mungkin dia sakit?” Harun mempertanyakan


kemungkinan yang bisa saja terjadi.

“Tidak mungkin,” namun hal itu segera dipatahkan oleh


Sanusi. “Dia pasti ingin menghindari pengembalian dana
taktis yang sudah terlanjur saya berikan,” ujar Sanusi sambil
berdecih.

“Anda ingin menariknya kembali?” Harun bertanya tak


mengerti.

“Hanya menakut-nakuti,” Farid menyahut santai. “Sama


seperti yang saya lakukan untuk ibumu. Gertakan yang
dibalut oleh surat formal, ternyata agak berpengaruh untuk
menakut-nakuti orang dengan power sekuat Dewi Gayatri
dan Kusno Aji,” kekehnya merasa sudah di atas awan. “Saya
menggugat ibu kamu satu koma lima triliyun. Dan ingin
menarik dana satu triliyun dari Kusno Aji. Well, pasti mereka
sedang ketar-ketir sekarang,” imbuhnya penuh
kesombongan.

Harun ingin sekali mendengkus mendengar keangkuhan


tersebut, tetapi hal itu ia urungkan. Sebab, Farid memang layak
terdengar seangkuh itu. Ia memang lihai mengatur siasat, ya,
persis seperti Sanusi Wijaya.

Dan di tengah-tengah obrolan mereka yang semakin terdengar


menjengkelkan. Ada Nyala yang tak lagi mampu menahan
kandung kemihnya.

“Pak?”

Entah pada siapa panggilan tersebut ia layangkan. Yang


jelas, ia mendapatkan atensi penuh pada orang-orang yang
berada di meja yang sama dengannya.

“Maaf, Pak. Tapi, saya mau izin ke kamar kecil,” ucapnya


meringis sopan.
Selaku suami, Harun jelas langsung sigap setelah mendengar
perkataan istrinya itu. Ia hendak bangkit dan mengantar
Nyala ke sana. Ketika perintah Sanusi mengalun rendah
memberi peringatan.

“Harun! Duduk!” Sanusi mendelik. “Kamu tidak bisa bertindak


seenaknya di sini,” ia menipiskan bibir dengan tatap penuh
peringatan.

Harun langsung tersadar. Sial!

Sanusi benar!

Di sini, ia dan Nyala hanyalah orang asing. Astaga ….

Farid Wijaya menumpukan kedua lengannya di atas meja.


Ekspresinya terlihat begitu jenaka. Mencondongkan sedikit
tubuhnya, tujuan atensi Farid tentulah Harun Dierja. “Suami
adik saya sudah meninggal,” bisiknya penuh makna. Lalu,
tawanya pun terdengar kian menyebalkan. “Pak Harun
duduk saja, oke? Kita memiliki banyak ajudan,” ejeknya tepat
sasaran. “Kita akan panggil satu, untuk mengantar adik saya ke
toilet. Kampanye Pak Harun tidak perlu sampai serepot itu.
Tenang saja, adik saya tentu akan memilih Pak Harun pada
Pilpres nanti.”
Sial!

Harun bersumpah, tangannya sudah gatal untuk menampar


wajah menyebalkan si sulung Wijaya itu.

Wijaya bangsat!

***

Harun harusnya berada di sana sampai acara usai.

Sebab, acaranya akan disambung dengan malam keakraban


bagi kader-kader senior Nusantara Jaya untuk menyolidkan
dukungan mereka pada Harun sepenuhnya.

Namun, karena kegilaan Harun tak tertolong lagi. Tepat


setengah jam setelah istrinya akhirnya diantarkan oleh supir
Sanusi Wijaya pulang, Harun pun berpamitan.

Agenda pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya menjadi


alasan yang ia gaungkan ketika para kader-kadernya
mencoba menahan keberadaan dirinya. Mengabaikan
tatapan sinis dari Sanusi dan juga Farid, Harun hanya
mencoba menebalkan muka.

Ya, masa bodoh dengan mereka.

Yang penting baginya adalah memastikan sang istri berada


dalam keadaan aman.
Malam ini, Sanusi dan Farid tidak akan pulang ke rumah itu.
Ayah dan anak tersebut akan kembali ke rumah yang
ditempati Sanusi selama ini. Rupanya, Sanusi serius
memberikan rumah itu untuk istrinya. Farid memiliki
banyak urusan untuk diselesaikan besok. Sementara Sanusipun
sama saja. Jadi, Harun merasa khawatir pada istrinya yang
ditinggal sendirian dirumah itu.

Walau sebenarnya, ada beberapa ART yang tinggal di sana.


Siska dan Denny pun akan menemani Nyala. Tak lupa, para
petugas sekuriti yang menjaga rumah tersebut. Sudah
seharusnya Harun tak perlu khawatir. Karena yang seharusnya
dikhawatirkan itu adalah dirinya sendiri. Putra sudah berulang
kali mengingatkannya agar bersikap rasional. Namun
tampaknya, Harun sudah bebal diberinasehat.

“Saya akan sampai dibandara tepat waktu,” Harun meminta


kunci mobil karena ia yang akan mengendarainya sendiri.
“Koper-koper saya ada di Puri Indah. Selepas Subuh, saya akan
langsung berangkat,” janjinya pada Putra yang sangatkeberatan
pada tindakan impulsifnya kali ini.

Ya, impulsif.

Setidaknya, itulah yang dikatakan Putra berulangkali. “Tidak

akan terjadi sesuatu pada saya, Put. Saya janji.” Dan setelah

menepuk pundak sang aspri, Harun pun


melangkah menuju mobilnya. Ia berkendara dengan kecepatan
sedang. Ia tiba di properti milik Sanusi, setengah jam
kemudian. Dan dirinya langsung mencari sang istri.

“Katanya Bapak nggak bisa pulang ke sini malam ini?” walau


senang, tetapi Nyala tak mampu menutupi rasa penasarannya.
“Bapak ada penerbangan pagi-pagi ke Palembang ‘kan?”

Harun mengangguk, mengiakan. “Saya agak khawatir kamu di


sini sendirian,” ungkapnya jujur. “Saya akan ke bandara sehabis
Subuh.”

Harun hanya ingin memeluk Nyala dalam lelapnya. Supaya


penat dan resah yang seharian ia rasa dapat berhambur entah
ke mana. Lagipula, ada debar lembut di dada tiap kali mereka
bersama. Dan Harun selalu merasa kecanduan dengan debar
itu.

Rasanya, belum lama mereka terlelap kala ketukan pintu kamar


terdengar konstan. Buat mata Harun menyipit demi
memastikan waktu. Namun, karena ruangan mereka yang
gelap, Harun tidak tahu sudah jam berapa sekarang.

“Pak?” Nyala juga terbangun karena ketukan itu.

“Kamu di sini saja,” Harun akhirnya meraba nakas tuk


menyalakan lampu tidur yang memang ia matikan tadi.
Memeriksa ponselnya yang bergetar, Harun terkejut ketika
ternyata sekarang sudah jam tiga pagi. Dan nama Rafael
berada di layar ponselnya. “Hallo, Raf?”

Sambil mengangkat panggilan itu, Harun melangkahmembuka


pintu.

Ternyata, Denny yang mengetuk pintu kamarnya sedari


tadi.

“Ada apa?”

Dan informasi dari Denny, bersamaan dengan suara Rafael


yang juga memberitahunya kabar yang serupa.

“Sepuluh menit yang lalu, ada laporan dari kediaman Kusno


Aji, Pak. Dilaporkan, terdengar dua kali bunyi tembakan di
sana.”

Hah?

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Tiga
Puluh Satu - Tiga Puluh Dua -
Tiga Puluh Tiga · Karyakarsa

TIGA PULUH SATU

Mulai sekarang, berhentilah mencemaskan masa depan secara


berlebihan. Sebab realitanya, hidup ini hanya memberi manusia
dua pilihan. Entah itu kesabaran tanpa tepi, atau justru
kesyukuran tanpa tapi.

Yang Sanusi ingat, ia perlu membuat sedikit noda di hidup


Harun Dierja yang tanpa celah. Hidup Harun terlalu mulus,
jadi ia perlu merekayasa sedikit kerikil supaya anak itu tak
semakin jemawa. Visi dan misi yang dipaparkan Harun
ketika pertama kali dilantak, jelas terdengar segar. Seolah,
tiap kalimatnya mampu menjadikan Nusantara Jaya menjadi
partai nomor satu. Dari segi teori, anak itu menang di atas
awan. Namun dari praktek di lapangan, segala idealism yang
dipegang teguh itu teramat menyusahkan.

Sanusi langsung tidak menyukai kepemimpinannya. Harus ada

yang menjatuhkan Harun Dierja.


Tetapi apa?
Jadi, demi menekan ketua umum yang baru, Sanusi punya
siasat.

Harun harus diberi noda, agar tak terlalu jemawa akan visi
misinya.

Harun harus diberi dosa, supaya dia terus merasa bersalah.

Dan, ya, Sanusi memiliki rencana.

Awalnya, tidak ada nama Nyala Sabitah dalam rencananya.

Tetapi, laporan-laporan terhadap Gusti Hanif yang terus


mengganggu anak perempuannya itu, semakin menjadi-jadi
dari hari ke hari. Hal itu jelas tidak bagus. Nyala yang sejak
awal tak pernah ia akui keberadaannya, bisa dengan mudah
menyerah terhadap rayuan Gusti Hanif. Sementara itu, ia
juga tidak mampu mendorong Gusti Hanif menjauh.
Kecantikan Nyala, jelas menjadi daya tarik yang dapat menjerat
para hidung belang agar mendekat.

Hal itu jelas tidak bagus.

Sanusi harus memikirkannya juga.

Ia bisa menyingkirkan Nyala dari sana dengan mudah, lalu


memindahkannya ke bagian lain di cabang manapun
semaunya. Namun hal itu berarti, Sanusi tidak dapat
memantau gerak-geriknya anak perempuannya itu. Dan hal
tersebut jelas menyusahkan. Ia khawatir Nyala akan berkata
yang tida-tidak pada orang mengenai latar belakang mereka.
Sanusi takut Nyala terpedaya pada cinta-cinta semua yang
membuat anak itu akhirnya membocorkan
rahasia kelahirannya.

Jadi, Sanusi pun sedang mengupayakan agar hal itu tidak


pernah terjadi.

“Bagaimana kalau begini saja, Pak? Untuk efesiensinya, kita


akan menepuk dua lalat sekaligus. Kita masukan Nyala
Sabitah menjadi bagian dari rencana kita. Biarkan dia yang
menjadi umpan itu. Kita akan memiliki dua keuntungan,
Pak. Yang pertama, Nyala akan disingkirkan oleh Harun
Dierja. Dan yang kedua, kita memegang kunci dosa ketua
umum kita.”

Setelah mengkaji banyak hal, sembari mengikuti tiap


perkembangan kebijakan Harun Dierja dari hari ke hari,
akhirnya sang sekretaris pribadi menuangkan analisanya.

“Sebagaimana yang kita tahu, Harun Dierja sangat mahir


menyembunyikan orang, Pak.”

Benar.

Ada beberapa anggota kader bermasalah yang disembunyikan


keberadaannya oleh sang ketua umum. Dan sampai sekarang,
mereka tak mampu mengendus jejaknya. Entah dibuang, atau
malau dibunuh sekalian.
Awalnya, Sanusi ingin menjodohkan Nyala dengan salah satu
kader partai di Nusantara Jaya. Tetapi kadang-kadang,
mulut orang tak ada yang bisa dipercaya. Tak mungkin
mereka tidak mengoceh. Dan tak mungkin Nyala tak
bercerita. Maka ia pun akhirnya menyetujui ide untuk
mengumpankan Nyala pada Harun Dierja.

Ketika hari eksekusi tiba, Sanusi bak tengah berjudi dengan


waktu.

Harun Dierja bisa saja membuang Nyala seperti yang selama ini
selalu menjadi alibinya. Tetapi, Harun juga dapat
menyembunyikan anak perempuannya itu. Dan yang
kemudian terjadi adalah, Harun malah menikahinya.

Mendadak, Sanusi merasa sakit kepala.

Apalagi dengan fakta yang mengejutkan bahwa anak


perempuannya itu sedang berbadan dua.

Pada akhirnya, keterlibatan Nyala bukanlah menyelesaikan


masalah. Justru, membuatnya dan Harun Dierja memiliki
rahasia yang sama. Yaitu, Nyala Sabitah.

Dan setelah pergulatan panjang itu, Sanusi mulai dapat


mengendalikan polemik. Ia memastikan, Harun akan melaju
menuju bursa pemilihan umum dengan suara telak dari
seluruh kader koalisi.
Akhirnya, mereka bisa mengakhiri krisis kekhawatiran tentang
terbongkarnya status Nyala yang selama ini mereka tutupi.
Walau harus membuat narasi yang tidak sepenuhnya benar,
paling tidak Nyala sudah ia akui.

Bagus.

Tak ada hambatan tuk ambisi mereka memenangkan Harun


Dierja pada panggung politik.

Mereka yakin bisa.

Koalisinya diisi oleh orang-orang yang memiliki harta dan


kuasa.

Sementara, biarkan dirinya yang menyetir mereka.

Pendaftaran KPU akan dibuka tiga hari lagi. Mereka pun


sudah mempersiapkan semua. Tinggal mendaftar, kemudian
basis pendukung pun siap dikerahkan. Sampai kemudian
kabar di waktu menjelang Subuh, buat semua rencana yang
terjalin solid, mendadak buyar.

“Pak, kami baru saja menerima kabar!”

Pintu kamarnya yang terketuk di jam yang tidak seharusnya


tentu saja merupakan pertanya tidak baik. Sanusi menduga
ada yang terjadi dengan anak perempuannya. Tetapi ternyata ia
salah. Kabar yang kemudian merasuk ke telinganya, seketika
saja buatnya tak mampu berkata-kata.
“Pak Kusno Aji, meninggal dunia.”

Sudah.

Hanya tarikan napas yang dapat mencerminkan


keterkejutannya.

Baik.

Ia perlu menenangkan diri.

***

Komisi Pemilihan Umum mengumumkan pengunduran jadwal


pendaftaran calon kandidat-kandidat Presiden beserta para
wakilnya sampai satu minggu ke depan.

Partai Garuda Raya Indonesia, pun mengumumkan penundaan


pelantikan ketua umum mereka.

Keberangkatan Harun ke Palembang, dihentikan. Farid juga

menunda kepulangannya ke Makassar. Geliat rumor-rumor

politik, mendadak tenang.

Berita kematian Kusno Aji menyebar luas.

Masa pendukung dari segala golongan merasa kehilangan.


Banyak yang menangis tak kuasa. Ratap para masyarakat yang
memilih sosok Kusno Aji pada periode sebelumnya, turun
hingga kejalanan. Bendera setengah tiang dikibarkan
untuk menghormati wafatnya sang mantan Jenderal. Nyaris
seluruh tayangan televisi memutar masa-masa
kepemimpinannya. Napak tilas peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh Kusno Aji kembali dibahas. Pengamat politik
memadati talk show di depan televisi.

Semua, berduka cita.

Semua, terkejut karena tak menduga.

Tren untuk AndaSedang tren di IndonesiaKusno Aji

Berita politik Indonesia

Kusno Aji meninggal Dunia

Politik.Indonesia

Ketum Partai Barisan Indonesia Baru

Politik.Indonesia

Harun Dierja Aminoto

Sedang tren di Indonesia

Koalisi Lanjutkan Perjuangan

Sedang tren di Indonesia


Innalillahi

Sedang tren di Indonesia Jadi Siapa Presidennya?

Tampilkan lebih banyak

CNM Indonesia @CNMIndonesia#BREAKINGNEWS

Innalillahiwainnailaihirojiun

Berita duka datang dari Ketua Umum Partai Barisan Indonesia


Baru, Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. Kusno Aji. Tutup usia,
pada pukul 04.00 WIB di Rumah Sakit Jantung Indonesia.
Kami segenap redaksi CNM Indonesia, menghaturkan duka cita
sedalam-dalamnya pada mantan Jenderal kami tercinta.

1.078 Retweet 908 QuoteRetweet 1.990 LikeNarasi

Media @narasimedia #BREAKINGNEWS

Innalillahiwainnailaihirojiun

Indonesia berduka. Salah satu putra terbaik bangsa,


mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Jantung
Indonesia. Mantan panglima TNI, Letnan Jenderal (Purn.)
H. Kusno Aji, dikabarkan meninggal dunia. Pada pukul
04.00 WIB, juru bicara keluarga, Ahmad Ishak mengabarkan
bahwa sang Ketua Umum Partai Barisan Indonesia Baru
telah meninggal dunia akibat serangan jantung yang
diderita.

1.221 Retweet 1.000 QuoteRetweet 2.091 Like

Politik Ngaco @Politikngaco

Fess // Innalillahiwainnailaihirojiun // Barisan Indonesia


Baru

#KusnoAji

Guys, gue mau bikin thread, tentang kabar meninggalnya Pak


Kusno. Yang mana, beliau adalah kandidat salah satu Presiden
yang paling potensial di antara kandidat lainnya, versi gue. Dan
di sini, gue bakal nyantumin penyebab kematian beliau.

~ Thread

8.221 Retweet 5.056 QuoteRetweet 10.091 Like

Politik Ngaco @Politikngaco

Guys, sebelum kita mulai, buat yg muslim boleh dong


mintaAlfathihahnya buat beliau.

Nah, sekarang kita mulai, ya?


Jadi, beliau meninggal karena serangan jantung di pukul
03.00 WIB. Ditemuin sama salah satu ajudannya. Lalu,
dibawa ke rumah sakit Jantung Indonesia. Setelah satu jam
di sana, muncullah kabar bahwa beliau udah nggak ada.

Politik Ngaco @Politikngaco

Berdasarkan keterangan dokter yang nangani beliau, Pak Kusno


memang meninggal akibat serangan jantung. Beliau meninggal
di usia 64 tahun. Terus, dokter juga menjelaskan, riwayat-
riwayat penyakit beliau. Jadi, beliau ternyata udah pernah
operasi pemasangan ring di jantungnya. Terus, ada juga
riwayat hipertensi.

Politik Ngaco @Politikngaco

Jadi, guys, rumor yg beredar di luar sana tentang beliau yg


sengaja dirac*n, itu gk benar. Dokter sendiri udah
memastikan, gk ada senyawa berbahaya di dlm tubuh beliau.
So, stop saling nyerang antara pendukung paslon lainnya.
Mari kita bersatu mendoakan beliau. Karena wlw gimana pun
jg, beliau pernah berjasa melindungi negri ini.

Politik Ngaco @Politikngaco

Harun Dierja Aminoto juga baru aja berstatement kalau dia dan
seluruh anggota koalisi Lanjutkan Perjuangan, bakal menggelar
masa berkabung selama tiga hari ke depan. Yang artinya,
mereka menolak diwawancarai perihal langkah yg
bakal mereka ambil ke depannya.

Politik Ngaco @Politikngaco

Ngomong-ngomong, pemakaman Pak Kusno bakal digelar


secara militer. Dan beliau bakal dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan. Yang mau streaming acara pemakaman sekaligus
melihat siapa aja pelayat yang datang, bisa pake link yang
bakal gue sematin, ya? Atau kalian jg bisa cari kok chanel-
chanel tv lainnya. Mereka jg live report terus.

Politik Ngaco @Politikngaco

Oke, guys, sekali lagi, gue dan seluruh admin Politik Ngaco,
benar-benar ngucapin bela sungkawa yang sedalam-
dalamnya atas meninggalnya, Mantan panglima TNI, Letnan
Jenderal (Purn.) H. Kusno Aji. Semoga, segala amal dan
ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT. Selamat jalan, Pak
Kusno. Terima kasih sudah menjaga NKRI di masa lalu.
Gores jasamu, akan selalu kami kenang. Selamat jalan
jenderal kami tercinta. Tolong, jaga NKRI dari surga.

#KusnoAji #JenderalNKRI #Capreskitabersama


#Presiden2024 #JIJAJUARA
#KUSNOAJIHARUNDIERJAJUARA

15.890 Retweet 11.823 QuoteRetweet 29.714 Like


Panggilaku Aseng @JuliCaesar
Asliii, gk pereesss… tapi gue nangisss wooyy!!

Gk siap nerima kenyataan ini. Ya ampuunn Pak Kusno T_T

#JIJAJUARA #KusnoAJIHarunDierJA

Harapan Ibu @IbnuJamil

Emak sama bapak gue, shock bgt.Emak gue gk mood

masak.

Bapak gue gk mood kerja.

Kita sekeluarga pendukung Pak Kusno dari periode


sebelumnya.

#JIJAJUARA #KusnoAJIHarunDierJA

Kavier Kaviar @Kavierdarusalam

Tolong, bilang ke gue, kalau gue lagi nntn netplik. Ini gk

nyata kan, guys?

Serius, gue pendukung Pak Kusno. Beliau pantas jadi

Presiden tahun depan. #JIJAJUARA

Jessica Mula @Jessicamila

RIP Pak Kusno.


#NasibJIJA #JIJAJUARA #KusnoAJIHarunDierJA

AnakAbiUmi @Ajijulhamdzah

Emank politik periode ini luar biasa gk terpeta, ya? Dari

mulai rumor2 menjelang Pemilu yg bombastis bgt Sampek

ke meninggalnya Pak Kusno gini.

Padahal, beliau kandidat kuat buat menangin Pemilu kali


ini.

Pasangannya juga Harun Dierja yg kesayangan para


pemilih muda.

Semoga yg terbaik untuk masa depan bangsa ini.

#JIJAJUARA #KusnoAJIHarunDierJA #JIJAGimana Dea

Melvia @Deamelvia

Pliiss, jgn salty-in gue. Gue cuma mau nanya.

Gimana nnti sama Pak Harun?

Apa beliau yg bakal naik jadi Capres?Tolong, gue malah

nangisin Pak Harun.

Kyk apa, ya, beliau tuh baru aja move on dari koalisi
sebelah, karena diselingkuhin. Ya, masa, sekarang beliau
ditinggal pergi selama-lamanya.

#JIJA #JIJAJUARA #KusnoAJIHarunDierJA


#NusantaraJaya #HarunDierja

Baviena bukan Maviena @Maviena

Iniii gimana dong, kalau Capresnya meninggal?Teruss

nanti gue kudu milih siapaa?

Gue udah cinta mati sama Pak Haruun wooyyy …

Skrg gue khawatir sm nasib doi. #JIJAJUARA

#KusnoAJIHarunDierJA

***

Bertepat di halaman gedung utama DPP Nusantara Jaya, Harun


Dierja Aminoto, selaku ketua umum partai sekaligus wakil
ketua koalisi Lanjutkan Perjuangan, menggelar jumpa pers.
Dengan kemeja hitam dan celana bahan hitam, Harun
mengenakan peci sewarna dengan baju dan celananya.
Tengah menghadap media ditemani ayahnya, Sekjen partai,
Dewan Pembina Partai, serta beberapa orang kader senior
partai yang lainnya.

Ia siap mengeluarkan statement yang ditunggu-tunggu oleh


sebagian masyarakat juga para pengamat politik, yang mana
beberapa diantaranya sudah sibuk menghubunginya pagi ini.
Membiarkan flash merekam seluruh ekspresinya, Harun
bersiap pada sebuah mimbar kecil yang memang telah
disiapkan oleh timnya untuk momen ini.

“Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ia


menyapa para rekan media yang hadir untuk meneruskan
informasi darinya ke seluruh penjuru nusantara. “Selamat
pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,” Harun menarik
napas panjang sembari menunggu semua yang berada di
halaman DPP menjawab salamnya.
“Innalillahiwainnailaihirojiun,” ia menghela. Wajahnya
terlihat mendung, ekspresinya begitu keruh. Tak ada kilat
tajam dari pendar matanya. Justru, kehampaan yang
terpancar dari kedua netranya. “Berita duka baru saja
memayungi kami semua,” suara Harun menyiratkan gundah.
“Saudara kami, sahabat kami, rekan kerja kami, dan juga
guru kami, Mantan panglima TNI, Letnan Jenderal (Purn.)
H. Kusno Aji, telah meninggalkan kami untuk selama-
lamanya.”

Ia mengerjap pelan demi menghalau panas yang mulai merebak


di kedua matanya. Ia berusaha mempertahankan ketenangan,
walau di dalam tubuhnya, tengah berlangsung peperangan.
Logika dan perasaannya masih terus berdebat. Belum ada
pemenang.
“Seperti yang sudah diketahui, Almarhum adalah rekan saya
dalam menyongsong Pemilu yang sebentar lagi akan digelar.
Banyak cita-cita, juga perjuangan yang kami tuangkan demi
memikirkan kemajemukan bangsa,” Harun membawa
teks buatan Putra, namun hanya sesekali ia mengintip isinya.
Karena selebihnya, ia selalu suka mengatakan sendiri apa
maunya ditiap-tiap pidato yang ia lakukan. “Tetapi kini,
takdir berkata lain. Salah satu putra terbaik bangsa, harus
kembali pada fitranya sebagai manusia. Allah sudah
memanggilnya. Ia pulang, pada rumah keabadian.”

Para ketua umum partai peserta koalisi Lanjutkan


Perjuangan, tentu saja masih merasa shock menerima kabar
ini. Kekhawatiran mereka pun beragam. Kesedihan yang
mereka rasa pun, sulit dijabarkan.

Karena selain menerima fakta bahwa sang kandidat calon


Presiden meninggal dunia secara mendadak, mereka pun
memikirkan bagaimana koalisi ini akan berlanjut. Jujur saja,
Harun pun memikirkan hal tersebut. Kepalanya mendadak
pusing, dan ia sudah memuntahkan cairan lambungnya
sebanyak dua kali.

Ini gila.

Demi Tuhan, situasi yang mereka alami sungguh gila.

“Pada kesempatan kali ini, saya tidak akan menyampaikan


informasi yang berkaitan dengan politik dan juga langkah ke
depan yang akan kami ambil,” Harun tahu apa yang ada
dipikiran masing-masing jurnalis di depannya ini. Maka dari
itu, ia pun bersiap menegaskan. “Izinkan kami, segenap
keluarga besar koalisi Lanjutkan Perjuangan untuk berduka
atas kepergian rekan kami yang terkasih. Saya mohon, untuk
tidak mendesak kami mengumumkan langkah yang akan kami
ambil setelah ini. Beri kami waktu untuk berduka.
Karena walau bagaimana pun juga, Bapak Kusno Aji, adalah
saudara kami.”

Harun belum tidur lagi, setelah dibangunkan pukul tiga pagi


tadi.

Ia hanya meminum kopi, kemudian bertolak ke rumah sakit.

Tak ada yang bisa ia lakukan ketika sampai di sana dan para
keluarga Kusno Aji mengabarkan bahwa rekannya tersebut
telah tiada.

Harun curiga, karena tembakan dan kehabisan darah.

Namun, begitu ia membuka tubuh yang sudah membujur


tersebut, ia hanya melihat wajah almarhum yang sudah
pucat dan dingin. Tidak ada tanda-tanda penempakan
seperti yang dilaporkan anak buahnya. Dan hal itulah yang
kemudian menjadi buah pikirannya sampai sekarang.

Sebenarnya, ada apa?


Tidak mungkin anak buahnya mengada-ada.

Tetapi Harun belum bisa menyelidikinya. Ia harus bertolak


ke rumah duka dan tetap berada di sana sampai pemakaman
selesai.

“Jadi, saya minta pada teman-teman media semua, mari


mendoakan Almarhum. Semoga beliau khusnul khotimah,”
Harun menutup teks di atas mimbarnya. “Setelah ini, kami
semua akan berangkat ke rumah duka. Kami akan mengantar
Almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya. Maka dari
itu, saya mohon kesediaan rekan-rekan media, untuk
mempertanyakan hal-hal terkait pekerjaan politik pada
situasi kali ini. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Dan
juga, mohon maaf atas nama Bapak Kusno Aji.”

Harun mengakhiri pidatonya.

Kemudian, mobil pun bersiap mengantarnya menuju kediaman


Kusno Aji dengan seluruh prasangka yang tak mau hilang di
kepala.

***

TIGA PULUH DUA

Kusno Aji dimakamkan secara militer.


Upacara tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Republik
Indonesia.

Hal itu tentu saja bukan tanpa alasan. Kusno Aji merupakan
sang mantan Jenderal TNI yang nyaris semasa hidupnya
dihabiskan untuk menjaga keutuhan NKRI. Beliau menjabat
sebagai panglima tertinggi ketika sengketa Blok Ambalat
memanas dengan negeri jiran. Beliau juga berhasil
mengamankan Natuna sebagai pulau yang berada dalam
kedaulatan Indonesia. Menjaga kedua pulau yang menjadi
sengketa dengan menerjunkan para tentara kebanggaan
bangsa. Terlepas dengan isu-isu pelanggaran HAM yang
beliau lakukan semasa bertugas, Kusno Aji, layak mendapat
penghormatan terakhir dengan upacara ini.

“Saya turut berduka cita, Ibu Herlita,” Harun menyalami istri


Kusno Aji. Namun, ia justru mendapat pelukan.

“Maafin Bapak kalau ada salah, ya, Pak Harun?”

Tentu, Harun memaafkannya.Jadi, ia pun mengangguk.

Upacara akan dilangsungkan selepas Dzuhur. Jenazah


disalatkan oleh Kiyai Haji Ustaz Ibrahim Mansyur.

“Kita akan sulit untuk pulang nanti.”

Gumaman dari Farid tak buat Harun menoleh.


Karena sungguh, ia pun agak ngeri melihat masa yang sudah
datang terlebih dahulu demi memenuhi jalanan menuju
Taman Makam Pahlawan, yang akan menjadi tempat
peristirahatan terakhir Kusno Aji.

“Masa pendukungnya sebanyak ini,” Farid menggumam


kembali. “Kesempatan kamu untuk memenangkan Pemilu,
sudah bukan berada dalam angan. Kamu benar-benar tinggal
selangkah lagi.”

Pelayat yang datang sungguh membludak. Selain dari para


pejabat pemerintahan, duta-duta besar Negara sahabat yang
berada di Indonesia pun, memberi penghormatan terakhir
mereka pada sang mantan Jenderal. Kader-kader partai yang
tak terhitung jumlahnya, ikut memadati tribun didekat
makam. Sementara lautan masa pendukung, memadati
jalanan.

“ … Almarhum adalah teman saya. Kami memiliki visi dan misi


yang sama untuk mewujudkan Indonesia yang berkecukupan.
Ingat, berkecukupan. Karena banyak sekali, saudara-saudara
kita dari berbagai pulau yang hidup dalam ketidakcukupannya.
Saya dan Pak Kusno, pernah melakukan blusukan bersama
sebelum pemilu lima tahun lalu. Kami meninjau, bagaimana
kehidupan rakyat yang berada jauh dari ibukota Negara.
Beliau sebagai mantan abdi Negara selalu mengatakan, bahwa
banyak anak-anak yang berada di
pedalaman yang menginginkan sekolah.”

Presiden masih menyampaikan kenangan-kenangan beliau


bersama almarhum Kusno Aji di masa lalu. Dan setelah
beliau selesai, Harun juga akan maju ke podium untuk
menyampaikan rasa kehilangannya, sebagai perwakilan dari
koalisi.

“… Pak Presiden, banyak calon-calon penerus hebat bangsakita


yang masih terjebat pada mimpi-mimpi mereka karena
minimnya sarana dan prasarana yang dibangun oleh daerah.
Saya, benar-benar ingat pada ucapan almarhum. Kami pun
mendiskusikan banyak hal.”

Sesekali, Harun membagi perhatiannya dari Presiden kepada


jajaran keluarga Kusno Aji yang sedang berduka. Tidak ada
yang salah dari mereka. Selain fakta, bahwa sedari tadi Keylan
dan Kaffa sama sekali tidak membuka kacamatanya.

Orang awam pasti mengira, mereka sedang berusaha


menutupi air mata di balik kacamata tersebut. Namun Harun
Dierja tidak berpikir demikian. Ada yang janggal dari
kelakuan dua putra Kusno Aji.

“Saya benar-benar mendengar ada dua kali tembakan


yang terjadi di dinihari tadi, Pak.”

Sebelum berangkat ke rumah duka, Harun meminta


ajudannya yang ia tugaskan menyusup di rumah Kusno Aji
mendatanginya di DPP.

“Ada dua ambulan dini hari tadi, Pak. Yang satu, jelas adalah
ambulan dari Jantung Indonesia. Sementara yangsatu, saya
tidak mengenalinya, Pak. Saya tidak yakin, tapi sepertinya,
ambulan itu berasal dari rumah sakit militer, Pak.”

“Kamu yakin ada yang tertembak?”

“Saya yakin, Pak. Karena jerita Ibu Herlita terdengar cukup


jelas. Beliau meracau mengenai darah. Lalu memanggil-
manggil nama Kaffa dan juga Keylan.”

Berarti, memang ada yang tertembak.

Tetapi hal itu jelas bukan salah satu dari kedua anak Kusno
Aji.

Karena saat ini, Kaffa dan juga Keylan tampak sehat. Tidak
ada yang mencurigakan dari keduanya, selain kacamata
hitam yang terus mereka kenakan. Tetapi hal tersebut bukan
berarti apa-apa. Toh, yang ia cari adalah luka akibat
tembakan yang sepertinya memang tidak ada.

Jadi siapa?Bukan Kusno Aji.

Sebab, Harun melihat sendiri bagaimana jenazah itu tampak


bersih dari luka tembakan yang menembus kulitnya. Dan
dari adik iparnya yang merupakan pemilik rumah sakit
Jantung Indonesia pun, Harun memperoleh informasi valid,
bahwa Kusno Aji meninggal karena serangan jantung.

Pertanyaannya, siapa yang tertembak pada pukul tiga dini hari


itu?

“Sudah ada laporan mengenai informassi dari cctv?”

Harun membagi informasi yang ia dapat dengan Sanusi


Wijaya. Dan Sanusi bergerak cepat memerintah orang-
orangnya untuk memeriksa cctv yang mampu didapati.
Pasalnya, rumah-rumah yang berada di lingkungan hunian
Kusno Aji, bukanlah rumah orang-orang biasa. Mereka
merupakan pejabat, maupun duta-duta besar yang tinggal di
sana. Jadi, sudah pasti agak susah melacaknya.

“Fokus saja pada upacara ini. Sebentar lagi, giliran kamu


memberi salam perpisahan,” Sanusi berbicara tanpa menoleh
pada sang menantu yang berada di sebelah.

Well, mau bagaimana pun ia enggan mengakui, faktanya Harun


Dierja Aminoto merupakan suami dari anak perempuannya.
Dan hal tersebut membuat kedudukan pria angkuh itu bukan
lagi sekadar ketua umum bagi partainya. Melainkan juga,
sebagai menantu di hidupnya.
Ck, menggelikan sekali.
Sebagaimana dulu ia begitu sangat anti pada kesombongan
Harun Dierja. Malah kini, ia harus terlibat status dengan sulung
Aminoto itu.

“Tidak ada luka tembakan di jenazahnya,” gumam Harun tak


dapat menghentikan rasa penasarannya. “Kaffa dan Keylan juga
terlihat baik-baik saja,” Harun mencoba melirik kedua anak
lelaki Kusno Aji. “Anak buah saya tidak mungkin salah dalam
melapor. Dia benar-benar mendengar tembakan.”

“Kalau begitu, berarti memang ada tembakan,” sahut Farid


santai. Mereka semua duduk di baris pertama dengan susunan,
Harun berada di tengah sementara Sanusi Wijaya di sisi kiri
dan Farid di sebelah kanan. “Papa bilang, salah seorang
ajudannya tidak ada ‘kan?”

Sanusi hanya mengangguk pelan. “Kita akan selidiki,” itu


berarti ia belum yakin.

“Kalau tidak bisa melacak cctv dari portal utama. Setidaknya,


kita dapat mencari cctv dari beberapa kantor yang berada
dekat demngan pintu masuk kawasan komplek Kusno
tinggal,” Haarun menambahkan. “Kita—“

“Harun, diam,” Sanusi menipiskan bibirnya. “Pak Presiden


sudah hampir selesai. Panggil asistenmu. Dan bersiap- siaplah.”

“Ck,” Harun mendengkus sinis. “Saya ingin secepatnya


mengetahui yang terjadi.”

Sayangnya diskusi kecil mereka harus benar-benar terjeda,


karena Harun memang harus naik ke podium.
Well, dia lumayan, Pap,” ujar Farid menunjuk Harun dengan
dagu. “Setelah Papa pensiun, sepertinya dia cukup bisa diajak
kerjasama,” imbuhnya sambil mengenakan kacamata hitam
yang semula ia sangkutkan di saku kemeja. “Walau kami harus
melakukan diskusi panjang. Aku yakin, bisa mencoba
bekerjasama dengannya.”

Sanusi tidak berkomentar. Tetapi kemudian, ia malah


menghela napas panjang. “Jangan pulang ke Makassar dulu.”

“Kenapa?” Farid menoleh sejenak. “Kerjaanku banyak.”

“Di sini juga sedang banyak pekerjaan. Sepertinya ada yang


tidak beres. Paling tidak, tetap di sini sampai pendaftaran
KPU dibuka, Rid. Papa akan sibuk mengurus koalisi ini.
Dankita, tidak tahu apa lagi yang terjadi nanti.”

Walau sambil berdecak, Farid menyetujui permintaan Papanya


itu. “Oke. Cukup satu minggu, ya?”

Ya, semoga cukup satu minggu.

Karena Sanusi yakin, satu minggu ini akan sangat


memusingkan.
***

Kader-kader politik yang partainya tergabung dalam koalisi


Lanjutkan Perjuangan mulai berisik. Padahal, mereka baru saja
selesai melaksanakan penguburan untuk sang ketua koalisi.
Tetapi, ya, terkadang memang seperti itulah kepentingan
pribadi selalu mengalahkan rasa empati yang kita miliki.

Terlebih, untuk para caleg yang berlaga demi memperebutkan


kursi DPR RI. Mereka mulai mempertanyakan bagaimana nasib
koalisi ini.

Ya, pertanyaan yang sama seperti yang menggantung dalam


benak Harun sedari tadi.

Ia pun tidak tahu bagaimana akhir dari koalisi ini nanti.

Walau sejujurnya ia membutuhkan waktu untuk menyendiri,


tetapi tampaknya ketidaksabaran merupakan nama lain dari
para kader-kader partai. Jadi, mau tak mau, akhirnya Harun
membuka kembali rumahnya yang berada di Puri Indah sebagai
tempat untuk diskusi mereka. Karena tak mungkinmereka tetap
kembali ke kediaman Kusno Aji dan mengambil alih ruang
kerja pria itu. Sementara malam nanti, akan digelar tahlilan di
rumah itu.

“Jadi, bagaimana sekarang?” Gideon Sutjatmoko sudah


terlanjur masuk ke dalam koalisi ini. Walau tidak ingin
berhitung mengenai dana yang sudah keluar untuk mendukung
pasangan calon Presiden dan Wakil yang sudah disetujui
bersama, ia tentu membutuhkan kepastian. Sebab, ia juga harus
menentukan langkah dalam seminggu waktu yang tersisa.
“Langkah apa yang akan kita ambil sekarang?” tuturnya to the
point saja.

“Pak Harun bisa melanjutkannya. Bapak bisa maju sebagai


calon Presiden. Kita hanya harus mencari wakilnya.”

Harun tahu, cepat atau lambat kalimat itu akan meluncur


juga. Jadi, setelah melepas peci dan menggulung lengan
kemejanya hingga sebatas siku. Harun yang tadi memang
belum duduk, memilih berdiri di belakang kursi kosong.
“Saya belum mampu, Pak,” akunya dengan jujur pada salah
satu kader elite koalisi. Tanpa kemarahan, tetapi syarat akan
kejenuhan, Harun memandang mereka satu per satu.
“Sebenarnya, kita butuh waktu, Pak,” ia mengedarkan
pandangan pada para perwakilan partai yang hadir.
Setidaknya, ada lebih dari 12 orang di ruangan ini. “Kita
harusnya masih berkabung.”

“Kita tidak punya waktu, Pak Harun.”

Sahutan lain muncul dengan nada penuh desakan yang sama.

“Pak Harun, kader-kader kita butuh kepastian.”


Astaga, Harun pun sama.Ia juga butuh kepastian.

“Saya tahu. Tapi dengan kondisi seperti ini, bagaimana kita


bisa berpikir?”

Jujur, Harun tak mampu mencerna satu pun kata dalam


pikirannya.

Jadi, ia benar-benar butuh rehat demi mendengarkan satu


per satu isi kepalanya.

“Kita baru saja ditinggalkan rekan kita. Pak Kusno baru


meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya.
Setidaknya, mari hormati beliau dengan memberikan jeda
sebentar saja untuk satu hari ini. Saya tahu, kita sedang
diburu waktu. Tetapi sungguh, kita baru saja berduka.”

“Harun benar,” Sanusi pun berdiri dari kursinya. “Kita akan


bertemu besok. Dan semoga, ketika kita berkumpul besok,
sudah ada gambaran yang bisa kita diskusikan.”

“Baiklah,” Gideon pun mengalah. “Besok, ya, Pak Harun?” ia


sedang menekankan keinginannya. “Saya juga berharap, para
ketua umum partai yang berada di sini untuk menenangkan
para kadernya. Karena besok, kita akan bertemu lagi di sini.
Kita akan membahas masa depan koalisi sampai tuntas.”
Pintu ruang kerja Harun terketuk.

Harun menitahkan masuk untuk siapa pun yang menunggu


di baliknya.

“Pak,” Rafael datang dengan langkah cepat. “Di luar, ada


PakKeylan dan juga sekretaris pribadi Pak Kusno Aji.”

Harun dan Sanusi hanya melempar pandangan singkat.


Sebelum, Harun mengangguk mempersilakan tamunya masuk.

“Apa ada wasiat bahwa Keylan yang akan menggantikan


posisi Pak Kusno Aji?”

Ada atau tidaknya wasiat, memang Keylan yang


menginginkan posisi itu.

Tetapi masalahnya, orang itu patut dicurigai.

Dan seperti biasa, Harun paling tidak bisa bekerja dengan orang
yang mencurigakan.

“Selamat sore semuanya,” Keylan masuk dengan kacamata


hitam yang masih menempel di wajah. Di belakangnya ada
sekretaris pribadi Sanusi Wijaya dan dua orang ajudan yang
biasanya mengawal Kusno Aji bila berpergian. “Maaf
menggangguk rapat internalnya,” senyum pria itu begitu
manipulative. Karena sesungguhnya ia tidak merasa
menyesal telah mengganggu rapat ini. “Saya boleh
bergabung?”

Harun menatapnya sengit.

Pun, beberapa anggota koalisi lainnya juga tampak tidak senang


dengan kehadiran Keylan. Mereka jelas bukan orang bodoh.
Mereka tidak akan mampu untuk berada di tahap ini, kalau
mereka semua tak memiliki kelicikkan yang sama. Dan Keylan
jelas bukan anak kemarin sore yang polos. Putra Kusno Aji itu,
sudah terkenal memiliki ambisi untuk menjadi ketua umum
partai menggantikan ayahnya.

“Jangan terlalu terlihat bersemangat begitu,” celetuk Harun


sambil menarik kursi. Ia duduk di sana dan itu berarti, ia
akan memberi waktu pada apa pun yang ingin disampaikan
Keylan pada mereka. “Saya khawatir akan muncul rumor
bahwa kamu tidak bersedih,” imbuhnya sambil menatap
datar.

Well, selalu ada yang bisa membereskan rumornya. Bukankah


begitu, Pak Gideon?” tanpa sungkan sama sekali, Keylan pun
menarik kursi yang berseberangan dengan Harun Dierja. Ia
melipat kedua tangannya di atas meja. Lalu mengedarkan
pandangannya ke seluruh anggota kader koalisi. “Bisa kita
duduk terlebih dahulu?”

Semua kader yang berada di sana menyipitkan mata. Namun


setelahnya, mereka tampak kompak menoleh pada Harun
Dierja. Seolah meminta bantuan.

Dan Harun memberi anggukkan singkat supaya para kader


koalisinya tetap berada di sana. Mereka kembali menduduki
kursi yang nyaris mereka tinggalkan tadi.

“Oke, jadi, kita akan tetap melanjutkan koalisi ini,” ujar


Keylan tanpa basa-basi. “Sekretaris, juga asisten pribadi
Papa saya masih hidup. Mereka yang akan membantu kita
melaksanakan pemilu ini. Mungkin, posisinya akan sedikit
berubah. Pak Harun akan naik sebagai calon Presiden. Dan
sayalah yang akan mewakilinya.”

Bukan sebuah penawaran.

Keylan jelas sedang memaksakan kehendak.

Dan Harun merasa harus tertawa ketika ada seorang anggota


kader koalisinya yang memberi restu.

Ini gila!

Demi Tuhan, ia akan menuduh bahwa Keylan yangmembunuh


Kusno Aji.

***

Harun letih.

Baik fisik maupun mentalnya.Ia harusnya beristirahat.


Namun ia tahu, ia masih memiliki tanggung jawab lain.

Maka dari itu, usai menghadiri tahlilan di rumah Kusno Aji


dan berlanjut dengan pertemuannya dengan Menpora,
Harun memutuskan untuk pulang ke rumah milik Kusno Aji
yang kini ditinggali oleh istrinya.

Kali ini, kepulangannya bukan untuk memadu resahnya.


Melainkan demi menentramkan jiwanya. Keylan Hanggono
Aji, terindikasi berbahaya. Hal itu disampaikan langsung oleh
Sanusi Wijaya yang merasa ada yang tidak beres dengan anak
itu. Harun diminta berhati-hati. Sementara yang Harun
pikirkan adalah keselematan Nyala.

Ketika sampai di sana, Nyala sudah tidur. Harun tak ingin

mengganggu.

Tetapi, ia merasa harus memeluk wanita itu. Jiwanya terasa

babak belur ditampar kenyataan. Sungguh, takdir manusia

tidak ada yang tahu.

Kepergian Kusno Aji yang tiba-tiba, benar-benar


mengguncangnya. Tak pernah terbayangkan, akan
ditinggalkan oleh mantan Jenderal yang ambisius itu begitu
saja. Padahal, langkah mereka tinggal sedikit lagi. Walau Harun
sempat membayangkan kekalahan dalam pemilu, setidaknya
hal itu lebih manusiawi dibanding harus ditinggal
pergi tanpa pesan sama sekali.

Dan sekarang, ia bak tentara kecil yang ditinggal begitu saja di


tengah peperangan bersenjata. Di mana, komandannya
tersebut telah gugur begitu saja.

Nggh, Pak?” Nyala menggeliat kecil kala merasakan


tubuhnya di peluk dari belakang. “Bapak udah pulang?”
matanya yang menyipit langsung mengenali sebuah tangan
yang mengelus perut buncitnya.

“Tidur kamu tergangganggu?” Harun bertanya dengan nada


pelan. Ia kecup tengkuk Nyala, lalu menyimpan wajahnya
pada helai-helai rambut wanita itu. Hidungnya terus
membaui aroma tubuh Nyala, sementara tangannya terulurke
depan untuk membelai tempat tumbuh kembang anak
mereka. “Maaf, tidak sempat menghubungi kamu sedari
tadi.”

Nyala tidak berbalik. Ia biarkan pria itu memeluknya dari


belakang. Merasakan keintiman dari sapuan lembut di perut,
juga kecup kecil yang sesekali dijatuhkan pada tengkuk dan
ceruk lehernya. “Bapak pasti sibuk,” ujar Nyala memaklumi.
“Saya juga turut berduka cita, ya, Pak? Saya tahu, walau
bukan keluarga, tapi kepergian Pak Kusno pasti membuat
hari-hari Bapak sulit.”
Benar.
Besok jelas akan lebih berat dibanding hari ini.

“Saya capek,” desah Harun yang kini memilih tuk mendekap


Nyala sambil memejamkan matanya. “Saya benar-benar
capek,” tambahnya dengan nada lelah yang tidak dibuat-
buat.

“Istirahat saja, Pak. Saya akan selalu ada di sini buat Bapak.”

Harun akan mencoba memercayainya.

“Kapan bayinya lahir?”“Bulan depan, Pak.”

“Saya ingin mendengar tangisannya.”

Perkataan tersebut buat hati Nyala menghangat. Tak lagi


menahan diri untuk bersitatap, dengan kepayahan Nyala
berusaha memutar tubuhnya supaya mereka berhadapan.
Meski perut bundarnya tak akan bisa buat mereka
berpelukan seerat tadi. Tapi setidaknya, Nyala ingin
merangkum wajah Harun Dierja yang kerap membuat resa
debar jantungnya.

“Saya penasaran dengan namanya, Pak,” Nyala mengulum


senyumnya di antara remang cahaya lampu tidur yang
berpendar di kamar. “Saya ingin tahu, apa nanti Bapak
memberinya nama belakang keluarga atau tidak,” ungkap Nyala
jujur.
“Kamu meresahkan itu?” Harun membelai pipi Nyala yang
halus. Dengan menajamkan indera, ia berhasil menangkap
anggukkan dari istrinya. “Kamu benar-benar ingin saya yang
memberi nama?"

“Iya, Pak,” ketika telapak tangan besar itu mampir mengelus


pipinya, Nyala menangkap tuk melabuhkan sebuah kecupan di
sana. “Saya ingin Bapak yang menamainya,” tuturnya sambil
tersenyum. Menurunkan tangan Harun Dierja, ia
meletakkannya di atas perutnya kembali. “Dia milik Bapak.”

“Saya tahu,” Harun melengkungkan senyum kecil. “Dan kamu


juga milik saya,” ia labuhkan ciuman di bibir Nyala. Menghisap
bagian bawahnya, kemudian memasukan lidah. “Kamu milik
saya,” ia kembali mengklaim setelah berhasil membuat Nyala
terengah.

***

TIGA PULUH TIGA

Pagi-pagi sekali, Putra dan Rafael sudah datang.

Sebelum bertemu dengan para kader koalisi siang ini, ia


harus melihat terlebih dahulu gambaran neraca untung dan
rugi bila ia memutuskan untuk tetap melanjutkan koalisi
atau malah membubarkannya. Jujur saja, Harun benar-
benar tidak berani mengambil resiko mencalonkan diri
sebagai Presiden. Sebab, hal itu teramat cari mati menurutnya.

Ia sudah berbincang dengan ayah dan kedua adiknya melalui


zoom meeting selepas Subuh tadi. Ia menceritakan
keresahannya pada mereka semua. Tanpa melibatkan sang
ibu, Harun berharap memperoleh sedikit ketenangan. Dan
itulah yang ia dapatkan. Tanggapan bijak dari adik-adik serta
ayahnya buat Harun memiliki bayangan pada langkah yang
akan ia ambil sekarang.

Aku belum berani ambil kesempatan itu, Pa?” maksud


Harun adalah naik tingkat menjadi kandidat Presiden.
“Aku nggak bisa mencalonkan diri hanya dengan modal
ketenaran, sementara aku benar-benar baru seper limanya
mengetahui masalah-masalah politik ini,” ia mengaku
jujur.

“Ya, sudah, Papa juga nggak memaksa. Karir Mas Harun


masih panjang. Papa juga nggak suka kalau Mas Harun
mengiakan tawaran itu hanya karena aji mumpung,” Hassan
berada di ruang kerjanya. Dengan kacamata, ia menatap
wajah putra-putrinya yang tersambung dalam layar.

“Iya, Mas. Masalahnya nggak cuma lo bakal kelihatan bego


banget di debat Capres-Cawapres nanti. Para pakar politik
yang sok tahu itu, pasti bakal ngulitin elo habis-habisan.
Lagian, andai terpilih, ya, kalau emang nasib lo mujur.
Emangnya lo siap bertanggung jawab atas 278 juta jiwa
rakyat indo?”

Tentu saja tidak siap.

Makanya, Harun berusaha tetap rasional pada


ketidakmampuannya mengemban tugas besar itu.

“Lagian, Mas,” Harla yang menyimak dengan suaminya di


sebelah, mulai memberikan pendapatnya. “Mending Mas
Harun dimusuhi kader-kader koalisi dan semua
pendukungnya. Dibanding Mas Harun harus nekat dan
ngebuat Mas jadi public enemynya seluruh rakyat kalau nanti
menjabat. Udahlah, Mas. Aku serem bayanginnya.”

Harun mengangguk.

“Atau, kamu mau pendapat lain, Mas Harun?” “Pendapat

siapa, Pa?”

“Ya, siapa tahu, karena pendapat Papa dan adik-adikmu


terdengar sama. Siapa tahu, kamu butuh pendapat Mama
sebagai bahan perbandingan?”

Harun kontan mengerang. “Please, Pa. Untuk saat ini, tolong


jangan biarkan Mama ikut campur.”
Ponsel pribadinya mulai berdering menandakan panggilan-
panggilan masuk. Dan karena Putra sudah berada bersamanya,
ia biarkan Putra yang mengurusnya. Sementara dirinya
beranjak menuju ruang makan untuk sarapan. Nyala sedang
ingin membuat nasi goreng, Harun membiarkannya karena di
dapur ada asisten rumah tangga ya mengawasinya.

“Saya recock resep nasi goreng Solaria ala chef Devina


Hermawan. Tapi kayaknya, yang saya buat nasi goreng Soloria,
ya, Pak?” ia mengomentari nasi gorengnya sambil tertawa.
“Penampilannya memang agak hitam, Pak. Terus, rasanya juga
agak manis. Tapi bagus sih, ya, Pak? Timbang keasinan.”

Harun mengangguk saja. Berdiri di belakang Nyala, Harun


mengusap punggung wanita itu hingga ke bagian pinggangnya.
“Masih pegal?”

Kini, giliran Nyala yang mengangguk. “Cuma kalau lagirebahan


enak, Pak. Tapi ‘kan sekarang saya pipis terus kerjanya. Jadi,
baru saja rebahan bentar, terpaksa harus bangkit lagi buat ke
kamar kecil.”

“Jadi gimana?”

“Ya, ditunggu aja sih, Pak, sampai lahiran.”

Mengingat proses persalinan yang akan Nyala lakukan nanti,


Harun pun merasa harus berbicara dengan wanita itu. Jadi,
setelah memastikan menu sarapan yang diinginkan Nyala
sudah berada di hadapannya. Ia pun menarikkan kursi untuk
wanita itu. “Putra bilang, renovasi kamar bayi di apartemen
hampir rampung,” Harun tetap menjalankan rencananya
untuk membuat kamar bayi di apartemen sesuai dengan
yang sudah disepakati. “Setelah selesai nanti, semua
perlengkapan bayi yang sudah kamu pilih waktu itu, akan
mulai bisa diantar. Yang jadi pertanyaan saya, ke mana nanti
mereka harus mengantar perlengkapan-perlengkapan
bayinya?”

Mengingat Nyala memilih tinggal di sini dibanding ikut


bersamanya waktu itu, Harun jadi bingung mengenai
perlengkapan bayi yang diingatkan Putra beberapa saat yang
lalu.

“Kamu ingin tinggal di sini sampai kapan?” tanya Harun lagi.


“Setelah melahirkan di rumah sakit. Apa kamu akan pulang ke
rumah ini lagi?” Harun tidak menuntut, hanya saja ia ingin
memastikan. “Ke rumah mana harus saya perintahkan mereka
membawa perlengkapan-perlengkapan bayinya?”

“Saya nggak tahu, Pak,” aku Nyala dengan jujur. Wajahnya


langsung muram walau ia mencoba menampilkan senyuman.
“Saya nggak tahu, mau pulang ke mana,” tuturnya kemudian.
“Nyala—“
“Pak,” Nyala menyela ucapan Harun dengan berani. “Saya
benar-benar nggak tahu harus pulang ke mana, Pak. Karena
selama ini, nggak ada satu bangunan pun, yang
memperbolehkan saya menyebutnya sebagai rumah.”

“Maksud kamu?”

Nyala tersenyum kecil. Walau tidak sampai ke mata,


cukuplah agar pria itu tahu bahwa ia tidak marah. Ia hanya
sedang memaparkan kenyataan mengenai dirinya.
“Apartemen itu milik Bapak,” ia mengingatkan. “Dan rumah ini,
milik Sanusi Wijaya,” ia anggukkan kepala dengan senyum
yang menyiratkan kepedihan. “Nggak ada yang benar-benar
jadi rumah saya, Pak. Karena di mana pun saya berada, saya
hanya sedang disembunyikan. Benar ‘kan, Pak?”

Harun kontan terhenyak. Buatnya seketika saja terdiam.

“Saya berada di apartemen Bapak untuk sembunyi dari


pantauan Kusno Aji. Kemudian ketika saya berada di sini,
saya disembunyikan dari orang-orang yang mulai
mengendus keberadaan saya. Benar, begitu ‘kan, Pak?”

Tentu saja, benar.

Andai Harun mengelak, maka Nyala akan memaparkannya


kembali.
“Apartemen Bapak maupun rumah ini, hanyalah tempat
persembunyian, Pak. Jadi, katakan sama saya, Pak.
Bangunan mana yang harus saya sebut sebagai rumah?”

Ia hanyalah penghuni sementara.

Sebab, penghuni sesungguhnya adalah Harun Dierja dan juga


Sanusi Wijaya.

“Bapak cuma menyembunyikan saya di apartemen Bapak


supaya aman,” tutur Nyala mengungkapkan isi hatinya. “Dan
Pak Sanusi pun sama. Beliau menempatkan saya di sini, untuk
disembunyikan sementara waktu. Bila keadaan sudah aman,
mungkin saya akan dilepas.”

Harun tak berkedip ketika memutuskan memusatkan perhatian


pada senyum muram sang istri. Ia tak mampu berucap dan
memutuskan menggigit lidahnya yang keluh. Setelah menghela
napas dengan tak kentara, ia menarik tangan Nyala dan
menggenggamnya. “Seharusnya saya tidak usah bertanya,”
ucapnya pelan. Mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan
seorang Nyala Sabitah. “Seharusnya saya sudah tahu ke mana
akan membawa barang-barang itu,” tuturnya muram. “Tentu
saja ke rumah saya. Kamu hanya akan pulang ke rumah yang
ada saya di dalamnya. Bukankah begitu?”

Nyala tak segera menjawab. Matanya yang berkaca-kaca tak


membuat senyum muramnya tadi berubah cerah. Dengan
kepala mengangguk riang, ia biarkan setetap air mata jatuh
di sana. “Tentu saja, Pak,” ia menyetujui segera. “Seperti
itulah rumah yang saya maksud, Pak. Sebuah rumah, dengan
Bapak yang berada didalamnya.”

“Oke,” Harun menanggapinya dengan suara riang.


“Biarkan
saya mengejutkan kamu.”

“Saya mulai suka dengan kejutan, Pak.” “Bagus. Kamu

berada di tangan yang tepat.” “Tapi yang lebih saya sukai itu

Bapak.”

Harun tertawa kecil. Mencondongkan sedikit tubuh, ia


mengecup pelipis istrinya cukup lama.

***

Sanusi Wijaya menghubungi Harun di tengah perjalanannya


menuju DPP. Memintanya mampir ke rumah pria setengah
baya itu dengan nada mendesak penuh tuntutan. Dan ketika
Harun tiba di sana, tidak ada basa-basi yang ia terima. Ia
langsung digiring masuk menuju ruang kerjanya. Rupanya,
Gideon Sutjatmoko pun berada di sana.

“Ada apa?”
Ia jelas bingung.
Sebab, Sanusi sama sekali tidak menyebutkan tentang
kehadiran Gideon.

“Ada internal meeting?” ia tak bermaksud mengeluarkan


sarkas di momen menyebalkan ini. Hanya saja pikirannya
masih kalut. Ia sedang tidak ingin menjalin kerjasama dalam
bentuk ancaman. Ia sudah lelah dengan semuanya. “Ada
yang tidak saya ketahui?”

“Tentu,” Sanusi menjawab dengan santai. Ia bergabung dengan


Gideon dan juga Harun di sofa ruang kerjanya setelah tadi
menjawab panggilan dari putra keduanya. “Apa yang
dilaporkan anggotamu benar,” ucap Sanusi tanpa basa- basi.
“Memang terjadi penembakan di dini hari itu.”

Punggung Harun kontan menegang. Tak lagi memandang


Sanusi dengan sirat meremehkan, kini Harun menunggu
informasi selanjutnya.

“Dan dini hari itu, benar-benar ada yang tertembak.” “Anda

sudah mendapatkan rekaman cctvnya?”

Sanusi mengangguk menjawab pertanyaan Harun. Ia lalu


mengarahkan perhatiannya kepada Gideon Sutjatmoko.
“Berkat Pak Gideon.”

Ah, kini Harun dapat melihat benang merah itu.


“Ambulan yang dikatakan oleh anggota kamu itu, berasal
dari sebuah klinik milik salah seorang pensiunan dokter militer.
Yang saat ini dikelola oleh menantunya. Dan ke sanalah, korban
penembakan itu dibawa.”

“Dan korbannya adalah?” Harun mencoba bersabar.

Pandangan Sanusi mengarah pada Gideon Sutjatmoko. Binar


matanya meminta agar pria itu yang melanjutkan informasi
yang sudah mereka diskusikan beberapa saat sebelum Harun
datang.

“Febrian Laksamana, 29 tahun. Ajudan lapis kedua yang


dimiliki Kusno Aji,” Gideon mengambil alih. “Dan statusnya
saat ini, meninggal dunia.”

Harun menahan napas.Sial!

Ia seolah tak siap dengan kabar ini.

Padahal, sudah sejak kemarin ia menduga pasti ada korban


lain yang disembunyikan.

“Pelakunya?” Harun bertanya dengan nada dingin. Matanya


yang dibingkai oleh lensa optik, berpendar dengan tajam.

“Kaffa Agustio Aji.”

Oh …

Sayang sekali, Harun sudah menebak bahwa Keylan yang


melakukannya.

“Berarti, Keylan bersih?”

Giden menggeleng. “Nggak juga. Dia terlibat perkelahian


dengan Kaffa. Dia memprovokasi Kaffa ketika Kusno Aji
berusaha melerai anak-anaknya. Dan, ya, Kaffa terpancing.
Dia bermaksud menembak Keylan. Tapi peluru pertama
meleset mengenai tiang. Lalu tembakan yang kedua,
menyasar ke arah ajudan Kusno Aji yang sedang berusaha
melindungi atasannya.”

Dongeng ini begitu menarik.

Sampai-sampai, Harun ingin muntah mendengarnya.

“Kusno Aji shock melihat ajudannya tertembak di depan mata.


Beliau jatuh pingsan, sementara ajudannya meninggal dalam
perjalanan menuju klinik karena kehilangan banyak darah.”

Bagus.

Bagus sekali skandal ini.

Astaga, Haruskah Harun sendiri yang mendongengkannya


kepada public?

Ia butuh publisitas tinggi untuk meningkatkan elektabilitas


partainya.
Sepertinya, drama keluarga cukup diminati.

Tetapi, tenang saja, Harun masih punya hati nurani.

“Ajudannya berasal dari Blitar. Keluarga ajudan itu hanya


diberitahu, bahwa anak mereka meninggal saat
melaksanakan tugas. Kaffa dan Keylan jelas-jelas
memberikan dana konpensasi yang besar.”

Harun mengangguk paham. “Pada intinya, mereka berdua


sama saja,” dengkus Harun sinis. Ia lepas kacamatanya
hanya tuk memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri.
“Jadi … apa yang akan kita putus ‘kan?”

“Kita akan menolak Keylan bergabung dengan koalisi.”“Dan

setelah itu?” tanya Harun mulai tak sabar.

“Kita butuh waktu yang sangat panjang untuk mengurus


yang tersisa.”

Sekali lagi, Harun mendengkus.Politik semakin suram. Dan

ia mulai tak nyaman.

“Seperti biasa ‘kan, Pak Sanusi?” tanya Harun dengan wajah


menyiratkan kepolosan manipulative. “Anda yang akan
membereskan sisanya ‘kan? Karena sepertinya, saya mulai
menyukai kerjasama kita,” celetuknya tertawa singkat. “Anda
yang bekerja di belakang layar. Dan saya yang akan
menghadapi kameranya. Bagaimana? Setuju?”

Harun akan menyerahkannya pada Sanusi Wijaya.

Toh, semua ide pencalonan ini bermula dari Sekjen


partainyaitu.

Ya, biarkan saja.

Biar Sanusi yang menyelesaikannya.

***

Sesampainya di DPP, Harun harus dibuat mengerang atas info


yang ia dapat dari sekretarisnya sesaat sebelum ia memasuki
ruangannya.

“Ibu Dewi sudah menunggu Bapak sedari tadi.”

Bagus.

Orang terakhir yang ingin Harun temui berada di sini. Tanpa

mampu mengelak atau lari.

Harun menghela ketika pada akhirnya bertemu muka dengan


sang ibu.

“Ma?” ia mengucap salam dan memandang ibunya dengan


pandangan yang sama datarnya. “Mama sendiri?” tidak ada
ajudan wanita yang menyertai. Terlebih, Harun hanya ingin
basa-basi.

“Ibu Herlita menghubungi Mama.”

Ya, tipikal ibunya sekali.

Tak perlu intermezzo berlebih.

Inti dari permasalahan harus segera diumumkan.

“Mereka akan mendukung Mas Harun maju menjadi


kandidat Presiden, menggantikan Pak Kusno.”

Harun berdecih.

“Keylan akan menggantikan Pak Kusno menjadi ketua umum


DPP partai mereka. Sekaligus, Keylan yang akan dicalonkan
sebagai pendamping Mas Harun menggantikan Pak Kusno.”

“Siapa yang bilang begitu, Ma?” tanya Harun penuh selidik.

“Ibu Herlita sendiri yang mengatakannya.”

Well, bagus. Sangat bagus.

Bisa-bisanya, seorang istri yang baru saja ditinggal mati


suaminya sudah memikirkan keberlangsungan koalisi dan
partai. Ck, apa hal itu masuk akal?

Oh, jelas tidak.

Karena sudah pasti, Keylan hanya sedang memanfaatkan


ibunya.

“Kalau Bu Herlita menghubungi Mama lagi. Aku titip pesan, ya,


Ma? Bilang ke Ibu Herlita, lebih baik sering-sering mengaji
daripada ikut mengurus koalisi.”

Dewi Gayatri tak bergeming saat menatap sang putra. Lalu tak

berapa lama, ia pun berdiri.

Harun pikir, sang ibu akan pergi.

Tetapi rupanya, wanita yang telah melahirkannya itu malah


menghampirinya.

Dan bukannya untuk berpamitan.Justru, untuk

memukulinya.

“Ma!” Harun berusaha mengelak dari terjangan tas yang


diarahkan padanya. “Mama!”

Namun rupanya, Dewi Gayatri tak berhenti. Ia terus


mengayunkan pukulan-pukulan yang tak pelan ke tubuh
putranya.

“Ma! Apa-apaan, Ma!” Harun bangkit dari kursinya dan


memegangi kedua tangan sang ibu agar tak dapat bergerak.
Wajahnya sudah merah padam. “Kenapa, Ma? Ada apa?” ia
menuntut jawaban dengan wajah marah.
“Ada apa kamu bilang?” Dewi Gayatri tertawa penuh
cemooh. Ia berusaha melepaskan diri dari putranya dan
memilih mengambil dua langkah mundur ke belakang. “Kamu
sudah gila!” tudingnya tanpa ragu.

“Apa—“

“Kamu mengikuti perempuan itu sampai rumah pribadi


Sanusi Wijaya ‘kan?!”

Ah, jadi ini tentang Nyala.Baik.

Harun akan mencoba menerima amarah sang ibu terlebih


dahulu.

“Kamu mencoba mempermalukan Mama dengan memilih ikut


tinggal di sana ‘kan?! Otakmu benar-benar sudah dicuci
perempuan itu!” tudingnya berang.

“Dan perempuan itu punya nama, Ma,” Harun merendahkan


suara. “Namanya Nyala Sabitah. Dia istriku, Ma.”

Dewi Gayatri langsung memasang ekspresi bengis di wajahnya.


“Istri yang sebentar lagi akan kamu ceraikan ‘kan, Mas?”

“Ma—“

“Istri yang akan kamu ceraikan ‘kan, Mas?!” suara


Dewi
Gayatri yang tadi terdengar mulai stabil, kembali meninggi.
“Kamu akan menceraikan dia ‘kan, Mas?!” ia menuntut
jawaban. “Demi Tuhan, bilang ke Mama kalau kamu akan
segera menceraikannya, Mas?!”

Menarik napasnya dalam-dalam, Harun mencoba bersabar


menghadapi ibunya. “Tolong, Ma. Aku sedang mempersiapkan
kelahiran anak pertamaku,” ia akan mencoba memberi
pengertian walau dirasa percuma. “Kami sedang menantikan
kelahiran anak pertama kami. Tolong,Ma, hentikan.”

Dewi Gayatri mengangguk. Harun pikir, ibunya mengerti.

Tetapi rupanya, ibunya benar-benar menguji kesabarannya.

“Ah, Mama tahu,” ia manggut-manggut sambil mencoba


tersenyum. “Kamu akan menceraikan perempuan itu setelah
bayi itu lahir ‘kan, Mas?”

Oh, Tuhan …

Ternyata ibunya benar-benar memancing emosinya.

“Baik. Kita akan menunggu sampai bayi itu lahir. Dan setelah
itu, berikan bayinya pada orang lain, Mas. Atau, Mama yang
akan mengirimnya ke panti asuhan. Mama juga bis—“

“Bayiku, Ma!” suara Harun meninggi tanpa sadar. “Dia


bayiku!” tekannya supaya sang ibu tidak lupa. “Kami yang akan
merawat bayi kami, Ma! Dan aku bersumpah, nggak akan
pernah menceraikan Nyala!”

“Mas!”

Mengabaikan jerit tak terima dari sang ibu, Harun segera


gagang telpon untuk menghubungi Putra yang berada di depan
ruangannya.

“Ya, Pak?” Putra datang tak lama kemudian. Raut


wajahnyasudah tak terbaca.

“Bawa semua perlengkapan bayi yang sudah dipilih Nyala


kerumah saya!” ucap Harun tegas.

“Enggak, Mas Harun,” Dewi Gayatri menggeleng tak


terima.

“Ingat, Put. Bawa semuanya ke rumah saya!”

Putra mengangguk paham. “Rumah Puri Indah, Pak?”“Benar.

Bawa semua ke sana.”

“Baik, Pak.”

Sudah.

Harun sudah mengeluarkan titah.

Dan ibunya, tak akan mampu mengusik perintahnya.


***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Tiga
Puluh Empat - Tiga Puluh Lima -
Tiga Puluh Enam · Karyakarsa

TIGA PULUH EMPAT

Semenjak hidupnya bersinggungan dengan Harun Dierja,


Nyala tahu ritme kehidupannya sudah berbeda. Bahkan
sebelum ia dinikahi pria itu, Nyala sudah bukan sekadar staf
biasa di DPP Nusantara Jaya. Di darahnya mengalir nama
Wijaya. Sementara di rahimnya, tumbuh keturunan
Aminoto yang tak disangka-sangka.

Ia tak lagi sekadar Nyala Sabitah.

Seolah ada larangan tersirat, semenjak saat itu Nyala tak lagi
bisa pergi dengan bebas. Benang takdir mengikatnya. Ia tak
dapat berkeliaran ke mana saja semaunya. Ia nyaris frustrasi,
karena rahasia yang ia bawa makin menunjukkan tanda- tanda
kehidupan. Walau tidak pernah dikatakan, namun Harun
Dierja mulai membatasi geraknya.

Duduk di restoran pun, ia tidak membaur dengan tamu-


tamu lainnya. Terkungkung oleh private dinner, Nyala
benar-benar beranjak dari keriuhan. Nyala Sabitah si staf
biasa, kini menjadi bagian dari tamu-tamu VIP yang dilayani
sepenuh hati oleh pihak restoran. Menginap di hotel pun,
Nyala tak lagi mencari kamar paling murah. Ia pernah
menjejakkan kaki di President Suites hotel yang penuh
kemewahan.

Lalu kini, ketika namanya tak lagi sekadar Nyala Sabitah, ia


disambut dengan senyum seramah bidadari. Dipersilakan
masuk dan tarikkan kursi untuk duduk. Kehamilannya yang
sudah berada di bulan ke delapan, menjadi perhatian orang-
orang. Kenyamanannya pun selalu dipertanyakan.

“Sudah nyaman, Ibu?”

Ya, dirinya adalah Ibu Nyala Sabitah Wijaya.

“Sudah kok, Mbak, terima kasih,” Nyala menjawab dengan


senyum kecil yang sungkan. Sungguh, Nyala adalah bagian dari
para pelayanan ini sebelum hidupnya bersinggungan dengan
Harun Dierja. Kemudian, bertambah berbeda ketika Sanusi
Wijaya mengakuinya sebagai putri pria itu.

Berada di dalam restoran padang yang terkenal dengan Farid


Wijaya dan juga Hadi serta Danti, istrinya. Nyala memutuskan
duduk dengan tenang. Ia berencana tidak akan membuka
mulutnya demi mengakrabkan diri pada para kakak laki-laki
dan juga iparnya. Walau sebenarnya, ia cukup nyaman dengan
Danti Maharani.
Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya. Yang
pertama jelas di tangga darurat, ketika acara gender reveal,
adik ipar suaminya. Lalu pertemuan kedua adalah saat Danti
berkunjung untuk bersarapan bersama. Waktu itu, Inggrid
Caturangga masih berada di rumah. Kemudian, beberapa kali
kiriman kue atau buah-buahan dari Danti selalu Nyala terima.

“Makanannya disajikan sekarang saja,” Danti meminta


pelayanan menyajikan makanan setelah merasa bahwa sang
suami dan kakak lelakinya sudah selesai berdiskusi.

“Baik, Ibu.”

Piring berbalut wrapping plastic, mulai berdatangan. Di susun


rapi dan nyaris memenuhi meja dengan beraneka macam
masakan.

“Jadi, kita sudah mengamankan proyek itu ‘kan?”

Farid mengangguk sambil membuka segel botol air mineral.Ia


menuangnya ke dalam gelas. “Presiden boleh saja berganti.
Tapi proyek kita nggak boleh terhenti karena kebijakan
Presiden yang baru nanti.”

“Sudah nggak harapan untuk Harun lagi?” Hadi hanya


memastikan. Meski ia sendiri sudah menerka-nerkanya
sendiri.
Gelengan singkat Farid menjawab. “Dicalonkan saat ini,
hanya membuang-buang uang. Dia akan dibabat habis
menjelang Pemilu oleh para oposisi. Kemampuannya belum
mencapai rata-rata. Kusno Aji menginginkan dia sebagai
wakilnya hanya karena dia menantu papa,” tutur Farid terus
terang. “Juga, dia sedang naik daun sebagai politisi muda.
Generasi muda saat ini sangat mengenal dia. Jadi, ya, dia
punya publisitas tinggi.”

Diam-diam, Nyala mendengar obrolan tersebut sambil


menelan ludah.

Sedari tadi, yang dibahas oleh Farid dan Hadi, tidak jauh-
jauh dari masalah Pemilu, juga progress IKN.

Sebuah piring keramik disodorkan di depan meja Nyala,


dengan senyum lembut pramusaji itu mempersilakannya.

“Kamu ada alergi makanan, La?”

“Oh, nggak ada, Bu,” Nyala menjawab pertanyaan istri Hadi


Wijaya dengan cepat. “Kebetulan, saya nggak ada alergi apa-
apa, Bu,” lanjutnya memberi senyum kecil yang sungkan.

“Kamu masih manggil saya, Ibu, aja sih?” Danti


mendekatkan nasi ke arah Nyala setelah ia mengambil
sedikit saja untuk mengisi piringnya. “Panggil saya, Mbak
atau Kakak, aja. Ya, senyamannya kamu, tapi jangan panggil
Ibu.”
“Nggak berani, Bu,” ungkapnya penuh kejujuran.

“Lho, kenapa?”

Nyala hanya menggeleng kecil memberi jawaban.

“Kamu juga harus berhenti manggil kakak-kakakmu itu


Bapak,” Danti menunjuk suami dan kakak iparnya yang
berada di depan mereka dengan sendok di tangannya.
“Mereka kakak-kakak kamu. Panggil saja, Mas. Karena saya dan
Inka juga memanggil mereka begitu.”

Sekali lagi, Nyala meringis.

Ia anggukkan kepala sekilas, sambil menaruh satu centong nasi


ke dalam piringnya.

Sungguh, porsi makanannya memang seperti ini.

Tetapi, hal itu dilakukan berulang kali di sepanjang hari.

Pasalnya, bila ia makan dengan porsi banyak sekaligus, ia akan


merasa sesak. Makanya, dokter kandungan menganjurkan agar
ia makan dengan porsi sedikit-sedikit, namun sering.

“Kamu juga masih memanggil Papa dengan sebutan Bapak,


ya?” Danti bukan mengintrogasi. Ia hanya ingin Nyala
mengubah panggilan untuk mereka. Karena kini, mereka
memang keluarganya.
“Dia bahkan memanggil suaminya dengan panggilan yang
sama,” celetuk Farid tiba-tiba.

“Oh, ya, Mas?” Danti belum pernah melihat interaksi Nyaladan


juga Harun Dierja. Walau pernah bertemu dengan mereka
sewaktu acara gender reveal adik ipar Harun, tetapiia tidak
sempat melihat mereka berinteraksi. “Kamu manggil suami
kamu, Bapak, juga?”

“Iya, Bu—eemm … maksud saya, Mbak,” Nyala berdeham salah


tingkah.

Sebenarnya, Nyala tidak tahu bahwa mereka akan makan


siang bersama hari ini. Dua jam yang lalu, Mbak Danti
memang datang ke rumah yang ia tempati untuk melihat
keadaannya. Lalu di tengah obrolan singkat mereka, Hadi
Wijaya mengajak Danti makan siang dengan Farid Wijaya.
Kemudian Mbak Danti ini mengatakaan sedang bersama
dengan Nyala. Dan, ya, begitulah, Hadi Wijaya mengajaknya
serta.

Hmm, kamu canggung, ya?”

Nyala mengangguk tanpa sadar.

Kemudian Danti menimpalinya sambil tertawa. “Pelan-pelan


kamu harus ubah panggilan. Nggak cuma untuk saudara-
saudara kamu, tapi juga untuk papa dan suami kamu. Kan
nggak lucu, kalau ada di sebuah acara, kamu berniat
memanggil suami kamu, tapi karena kamu memanggilnya
Bapak, semua orang akan menoleh.”

Sudah pernah, gumam Nyala dalam hati.

“Iya, Mbak, saya akan coba,” Nyala mengulum senyumnya.

“Ya, sudah, makan yang banyak, ya?” Danti menyodorkan


rendang daging, juga dendeng cabe ijo ke arah Nyala.
“Udang suka?” ia tak membutuhkan jawaban, sebab
tangannya bergerak cepat mendekatkan semua makanan
tersebut kepada adik iparnya yang baru.

“Kamu sudah menerima dana dari Widjaja Group?” Hadi


Wijaya mulai mengunyah makanannya. Namun hal tersebut tak
membuatnya sulit untuk bertanya. Dan pertanyaan tersebut ia
tujukan kepada wanita hamil disebelah sang istri.

“Sudah, Pak—eh, Mas,” Nyala buru-buru meralatpanggilannya.


Rasanya sungguh aneh di lidah. Namun, ia akan mencoba
membiasakannya. “Uang yang diberikan untuk saya, banyak
sekali, Mas. Apa itu tidak salah?”

“Berapa yang disetujui, Mas?” Hadi berpaling kepada kakaknya.

“15 sampai 20,” Farid menjawab cepat. “Berapa yang kamu


terima?” pandangan Hadi mengarah pada Nyala.
Emm … 17 milyar, Mas,” ucap Nyala meringis. Sungguh, ia
takut memiliki dana sebanyak itu di rekeningnya. “Dan
katanya, rumah yang saat ini saya tempati, akan segera
beralih menjadi nama saya, ya, Mas?” pengacara keluarga
Wijaya mendatanginya kemarin siang. Di saat orang-orang di
luar sana tengah menghadiri pemakaman Kusno Aji, Nyala
justru sibuk mengelus dada akibat banyaknya harta yang
tiba-tiba ia peroleh.

“Oke, berarti memang sejumlah itu yang disetujui oleh


finance keluarga Wijaya. Karena papa sudah terlanjur
menarik banyak uang sebelumnya. Sepertinya, mereka mulai
membatasi jumlah uang yang harus dikeluarkan lagi,” sahut
Farid santai. “Dibanding dengan semua yang sudah papa
keluarkan untuk menyembunyikan kamu, itu terlihat sedikit
Nyala,” tambahnya dengan mimik serius. “Tapi, karena
kamu terlahir di luar pernikahan, papa nggak berhak
memberikan kamu warisan. Makanya, kamu hanya
mendapat dana tunjangan itu. Dan nilai yang kamu terima
sekarang, bisa bertambah seandainya nanti, Girsa dan juga
Inka sudah menerima kamu.”

“Saya sudah merasa itu terlalu banyak, Mas,” Nyala


menyahut dengan berani. “Saya merasa sudah sangat cukup,
Mas. Saya juga tidak tahu harus bagaimana mengolah dana
sebanyak itu,” aku Nyala dengan jujur.
Well, kita lihat nanti,” Farid mengedikkan bahu. Ide makan
di restoran ini memang berasal darinya. Mendadak, ia ingin
makan rendang. “Lalu, rencana kamu kedepannya bagaimana?”

Kening Nyala berkerut. “Rencana apa, ya, Mas?”

“Pernikahan kamu dengan Harun akan berakhir sampai


kamu melahirkan, kan?” Hadi ikut bertanya demi
memperjelas status Nyala sebentar lagi. “Karena pernikahan
kamu dengan Harun hanya siri. Kamu nggak bisa menuntut
materi dari dia. Tapi, Harun Dierja pasti akan memberikan
tunjangan untuk kamu dan anak kamu. Jadi—“

“Mas!” Danti menyela sang suami dengan tatapan galak.


“Jangan pernah membebankan ibu hamil dengan ketakutan-
ketakutan atas masa depan yang belum pasti. Biarkan aja
Nyala menjalani kehamilannya dengan prasangka baik
terhadap suaminya.”

Hadi langsung terdiam.

Kemudian, ia menatap Nyala yang kini menunduk


memandangi meja. Tanpa mampu dicegah, ia segera saja
terserang rasa bersalah. “Maaf,” ucapnya penuh sesal.

Nyala mencoba mengangkat wajah demi sebuah


kesopansantunan. Awalnya, kepalanya menggeleng singkat.
“Nggak apa-apa, Mas. Saya sudah terbiasa kokmendengarnya,”
usahanya dalam mencipta senyum tampak
gagal. Karena entah kenapa, matanya justru berkaca-kaca.
Tangannya mengusap perut, sementara cubitan di hati malah
membuatnya makin nelangsa. “Alasan mengapa saya merasa
sulit untuk mengubah panggilan kepada suami saya, atau
kepada Mas Farid, Mas Hadi, juga Pak Sanusi adalah karena
saya selalu meyakini, bahwa keberadaan kalian dihidup saya
hanya sementara. Suatu saat, semua ini akan berakhir.
Makanya, Mbak, saya merasa sungkan sekali untuk terlihat
akrab pada sesuatu atau seseorang yang nanti akan kembali
menjadi asing untuk saya.”

Bukannya Nyala tidak mengerti mengenai kode yang diberikan


sang suami untuk mengubah panggilan di antara mereka. Nyala
juga sudah pernah ditegur oleh Ibu Inggrid untuk memanggil
Pak Sanusi dengan sebutan papa. Namun, Nyala merasa berat
untuk melakukannya.

“Saya takut terlalu nyaman dengan memanggil orang-orang


hebat seperti keluarga besar Wijaya dan juga Harun Dierja,
dengan panggilan akrab,” Nyala memberi cengiran yang payah.
“Saya khawatir, bila sudah terlalu nyaman, saya akan hancur
berkeping-keping saat waktu kebersamaan kitaternyata hanya
sementara.”

“Kalau begitu mari buat menjadi selamanya,” sahut Farid


santai. “Kamu sekarang bukan sekadar Nyala Sabitah staf DPP
Nusantara Jaya. Kamu adalah anak dari Sekjen
partai itu,” ia melanjutkan dengan tatap penuh menuju adik
perempuannya.

“Dan Nyala,” Hadi menyela hanya tuk memberikan kalimat


yang seharusnya didengar wanita itu sejak lama. “Kamu anak
papa. Kami juga sama. Dan artinya, kita bersaudara.”

Kita bersaudara.Kita bersaudara.

Demi Tuhan, Nyala benar-benar menangis mendengarnya.Ia

diterima.

Lewat pernyataan tersirat itu, Nyala diberitahu bahwa ia


diterima.

Jadi, sambil menggigit bibirnya, Nyala menatap Farid dan Hadi


Wijaya bergantian. “Terima kasih, Mas. Terima kasih, karena
tidak membenci saya.”

***

Karena sudah berada di luar, Nyala sekalian meminta izin


pada suaminya untuk menemui Mayang dan Bagus. Ia ingin
memberi hadiah untuk kedua saudaranya itu. Awalnya sih, ia
tidak terpikir untuk melakukannya. Namun, ketika Mbak
Danti mengajaknya berbelanja, Nyala jadi ingat pada
Mayang yang memiliki beberapa luxury bag dari beberapa
brand ternama. Karena ia tidak paham cara membelinya, ia
pun meminta Mbak Danti untuk melakukan hal itu.

Dan kini, ia sudah berpisah dengan Mbak Danti.Ia dijemput

oleh kedua ajudan suaminya.

Kemudian, di perjalanan menuju rumah Bagus, Nyala mencoba


menghubungi sang suami namun pria itu tak bisa dihubungi.
Walhasil, ia mengirim pesan pada sang asisten pribadi
suaminya. Tetapi, tak lama kemudian, asisten tersebut malah
menghubunginya.

“Hallo, Mbak Nyala?”

“Iya, gimana, Mas?”

“Mbak Nyala langsung pulang saja, ya? Jangan mampir ke


mana-mana dulu. Tetap di rumah saja.”

“Tapi, Mas, saya sudah hampir sampai di rumah Bagus,


Mas,” Nyala menggigit bibir setelah melihat jalanan yang
memang sudah semakin dekat.

“Mbak Nyala ini gimana sih? Kenapa baru mengirimi saya


pesan ketika sudah berada di luar?”

“Maaf, Mas. Tapi sebelumnya, saya sudah coba hubungi Bapak.


Tapi beliau tidak menjawab panggilan saya.”
Sekarang sudah hampir sore.
Nyala memang janjian dengan kedua saudara satu ibu
dengannya itu di jam-jam seperti ini. Di mana Mayang sudah
pulang dari tempat kerjanya. Dan Bagus selesai dengan
jadwal sibuknya melobi para pelaku industrialis agar
mendukungnya.

“Bapak sedang ada kepentingan.”

Oke.

Lalu, Nyala harus apa sekarang?

“Apa saya harus balik, Mas?”

“Mbak Nyala bersama Siska dan Denny?”

“Iya, Mas.”

“Baiklah. Hanya satu jam, ya, Mbak. Saya akan


mengirimkan intruksi pada Siska dan Denny, untuk
membawa Mbak Nyala kembali setelah satu jam. Sayatidak
ingin ada masalah tambahan, Mbak. Karena saat ini, saya
ingin Bapak fokus pada penyelesaian koalisi.”

“Iya, Mas Putra, saya ngerti kok,” cicit Nyala pelan. “Saya akan
pulang dalam satu jam ke depan. Maaf, ya, Mas. Kalau saya
mengganggu.”

Ketika sambungan mereka akhirnya terputus dengan perasaan


tak enak yang menggelanyut di benaknya, Nyala
hanya bisa mendesah.

“Mas Putra tuh aslinya galak, ya, Mbak Siska?” tanyanya sambil
meringis.

Siska menoleh ke belakang sambil mengangguk. “Dibanding


Bapak, Mas Putra sama sekali nggak bisa menoleransi
kekacauan, Mbak. Apalagi, bila itu sudah berhubungan
dengan elektabilitas karir politik Bapak. Mas Putra hanya
ingin semuanya berjalan sesuai rencananya.”

“Bapak memang disiplin. Tapi Putra yang lebih sulit


dihadapi,” Denny berkomentar di balik kemudinya.

“Ibaratnya, Mbak. Mas Putra itu istri pertamanya Bapak.


Sementara Mbak Nyala, istri keduanya. Jadi, sabar-sabar aja,
ya, Mbak. Mas Putra sedang banyak kerjaan,” timpal Siska
dibarengi tawa kecil. “Maklumi, ya, Mbak. Karena, tanpa
Mas Putra pun, Bapak nggak bisa menyelesaikan masalah-
masalahnya.”

Tentu saja Nyala akan memaklumi.

Masalahnya, Nyala justru jadi tidak enak pada pria itu.

“Kita dikasih waktu satu jam, ya, Mbak,” Siska membuka


ponselnya dan mendapati pesan dari pria yang tengah
mereka bicarakan. “Bapak berada di Puri Indah. Rapat
dengan para kader koalisi. Jadi, sebisa mungkin, kita harus
menghindari masalah, Mbak.” Nyala mengangguk mengerti.

Kemudian, ia memastikan kembali bahwa kedua saudaranya itu


sudah berada di rumah Bagus. Dan ia perlu menegaskan pada
Bagus, tak ada timsesnya yang akan berkunjung ke rumah itu.
Bukan apa-apa, sebagaimana yang tadi dikatakan oleh Farid
Wijaya, dirinya yang sekarang ini bukan hanya sekadar Nyala
Sabitah. Namun, ada tambahan nama Wijaya di belakang
namanya yang terdahulu. Sekaligus, istri dari Harun Dierja
Aminoto. Ia bukanlah orang biasa yang dapat melenggang
sesukanya. Kini, harus banyak yang ia pikirkan sebelum
memutuskan melangkah.

“Saya masih suka nggak percaya kalau sekarang, orang-orang


bakal kenal saya dengan nama Nyala Sabitah Wijaya,” ia
meringis ketika menuangkan uneg-uneg itu.

“Bahkan nanti, mereka bakal lebih kaget lagi, Mbak. KalauMbak


Nyala ternyata istrinya ketua umum Nusantara Jaya,” Siska
mengatakannya dengan senyum yang sampai ke mata. “Harun
Dierja ternyata sudah punya istri. Dan kebetulannya, istrinya
itu adalah anak dari Sanusi Wijaya. Agak ngeri membayangkan
respon orang-orang, Mbak. Tapi saya yakin, Bapak nggak
mungkin melepaskan Mbak Nyala dan bayinya.”
Hari ini sebenarnya hari apa sih? Kenapa rasanya Nyala senang

sekali?

Pertama, karena ia telah diterima oleh sebagian besar anggota


keluarga ayahnya. Dan kini, ia merasa terharu atas ucapan
ajudan suaminya.

“Semenjak hamil, saya cengeng banget rasanya,” Nyala


menghapus air mata yang menitik jatuh. “Saya jadi curiga,
mungkin setelah lahiran, saya benar-benar bahagia.”

Ucapan itu memang bernada bercanda.

Tetapi percayalah, Nyala serius mengatakannya.

***

TIGA PULUH LIMA

Seolah tak diperkenankan berduka lebih lama atas kepergian


rekannya, Harun segera menjalani hari seperti biasa.
Bahkan, lebih sibuk dari sebelumnya. Polemik yang
ditinggalkan Kusno Aji benar-benar rumit. Kader-kader
koalisi Lanjutkan Perjuangan semakin rewel bahkan disetiap
detiknya. Mereka semua menekan Harun agar segera
mengambil langkah politik. Para relawan pendukung pun
seolah tak ketinggalan menuntut jaminan.
Geliat pro dan kontra segera terdengar.
Berita kematian Kusno Aji, kini sedikit ditinggalkan.

Sebab, para pakar politik serta tayangan-tayangan di televisi,


lebih banyak yang menyorot langkah apa yang diambil Harun
Dierja setelah ditinggalkan kandidat Presidennya.

Isu mengenai anak Kusno Aji yang mengusulkan diri sebagai


Cawapres yang ingin mendukungnya, mulai bocor atau
memang sengaja disebar. Keylan luar biasa licik. Ambisinya
untuk bergabung dalam panggung Pemilu, sepertinya tak
terbendung.

Harun menjanjikan waktu temu untuk rapat koalisi malam ini.


Namun para elite politik di yang bergabung dengan koalisi
menginginkan siang ini. Sayang sekali, Harun tidak bisa
mengabulkannya. Ia sudah memiliki janji lain yang sudah
disepakati sejak kemarin malam. Jadi, demi menenangkan para
kader koalisinya, Harun memutuskan perjumpaan mereka
akan diadakan di sore hari.

“Kamu temui saja Ganesha terlebih dahulu,” perintah itu


meluncur dari Sanusi Wijaya. “Kita perlu tahu apa yang
diinginkan Pak Presiden sampai mengutus anaknya untuk
menemui kamu.”

“Pak Presiden?”

“Tentu saja. Memangnya, Ganesh punya rencana apa selain


perpanjangan tangan dari Presiden?”
Atas dasar pemikiran itu, Harun pun berkendara untuk
menemui Ganesha Sri Narendra. Dalam agenda sibuknya,
sang asisten pribadi berhasil menyelipkan waktu selama satu
jam demi pertemuan yang diminta oleh putra sulung
Presiden tersebut.

“Supaya agenda kita tidak kacau, saya hanya bisa memberi


Bapak waktu satu jam untuk berdiskusi dengan Pak Ganesh.
Karena sebelum pertemuan dengan para kader koalisi, Pak
Sanusi dan Pak Gideon mengajak Bapak bertemu terlebih
dahulu demi menyatukan suara.”

Semua harus serba cepat.

Enam hari lagi KPU akan membuka pendaftaran yang sempat


ditunda demi menghormati meninggalnya salah satu kandidat
calon Presiden.

Dan target mereka, sebelum enam hari, sudah tercapai suara


yang dapat disepakati.

Walau sepertinya sekarang teramat sulit.

Keylan membuat koalisi solid ini, akan terpecah menjadi


duakubu.

“Selamat siang, Pak, mari kami antar ke ruangan Pak


Ganesha.”
Karena pertemuan ini bersifat pribadi, maka mereka tidak
melaksanakannya di kediaman Ganesh ataupun Harun.
Mengambil tempat di salah satu Bar and Resto, sebuah private
room telah dipesan untuk pertemuan singkat ini.

“Apa kabar, Mas Harun?” Ganesh yang terlebih dahulu tiba di


sana. Ia menyalami tamunya dan mempersilakan duduk.
Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Dan beberapa kali
berinteraksi, membuat Ganesh tak merasa canggung dengan
pertemuan kali ini. “Kita bertemu kemarin, tapi situsinya tidak
tepat.”

Harun mengangguk membenarkan. “Well, saya harap, saya


baik,” ia menjawab pertanyaan Ganesh yang pertama. Sambil
menarik napas, ia ketuk-ketuk tepi meja dengan gerak
konstan. “Jadi?” kini ia tak mampu berpura-pura. Bahkan
sebelum makanan dan minuman mereka pesan, ia merasa
mereka tak butuh waktu untuk basa-basi lagi. “PGRI?”

Ganesh mengangguk. Pria 33 tahun itu membuka buku menu


sementara staf restoran, siap mencatat pesanannya. Ia hanya
memesan minuman. Dan rupanya, Harun Dierja pun sama.
“Dua hari lagi, pelantikan saya akan digelar.”

Harun ditemani oleh Rafael dan salah seorang pengurus partai.


Sementara Putra ia siagakan di DPP untuk membantu wakil
ketua umum DPP dalam mempersiapkan kalkulasi data demi
pertemuan dengan para kader koalisi sore nanti.
Perumusan kesepakatan akan dipimpin langsung oleh Sanusi
Wijaya. Pria setengah baya itulah yang akan bertanggungjawab
bila ada pihak-pihak dari partai koalisi yang tak setuju dengan
keputusan yang mereka ambil nanti.

“Dan apa yang kamu inginkan dari saya?” tanya Harun


langsung.

“Saya akan berusaha membesarkan PGRI agar dapat


bersanding dengan Nusantara Jaya,” tutur Ganesha serius.
“Dalam waktu lima tahun ke depan, saya akan memastikan
PGRI layak berkoalisi dengan Nusantara Jaya.”

“Maksudnya?”

“Dalam periode lima tahun ke depan, mari kita buat koalisi


bersama, Mas,” Ganesha menatap lekat. “Mas Harunmemimpin
koalisi. Dan saya akan menjadi orang pertama yang bergabung
di sana.”

Harun menyimak tanpa suara. Keningnya berkerut sementara


matanya menatap curiga. Otaknya sedang mencerna semua.
Hingga kemudian, ia paham apa yang dimaksud oleh pria yang
berusia lima tahun lebih muda darinya itu. “Kamu ingin saya
mencalonkan diri?”

Ganesha mengangguk tanpa ragu. “Saya, Pak Presiden, juga Pak


Effendy, sangat menantikan performa politik Mas Harun untuk
periode selanjutnya.”
Mendengar nama Presiden disebut, tengkuk Harun kontan
meremang. Punggungnya yang tadi bersandar, kini ia
tegapkan tanpa sadar. Ternyata benar apa yang dikatakan
oleh Sanusi. Ganesha tentu tidak bergerak sendiri. “Apa yang
kalian bahas?” tanyanya ingin tahu.

“Banyak,” ungkap Ganesha. “Sebenarnya, opsi menjadikan


Mas Harun Cawapres untuk Pak Effendy sudah matang
diperhitungkan. Tetapi, karena Pak Effendy hanyalah
seorang kader partai biasa, beliau tentu saja tidak bisa
leluasa memilih pasangangnya. Ada ketua umum dan juga
dewan Pembina yang harus beliau dengarkan,” terang
Ganesh sambil menghela. Kemudian, ia terpaksa menjeda
obrolan, demi membiarkan pesanan mereka dibawa masuk.
“Salah satu obrolan kami yang paling serius adalah untuk
membuat partai-partai kita lebih besar lagi supaya kita tidak
dikendalikan. Agar, kita dapat mengambil keputusan sendiri
tanpa harus mengikuti protokol partai lain yang
mengedepankan kepentingan mereka.”

Sebelumnya, Pak Presiden, Ganseha dan juga Effendy


Ghazali berada di partai yang sama. Tetapi, semenjak
Ganesha menikahi anak Basuki Nugrahara, Ganseh memang
tidak terlalu aktif bergabung pada partai tersebut.

“Kamu mengkhianati partai lamamu?” tanya Harun seketika.


Ganesha menggeleng. “Sejak menikah, saya bukan lagi
keluarga inti Pak Presiden. Yang artinya, saya tidak lagi
berada dalam tanggung jawab beliau. Karena sekarang, saya
sudah memiliki keluarga inti sendiri. Yaitu, saya dan juga
istri saya.”

Harun mengangguk paham. “Jadi, kamu akan mengikuti


pemilu periode selanjutnya?” tebak Harun lancar.

Sekali lagi, Ganesha mengangguk. “Kita, Mas Harun,” ia


meralat sedikit ucapan ketua umum Nusantara Jaya itu.
“Kita akan mengikuti pemilu di periode selanjutnya,”
katanya tak ragu. “Mas Harun harus menjadi kandidat
Presiden di pemilu berikutnya. Dan saya yang akan
mendukung sebagai wakil. Tentunya, dengan dukungan
penuh dari orangtua saya. Beliau mengatakan, era kita akan
dimulai para periode berikutnya.”

Wah, ini terdengar sangat menarik.

Harun rasa, ia membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk


membahas semua ini.

Tetapi, asisten pribadinya itu sangat disiplin mengenai jadwal-


jadwalnya. Harun bisa saja melanggar sesukanya. Namun, ia
menghargai dedikasi Putra Fernandi selama ini. Jadi, ia tidak
boleh seenaknya sendiri.
“Waktu kita terbatas,” Harun menatap arlojinya. “Asisten
saya sangat ketat,” ia meraih mocktail dan meminumnya.
“Ini adalah pembahasan yang sangat serius. Kita harus
menjadwalkan pertemuan kembali. Dan saya akan membawa
Sekjen partai saya untuk berdiskusi mengenai langkah-
langkah apa yang bisa kita ambil agar harapan ini tidak
berakhir sia-sia.”

Ganesha mengerti. “Jika diperiode ini Mas Harun gagal melaju


ke Pemilu. Ambil saja tawaran menjadi menteri. Kita sama-
sama mencari pengalaman politik yang lebih luas lagi. Kita
perlu mengokohkan nama supaya tetap diperhitungkan. Jadi,
pesan orangtua saya, ambil tawaran jabatan yangberikan oleh
Presiden terpilih nanti. Mas Harun sedang dipersiapkan untuk
kesempatan yang lebih besar lagi.”

Bohong bila Harun mengatakan semangatnya tak berkobar.

Dusta jika Harun mengungkapkan bahwa ia tak menantikan


saat itu tiba.

“Jadi, ke mana suara koalisi kami seharusnya berada?”

Ganesha hanya mengedik. “Terserah pemimpinnya,” ujarnya


tenang. “Sekarang, Mas Harun pemimpinnya ‘kan? Ya,
terserah Mas Harun saja.”

Benar.
Terserah padanya saja.
Dan sepertinya, ia tahu ke mana suara koalisinya akan
berlabuh.

Namun sebelum itu, ia akan menuntut permohonan maaf


dari salah satu calon wakil Presiden nanti. Mereka
membutuhkan suaranya. Dan Harun akan memberikannya.
Tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang akan ia
berlakukan.

***

Nyala memberikan uang lima puluh juta kepada Bagus.

Dan untuk Mayang, ia membelikan tas dari sebuah luxury


brand seharga lima puluh juta.

“Udah gue transfer, ya, Gus,” Nyala menunjukkan mutasi


rekeningnya pada sang kakak. “Nggak perlu gue
screenshoot lagi, ya?” ucapnya sambil menyimpan ponselnya
kembali ke dalam tas. Kemudian, pandangannya beralih ke
arah Mayang. “Gue tahu lo pasti nggak bakal mau gue kasih
duit. Makanya, gue beliin itu aja.”

“Sok tahu banget lo, gue nggak mau lima puluh juta,”
Mayang pura-pura mencebik. Namun, hal tersebut tidak
berlangsung lama. Sebab, ia segera meraih goodie bag brand
ternama itu dengan wajah semringah. “Tapi, makasih
hadiahnya, Nyala Sabitah Wijaya,” ia terkikik ketika
mengucapkannya.
Sementara itu, Bagus segera memeriksa saldo di tabungan.
Senyumnya melebar begitu mendapati jumlahnya
bertambah. “Bukannya nggak bersyukur nih, ya, La. Tapi,
kalau lo mau nambahin lagi biar duit gue jadi genap nggak
apa-apa kok,” ucapnya cengengesan. “Ya, siapa tahu lo mau
nambahin lagi, La. Dikit lagi kok.”

“Emang biar genap berapa?”“Satu em,” jawab Bagus cepat.

“Dikitnya itu berapa?” tanya Nyala memastikan.

“Tambahin 545 juta lagi, La.”

“Bangsat!” seru Nyala tanpa sadar. “Astaga,” ia kemudian


mengusap-usap perutnya karena tak sengaja mengumpat.
“Hey, kamu nggak denger apa-apa ‘kan? Kamu nggak denger
‘kan?” ia mencoba memastikan bahwa bayi dalam
kandungannya tak mendengar umpatannya barusan.

Mayang tertawa keras sambil melempar Bagus dengan bantalan


sofa. “Bagus anjirrr!” ia tak dapat menghentikan rasa gelinya.
“Woy, tuan rumah! Mana nih makanan buat tamunya!”

Well, mereka sedang berkumpul di rumah Bagus. Dengan pintu


dan jendela tertutup rapat sementara kedua ajudan Nyala
bersiaga di dalam mobil yang terparkir di depan.
“Kalau 500 juta, baru gue jamu kalian semua,” Bagus tak
ambil pusing dengan tuntutan Mayang. “Lagian, gue ini
capek, ya, abis bersosialisasi sama warga,” gerutunya sambil
mengarahkan kipas angin ke arahnya. “Pasangin AC sekalian
deh, La. Jadi, kalau nanti lo bertamu lagi, nih ruangan udah
sesejuk saldo rekening lo.”

“Najis!” Mayang yang menyahut. “Gus, kalau lo nggak


mampu ngasih Nyala harkat dan martabat sebagai seorang
manusia, minimal lo jangan ngerusuh deh,” pukas Mayang
merotasikan bola mata. “Sekarang tuh, Mayang udah punya
saudara laki-laki yang lebih mumpuni dibanding elo,” ia
mencebik. “Farid Wijaya yang auranya bikin gue aur-auran,
kakak pertamanya Nyala. Terus, ada Girsa Wijaya yang
ketampanannya sungguh luar biasa, walau yang gue lihat
terakhir tuh fotonya tiga tahun yang lalu, tapi emang
biasanya cowok semakin matang semakin gurih deh,” tutur
Mayang menambahkan. “Jangan lupa Hadi Wijaya, ya, super
royal. Kalau mukul bola tuh, pinggulnyanya kelihatan seksi
banget. Aduuuhh, pusing gue.”

Nyala tidak menggubris ocehan Mayang tadi.

Tetapi, ia tak mampu menyangkal perasaan hangatnya yang


mengalir sejak makan siang.
“Awalnya, gue mikir bakal dijambak sama Bu Inggrid, atau
bahkan diludahin sama Mas Farid. Tapi, waktu pertama kali
mereka ketemu gue, mereka bahkan nggak pernah ngomongin
hal-hal yang ngerendahin gue. Mereka memang ngejabarin
fakta. Tapi hal itu nggak bikin gue sakit hati.”

“Ck, lo tuh emang gampang bucin anaknya,” ejek Mayang


sambil mengibaskan rambutnya. Sepertinya, dia mulai
menyukai rambut panjang yang hitam. Jadi, ia memutuskan
untuk merawat rambutnya saat ini. “Dulu, waktu pacaran
sama si Iqbal, lo juga gitu,” ia mengingat-ingat kelakuan
Nyala di masa lalu. “Sampe Iqbal lulus SMA, lo pacarannya
sama Iqbal aja. Kalau gue jadi elo mah, mending selingkuh,”
ujar Mayang santai. “Terus waktu dinikahi Harun Dierja and
nggak diakuin, lo diem aja. Alasan lo, berusaha ikhlas,
padahal gue tahu betul, Nyet, lo udah terlanjur jadi
bucin tolol.”

“Kapan-kapan?” Nyala berkilah tak terima. “Gue tuh cuma


mikirin anak gue,” ia mengelus perut buncitnya. “Gue nggak
mau aja kalau anak gue berakhir hidup kayak gue yang
mimpi-mimpi pengin ketemu bapaknya.”

“Nah! Ngaku ‘kan lo?! Kalau diem-diem lo kangen bokap


lo?”

“Bukan kangen sih,” Nyala berusaha meralat tuduhan


Mayang. “Tapi, semenjak mama ngenalin siapa bokap gue,
gue jadi berpikir gimana rasanya disayang bokap. Karena waktu
kita kecil, mama nggak pernah sayang sama gue.”

“Sama gue juga nggak sayang,” sambar Bagus seketika.

“Ya, apa kalian pikir sama gue juga sayang?!” Mayang


melotot tak terima begitu kedua kakaknya itu langsung
mengarahkan pandangan padanya. “Mama emang nggak
sayang sama anak-anak sih. Dia kayaknya sukanya cuma
sama bapaknya anak-anaknya aja,” ia terkekeh geli. “Alah,
udahlah, kasian yang udah meninggal,” ia mengibaskan
tangan ke udara berusaha menghentikan pembicaraan
mereka tentang sang ibu. “Terus, gimana lo sama keluarga
lama rasa baru lo ini? Mereka terima lo ‘kan?”

Nyala mengangguk. “Mas Farid sama Mas Hadi itu aslinya


baik. Cuma, mereka tegas banget orangnya. Tapi, gue belum
ketemu Mas Girsa sama Mbak Inka. Dari yang gue denger,
mereka kayaknya masih sulit nerima gue.”

“Malah, kalau mereka langsung terima lo justru kelihatan


janggal, La,” komentar Mayang. “Nggak masalah sih, nggak
semua orang harus suka sama kita,” ia melanjutkan
ucapannya sambil menatap nail art barunya. “Kayak gue
misalnya. Gue suka nih sama spek om-om. Tapi, yang
nempelin gue malah anaknya,” dengkus Mayang sok prihatin
pada nasibnya sendiri. “Pengin gue putusin aja deh itu si
Arhan. Tapi kalau nanti putus, nggak ada lagi yang
ngejembatanin gue ketemu bapaknya. Pusing nggak sih lo kalau
jadi gue?”

“Nggak penting, May. Sumpah,” decih Bagus memandang


Mayang dengan sebal. “Udahlah, kita tuh harusnya dengerin
Nyala aja. Dia baru aja disahkan jadi bagian dari keluarga
Wijaya. Dapet tunjangan belasan milyar. Udah gitu,
suaminya Harun Dierja. Kalau mau mupeng, tuh, sama
hidupnya Nyala.”

“Maksud lo, gue harus dihamilin dulu gitu?” Mayang


bergurau. “Soalnya kalau masalah nggak punya bapak, ya,
kita sama aja sih. berarti gue harus ketemu sama ketua
umum partai dulu, ya? Ngelakorin siapa ya, enaknya?”
cerocosnya sambil tertawa. “Rekomen dong, Gus, kira-kira
Ketum mana yang bisa gue pepet? Tapi, gue ogah sama
Ketum lho, ya? Partai lo nggak ada duitnya.”

“Sialan!” maki Bagus sambil melempar bantalan sofa yang


tadi sempat dilemparkan Mayang padanya. Sambil
menguap, ia menjulurkan kakinya ke atas meja. Memilih
memusatkan perhatian pada Nyala, ia mencoba mencari
jawaban atas langkah politik yang akan diambil Harun
Dierja. “Terus Harun gimana, La? Gue sama kader-kader
yang lain pada nungguin banget sama aksi yang bakal Harun
ambil. Ada yang bilang dia bakal mundur dari bursa pemilu.
Tapi, ada
kabar juga kalau nanti dia bakal maju bareng anaknya Pak
Kusno. Lo ada denger selintingan nggak?”

Tidak ada.

Jadi, Nyala pun menggeleng.

“Pak Harun nggak pernah cerita yang begitu sama gue,”


Nyala tidak sedih. Karena ia tahu itu bukan kapasitasnya. Pintu

rumah Bagus diketuk tak lama kemudian.

Dan ketika Bagus membukanya, mereka mendapati Siska sudah


berdiri di sana.

Namun yang membuat Nyala terhenyak adalah bahwa di luar


langit sudah gelap. Rupanya, mereka sudah terlalu lama
mengobrol.

“Sudah disuruh balik, ya, Mbak Siska?” tanya Nyala sambil


berusaha berdiri.

“Benar, Mbak. Mas Putra sudah menghubungi saya.”

Nyala pun berpamitan pada kedua saudaranya. Mereka tidak

menjanjikan pertemuan di lain waktu.

Karena sepertinya, hal itu akan sulit untuk dilakukan di


waktu dekat ini.
Nyala akan segera melahirkan. Sementara panggung politik
masih bersinggungan dengan hidupnya. Jadi, Nyala harus tetap
berada dalam persembunyian. Dan kedua saudaranya itu, tidak
memiliki kuasa untuk sekadar menengoknya dan berbagi cerita.

Tetapi, ketiganya tahu, ini bukan pertemuan terakhir mereka.

Sesampainya di mobil, informasi yang diucapkan Siska


membuat Nyala melebarkan mata. “Apa, Mbak?” ia sampai
tidak mempercayai apa yang ia dengar. “Mbak bilang apa
tadi?”

“Kita akan pulang ke Puri Indah, Mbak.”

Puri Indah?

Rumah tiga lantai milik Harun Dierja? Nyala seketika meringis.

“Mbak Nggak salah?”

“Nggak, Mbak Nyala. Mas Putra sudah menyuruh orang untuk


membawa barang-barang Mbak Nyala dari rumah milik Pak
Sanusi.”

Sebenarnya, ada apa sih?

Demi Tuhan, hidup Nyala kenapa ngeri sekali?

***
TIGA PULUH ENAM

Waktu yang disepakati untuk mengadakan rapat internal


koalisi adalah jam empat sore. Tetapi, Sanusi Wijaya, juga
Gideon Sutjatmoko, telah tiba di kediaman Harun setengah
jam sebelum waktu yang dijanjikan.

Kedatangan mereka, bukan karena mereka tepat waktu.

Melainkan, ada yang akan mereka bahas bertiga terlebih


dahulu.

“Jadi, kita mau mulai dari mana?” Sanusi Wijaya memimpin


pertemuan kecil mereka. Berada di bangunan terpisah dari
rumah utama Harun, mereka sengaja melakukan diskusi ini di
gazebo belakang. Dinding yang mengelilingi bangunan itu
terbuat dari kaca yang dapat digeser dan dibuka sesukanya.
Dilapisi vitrase tipis, mereka membiarkan ruangan itu tertutup.
“Bagaimana pertemuan kamu dengan Ganesha?”

Sungguh, Sanusi sedang mengabaikan fakta bahwa sedari


tadi, banyak sekali orang yang berhilir mudik dari gerbang
belakang kediaman ketua umumnya ini. Mengangkut banyak
kardus, dan langkah orang-orang tersebut menyebar di lantai
dua dan tiga. Sama sekali tidak menyentuh lantai pertama.
Dan, ya, semua yang dibawa memang merupakan barang
pribadi.
Namun, bukan milik Harun Dierja.

Melainkan kepunyaan calon anak sang ketua umum Nusantara


Jaya.

Well, secara garis besar, Sanusi telah mengetahui bahwa


Harun Dierja ingin membawa Nyala tinggal di rumah ini.
Tetapi, mereka belum bicara empat mata lagi. Nantilah,
keadaan sedang mendesak begini. Namun, kenapa sih,
Harun Dierja menyibukkan diri sendiri dengan melakukan aksi
pindahan di waktu yang semepet ini?

Anak itu memang gemar mencari masalah.

Ck, kadang kala, Sanusi merasa ingin memukul kepalaHarun


saking kesalnya.

“Apa yang akan dilakukan Ganesha?” kejarnya karena sang


ketua umum belum ingin bicara.

“Seperti yang diduga, dia akan dilantik lusa,” Harun


memulaimembagi informasi tersebut sambil membasahi
bibirnya.
Gideon Sutjatmoko mereka ikutsertakan bukan tanpa alasan.
Bos media televisi itu dapat dipercaya. Makanya, ia tak ragu
untuk membagi informasi barusan. “Ada kemungkinan,
Ganesha dipersiapkan untuk periode berikutnya.”
Sanusi dan Gideon mengangguk samar.

Seolah, mereka pun telah memprediksi demikian.


“Sebelum terpilihnya Zuhri Iskandar, orangtua Ganesh dan
Pak Effendy menargetkan saya untuk menjadi pasanganpemilu.
Tetapi, karena mereka terikat pada partai pengusung, keinginan
mereka ditolak,” Harun melanjutkan dengan pelan- pelan.

“Ada politik balas budi di sana,” Sanusi mengomentarinya.


“Keluarga Zuhri, pasti memiliki pengaruh cukup besar pada
ketua umum partai pengusung Effendy Ghazali.”

“Perlu kita cari tahu?”

Sanusi menggeleng menjawab pertanyaan Gideon. “Nggak


perlu. Karena bagaimana pun juga, kita sudah selesai
mengikuti kompetisinya.”

Betul.

Sekarang tak perlu lagi menyerang secara brutal.Mereka

akan menyerahkan diri.

Tetapi, mereka tidak kalah.

Karena nanti, suara mereka yang akan diperebutkan olehdua


kandidat pasangan yang berlomba dalam Pemilu.
Posisinya, mereka yang akan disembah oleh kedua kandidat
tersebut demi memperebutkan suara basis pendukung.
Makanya, seharusnya kandidat-kandidat itu mulai belajar
menjilat dari sekarang.
“Ganesh dipersiapkan untuk periode berikutnya.”

“Itu masuk akal,” sahut Gideon menganggukkan kepala. “Masa


pendukung Pak Presiden itu banyak sekali. Dan sepertinya
mereka sudah muak terhadap dominasi partai pendukung. Ya,
keterlibatan Ganesha di partai kecil seperti PGRI, tentu ada
alasannya.”

“Ganesh didukung penuh oleh orangtuanya dan Pak


Effendy,” imbuh Harun sambil terus menggunakan kata
ganti orangtua, tiap kali ingin menyebut kepala Negara
dalam konteks ini. “Sepertinya, ditengah-tengah periode
nanti, akan ada pembelotan besar-besaran dari para kader
partai pengusung menuju PGRI.”

Politik akan terus memanas.

Siapa pun yang akan menjadi Presiden pada Pemilu kali ini,
polemik pasti terus mengikutinya.

“Hm, arah politik semakin tak dapat ditebak,” gumam Sanusi


pelan. “Jadi, ketika ada pergolakan politik nanti, kita tidak
bisa mencari aman dengan tidak memihak sana-sini. Kita
jelas harus punya keberpihakan. Dan membantu pihak kita
untuk menang. Supaya apa? Ya, supaya kita juga aman,”
lanjutnya sembari menarik napas panjang.

Dalam kasus Sanusi, siapa pun yang akan ia dukung, orang itu
harus menang.
Banyak proyek di IKN yang akan mandek bila mereka salah
memilih Presiden dan segala jajarannya. IKN harus berjalan.
Ia sudah membuang banyak dana pada mega proyek itu.

“Sepertinya, keputusan mundur dari geliat politik di Pemilu ini


memang langkah yang tepat,” Harun mengutarakan
pendapatnya. “Politik periode kali ini terasa sangat gelap.”

“Betul,” Gideon membenarkan. “Alasan saya tidak tertarik


pada Pemilu kali ini adalah tidak ada kandidat yang saya
percaya. Saya tidak bisa melihat masa depan mana yang
tenang dari masing-masing kandidat Presiden yang
mendeklarasikan dirinya waktu itu. Mungkin, Saya menyukai
Basuki Nugraha karena kami sama-sama pengusaha. Tapi,
saya tidak menyukai Irawan Pramoedya,” tutur Gideon
mengemukakan alasan. “Irawan dan keluarganya itu sangat
kotor,” ringisnya kemudian. “Hal itu juga berlaku untuk
Effendy Ghazali. Saya menyukai beliau. Namun tidak dengan
calon wakilnya.”

Diam-diam, Harun juga punya pemikiran yang sama.

Dari kedua calon kandidat yang tersisa saat ini, keduanya


memiliki plus dan minusnya sendiri.

“Saya bergabung dengan koalisi ini pun ada alasannya,” Gideon


menatap Harun sambil tersenyum kecil. “Ya, Pak Harun tahu
‘kan, kondisi anak saya?”
Hubungan yang terjalin dengan Gideon Sutjatmoko semata-
mata karena asas pemanfaatan. Tetapi hal itu hanya diawalnya
saja. Karena sekarang, Gideon merupakan bagian dari segelintir
orang yang mereka percaya.

“Awalnya, saya memang tidak berniat mendukung calon


manapun. Saya ingin bersikap netral saja dan menjadi warga
Negara biasa yang tak perlu menggembor-gemborkan siapa
presiden yang saya pilih. Tetapi, karena keadaan. Dan saya
menyukai timbal-balik yang ditawarkan, makanya saya ikut
memasuki koalisi ini.”

“Terima kasih atas kepercayaannya, Pak Gideon,” ungkap


Harun tulus.

Gideon hanya mengangguk singkat. Kemudian beralih


menatap Sekjen partai Nusantara Jaya. “Jadi, kita sudah siap
mengumumkan pengunduran diri Pak Harun dari panggung
Pemilu nanti?”

“Ya,” Sanusi menjawab lugas. “Saya sudah menghitung


kerugian-kerugian dari partai-partai yang bergabung dalam
koalisi ini. Rata-rata, mereka hanya menghabiskan dana 50
milyar saja. Sekretaris Kusno Aji sudah memberitahu bahwa
dana taktis satu koma lima triliyun dari saya, masih mengendap
di brangkas partainya. Mungkin hanya tersisa satu triliyun saja.
Saya akan mengambil kembali dana taktis
yang tersisa untuk mengganti kerugian partai peserta koalisi.
Dan sisanya akan saya buat untuk melobi Effendy Ghazali dan
tim pemenangannya.”

“Effendy Ghazali?” Gideon tampak tak percaya bahwa Sanusi


WIjaya sudah menjatuhkan pilihan ke pihak mana ia akan
berinvestasi. “Pak Sanusi nggak salah?” ia mempertanyakan
dengan serius.

“Saya juga akan menjatuhkan pilihan padanya, Pak Gideon,”


Harun yang menjawab pertanyaan itu. Sejujurnya, ia cukup
takjub karena pilihannya dan Sanusi, sama. “Pilihan saya juga
Pak Effendy.”

“Kenapa?” Gideon melebarkan mata tak percaya. “Kenapa


harus Effendy? Bukankah Zuhri Iskandar yang sudah
menyebarkan rumor palsu mengenai Pak Harun dengan
anaknya Pak Sanusi?” tuntut Gideon tak mengerti.

“Pertama-tama, Zuhri Iskandar hanya akan jadi RI-2 dari


partai pengusung yang suka mengatur pemerintahan,” Harun
siap menjabarkan alasan mengapa ia memilih Effendy Ghazali
dibanding harus kembali mendukung Irawan Pramoedya.
“Partai pengusung mereka yang akan mengambilalih
pemerintahan dengan istilah “kebijakan Presiden”,” Harun
membuat tanda kutip. “Tapi, alasan utama kenapa saya
mendukung mereka, tentunya karena
Effendy Ghazali. Riwayat politik beliau bersih. Keluarganya juga
harmonis. Beliau punya prinsip. Dan walau, partai
pengusung berusaha ikut campur pada keputusan-
keputusannya, beliau adalah orang yang cukup keras bila
sudah berada dalam mode mempertahankan ide.”

“Dan soal Zuhri Iskandar,” Sanusi langsung meneruskan


informasi yang semula hanya dirinya, Harun dan juga Kusno
Aji yang tahu. “Rumor yang dibuat oleh Zuhri Iskandar itu
tidak sepenuhnya salah,” lanjutnya dengan mimik tenang di
wajah. “Dia,” Sanusi menunjuk Harun dengan dagunya.
“Memang menikahi putri saya,” umumnya
sambilmendengkus kecil.

“Hah? Serius?” sekali lagi, Gideon tampak shock. Ia tatap


Harun Dierja dan Sanusi Wijaya bergantian. “Putrinya Pak
Sanusi? Nyala Sabitah itu?”

“Benar,” Sanusi mengangguk. “Bayi yang dikandung putri saya


adalah anak Harun Dierja.”

“Tapi, bukannya Bapak bilang kalau suaminya sudah


meninggal?” Gideon menuntut jawaban.

Dan Harun menjawabnya dengan dengkus kerus. Ia mencebik


tanpa repot-repot menutupi ketidaksukaannya pada
pertanyaan barusan. “Saya masih hidup, Pak Gideon.”
“Iya, saya tahu. Tapi, bukankah dari pengumuman yang Pak
Sanusi katakan, bahwa suami dari putri Bapak sudah
meninggal?”

“Ya, itu karena saya kesal dengan ibunya Harun,” dengan


tangkas Sanusi membuat alasan. “Sejak awal, saya dan
ibunya Harun itu tidak akur. Lalu, dia tidak menyukai anak
saya. Berharap Harun menceraikan anak saya setelah
melahirkan. Makanya, saya dan istri saya sepakat untuk
menganggap Harun sudah meninggal.”

Harun menanggapi dusta itu dengan sinis. Tetapi selebihnya,

ia tidak mengatakan apa-apa. Ia biarkan Sanusi Wijaya

berdiskusi sejenak.

“Oke, mereka akan segera datang,” Harun menatap arlojinya.


“Jadi, kita sudah satu suara ‘kan?” ia perlu menekankan hal
tersebut pada dua orang pria paruh baya di depannya. “Kita
akan mundur dari bursa Pemilu. Dan kita akan mengganti
kerugian masing-masing partai koalisi dari dana taktis milik
Pak Sanusi. Kita sepakat?”

“Tentu,” sahut Sanusi sambil berdiri. “Pak Gideon, terima kasih


atas kepercayaannya selama ini,” ia mengulurkan tanganuntuk
menyalami Gideon Sutjatmoko.

“Saya tidak mengira, kita akan mengakhiri perang ini lebih


cepat dibanding yang lain,” Gideon menyambut uluran
tangan itu dengan wajah sedikit muram. “Saya tidak tahu apa
lagi yang akan terjadi di masa depan. Tetapi saya harap, saya
dapat kembali menjadi bagian dari tim pendukung Pak Harun
di masa depan.”

“Terima kasih atas kepercayaannya, Pak,” Harun


menanggapinya dengan senyum tulus. Mereka pun
bersalaman. “Tapi, perjalanan kita untuk membubarkan koalisi
ini masih panjang, Pak Gideon. Saya harap, Bapak masih terus
bersama dengan kami.”

“Pasti, Pak Harun.”

“Keylan mungkin akan membuat ulah,” lanjut Harun setelah


jabatan tangan mereka terpisah. “Tapi, saya yakin Pak Sanusi
dapat menentramkan gejolak para kader lainnya.”

Proses pembubaran ini akan berlangsung panjang.

Belum lagi, bila Keylan benar-benar membuat ulah dengan


memecah belah koalisi.

Makanya, sebelum hal itu terjadi, mereka akan bertemu terlebih


dahulu dengan pimpinan para para partai politik yang
tergabung dengan koalisi Lanjutkan Perjuangan.
Mereka harus meyakinkan para pimpinan-pimpinan partai,
bahwa inilah yang terbaik bagi koalisi mereka saat ini.
“Sebelum kita memberitahu para kader ke arah mana suara
kita akan beralih, kita harus bertemu dahulu dengan Pak
Effendy beserta para barisan partai pengusungnya,” tambah
Sanusi sebelum mereka benar-benar keluar.

“Pak Effendy mengajak bertemu besok,” Harun mengingat


perkataan asisten pribadinya. “Tapi, undangannya belum saya
jawab.”

“Oke, kita akan membicarakannya setelah rapat ini selesai.”

Mereka pun bersisian menuju rumah utama.

Dan sekali lagi, Sanusi harus melihat keriuhan yang terjadi di


lantai dua.

Sambil menjajari langkah Harun, Sanusi memastikan bahwa


Gideon tak dapat mendengar obrolan pribadi mereka. “Kamu
sudah gila?” ia menipiskan bibir dengan suara yang terdengar
pelan. Namun, nadanya begitu menusuk. “Kamu mau mengajak
Nyala pindah disituasi seperti ini?” matanya melotot tajam.
“Berhenti membuat gara-gara, Harun.”

“Saya nggak suka tinggal di rumah itu,” balas Harun santai.


“Terlebih, jaraknya terlalu jauh. Jadi, supaya saya dapat
bekerja maksimal tanpa harus mengkhawatirkan keberadaan
istri saya. Lebih baik, saya boyong sekalian ke sini.”

“Rumahmu sedang ramai-ramainya, Harun.”


“Nyala hanya akan berkeliaran di lantai dua dan tiga. Lift
sudah berfungsi. Tidak ada kendala. Dan saya bisa memastikan
rumah saya lebih aman tanpa campur tanganAnda.”

Intinya begini, jangan pernah memberi nasehat pada orang


yang sedang jatuh cinta.

Karena semua petuah-petuah bijak, akan kalah pada romansa


merah muda yang sedang membuatnya berbunga- bunga.

Saran, lebih baik tinggalkan.

Karena yang sedang dimabuk asmara, biasanya suka sekali


mengabaikan logika.

Jadi, biarkan saja mereka.

***

Pertemuan kali ini, bukanlah pertemuan resmi. Agendanya,

hanya berdiskusi.

Dan nanti, bila kata sepakat sudah didapat, barulah mereka


akan menggelar rapat resmi dengan mengundang media untuk
menyatakan keputusan yang sudah mereka ambil.
Jadi, sudah pasti pertemuan ini bukanlah pertemuanterakhir
mereka. Masih banyak pertemuan-pertemuan lain yang akan
digelar demi mengejar kemufakatan bersama.
Ada lima partai yang masuk ke dalam koalisi Lanjutkan
Perjuangan. Yang pertama adalah partai Barisan Indonesia
Baru dengan ketua umum Kusno Aji. Partai Nusantara Jaya,
ketua umumnya adalah Harun Dierja. Partai Demokrasi
Nasional, Ahmad Bimasena adalah ketua umumnya. Juga
ada partai Amanah Indonesia, yang diketuai oleh Pandji
Hanggara. Dan yang terakhir bergabung dengan mereka
belum lama ini adalah partai Hati Nurani Bangsa, ketua
umumnya merupakan purnawiran TNI seperti Kusno Aji,
yaitu Bapak Sadewa Syahputra.

Dan kelima ketua umum dan perwakilannya telah hadir di


kediaman Harun.

Yang paling menyebalkan, Keylan datang untuk mewakili partai


milik almarhum Kusno Aji.

Tetapi, ya, Harun dan juga Sanusi sudah memprediksinya. Jadi,

mereka tidak terlalu kaget dengan kemunculan pria itu.

“Baik, kita akan mulai pertemuan ini,” Harun memimpin rapat.


Namun, Sanusi yang akan menjelaskan perihal mengapa
mereka harus mundur dalam bursa pencalonan. “Semuanya
sudah datang?”

Ruang meeting di lantai satu berada di dalam ruangan


berukuran 10x10 meter. Terdapat meja panjang dengan 16
kursi yang mengisi. Sofa berukuran besar dengan seater-
seater yang disusun berjajar berada di atas sebuah
permadani berwarna biru tua. Dengan lampu gantung
berbentuk Kristal, ruangan itu juga dilengkapi satu unit
plasma besar yang menempel pada dinding yang dilapisi
wallpanel berwarna biru muda. Layar proyektor yang dalam
kesempatan kali ini berada dalam posisi tergulung, tampak di
sisi kiri meja panjang itu. Sementara meja kerja Harun
berada di bagian yang lebih dalam. Dengan rak-rak buku
berwarna biru sewarna dengan permadani tadi.

“Saya tidak bisa memutuskan hal ini sendiri. Karena itu,


sejak kemarin saya terus berdiskusi dengan Sekjen partai
kami, yaitu Bapak Sanusi Wijaya. Terkait langkah apa yang
akan saya ambil sebagai wakil ketua koalisi,” Harun berdiri
sementara para rekan-rekan politisinya duduk di kursi.
“Jujur saja, sekarang ini saya merasa tidak mampu bila
mendapat mandat dari rekan-rekan koalisi sekalian untuk
mencalonkan diri sebagai Presiden,” ia mengaku dengan
jujur. “Ilmu dan pengalaman yang saya miliki, tidak sampai ke
sana,” tambahnya dengan napas terhela. “Mungkin, rekan -
rekan semua akan mengatakan bahwa nanti ketika saya
terpilih, saya tidak akan bekerja sendiri di pemerintahan.
Hal itu tidak akan mengubah fakta, bahwa
saya akan dicap sebagai Presiden yang tidak becus mengurus
rakyatnya. Dan itu pun bila saya terpilih. Lalu, bagaimana
halnya bila saya tidak terpilih nanti?”
Harun menatap para kadernya dengan pandangan penuh
simpatik.

Tetapi, hal tersebut tak berlaku untuk Keylan.

Putra kedua Kusno Aji itu, tampak siap mematahkan segala


ucapannya.

Oh, tapi nanti dulu.

Harun akan membuat Keylan mati kutu.

“Saya dan Pak Keylan, akan dianggap sebagai anak kemarin


sore yang coba cari mati,” ia mengutip kalimat Sanusi yang
senang sekali menggambarkannya begitu. “Koalisi ini ada,
karena kegigihan almarhum Pak Kusno Aji. Jiwa dalam
koalisi ini adalah beliau. Jadi, begitu beliau tidak ada, saya
merasakan kehampaan yang luar biasa. Bukankah begitu Pak
Keylan?” ia ajak Keylan menjadi pusat atensi. Supaya pria
agak segan memperlihatkan wajah kerasnya sedari tadi.
“Jadi, berdasarkan diskusi yang saya lakukan dengan Sekjen
serta kader-kader partai kami, saya memutuskan untuk
mundur dari bursa pencalonan.”

Kasak-kusuk mulai terdengar.Intrupsi-intrupsi pun

berdatangan.

Namun, sebisa mungkin Harun menjawab semua itu


dengantenang.
“Kenapa Pak Harun nggak mau mencoba dulu?” Keylan
tanpa menunggu lama, langsung melancarkan aksi
protesnya. “Bukankah dana koalisi sudah ada? Toh, menang
atau kalah hal itu sudah biasa. Yang penting kita
memulainya.”

“Untuk apa memulai bila hasilnya sudah terlihat?” sahutan


datang dari Gideon Sutjatmoko. “Kita akan kalah,” katanya
dengan nada final. “Bila nekat mencalonkan diri, Pak Harun
dan Pak Keylan tidak akan selamat setelah tampil di debat
Pilres,” ia paparkan fakta. “Dan setelah itu, apa yang bisa
diharapkan? Tidak ada.”

“Jadi, alangkah baiknya jika kita berhenti di sini, untuk


mempersiapkan diri pada periode selanjutnya,” Sanusi
Wijaya pun akhirnya berdiri. “Mungkin, Pak Harun memiliki
sedikit pengalaman dalam periode kepemimpinannya di
Nusantara Jaya. Tapi, hal itu belum cukup untuk melaju
sebagai RI -1 di pemerintahan. Apalagi, bila pasangannya
Pak Keylan,” Sanusi berkata terus terang. “Pak Keylan
bahkan tidak memiliki prestasi apapun dibidang politik
selain sebagai anak Kusno Aji,” pukulnya telak. “Bahkan, Pak
Keylan pun belum dilantik dan sepertinya akan sangat lama
dilantik untuk meneruskan posisi almarhum. Karena yang
saya dengar, almarhum sempat menginginkan putra
pertamanya yang menjadi ketua umum partai untuk
menggantikan beliau. Bukankah begitu, Pak Sekretaris?” ia
meluruskan pandangan pada sekretaris pribadi Kusno Aji.

Keylan terlihat menahan amarah, apalagi ketika sekretaris


sang ayah mengangguk membenarkan ucapan Sanusi
Wijaya. Tetapi tenang, ia tak akan terpancing dan membuat
mereka semua mengetahui amarahnya. “Kakak saya tidak
ingin jawaban sebagai ketua umum. Karena itu, dia meminta
saya untuk mengambilalih tugas ini.”

“Kalau begitu, selesaikan terlebih dahulu masalah tersebut, Pak


Keylan,” Sanusi mengirim senyum segaris yang terlihat sinis.
“Hal tersebut merupakan masalah internal partai Barisan
Indonesia Baru. Kami tidak boleh ikut campur.
Tetapi yang jelas, saya dan ketua umum partai kami sudah
sepakat untuk mengundurkan diri dari bursa pencalonan.
Karena, tidak adanya kandidat utama yang memenuhi
standar kepemimpinan,” imbuhnya menatap satu per satu
peserta koalisi dengan pendar serius. “Tetapi, tentu saja hal itu
tidak dapat kami paksakan pada yang lain. Maka dari itu, kami
mempersilakan peserta koalisi untuk mendiskusikan terlebih
dahulu kepada para kadernya. Kita bisa membuat
pertemuan lagi untuk beberapa hari kedepan.”

Keheningan yang tercipta usai keterangan yang disampaikan


oleh Sanusi Wijaya, kembali diambil oleh Harun untuk
menegaskan keputusannya.
Ia tahu, akan banyak hati yang patah.

Tetapi, inilah jalan terbaik yang bisa ia ambil tuk masalah kali
ini.

“Saya tahu, rekan-rekan semua punya harapan juga


kepercayaan yang sangat besar ketika memutuskan
bergabung dengan koalisi ini. Namun, kehendak Tuhan tidak
ada yang bisa melawan. Sang pendiri koalisi, telah terlebih
dahulu berpulang. Karena itu, saya, Harun Dierja Aminoto
ketua umum partai Nusantara Jaya, memutuskan secara
sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak mana pun untuk
keluar dari koalisi ini. Ada pun, ketetapan atau kerugian
materi dari para peserta koalisi, akan kita bicarakan dengan
sejelas-jelasnya.”

Babak pertama berakhir.

Selanjutnya, Harun akan menuju pertemuan berikutnya.Dan

semoga, tidak ada banyak drama.

Sebab, ia masih harus mengurusi urusan pribadinya. Di


mana, sang istri akan melahirkan kurang dari sebulan lagi.

Semoga Harun, senantiasi diberi kewarasan.

Karena sungguh, keadaannya saat ini sangat rawan dengan


kegilaan.
***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Tiga
Puluh Tujuh - Tiga Puluh
Delapan - Tiga Puluh Sembilan ·
Karyakarsa

TIGA PULUH TUJUH

Setengah jam yang lalu, para pimpinan kader-kader di


koalisinya baru saja meninggalkan kediamannya. Namun,
Harun dan Sanusi Wijaya masih belum beranjak dari meeting
room di lantai pertama. Ada beberapa aspek yang sengaja tidak
ia informasikan pada yang lain, termasuk Gideon Sutjatmoko.
Ia sengaja menunggu mereka semua pergi, untuk
mendiskusikan beberapa hal kepada Sekjen partainya.

“Apa saja yang kalian bicarakan siang tadi?” Sanusi sudah


menebak pasti ada sesuatu. “Kamu terlihat penuh semangat
dan sama sekali tidak nampak ragu ketika mengumumkan
pengunduran diri kita dari koalisi,” ia menebak semuanya
berdasarkan raut wajah Harun.

Well,” Harun sedang memilih inti dari pembahasan mereka.


“Rencananya, mereka ingin memasangkan saya dengan
Ganesh di periode berikutnya,” tuturnya sambil menghela
panjang. “Dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara,
sepertinya orangtua Ganesha cukup mengkhawatirkan
IKN,” lanjutnya mencoba menebak isi kepala Presiden.
“Beliau mungkin muak dengan perintah dari partai
pengusung. Namun, sepertinya beliau juga tidak bisa
melepaskan tanggung jawab dari IKN. Makanya, beliau ingin
memastikan bahwa kepala Negara yang memimpin nanti,
tidak akan membuat mega proyek itu mangkrak.”

“Saya juga akan mengecam siapa pun kepala Negara yang


tidak serius mengerjakan IKN,” decak Sanusi segera.

Sambil mengangguk, Harun mengeluarkan ponsel di


sakunya. Panggilan dari Rafael telah berakhir. Tetapi
kemudian, kepala ajudannya tersebut mengirimkan sebuah
pesan yang segera ia balas. “Pak Presiden ingin saya
mengambil jabatan menteri demi mendukung kemajuan
karir saya sebelum dipersiapkan untuk menjadi bagian
dalam memperebutkan suara rakyat demi menjadi RI 1.”

Mereka sudah berpindah tempat untuk diskusi.

Tidak lagi berada di meja panjang tempat meeting barusan.

Memilih duduk lebih santai di sofa dengan secangkir kopi


yang masih mengepulkan asap yang wangi. Sanusi dan
Harun mencoba meredam sarkas mereka demi terciptanya
diskusi yang akan mencapai kesepakatan.

“Sepertinya, dukungan Presiden sudah jelas, ya?” Sanusi


mengangkat gelas kopinya. “Sebenarnya, almarhum Pak
Kusno dan kamu pun, dapat melanjutkan IKN. Caranya
adalah kita tetap meminta agar menteri-menteri terkait
bersedia bekerjasama dengan kabinet yang akan kalian
susun nanti. Tetapi, ya, rencana Tuhan sangat mengejutkan,”
Sanusi menghela panjang. Ia menghidu aroma kopi sebentar
sebelum menyeruput perlahan. “Jawab segera undangan
pertemuan Effendy Ghazali. Dia pasti ingin membuat
kesepakatan.”

Harun juga berpikir begitu. “Effendy pasti akan melanjutkan


IKN.”

“Benar, karena dia akan dibimbing langsung oleh Presiden


yang sekarang. Mau bagaimana pun juga, IKN harus selesai.
Investasi saya di sana sudah sangat banyak. Girsa sedang
berada di Kalimantan saat ini bersama dengan Menteri
PUPR. Pak Toni Damara,” Sanusi menyebut nama Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Kabarnya, beliau
tidak ingin menjabat lagi seandainya nanti Presiden yang
baru kembali menawarinya jabatan sebagai menteri. Beliau
ingin pensiun dan kembali ke kampung halamannya di
Minahasa. Untuk itu, sebaiknya kamu katakan pada Effendy
bahwa kamu ingin jabatan itu.”
“Lihat nanti,” sahut Harun setengah mencibir. “Saya belum
memikirkannya.”

“Ck, jangan suka menunda-nunda,” Sanusi tak suka dengan


jawaban yang diberikan Harun padanya. “Kamu selalu
mengerjakan semua dengan lambat,” cercanya dengan tampang
sebal. Berakhir sudah diskusi sunyi mereka. Kini, keduanya
tampak seperti biasa. “Katakan semuanya segera. Bilang, kalau
kamu akan memberikan dukungan penuh.
Lalu, minta jabatan menteri PURP.”

“Saya tidak menunda-nunda. Saya hanya suka


mempertimbangkan semua secara matang,” Harun membela
diri. “Walau bagaimana pun juga, sebelum memutuskan
memberi kepastian suara, kita harus berbicara dengan para
kader terlebih dahulu,” jelas Harun mengapa ia harus tetap
berlaku waspada pada setiap tawaran yang datang padanya.
“Kita harus meminta persetujuan kader.”

“Itu akan menjadi urusan saya,” respon Sanusi dengan


sengit. “Kamu hanya perlu menggelar rapat. Urusan
meyakinkan para kader, biar menjadi urusan saya.”

Diam-diam, Harun ingin sekali mencibir pria itu.

Tetapi, ia malah mendengkus dengan ekspresi menggelikan.

Setelah meminum kopinya, ia pun menancapkan atensi kembali


pada Sanusi Wijaya. “Saya bukan Anda yang selalu
grasak-grusuk, lalu menutupi segala jejak yang tertinggal
dengan uang. Ck, andai Anda tahu, semua pekerjaan Anda
itu meninggalkan jejak. Tapi, karena Anda punya uang, Anda
bisa menutupnya.”

“Itulah kenapa saya menjadi pengusaha juga politisi, Harun


Dierja,” suara Sanusi berubah penuh ancaman. “Supaya saya
dapat mengontrol segalanya lewat kuasa juga harta saya.”

“Tapi hal itu membuat Anda mengerjakannya dua kali ‘kan?”


serang Harun terus. “Anda kehilangan banyak rupiah hanya
untuk repot-repot menyembunyikan Nyala. Padahal setelah
itu, Anda juga yang mengakuinya. Ck, lucu sekali,” Harun
mencemooh sambil tertawa. “Mengumpankan Nyala di malam
Rakernas. Berharap Nyala saya buang dan hidup Anda
tentram. Justru, Anda terus mengkhawatirkannya.
Tetap memantaunya dari jauh. Serepot-repot itukah bila Anda
nggak peduli padanya?” Harun terus mengejek.

“Bukan urusan kamu,” Sanusi berujar ketus.

“Sekarang urusan saya. Karena Nyala adalah istri saya.”

Mereka masih akan terus berdebat, tetapi ketukan pintu


membuat perseteruan itu terjeda.

Putra dengan tampang kusut akhirnya muncul setelah


menghilang untuk mengambil pesanan ketua umumnya
yang beberapa hari lalu, ia urus.
“Sudah selesai, Put?” tanya Harun basa-basi. Sungguh,
tampang Putra sangat keruh sekali. “Hm, kamu boleh pulang
setelah ini. Istirahat saja. Saya yang akan membereskan
sisanya.”

Putra tak mengatakan apa-apa. Namun tangannya segera


memberikan sebuah amplop cokelat besar pada ketua
umumnya. “Sudah selesai, Pak,” ia hela napas begitu
panjang. “Dan saya tidak bisa istirahat sekarang. Karena
jadwal Bapak untuk hari ini belum selesai,” ia nyaris
menipiskan bibir andai tak ingat bahwa yang berada di
depannya adalah sang atasan.

Harun mengintip isi amplop tersenyum dengan senyum


kecil. Sengaja tak mengeluarkan isinya, agar Sanusi Wijaya
tidak kembali mengoceh panjang lebar padanya.
“Memangnya saya masih ada agenda lagi, Put?”

“Masih, Pak,” Putra menyabarkan diri. Ia sudah membacakan


agenda sang atasan sebanyak dua kali di hari ini.

Hm, bisa kamu batalkan saja? Beri alasan bahwa saya harus
mengikuti pengajian di rumah Pak Kusno.”

“Memangnya Bapak benar-benar akan ke sana?”

“Tidak juga,” Harun kemudian berdeham. “Saya merasa


sangat lelah hari ini. Menghadapi ketua-ketua umum partai
peserta koalisi cukup menguras emosi dan tenaga saya.”

Putra tidak segera menyetujuinya.

Inginnya sih, agar memutar bola mata dengan jengah.

Tetapi, pantang baginya untuk bersikap di luar batas dalam jam


kerja.

Tetapi demi Tuhan, kelakuan Harun Dierja benar-benar


buatnya sakit kepala.

Jadi, tanpa ingin mendebat lagi. Ia mengabulkan permintaan


atasannya tersebut tanpa berkomentar. “Baik, Pak,” ucapnya
dengan wajah yang juga lelah. “Ada lagi yang Bapak inginkan
dari saya?”

“Balas undangan dari Effendy Ghazali. Katakan, saya


bersedia menemuinya besok.”“Saya mengerti, Pak.”

“Sekarang, kamu membuat orang yang sudah meninggal


sebagai alasan, ya, Run?” Sanusi mendengkus. “Keterlaluan,”
cebiknya sinis.

Rafael bergabung bersama mereka setelah mengetuk pintu.


Kedatangannya tentulah membawa sebuah kabar.

“Ada apa Raf?” Harun masih duduk di kusinya.

“Mbak Nyala sudah tiba, Pak.”


Harun berdeham sejenak.

Ia menyeruput kopinya sekali lagi demi mengabaikan sirat sinis


dari mata tua seorang Sanusi Wijaya. Tetapi, Nyala adalah
istrinya. Terserah padanya, ingin membawa istrinya ke mana
saja. Toh, ia tidak menyusahkan siapa-siapa.

“Oh, oke,” Harun menjawab singkat. Ia masih menyandarkan


punggung di sandaran sofa belakang. “Denny membawanya
melalui gerbang belakang?”

“Benar, Pak. Sesuai intruksi Bapak, karena khawatir bila


rapat dengan para anggota koalisi belum selesai. Makanya,
kami mencari cara aman untuk membawa Mbak Nyala.”

Sambil mengangguk kecil, Harun pun berdiri. Amplop cokelat


yang tadi berada di atas meja, kini ia bawa. “Antar Nyala ke atas
dengan hati-hati,” instruksinya.

“Baik, Pak.”

Sanusi berbalik mencemooh. Bibirnya terangkat dengan


senyum sinis yang secara terang-terangan ia berikan pada
Harun Dierja. “Kamu benar-benar tidak waras, Harun,”
dengkusnya sambil berdiri. “Seharusnya, kamu biarkan
Nyala tetap berada di rumah saya. Di sana lebih aman. Kamu
malah membawanya ke tengah-tengah pertempuran,”
cebiknya sengit.
Harun tidak ingin menimpalinya.

Semata, hanya agar debat kusirnya bersama Sanusi perihal


kepindahan Nyala yang ia putuskan sepihak ini, tidak
berlangsung panjang.

Well, sudah malam, Pak Sanusi,” Harun pura-pura


mengecek waktu di arloji. “Sudah waktunya makan malam,”
ia pura-pura menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita
akhiri diskusi kita di sini saja. Besok, usai bertemu dengan
Effendy Ghazali, saya akan menginfokan apa saja yang kami
bahas,” ia melabuhkan senyum pura-pura. “Kalau begitu,
saya pamit ke atas terlebih dahulu.”

Bahkan Harun tak ingin repot-repot menawarkan makan


malam pada sang mertua.

Terlebih, sebagai tuan rumah, justru dirinyalah yang pamit


undur diri.

Ckck, Harun memang cari mati.

“Ah, Putra,” sebelum mencapai pintu, ia berbalik. “Tolong,


antarkan Pak Sanusi sampai di mobilnya, ya? Saya tidak
sempat.”

“Anak itu …,” Sanusi menipiskan bibirnya. “Benar-benarsudah


tidak waras.”
Andai berada di level yang sama, sepertinya Putra pun akan
mengatakan demikian.Benar.

Ketua umum partai Nusantara Jaya, tidak waras. Dan Putra,

memilih kembali menyabarkan diri.“Mari, saya antar, Pak.”

***

Nyala sudah pernah ke rumah ini.

Sama seperti waktu itu, ia tiba di saat malam hari.

Di mana, lampu-lampu telah dinyalakan. Ruang-ruang telah


bermandi cahaya. Mempertegaskan kemewahannya lewat kilau
cahaya yang memantul di lantai marmer yang membentang.

Setelah keluar dari lift, Nyala dibimbing menuju sebuah kamar


yang juga pernah ia masuki sebelumnya. Kamar utama milik
Harun Dierja. Dengan aroma pria itu yang rasanya masih
tertinggal di udara.

“Semua perlengkapan bayi sudah berada di sini, Mbak.”

“Oh, ya?” Nyala terkejut mendengarnya. Sungguh, ia pikir


hanya barang-barangnya saja yang sudah dipindahkan ke
rumah ini. Tetapi ternyata, perlengkapan bayi yang waktu itu
ia pilih pun dibawa ke sini. “Kenapa kok dibawa ke sini?”ia
mempertanyakan semua itu agar jelas. Suaminya sama sekali
tidak memberitahunya apa-apa.

“Saya nggak tahu, Mbak,” ujar Siska sambil menggeleng pelan.


Ia membukakan pintu kamar agar istri dari atasannya itu dapat
masuk ke dalam kamar. “Kalau itu perintah langsung dari
Bapak, kami nggak berani mempertanyakan.”

Ya, Nyala tahu.

Sambil mengusap perutnya, Nyala merasa bagian tersebut


semakin menonjol saja. Hari ini Nyala berkeliaran dengan
summer dress berwarna biru. Melapisi bahunya dengan
cardigan putih, karena sejak siang tadi langit terus saja muram.
Setelah memasuki kamar tidur suaminya, ia duduk di tepi
ranjang dengan senyum terlukis cantik. Tangannya yang bebas
mengelus permukaan bed cover cream yang terasa begitu halus
di bawah sentuhannya. “Bapak ada di sini, Mbak Siska?”

“Ada, Mbak,” Siska hanya mengantar Nyala sampai ambang


pintu kamar saja. Ia tidak berani masuk ke dalam kamar
pribadi atasannya, bila bukan dalam keadaan genting.
Terlebih, sang atasan berada di bangunan yang sama saat ini.
“Bapak masih di bawah. Sebentar lagi akan naik, Mbak,”
terangnya memberitahu. “Kalau begitu, saya pamit, ya,
Mbak?” Siska tersenyum. “Sebentar lagi, Bapak akan
datang.”

Entah kenapa, pipi Nyala merona ketika kepalanya


mengangguk. Fakta bahwa Harun Dierja ada di sini juga,
membuat hatinya berdebar. Nyala tahu, ini cinta. Ia paham
betul tiap debar di dada merupakan wujud dari betapa
senang dirinya, saat akan bertemu Harun Dierja.

“Oh, ya, Mbak, seluruh pakaian Mbak Nyala sudah disusun


berada di ruang wardrode.”

“Terima kasih informasinya, Mbak Siska.” “Sama-sama,

Mbak.”

Sepeninggal Siska, Nyala memberi perhatian penuh pada


sang bayi dalam kandungan. Senyumnya segera melebar, lalu
matanya berbinar. “Kita ada di rumah bapakmu,” lapornya
pada sang bayi. “Barang-barang kamu juga udah ada di sini
lho,” ia menekan-nekan lembut perutnya dengan telunjuk.
“Lucu banget sih, kamu? Ngerti aku ngomong apa?” karena
di dalam sana, sang bayi seolah merespon dengan
menunjukkan geraknya. “Hm, tapi sekarang kamu udah
nggak seheboh dulu, ya, kalau gerak-gerak? Sekarang udah
sempit, ya, di dalam sana? Nggak apa-apa. Sebentar lagi
lahir, ya? Kamu punya ranjang bayi yang empuk banget,
lho,” Nyala terkikik. “Bapakmu uangnya banyaaakkk … aku
disuruh pilih sesuka aku, sebagus-bagusnya buat kamu.”
“Kamu memang suka sekali berbicara dengan bayinya bila
tidak ada saya, ya?”

“Bapak!” Nyala terpekik kaget. Ia nyaris berdiri saking


terkejutnya. Beruntung saja, perut besarnya membuat ia
kesulitan bergerak. Jadi, ia hanya terperanjat sambil
memegangi dada. “Ya, ampun, Bapak ngagetin!” serunya
mencoba meminimalisir keterkejutannya.

“Saya sudah berdiri di sini sejak tadi,” Harun yang semula


menyandarkan sebelah lengannya pada kusen pintu,
akhirnya berjalan menuju sang istri dengan daun pintu yang
ia tutup. “Kamu tidak menyadari kehadiran saya?”

Nyala langsung menggeleng.

Bahkan, ia juga tidak menyadari bahwa Siska tidak menutup


pintu kamar ketika pamit tadi.

“Maaf, kalau sudah membuat kamu terkejut.”

Sekali lagi, Nyala menggeleng. Harun Dierja sudah berada


di depannya. “Pekerjaan Bapak sudah selesai?” tanyanya
sembari membawa sebelah tangan tuk menyentuh tangan
sang ketua umum partai.

Harun mengangguk, ia menggenggam tangan Nyala sembari


meletakkan amplop cokelat yang sejak tadi ia bawa. “Kamu
agak active, ya, hari ini?” Harun mengelus kepala Nyala.
“Putra terdengar jengkel sekali saat mengabari saya kalau
kamu pergi ke berbagai tempat hari ini.”

“Maaf, ya, Pak,” ucap Nyala merasa tak enak. “Abis makan
siang tadi, saya diajak jalan lagi sama Mbak Danti. Saya
membelikan tas buat Mayang, terus, ya, saya bertemu
dengan saudara-saudara saya.”

“Nggak masalah,” telapak tangan Harun berada di pipi


Nyala. “Putra menghadapi banyak tekanan dalam pekerjaan.
Makanya, dia terlihat agak stress akhir-akhir ini.”

“Bapak juga?”

Kening Harun berkerut. “Saya?” ketika sang istri


mengangguk, Harun pura-pura mendengkus sambil
menundukkan kepala demi menggapai bibir wanita itu.
“Saya tidak stress,” ungkapnya sesaat setelah melepaskan
satu kecupan untuk Nyala. “Saya baik-baik saja.”

Nyala tersenyum sambil mengulurkan kedua tangannya pada


lelaki itu. Ia ingin berdiri berhadapan. Ia ingin memeluk
Harun Dierja yang membuatnya jatuh cinta.

Dan Harun mengabulkan keinginan istrinya itu.

Ia menundukkan tubuh supaya Nyala dapat mengalungkan


kedua lengan di lehernya. Sementara Harun memeluk
pinggang wanita itu. Perut bunci Nyala tak dapat
membuatnya memeluk dengan erat. Tapi tak masalah, ia mulai
menyukai ketika ujung perut itu bersentuhan dengantubuhnya.

“Saya belum mandi, Pak,” Nyala mengusap tengkuk sang suami


hingga ke bagian belakang rambutnya.

“Saya juga,” balas Harun yang memilih mengusap punggung


istrinya dengan tatapan yang tak lekang. “Saya belum mandi,”
ia berbisik sesaat. Lalu, menyapu wajah Nyala dengan kecupan
bertubi-tubi. Gelak tawa dari wanita itu buatnya tersenyum.
Ketika menjauhkan wajah, ia merangkum wajah Nyala dan
menciumnya kembali tepat di bibir. “Mandi bersama?”
tawarnya dengan ekspresi lembut.

Nyala mengangguk. “Mau,” jawabnya dengan senyum semakin


lebar.

“Ayo,” ajak Harun sembari melepaskan cardigan dari tubuh


istrinya. “Sepertinya, kamu perlu dimandikan,” celetuk
Harun yang mendapat hadiah tawa renyah dari istrinya.

“Bapak benar. Saya perlu dimandikan.”

***

TIGA PULUH DELAPAN

Harun memang suka bekerja.


Ia gemar menjadi produktif.

Tetapi politik, ternyata membuatnya lelah. Kesibukkannya


sungguh tak terjeda. Menjelang Pemilu, kepalanya terus
menggodok solusi yang harus dicapai demi memenangkan diri
saat pencalonan. Namun, takdir Tuhan mengalahkan ambisi
yang diam-diam sempat terpupuk dalam diri.

Pasangannya untuk melaju menuju pemilihan umum,


dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Rencana-rencana yang
tersusun rapi, mendadak terhenti. Harun dihadapkan oleh
dilemma. Tetapi, hal itu tidak mengurangi kesibukkannya.
Justru, kesibukkan itu terus mengejarnya. Dari satu
pertemuan ke pertemuan lainnya. Dari satu perjanjian ke
perjanjian lainnya. Ritme hidupnya semakin tak terkendali.
Permasalahan yang ia hadapi pun semakin sulit diurai.

Lelah berlari, Harun memilih mengistirahatkan diri.

Tidak perlu ke mana-mana, ia memiliki rumah dengan


seorang istri di dalamnya.

Dan ke sanalah, Harun ingin pergi.Ia adalah seorang suami.

Sementara istrinya, merupakan jelmaan dewi.

Nyala Sabitah tetap indah di delapan bulan usia


kehamilannya.
Nyala Sabitah tetap luar biasa bahkan saat handuk yang melilit
tubuhnya terbuka.

Aroma sabun yang sama, menguar dari tubuh istrinya.


Harun tak kuasa terus mendekap. Ia ingin merangkak
menudungi wanita itu agar membuatnya tersembunyi dari
dunia. Karena Nyala Sabitah adalah miliknya. Tak ada yang
boleh terpesona. Apalagi ketika Harun membaringkannya di
atas ranjang dengan penerangan penuh dari lampu kamar
yang benderang. Kulit seindah pualam tampak berkilau kala
ia melepaskan satu cumbuan di ceruk leher seorang Nyala
Sabitah. Perut bundar itu bukan penghalang. Dada
membuncah wanita itu tak jadi persoalan. Karena kini,
Harun siap tuk mengecupi kulitnya inci per inci. Merasai
istrinya hingga wanita itu mendesah di bawah kuasanya.

Tuhan … Harun menginginkan wanita ini terus berada di


hidupnya.

“Pak,” Nyala memejamkan mata kala sapuan lidah Harun


Dierja berlabuh di puncak dadanya. Kedua kakinya yang
menekuk membuat pria itu semakin memayunginya tepat di
tengah-tengah. Sesekali, bukti gairah mereka bertemu. Buat
Nyala kontan menggigit bibir saat milik Harun Dierja
bergesekkan dengan miliknya. Entah itu sengaja atau tidak,
yang jelas efeknya sungguh luar biasa. “Uhm,” tangannya
menggenggam rambut pria itu untuk meningkahi kuluman
yang terasa menyiksa. Ia menariknya hanya karena tak kuasa
menahan gairah yang mengamuk dalam dirinya. “Pak!” lalu
kemudian memekik ketika putingnya ditarik paksa.

Harun Dierja selalu bisa membuatnya terlena.

Hanya Harun Dierja yang membuatnya merasa tak berdaya.

Dan demi Tuhan, Nyala menyukainya.

Tubuhnya yang semakin sensitive, menginginkan agar pria itu


tak jauh-jauh darinya.

Harun mengangkat kepala hanya tuk melihat rona merah di


sekujur tubuh istrinya. Wajah sayu Nyala dalah keindahan
yang tak boleh dilihat orang-orang. Tangannya masih berada
di atas payudara yang tak lagi muat dalam genggamannya. Ia
meremas dengan ritme tidak teratur. Ia mengusap putting
menegang tersebut dengan ibu jari, sementara matanya
termanjakan oleh ekspresi Nyala yang sungguh menggoda.

Astaga … Nyala Sabitah …

“Pak?” cicit Nyala memanggil suaminya. Bibir bawahnya


tergigit karena di bawah sana pinggul pria itu berayun
membuat milik mereka bertemu dengan sengaja.

“Hm?” Harun bergumam lirih. Ia sengaja menggerakkan


pinggul hanya tuk menggoda pusat senggama istrinya yang
telah basah. “Nyaman nggak?” sebelah tangannya
meninggalkan payudara membuncah itu. Kini, ia elus perut
besar Nyala sembari memberi kenyamanan pada istrinya.

“Nggak nyaman kalau Bapak lihatin terus,” bibir bengkak Nyala


mencebik. Namun tawa Harun Dierja yang merdu di telinga,
buat senyumnya hadir menyapa. Mereka tidak lagi merasa
kaku. Kebutuhan tubuh membuat mereka mulai terbuka satu
per satu.

“Saya suka melihat kamu,” aku Harun dengan jujur. Bercinta


dengan Nyala tidak sekadar seks biasa. Mungkin, dulu
begitu. Tetapi sekarang, mereka dapat saling bercerita.
Saling memandang dengan damba yang menggantung di
masing-masing netra. Sebuah indikasi bahwa mereka saling
menginginkannya. “Saya suka melihat kamu ada di sini.”

“Di rumah Bapak?”

Kepala Harun menggeleng. Punggungnya yang tadi tegak,


kini kembali menunduk untuk menyambar bibir Nyala yang
tak bosan ia sapa. “Rumah kita,” ia mengoreksi sesaat.
Sebelum kemudian, memenjara lidah Nyala dengan lidahnya.
Tangannya kembali bergerak menggerayangi tubuh istrinya.
Membelai payudara, membuai perut Nyala, lalumenyelinap
di balik pusat senggamanya. Buat Nyala memekik tertahan,
namun kemudian tertelan karena kini lumatannya semakin
dalam.
Satu kali terasa tak cukup untuknya.Dua lali tak juga puas

menyapa.

Dan kali ketiga, ia seolah ingin memakan Nyala.Astaga …

Nyala Sabitah berbahaya.

Dan Demi Tuhan, wanita itu hanya untuknya.

Nyala menepuk pundaknya, ketika wanita itu merasa sudah


tak mampu bernapas.

Dan Harun pun memisahkan bibir mereka dengan benang


saliva yang menghubungkan keduanya.

Bibirnya kembali bergerilya.

Lewat rahang mungil Nyala, melalui leher jenjangnya yang


putih. Ia beri beberapa tanda, namun hal itu berada tepat di
sekitaran dada. Lidahnya kembali menyapa putting Nyala yang
mengeras seolah menantangnya. Giginya bermain dalam
lingkaran aerolanya. Sebelum kemudian, jelajahan bibir dan
juga lidah itu merayu ke bawah. Mengecup perut buncit Nyala.
Membuat lintasan basah menuju pusatterdalam wanita itu.
Ketika tiba di sana, Harun sengaja meniup-niup bagian basah
itu hingga membuat istrinya menggelinjang. Tak segera
mengulurkan telunjuk, Harun
justru menyentuhnya dengan ujung lidah. Mencicipi Nyala.

“Pak!”

Ah, Harun suka desah itu. Jadi, ia mengulanginya lagi.

Hingga tangan sang istri begitu erat mencengkram seprai


di sisi tubuhnya yang berbaring. Sementara Harun terus
mencicipi Nyala dengan lidah yang mulai mencecap penuh
kesabaran.

Ya, Harun tak ingin tergesa-gesa.

Ia ingin menikmati Nyala, sebagaimana wanita itu merespon


sentuhannya.

Telunjuknya mulai ikut menyapa.

Dan respon sang istri adalah gerak tak terkendali.

“Pak, please ….”

Harun mendengar, namun ia tak beranjak.

Justru, ia menambah jemari. Bercampur dengan lidah dan


telunjuk yang sudah terlebih dahulu di sana. Harun menyukai
bagaimana Nyala bersiap untuknya. Hingga kemudian,
orgasme wanita itu membanjirinya. Buat Harun menyadari,
bahwa ia pun tak mampu menunggu lebih lama lagi.
Jadi, setelah mengusapkan jemarinya yang basah di atas
perut buncit sang istri, Harun merangkak kembali tuk
mencumbu Nyala Sabitah. Tangannya pelan-pelan
menyelinap ke bawah. Mengarahkan miliknya tuk bergabung
dengan milik Nyala yang sudah dibanjiri cairan cinta. Ia
mendorong pelan-pelan. Sengaja memisahkan bibir mereka,
hanya untuk mendengar erangan Nyala.

Astaga ….

Harun akan gila bila tak segera menyatukan tubuh mereka.

Luar biasa, saat geraman keduanya menginvasi ruang-ruang


hampa.

Mereka sama-sama saling menarik napas.

Lantas, istrinya mulai mendesah saat Harun mengayun


perlahan.

Pelan-pelan.

Begitu penuh perhitungan.

Bahkan, Harun masih sempat melabuhkan senyum penuh


kesyukuran pada sang istri. Sebelum beberapa saat
kemudian, ia pun memacu cepat.

Tidak.
Ia tak bisa menahan lagi.
“Nyala,” ia mengeram tertahan kala merasakan bahwa Nyala
ikut bergerak walau dengan tempo pelan. Tak kuasa
menahan laju hentakkan, Harun memacu diri dengan
pinggul terayun kuat.

Mereka saling merindukan.

Tubuh mereka saling menginginkan.

Nyala pun tak pernah lagi sungkan untuk meminta di mana


wanita itu ingin sentuhan.

Seperti saat ini, ketika kehamilan membuat posisi mereka


kian terbatas, Nyala mengalungkan kaki kirinya di pinggul
sang suami. Membuat mereka kian lekat. Membuat
hujamanitu semakin dalam dan erat.

“Mau di atas?” Harun berbisik pelan. Ia tak mengurangi tempo


hujaman. Ia hanya sedang berusaha membangun komukasiagar
istrinya nyaman. “Kalau capek, saya nantiyang gerak.”

Nyala mengerti maksud pria itu, jadi ia pun mengangguk. Pria

itu membantunya bangkit.

Walau dengan kaki yang sedikit bergetar, Nyala dapat dudukdi


atas milik suaminya.

Memasukkan kembali pelan-pelan, sementara kedua


tangannya bertumbuh di atas dada pria itu.

“Pelan-pelan saja,” Harun mengusap punggung istrinya yang


lembab. Tangannya kemudian beralih meremas bokong Nyala
yang juga semakin bulat. “Ugh,” ia melenguh tertahan saat
istrinya mulai bergerak. Tangan Nyala yang berada di atas
dadanya, kini ia genggam. Mencoba membantu istrinya, Harun
pun mendorong miliknya berlawanan arah.

Mereka mulai menikmati ritme permainan.

Mereka mulai tak sabar menuju puncak kenikmatan.

Diiringi desah yang mengalun bak kerinduan, Harun


menemukan dirinya tak lagi mampu berpaling dari
keindahan yang ditawarkan oleh seorang Nyala Sabitah.

Seumur hidup itu terlalu lama.

Dan rasanya, Harun tak pernah mau berpisah.Demi Tuhan,

ia ingin Nyala Sabitah di hidupnya.

***

Subuh menyambut.

Harun mematikan alarmnya di waktu-waktu ranum untuk


melaksanakan ibadah. Sang istri berada di sebelah. Dengan
selembar gaun tidur terbaru tanpa motif dengan bahan satin
bertali satu di masing-masing bahunya. Di bulan ke delapan
kehamilannya ini, Nyala selalu terbangun untuk buang air
kecil di tiap jam. Buat tidur wanita tersebut jadi tidak
berkualitas. Pinggangnya masih terus pegal, dan Harun
hanya bisa mengusap-usap sambil memberikan pijatan
lembut demi mengurangi rasa tak nyaman sang istri.

“Pak?” Nyala merasakan ketika pria itu bangkit dari ranjang.


Walau lelah menguasai diri, ia mencoba membuka mata
yang berat. Ruangan yang remang membuat Nyala butuh
waktu menajamkan siluet yang tertangkap netra. “Mau ke
mana?” ia ulurkan tangan demi menggapai pria yang sudah
duduk diatas ranjang itu.

“Ayo, subuh dulu,” Harun kembali berguling ke arah istrinya. Ia


mengusap-usap perut Nyala yang berlapis satin lembut di
bawah sapuannya. “Nanti, setelah itu tidur lagi,” ia
menghadiahi pelipis wanita itu dengan kecupan lembut.
“Nyala?”

“Sebentar, Pak,” Nyala mencoba menggeliat. Ia peluk Harun


Dierja yang berbaring di sampingnya dengan posisi miring.
Memindahkan tangan pria itu dari atas ke perut ke bagian
pinggangnya, Nyala tersenyum ketika Harun Dierja mulai
mengusap-usap bagian tersebut.

“Harusnya, kemarin kamu ikut kelas prenatal,” gumam Harun


merasa bersalah. “Tapi, karena keadaan, kamu tidak
bisa mengikutinya,” ungkapnya penuh sesal. “Mungkin, kalau
kamu mengikutinya, kamu akan merasa lebih nyaman.”

“Nyamannya saya cuma dipelukan Bapak,” ujar Nyala terus


terang.

Tsk,” Harun mengulum senyum. Ia tundukkan wajah hanya


tuk menggigit bahu Nyala yang terbuka. Ia tidak pernah
membayangkan bahwa akan tiba masa di mana dirinya
memiliki teman cerita di pagi seranum ini. Rutinitas yang
dulu ia lakukan selalu penuh kesunyian. Kini dapat
membuatnya memulai senyuman. “Ayo, kita perlu mandi,” ia
menepuk bokong Nyala pelan.

“Bapak kapan libur?”

“Saya tidak memiliki haari libur khusus. Kenapa?” “Saya pengin

ngerasain bangun siang sama Bapak.” “Saya akan usahakan,”

Harun menjanjikan.

“Tapi kalau bisa, sebelum saya lahiran, ya, Pak? Karena


sepertinya, keinginan itu bagian dari fase ngidam terakhir saya,
Pak.”

Harun mendengkus geli, tetapi ia mengiakan.

Mereka beranjak dari ranjang dan kembali melaksanakan


mandi bersama.

Tetapi kali ini, benar-benar mandi untuk kembali menyucikan


diri.

Mereka harus bersiap sebelum fajar menyingsing.

Harun menjadi imam salat dan Nyala duduk di belakang.

Ia tak kuat berdiri di kehamilan yang semakin besar ini. Ia


selalu kesulitan bangkit usai melaksanakan sujud.
Kemudian, Harun mengajarinya salat dengan posisi duduk.
Harun Dierja adalah sebuah kesempurnaan yang hadir di hidup
Nyala yang semula berantakan. Walau hidup Nyala tak serta
merta jadi indah, namun Harun Dierja membuat Nyala
merasakan limpahan perasaan berbeda.

Pria itu menganggapnya ada.

Di tengah banyaknya manusia yang hanya memandangnya


sebelah mata.

Dan ketika seluruh rangkaian ibadah selesai, Nyala


menyalaminya. Mengecup punggung tangan suaminya,
kemudian bagian paling sakral baginya adalah ketika Harun
Dierja mencium keningnya.

Tuhan tahu, ia tidak menginginkan laki-laki lain untuk menjadi


suaminya selain Harun Dierja Aminoto.
“Tunggu di sini, saya punya sesuatu untuk kamu,” Harun
beranjak dari atas tempatnya bersimpuh. Masih mengenakan
sarung dan peci di kepala, pria itu melintasi kamar dan
menuju walk in closet. Tak lama berselang, amplop cokelat
yang kemarin diserahkan Putra padanya, kembali ia bawa. Ia
pun kembali bersila di depan Nyala yang baru saja membuka
mukenanya. “Untuk kamu,” ia menyerahkan amplop
tersebut dengan pandangan tulus. “Hadiah dari saya untuk
bayi kita,” ia mengusap perut Nyala sambil melemparkan
senyum.

Nyala menerimanya tanpa firasat apa-apa. Membuka amplop


besar tersebut sambil sesekali membagi perhatian pada
ekspresi Harun Dierja yang begitu lembut menatapnya. Saat
mengintip isinya, jantung Nyala mulai berdebar. Otaknya
yang tadi tenang tanpa firasat, kini mulai berpikir macam-
macam. “Ini …,” ia menelan ludah karena takut pada apa
yang hendak ia katakan. Tetapi anggukkan kepala Harun
Dierja, buat matanya berkaca-kaca.

“Iya,” Harun membelai wajah Nyala. “Saya tidak bisa


melepaskan kamu,” ungkapnya sembari mengusap setitik air
mata wanita itu yang jatuh di pipi. “Saya juga ingin ikut andil
dalam membesarkan anak kita. Dan tentunya, dengan
keberadaan kamu di dalamnya.”
Tangan Nyala merogoh amplop tersebut dan mengeluarkan
isinya dengan air mata yang mengalir deras. Bibirnya
bergetar ingin bicara. Namun haru yang menyebar di
dadanya, membuat Nyala tak dapat berkata-kata. “Demi
Tuhan, Pak,” bisiknya susah payah. “Ini nyata?” ia membawa
kedua benda di dalam sana dengan kedua telapak tangan
yang basah. “Ini ….”

Dua buah buku nikah.

Dengan warna cokelat dan hijau tua.

Namun yang membuatnya istimewa adalah lambang garuda


yang terdapat disampulnya.

“Ini milik kita,” Harun meraih satu yang berwarna cokelat.


“Milik saya dan juga kamu.”

Ya, Tuhan …

Nyala tak mampu berkata-kata.

Karena detik selanjutnya, ia memilih menguburkan diri


dalam pelukan hangat suaminya.

Ya, Harun Dierja adalah suaminya.Pria ini adalah miliknya.

Baik secara agama maupun Negara.

“Saya tidak akan pernah menceraikan kamu,” bisik


Harun
sambil memeluk istrinya. “Tidak akan ada yang memisahkan
kita. Bahkan, setelah anak kita lahir, kamu akan tetap menjadi
istri saya.”

Harun telah melegalkan pernikahannya. Melalui isbat nikah di


pengadilan agama, pernikahan sirinya dengan Nyala akhirnya
telah diakui oleh Negara. Putra mengurus semuanya dengan
baik. Termasuk dengan menghadirkan saksi-saksi ketika
pernikahan siri antara dirinya dan Nyala terjadi.

“Kamu tahu, kenapa kemarin Putra memarahi kamu?”


Harun menahan tawa ketika menanyakan hal itu. Teringat
pada wajah masam dan ucapan ketus sang aspri ketika
mengabarkan bahwa Nyala sedang bertemu saudara-
saudaranya. Sementara di saat yang sama, Putra sedang
dalam perjalanan untuk mengambil buku nikah mereka.

“Saya nggak tahu, Pak,” Nyala menggeleng di atas dada


suaminya. Air matanya belum surut saat ia mendongakkan
wajah hanya untuk mencium garis rahang pria itu. “Mbak Siska
bilang, dia istri pertama Bapak. Sementara saya istri kedua
Bapak.”

Harun tertawa, ekspresi wajahnya tampak ceria. “Karena, ya,


ini,” Harun mengangkat buku nikahnya sekali lagi. “Dia sedang
repot mengejar buku ini. Karena saya memerintahkannya
untuk segera mendesak KUA setempat
mengeluarkannya untuk kita. Supaya saya bisa segera
memberikannya pada kamu.”

“Bapak sudah yakin mau memperistri saya selamanya?”

Harun mengangguk. “Selamanya itu sangat lama ‘kan? Dan


sepertinya, saya tidak kuat kalau orang itu bukan kamu.”

“Apa artinya Bapak sudah jatuh cinta pada saya?”

Harun meringis kecil, sebelum kemudian mengangguk. “Saya


jatuh cinta, Nyala,” dikecupnya bibir Nyala dengan helaan
napas panjang yang mengiringi. “Saya jatuh cinta pada kamu.”

Fajar menyingsing perlahan.

Sinarnya menembus ventilasi dan mulai menerangi ruang.

Sementara di sana, ada sepasang manusia dengan cinta


yangterkembang.

***

TIGA PULUH SEMBILAN

Sesuai yang dijanjikan, Harun memenuhi undangan makan


siang bersama Effendy Ghazali. Seperti yang ia lakukan ketika
menggelar pertemuan dengan Ganesha Sri Narendra secara
tertutup, kali ini mereka pun melakukan hal yangsama.
Menyambangi rumah pribadi Effendy Ghazali, Harun
diarahkan menuju pendopo yang terletak di halaman
belakang rumah sang kandidat Presiden. Ia disuguhi oleh
masakan rumahan yang dimasak langsung oleh istri Effendy
Ghazali. Mencoba menikmati nuansa makan siang, mereka
sama sekali tak menyinggung persoalan yang hendak
dibahas.

Barulah, ketika kopi disuguhkan selepas makan siang,


Effendy dan juga Harun menatap kolam ikan sambil
berbincang mengenai masa depan.

“Sudah diputuskan?”

Harun tahu maksud pria itu. Jadi, tanpa menoleh lagi, ia


mengangguk sebagai jawaban. “Saya akan mundur,” ucap
Harun terus-terang.

“Belajar lagi untuk lima tahun ke depan, ya?” Effendy Ghazali


mengenakan kacamata. Rambutnya sudah memutih dimakan
usia. Namun, bila dibandingkan dengan Kusno Aji, ia lebih
muda. “Sudah tahu jabatan apa yang kamu inginkan?”

Harun tertawa sambil menyerut kopinya. “Apa Presidennya


sudah bisa diputuskan?” sindirnya merasa geli. “Pendaftaran
saja belum dilakukan. Jangan-jangan Pak Effendy dari masa
depan, ya?” bukan ledekkan, justru sebuah decakan.
Well, siapa pun Presidennya nanti, kamu akan tetap
dipanggil untuk menduduki salah satu jabatan dalam
pemerintahan, Run,” Effendy mengedikkan bahu. “Di kubu
sebelah, Presiden memiliki besan. Jelas, ia akan diminta
pendapat untuk menyusun kabinet bila kubu sebelah yang
menang,” terang Effendy santai. “Dan bila pihak saya yang
memenangkan Pemilu, sudah pasti kamu juga akan saya
panggil ke istana untuk mengambil peran dalam kabinet
yang nanti akan saya pimpin. Jadi, katakan saja, kamu ingin
posisi apa? Saya bisa meneruskannya pada Presiden.”

Benar.

Effendi Ghazali memang benar.

Presiden tidak akan terjungkal bila salah satu dari kandidat


ini yang akan memimpin negeri. Sebab, kedua kubu memiliki
hubungan diplomatik, maupun hubungan pribadi dengan
sang pemimpin negeri ini.

“Mungkin, menggantikan Pak Toni Damara,” Harun kembali


meneguk kopinya.

“Kamu mulai tertarik dengan pembangunan infrastruktur?”

“Nggak juga,” jawab Harun jujur. “Ada seseorang yang


menginginkan saya berada di posisi itu,” Harun mencebik
ketika mengatakannya.
“Siapa? Seseorang yang memiliki mega proyek di IKN?” tebak
Effendy langsung. “Hm, Hartala?” ia menyebutkan nama
pengusaha. “Ah, Widjaja,” kini ia temukan benang merahnya.
“Well, Sekjen Nusantara Jaya memangpowerfull.”

Harun mendengkus, bukan karena tersinggung. Ia hanya


merasa lucu ketika tebakan itu benar. “Mungkin dipertemuan
berikutnya, ketika kita membicarakan perihal mahar dan
kesepakatan, saya akan membawa serta Sekjen partai kami. Dia
teramat mahir bernegosiasi.”

“Tidak ada mahar, Run,” pukas Effendy merespon pernyataan


Harun barusan. “Kami hanya minta jaminan suara. Selebihnya,
tidak ada mahar yang harus dibayar.”

Harun sontak menoleh ke arah samping, keningnya


berkerut. “Saya tidak bisa menjanjikan suara para peserta
koalisi. Mungkin, saya bisa mengupayakan suara Nusantara
Jaya. Tetapi untuk partai yang lain, saya tidak bisa
menjaminnya.”

“Kalau begitu, jadilah salah satu jurkam saya.”

Harun menarik napas panjang. Sambil meletakkan cangkir


kopinya, ia mencoba menghitung waktu. “Saya yakin, Sekjen
Nusantara Jaya dapat memberi mahar berapa pun yang Pak
Effendy minta.”
“Kenapa?” Effendy Ghazali menatap lucu seorang Harun Dierja.
“Kamu sedang dielu-elukan. Elektabilitas kamu sedang tinggi-
tingginya,” Effendy Ghazali memaparkan alasan mengapa
Harun Dierja harus menjadi juru kampanyenya. “Mumpung
kamu juga belum menikah.
Jadi—“

“Saya sudah menikah,” tutur Harun memutus rangkaianucapan


dari sang kandidat calon Presiden.

“Hah?” Effendy langsung menyorot Harun tanpa berkedip.


“Sudah menikat atau akan menikah?” ia menekan
pertanyaannya.

“Sudah menikah,” jawab Harun dengan lugas. Meninggalnya


Kusno Aji, membuat rahasia pernikahannya dan Nyala terasa
begitu aman. Sungguh, Harun tak sepicik itu dengan
mengatakan bahwa ia senang dengan berpulangnya si
pemegang rahasianya. Hanya saja, sekarang ini Harun
merasa ia tak perlu lagi merasa terancam. “Saya menolak
tawaran menjadi juru kampanye bukan tanpa alasan. Istri
saya akan segera melahirkan. Bayi saya baru berumur
sebulan, dua bulan, ketika masa kampanye digelar. Dan saya
agak berat meninggalkan istri dan anak saya nanti.”

Effendi Ghazali kembali menjadikan Harun Dierja pusatatensi.


Ia menatap pria muda itu lamat-lamat demi
memastikan bahwa yang ia dengar tak sekadar gurauan semata.
“Kamu serius, Run?” tanyanya memastikan.

Dan Harun tak pernah seyakin ini saat mengakui


pernikahannya. “Well, putri bungsu Sekjen partai saya. Jadi,
saya agak segan bila tidak mengabulkan permintaan Sekjen
partai yang menginginkan saya untuk menjabat sebagai
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Semoga, Pak
Effendy bisa membantu, ya?”

Satu kesepakatan telah terjalin.

Satu kesempatan sudah ada di depan mata.

Tinggal melihat saja, bagaimana cara semesta bekerja.

***

“Sama siapa sekarang?” Harun berbicara dengan istrinya


melalui sambungan telpon. Di sela-sela kesibukkannya, ia
hanya ingin mendengar wanita itu berkeluh kesah padanya.
Mengenai sulitnya bergerak menuju toilet ketika panggilan
alam tak dapat ditolak. “Sudah makan yang keberapa kali siang
ini?” di ujung pertanyaannya, Harun menyelipkan senyum yang
beruntungnya tidak dapat dilihat sang istri.

“Sama Mbak Siska, Pak. Saya sudah makan untuk yang ketiga
kalinya hari ini, Pak.”
Harun mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja kerja.
Senyumnya kembali merekah saat mendengar Nyala mulai
bercerita. “Nanti malam, kamu jangan menunggu saya. Tidur
saja terlebih dahulu, ya?”

“Bapak nggak pulang?”

“Pulang. Tapi sepertinya malam. Ada agenda makan malam


bersama para kader-kader partai yang berasal dari luar kota.
Saya tidak mungkin menolaknya.”

“Oke, Pak.”

“Ya, sudah, saya tutup, ya?”

“Euhm, Pak?”

“Ya?”

Euhm, Bapak tahu nggak, kalau sekarang Mbak Siska sama


Mas Denny manggil saya Ibu?”

“Tahu,” sahut Harun cepat. “Saya yang menyuruh.”

“Kenapa begitu, Pak?”

“Karena saya yang mau,” balas Harun santai.

“Pak, please, serius dong?”

“Lho, saya serius kok,” Harun mendengar ketukan pintu.


Lalu tak lama kemudian, handlenya pun terbuka. Putra
Fernandi berdiri di sana sambil meminta izin masuk ke
dalam. Dan Harun menjawabnya lewat anggukkan kepala.
“Nanti, kalau kamu ketemu Putra atau Rafael, kamu juga
akan dipanggil Ibu sama mereka,” tutur Harun melanjutnya.

“Tapi kenapa, Pak?”

“Ya, karena saya yang suruh.”

“Kenapa Bapak suruh mereka mengubah panggilannya


ke
saya?”

“Ya, karena saya memang mau,” Harun menyeringai saat


istrinya terdengar mengerang dengan kesal. “Ya, sudah,
istirahat saja, ya? Saya masih ada meeting setelah ini.”

Harun masih menempelkan ponsel di telinga ketika mendengar


sahutan istrinya.

Lalu, ketika sambungan terputus, Harun pun mulai


mengarahkan atensi penuh pada asistennya.

“Bagaimana? Semua sudah datang?” tanyanya memastikan.

Putra mengangguk. “Pak Sanusi juga sudah berada di


ruangannya, Pak. Beliau datang dengan Farid Wijaya.”

Sebelum mengumumkan pembubaran koalisi pada publik.


Tiap-tiap ketua umum partai, wajib memberitahukan hal
tersebut pada seluruh kader-kader partainya terlebih dahulu.
Entah itu melalui sebuah private meeting atau lewat
teleconference di masing-masing kader pimpinan wilayah atau
bahkan daerah. Yang terpenting adalah, segala keputusan dari
pusat harus didistribusikan terlebih dahulu pada para kader
wilayah maupun daerah, barulah kemudian diperkenankan
menjadi konsumsi publik.

Berjuluk sebagai partai kaya, karena mematok harga mahal


untuk tiap iuran anggotanya. Nusantara Jaya, memilih
menerbangkan tiap-tiap pimpinan daerah menuju gedung
utama Nusantara Jayadi Jakarta. Semua akomodasi di
tanggung DPP. Mereka juga difasilitasi hotel untuk
menginap, karena ada agenda makan malam bersama di
pukul tujuh malam nanti.

Jadi, nanti pimpinan-pimpinan inilah yang akan meneruskan


hasil rapat pada tiap-tiap kader di seluruh nusantara. Hal itu
diharapkan dapat meminimalisir penyampaian yang salah
kaprah dan mudah dipahami agar tidak menimpulkan
kesalahpahaman. Berharap, para kader Nusantara Jaya tetap
solid, meski ketua umum mereka tidak lagi mengemban cita-
cita partai sebagai salah satu kandidat Cawapres yang
diperhitungkan di bursa pemilihan umum.

Bertempat di lantai enam, rapat internal Nusantara Jaya


dihadiri oleh 400 kader dari seluruh penjuru negeri.
Persiapan sudah dilakukan sejak dua hari sebelumnya. Dan
para pimpinan daerah yang diundang, telah menempati
kursi-kursi mereka. Tinggal menunggu para elite DPP, dan
rapat pun akan segera dimulai.

“Bagaimana dengan media?” tanya Harun sembari menarik


ponsel untuk dimasukkan ke dalam saku celana. “Mereka
masih berjaga di luar?”

Di luar gedung DPP, banyak media yang berusaha meliput


jalannya rapat internal ini. Tetapi, seluruh kader sudah
sepakat tidak akan ada yang boleh memberitahu apa pun
yang terjadi selama rapat nanti.

Nusantara Jaya sedang menjadi sorotan.

Pertemuan Effendy Ghazali dan Harun Dierja tiga hari yang


lalu, menimbulkan banyak spekulasi. Ada yang menyebutkan
bahwa Effendy Ghazali siap mengganti pasangan
Cawapresnya. Dan ada juga isu yang berembus bahwa
Nusantara Jaya akan merapat pada koalisi Effendy Ghazali
dan Zuhri Iskandar.

Belum ada titik terang seperti yang diinginkan oleh media.


Karena setiap kader koalisi diminta bungkam sampaikeputusan
resmi diberikan. Mereka akan mengumumkan putusan rapat
koalisi satu hari sebelum pendaftaran KPU dibuka. Dan itu
artinya, hanya tersisa dua hari lalu untuk membentuk
kesepakatan yang solid.
“Keylan tidak melakukan hal gila ‘kan?” Harun bertanya
kembali. Ia belum bertemu dengan Keylan setelah pertemuan
mereka di kediamannya beberapa hari yang lalu. Ia sibuk
membuat kesepakatan dengan banyak pihak. Dan Sekjen
partainyalah, yang membereskan kekacauan. “Dia juga tidak
ada menghubungi saya.”

Hari ini tengah digelar rapat internat juga yang serupa,


untuk partai Barisan Indonesia Baru. Bedanya, mereka
melakukannya di hotel. Sebab, halaman DPP Barisan
Indonesia Baru, masih dipadati oleh karangan bunga yang tak
henti-hentinya berdatangan untuk mengutarakan
belasungkawa atas kepergian ketua umum mereka.

“Pak Sanusi mengancamnya saat beliau mengambil kembali


dana taktis pemilu,” Putra memberitahu.

Kejadian itu berlangsung sekitar dua hari yang lalu. Saat


Sanusi Wijaya dengan kuasa hukumnya, berkunjung ke DPP
Barisan Indonesia Baru untuk membicarakan dana taktis
sebesar satu koma lima triliyun yang sudah diberikannya
kepada Kusno Aji sebagai dana kampanye. Namun, saat
Kusno Aji meninggal dunia, dana itu pun menjadi bebas
tanpa tuan.

Makanya, Sanusi berinisiatif mengambilnya kembali setelah


melakukan diskusi dengan beberapa pihak terkait. Termasuk
dengan wakil ketua umum Barisan Indonesia Baru.
Dan uang tunai sebanyak satu koma satu triliyun akan
dikembalikan.

Tiga ratus milyar yang sudah terpakai menurut rincian


keuangan partai Barisan Indonesia Baru, tidak akan Sanusi
minta ganti rugi. Sementara itu, ia juga memberikan seratus
milyar pada partai itu untuk tambahan kas mereka.

“Ancaman apa yang bisa membuat Keylan bungkam?”

“Mengenaik kematian ajudan Pak Kusno, Pak,” Putra mencari


sesuatu di ipadnya. Kemudian, setelah ia menemukannya, ia
pun menunjukkan pada sang atasan. “Pak Sanusi berhasil
melacak alamat keluarga ajudan yang meninggal itu, di Blitar.
Lalu, mengirimkan kuasa hukum Widjaja Group ke sana
dengan dalih memberi santunan belasungkawa. Padahal, Pak
Sanusi hanya membutuhkan sebuah foto yang kemudian
dikirim ke kantor Pak Keylan.”

Hm,” Harun mengangguk puas begitu melihat foto tersebut.


“Sanusi itu benar-benar licik,” decaknya tak habis pikir.

Pikiran-pikiran licik Sanusi Wijaya benar-benar tak mampu


terjangkau olehnya.

Pria itu juga tidak pernah sayang dalam mengeluarkan uang.

“Lalu, bagaimana dengan Kaffa?” tanyanya lebih lanjut.


“Berdasarkan informasi yang saya terima dari sekretaris
pribadi Pak Sanusi, ancaman pembungkaman Pak Keylan
sudah termaksud dengan fakta mengenai keterlibatan Pak Kaffa
di dalamnya. Beliau menunjukkan rekaman cctv yang diterima
dari Pak Gideon. Senjata api yang digunakan Pak Kaffa juga
illegal. Pak Kaffa sama sekali tidak memiliki izin atas
kepemilikan senja api itu.”

“Karma itu berjalan adil, ya, Put?” gumam Harun mendadak


tampak sedih. “Waktu itu, Pak Kusno menjadikan Nyala sebagai
umpan untuk menangkap saya sekaligus Pak Sanusi. Dan
sekarang keadaannya berbalik, Put. Kita dapat menjadikan
kematian Pak Kusno sebagai alat untuk membungkam
kearoganan Keylan juga Kaffa,” dengkusnya miris. “Tapi, ya,
sudahlah. Itu urusan mereka.

“Benar, Pak,” Putra langsung menyetujuinya. “Sudah hampir


jam dua, Pak. Kita harus segera tiba untuk di sana,” ia
mengingatkan.

Harun pun bangkit dari kursinya. Ia menatap arloji demi


memastikan waktu yang tertera di pergelangan tangannya.
Memutari meja kerjanya, ia pun berdiri tepat di sebelah
asistennya. “Well, sekarang saya tahu kenapa Papa sangat
menyukai Pak Sanusi,” Harun manggut-manggut. “Ternyata,
beliau memang begitu sigap membereskan masalah.”
“Dan beliau juga tidak perhitungan dalam mengeluarkan
uang, Pak,” sambung Putra. “Berapa pun biayanya, bila hal
itu dapat bekerja, beliau pasti membayarnya.”

Benar.

Contohnya saja sekarang.

Harun tidak perlu bersusah-susah mencari informasi demi


menuntaskan masalahnya. Sudah ada Sanusi Wijaya dengan
uang dan juga kuasa yang dapat mempermudah hidup Harun
Dierja. Ia hanya tinggal mengumumkan saja. Urusan bayar
membayar, atau mempengaruhi orang-orang, biarkan hal itu
menjadi tanggung jawab dari ayah kandung istrinya.

Bagus.

Harun mulai menyukai kerjasama mereka.

“Kita perlu Sanusi selamanya di DPP ‘kan, Put?” Harun tertawa.

“Saran saya, Pak. Buat perjanjian baru, yang mengikat Pak


Sanusi sampai periode selanjutkan. Karena dari yang saya
dengar, beliau akan memutuskan pensiun setelah Presiden
yang baru dilantik nanti. Beliau hanya membutuhkan
kejelasan mengenai pengerjaan proyek-proyeknya di IKN.
Setelah itu, beliau akan menyerahkan semua tanggung jawab
IKN pada Pak Farid dan juga Pak Girsa. Sementara untuk
kepentingan politik, beliau akan mengandalkan Pak Hadi
yang bekerja di lembaga pemerintahan.”

“Masalahnya, tidak ada yang bisa membuat beliau berubah


pikiran, Put,” Harun menghela napas panjang. “Sanusi
memiliki segalanya. Dan tak satu orang pun yang ia takuti.
Dia selalu membereskan apa pun yang menghalangi jalan. Apa
yang harus saya gunakan untuk mengikatnya di Nusantara
Jaya?”

“Ibu Nyala, Pak,” tutur Putra tanpa ragu.

Ibu Nyala.

Benar.

Sekarang, para bawahannya yang mengetahui bahwa Nyala


adalah istrinya, ia perintahan untuk memanggil wanita itu
dengan sebutan yang jauh lebih sopan dari sebelumnya.

Ibu Nyala Sabitah.Bapak Harun Dierja.

“Ada apa dengan melibatkan istri saya?”

“Ibu Nyala bisa kita minta untuk mempengaruhi keputusan


Pak Saanusi, Pak.”

“Ck, tidak mungkin bisa, Put. Sanusi itu keras kepala.”

Padahal, Harun pun sama.


“Walau bagaimana pun juga, Ibu Nyala adalah anaknya Pak
Sanusi,” Putra mempertahankan pendapatnya.

“Lalu?” Harun merasa tidak ada korelasinya dengan sang


istri. “Hubungan istri saya dengan Sanusi Wijaya itu rumit,
Put,” mereka pun mulai beranjak dari ruangan. Di luar,
sudah ada Rafael dan Faura yang menunggu.

“Tapi bukan sulit, Pak. Istri Bapak pasti bisa meminta beliau
untuk tetap berada di DPP. Mungkin, istri Bapak bisa
membuat alasan dengan membawa-bawa masa lalu.” Karena
mereka tak lagi berdua, Putra harus menggunakan kata ganti
untuk menyebutkan Nyala Sabitah di setiap percakapan
mereka. “Seperti misalnya, istri Bapak meminta ayahnya
agar tetap berada di DPP, supaya beliau dapat mengganti
hari-harinya saat tidak menemani tumbuh kembang istri
Bapak selama ini.”

“Ck, saya tidak mau melibatkan istri saya, Put,” tolak Harun
langsung. “Cari ide lain. Yang jelas, saya benar-benar
membutuhkan beliau sampai periode yang akan datang.”

“Saya akan mengusahakannya, Pak.”

Ya.

Dan Harun mempercayakan segalanya pada Putra Fernandi


yang selalu dapat diandalkan.
“Setelah Pemilu ini berakhir, kalian berdua,” Harun
menunjuk asisten pribadinya dan juga sang ajudan. “Ambil
cuti yang panjang. Tapi setelah itu, berjanjilah untuk kembali
pada saya.”

Putra dan Rafael saling berpandangan.

Sebelum kemudian keduanya mengangguk mengiakan.

“Baik, Pak!”

Bagus.

Sekarang, tak ada lagi yang mengganggu pikiran.

Tugas utama menjadi ketua umum partai adalah berdiri di


depan podium dengan mic menyala sembari berbicara.
Awalnya, Harun tidak menyukai ketika ia harus menjadi
atensi. Tetapi, begitu menerima mandat sebagai orang
nomor satu di partai Nusantara Jaya, Harun sadar tak ada
lagi yang bisa ia lakukan untuk menghindari atensi.

“Ayo, kita selesaikan masalah ini satu per satu.”

Dan Harun pun bersiap memulai pengumuman.

***
Nyala Rahasia ; Season 2 ; Empat
Puluh - Empat Puluh Satu
- Empat Puluh Dua · Karyakarsa

EMPAT PULUH

Tugas utama menjadi ketua umum partai adalah berdiri di


depan podium dengan mic menyala sembari berbicara.
Awalnya, Harun tidak menyukai ketika ia harus menjadi
atensi. Tetapi, begitu menerima mandat sebagai orang
nomor satu di partai Nusantara Jaya, Harun sadar tak ada
lagi yang bisa ia lakukan untuk menghindari atensi.

Setelah menyapa para kadernya, Harun pun memuat ekspresi


serius di wajah. Walau sisipan senyum sesekali ia suguhkan
juga. Tetapi percayalah, ia dapat merasakan ketegangan di
antara para kader-kadernya yang berkumpul saat ini. Matanya
menyapu sekeliling. Ada Hassan Aminoto yang duduk
berdampingan dengan Sanusi dan Farid Wijaya dibarisan
terdepan. Bergabung dengan Dewan Kehormatan Partai dan
beberapa elite lainnya. Desas-desus mengenai apa yang akan ia
sampaikan tentu saja sudah didengar kader.
Keberadaan mereka di sini, hanya untuk memperjelas situasi
yang akan mereka hadapi.
Usai lagu Indonesia Raya menggema di ruangan ini, Harun
pun mengucap salam dan menyapa para kader-kadernya
yang hadir. Tak lupa, Harun menyerukan yel-yel Nusantara
Jaya agar situasi ruangan menjadi lebih hidup. Dan setelah
gemuruh semangat itu berpadu dengan tepuk tangan meriah,
barulah Harun memulai pengumumannya.

“Kalian pasti sudah dapat menebak, kenapa di waktu


sesempit ini, saya malah mengundang kalian semua datang
ke DPP Nusantara Jaya,” Harun memulai inti dari
pengumuman yang akan ia sampaikan. Di tangannya,
terdapat catatan yang dibuat oleh Putra. Isinya, merupakan
poin-poin penting yang harus Harun bicarakan selama rapat
ini. “Seperti yang sudah kita semua ketahui, Pak Kusno Aji,
telah meninggal dunia,” Harun kembali menatap para kader
peserta rapat. “Kita kehilangan kandidat calon Presiden yang
harusnya mendampingi saya sebagai kandidat calon Wakil
Presiden di pemilu yang akan digelar sebentar lagi.”

Rencananya, besok Harun dan para ketua umum partai koalisi


akan menggelar rapat tertutup sekali lagi, demi menyatukan
suara. Barulah setelah itu, mereka akan menggelar rapat resmi,
sehari sebelum pendaftaran KPU resmi dibuka. Rapat tersebut
akan bertajuk “Musyawarah Bersama Koalisi Lanjutkan
Perjuangan”. Agendanya jelas, adalah pembubaran koalisi.
Diadakan di ballroom hotel,
pada kesempatan itu media pun akan diundang. Termasuk
Effendy Ghazali.

“Saya dan para ketua umum partai peserta koalisi telah


sepakat untuk membubarkan koalisi.”

Riuh, mulai terdengar.

Bisik-bisik yang tadi samar, kini berdengung bak lebah


yangmengitari sarangnya.

Tatap-tatap tak setuju mulai terbaca.

Helaan-helaan napas panjang, lirih mengguncang.

Harun tahu, para kadernya kecewa. Baliho-baliho dan


poster-poster yang mereka cetak, menggambarkan betapa
besar dukungan yang mereka berikan untuknya. Tetapi
seperti yang ia katakan waktu itu, mereka tidak bisa
memaksakan situasi.

“Saya tahu, kalian pasti kecewa. Tetapi, koalisi ini tidak bisa
dilanjutkan lagi,” suaranya terdengar tegas. “Kita tidak
mungkin memilih calon Presiden yang sembarangan untuk
koalisi. Apalagi dengan waktu yang sesingkat ini. Visi dan
misi yang sudah dibuat oleh Pak Kusno, tidak dapat
digantikan oleh orang lain. Karena itu, secara tegas saya
Harun Dierja Aminoto, selaku ketua umum partai kita,
menyatakan mundur dari pencalonan.”
Secara tidak sengaja, mata Harun bertemu pandang dengan
mata Sanusi Wijaya. Harun pikir, pria itu akan melengos
untuknya. Tetapi diluar dugaan, pria itu mengangguk seolah
menyatakan bahwa langkah yang ia ambil sudah tepat.
Namun, disebelah Sanusi Wijaya, ada Farid Wijaya yang
menyeringai menatapnya. Entah apa yang ada dipikiran laki-
laki itu. Yang jelas, Harun mengabaikannya.

“Kalian tidak perlu menurunkan baliho atau mencopot poster-


poster yang terlanjur terpasang. Biarkan saja seperti itu. Karena
nanti, saya akan membuat pengumuman resmi yang akan
dimuat di berbagai surat kabar dan media. Jadi, orang- orang
akan tahu dengan sendirinya bahwa saya tidak lagi menjadi
kandidat cawapres.”

“Pak!” seorang kader yang berada di bagian tengah mengangkat


tangan. Setelah mendapat perhatian dari ketua umumnya,
kader tersebut pun berdiri. “Yang kami dengar, koalisi dapat
dilanjutkan dengan Bapak yang akan maju sebagai kandidat
Presiden. Sementara anak dari Pak Kusno yang akan menjadi
wakilnya. Kenapa, saran itu tidak dipertimbangkan, Pak?”

“Sudah,” Harun menjawab sigap. Sebab, ia sudah menebak,


pasti akan ada yang menanyakan hal-hal seperti itu padanya.
“Saya dan Pak Sanusi, serta para ketua umum partai peserta
koalisi, sudah sempat mempertimbangkannya.”
“Lalu, kenapa tidak diteruskan?” pertanyaan lain pun
berdatangan.

“Dipertimbangkan bukan berarti harus dilaksanakan, Pak


Heru,” Harun mengenali kader partainya yang berasal dari
Palembang itu. Ketua Dewan Perwakilan Wilayah, yang
rencananya akan Harun temui di hari meninggalnya Kusno
Aji. “Saya dan Pak Keylan, tidak akan memiliki kesempatan,”
ucap Harun membeberkan fakta. “Satu sisi, kami berdua
sadar diri kalau kami belum mampu untuk mengemban
tanggung jawab besar itu,” walau faktanya Keylan dan segala
ambisinya menginginkan mereka maju menuju Pemilu.
“Pengalaman kami belum banyak. Dan hal itu akan membuat
kita kalah telak,” tuturnya meyakinkan. “Maka, para ketua
umum peserta koalisi pun sepakat untuk mundur dari pesta
demokrasi di tahun ini.”

“Lalu, ke mana suara kita harus berlabuh, Pak?”

“Bagaimana dengan nasib partai kita di Pemilu tahun


ini,
Pak?”

“Masalah anggaran untuk membuat baliho dan reklame-


reklamenya bagaimana, Pak?”

Dan banyak pertanyaan lain, yang dengan sabar Harunjawab


satu per satu.

Sesi rapat yang harusnya hanya dua jam saja, berjalan lebih
lama sampai tiga jam.

Harun semula merasa jengah dalam menghadapi


kecerewetan kader-kadernya.

Namun, pada akhirnya ia pun mengalah.Ia tahu, mereka

semua butuh kepastian.

“Partai kita akan baik-baik saja,” ucapnya menjawab


kekhawatiran kadernya. “Bahkan menurut survey yang
dilakukan sehari setelah Pak Kusno Aji meninggal, elektabilitas
kita semakin meningkat,” namanya yang menjadi pembicaraan
seluruh pengguna sosial media tentulah membuat partainya
juga terkena dampak.
Syukurnya, dampak yang mereka dapatkan merupakan hal
positif. “Jadi, saya harapkan kalian semua jangan khawatir
mengenai masa depan partai kita. Kita akan tetap solid dan
semakin besar dari tahun ke tahun. Saya perlu menambah
pengalaman politik saya. Supaya di masa depan nanti, saya
tetap bisa memberikan yang terbaik untuk kalian dan
Nusantara Jaya.”

Harun tidak akan memberitahu tentang dirinya yang sudah


mendapat tawaran menjadi menteri dan akan dipersiapkan
untuk menjadi kandidat calon Presiden di masa depan.
Bukan karena ia tidak ingin sesumbar. Hanya saja, terkadang
kita tak dapat mempercayai ratusan orang untuk memegang
sebuah rahasia.

Kader-kadernya sekarang bisa saja berkhianat usai Pemiluini.

Mereka dapat dengan mudah mengundurkan diri sebagai


kader partai dan pindah ke partai yang lain.

Karena itu, Harun tak akan mengatakannya.Harun akan

menyimpan kejutan itu di akhir nanti.

“Dan untuk pertanyaan ke mana suara kita akan berlabuh,”


Harun menjeda hanya tuk menarik napas. “Saya dengan
sangat tulus, meminta para kader Nusantara Jaya untuk
berada di pihak Effendy Ghazali dan Zuhri Iskandar.”

***

“Sudah makan malam?”

“Tebak, yang ke berapa?”

Senyum Harun terbit tanpa mampu ditahan. Menatap


sekeliling restoran, ia memutuskan untuk menepi sejenak demi
meneruskan sambungan dengan istrinya. Agak bahaya, bila ada
yang melihatnya tersenyum-senyum ketika sedang menelpon.
“Hm, yang kedua dalam interval waktu jam enam sore sampai
setengah delapan malam,” tebak Harun mengulum bibir.
“Yuupps, bener, Pak,” Nyala tertawa.

Suara tawa wanita itu membuat Harun melengkungkan


senyum makin lebar. Sekarang, ia baru menyadari bila
berbicara lewat telpon bisa semenyenangkan ini. Mungkin,
karena yang menghubunginya adalah sang istri. Wanita yang
ia sukai. “Kamu tahu, sekarang saya menggunakan nada
dering di ponsel saya,” ujar Harun tanpa ragu.

“Supaya Bapak nggak melewatkan panggilan dari saya


‘kan?” kini Nyala yang bergantian menebak.

“Benar,” Harun membenarkan hal tersebut. “Biasanya, ponsel


saya hanya bergetar saja saat ada panggilan. Saya agak malas
menerima telpon. Dan biasanya, saya menyerahkan hal itu pada
Putra.”

“Kalau sekarang, Bapak nggak malas lagi terima telpon?”

“Saya tidak akan menjawabnya.”

“Iih, Bapak!” Nyala berseru gemas. “Pak?”

“Hm?”

“Jadi pulang jam berapa nanti?”

“Belum tahu. Saya akan berdiskusi dulu dengan beberapa kader


partai setelah makan malam ini. Kenapa?”
“Nggak bisa langsung pulang saja setelah makan malam,
Pak?”

“Nggak bisa, Nyala. Saya harus menyelesaikannya malam ini.


Supaya besok, saya bisa mengabulkan permintaan ngidam
terakhir kamu,” Harun kembali tersenyum. Matanya
memancarkan kehangatan walau ia tahu betul, Nyala tak
dapat melihatnya. “Besok, jadwal saya dimulai agak siang.
Jadi, sehabis Subuh, saya bisa menemani kamu bermalas-
malasan di ranjang.”

Makanya, Harun ngotot menyelesaikan diskusinya dengan


beberapa orang kader partai demi perumusan sejumlah
kebijakan yang bermaksud tidak memberatkan seluruh kader
yang berada di tiap-tiap daerah.

“Kamu langsung istirahat, ya? Kamu bisa melihat saya


besok
Subuh.”

Kemudian, sambungan pun mereka putus secara bersamaan.

Harun segera bergerak kembali ke bagian tengah restoran, di


mana ajudannya sudah berada di sana dan tengah
mengawasinya.

“Situasinya aman ‘kan?” ia hanya memastikan bahwa tidakada


hal-hal mencurigakan yang dapat membahayakan makanmalam
bersama para kader-kadernya.
“Aman, Pak,” ucap Rafael yakin.

Harun kemudian menarik kursi untuk ia duduki. Di sana, sudah


ada Sanusi, Farid dan juga ayahnya.

“Pidato yang sangat manis, Bapak mantan calon Wakil


Presiden,” seringai Farid tak dapat ditutupi. Sementara laju
lidahnya tidak lagi bisa ditahan. “Terdengar sangat
menjanjikan, ya? Khas politisi sekali,” ejeknya
mengomentari pidato Harun ketika di DPP tadi.

“Terima kasih pujiannya, CEO Widjaja Group,” balas Harun


tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun di wajah.

“Hm, padahal kamu punya peluang,” kembali Farid berbicara.


“Padahal yang dikabarkan meninggal, itu kamu sebagai suami
putri bungsunya Papa saya. Tetapi kenapa, justru rekan kamu,
ya, yang merealisasikannya?”

“Kamu tidak paham konsep takdir, ya?” balas Harun penuh


cemooh. “Ck, kasihan sekali.”

Mereka akhirnya dapat bertegur sapa di acara makan malam


bersama dengan kader-kader Nusantara Jaya. Rapat tadi selesai
di jam lima sore. Namun sebelum acara selesai, Farid sudah
meninggalkan DPP karena memiliki urusan lain.
Sementara Harun sendiri, belum bisa segera keluar dari
sana. Ia menghampiri banyak kadernya hanya untuk
meyakinkan mereka, bahwa tidak ada yang berubah
mengenai rencana-rencana para kader yang mencalonkan
sebagai anggota legislative periode kali ini.

Makan malam mereka datang tak lama kemudian.

Diawali dengan appetizer, dilanjutkan dengan menu yang


lainnya.

Well, jadi rencana ke depan Harun Dierja adalah tetap


berada di karirnya sebagai politisi, ya?”

Sambil memotong steiknya, Harun menatap Farid Wijaya


lekat. “Ada apa?”

“Tidak ada,” sahut Farid mengedikkan bahunya. “Saya pikir,


kamu sudah kapok. Ternyata, semua politisi sama saja, ya?
Ambisius,” sengitnya sembari melempar pandangan
mencemoh. “Hati-hati, Run. Hadi nggak akan sudi
membebaskan kamu, kalau kamu tersangkut korupsi.”

“Ck, tidak akan,” sahut Harun cepat.

“Tetapi, ya, kalau pun itu terjadi dan kamu terlanjur masuk
penjara. Tidak masalah. Istri dan anak kamu akan kami
pelihara.”

“Maksud kamu apa sih?” ketenangan Harun mulai terusik.


“Masih terlalu jauh untuk sampai ke sana. Pemilu saja belum
dimulai.”
“Maksud Farid, jangan pernah mau dijadikan umpan
pemerintah,” Sanusi memperjelas. “Jangan mau dijadikan
kambing hitam atas kebijakan pemerintah yang sebenarnya
tidak pro rakyat,” lanjutnya dengan ekspresi datar. “Kamu
tidak bisa bekerja dengan hati yang terlalu bersih,” itu
sebuah sindiran. “Kamu harus ikuti permainan. Tapi ingat,
jangan sampai tersesat,” ia memperingatkan. “Selalu saja
ada kambing hitam dalam pemerintah. Maka, sebelum kamu
ditargetkan orang-orang, kamu harus memiliki segenggam
rahasia yang bisa membuat kamu bertahan di sana.”

“Saya tahu,” Harun berdecak di ujung lidahnya. “Tetapi


sepertinya, bila memang jabatan itu diberikan pada saya.
Saya tetap membutukan Anda di DPP,” Harun berkata terus-
terang. “Tetaplah menjadi Sekjen partai.”

“Well, kamu harus memikirkan mahar apa yang bisa kamu


berikan ke Papa saya,” sambar Farid sambil tertawa. “Sesuatu
yang belum kami miliki.”

“Ck, pejabat Negara. Kalian belum memiliki orang itu di


keluarga ‘kan?” Harun mendengkus sinis. “Oke, mungkin Hadi
adalah pengecualian. Tetapi, sepertinya bila saya benar-benar
menjadi Menteri PUPR, kalian agak terbantu ‘kan?”

“Farid memberikan seringai. “Wow, Pap, Harun Dierja sudah


benar-benar menganggap dirinya menantu Papa,”
cemoohnya tertawa. “Ah, yang saya dengar, kamu
memutuskan menikahi Nyala selamanya, ya?” Farid kembali
melempar guyonan berbalut sarkas menyebalkan. “Wah,
lihat berita baiknya, Pap?” pandangan Farid beralih ke arah
sang ayah. “Salah seorang menantu Papa adalah ketum
partai dan juga calon menteri. Ck, ego Papa pasti semakin
terkipasi,” ejeknya terang-terangan. “Dan di periode
selanjutnya, akan menjadi kandidat calon Presiden.
Sejujurnya, lima tahun itu cepat berlalu.” “Farid,” Sanusi

menipiskan bibir.

Tetapi, ya, Farid tidak peduli. Ia kemudian beralih pada


Hassan Aminoto yang juga berada di meja yang sama dengan
mereka. “Pak Hassan jangan khawatir, menantu Pak Hassan
termasuk Wijaya. Dia tidak akan mengorek harta kalian
karena tidak punya apa-apa. Dia sekarang milyuner, Pak
Hassan. Dia punya dana mengendap milyaran di
tabungannya. Juga beberapa aset pribadi Papa kami yang
akan diwariskan kepada dia.”

“Kamu harusnya mengatakan hal itu bila bertemu ibu saya,”


Harun menyambar. “Ibu saya yang butuh sarkas itu. Bukan
Papa saya.”
“Well, suami istri biasanya saling berbagi rahasia. Dan
sepertinya, Pak Hassan dan Ibu Dewi juga sering
melakukannya. Jadi, sampaikan saja yang saya katakan tadi
Pak Hassan. Dan jangan lupa, satu trilyunan akan saya
tagih.”

Harun mendengkus tanpa sadar.

Ekspresinya yang datar mendadak berubah geli.

Ia memang tak mengatakan apa pun, tetapi beberpa detik


mereka saling memandang.

“Oke,” Harun menyelesaikan makan malamnya. “Pa, aku sudah


melegalkan pernikahanku dengan Nyala,” Harun memberitahu
ayahnya. Didengar langsung oleh Farid dan Sanusi yang sudah
terlebih dahulu mengetahui kabar itu, Harun kembali bersikap
tenang. “Dan kami nggak akan bercerai,” tuturnya tegas.

Hassan Aminoto hanya menghela. Ia dorong piringnya


sedikit ke tengah meja. “Setelah KPU membuka
pendaftarannya dan Effendy Ghazali sudah mendaftarkan
diri. Temui Mamamu,” saran Hassan menatap sang putra.
“Papa nggak akan mengatakan apa-apa, sampai kamu sendiri
yang mengatakannya pada Mamamu. Bila dia tidak dapat
menerima keputusanmu juga, maka kamu tidak durhaka,
Run. Kamu yang menjalani kehidupan ini. ”

“Ya, begitu juga terdengar baik,” Farid menyambar tiba-tiba.


Ia juga sudah selesai dengan makan malamnya. Sambil
meneguk wine, ia mengusap bibirnya dengan napkin di atas
pangkuan. “Ibu Dewi seharusnya sudah paham bahwa
konsep kehidupan itu, bukanlah tentang melaksanakan
segala hal yang dia mau. Ada hal-hal yang berada di luar
nalar yang kadang-kadang harus bersisian dengan
kehidupan kita.”

“Intinya begini, Run,” Sanusi menjadi pihak terakhir yang


menyelesaikan makan malamnya. “Saya tidak ingin Nyala
terlalu terekspose media. Karena hal itu akan membuat
orang-orang mencoba menggali lebih dalam lagi mengenai
dirinya. Saya tidak ingin orang-orang mengetahui bahwa
ibunya adalah Lidia. Bukan karena saya malu atas masa lalu
saya. Tetapi hal itu untuk Nyala juga. Jangan jadikan dia
public enemy, setelah orang-orang mengetahui asal-
usulnya.”

Public enemy? Kenapa dia harus menjadi musuh publik?”

“Kamu akan menjadi menteri. Kita tidak mungkin selamanya


dapat mengendalikan oposisi. Yang saya khawatirkan, ketika
publik tahu bahwa dia bukan anak saya dengan Inggrid, mereka
akan menilainya tidak cocok bersanding dengankamu. Mereka
nggak hanya akan merusak nama serta elektabilitas kamu dan
partai. Tetapi, mereka juga dapat merusak mental Nyala.
Karena itu, silakan publisitas status
pernikahan kamu. Tapi, jangan istrimu.”

Harun paham.

Karena itu pun memang sempat terpikir olehnya.

***

EMPAT PULUH SATU

Sesuai janji, Harun menemani Nyala di ranjang dari selepas


subuh hingga sekarang sudah pukul delapan pagi. Namun, pada
pukul tujuh tadi, Nyala sudah mengeluh kelaparan.
Tetapi karena hari ini agendanya adalah bermalas-malasan
sampai selepas jam makan siang—mengingat jadwal Harun
memang dimulai jam setengah dua siang nanti—maka Harun
meminta sarapan pagi untuk mereka diantar ke kamar saja.

Mereka tidak kembali tertidur setelahnya, hanya berbaring


sambil menonton film di televisi. Nyala yang memilih, Harun
hanya mengikuti saja. Sejujurnya, selera filmnya denganNyala
sangat berbeda. Wanita itu masih menyukai kisah- kisah epik
yang dibalut romansa. Sementara untuk seusianya sekarang ini,
Harun lebih menyukai film-film documenter.
Politik, boleh juga. Nyala sempat menawarinya menonton film
horor, tetapi Harun menolak. Bukan karena ia takut, hanya saja
ia ingat dokter pernah mengingatkan di usia kandungan yang
semakin tua, Nyala disarankan agar tidak
menyaksikan kejadian-kejadian yang mengagetkan. Karena hal
itu rentan membuat kram di perut. Mengingat Nyala
beberapa kali pingsan setiap kali melalui peristiwa yang
mengejutkan. Dan hal itu juga berlaku untuk tontonan.

Harun tidak ingin mengambil resiko istrinya terkejut karena


audio film horor. Atau bahkan kemunculan makhluk-
makhluk gaib yang berada di sepanjang film. Untuk itulah,
Harun memilih tontonan yang aman. Romansa boleh juga.
Terserah saja, yang penting Nyala aman.

“Bapak tahu nggak, jauh didasar hati saya, saya bersyukur Pak
Sanusi nggak menikahi mama saya.”

“Kenapa seperti itu?”

Harun menyusun bantal tinggi tuk menyandarkan


punggungnya. Sementara istrinya, meletakkan kepala di
dadanya. Mereka saling menyentuh namun bukan karena
nafsu. Sebuah keadaan di mana mereka tahu, bahwa kedua
tubuh telah saling mengenal dan enggan menjauh.

Mengganti posisi kepala, Nyala meletakkan dahunya di atas


dada sang suami. “Saya nggak suka konsep pencuri lebih
bahagia dari pemilik yang sebenarnya,” ia menunjuk layar
televisi. “Akhir kisahnya lebih tragis ‘kan, Pak? Mantan
istrinya meninggal, ya, walau kondisinya mereka sudah cerai
terlebih dahulu. Tapi pada akhirnya, suaminya tetap
menikahi selingkuhannya. Dan di real life, dia jadi Ratu.
Hm, saya nggak kebayang gimana kalau Pak Sanusi
menikahi mama saya. Lalu setelah itu, mama saya yang jadi
Nyonya.”

“Kamu agak unik, ya?” Harun tertawa sambil mengelus rambut


istrinya. “Seharusnya kamu senang seandainya ibu kamu
dinikahi Sanusi Wijaya. Karena itu artinya, kamu tidak akan
disembunyikan. Kamu akan menikmati fasilitas nomor satu
sebagai seorang Widjaja.”

Nyala menggeleng. “Mama saya itu jahat, Pak,” ungkap


Nyala penuh kejujuran. “Pak Sanusi hanya akan menderita
kalau menikah sama mama saya. Sementara dia sudah
terlanjur melepaskan ibu Inggrid yang luar biasa.”

“Kenapa begitu?” Harun menjadi ingin tahu. “Mama kamu


nggak selamanya menjadi orang jahat.”

Kembali, Nyala menggeleng tidak setuju. Ia dan Mayang sudah


pernah membahas hal ini sebelumnya. Mengenai ibu mereka
yang tak pernah setia pada pasangannya. “Pertama, mama saya
pasti menguras harta Pak Sanusi. Mama akan berfoya-foya, lalu
memperbaiki tubuhnya,” maksud Nyala dengan melakukan
prosedur operasi plastik. Atau paling tidak, sejenis filler, botox
dan ya yang seperti itu. “Dan yang kedua, mama saya adalah
tipe wanita yang nggak setia, Pak,”
tutur Nyala yang kembali mengubah posisi. Kini, ia telah
bersandar di rentangan lengan sang suami. Ia memeluk pria
itu dari samping dengan posisi setengah duduk. “Okelah,
mungkin Pak Sanusi nggak akan kekurangan uang untuk
mendanai mama saya. Tapi gimana soal kesetian? Mama
saya tipe yang nggak pernah puas sama pasangannya. Dia
juga nggak bisa setia cuma sama satu laki-laki dihidupnya.”

Well, sebenarnya Pak Sanusi juga tidak setia,”


Harun
memaparkan kenyataan itu walau terdengar tak nyaman.

“Ya, berarti saya punya bibit nggak setia juga dong, Pak,” kini
Nyala merasa lemas ketika kesimpulan itu terkemuka tanpa
sengaja. “Gimana ini, Pak? Kedua orangtua saya nggak setia,”
ia nyaris merengek.

Harun tertawa geli. Ia menggigit ujung hidung Nyala dengan


gemas. “Kamu berbeda dengan mereka, Nyala,” ia usap
tulang rahang Nyala yang mungil di bawah telapak
tangannya yang lebar. “Kamu tidak seperti mereka.”

“Dari mana Bapak tahu kalau saya nggak sama


kayak
mereka?”

“Kamu punya banyak kesempatan untuk melarikan diri dari


hidup saya. Apalagi, setelah kamu mendapat pengakuan dari
Sanusi dan sejumlah dana tunjangan darinya. Tapi, kamu
memilih tetap di sini bersama saya,” senyum Harun tampak
tulus. “Padahal, sampai saat ini, saya belum memberi kamu
pengakuan. Tetapi, kamu tidak ke mana-mana.”

Tersihir akan kata-kata Harun Dierja, Nyala memilih diam


sebagai penyimak. Di matanya, pria itu sempurna. Usia matang
justru membuatnya kian memesona. Tuturnyabersahaya, dan
pemikirannya begitu dewasa. Di luar rumah ini, Harun adalah
idola politik bagi para generasi muda.
Tetapi saat ini, pria hebat itu merupakan ayah dari bayi
dalam perutnya. Suaminya.

Demi Tuhan, Nyala benar-benar jatuh cinta.Astaga,

Harun Dierja berbahaya.

Tetapi Nyala, tak ingin jauh darinya.

“Kamu juga tidak seperti ibu kamu,” Harun tersenyum.


“Kamu bahkan tidak pernah meminta materi apa pun pada
saya. Bahkan, saat mengetahui kehamilan ini. Alih-alih
meminta sejumlah uang, yang kamu inginkan waktu itu
hanya potongan buah yang langsung dipotong oleh saya.”

Nyala tersenyum lebar, kepalanya mengangguk


membenarkan. “Trimester pertama yang luar biasa
menyiksa, Pak,” ungkap Nyala meringis.

“Saya tahu,” Harun merendahkan wajah untuk meraup bibir


istrinya. “Dan saya sangat bersyukur atas hal itu,” ungkapnya
setelah lumatannya selesai.

Nyala tertawa kecil. Ia menyembunyikan wajahnya di antara


perpotongan leher sang suami. Napasnya terembus hangat.
Sementara detak jantungnya berdebar cepat. Luar biasa.
Efek Harun Dierja benar-benar luar biasa bagi tubuhnya.
“Jatuh cinta sama Bapak kenapa harus semendebarkan ini,
ya?” gumamnya sambil menutup mata. “Kadang-kadang,
saya masih nggak percaya, Pak. Kalau Bapak benar-benar
sedang memeluk saya,” ungkapnya jujur. “Seorang Harun
Dierja Aminoto, ketua umum partai, sekaligus politisi muda
yang menjadi rebutan banyak kandidat Presiden untuk
dijadikan wakilnya. Ternyata, bisa berada di ranjang yang
sama dengan saya.”

Harun mendengkus geli. Potongan-potongan yang


ditampilkan di layar televisi, tak lagi menarik perhatiannya.
Ada Nyala Sabitah yang jauh lebih indah. Istrinya yang masih
berusia muda. Kecantikannya benar-benar dambaan pria.
“Saya bahkan memuja kamu,” tutur Harun sembari
membelai pipi Nyala yang lembut. “Saya takluk di bawah
kamu,” ujarnya lagi sambil mengulum tawa.

Nyala yang sudah membuka matanya, tahu betul apa yang


dimaksud laki-laki itu. Karena itulah, ia memukul gemas dada
seorang Harun Dierja. “Mesum!” serunya tak mampu menutupi
rona di wajah. Harun menangkap tangan Nyala
yang tadi memukulnya. Mendekatkan tangan itu ke bibir
untuk ia beri kecupan mesra di sana. Mata Harun berlabuh
pada berlian yang melingkari jari manis wanita itu. Kembali
menjatuhkan kecupan, namun kali ini pada cincin kawin
yang ia sematkan kala akad pernikahan. “Saya mau
menunjukkan sesuatu pada kamu,” Harun sedikit memberi
jarak hanya agar ia dapat bertatapan dengan istrinya. “Saya
punya sesuatu yang sebenarnya sudah lama dipersiapkan
untuk saya.”

Kening Nyala berkerut. Kepalanya yang bersandar nyaman


di lengan pria itu, segera ia angkat. Punggung yang tadi
bersandar, kini telah ia tegakkan. “Gimana maksudnya, Pak?”
jujur ia bingung dengan pemilihan kata pria tersebut. “Bapak
memiliki sesuatu yang sebenarnya memang untuk Bapak?” ia
mencoba memperjelas dengan bahasa yang ia mengerti. “Gitu
maksudnya, Pak?”

Harun mengangguk tanpa ragu. “Sebentar,” ia bangkit dari


ranjang dan meninggalkan istrinya sendiri di sana. Ia masuk
ke dalam walk in closet. Membuka display tempatnya
menyimpan jam-jam tangan. Ada beberapa jam yang masih
tertutup kotak. Sepertinya, itu merupakan hadiah-hadiah
ulangtahunnya yang ke 38 kemarin. Mengabaikan deretan
tersebut, tangan Harun memanjang demi menjangkabox
kecil berwarna biru dengan logo perhiasan ternama.
Ia membuka box tersebut dengan mudah. Pita yang biasa
mengikat box tersebut, sudah lama terbuka. Sambil menarik
napas panjang, Harun menyentuh permukaan cincin yang
tersimpan di sana. Tangannya lantas bergulir pada tempat
kosong yang ditinggalkan cincin lainnya, yang kini berada di
jemari tangan sang istri. Menutup kembali, Harun pun
membawa benda itu tanpa perlu menyembunyikannya sama
sekali.

Dengan senyuman, ia kembali menemui istrinya. Bergabung


dengan wanita itu di ranjang mereka. Tanpa ragu sama sekali,
Harun menyerahkan box tersebut pada Nyala. “Buka. Dan
pasangkan untuk saya.”

Nyala menerimanya walau bingung. Membuka kotak biru


tersebut dengan hati-hati, jantungnya berdentam kembali saat
melihat cincin yang berada di sana. “Pak?” ia bahkan linglung
ingin menanyakan apa. “Ini …?”

“Ya,” Harun menjawabnya sambil mengangguk. “Putra


membelikan cincin itu sepasang,” ia menunjuk cincin di jemari
manis sang istri. “Tapi waktu itu, saya belum siap
mengenakannya.”

Nyala menarik napas sambil meringis. Ia elus permukaan cincin


tersebut. Cincin itu tidak polos, sebuah berlian kecilberada di
tengah dan tidak timbul ketika diraba.
“Kamu mau memasangkannya,” Harun menyodorkan
tangannya.

Dan Nyala mengangkat wajah, demi menatap mata pria itu


lekat-lekat. Perasaannya begitu tak terjabarkan. Sementara
desahnya terasa mengharukan. Dengan penuh hati-hati, ia
melepaskan cincin tersebut dari belenggu di dalam kotaknya
yang cantik. Memasangkannya pada jari manis milik Harun
Dierja yang merupakan suaminya.

“Pas,” Harun langsung berkomentar begitu cincin tersebut


menyelubungi jarinya.

Nyala mengangguk. Air matanya mengalir. Kini, ia yang


bergantian membawa tangan itu ke bibirnya. Mengecup cincin
kawin suaminya. Mengucap syukur dalam hati, karena Tuhan
memperkenannya berjumpa dengan Harun Dierja.

“Hey,” Harun mengangkat wajah istrinya yang dialiri air mata.

“Saya bukan sedih, Pak,” Nyala menuturkannya.


“Saking
bahagianya, saya takut semua nggak nyata.”

“Saya nyata, Nyala,” Harun mencium bibir wanita itu


setelahberhasil menepikan air mata sang istri. “Saya nyata.”

Nyala merangkum wajah sang suami dengan kedua telapak


tangannya. Sambil mengangguk meyakini, ia terbitkan
senyum tulus di wajah. “Saya tahu, Pak. Saya tahu,”
ungkapnya dengan hati yang begitu hangat. “Bapak terlalu
nyata, hingga buat saya menginginkan seumur hidup dengan
Bapak di dunia.”

“Saya akan mengabulkannya,” Harun tertawa.

Dan di jam setengah sembilan pagi, mereka tak lagi bermalas-


malasan di ranjang.

Ada kegiatan yang harus mereka lakukan.

Dan tentu saja, semuanya akan membuat kelelahan. Tetapi

tenang, aktivitas itu teramat menyenangkan.

Karena Nyala Sabitah adalah candu paling megah yang dapat


Harun temukan, di dunianya yang nyaris gersang. Sementara
bagi Nyala, Harun Dierja merupakan bahaya yang paling ia
damba di alam semesta.

***

Komisi Pemilihan Umum atau KPU, akan membuka


pendaftaran pada Senin, esok. Maka, Harun dan para partai
peserta koalisi melaksanakan pengumuman pembubarannya
pada hari ini, Minggu.

Semenjak Nyala berada di Puri Indah, pertemuan-pertemuan


dengan kader koalisi berada di DPP. Harun memang nekat
waktu itu, makanya ia berusaha mengurangi kunjungan-
kunjungan para politisi di kediamannya. Lagipula, istrinya
sedang hamil besar. Nyala butuh istirahat dan juga ketenangan
menjelang HPL yang diperkirakan tidak sampai dua minggu ke
depan.

Harun juga berusaha mengurang jadwal kerjanya. Minimal, ia


tidak menerima pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke luar
kota.

Kamar bayi memang telah selesai dibuat kembali oleh design


interior yang sama dengan yang mengerjakan kamar bayi di
apartemennya. Dengan tambahan beberapa barang, Harun
ingin bayinya nanti berada di kamarnya dan Nyala ketika
malam. Walau kamar bayi memiliki connecting door dengan
kamarnya, tetapi Harun tidak mau mengambil resiko. Ia juga
sudah mempersiapkan satu pengasuh untuk membantu Nyala
mengurus kebutuhan anak mereka ketika lahir nanti.

Nyala menginginkan mengurus sendiri bayinya. Namun Harun


tak sependapat. Nyala harus mendapat bantuan dari seseorang
agar tidak kelelahan. Makanya, dia meminta Putra untuk
mencarikan pengasuh yang dapat membantu istrinya.
Mungkin, hanya Nyala yang akan menyentuh sang bayi. Dan
pengasuhnya nanti, yang akan membantu Nyala
mempersiapkan beberapa hal terkait kebutuhan anak mereka.
Ya, dan akhirnya mereka sepakat untuk itu.

Sekarang, Harun akan bersiap-siap berangkat menuju


tempat acara.

Tetapi sebelum itu, ia perlu memastikan adik perempuan


istrinya benar-benar datang dan menemani sang istri.

“Hai, Pak Ketum,” Mayang menyapa dengan ramah.


“Bapak
udah lama nih, nggak ngegolf,” hanya beramah-tamah.
Tetapi sungguh, Mayang juga penasaran. “Semenjak
Menpora kena kasus, terus Bapak juga sibuk. BIG, nggak lagi
eksklusif, Pak,” ia malah curhat. “Pejabat-pejabat lagi repot
banget, ya, Pak, ngurusin pemilu?”

“Iya,” jawab Harun tanpa repot-repot berpikir. Ia bangkit dari


sofa, kemudian membantu istrinya untuk berdiri juga. “Nyala
ingin ditemani kamu. Saya titip dia terlebih dahulu.”

“Mau hitung per jam atau per hari, Pak?” tanya Mayang
bercanda. “Kalau bayarannya oke, saya fulltime aja deh di sini.
Daripada saya panas-panasan di lapangan golf, Pak.”

“Soal itu, kamu bisa bicarakan saya dengan Putra,” ia menyebut


nama asistennya yang kebetulan memang adabersamanya juga.

“Ah, saya maunya berurusan sama Mas Rafael, Pak,” Mayang


terkikik ketika mengucapkannya. “Ya ‘kan, Mas Rafael?” ia
sengaja menggoda ajudan itu dengan memanggilnya seperti
yang dilakukan sang kakak. “Mas Rafael, sehat?”

Harun mendesah, ia tatap Nyala sambil menggelengkan kepala.

Melihat suaminya tampak jengah dengan ocehan Mayang,


Nyala segera mengusap-usap lengan pria itu. “Nggak usah
didengerin, Pak. Bapak berangkat saja sekarang. Semoga sukses
acaranya, ya, Pak?”

“Duh, ileeh, masih bapak-bapakan aja sih elo, La,” Mayang


mencibir. “Katanya, lo kemarin mau ganti panggilan biar
mesra. Astaga, orang lain aja lo panggil, Mas. Masa laki
sendiri dipanggil Bapak. Ckck, nggak asyik dong
rumtang elo,” ledeknya yang kini sudah menempati sofa.
“Panggil, bebeb, dong, La. Masa iya, lo mau aja kalau sama
Ratih, si gadis Bogor paling menor,” ia terkekeh kembali.
“Dia aja dipanggil suaminya juga Mi amor.”

“Apaan sih lo?” Nyala mencibir. Bukan apa-apa, Mayang


terlalu seterang-terangan itu dalam meledek mereka. “Diem,
May. Pak Harun ada acara penting setelah ini,” ia mencoba
memberi pelototan agar wanita itu diam.

“Iya, deh, yang sukanya main bapak-bapakan. Oke, gue diem.


Maaf, ya, Pak Harun.”

Harun mencoba mengabaikan keberadaan adik perempuan


istrinya, tetapi entah kenapa perkataan wanita itu membekas
di benaknya. Membuatnya merasa tak nyaman dengan
kebenaran yang tersimpan lewat nada-nada bercanda tadi.
Karena sesungguhnya, apa yang dikatakan Mayang itu benar.

“Ayo, Pak. Kita sudah ditunggu.”

Belum benar ia menata hati, Harun harus kembali menapaki


realita politik. “Oke,” ia mendesah panjang. Kemudian
mengarahkan atensi penuh pada sang istri. “Saya pergi dulu,
ya?” ia kecup kening wanita itu. “Hati-hati di rumah.”

“Iya, Pak,” Nyala mencium tangan suaminya. Lalu


melebarkan senyum sembari melangkahkan kaki mengikuti
sang suami yang beranjak menuju lift.

“Mari, Ibu Nyala,” Putra ikut berpamitan seraya memasuki


lift yang sama dengan atasannya.

“Oh, iya, Mas. Hati-hati, ya, Mas. Saya titip Bapak.”

Oke.

Sekarang Harun tahu apa yang membuat hatinya tidak nyaman.

Benar. Panggilan Nyala.

Mas, untuk Putra dan Rafael.


Sementara Bapak, ditujukan untuknya.

Baiklah, sepertinya ia mulai bertingkah kekanakan.

Andai tidak sedang dikejar waktu, mungkin Harun akan


berbicara empat mata dengan istrinya.

Astaga …

Sepertinya, Harun tidak ingat usianya.

***

EMPAT PULUH DUA

Harun Dierja tidak percaya, bahwa dalam kurun waktu


beberapa tahun saja, ia sudah mengalami banyak peristiwa tak
terduga. Pertama, jelas atas pengangkatan dirinya sebagai
ketua umum partai Nusantara Jaya. Setelah berjibaku
mengumpulkan bukti demi menggulingkan rezim kotor
Rangkuti Malik, akhirnya Harun dapat menyelamatkan partai
yang didirikan oleh orangtuanya. Peristiwa tak terduga- duga di
hidupnya selanjutnya adalah pernikahannya dengan Nyala
Sabitah. Ia yang tak pernah melanggar norma agama, berakhir
dengan mengoyak selaput darah milik seorang wanita. Ia ingin
mengingkarinya saat itu juga, tetapi kemudian, ia memilih
bertanggung jawab dan menikahinya.
Dan yang terakhir dari rangkaian peristiwa-peristiwa luar
biasa itu, tentu saja pengangkatannya sebagai calon Wakil
Presiden. Meski kini, ia harus mengakhiri Pemilu lebih awal
dari yang lainnya. Bukan karena ia yang memenangkan
putaran. Justru, karena ia harus mundur dari panggung
pesta demokrasi.

Rekan seperjuangannya telah tiada.

Sementara untuk menyejahterakan negeri ini, ia belum


belum sanggup melakukannya sendiri. Ia khawatir akan
kebijakan-kebijakan yang ia ambil. Jadi, daripada tidak bisa
apa-apa dan hanya bisa menjadi beban politik dari partai
yang mengusungnya, Harun dengan ikhlas menyatakan
pengunduran dirinya.

“Saya, Harun Dierja Aminoto, ketua umum Nusantara Jaya juga


calon Wakil Presiden yang diusung oleh koalisi Lanjutkan
Perjuangan, dengan ini menyatakan pengunduran diri saya
sebagai calon Wakil Presiden,” ia umumkan kalimat tersebut
dengan suara lantang. Matanya membidik tiap mata yang
menyorotnya.

Gurat keseriusan tergambar jelas melalui eskpresinya. Harun


sangat yakin, mereka semua sudah diberitahu oleh masing -
masing ketua umumnya atas keputusan siang ini. Namun,
Harun dapat memahami bahwa ada perasaan kecewa atas
keputusan ini.
“Saya tahu, kalian semua kecewa atas putusan ini. Karena
sejujurnya, saya juga merasakan hal yang sama,” tutur
Harun memahami perasaan mereka. “Tetapi, malang tidak
dapat ditolak, dan keuntungan tidak bisa kita raih. Maka,
jalan terbaik atas semua ini adalah mundur,” ia menghela
napas panjang.“Kita mundur bukan karena kalah. Kita hanya
sedang memilih batu lonjatan yang tepat. Supaya, ketika kita
siap melompat nanti, pijakan yang pilih dapat
melambungkan kita semakin tinggi,” ia utarakan kalimat
tersebut penuh makna. “Karena itu, mari tetap mengeratkan
pegangan. Ayo bersama membangun nusantara. Kita
teruskan cita-cita koalisi ini untuk kehidupan masyarakat
yang lebih baik. Karena koalisi kita tidak akan bubar.”

Benar.

Mereka tidak akan bubar.

Justru akan merangkul semakin lebar.

Sebelum mengumumkan hal ini, Harun sudah terlebih


dahulu berdiskusi dengan para ketua umum koalisi. Walau
awalnya, ada yang tidak setuju dengan pilihan suara yang ia
ambil. Pada akhirnya, Sanusi Wijaya berhasil meyakinkan
mereka, bahwa Effendy Ghazali lebih baik dibanding Irawan
Pramoedya. Sanusi juga membawa salinan kejahatan
gratifikasi keluarga Irawan Pramoedya yang ia minta dari
putranya, Hadi Wijaya.

“Dengan restu kalian, dengan keridhoan dan ketulusan hati


para kader koalisi, saya ingin sekali meminta izin, supaya
saya dapat membawa koalisi partai kita ini untuk
mendukung penuh Bapak Effendi Ghazali dan Bapak Zuhri
Iskandar yang akan maju berjuang demi Indonesia yang
lebih benderang.”

Effendi Ghazali dan Zuhri Iskandar berdiri sambil


membungkuk hormat. Tepuk tangan menggema, ketika kedua
orang tersebut tersorot kamera utama. Membuat mereka
terlihat di plasma besar di belakang Harun yang masih berdiri
di atas panggung.

“Beberapa waktu lalu, Pak Effendy pernah meminta saya


menjadi jurkam atau langsung menjadi TPN alias Tim
Pemenangan Nasional untuk beliau. Tapi, tawarannya saya
tolak. Benar begitu, ya, Pak?”

“Betul!”

Effendi Ghazali tertawa sambil mengangkat jempolnya tinggi.

Dan sebagai respon, Harun hanya tersenyum. “Pasti kalian


semua bertanya-tanya, kenapa saya menolak tawaran
terhormat itu ‘kan?” Harun membasahi keronggkongannya
yang kering dengan menelan ludah. “Kebetulan, saya sudah
menjelaskan alasannya kepada Pak Effendy dan syukurnya
beliau mengerti.”

“Tapi kami belum mengerti, Pak!”“Apa alasannya,

Pak?”

“Kami belum mengerti, Pak!”

Seruan-seruan sejenis itu, terdengar memenuhi ballroom.

Awalnya, Harun hanya menimpalinya dengan tawa.

Sampai kemudian, matanya menatap cincin yang melingkari


jari manisnya. Ia kembali menelan ludah. Kali ini berkat
kegugupan yang terasa menguasai. Harun sangat jarang
merasa gugup. Pada keadaan tertentu, ia bahkan dapat
bersikap luwes di depan Presiden. Tetapi memikirkan cincin di
jari manisnya, napas Harun malah terembus cepat.

Mencoba menguasai diri, Harun mencari keberadaan Sanusi


Wijaya di baris kedua di sebelah sang ayah. Karena barisan
pertama diisi oleh para ketua-ketua umum partai peserta
koalisi. Kursi untuk mereka tentu saja berbeda dengan yang
lain. Dan ketika akhirnya Harun bertemu pandang dengan
Sanusi Wijaya, Harun dapat melihat pandangan pria itu
sedang menantangnya.

Seakan tahu apa yang akan ia perbuat.


Sanusi Wijaya seolah menunggu kalimatnya yang tentu saja
akan memulai banyak debat.

Well, setidaknya, debat di sosial media.Biarlah.

Toh, sekarang Harun tak lagi membutuhkan elektabilitas


setinggi Himalaya.

“Well, saya menolaknya karena urusan pribadi sebenarnya,”


senyumnya terpatri kaku ketika ia mulai kembali bicara.
“Dan saya sangat bersyukur, karena Pak Effendy tidak
tersinggung atas penolakan saya,” Harun mahir bicara. Jadi,
pasti mudah baginya untuk ungkap semua. Sayangnya,
Harun selalu merasa bodoh kala hal itu berada dalam ranah
pribadinya. Sambil mencoba mengembalikan ketenangan,
Harun menebar senyum palsu demi menekan jantungnya
yang berdebar-debar. “Sebentar lagi istri saya akan
melahirkan,” tuturnya dalam keadaan sadar. “Dan dimusim-
musim kampanye nanti, anak saya baru berumur satu
sampai dua bulan. Saya agak keberatan meninggalkan
mereka bila harus berada di luar kota. Karena itu, dengan
segala kerendahan hati, saya meminta maaf sekali lagi pada
Pak Effendy dan juga Pak Zuhri. Tetapi, percayalah, saya
akan mendukung penuh.”

Pengakuan telah terucap.


Live streaming dari acara ini sedang berjalan.

Dan itu artinya, ucapan Harun sudah terdengar oleh orang-


orang yang tak hanya berasal dari para kadernya saja.
Masyarakat yang menyaksikan mungkin diterpa kekagetan.
Media masa akan goyang. Klik bait judul-judul berita
menghebohkan akan segera dirilis di lini masa. Namanya,
akan kembali menjadi topik panas untuk dibicarakan.

Tetapi Harun, mencoba tak menyesalinya.Seperti ini saja.

Yang penting, kini orang-orang telah mengetahui bahwa ia


sudah menikah.

Iya, begini saja. Maksudnya, segini dulu.

***

Nyala mencengkram erat lengan Mayang tanpa sadar.

Bibirnya tergigit sementara matanya tak lekat menatap


layarbesar televisi di depannya.

Netranya berkaca-kaca, tinggal mengedipkannya saja, lalu


bulirannya akan menjatuhi pipinya.

Ck, sakit, Nyet!!” Mayang memukul tangan Nyala yang

berada di lengannya. “Kalau salting jangan nyakitin orang!”


dengan gemas, ia mencoba melerai cengkraman tangan itu.
“Nyala!” karena Nyala masih bereaksi seperti arca batu,
akhirnya Mayang tak tahan lagi. “Sakit, Nyet!”

“Bentar, May, gue deg-degan,” ucap Nyala sambil mengusap


dadanya menggunakan sebelah tangan yang bebas. “Anak
gue nendang,” ungkapnya memberitahu. Meski sudah tidak
seaktif bulan lalu, bayinya sesekali akan bergerak dan
menendang juga. “Ya, ampun …,” serunya dengan rona
merah di wajah. Ia melepaskan lengan Mayang, lalu
membawa tangan itu membelai perutnya. “Kamu ngerti
sama yang dibilang bapak kamu?” air mata Nyala sudah
tumpah. Ia menundukkan pandangan demi menatap
perutnya yang bundar.

“Si bayiik, mana ngerti. Dia cuma ngelakuin reaksi alami


karena kegabutannya di perut elo,” cebik Mayang dengan
pendar bosan. “Yang salting mah, elo, Nyala. Bayik lo nggak
tahu apa-apa. Jadi, jangan fitnah dia yang nggak-nggak,”
cibirnya lagi. Tetapi tak lama kemudian, Mayang segera
mengganti ekspresinya dengan pendar jenaka. “Ciyeee … si
bapak bayik udah ngaku kalau punya istri. Seneng deh tuh,
yang diakui keberadaannya walau masih samar-samar.”

Nyala tak mampu menutupi senyum di wajahnya. Walau tadi


air mata sempat tumpah, hal tersebut tidak mengurangi debar
ribut yang memayungi jiwa. Kedua pipinya terasa
hangat. Senyumnya melengkung kian lebar. Sambil
menggigit bibir, Nyala benar-benar tampak salah tingkah.

Pernyataan Harun Dierja sungguh tak pernah ia sangka-


sangka.

Walau tak memberitahu pada khalayak bahwa dirinyalah istri


sah pria itu, namun Nyala merasa sudah cukup dengan semua.
Layar televisi terus menyorot sosok sang suami. Buat Nyala
kembali merasa jatuh cinta berkali-kali. Wajah serius pria itu
terasa luar biasa. Senyum kecil yang terbentuk di ujung
bibirnya, terlihat memesona. Dan sekali lagi, Harun Dierja
benar-benar berbahaya karena membuat Nyala terus
mendamba.

Ya, Tuhan … ia benar-benar jatuh cinta.

Tentu saja, pada Harun Dierja yang luar biasa.

“Halah, senyum-senyum lo,” Mayang mendengkus jijik


melihat ekspresi Nyala. “Muka lo mupeng amat sih, La?
Kangen sama bapaknya si bayik? Pengin dielus-elus biar
jinak, iya?” celotehnya sambil mendorong-dorong bahu
Nyala. “Najis amat muke lo, La,” tawanya kemudian
membahana. “Aduh, ngetweet, ah, terus ngoceh kalau gue
tahu siapa bininya Harun Dierja,” Mayang terkikik sambil
meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. “Atau gue
bilang aja, ya, kalau gue adek iparnya Harun Dierja?” ia
pura-pura berpikir.
Ck, Mayang!” Nyala cemberut.

“Apaan sih lo? Ngapain lo manyun-manyun depan gue?


Nggak ngaruh, woy! Sono nanti, pas laki lo pulang, pake
lingerie yang bumil friendly, terus manyun-manyun najis.
Pasti laki lo doyan.”

Tapi kalau dipikir-pikir, semua bentuk lingerie memang ramah


bumil yang sangat memudahkan pakmil.

Hm, ya, begitulah.Ah, bodo amat.

Mayang tak mau ambil pusing.

“Beneran gans, ya, tuh laki,” Mayang kembali meletakkan


ponselnya. Dagunya menujuk televisi berlayar lebar yang
memperlihatkan sosok Harun Dierja yang masih terus
membicarakan politik-politik yang tak ia mengerti. “Cowok
umur segitu emang lagi lucu-lucunya buat dimiliki
selamanya, La. Kekep gih. Ganti panggilan. Panggil aja,
Sayang, atau Mas deh, yang aman.”

“Menurut lo gitu, May?”

Mayang mengangguk tanpa ragu. “Cowok kayaknya lemahdeh


dipanggil Mas. Apalagi yang tipe dewasa kayak Harun.
Walau doi dipanggil Mas sama keluarganya. Pasti beda banget
rasanya, kalau elo yang manggil. Pelan-pelan, Mas,” Mayang
menirukan suara desah yang sekiranya dilakukan Nyala.

“Apaan sih lo, nggak jelas banget,” Nyala bersunggut kesal.


Tetapi percayalah hal itu hanya untuk menutupi rasa
malunya. “Tapi, May, beneran nggak apa-apa nih, gue ganti
panggilan? Gue sungkan banget lho, May,” aku Nyala dengan
jujur.

“Kalau telanjang di depan dia, lo pernah sungkan nggak sih,


Nyet?” lama-lama Mayang bisa naik tensi juga nih, dibuat
Nyala. “Sungkan nggak lo waktu ngang—“

“Mayang!” seru Nyala meradang. “Gue serius, iihh …,” ia cubit


paha adiknya itu dengan gemas.

Sambil pura-pura berdecak, Mayang menyugar rambutnya. “Ya,


lo mau sampai kapan manggil dia bapak-bapak terus, La? Oke,
dia emang udah umur bapak-bapak. Tapi, ya, masalo nggak
ada inisiatif buat sesekali muasin egonya dia? Coba dulu
dipanggil, Mas, kalau udah terbiasa nanti, ubah aja panggilan
sayang jadi macem-macem. Paksu, Sayang, Cinta, atau apalah.
Bisa kok dicoba.”

“Sumpah, May, gue sungkan. Segan banget sama beliau.”

“Sungkan kenapa lagi? Kalian bahkan udah saling kenal


anatomi tubuh masing-masing. Dia tahu di mana aja tahi
lalat lo berada. Lo juga tahu kekuatannya sampai di mana.
Ya, udahlah, normalin aja. Inget aja, La, dia tuh sekarang
suami lo. Tanpa embel-embel Ketum Nusantara Jaya.
Pokoknya, lo harus tanem dalam diri kalau dia tuh suami lo.
Kalian nggak punya perbedaan apa-apa yang harus
dikhawatirkan. Dia suka cium elo, lo juga suka cium dia. Ya,
dibuat simple aja.”

“Gitu?”

“Iya, Nyala,” jawab Mayang gemas. “Dia kelihatan udah


bertekuk lutut banget sama lo, La. Jadi, sesekali kipasin dong
egonya sebagai laki-laki. Kasih dia panggilan sayang. Kasih dia
apresiasi kalau udah berhasil buat lo melayang. Kita pikir sepele
sih, tapi laki-laki emang butuh itu kok, La.”

Nyala tak segera menanggapi. Ia menatap ke arah perutnya


sambil mengelus bagian menonjol tersebut. “Mas, ya, May?”
cicitnya sambil bertanya.

Yups, Mas Harun,” dan Mayang tertawa puas.

***

Mas Harun.

Mas Harun.
Nyala terus merapalkan panggilan tersebut agar lidahnya
tidak kaku ketika berbicara dengan pria itu.

“Oke,” ia menarik napas panjang ketika matanya melirik


pada jam dinding. “Sebentar lagi bapakmu pulang,” ia
menjadi sangat gugup. “Mas Harun,” ia berbisik lirih. “Sip,
aku pasti bisa. Tinggal manggil Mas Harun. Sip,” ia
mencobameyakinkan dirinya sendiri.

Berbekal provokasi Mayang, Nyala memberanikan dirimencoba


gaun tidur berbentuk menyerupai mini
dress. Berwarna marun, dengan bagian neckline rendah yang
memperlihatkan belahan dadanya yang tidak menggunakan
bra. Dilapisi renda transparan, bagian dadanya begitu
membuncah penuh. Putingnya tercetak jelas dari luar gaun.
Disanggah oleh satu tali pada bagian bahu, bahan chiffon yang
lembut itu membalut tubuhnya hingga setengah paha saja.

“Nggak kelihatan kayak PO ‘kan?” ia bergumam sendiri


ketika kembali mematut penampilannya di cermin. Bukan
apa-apa, perut bundarnya pasti menjadi fokus utama.
“Nggak deh,” ia kembali meyakinkan diri supaya lebih
percaya diri.

Baik.

Ia tidak akan mundur lagi.

Sambil menyisir rambut yang ia biarkan tergerai, Nyala


kembali memastikan waktu pada jam dinding. Suaminya
bilang, akan sampai di rumah pukul sembilan malam. Dan
sekarang, lima menit lagi menuju waktu yang dijanjikan.

Baiklah, Nyala berharap ia tak terserang kegugupan yang


berlebihan.

“Cuma mau manggil Mas aja kok,” katanya sembari menarik


napas. “Mas Harun. Iya, begitu. Mas Harun,” ia ulang-ulang
kembali panggilan tersebut agar tak kaku ketika
mengucapkannya nanti.

Berjalan dari walk in closet menuju kamar, Nyala melintasi


marmer-marmer di bawah kakinya. Memutuskan duduk di
tepi ranjang, Nyala sengaja tidak membuka sosial media agar
tidak melihat trending news terkini di jagad maya. Tadi,
Ajeng sempat menghubunginya, bertanya kabarnya dan ia
berkata tak menyangka akan mendengar Harun Dierja
Aminoto akhirnya mengakui pernikahan mereka.

Jujur, Nyala sangat tersentuh dengan pengakuan pria itu. Dan

ia merasa, segitu saja sudah cukup.

Ia bersyukur bahwa Harun Dierja tidak menyebut namanya.


Karena jujur saja, ia resah bila orang-orang mulai mencari
tahu masa lalunya. Bukan apa-apa, ia tidak ingin Harun
menanggung malu atas masa lalu yang tak mungkin bisa ia
ubah.
Sibuk melamun, Nyala nyaris terpekik begitu pintu
kamarnya terbuka. “P—“Nyala langsung menutup mulutnya.
Harun Dierja Aminoto yang sedang ia tunggu-tunggu
akhirnya pulang juga, Dan kebiasaan Nyala memanggilnya
dengan sebutan “Pak”, ternyata dapat ia hentikan paksa.

“Belum tidur?” Harun bertanya tanpa menaruh curiga sama


sekali. Walau jujur saja, warna marun dan istrinya, sama sekali
tak boleh disandingkan terlalu sering. Sebab, hal itu dapat
membahayakan kinerja aliran darahnya. “Nunggu saya?” ia
membuka jam tangan dan meletakkannya di nakas.

Nyala mengangguk sambil berdiri. Didekatinya sang suami


dengan mulut terkunci. Dan ketika akhirnya mereka sudah
berdiri berhadapan, Nyala membantu membuka kancing
kemeja pria itu satu persatu. “Iya, Mas. Aku nungguin Mas
pulang,” walau senyumnya terkulum manis. Percayalah,
jantung Nyala tengah berdetak tak keruan. “Mas udah
makan?” ia mencoba memasang tampang bodoh ketika
melihat ekspresi keheranan di wajah pria itu.

“Kamu bilang apa?”

Nyala tahu, pria itu sedang mencoba mengoreksi panggilan


yang ia sematkan barusan. Tetapi, Nyala sudah terlanjur malu
untuk mengatakan bahwa ia mendadak amnesia. Jadi,ia harus
meneruskan semua ini. “Aku bilang, Mas udah
makan?” tanyanya disisipi senyum kecil.

Selama sesaat, Harun tak bereaksi. Ia membiarkan wanita itu


membuka satu per satu kancing kemejanya. Menanggalkan
kemeja tersebut dari tubuhnya ketika tak ada lagi kancing
yang tersisa. Menyisakan tubuh Harun dengan kaus dalaman
saja. “Kamu bilang apa tadi?” ia melempar pertanyaan
serupa. Walau pada kenyataannya, ia tahu betul maksud
sang istri.

“Mas beneran nggak denger, aku nanya apa tadi?” Nyala masih
mempertahankan ekspresi polos di wajah.

Harun mendengkus demi menyamarkan rasa geli di ujung


bibirnya. Matanya berpendar jenaka, kala kembali
menjadikan mata sang istri sebagai fokus utama. Ia
angkatnya sebelah tangan, kemudian Harun membuai pipi
lembut istrinya dengan punggung jemari. “Istri saya terlihat
sangat manis malam ini.”

Nyala mengulum senyum malu-malu. “Iya, istrinya Mas


Harun, memang manis, ya, malam ini?” Nyala terkekeh.
Hilang sudah sikap masa bodohnya tadi. Kini, ia mengubur
wajahnya di atas dada pria itu. “Saya aslinya malu banget,
Pak,” ucapnya jujur.

“Lho, kenapa jadi Bapak lagi?” Harun melagukan protes.


Nyala mengangkat wajahnya yang tersembunyi di dada pria
itu. Mendongak demi menatap Harun Dierja. “Bapak
nggak
marah?”

“Agak tersinggung sebenarnya, karena kamu tidak konsisten


memanggil saya,” Harun berpura-pura menghela napas kecewa.

“Kalau gitu, Mas?”

“Saya sudah agak lama menunggunya.” “Kenapa nggak

langsung bilang?”

“Saya lebih menyukai kamu melakukannya dengan kerelaan.


Bukan karena kewajiban. Dan Nyala, terima kasih.”

“Untuk panggilan tadi?”

Harun mengangguk membenarkan. “Saya suka,” ia kecup


kening Nyala dengan bibir melengkung indah. “Saya benar-
benar menyukai apa pun dilakukan istri saya ketika
menyambut kepulangan saya,” tuturnya melanjutkan.
“Panggilan yang manis, dan marun yang magis,” bisiknya
seraya mengelus punggung sang istri. “Dan saya sedang
memeluk Nyala Sabitah, istri sah Harun Dierja.”

Malam ini indah.

Lebih dari sekadar damba yang membara. Mereka hanya


sedang jantu cinta.
Rupanya, debar mereka benar-benar sama.

TAMAT

***

Anda mungkin juga menyukai