Pernikahan Politik
Politik Indonesia
#Nusantara Jaya
Politik Indonesia
Hiburan. Popular
Tiket GDA
#GDAInJakarta
#Newjeans
#Bella
Ketua MK
Ngabruuttt …
Happybday @happybday
Reply @Politikboncos
Yanuaribut @yanuribut
Reply @Politikboncos
Rindu Kamu@missyou
Reply @Politikboncos
Dan gue ykn, Pak ketum jg oke2 aja dijodohin sm anak Sekjennya
Di base sebelah, bnyak yg nemu foto2 istrinya Pak ketum wktu msh eksis jd
FL di Nusantara Jaya. Itu temen2 FLnya, gak ada yg ngeh ya, kalo doi
istrinya ketum mereka?
MenaraJini @Mjini
Reply @Politikboncos
Reply @Politikboncos
Jdi inget dulu, anaknya pendiri partai P*N jg nikah sm anak kader
partainya jg. Yg skrg kadernya itu udh jdi Ketum P*N. tpi anak2 mereka
akhrnya cerai, ya? Itu lho, partai yg suka nyanyi2 wkwkk. Admin NJ, kalo
bisa sekalian spill aja foto2 nikahnya. Biar gk pro kontra lgi.
Kodomotemanbaikku @komodoinduk
Reply @Politikboncos
Reply @Politikboncos
Reply @Politikboncos
Fix, 35 thn ke depan, kita bakal ngeliat duet maut di ajang Pilpres antara
Jun Ethass sama Biru Aminoto. Moga gue masih hidup sih. biar gue ss nih
tweet, buat bukti ke anak cucu gue. kalau gue udh bisa memprediksi masa
depan hhhh
Reply @Politikboncos
Plis deh, laki lo Harun Dierja dan lo anaknya Sanusi Wijaya, lo tinggal
tunjuk aja berlian yg lo mau. Jdi, buat cewe2 yg msh doyan jajan tiket
konser, saran gue terusin aja. Krna sayang duitnya kalo ditahan2 buat beli
berlian.
Reply @Politikboncos
Gue beneran ketemu mereka sebulan yg lalu. ternyata bener, ya, Ibu Nyala
istrinya Pak Harun. Mana si Ibu ini sopan bgt lho. Semeja sama suaminya,
tpi beneran bisa bersikap professional mereka. salut. Apapun yg wktu itu
sedang dijaga, semoga bahagia selalu ya Bapak dan Ibu Aminoto.
Popyank @Popyank
Reply @Politikboncos
Yg gue permasalahin, knpa wktu itu Pak Sanusi ngakunya suami dri
anaknya udah meninggoy? Ada apa sebnrnya dibalik pernikahan mereka?
apa ada yg ngancam mereka, ya? Mknya, pernikahannya disembunyikan
bgt? Politik ngeri ya? Tapi gue gk rela kalo ketum kesayangan gue diancam
org gila.
Cijantunghati @Cijan
Reply @Politikboncos
Umur istrinya baru 27 thn, Harun Dierja 38 thn. Gap 11 thn. Tpi yg satu
anak pendiri partai plus pengusaha. Dan yg satu lagi anaknya Sekjen partai
dan pemilik Widjaja Group. Biru, kalau nnti kamu kesepian butuh temen
main. Om rela, ninggalin gaji UMR ini buat nemenin mama kamu. Eh,
kamu maksudnya.
Lovata @lova
Reply @Politikboncos
@Mila @Fera ini lho yg aku ceritain wktu kita VC kemarin. Ayah bilang,
omnya seumuran ayah, tpi baru aja pnya anak. sementara ayahku, anaknya
udah remaja wkwkwk.. kok bisa ya, nikahnya gk mau barengan aja sma ayah
bundaku? Eh, kalian kalo bls, jgn mention oka. Ntar dia ngadu ke bunda.
Reply @Politikboncos
Ponakan gue udh trending aja nih @Baguscaleg lu gk mau pansos sm Biru,
Gus?
***
“Seminggu langsung diakikahin, Mas?”
Harun mengangguk.
Selain berada di kamar VVIP, Nyala juga berada di lantai ini sebagai
pasien satu-satunya. Ketika sang suami mengatakan ingin
menyeterilkan satu lantai untuknya, ia tidak mengira bahwa pria itu
menyewa satu lantai VVIP hanya untuk mereka. Well, saat ini benar-
benar hanya mereka bertiga. Karena secara tidak langsung, sang
sumi juga membuat jadwal besuk sendiri untuk keluarga yang ingin
datang.
Tidak boleh terlalu pagi, karena saat itu adalah jadwal khusus
mereka menyambut hari.
Dan tidak boleh lewat jam enam sore, sebab malam hari adalah
waktu istirahat.
Ya, begitulah.
“Mas, kamu ngerasa anak kita mungil banget nggak sih, Mas?”
“Nggak kok. Bayi ‘kan memang harus mungil. Kalau besar namanya
balita,” sahut Harun sambil tertawa. “Oh, iya, Putra sudah
mempersiapkan semua. EO, catering dan semacamnya. Jadi, begitu
Biru berusia tujuh hari, akikahnya sudah siap digelar.”
Ya, ampun …
Kini Nyala tahu, kenapa gaji Putra lebih besar dibanding gaji para
ajudan sang suami.
Luar biasa.
Well, yang sering datang ke sini adalah Inggrid Caturangga dan juga
istri Hadi Wijaya. Harla juga sering datang, karena rumah sakit ini
milik suaminya. Ruby datang di hari pertama. Tetapi mengingat usia
kehamilan Ruby yang semakin tua, wanita itu pun sudah
mengatakan permohonan maafnya karena tidak bisa menjenguk
sesering mungkin.
Tentu saja, Dewi Gayatri juga sempat datang menjenguk. Itu pun
hanya di hari pertama kelahiran saja. Syukurnya, tidak ada keributan
ketika kedua orangtua mereka bertemu. Saling sindir pun tak
terdengar. Karena entah kenapa, saat itu Dewi Gayatri memilih diam.
“Mas, kita belum nyatuin suara lho, mau dipanggil apa sama Biru
nanti.”
“Saya sudah bilang ‘kan, saya ingin dipanggil Bapak,” tutur Harun
setengah tertawa.
“Betul.”
“Hah? Serius? Mau aku panggil Bapak lagi aja atau gimana nih,
Mas?”
Sayang.
Sungguh, Nyala masih sangat lemah ketika mendengar kata itu dari
bibir sang suami.
Sayang.
Oke.
Nyala harus berhenti.
Well, selama berada tiga hari di rumah sakit. Harun sama sekali tidak
pernah meninggalkan sang istri. Pekerjaannya, bisa ia datangkan ke
rumah sakit. Segala berkas yang harus ia periksa atau tanda tangani,
ia minta diantar ke rumah sakit. Menerima banyak ucapan selamat,
namun Harun belum mengizinkan banyak orang mengunjungi
istrinya. Bahkan Effendy Ghazali sang kandidat kuat calon Presiden
pun, tidak ia izinkan menjengguk. Bukan apa-apa, ia hanya ingin
istrinya memulihkan kesehatannya terlebih dahulu. Terlebih, Harun
sedang senang menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya.
“Aku ngerti kok, Mas,” Nyala menggeser tubuhnya agar sang suami
dapat bersandar pada queen bed milik rumah sakit yang sudah dua
hari ini menjadi alas tubuhnya. Di hari pertama, saat masih
mengenakan infus, Nyala dibaringkan pada hospital bed elektic yang
difungsikan untuk memudahkannya, ketika ingin mengganti posisi
dari berbaring atau pun duduk bersandar. Tetapi saat infus sudah tak
dibutuhkan lagi, Nyala pun berpindah pada ranjang empuk ini.
“Tapi, aku mau protes sama kamu, boleh nggak?”
“Masa?”
Dan Harun tertawa sambil menangkap tangan istrinya itu. “Maaf, ya,
saya nggak menyadarinya.”
“Kalau begitu, mau aku panggil Bapak lagi aja, ya, kayak dulu?”
sahut Nyala kemudian. “Mana tahu, Mas canggung juga waktu aku
panggil berbeda.”
“Nggak begitu, Nyala. Iya, sa—aku minta maaf, ya? Aku benar-benar
nggak menyadarinya,” ungkap Harun sungguh-sungguh.
“Ngomong-ngomong, kamu nggak keberatan ‘kan, atas publisitas
yang lakukan?”
“Sayang kamu.”
“Saya nanti nggak akan kaget, kalau kalian mengabari saya, bahwa
Nyala hamil kembali saat usia bayi kalian baru berusia empat bulan,”
seru Inggrid tanpa tanpa merasa perlu basa-basi.
***
TUJUH
Segara Biru Aminoto, lahir dengan berat 2,9 kilogram. Panjangnya 51
senti meter. Ketika pertama kali bertemu dengan anaknya itu, Harun
sungguh merasa takjub. Tak menyangka, pada usianya yang ke 38
tahun, akhirnya ia dapat menyaksikan sendiri kelahiran darah
dagingnya. Seorang putra yang kelak akan menjadi penerusnya.
Atau, ia akan membiarkan anaknya itu, menentukan sendiri cita-cita
yang dipilihnya.
Ya, ayah.
“Saya jadi agak merasa bersalah sama kamu, Raf,” Harun sudah
berada di ruang kerjanya di Puri Indah. Nyala dan bayinya sudah
pulang sejak pukul empat sore tadi. Dan sekarang sudah hampir jam
delapan malam. Harun sedang memeriksa laporan yang sore tadi
dibawa oleh sekretaris perusahaann ke rumahnya ini. “Saya selalu
menyita waktu kamu. Kamu bahkan tidak pulang ke rumah berhari-
hari bila ikut saya pergi ke luar kota. Kamu juga selalu pulang nyaris
tengah malam. Dan terkadang, pagi-pagi sekali, kamu sudah berada
di rumah saya. Kamu tidak memiliki waktu untuk anak kamu, Raf.”
Entah karena euphoria atau karena status ini masih baru, yang jelas
Harun merasa tidak ingin jauh dari anak dan istrinya.
“Pak—“
Membuat Rafael mau tak mau menarik napas panjang yang berat.
“Baik, Pak,” jawabnya paham. “Terima kasih untuk kebaikan Bapak.”
“Terima kasih, Raf. Kamu dan Putra sangat berjasa dalam perjalanan
panjang saya satu tahun belakangan ini. Kalian juga sangat berjasa
dalam melindungi Nyala dan Biru saat dalam kandungan.”
“Pulang, Raf. Tenang saja, setelah ini saya juga akan menghubungi
Putra untuk menyuruhnya beristirahat juga.”
***
Aroma kamar ini berubah, wangi minyak telon terasa begitu nyaman
kala ia menarik napasnya dalam-dalam. Penerangannya tak
setemaram saat mereka hanya tidur berdua. Sofa menyusui berwarna
abu-abu muda, berada tak jauh dari ranjang mereka. Dan entah
kenapa, Harun menatap takjub semua itu.
“Mas?”
“Aku udah bisa jalan, Mas,” Nyala berdiri di atas kedua kakinya.
“Tapi pelan-pelan ajalah,” langkahnya pun melambat.
“Jawaban pertanyaanku itu, cuma iya atau nggak aja lho, Mas,”
Nyala menggigit bibir saat air seninya mulai berjalan keluar.
Sementara itu suaminya sudah berdiri, namun matanya tak
meninggalkan Nyala. “Kamu yakin mau punya anak satu aja?”
“Gugup?”
***
“Iya, iya, ini juga mau diambil,” sambil menghela panjang, Harun
memaksa kelopaknya terbuka. Lalu mengerjap-ngerjapkan matanya
seraya duduk. Ia bahkan sempat menguap, sempat menyugar
rambut. Kemudian, ketika tangis Biru menghantam telinga, ia pun
tersadar sepenuhnya. “Iya, iya, sebentar, Nak,” kakinya menyentuh
marmer dingin dengan sempoyongan. “Haus, ya?” ia angkat bayi itu
dengan hati-hati. “Sabar, Nak. Bapak nggak mungkin lari-larian
bawa kamu ke Ibu,” ia berusaha menasehati bayinya.
“Ck, nggak usah aneh-aneh, ya, Ibu Nyala. Sekarang sudah malam.
Dan suami kamu, laki-laki normal,” ungkap Harun dengan wajah
pura-pura menampilkan ekspresi tersinggung. “Kalau Biru sudah
selesai, bilang, ya? Aku nggak tidur kok. Cuma merem sebentar
saja.”
“Nggak kok.”
***
DELAPAN
Mayang dan Bagus benar-benar datang ke esokkan harinya.
“Udah, ya, hadiah dari gue itu ngerangkap buat ulangtahun anak lo
sampe umur lima tahun,” ucap Bagus terus terang. “Jadi nanti, kalau
dia ultah, gue nggak perlu nyumbang kado apa-apa. Kadonya udah
gue cicil dari sekarang.”
“Kamv—“
“Anjir, nih, bocah!” umpat Bagus yang kini berdiri sambil berkacak
pinggang. “La, lo saksinya ‘kan? Dia milih anak lo cewek. Gue
cowok. Yang menang bakal dapet lima juta.”
Sumpah, Nyala tak kuat menahan tawa. Bahkan dirinya, sampai tak
menegur Bagus yang baru saja menyampaikan kata kasar di depan
anaknya. Ingin sekali ia menggeplak kepala Mayang. “Iya, May,
nggak usah sok pikun elo dah. Lo kalah taruhan. Transfer gih ke
Bagus.”
Buat Nyala dan Mayang saling berpandangan dengan rona geli yang
berusaha mereka tahan mati-matian.
“Udahlah, kalau kalian mau ketawa, ya, ketawa, aja! Nggak usah
ditahan-tahan!” Bagus mencemooh dengan nada sok merajuk.
“Apaan deh lo, sok tahu banget,” kilah Nyala sembari mengalihkan
perhatian pada putranya yang terlelap. “Anak gue calon cakep masa
depan ‘kan, May?” Nyala menyentuh pipi bayinya dengan lembut.
“Ini hidungnya udah kelihatan, ya?”
“Terus, kok nggak lo namain Merah, aja?” sambar Bagus dari sofa di
seberang adik-adiknya. “Kok malah lo namain Biru sih? Gue sempet
mikir, dia keturunan Avatar yang seluruh kulitnya biru.”
“Anjir, Bagus!”
“Heh! Mulut lo, Nyala!” kini Mayang menoyor kepala kakaknya itu.
“Ya, nggaklah, kalau depan masa pendukung di Dapil gue, gue mah
berwawasan tinggi,” aku Bagus dengan gaya narsis.
Iyuuuwwhh ….
“Gue tuh menghormati laki lo banget, La. Jauuuh, sebelum gue tahu lo
nikah sama dia. Gue tuh pengin banget jadi kader NJ. Sayang aja, uang
pangkalnya mahal. Terus, iuran anggota juga nggak ngotak. Udahlah,
jangan ngobrol di kamar. Ruang tamu aja.”
“Lha, ya, iya. Nih anak pertama lo, Segara Biru. Alias laut biru.
Orang-orang juga udah pada tahu kali, kalau warna laut itu biru.
Makanya, mungkin aja nanti anak kedua lo namanya Hijau Daun.
Merah Darah. Putih Susu. Kuning Tahi.”
Sampai hari ini pun, pria itu masih WFH alias work from home.
“Lo pikir gue gila apa?” sunggut Mayang ketus. Tetapi tenang, hal
itu hanya pura-pura saja. Sebab tak lama kemudian, ia pun tertawa.
“Saya bercanda kok, Pak Harun,” ia tak lagi memanggil Harun
dengan panggilan Mas seperti tadi. “Jangan diambil hati, ya?
Bercanda kok,” tambahnya lagi tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Diem lo, Nyet,” sekali lagi Bagus menggumamkan kalimat itu. “Gue
nih kader parpol, gue harus kelihatan professional di depan ketum
partai lain. Lo jangan ganggu gue deh,” imbuhnya sambil melirik
Mayang dengan sadis.
“Dih, giliran Harun aja langsung lo jawab,” cibir Mayang sebal. “Apa
perlu nih, gue jadi atasan lo, biar lo bisa jawab pertanyaan gue
dengan lancar?” cebiknya lalu memutar tumit untuk mengikuti
Nyala dan Haarun yang berjalan terlebih dahulu ke ruang makan.
***
“Harun?”
Dan dugaan Nyala tepat.
Panggilan dari Dewi Gayatri pada sang suami, entah kenapa malah
buat dirinya tegang.
“Iya, Ma?”
“Kenapa harus di rumah ini sih, Harun? Di saat ada begitu banyak
hotel yang bisa kamu gunakan untuk menggelar acara?” tuntut Dewi
Gayatri terdengar kesal.
“Ma—“
“Apa? Kamu mau bilang kalau acara yang kamu gelar nanti
mengusung tema intimate tasyakuran, begitu?” tudingnya menebak.
“Terus, kalau memang mau diem-diem aja atau sederhana aja.
Kenapa kamu harus repot-repot bikin pengumuman kalau kamu
sudah punya istri dan anak?” cercanya terus.
“Maksudnya gimana sih, Ma?” Harun ingin ibunya itu langsung saja
mengutarakan maksud dan tujuannya. “Aku nggak paham.”
“Mama kamu benar, Run,” Hassan Aminoto kali ini menyetujui usul
istrinya. “Kamu sudah terlanjur mengungkapkan statusmu. “Bahkan,
kelahiran putramu saja sudah kamu umumkan. Jadi, lebih baik
menggelar pesta sekalian. Bila kalian ingin, kalian bisa juga sekalian
menggelar resepsi pernikahan.”
“Betul,” Dewi Gayatri mau tak mau menyetujui hal itu. “Allah lagi
benar-benar menyayangi kamu Mas Harun. Kamu diberi anak laki-
laki untuk menutup aibmu dari manusia. Walau tentu saja, segala
perbuatan kamu nanti harus dipertanggung jawabkan di akhirat.”
“Mbak Inggrid, tolong, jangan berbicara seperti itu pada anak saya,”
Dewi Gayatri langsung menyela guyonan istri dari Sanusi Wijaya itu.
“Kalau ada orang lain yang mendengarnya, mereka bisa mengira
bahwa yang ada dipikiran Harun adalah hal-hal seperti itu.”
“Lho, Mbak Dewi nggak tahu, kalau Harun memang lagi semangat-
semangatnya?” Inggrid tak gentar atas teguran tersebut. “Mereka
terhitung pengantin baru Mbak Dewi. Mereka belum puas saling
menyenangkan pasangan.”
“Aduh, Mbak Dewi ini kolot sekali sih?” cebik Inggrid dengan
gemas. “Mbak Dewi, laki-laki itu—“
“Kita juga pulang saja, Mas,” Dewi Gayatri berdiri lebih dulu dari
suaminya. “Kita juga harus mikirin Ruby. HPLnya akhir bulan ini,”
ia memberitahu.
“Apa yang membedakannya?” kali ini sahutan itu datang dari Sanusi
Wijaya. Ia sudah berdiri dan menyorot Dewi Gayatri dengan
ketajaman yang serupa. “Apa yang membedakan anak saya dengan
anak Yasona Said itu?!” tanyanya bernada garang.
***
SEMBILAN
“Di Sky Light hotel, ya, Put. Lima ratus undangan saja,” Harun
melanjutkan tanpa menunggu jawaban dari sang asisten. “Hidangan
kambingnya, langsung minta dibagikan ke anak-anak panti. Jangan
lupa sertakan amplop juga peralatan sekolah untuk mereka.
Hm, kalau kamu mau menambahkan baju-baju juga boleh. Terserah
kamu saja, Put,” ia terlampau percaya pada kinerja sang asisten.
“Hidangan untuk di hotel nanti, EOnya suruh menghubungi mama
saya saja, Put. Biar mama saya yang memilih menunya.”
“Sudah masuk dalam percetakan, Pak. Dan akan selesai siang ini.”
Oke.
Baik.
Tidak masalah.
***
Sesuai janji, Harun mengundang Ginta ke rumah pribadinya.
“Kenapa aku harus ikutan sih, Mas?” Nyala belum merasa percaya
diri dengan bentuk tubuhnya setelah melahirkan. Ia juga belum
maksimal menggunakan rangkaian skincare routinenya. Belum lagi
lingkar matanya yang sedikit banyaknya pasti terlihat karena terlalu
sering bangun di malam hari. “Aku percaya lho sama kamu. Ya,
udah, kamu aja yang ketemu sama Bu Ginta. Aku percaya, Mas.”
“Mas?” nada Nyala mendesak. Sebab sedari tadi, suaminya itu tidak
memberikan tanggapan apa-apa. “Harus sama aku banget nih,
ketemu Bu Ginta?”
“Iya, Sayang,” sahut Harun yang kali ini mengangkat wajah untuk
memberi senyuman pada sang istri.
Ya, sudahlah, karena panggilan keramat andalan telah terucap, Nyala
sebaiknya nurut saja.
Baik.
“Udah bisa sendiri kok, Mas,” Nyala tidak duduk seperti sang suami.
Ia hanya berdiri di depan pria itu saja. Membiarkan suaminya
menciumi perutnya yang mengenakan korset khusus setelah
melahirkan, Nyala mengusap rambut pria itu penuh kelembutan.
“Mas, kamu beneran ngajak aku ketemu sama Bu Ginta?”
“Ini istriku, Gin,” Harun mengusap bahu sang istri. “Aku minta maaf
karena harus melibatkan kamu dalam pernikahan kami yang
tersembunyi sebelumnya.”
“Oke, Sayang.”
Melihat interaksi Harun yang begitu luwes dengan istrinya, mau tak
mau membuat Ginta membandingkan interaksi mereka selama ini.
Pantas saja, Harun terkesan menjaga jarak darinya. Sebab, pria itu
sudah memiliki istri yang harus ia jaga keberadaannya.
“Aku ngerti, Gin,” Harun hela napas dengan gusar. “Tapi, aku juga
nggak mau menggelar jumpa pers, hanya untuk masalah itu.”
“Dua hari lagi, aku bakal menggelar acara akikah anak kami. Kamu
juga akan diundang, Gin. Dan di sana, pasti ada wartawan yang
menunggu di ruang pers. Aku akan temui mereka. sekaligus
mengonfirmasi bahwa selama ini, kamu juga tidak tahu menahu
tentang pernikahanku. Aku akan pastikan, nama kamu bersih dari
imej yang salah sasaran itu.”
“Terima kasih, Gin,” Harun membalas ikut berdiri juga. Tak lupa, ia
membantu sang istri agar bersisian dengannya. “Sekali lagi, aku
minta maaf atas ketidaknyamanan kamu dengan kabar miring yang
beredar. Hubunganku dengan istriku agak rumit di masa-masa itu.
Jadi, aku memang menahan diri untuk tidak memberitahukan
pernikahanku pada koalisi kita waktu itu.”
“Hm, okelah, sudah berlalu juga, Run,” tarikan napas Ginta yang
panjang diiringi dengan dering pada ponselnya. “Aku harus pergi,”
ia masih memiliki pekerjaan lain. “Selamat sore, Nyala.”
“Jadi, udah nggak ada masalah lagi sama Bu Ginta ‘kan, Mas?” tanya
Nyala memastikan. Karena sedikit banyaknya, ia sudah mengetahui
permasalahan itu.
“Sudah. Aku cuma perlu membuat klarifikasi saja, nanti di saat acara
anak kita,” Harun merangkul pinggang istrinya sambil membelai
wajah wanita itu. “Mumpung cantik begini, mau mengerjakan yang
lain?”
Selain diisi oleh ruang kerja, lantai tiga berisi intimate room yang tak
sengaja dipersiapkan Harun, jauh sebelum ia tahu Nyala akan
menjadi istrinya. Ruangan itu berisi sofa bed dan juga televisi super
besar yang menempel di dinding. Lantainya berlapis parket tebal.
Terdapat permadani lembut di bawah sofa bed tersebut. Diisi dengan
bantal-bantal besar, ruangan itu memiliki sliding door yang mengarah
langsung pada balkon yang luas. Beberapa kali, mereka pernah
menghabiskan waktu di sana untuk sekadar bermesraan berdua.
***
SEPULUH
Satu jam sebelum acara dimulai, Nyala dipanggil ke Presidential Suite
room yang ditempati oleh Sanusi Wijaya dan Inggrid Caturangga.
Tanpa Biru, Nyala didorong di atas kursi roda oleh suaminya. Alasan
Harun, tentu saja agar Nyala tidak terlalu lelah. Karena bagaimana
pun juga, Nyala belum diperbolehkan jalan terlalu lama. Makanya,
selama acara akikahan ini berlangsung, Harun mempersiapkan kursi
roda ini untuk istrinya.
“Hai, Nyala. Nggak apa-apa. Mama sudah sempat cerita soal kamu
beberapa waktu yang lalu. Selamat atas kelahiran anaknya, ya?”
“Terus, La, ini tuh Mas Girsa,” Inggrid beralih pada putra keduanya.
Ia menepuk-nepuk lengan anaknya itu sambil tersenyum. “Mas, ini
yang namanya Nyala. Pasang muka senyum dong sama adiknya,”
kekeh Inggrid sambil menatap putranya itu. “Nah, kalau ini istrinya
Mas Girsa, La. Yura, ipar kamu nambah, ya?” guraunya bercanda
pada sang menantu.
Pria itu lebih tinggi dari Farid Wijaya. Wajahnya mirip dengan Mama
Inggrid, rupawan dan tampan. Dan yang membedakannya dengan
Farid serta Hadi Wijaya adalah wajahnya ditumbuhi cambang tipis
hingga ke rahang. Nyala jadi ingat cerita Mayang mengenai
kemenawanan Girsa Wijaya yang dingin. Sepertinya, Mayang benar.
Sebab, ekspresi pria itu sama sekali tak nampak bersahabat. Bahkan,
ketika ia menatapnya. Nyala merasa, ia sedang dikuliti habis-
habisan.
“Belum jelas,” komentar Harun tanpa jeda. “Tapi, ya, bisa kita
bicarakan,” timpalnya lagi tanpa ekspresi berarti.
***
“Terus tadi, waktu ketemu sama lo, mereka nggak yang mandang lo
sinis gitu ‘kan?”
“Gue juga salaman sama bakal calon Presiden, May. Gue dipeluk
calon Ibu Negara. Dikasih hadiah sama calon wakilnya juga. Gilak,
bahkan gue foto bareng mareka,” ungkap Nyala takjub. “Tapi yang
bikin gue speechless tentunya, kedatangan Pak Presiden tadi.
Jantungan gue, May. Seumur hidup, gue nggak pernah ngebayangin
bakal disalamin sama Presiden.”
“Yang iri dengki sama lo, pasti makin kepanasan, ya, La?”
Ajeng dan Rani juga hadir atas undangan yang ia pinta pada sang
suami. Mereka merupakan satu-satunya staff DPP biasa yang
menghadiri acara akikah anaknya ini. Dan sungguh, Nyala benar-
benar sangat bersyukur dengan kehadiran mereka berdua. Ia ingat,
bagaimana ia menangis saat berpelukan dengan kedua rekan
kerjanya itu. Tiga tahun bekerja bersama, mereka benar-benar teman
yang Nyala miliki. Minus Adisti, yang ternyata telah berkhianat.
“Menurut lo begitu?”
“Iya ‘kan? kita dulu dikenal cuma sebagai anak Lidia janda gatel
tukang rayu laki orang,” Mayang menambahkan sambil meringis.
“Inget nggak sih lo, La. Kita selalu disepelekan tetangga. Mereka
bilang, nasib kita paling nggak jauh-jauh kayak mama. Godain laki
orang. Kerjanya pamer selangkangan. Ckck, kalau inget itu, gue
pengin banget deh bayarin mulut-mulut mereka.”
“Sudah selesai?”
Seperti yang Nyala katakan, hidup ini adalah rahasia paling magis
yang tak dapat diurai dengan logis. Karena siapa yang akan
menyangka, Harun Dierja Aminoto yang tersohor sebagai ketua
umum partai Nusantara Jaya, jatuh cinta pada Nyala Sabitah yang
dulu pernah bekerja sebagai staffnya.
Well, dunia memang penuh misteri.
Tetapi demi Tuhan, Nyala jatuh hati pada garis takdirnya sendiri.
Dunia mengenalnya.
***
btw, di universe aku, Pak Harun gk punya IG. Jdi, jgn harap doi
posting2 foto di feednya.
di IGS aku, kalu belum ilang, ada tuh postingan Nyala sama
anaknya. hahaha cuma iseng2 aja beb, jgn kalian cari akunnya,
karena gk ada hahaha
yowess, begitu ajaa yaaa sampai ketemu kapan2. dan sampai jumpa
lagi di dongeng aku selanjutnyaaaa
tengkyuu semuanyaaaa ….