Anda di halaman 1dari 63

Nyala Rahasia ; Extra Part ; Enam

- Tujuh - Delapan - Sembilan -


Sepuluh
ENAM
Cari X

Tren Untuk Anda

Sedang tren dalam topik Indonesia

Pernikahan Politik

Politik Indonesia

Gaji Admin Partai

#Nusantara Jaya

Politik Indonesia

Lagi-lagi Harun Dierja

Hiburan. Popular

Tiket GDA

#GDAInJakarta

#Newjeans

#Bella

Sedang tren saat ini

Nyala Sabitah Wijaya

Sedang tren dalam topik Indonesia

Jun Ethass x Biru Aminoto


#thenextgenerationpolitics

Sedang tren dalam topik Indonesia

Ketua MK

Tampilkan lebih banyak

Politik boncos @Politikboncos

Harun Dierja lagi-lagi buat geger, guys!

Kali ini, ulah admin partainya awokawok

Please, Nusantara Jaya naikin gaji admin lo!

Di spill sendiri sama adminnya, guys!

Netizen : sakit kepala nyari-nyari cocokologi siapa istri Harun Dierja

Admin NJ belike : spill ah, kasian rakyat konoha

Ngabruuttt …

*pict source IG Partai Nusantara Jaya

#LagilagiHarunDierja #Pernikahanpolitik #Nyalasabitahwijaya


#AdminNJ

11.705 Retweet 9.982 QuoteRetweet 21.029 Like

Happybday @happybday

Reply @Politikboncos

Nder, admin NJ lagi meringankan beban kita.

Sana salim dulu di kolom komentar IGnya.


Istrinya cakep nder, aura kasihnya terpancar hahaha

Yanuaribut @yanuribut

Reply @Politikboncos

Katanya pernikahan politik, guys.

Keluarga Aminoto pnya utang budi sm keluarga Wijaya.

Dijodohin deh anak2nya.

Enak, ya, jdi org kaya, gk pusing2 nyari jodoh yg setara

Rindu Kamu@missyou

Reply @Politikboncos

Gue jg mau kalo dijodohin sm Harun Dierja.

Dan gue ykn, Pak ketum jg oke2 aja dijodohin sm anak Sekjennya

Muluss abiss. Cantik.

Di base sebelah, bnyak yg nemu foto2 istrinya Pak ketum wktu msh eksis jd
FL di Nusantara Jaya. Itu temen2 FLnya, gak ada yg ngeh ya, kalo doi
istrinya ketum mereka?

MenaraJini @Mjini

Reply @Politikboncos

Pengin komen the real Cinderela naik tahta.

Tpi lgsg inget, si mbaknya anak Sanusi Wijaya wkwkwk

Tahta mereka sama cuy.


Italiani sukamaja@italiani

Reply @Politikboncos

Nikahnya dijodohin gk sih?

Bpknya sama2 politisi. Mereka satu partai pula.

Jdi inget dulu, anaknya pendiri partai P*N jg nikah sm anak kader
partainya jg. Yg skrg kadernya itu udh jdi Ketum P*N. tpi anak2 mereka
akhrnya cerai, ya? Itu lho, partai yg suka nyanyi2 wkwkk. Admin NJ, kalo
bisa sekalian spill aja foto2 nikahnya. Biar gk pro kontra lgi.

Kodomotemanbaikku @komodoinduk

Reply @Politikboncos

Btw, beda 11 thn mereka.

Ketum NJ suka membimbing ya.

Liat aja abis ini, bnyak cewe yg typenya #lagilagiHarunDierja

dewasa, mapan, tampan dan hanya mengendap diangan

Harapan Ortu @hartu

Reply @Politikboncos

Mbaknya lg hamil aja cantik bgt wktu itu.

Gmna nnti abis lahiran, ya?

Menang bnyak Harun Dierja, dpt daun muda.

Mana kaya raya lagi


Agam Muda @agammuda

Reply @Politikboncos

Fix, 35 thn ke depan, kita bakal ngeliat duet maut di ajang Pilpres antara
Jun Ethass sama Biru Aminoto. Moga gue masih hidup sih. biar gue ss nih
tweet, buat bukti ke anak cucu gue. kalau gue udh bisa memprediksi masa
depan hhhh

Alex Gianjar @AlexG

Reply @Politikboncos

Di base sebelah cewe2 lgi ributin hrga berlian si mbaknya

Plis deh, laki lo Harun Dierja dan lo anaknya Sanusi Wijaya, lo tinggal
tunjuk aja berlian yg lo mau. Jdi, buat cewe2 yg msh doyan jajan tiket
konser, saran gue terusin aja. Krna sayang duitnya kalo ditahan2 buat beli
berlian.

Dave Herlambang @Daveherlambang

Reply @Politikboncos

Hm, beneran ‘kan?

Gue beneran ketemu mereka sebulan yg lalu. ternyata bener, ya, Ibu Nyala
istrinya Pak Harun. Mana si Ibu ini sopan bgt lho. Semeja sama suaminya,
tpi beneran bisa bersikap professional mereka. salut. Apapun yg wktu itu
sedang dijaga, semoga bahagia selalu ya Bapak dan Ibu Aminoto.

Popyank @Popyank

Reply @Politikboncos

Yg gue permasalahin, knpa wktu itu Pak Sanusi ngakunya suami dri
anaknya udah meninggoy? Ada apa sebnrnya dibalik pernikahan mereka?
apa ada yg ngancam mereka, ya? Mknya, pernikahannya disembunyikan
bgt? Politik ngeri ya? Tapi gue gk rela kalo ketum kesayangan gue diancam
org gila.

Cijantunghati @Cijan

Reply @Politikboncos

Umur istrinya baru 27 thn, Harun Dierja 38 thn. Gap 11 thn. Tpi yg satu
anak pendiri partai plus pengusaha. Dan yg satu lagi anaknya Sekjen partai
dan pemilik Widjaja Group. Biru, kalau nnti kamu kesepian butuh temen
main. Om rela, ninggalin gaji UMR ini buat nemenin mama kamu. Eh,
kamu maksudnya.

Lovata @lova

Reply @Politikboncos

@Mila @Fera ini lho yg aku ceritain wktu kita VC kemarin. Ayah bilang,
omnya seumuran ayah, tpi baru aja pnya anak. sementara ayahku, anaknya
udah remaja wkwkwk.. kok bisa ya, nikahnya gk mau barengan aja sma ayah
bundaku? Eh, kalian kalo bls, jgn mention oka. Ntar dia ngadu ke bunda.

Mayang Elvi @mayangelvi

Reply @Politikboncos

Ponakan gue udh trending aja nih @Baguscaleg lu gk mau pansos sm Biru,
Gus?

Mumpung lgi panas2nya nih. Hahaha

***
“Seminggu langsung diakikahin, Mas?”

Harun mengangguk.

Selain berada di kamar VVIP, Nyala juga berada di lantai ini sebagai
pasien satu-satunya. Ketika sang suami mengatakan ingin
menyeterilkan satu lantai untuknya, ia tidak mengira bahwa pria itu
menyewa satu lantai VVIP hanya untuk mereka. Well, saat ini benar-
benar hanya mereka bertiga. Karena secara tidak langsung, sang
sumi juga membuat jadwal besuk sendiri untuk keluarga yang ingin
datang.

Tidak boleh terlalu pagi, karena saat itu adalah jadwal khusus
mereka menyambut hari.

Tidak boleh juga di jam makan siang, karena selepas menghabiskan


makan siangnya, Nyala juga mengasihi putra mereka. Kemudian
tidur siang.

Dan tidak boleh lewat jam enam sore, sebab malam hari adalah
waktu istirahat.

Ya, begitulah.

Luar biasanya, tidak ada yang protes terhadap jadwal tersebut.

Entah karena malas berdebat, atau justru mereka berpendapat bahwa


Nyala tidak terlalu penting untuk dibesuk sering-sering. Mengingat
bagaimana perangai Ibu Dewi Gayatri saat pertama kali datang
menjenguknya di hari pertama, Nyala sangsi dapat memenangkan
hati ibu mertuanya itu suatu hari nanti.

Bukan apa-apa, wanita setengah baya itu nyaris tidak mengatakan


apa pun saat berkunjung. Tidak juga melihat putranya. Hanya duduk
dan satu jam kemudian pulang.
Astaga, Nyala tidak boleh seperti ini.

Lagi-lagi, ia harus mencoba membesarkan hati.

“Mas, kamu masih sibuk?” ia panggil sang suami demi menghalau


resah yang tak seharusnya singgah.

“Sudah selesai kok, sebentar, ya?” jawab Harun usai menutup


zoom meetingnya pada perwakilan kader-kader di tiap propinsi.
“Biru sudah selesai nyusu?” tanyanya sambil menatap keluarga
kecilnya.

“Mas, kamu ngerasa anak kita mungil banget nggak sih, Mas?”

“Nggak kok. Bayi ‘kan memang harus mungil. Kalau besar namanya
balita,” sahut Harun sambil tertawa. “Oh, iya, Putra sudah
mempersiapkan semua. EO, catering dan semacamnya. Jadi, begitu
Biru berusia tujuh hari, akikahnya sudah siap digelar.”

Diam-diam, Nyala meringis dalam hati. “Maksudnya, Mas Putra


juga yang nyariin kambing buat acara akikah nanti, Mas?” tanya
Nyala sedikit sangsi.

“Iya,” Harun mengangguk tanpa prasangka apa-apa. “Sudah


dipesan kok. Pokoknya, semua sudah disiapkan oleh Putra.”

Ya, ampun …

Kini Nyala tahu, kenapa gaji Putra lebih besar dibanding gaji para
ajudan sang suami.

Sebab, ya, pekerjaannya benar-benar mengurus segala keperluan


atasannya itu.

Dari mulai urusan pekerjaan, sampai masalah kehidupan


personalnya.

Luar biasa.

Sungguh, Putra Fernandi memang teramat berdedikasi tinggi.

“Mas Putra itu keren, ya, Mas? Dia serba bisa.”

Nyala tak lagi mengenakan selang infus. Bahkan, di hari kedua


perawatannya di rumah sakit ini. Dan ia akan pulang sore nanti.
Tinggal menunggu dokter visit. Tapi, akan ada seorang perawat akan
ikut bersama mereka sampai satu bulan ke depan. Khusus untuk
mengajari Nyala dalam merawat si kecil. Padahal, di rumah mereka
juga ada seorang nanny yang bersertifikasi dari yayasan terpercaya.

Harun menutup laptop dan meregangkan tubuh sejenak. Lalu, ia


pun melangkah menuju ranjang sang istri. Tatapannya langsung
menghangat, begitu melihat putra mereka terlelap. Duduk di tepi
ranjang perawatan, Harun mengelus pipi sang putra dengan
punggung telunjuknya. “Dia terus-menerus tidur,” ungkapnya
dengan senyum tak lekang.

“Karena, yang terus-menerus ngurusin aku, itu kamu, Mas,” canda


Nyala sambil mengerutkan hidung agar terlihat lucu.

“Benar,” Harun mengangguk setuju. “Dia lebih baik tidur. Karena


saya sedang kerepotan mengurus ibunya,” ia mengelus kepala Nyala
dengan sayang. “Saya nggak akan berhenti bilang terima kasih sama
kamu, Nyala,” imbuhnya sambil mengecup kening sang istri.
“Terima kasih karena memilih bertahan di samping saya.”

Ditatap selembut itu, Nyala langsung tersipu. Pipinya menghangat


dan rasanya, ia masih saja salah tingkah. Dipandanginya sang putra
demi memutus tatap Harun Dierja yang kerap membuatnya lemah.
“Dia lucu, ya, Mas?”

Harun mengangguk membenarkan.

“Ternyata seperti ini, ya, Mas, hasil kolaborasi kita berdua.”

Harun menggeleng menanggapi perkataan sang istri.

Sekarang jam sembilan pagi.

Belum ada yang datang mengunjungi istrinya.

Well, yang sering datang ke sini adalah Inggrid Caturangga dan juga
istri Hadi Wijaya. Harla juga sering datang, karena rumah sakit ini
milik suaminya. Ruby datang di hari pertama. Tetapi mengingat usia
kehamilan Ruby yang semakin tua, wanita itu pun sudah
mengatakan permohonan maafnya karena tidak bisa menjenguk
sesering mungkin.

Dan bagaimana dengan ibunya Harun?

Tentu saja, Dewi Gayatri juga sempat datang menjenguk. Itu pun
hanya di hari pertama kelahiran saja. Syukurnya, tidak ada keributan
ketika kedua orangtua mereka bertemu. Saling sindir pun tak
terdengar. Karena entah kenapa, saat itu Dewi Gayatri memilih diam.

“Mas, kita belum nyatuin suara lho, mau dipanggil apa sama Biru
nanti.”

“Saya sudah bilang ‘kan, saya ingin dipanggil Bapak,” tutur Harun
setengah tertawa.

Nyala tertular tawa sang suami. Kemudian, ia menatap putra mereka


sambil tersenyum lebar. “Panggilan Bapak dari aku tuh
memoriable banget, ya, Mas? Sampai kamu pengin terus dipanggil
gitu?” Nyala hanya berkata dengan asal. Tetapi siapa menyangka,
bahwa sang suami langsung mengiakannya.

“Betul.”

“Hah? Serius? Mau aku panggil Bapak lagi aja atau gimana nih,
Mas?”

Harun berdecak, ia tarik hidung mancung Nyala kemudian


mengelus pipinya perlahan.. “Saya suka dipanggil Bapak oleh anak
kita. Tapi oleh kamu, saya sangat menyukai panggilan Mas baru-
baru ini.”

“Idiih, jokesnya bapak-bapak ternyata memang gini banget, ya?”


Nyala merasa geli mendengar Harun ternyata bisa bercanda. “Jadi,
Bapak nih?” tanya Nyala sekali lagi. Saat suaminya mengangguk,
Nyala mengalihkan tatapan pada bayi mereka. “Mas Biru, inget, ya,
Bapak kamu itu Harun Dierja. Nanti, kalau Mas Biru udah di rumah,
lengketnya sama Bapak aja, ya, Mas? Soalnya Ibu mau prepare buat
yoga. Bapakmu, bakal datangin instruktur buat Ibu di rumah. Biar
nanti, waktu Bapakmu pelantikan, perut Ibu udah kenceng. Ya, kan,
Mas?” sekarang tatapan Nyala kembali terarah pada sang suami.

Harun mengangguk dengan senyum tipis. Sementara tangannya


bergerak ke depan tuk membelai kepala istrinya. “Iya, Sayang.”

Sayang.

Sungguh, Nyala masih sangat lemah ketika mendengar kata itu dari
bibir sang suami.

Sayang.

Oke.
Nyala harus berhenti.

Ia menyerahkan Biru kepada suaminya. Meminta pria itu untuk


memindahkan anak mereka ke dalam box bayinya saja.

Well, selama berada tiga hari di rumah sakit. Harun sama sekali tidak
pernah meninggalkan sang istri. Pekerjaannya, bisa ia datangkan ke
rumah sakit. Segala berkas yang harus ia periksa atau tanda tangani,
ia minta diantar ke rumah sakit. Menerima banyak ucapan selamat,
namun Harun belum mengizinkan banyak orang mengunjungi
istrinya. Bahkan Effendy Ghazali sang kandidat kuat calon Presiden
pun, tidak ia izinkan menjengguk. Bukan apa-apa, ia hanya ingin
istrinya memulihkan kesehatannya terlebih dahulu. Terlebih, Harun
sedang senang menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya.

“Mas, nanti Mayang sama Bagus boleh diundang ‘kan, ke acara


akikah anak kita?” tanya Nyala hati-hati.

“Kenapa nggak boleh?” balas Harun segera. “Memangnya kenapa


mereka nggak boleh datang? Mereka keluarga kamu. Sudah
seharusnya mereka memang berada di sisi kamu.”

Hanya karena kini Nyala sudah diakui keberadaannya oleh keluarga


Wijaya, tak membuat Nyala lantas hanya berfokus pada keluarga itu
saja. Karena jauh sebelum keluarga tersebut mengakuinya, Nyala
sudah hidup sangat lama dengan Mayang dan Bagus di sisinya.
Walau hubungan mereka tidak harmonis, tetapi mereka juga tidak
bermusuhan. Ikatan di antara mereka sangat fleksibel. Mereka tidak
mengikat, namun tidak jua melepas.

“Kamu bahkan boleh mengundang mereka mulai besok sampai


kapan pun semau kamu,” ujar Harun lagi. Ia duduk kembali di
samping sang istri. Membelai wajah wanita itu dengan hati-hati.
“Saya begitu menyayangi kamu, Nyala. Saya sama sekali tidak
bermaksud kejam dengan melarang banyak orang yang ingin
menjenguk kamu. Saya cuma ingin kamu istirahat. Saya cuma ingin
menghabiskan hari-hari awal kelahiran putra kita, dengan
bercengkrama bertiga seperti ini. Karena ketika musim kampanye
nanti dimulai, saya terpaksa harus meninggalkan kamu dan bayi kita
untuk bekerja.”

“Aku ngerti kok, Mas,” Nyala menggeser tubuhnya agar sang suami
dapat bersandar pada queen bed milik rumah sakit yang sudah dua
hari ini menjadi alas tubuhnya. Di hari pertama, saat masih
mengenakan infus, Nyala dibaringkan pada hospital bed elektic yang
difungsikan untuk memudahkannya, ketika ingin mengganti posisi
dari berbaring atau pun duduk bersandar. Tetapi saat infus sudah tak
dibutuhkan lagi, Nyala pun berpindah pada ranjang empuk ini.
“Tapi, aku mau protes sama kamu, boleh nggak?”

Kening Harun berkerut. “Protes apa?”

Bibir Nyala mengerucut, dengan tampang sebal ia menatap pria itu


lekat-lekat. “Kamu yakin, masih mau saya-sayaan terus sama aku?”
ia mulai mengeluarkan uneg-uneg di kepala. “Aku ini udah ngasih
anak buat kamu lho, Mas. Masa iya, aku harus kalah sama hubungan
kamu sama Bu Ginta yang katanya nggak ada apa-apa, tapi kamu
udah aku-kamuan sama dia.”

“Masa?”

“Mas, iihhh …,” Nyala memukul lengan atas sang suami.

Dan Harun tertawa sambil menangkap tangan istrinya itu. “Maaf, ya,
saya nggak menyadarinya.”

“Nah, itu, apa barusan?!” Nyala kembali melayangkan protes.


“Oh, iya,” Harun terkekeh. Ia membenarkan kacamatanya yang
bergeser akibat tawanya barusan. “Karena kita dulunya terlibat
hubungan professional. Makanya, a—aku agak, ehem … canggung
memulainya.”

“Kalau begitu, mau aku panggil Bapak lagi aja, ya, kayak dulu?”
sahut Nyala kemudian. “Mana tahu, Mas canggung juga waktu aku
panggil berbeda.”

“Nggak begitu, Nyala. Iya, sa—aku minta maaf, ya? Aku benar-benar
nggak menyadarinya,” ungkap Harun sungguh-sungguh.
“Ngomong-ngomong, kamu nggak keberatan ‘kan, atas publisitas
yang lakukan?”

Maksud Harun adalah ketika ia akhirnya memerintahkan admin


sosial media partainya untuk memposting sebuah foto yang memuat
siluet mereka bertiga. Demi memberitahukan bahwa putra pertama
Harun telah lahir. Sekaligus, menjawab pertanyaan-pertanyaan
banyak orang mengenai siapa istrinya.

“Banyak yang ngefollow aku, Mas. Tapi, untungnya Instagram aku,


udah lama aku private,” ucap Nyala sambil meringis. “Tapi
kayaknya, temen-temen aku di IG tuh banyak yang cepu, Mas. Masa,
foto-foto aku di IG mendadak nyebar ke mana-mana. Untung aja,
nggak ada yang aneh-aneh di situ, Mas.”

“Untungnya aku nggak punya sosmed,” entah kenapa Harun merasa


lega mendengar hal itu. “Tetapi intinya, sekarang orang-orang sudah
tahu kalau kamu adalah istri saya,” ungkap Harun lembut. Ia
rebahkan kepala sang istri di bahunya. Ia kecupi puncak kepala
tersebut dengan segurat wajah memperlihat kelembutan. “Kamu
nggak keberatan ‘kan?”

Nyala menggeleng sambil mendekap lengan sang suami. “Suamiku


Harun Dierja, Mas. Aku justru senang diakui sama kamu,” kekehnya
dengan tawa renyah.

“Sayang kamu.”

Dan berakhir dengan bibir mereka yang saling melumat.

Hingga keduanya tak sadar, bahwa pintu ruangan mereka terbuka.

Inggrid Caturangga berdiri di sana bersama suaminya dengan saling


menatap, pasrah.

Ckckck, pasangan muda memang susah dihentikan.

“Saya nanti nggak akan kaget, kalau kalian mengabari saya, bahwa
Nyala hamil kembali saat usia bayi kalian baru berusia empat bulan,”
seru Inggrid tanpa tanpa merasa perlu basa-basi.

Buat sepasang suami istri tersebut tersentak. Mereka sontak melepas


tautan bibir yang tadi terjalin. Lalu berdeham salah tingkah.

“Mama?!” Nyala meringis menahan malu.

Inggrid hanya berdecak, ia menatap Harun Dierja dengan tatapan


malas. “Kamu harus langsung pake KB, La. Harun, nggak bisa
dipercaya,” ujarnya sinis.

Sementara itu, Sanusi mendengkus terang-terangan. Namun, ia tak


mengatakan apa-apa. Ia langsung saja duduk dengan raut wajah tak
bersahabat. “Kalau kamu luang, sebaiknya kamu pergi untuk
mengurusi kader-kadermu,” himbauan itu tentu saja ditujukan
untuk Harun Dierja. “Jangan sampai mereka berpikir bahwa ketua
umumnya sedang bermalas-malasan,” sindirnya telak.

Sesungguhnya, Harun ingin membalas.


Tetapi, ia tidak ingin membuat suasana menjadi panas.

Sanusi Wijaya dan juga Inggrid Caturangga sudah berbaik hati,


selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi istri dan anaknya.

“Well, saya hanya sedang merayakan momen-momen berharga saya


sebagai orangtua,” Harun membela dirinya sambil mengedikkan
bahu seolah tak terpengaruh pada ekspresi sinis Sanusi Wijaya.

***

TUJUH
Segara Biru Aminoto, lahir dengan berat 2,9 kilogram. Panjangnya 51
senti meter. Ketika pertama kali bertemu dengan anaknya itu, Harun
sungguh merasa takjub. Tak menyangka, pada usianya yang ke 38
tahun, akhirnya ia dapat menyaksikan sendiri kelahiran darah
dagingnya. Seorang putra yang kelak akan menjadi penerusnya.
Atau, ia akan membiarkan anaknya itu, menentukan sendiri cita-cita
yang dipilihnya.

Intinya, Harun hanya merasa percaya, bahwa kini statusnya telah


berubah.

Tak sekadar menjadi suami, sekarang ia merupakan seorang ayah.

Ya, ayah.

Ayah dari Segara Biru Aminoto.

Istrinya memanggil sosok bayi tersebut dengan sebutan Mas Biru.

Tetapi, Harun masih teramat canggung untuk mengikuti panggilan


tersebut.

“Saya jadi agak merasa bersalah sama kamu, Raf,” Harun sudah
berada di ruang kerjanya di Puri Indah. Nyala dan bayinya sudah
pulang sejak pukul empat sore tadi. Dan sekarang sudah hampir jam
delapan malam. Harun sedang memeriksa laporan yang sore tadi
dibawa oleh sekretaris perusahaann ke rumahnya ini. “Saya selalu
menyita waktu kamu. Kamu bahkan tidak pulang ke rumah berhari-
hari bila ikut saya pergi ke luar kota. Kamu juga selalu pulang nyaris
tengah malam. Dan terkadang, pagi-pagi sekali, kamu sudah berada
di rumah saya. Kamu tidak memiliki waktu untuk anak kamu, Raf.”

“Itu sudah tugas saya, Pak,” Rafael menjawab lugas.

“Iya saya tahu,” Harun menutup berkas berisi perpanjangan


kerjasama perusahaannya. Kemudian, ia pun melipat kedua
tangannya di atas meja. Menatap sang ajudan lekat. Putra sedang
bersama Wakil Ketua Umum Nusantara Jaya. Semenjak Harun
mengajukan cuti, ia menugaskan Putra mengawasi jalannya DPP
Nusantara Jaya di bawah pimpinan wakilnya. “Tapi tugas kamu itu,
membuat waktu kamu bersama anak kamu nyaris tidak ada. Benar
begitu ‘kan, Raf?”

Kini, ia sudah menjadi seorang ayah.

Entah karena euphoria atau karena status ini masih baru, yang jelas
Harun merasa tidak ingin jauh dari anak dan istrinya.

Ah, kalau diingat-ingat, anak Rafael bahkan tidak didammpingi oleh


ibunya. Wanita gila yang dinikahi Rafael, justru kabur entah ke
mana.

“Kamu boleh pulang lebih awal, Raf.”


Rafael mengerjap. “Pak, saya nggak apa-apa. Dan anak saya, juga
sudah terbiasa. Sudah ada yang menjaganya di rumah, Pak. Bapak
nggak perlu merasa bersalah. Saya memiliki tanggung jawab untuk
memastikan Bapak aman.”

“Perkataan kamu barusan, justru membuat saya semakin merasa


bersalah, Raf,” Harun mengehela napas. Ia kemudian menyandarkan
punggungnya ke belakang. “Pulang sekarang, Raf,” kali ini bukan
sekadar penawaran. Harun sedang memerintahkan tugas baru untuk
sang ajudan. “Pulang sekarang. Dan untuk besok, datang ke sini
menjelang jam makan siang.”

“Pak—“

“Kamu mengerti, Rafael?” Harun mendikte tegas.

Membuat Rafael mau tak mau menarik napas panjang yang berat.
“Baik, Pak,” jawabnya paham. “Terima kasih untuk kebaikan Bapak.”

Harun mau tak mau mendengkus. Ia tertawa kecil sembari


mengibaskan tangannya ke udara. “Saya mengundang anak kamu,
untuk menghadiri acara akikah putra saya beberapa hari lagi.
Pastikan kamu membawanya ke sini. Saya sudah menyiapkan
hadiah untuk kebesaran hatinya, karena telah memperbolehkan saya,
memonopoli ayahnya.”

Rafael akhirnya tersenyum juga. Punggung tegaknya tampak santai.


“Terima kasih, Pak,” ungkapnya tulus.

Harun mengangguk sembari melepas kacamata sejenak. “Ternyata


begini rasanya, ya, Raf?” ia terkekeh sambil memijat pangkal
hidungnya. “Sampai saat ini, saya masih tidak menyangka, bahwa
saya sudah memiliki seorang anak.”
Kehadiran Biru, penuh kerumitan.

Semasa dalam kandungan, Biru telah menerjang banyak prahara.

“Sekali lagi, selamat atas kelahiran anaknya, Pak.”

“Terima kasih, Raf. Kamu dan Putra sangat berjasa dalam perjalanan
panjang saya satu tahun belakangan ini. Kalian juga sangat berjasa
dalam melindungi Nyala dan Biru saat dalam kandungan.”

Harun tidak bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan asisten dan


juga ajudannya. Maka dari itu, Harun tak akan melupakan jasa
mereka yang selama ini terus mendampinginya.

“Kita menyelesaikan Pemilu ini lebih awal, hanya untuk menyusun


rencana panjang demi Pemilu yang akan datang. Kalian nggak boleh
ke mana-mana, Raf. Kalian harus terus bersama saya, sampai di
masa-masa mendatang.”

“Tentu saja, Pak.”

Entah bagaimana jalannya nanti, yang jelas, Harun menginginkan


Rafael dan Putra agar terus bekerja bersamanya. Harun terlampau
yakin dengan mereka. Harun menyukai bagaimana ritme kerjasama
mereka.

“Pulang, Raf. Tenang saja, setelah ini saya juga akan menghubungi
Putra untuk menyuruhnya beristirahat juga.”

“Terima kasih, Pak. Selamat malam.”

***

Ruang kerja pribadi Harun ada di lantai tiga. Sementara ruang


meeting berskala cukup besar, terletak di lantai satu. Namun, lantai
dua merupakan sentral kehidupan di rumah ini. Tempat di mana istri
dan anaknya sedang terlelap sekarang.

Kamar Biru berada di sebelah kamar utama. Segala perlengkapan


anaknya tersebut, tersusun di kamar itu. Namun, mereka akan mulai
tidur bertiga di kamar utama mulai malam ini. Dengan box bayi yang
berada di sisi sebelah ranjang sang istri, Harun menutup pintu
perlahan-lahan.

Aroma kamar ini berubah, wangi minyak telon terasa begitu nyaman
kala ia menarik napasnya dalam-dalam. Penerangannya tak
setemaram saat mereka hanya tidur berdua. Sofa menyusui berwarna
abu-abu muda, berada tak jauh dari ranjang mereka. Dan entah
kenapa, Harun menatap takjub semua itu.

Merasa sudah cukup mengamati, Harun bergegas mengganti


pakaiannya. Ia membersihkan diri sebentar, sebelum kembali lagi
menuju kamar tidurnya. Ia sengaja berlama-lama saat melihat
anaknya. Keinginan tuk menyentuh pipinya yang lembut bak
pualam, ia tahan. Ia tidak ingin mengganggu istirahat bayinya.

“Mas?”

Rupanya, Nyala terbangun.

“Kebangun, ya?” tanya Harun setengah berbisik.

Nyala menggeleng, dengan mata setengah terpejam, ia menepuk-


nepuk sisi ranjangnya yang kosong. “Aku nyariin kamu,” akunya
namun tak kuasa membuka mata. “Tidur, Mas. Bentar lagi, Mas Biru
pasti bangun mau nyusu.”

“Iya,” Harun segera menuruti permintaan istrinya tanpa payah. Ia


berbaring di sisi ranjangnya. Menaikan selimut untuk sang istri. Lalu
menepuk-nepuk lengannya. “Mimpi indah, Sayang.”

Mata Nyala otomatis terjaga.

Sudah berkali-kali ia katakan, bahwa ia belum imun dengan


panggilan tersebut.

“Mas, ih,” khawatir salah tingkah, lebih baik ia langsung memukul


suaminya saja. “Ngomongnya itu dijaga dong, Mas. Ngagetin orang
aja,” protes Nyala tak terima. “Aduh, ssshhs …,” ia meringis ketika
akan berbalik memunggungi suaminya. Ia lupa, bahwa dirinya baru
saja melahirkan. Luka di jalan lahir putranya masih berdenyut nyeri.
Dan kini, terasa pedih.

“Kenapa?” Harun yang tadi sudah merebahkan tubuh, langsung


bangkit dengan sigap. “Sakit?” saat istrinya mengangguk, Harun
segera menyambar ponsel untuk menghubungi perawat.

“Mas, nggak usah,” meringis kecil, Nyala melarangnya. “Aku yang


ceroboh,” katanya sambil menarik napas. Ia mencoba menenangkan
diri, meluruskan kaki, kemudian menarik napas lagi. “Bantuin ke
kamar mandi, Mas,” pintanya pelan.

Harun langsung mengangguk. Dengan hati-hati, ia berdiri di depan


istrinya. “Digendong saja, ya?” tawarnya yang tiba-tiba merasa ngilu
harus melihat istrinya berjalan.

“Aku udah bisa jalan, Mas,” Nyala berdiri di atas kedua kakinya.
“Tapi pelan-pelan ajalah,” langkahnya pun melambat.

Sekali lagi, Harun hanya mengangguk saja. Ia tuntun wanita itu,


sambil menatap keadaan bayinya sekilas. “Sepertinya, aku nggak
tega, kalau harus lihat kamu kesakitan begini,” ujar Harun
menuangkan isi pikirannya. “Biru saja sudah cukup di hidup kita.”
“Maksudnya, Mas?”

“Kita punya anak satu saja,” Harun mengatakan dengan jelas.

Nyala sontak menatap sang suami dengan sebelah alis terangkat.


“Kamu yakin?” tanyanya dengan senyum geli yang mulai menyebar
di wajah. “Bukannya kamu bilang, dua atau tiga, ya?” ia ingat
obrolan ringan mereka sebelum ia melahirkan. “Bahkan kamu
nargetin lho, Mas, sebelum kamu 45 tahun,” Nyala sengaja
menjabarkannya dengan nada jenaka.

“Kamu kesakitan begini. Aku nggak tega.”

Mengulum bibirnya, Nyala duduk di atas kloset sementara Harun


Dierja berjongkok di bawahnya. Seperti ketika mereka masih berada
di rumah sakit, pria itu begitu telaten membukakan celananya. Tak
jua mengeluhkan rasa jijik saat melihat masih banyak darah yang
merembes pada pembalutnya. Membantu mengobati lukanya, walau
dengan wajah meringis seolah tengah menahan kesakitan yang sama
dengannya. “Aku tanya sekali lagi, Mas. Kamu yakin cuma mau
punya satu anak?”

“Ck, kamu masih berdarah, Nyala,” Harun memperlihatkan celana


dalam yang dikenakan sang istri pada wanita itu sendiri. “Sudah,
jangan tanya macam-macam.”

“Jawaban pertanyaanku itu, cuma iya atau nggak aja lho, Mas,”
Nyala menggigit bibir saat air seninya mulai berjalan keluar.
Sementara itu suaminya sudah berdiri, namun matanya tak
meninggalkan Nyala. “Kamu yakin mau punya anak satu aja?”

“Lihat nantilah,” ucap Harun akhirnya.

Sebuah jawaban singkat yang buat Nyala menggeleng-geleng kepala


lucu. “Udah, Mas,” setelah menekan plush dan menyalakan
bidet dengan hati-hati, Nyala meminta tisu yang kini dipegang
suaminya.

“Aku saja yang mengeringkan,” dan pria itu berjongkok kembali.


Menyingkap daster sang istri, Harun menahan ringisannya sendiri
ketika dirinya mencoba mengeringkan sisa-sisa air di bagian paling
intim di tubuh sang istri. “Sakit?”

Nyala menggeleng. Mau tak mau ia pun menatap ke bagian bawah


tubuhnya yang tak lagi memiliki rambut. Semenjak kandungannya
berusia tujuh bulan, Nyala mulai rutin mencukurnya. Ingatkan
Nyala untuk melakukan laser. Sebab, sepertinya ia tidak kuat dengan
waxing. “Mau digendong aja deh, Mas, ke kamarnya,” ia remas bahu
sang suami.

“Oke,” setelah membuang tisu ke tempat sampah, Harun kembali


membantu istrinya mengenakan celana dalam berlapis pembalut itu
kembali. “Pegangan,” Harun mengangkat Nyala penuh kehati-
hatian. “Nyaman?”

Nyala menjawabnya dengan memberi kecupan di pipi suaminya itu.


“Asal sama kamu, semuanya jadi nyaman, Mas.”

Harun berdecak geli. “Kita tukar posisi tidur, ya?” Harun


merebahkan Nyala di sisi ranjang yang tadi ia tiduri. “Kamu jangan
banyak bergerak dulu. Kalau Biru nangis, nanti aku yang bangun
terus kasih ke kamu. Oke?”

“Oke, Sayang,” kini giliran Nyala yang menebar panggilan itu.

Harun hanya tertawa singkat sambil menyelimuti istrinya. “Minum


kamu, aku pindahin juga,” ia membawa gelas berisi air putih di
nakas samping sisi ranjang istrinya tadi. Ia sibuk berlalu lalang demi
memindahkan keperluan sang istri. Namun untuk ponsel, Harun
membiarkan benda itu berada di sisinya. Setelah memastikan
bayinya masih terlelap dalam damai, akhirnya Harun pun
merebahkan tubuhnya. “Tidur,” ia mengusap kening Nyala.
“Ngomong-ngomong, ini malam pertama kita, tidur bertiga di
rumah, ya?”

“Rasanya gimana, Mas? Lebih mendebarkan dari malam pertama


kita di hotel sewaktu Rakernas ‘kan?”

“Betul,” Harun mengangguk setuju. “Kalau malam itu, adrenalinku


nggak bisa terkontrol. Dan yang aku mau malam itu cuma nyentuh
kamu,” Harun mengatakan dengan jujur. “Tapi kalau sekarang, aku
justru gugup.”

“Gugup?”

“Iya, gugup. Gugup nunggu tangisan Biru. Khawatir aku malah


nggak bisa terbangun. Atau, ya, aku bisa terbangun tapi malah nggak
sigap ngasih kamu ke dia.”

“Kamu itu selalu bisa diandalkan, Mas,” Nyala menyentuh wajah


suaminya. “Oke, sekarang kita tidur, ya?”

Harun pun menggeser tubuhnya agar lebih mendekat pada sang


istri. Ia memeluk wanita itu, berharap lelap cepat menjemput mereka.

***

Dan perkiraan Harun tepat.

Biru menangis, di saat Harun merasa ia baru saja terlelap.

Dengan linglung, ia meraba ranjangnya.


“Mas,” Nyala membangunkannya sambil mengguncang lengan.
“Biru bangun, Mas.”

“Hm,” Harun hanya bergumam. Matanya masih memejam. Dan


lengannya mengerat memeluk perut istrinya.

“Mas …,” Nyala kembali mengguncang lengan sang suami.


“Anaknya nangis, Mas,” katanya sambil berusaha bangkit untuk
duduk. “Mas ….”

“Iya,” dengan mata yang masih memejam, Harun berusaha melawan


kantuk yang luar biasa menyengat tubuh. Ia meraba nakas hanya tuk
menghidupkan lampu tidur. Tak sengaja menjatuhkan kacamata,
Harun pasrah saja bila benda itu rusak atau patah.

“Mas Harun, itu Biru cepat diambil, Mas.”

“Iya, iya, ini juga mau diambil,” sambil menghela panjang, Harun
memaksa kelopaknya terbuka. Lalu mengerjap-ngerjapkan matanya
seraya duduk. Ia bahkan sempat menguap, sempat menyugar
rambut. Kemudian, ketika tangis Biru menghantam telinga, ia pun
tersadar sepenuhnya. “Iya, iya, sebentar, Nak,” kakinya menyentuh
marmer dingin dengan sempoyongan. “Haus, ya?” ia angkat bayi itu
dengan hati-hati. “Sabar, Nak. Bapak nggak mungkin lari-larian
bawa kamu ke Ibu,” ia berusaha menasehati bayinya.

Nyala sudah membuka kancing dasternya. Ia meraba payudaranya


yang terasa cukup kencang. Asinya benar-benar mengalir deras,
bahkan sejak ia hari pertamanya melahirkan Biru. Dan ketika
anaknya itu telah berada dalam dekapnya, Nyala pun menyodorkan
putingnya dan bayi itu pun langsung terdiam. “Kalau kayak gini, dia
mirip kamu banget, ya, Mas?” Nyala tertawa pelan sambil mengusap
pipi lembut sang bayi.
“Maksudnya?” Harun kembali merebahkan tubuh setelah
memastikan bantal yang menyanggah tubuh sang istri sudah
membuat wanita itu nyaman. “Mirip aku dari hal apa, ya kalau boleh
tahu?”

Mengerling sebentar pada sang suami, Nyala hanya mengedik bahu


saja.

“Ck, nggak usah aneh-aneh, ya, Ibu Nyala. Sekarang sudah malam.
Dan suami kamu, laki-laki normal,” ungkap Harun dengan wajah
pura-pura menampilkan ekspresi tersinggung. “Kalau Biru sudah
selesai, bilang, ya? Aku nggak tidur kok. Cuma merem sebentar
saja.”

“Ngantuk, ya, Mas?” Nyala ingin sekali membelai kepala suaminya.

“Nggak kok.”

Tetapi tak lama kemudian, pria itu tak lagi berbicara.

Napasnya berembus teratur. Dadanya naik dan turun dengan gerak


konstan.

Nyala tidak marah, sungguh.

Ia biarkan pria itu tertidur seperti itu.

Karena Biru pun belum selesai menyusu.

Dan nanti, ia masih memiliki tugas untuk menyendawakan bayinya.

“Aku nggak tidur,” gumam Harun mencoba membuka matanya


yang berat. “Kamu jangan banyak bergerak.”

“Iya, Sayang,” respon Nyala sambil tertawa.


Mendengar panggilan dari istrinya, Harun melebarkan senyum
walau matanya masih memejam. “Aku bakal manggil kamu sayang
mulai sekarang.”

***

DELAPAN
Mayang dan Bagus benar-benar datang ke esokkan harinya.

Masing-masing dari mereka membawakan mainan, karena tahu betul


segala keperluan Biru Aminoto telah terpenuhi bahkan sampai 20
tahun ke depan. Jadi, ya, untuk apa membeli stroller jutaan untuk
dibawa sebagai hadiah, bila bayi mungil itu telah memiliki beberapa
stroller yang harganya jelas puluhan juta.

Oleh karena itu, mereka memtuskan untuk membeli mainan saja.

Sebenarnya, hanya Bagus yang membawa pure mainan. Karena


Mayang, membawa dua kantung belanjaan berisi pakaian dari
merk kenamaan. Plus, sebuah boneka berbentuk mobil-mobilan.

“Udah, ya, hadiah dari gue itu ngerangkap buat ulangtahun anak lo
sampe umur lima tahun,” ucap Bagus terus terang. “Jadi nanti, kalau
dia ultah, gue nggak perlu nyumbang kado apa-apa. Kadonya udah
gue cicil dari sekarang.”

Dengan luar biasa, Bagus membelikan Segara Biru yang baru


berumur empat hari itu sebuah Jeep Rubicon berwarna hitam.
Namun, bukan yang asli buatan Amerika Serikat. Melainkan, dari
toko mainan anak-anak. Bahan bakarnya pun bensin. Melainkan Aki,
yang kemudian dilengkapi dengan remote control untuk menjalankan
mobil mainan tersebut.

Sambil menepuk dadanya dengan bangga, Bagus menaik-turunkan


alisnya sambil menatap kedua adik perempuannya itu yang
berwajah sinis. “Gue tuh emang visioner sejati. Ck, gue beneran bisa
melihat masa depan.”

“Kamv—“

“May!” Nyala langsung menegur Mayang yang hendak memaki


Bagus. “Ada anak gue!” ia memberi pelototan pada wanita itu.

“Heh, May!” Bagus teringat sesuatu. “Gue menang taruhan!”


serunya kesenangan. “Anaknya Nyala cowok. Sini, lima juta gue!” ia
pun bertepuk tangan.

“Idiihh,” Mayang mengelak sambil memandang Bagus dengan tatap


jijik. “Apaan deh, lo,” ia kibaskan rambutnya bak sosialita sombong
di padang golf. “Nggak usah ngaku-ngaku deh, ya?”

“Anjir, nih, bocah!” umpat Bagus yang kini berdiri sambil berkacak
pinggang. “La, lo saksinya ‘kan? Dia milih anak lo cewek. Gue
cowok. Yang menang bakal dapet lima juta.”

Sumpah, Nyala tak kuat menahan tawa. Bahkan dirinya, sampai tak
menegur Bagus yang baru saja menyampaikan kata kasar di depan
anaknya. Ingin sekali ia menggeplak kepala Mayang. “Iya, May,
nggak usah sok pikun elo dah. Lo kalah taruhan. Transfer gih ke
Bagus.”

“Tuh kan!” Bagus langsung semringah. Ia kembali duduk sambil


memamerkan alisnya yang dapat bergerak naik turun. “Buruan,
Mayang. Sini, transfer dulu uang jajan buat gue blusukan di pasar
besok.”

Mayang bersunggut-sunggut, mengeluarkan ponselnya. “Udah,”


ketusnya galak. Lalu, tanpa aba-aba, ia melempar Bagus dengan
bantal sofa. “Sumpah, La, gue takut banget dia gila gara-gara kalah
suara,” decaknya sok mengiba.

“Heh! Gue denger, ya, Ma!” Bagus berniat membalas melempar


Mayang dengan bantal sofa tadi, tetapi teringat bahwa Nyala dan
bayinya berada di sebelah Mayang. Alhasil, ia pun mengurungkan
niat. “Tapi kayaknya, gue emang kalah sih,” mendadak ia muram.

Buat Nyala dan Mayang saling berpandangan dengan rona geli yang
berusaha mereka tahan mati-matian.

“Udahlah, kalau kalian mau ketawa, ya, ketawa, aja! Nggak usah
ditahan-tahan!” Bagus mencemooh dengan nada sok merajuk.

“Apaan deh lo, sok tahu banget,” kilah Nyala sembari mengalihkan
perhatian pada putranya yang terlelap. “Anak gue calon cakep masa
depan ‘kan, May?” Nyala menyentuh pipi bayinya dengan lembut.
“Ini hidungnya udah kelihatan, ya?”

“Ho’oh,” Mayang mengiakan karena ia pun melihatnya juga.


“Alisnya aja udah kebentuk, La. Kulitnya elo banget, tapi muka
bapaknya, ya?”

Nyala mengangguk setuju. “Waktu lahir, merah banget lho kulitnya,


May,” ia memberitahu.

“Terus, kok nggak lo namain Merah, aja?” sambar Bagus dari sofa di
seberang adik-adiknya. “Kok malah lo namain Biru sih? Gue sempet
mikir, dia keturunan Avatar yang seluruh kulitnya biru.”

“Anjir, Bagus!”

“Heh! Mulut lo, Nyala!” kini Mayang menoyor kepala kakaknya itu.

“Ck, Bagus, lo bikin gue kesel anj—“


“Nyala!” Mayang kembali menoyor kakaknya. “Lo lagi ngegendong
bayi empat hari, iih!”

Sambil memberengut memandang Bagus, Nyala pun menarik napas


sambil menatp anaknya dengan segudang rasa bersalah. “Maafin Ibu
ya, Mas Biru,” bisiknya lembut.

“Ck, lo sama Harun Dierja, serius nih, Bapak – Ibuan gitu


panggilannya?” tanya Mayang setengah meledek. “Lo aja nggak
sabaran orangnya. Barusan juga lo langsung mencak-mencak ke
Bagus,” cebiknya sambil menoel pelan kening putra mahkota Harun
Dierja. “Udahlah, mending Mami aja. Lo kan udah kaya raya
sekarang.”

“Atau dipanggil Ammak aja, La. Lo ‘kan, orang Makassar,” Bagus


menyahut dengan ekspresi jenaka di wajah. “Atau Ambu, secara
Harun ‘kan ketum Nusantara Jaya. Jadi, harusnya kalian lebih kreatif
lagi nyari panggilan-panggilan orangtua di seluruh nusantara ini.”

“Najis banget lo, Gus,” Mayang tertawa mendengar celoteh Bagus.


“Lo kalau pidato sama masa pendukung lo, juga absurd gitu, Gus?”

“Ya, nggaklah, kalau depan masa pendukung di Dapil gue, gue mah
berwawasan tinggi,” aku Bagus dengan gaya narsis.

Hal yang kontan saja membuat Mayang dan Nyala kompak


mendengkus jijik.

Iyuuuwwhh ….

Ngomong-ngomong, Nyala yang menghubungi kedua saudaranya


itu ketika ia masih berada di rumah sakit di hari ketiga. Ia
mengabarkan pada mereka, untuk menjenguknya bila sudah pulang
ke rumah saja. Ia tidak perlu memberikan alamatnya lagi pada
mereka, karena Mayang sudah pernah datang dua kali ke sini untuk
menemaninya. Dan Bagus pun, pergi bersama Mayang, jadi tidak
perlu merisaukan ada yang nyasar di antara kedua saudaranya itu.

Ketika mereka datang, Nyala masih berada di kamarnya sedang


memompa ASI. Kemudian, saat ia menyuruh keduanya masuk ke
dalam kamar, Bagus menolaknya. Bagus tidak enak bila harus
memasuki kamar yang ternyata merupakan tempat istirahat Harun
Dierja Aminoto. Bagi Bagus, hal itu terlarang.

“Gue tuh menghormati laki lo banget, La. Jauuuh, sebelum gue tahu lo
nikah sama dia. Gue tuh pengin banget jadi kader NJ. Sayang aja, uang
pangkalnya mahal. Terus, iuran anggota juga nggak ngotak. Udahlah,
jangan ngobrol di kamar. Ruang tamu aja.”

Dan itulah kenapa akhirnya Nyala membawa Biru ke ruang tamu.

“Kenapa sih namanya Biru, La?” Mayang ingin sekali menggendong,


namun ia masih takut. Walau bergelar sebagai keponakannya,
Mayang tak mungkin lupa, bahwa ayah dari anak saudarinya itu
merupakan Aminoto. Ketimbang ia cari mati dengan nekat
menggendong keponakannya itu, lebih baik ia mencari aman saja
dengan menonton Nyala menggendong anaknya. “Lo sama Harun
lagi kesemsem sama spectrum warna apa gimana? Entar adeknya lo
kasih nama Hijau Daun?”

“Apaan sih, lo?” dengkus Nyala malas.

“Lha, ya, iya. Nih anak pertama lo, Segara Biru. Alias laut biru.
Orang-orang juga udah pada tahu kali, kalau warna laut itu biru.
Makanya, mungkin aja nanti anak kedua lo namanya Hijau Daun.
Merah Darah. Putih Susu. Kuning Tahi.”

Bagus terkekah mendengar racauan Mayang. “Tapi mending nama


anak kedua lo ada unsur-unsur bahasa inggrisnya deh, La. Kayak
misak, Black Panther, Blue Band, Pulpy Orange,” kemudian Bagus
tergelak bersama Mayang.

Sungguh, Nyala sudah ingin memaki kedua saudaranya itu andai


tidak ingat bahwa saat ini ia tengah menimang anaknya.

Hingga beberapa saat kemudian, denting lift yang terdengar, sontak


membuat Bagus mengunci rapat mulutnya.

Ah, iya, Harun Dierja Aminoto, keluar dari sana.

“Lho, kok udah berhenti ketawanya, Gus? Lanjut dong,” sindir


Nyala yang kini merasa menang. “Ayo, dong, absen lagi calon-calon
nama buat anak gue.”

“Diem lo, Nyet,” gumam Bagus sambil mendelik.

Nyala tanpa sadar memeletkan lidahnya pada pria itu. Ia selalu


merasa senang bila Bagus sudah mati kutu seperti itu.

Ngomong-ngomong soal Harun Dierja.

Sampai hari ini pun, pria itu masih WFH alias work from home.

Jadi, bukan dia yang mendatangi pekerjaan. Tetapi, pekerjaanlah


yang berbondong-bondong kepada Harun Dierja. Entah itu asisten
pribadinya yang datang, atau sesekali sekretaris partai pun mampir.
Dan bicara soal sekretaris partai, ia sudah bertemu dengan Faura.
Dan wanita itu mengatakan padanya, betapa gegernya DPP begitu
mengetahui bahwa dirinyalah istri dari Harun Dierja.

Ketika menyadari bahwa sang suami melangkah ke arah mereka,


Nyala tersenyum menyambut pria itu. “Udah selesai, Mas?”
tanyanya dengan senyum merekah.
“Ciyee, udah Mas-Mas, ya, sekarang, La?” ia senggol bahu kakaknya
dengan sengaja. “Eheem! Apa kabar, Mas Harun?” Mayang berdiri
sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. “Nyala udah diakui nih
sebagai istri. Kapan dong, saya diakui sebagai ipar?” Mayang
memang tidak ada segan-segannya sama sekali. “Eh, Gus, sini dong.
Lo nggak mau mengenal adik ipar lo lebih dekat?” ia mengerling
Bagus sambil terkikik. “Biar pun lo rada sengklek, lo itu kakak
iparnya Harun Dierja Aminoto lho, Gus. Ya ‘kan, Mas Rafael?” ia
sengaja mengedip pada sosok di balik punggung ketua umum
Nusantara Jaya itu.

“Eh, omongannya Mayang jangan didengerin, ya, Pak?” Bagus buru-


buru menarik Mayang sedikit ke belakang. “Sebelum ke sini tadi, dia
lupa minum obatnya.”

“Lo pikir gue gila apa?” sunggut Mayang ketus. Tetapi tenang, hal
itu hanya pura-pura saja. Sebab tak lama kemudian, ia pun tertawa.
“Saya bercanda kok, Pak Harun,” ia tak lagi memanggil Harun
dengan panggilan Mas seperti tadi. “Jangan diambil hati, ya?
Bercanda kok,” tambahnya lagi tanpa rasa bersalah sama sekali.

Harun menanggapinya sambil berdeham singkat, kemudian ia


kembali melangkahkan kaki ke arah sofa yang memuat istri dan
anaknya di sana. “Biru tidur?” anggukkan kepala sang istri membuat
senyum di wajahnya merekah. Ia elus kepala wanita itu, dengan
netra yang memancar hangat pada sang putra. “Sudah waktunya
makan siang. Pindahkan Biru ke kamar. Kemudian, mari kita makan
siang bersama.”

Melihat kakaknya mengangguk dengan disertai senyum kecil yang


tampak malu-malu, Mayang tiba-tiba bergidik. “Nyala sok manis
banget ‘kan, Gus?” keluhnya berbisik.

“Diem lo, Nyet,” sekali lagi Bagus menggumamkan kalimat itu. “Gue
nih kader parpol, gue harus kelihatan professional di depan ketum
partai lain. Lo jangan ganggu gue deh,” imbuhnya sambil melirik
Mayang dengan sadis.

Sementara Nyala dan Harun sedang tampak mesra berjalan ke kamar


untuk meletakkan Biru, Mayang mau tak mau mencoba
mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang di lantai dua ini.
Tak ada yang menarik, sebab rumah ini seperti rumah-rumah orang
kaya pada umumnya. Berbau kemewahan namun dalam balutan ke
eleganan yang pas.

Mengganggu Bagus tak lagi menarik, pandangan Mayang pun


berlabuh pada kepala ajudan Harun Dierja yang bersikap kaku
seperti biasa.

“Duh, kaku amat sih, Mas?” godanya mendekat. Mayang bisa


mendengar bahwa Rafael berdecak. Dan hal itu membuatnya
semakin senang. Bukti bahwa pria itu benar-benar terganggu
olehnya, terasa menyenangkan. “Kemarin malam, lo somsek banget
sih, sama gue,” bila tadi Mayang sempat mengibas rambutnya, kini
ia tengah memilin ujung rambutnya dengan sengaja. “Lo sering, ya,
ke penyetan kemarin? Kayaknya penjualnya kenal banget sama lo.”

Mereka tak sengaja bertemu di warung tenda pinggir jalan.

Salah seorang temannya ada yang mengidam ingin makan di sana.

Dan secara kebetulan, ia bertemu Rafael juga.

“Raf, lo tahu nggak sih, dasar-dasar bersosialisasi?” lama-lama


Mayang geregetan juga dengan duda satu anak ini. “Kalau ada orang
nanya tuh dijawab, Rafael mantannya Monica,” kesalnya sambil
menyebut nama mantan istri dari laki-laki itu.
Namun, belum puas Mayang mengungkapkan kekesalannya. Seruan
dari Harun Dierja, mau tak mau membuatnya makin kesal.

“Ayo, kita makan siang sama-sama,” ajak Harun sambil


menggandeng tangan istrinya. “Raf, kamu juga makan siang bareng
saya. Habis makan, baru kita ke DPP.”

“Baik, Pak!” sahut Rafael cepat.

“Dih, giliran Harun aja langsung lo jawab,” cibir Mayang sebal. “Apa
perlu nih, gue jadi atasan lo, biar lo bisa jawab pertanyaan gue
dengan lancar?” cebiknya lalu memutar tumit untuk mengikuti
Nyala dan Haarun yang berjalan terlebih dahulu ke ruang makan.

***

Masih di hari yang sama, namun berbeda waktu saja.

Inggrid Caturangga dan juga Dewi Gayatri, menjenguk Nyala di


malam hari.

Dan tentunya, kehadiran mereka bersama dengan suami-suaminya.

Kecanggungan langsung terasa begitu pekat begitu mereka


berkumpul di living area di lantai dua kediaman Harun dan Nyala.
Kali ini, dengan Biru yang berada digendongan Inggrid, sementara
Dewi Gayatri duduk diam di sebelah suaminya.

Jangan tanyakan di mana keberadaan Nyala, karena sudah pasti ia


pun duduk sambil memeluk lengan sang suami. Sedikit mengkerut
takut, sebab entah kenapa ia yakin kedatangan ibu mertuanya itu
kali ini tidak hanya untuk diam-diam saja.

“Harun?”
Dan dugaan Nyala tepat.

Panggilan dari Dewi Gayatri pada sang suami, entah kenapa malah
buat dirinya tegang.

“Iya, Ma?”

Tanpa menatap sang putra, Dewi Gayatri terkesan melengoskan


tatapan. Sebab, di sebelah anaknya itu, ada Nyala Sabitah yang
masih tidak ia sukai keberadaannya. “Kamu ini apa-apaan sih?”
nada suaranya berubah. “Kamu mau gelar acara akikah di rumah
ini?”

Sambil mengerutkan kening, Harun mengangguk. “Benar,” jawabnya


merasa sama sekali tidak ada yang salah dengan keputusannya itu.

“Kenapa harus di rumah ini sih, Harun? Di saat ada begitu banyak
hotel yang bisa kamu gunakan untuk menggelar acara?” tuntut Dewi
Gayatri terdengar kesal.

“Ma—“

“Apa? Kamu mau bilang kalau acara yang kamu gelar nanti
mengusung tema intimate tasyakuran, begitu?” tudingnya menebak.
“Terus, kalau memang mau diem-diem aja atau sederhana aja.
Kenapa kamu harus repot-repot bikin pengumuman kalau kamu
sudah punya istri dan anak?” cercanya terus.

“Maksudnya gimana sih, Ma?” Harun ingin ibunya itu langsung saja
mengutarakan maksud dan tujuannya. “Aku nggak paham.”

“Ck,” Dewi Gayatri berdecak pelan. “Gelar acaranya di hotel.


Undang para pejabat dan kader-kader senior di partai kita. Kamu
sudah terlanjur memberi pengumuman. Mau sampai kapan, kamu
merahasiakannya? Toh, kamu sendiri yang sudah membuka rahasia
ini,” matanya mengerling pada wanita yang duduk mengkerut di
sebelah anaknya itu.

“Mama kamu benar, Run,” Hassan Aminoto kali ini menyetujui usul
istrinya. “Kamu sudah terlanjur mengungkapkan statusmu. “Bahkan,
kelahiran putramu saja sudah kamu umumkan. Jadi, lebih baik
menggelar pesta sekalian. Bila kalian ingin, kalian bisa juga sekalian
menggelar resepsi pernikahan.”

“Mereka harus ijab kabul ulang kalau begitu,” sahut Inggrid


Caturangga yang ikut memberi pandangan. “Tapi nanti, setelah
Nyala selesai nifas. Supaya, kalau mereka punya anak lagi dan
anaknya kebetulan perempuan, Harun bisa menjadi wali nikahnya.”

“Betul,” Dewi Gayatri mau tak mau menyetujui hal itu. “Allah lagi
benar-benar menyayangi kamu Mas Harun. Kamu diberi anak laki-
laki untuk menutup aibmu dari manusia. Walau tentu saja, segala
perbuatan kamu nanti harus dipertanggung jawabkan di akhirat.”

“Jadi, maunya gimana?” Harun bertanya dengan nada pasrah.

“Gelar saja akikahnya terlebih dahulu,” Sanusi Wijaya memberi


masukan. “Untuk resepsi pernikahan mereka, bisa digelar setelah
mereka mengulang ijab kabulnya,” tandasnya sambil menatap Harun
dan Nyala. “Katakan pada EOmu, untuk memindahkan acaranya di
hotel. Terserah, hotel mana saja.”

“Begitu juga boleh,” Inggrid mengangguk. “Jadi, kalian masih punya


waktu untuk mempersiapkan resepsi pernikahan kalian setelah ini.
Nanti kita pakai WO yang ngehandle pernikahannya Inka aja, La.
Kamu boleh request wedding dream impian kamu. Ya, sebulan dua
bulan dari sekarang, bisa deh kita push WOnya. Bilang aja, kita berani
bayar mahal. Begitu ‘kan, Pap?”
Sanusi mengangguk. “Begini saja, gelar resepsinya setelah selesai
Pemilu. Nah, sambil menunggu hasil quick count. Kalian bisa
mengadakan resepsi di waktu-waktu rehat itu.”

“Apa tidak kelamaan?” tanya Harun dengan kening berkerut.

Sebuah pertanyaan yang buat Inggrid langsung tertawa. Entah


kenapa, ia dapat menangkap hal berbeda dari pertanyaan sederhana
itu. “Resepsinya yang digelar setelah pemilu, Run. Kalau ijab
kabulnya, begitu Nyala selesai nifas, kalian boleh langsung nikah lagi
kok,” jelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak
sabaran banget sih, kamu?”

“Maksud saya bukan seperti itu.”

“Nggak apa-apa, Run. Jangan malu.”

“Mbak Inggrid, tolong, jangan berbicara seperti itu pada anak saya,”
Dewi Gayatri langsung menyela guyonan istri dari Sanusi Wijaya itu.
“Kalau ada orang lain yang mendengarnya, mereka bisa mengira
bahwa yang ada dipikiran Harun adalah hal-hal seperti itu.”

“Lho, Mbak Dewi nggak tahu, kalau Harun memang lagi semangat-
semangatnya?” Inggrid tak gentar atas teguran tersebut. “Mereka
terhitung pengantin baru Mbak Dewi. Mereka belum puas saling
menyenangkan pasangan.”

“Ya, tapi, jangan dikatakan dengan segamblang itu Mbak Inggrid,”


Dewi Gayatri langsung menanggapinya. “Harun itu ketua umum
partai. Ada reputasi yang harus dia jaga.”

“Aduh, Mbak Dewi ini kolot sekali sih?” cebik Inggrid dengan
gemas. “Mbak Dewi, laki-laki itu—“

“Mam, sudah,” Sanusi memotong kalimat sang istri. “Kasih anaknya


Nyala ke dia. Ayo, kita pulang saja. Sudah malam. Mama bilang,
besok ada janji dengan Inka ‘kan?”

“Kita juga pulang saja, Mas,” Dewi Gayatri berdiri lebih dulu dari
suaminya. “Kita juga harus mikirin Ruby. HPLnya akhir bulan ini,”
ia memberitahu.

“Ma,” Harun memanggil ibunya. Entah kenapa, pernyataan ibunya


tadi membuatnya merasa kekanak-kanakan sekali. “Boleh nggak sih,
aku ngerasa iri, Ma?” ungkapnya tiba-tiba. Buat seluruh pasang
mata, menatapnya terkejut. “Mama selalu perhatian sama Ruby, yang
notabenenya adalah menantu Mamaa. Boleh nggak sih, suatu saat
nanti aku mengharapkan Mama juga akan memperlakukan istriku
seperti Mama memperlakukan istri Hasbi?”

“Mas,” Nyala menelan ludah. Ia mengelus lengan sang suami


berusaha menenangkan. “Udah, Mas,” bisiknya yang tak ingin ada
keributan.

Menatap sang sulung dengan pandangan berang. Dewi Gayatri


menipiskan bibirnya. “Nggak bisa,” jawabnya tanpa perasaan. “Istri
kamu dan istri Hasbi berbeda.”

“Apa yang membedakannya?” kali ini sahutan itu datang dari Sanusi
Wijaya. Ia sudah berdiri dan menyorot Dewi Gayatri dengan
ketajaman yang serupa. “Apa yang membedakan anak saya dengan
anak Yasona Said itu?!” tanyanya bernada garang.

Nyala merasa tiba-tiba saja terserang pening.

Sepertinya, di masa depan nanti ia tidak akan membiarkan ayah


kandungnya bertemu dengan ibu kandung suaminya.

Intinya, tolong jauhkan mereka dari istilah arisan keluarga.


Lalu, perdebatan itu berakhir saat Segara Biru menangis kencang.

***

SEMBILAN

“Gimana, Put? Bisa ‘kan?”

Pagi ini, Harun berada di DPP Nusantara Jaya. Ada pertemuan


dengan salah seorang kadernya yang saat ini berstatus sebagai
Bupati di salah satu daerah di Kalimantan. Terkait statement yang
sempat diucapkan oleh kadernya tersebut ketika tengah membuka
sebuah acara. Dewan partai menginginkan penjelasan dari apa yang
disampaikan kadernya tersebut. Sebab, statement yang dikeluarkan
menjadi polemik. Karena membawa-bawa nama agama yang cukup
sensitive. Dan bila memang terbukti bersalah, kadernya itu akan
dipecat sebagai anggota partai. Diminta menyerahkan KTA atau
kartu tanda anggota. Serta, membuat pernyataan resmi terkait
masalah yang terjadi.

“Terkait permintaan saya kemarin malam. Kamu sudah


menghubungi EO?”

Putra Fernandi berdiri di hadapan sang atasan dengan tarikan napas


yang terdengar samar. Diamnya ia saat ini, bukan karena tak ingin
menanggapi. Lebih dari itu, ia sedang mencoba membuat semua
permintaan sang atasan dapat terwujud tanpa terkendala.

“Di Sky Light hotel, ya, Put. Lima ratus undangan saja,” Harun
melanjutkan tanpa menunggu jawaban dari sang asisten. “Hidangan
kambingnya, langsung minta dibagikan ke anak-anak panti. Jangan
lupa sertakan amplop juga peralatan sekolah untuk mereka.
Hm, kalau kamu mau menambahkan baju-baju juga boleh. Terserah
kamu saja, Put,” ia terlampau percaya pada kinerja sang asisten.
“Hidangan untuk di hotel nanti, EOnya suruh menghubungi mama
saya saja, Put. Biar mama saya yang memilih menunya.”

Walau dengan nada berat, akhirnya Putra mengiakan juga. “Baik,


Pak.”

Harun mengangguk puas. “Oh, ya, soal undangan—“

“Sudah masuk dalam percetakan, Pak. Dan akan selesai siang ini.”

Atasannya itu sudah menghubungi sejak kemarin malam.


Menghitung waktu yang sebenarnya tidak mungkin, Putra pun
akhirnya mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya karena tahu
betul, sang atasan tidak mempermasalahkan budget yang harus
dikeluarkan. Bagi atasannya, yang penting beres.

Oke.

Putra pasti akan membereskannya segera.

Ia memang modal demi memperlancar acara.

Baik.

Tidak masalah.

“Faura sedang memeriksa list undangan, Pak. Pihak percetakan


menjamin tidak akan membuat kesalahan.”

Tentu saja, siapa yang mau membuat kesalahan, di saat undangan


yang dicetak berharga tiga kali lipat dari harga normal biasanya?

“Sore nanti, sebagian undangan akan disebar.”

“Bagus,” Harun mengangguk sekali lagi. “Maaf, sudah merepotkan


kamu, Put.”
“Ah, nggak kok, Pak,” Putra berkilah sambil memasang senyum
palsu. “Saya cuma kaget saja. Karena acara berubah.”

“Well, para orangtua yang menginginkan acara digelar di hotel.


Kalau menurut saya dan Nyala, kami lebih menyukai acara yang
sederhana dan intimate.”

“Saya mengerti, Pak,” Putra mengangguk paham. “Ngomong-


ngomong, Ibu Ginta ingin bertemu Bapak sore ini. Apa Bapak ingin
saya menyisihkan waktu untuk pertemuan itu?”

Harun berpikir sejenak. “Menurut kamu?” ia mengetuk-ngetuk


jemari ke atas meja.

Putra menutup layar ipadnya yang tadi menyala karena


reminder yang ia nyalakan berbunyi. Mumpung atasannya itu sedang
berada di DPP, ia pun memadatkan jadwal atasannya selama berada
di sini. “Sepertinya, Bapak memang perlu menemui Bu Ginta, Pak.”

Harun tak perlu mempertanyakan alasan. Sebab, berita yang akhir-


akhir ini beredar justru menyudutkan Ginta Maharani yang tidak
tahu apa-apa mengenai pernikahannya.

Well, ketika Harun akhirnya mempublikasikan pernikahan juga istri


dan anaknya ke media. Saat itulah, publik mulai menerka-nerka
kapan pernikahannya dan Nyala terjadi. Lalu, muncul masalah baru,
mengenai kedekatannya dan Ginta waktu itu. Walau mereka paham
apa itu gimmick politik, tetapi sepertinya banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa Ginta Maharani tidak punya hati. Karena mau-
maunya menjalin hubungan pura-pura dengan suami orang. Karena
di masa kedekatan mereka, Harun jelas sudah menikahi Nyala.

Ginta berang atas tuduhan itu.


Beberapa kali, Ginta mencoba menghubunginya, namun Harun yang
sedang fokus pada keluarga barunya, tidak menanggapi. Tetapi kini,
sepertinya ia harus menghadapi kemarahan Ginta. Jadi, ia pun
memutuskan untuk menyanggupi pertemuan itu.

“Oke,” desah Harun dengan napas panjang. “Undang Ginta ke Puri


Indah saja, Put. Saya tidak ingin terjadi kesalahpahaman lain, bila
bertemu Ginta di tempat publik. Undang dia ke rumah saya. Saya
juga akan memperkenalkan Ginta dengan istri saya.”

“Saya paham, Pak. Saya akan segera mengirimkan balasan pada


sekretaris Ibu Ginta.” Putra segera mencatat hal tersebut pada
ipadnya. “Ada lagi yang ingin Bapak perintahkan?”

Harun berpikir sejenak. Netranya yang berlapis kaca optik, sedang


berfokus menatap asistennya. “Saya akan mengulang ijab Kabul
dengan Nyala, Put. Setelah dia selesai nifas. Kali ini, saya ingin
menggelarnya di ruangan terbuka. Saya ingin kamu mencarikan
lokasi yang tidak terlalu jauh. Tetapi, memiliki pemandangan alam
yang bagus.”

PR, lagi, batin Putra.

Tetapi, ia tidak bisa membantah.

“Baik, Pak. Saya akan mulai mencari-cari lokasi yang tepat.”

Well, setidaknya Putra masih memiliki hari yang panjang untuk


melakukannya.

Bukan tiga hari sebelum acara.

Astaga, ia mengelus dada.

***
Sesuai janji, Harun mengundang Ginta ke rumah pribadinya.

Dan karena kepentingan Ginta tidak ada hubungannya dengan


politik, maka Harun pun meminta asisten rumah, untuk membawa
Ginta ke lantai dua.

“Kenapa aku harus ikutan sih, Mas?” Nyala belum merasa percaya
diri dengan bentuk tubuhnya setelah melahirkan. Ia juga belum
maksimal menggunakan rangkaian skincare routinenya. Belum lagi
lingkar matanya yang sedikit banyaknya pasti terlihat karena terlalu
sering bangun di malam hari. “Aku percaya lho sama kamu. Ya,
udah, kamu aja yang ketemu sama Bu Ginta. Aku percaya, Mas.”

Walau begitu, ia tetap berusaha membuat wajahnya segar.

Ia raih kapas lalu menuangkan cleanser di sana.

Menyemprotkan face mist, kemudian mengipaskan tangannya di


wajah agar cepat meresap. Ya, setidaknya, ia tak boleh nampak pucat.
Ia perlu sedikit menambahkan pewarna bibir, juga menyapukan
cushion agar tidak terlalu kucel.

Sambil melirik suaminya yang tengah berada di ranjang bersama


putra mereka, Nyala kemudian membuka kunciran rambut.
Menggerainya begitu saja, lalu menyemprotkan hair vitamins, agar
rambutnya mudah di catok. Lalu, ketika catokan mulai panas, ia
mengaplikasikannya ke rambut.

“Mas?” nada Nyala mendesak. Sebab sedari tadi, suaminya itu tidak
memberikan tanggapan apa-apa. “Harus sama aku banget nih,
ketemu Bu Ginta?”

“Iya, Sayang,” sahut Harun yang kali ini mengangkat wajah untuk
memberi senyuman pada sang istri.
Ya, sudahlah, karena panggilan keramat andalan telah terucap, Nyala
sebaiknya nurut saja.

Ia gegas membereskan rambutnya.

Setelah menilai penampilannya sudah layak, Nyala langsung beralih


menuju ruangan wardrobe. Ia perlu mengganti pakaian. Ia
mengenakan blouse lengan pendek dengan kancing dibagian depan
untuk memudahkannya menyusui Biru, bila nanti anak itu
menangis. Belum sanggup mengenakan celana, Nyala memilih midi
skirt untuk melengkapi penampilannya.

Baik.

Ia hanya perlu sedikit perhiasan agar tampilannya tidak terlalu


polos.

Setelah menimbang-nimbang harus mengenakan kalung atau gelang,


Nyala pun menjatuhkan pilihan pada gelang berlian. Menambah satu
cincin lagi di jari telunjuk tangan kanannya. Mama Inggrid
mengatakan padanya, pilihlah perhiasan yang tidak terlalu mencolok
bila dilihat oleh orang awam. Namun, terlihat elegant di mata para
penikmat berlian.

Dan itulah yang tengah ia lakukan sekarang.

Ia bukan lagi Nyala Sabitah, si front liner dari Nusantara Jaya.

Ada nama Wijaya di belakang namanya. Juga predikatnya sebagai


bagian dari Aminoto buatnya harus mengerti ada nama baik yang
harus ia jaga.

“Mas, begini gimana?” ia meminta pendapat sang suami ketika


melangkah keluar dari ruang wardrobenya.
“Cantik banget sih? Memangnya kita mau ke mana?”

Nyala berdecak, lalu Harun menimpalinya dengan tawa.

“Sini,” Harun memanggil sang istri agar mendekat padanya di


ranjang. “Kamu jangan jalan terus, aku agak ngilu,” aku Harun
dengan jujur. “Maaf, ya, tadi nggak sempet ngobatin,” Harun
merengkuh pinggang istrinya. Ia mengelus bokong wanita itu
dengan hati-hati.

“Udah bisa sendiri kok, Mas,” Nyala tidak duduk seperti sang suami.
Ia hanya berdiri di depan pria itu saja. Membiarkan suaminya
menciumi perutnya yang mengenakan korset khusus setelah
melahirkan, Nyala mengusap rambut pria itu penuh kelembutan.
“Mas, kamu beneran ngajak aku ketemu sama Bu Ginta?”

“Benar,” kali ini Harun menjawabnya. “Yuk, dia sudah datang,”


ajaknya sambil berdiri. “Panggil nannynya Biru dulu. Biar dia bisa
ngawasin,” Harun memberikan ponsel sang istri untuk
menghubungi pengasuh anaknya.

Pengasuh tersebut membawa Biru ke kamarnya. Menidurkan Biru di


sana, sembari menungguinya. Barulah, setelah memastikan anaknya
terlelap nyaman di ranjang bayinya, Harun dan Nyala bergerak
menemui tamu mereka.

Dan di sana, tepatnya di ruang tamu, Ginta Maharani sudah duduk


menanti.

“Gin?” panggil Harun untuk mengabarkan kedatangannya. “Maaf,


ya, menunggu lama.”

Ginta Maharani langsung berdiri, ia menatap lekat Harun Dierja


dengan seorang wanita muda yang digandeng pria itu. Tanpa perlu
berpikir lebih, ia tahu bahwa wanita itulah istri dari sang ketua
umum partai Nusantara Jaya. “Hai, Run,” balasnya singkat. “Well,
sorry, ya, aku belum nyiapin kado buat kelahiran anak kalian.”

“Oh, nggak apa-apa, Bu,” Nyala yang menimpali sambil memberi


ringisan kecil. “Heum, saya Nyala, Bu,” karena sudah terlanjur
mengeluarkan suara terlebih dahulu, mau tak mau Nyala pun
memperkenalkan diri sendiri.

Ginta membalas uluran tangan itu. “Saya Ginta.”

“Ini istriku, Gin,” Harun mengusap bahu sang istri. “Aku minta maaf
karena harus melibatkan kamu dalam pernikahan kami yang
tersembunyi sebelumnya.”

“Jujur, iya. Aku agak kaget sama berita itu.”

“Mas, kita duduk dulu,” gumam Nyala menyadarkan sang suami.


“Jangan ngobrol sambil berdiri, Mas.”

“Oke, Sayang.”

Melihat interaksi Harun yang begitu luwes dengan istrinya, mau tak
mau membuat Ginta membandingkan interaksi mereka selama ini.
Pantas saja, Harun terkesan menjaga jarak darinya. Sebab, pria itu
sudah memiliki istri yang harus ia jaga keberadaannya.

Baiklah, Ginta harus menerimanya dengan berbesar hati.

Terlebih, bukan kecemburuan akan hal itu yang membuatnya datang


ke sini.

Ia hanya butuh validasi, atas apa yang menyeretnya terhadap hal


yang tidak ia ketahui kebenarannya.
“Jadi, bagaimana solusinya, Run?” Ginta merasa tak perlu berbasa-
basi lagi. Harun juga sudah tahu permasalahan mereka. “Aku nggak
mau jadi satu-satunya pihak yang bersalah di sini. Sementara
kenyataannya, aku nggak tahu apa-apa tentang pernikahan kamu
waktu itu,” tuntutnya terus terang.

“Aku ngerti, Gin,” Harun hela napas dengan gusar. “Tapi, aku juga
nggak mau menggelar jumpa pers, hanya untuk masalah itu.”

“Terus, gimana jadinya kamu bersihkan namaku?”

“Dua hari lagi, aku bakal menggelar acara akikah anak kami. Kamu
juga akan diundang, Gin. Dan di sana, pasti ada wartawan yang
menunggu di ruang pers. Aku akan temui mereka. sekaligus
mengonfirmasi bahwa selama ini, kamu juga tidak tahu menahu
tentang pernikahanku. Aku akan pastikan, nama kamu bersih dari
imej yang salah sasaran itu.”

“Oke, aku pegang kata-kata kamu,” tandas Ginta menanggapi


perkataan Harun. Ia kemudian beralih pandangan pada segelas teh
yang berada di hadapannya. Merasa tidak ada lagi yang ingin ia
katakan atau ia tahu dari pria itu, Ginta memutuskan meneguk
tehnya tersebut demi kesopansantunan. “Baiklah, begitu saja,” toh
Ginta tidak ingin membuat drama dalam rumah tangga mantan
rekannya tersebut. “Selamat atas pernikahan kamu, Run. Dan
selamat juga untuk kelahiran anak kalian,” tuturnya seraya berdiri.

“Terima kasih, Gin,” Harun membalas ikut berdiri juga. Tak lupa, ia
membantu sang istri agar bersisian dengannya. “Sekali lagi, aku
minta maaf atas ketidaknyamanan kamu dengan kabar miring yang
beredar. Hubunganku dengan istriku agak rumit di masa-masa itu.
Jadi, aku memang menahan diri untuk tidak memberitahukan
pernikahanku pada koalisi kita waktu itu.”
“Hm, okelah, sudah berlalu juga, Run,” tarikan napas Ginta yang
panjang diiringi dengan dering pada ponselnya. “Aku harus pergi,”
ia masih memiliki pekerjaan lain. “Selamat sore, Nyala.”

“Selamat sore juga, Bu Ginta. Hati-hati di jalan, ya, Bu?”

Nyala tidak ikut mengantarkan wanita anggun tersebut sampai di


depan lift, hanya suaminya saja yang melakukan hal itu. Menanti
dengan sabar, Harun Dierja kembali padanya dengan senyum tulus.

“Jadi, udah nggak ada masalah lagi sama Bu Ginta ‘kan, Mas?” tanya
Nyala memastikan. Karena sedikit banyaknya, ia sudah mengetahui
permasalahan itu.

“Sudah. Aku cuma perlu membuat klarifikasi saja, nanti di saat acara
anak kita,” Harun merangkul pinggang istrinya sambil membelai
wajah wanita itu. “Mumpung cantik begini, mau mengerjakan yang
lain?”

Nyala langsung menyipitkan mata. Ia mendengkus seraya mencubit


perut suaminya. “Mau ngerjain apa, iih? Jahitanku belum kering,
Maasss …,” ia cubiti pria itu dengan gemas.

“Lho, kok lari ke jahitan?” Harun terkekeh. Ia merangkum wajah


istrinya, sebelum kemudian mendarat kecupan di atas bibir wanita
itu. “Biru masih belum butuh ini, kan?” ia belai payudara istrinya
dari luar pakaian yang dikenakan wanita itu. “Kamu juga belum
waktunya pumping ‘kan?” tanyanya lagi untuk memastikan. Jawaban
istrinya adalah gelengan kepala dengan ekspresi lucu di wajah.
Sebuah ekspresi yang membuat Harun menjadi gemas. Hingga ia
kembali memberi hujan kecupan, sampai buat sang istri tertawa-
tawa. “Mau movie date?”

“Di lantai tiga?” Nyala menunjuk ke atas.


Harun segera mengangguk. “Nggak perlu sampai filmnya selesai.
Yang penting, kita bisa quality time berdua, sebelum Biru nangis cari-
cari kamu. Gimana?”

Selain diisi oleh ruang kerja, lantai tiga berisi intimate room yang tak
sengaja dipersiapkan Harun, jauh sebelum ia tahu Nyala akan
menjadi istrinya. Ruangan itu berisi sofa bed dan juga televisi super
besar yang menempel di dinding. Lantainya berlapis parket tebal.
Terdapat permadani lembut di bawah sofa bed tersebut. Diisi dengan
bantal-bantal besar, ruangan itu memiliki sliding door yang mengarah
langsung pada balkon yang luas. Beberapa kali, mereka pernah
menghabiskan waktu di sana untuk sekadar bermesraan berdua.

“Bagaimana? Kamu mau?” tanya Harun sekali lagi.

Nyala sok berpikir, tapi kemudian jawabannya tentulah dengan


anggukkan kepala. “Mau,” jawabnya menyembunyikan rona di
wajah. Karena terakhir kali mereka menginjakkan kaki di sana,
mereka malah berakhir saling melucuti. “Tapi, jangan macem-
macem, ya, Mas? Inget, aku masih berdarah.”

Harun menjawabnya dengan tawa geli. Sebelum kemudian, beranjak


membawa istrinya menuju lift untuk sampai ke lantai tiga.

***

SEPULUH
Satu jam sebelum acara dimulai, Nyala dipanggil ke Presidential Suite
room yang ditempati oleh Sanusi Wijaya dan Inggrid Caturangga.
Tanpa Biru, Nyala didorong di atas kursi roda oleh suaminya. Alasan
Harun, tentu saja agar Nyala tidak terlalu lelah. Karena bagaimana
pun juga, Nyala belum diperbolehkan jalan terlalu lama. Makanya,
selama acara akikahan ini berlangsung, Harun mempersiapkan kursi
roda ini untuk istrinya.

Rupanya, Nyala sedang ingin dipertemukan dengan anak-anak dan


menantu dari Sanusi dan juga Inggrid. Mungkin, ia sudah bertemu
dengan Farid, Hadi Wijaya, juga istrinya. Namun selebihnya, ia ia
belum pernah bertemu dengan Girsa, Inka dan pasangan-pasangan
mereka.

“Nyala, ini istrinya Farid,” Inggrid memperkenalkan menantu


pertamanya. “Reina, ini tuh Nyala, anaknya Papa kalian.”

Nyala sudah berdiri dari kursi rodanya. Dan memandang gugup


wanita bergamis baby blue tanpa kerudung itu. Ngomong-ngomong,
dress code untuk para keluarga memang berwarna biru. Tidak ada
seragaman, bentuk dan potongan pakaian semua terserah para
keluarga saja. “Mbak Reina,” Nyala melangkah untuk menyalami
wanita itu dengan sopan. “Maaf, ya, Mbak, sudah repot-repot
datang,” tringisnya tak enak.

“Hai, Nyala. Nggak apa-apa. Mama sudah sempat cerita soal kamu
beberapa waktu yang lalu. Selamat atas kelahiran anaknya, ya?”

“Terus, La, ini tuh Mas Girsa,” Inggrid beralih pada putra keduanya.
Ia menepuk-nepuk lengan anaknya itu sambil tersenyum. “Mas, ini
yang namanya Nyala. Pasang muka senyum dong sama adiknya,”
kekeh Inggrid sambil menatap putranya itu. “Nah, kalau ini istrinya
Mas Girsa, La. Yura, ipar kamu nambah, ya?” guraunya bercanda
pada sang menantu.

“Ayura,” wanita berambut cokelat panjang itu, segera menyapa


Nyala. “Mama sempet cerita soal kamu. Tapi Mas Girsa, nggak
pernah cerita apa-apa,” ia kedipkan mata dengan ramah.

Nyala lagi-lagi meringis.


Girsa Wijaya, melebihi ekspektasinya selama ini.

Pria itu lebih tinggi dari Farid Wijaya. Wajahnya mirip dengan Mama
Inggrid, rupawan dan tampan. Dan yang membedakannya dengan
Farid serta Hadi Wijaya adalah wajahnya ditumbuhi cambang tipis
hingga ke rahang. Nyala jadi ingat cerita Mayang mengenai
kemenawanan Girsa Wijaya yang dingin. Sepertinya, Mayang benar.
Sebab, ekspresi pria itu sama sekali tak nampak bersahabat. Bahkan,
ketika ia menatapnya. Nyala merasa, ia sedang dikuliti habis-
habisan.

“Akhirnya, kita bertemu,” Girsa Wijaya mendesah. Ia mengerling


sebentar ke arah Harun Dierja yang berdiri di belakang adik
barunya. “Papa mengeluarkan dana satu koma lima triliyun untuk
melindungi kamu. Tapi pada akhirnya, yang kamu dapatkan hanya
belasan milyar, ya?” ia mengambil dua langkah ke depan. Kedua
tangannya berada di saku celana. “Well, sesekali, Sanusi Wijaya
memang harus salah perhitungan. Bener ‘kan, Pap?” ia menoleh ke
arah sang ayah. “Oke, Nyala, selamat datang,” ia pun mengulurkan
sebelah tangannya.

Sambil menelan ludah, Nyala membalas uluran tangan tersebut


dengan ragu. “Te—terima kasih, Mas,” ungkapnya sambil mengulum
bibir.

Ketika jabatan tangan itu terlepas, Girsa mengerling pada adiknya,


Inka Wijaya. “Ka?” panggilnya tanpa mengubah posisi. “Nggak
terlalu buruk juga kok, Ka, punya adik baru,” kini ekspresinya
berubah jenaka. “Kamu nggak akan disuruh Mama jagain dia atau
gendong dia ke mana pun. Dia udah bisa berdiri sendiri, Ka.
Terlebih, dia udah punya suami. Begitu ‘kan, Harun Dierja?” kini
tatapan matanya kembali ke depan. Seringainya terangkat tipis.

“Well, kurang lebih seperti itu,” Harun mengambil langkah dan


mensejajari istrinya. “Terima kasih sudah hadir, Pak Girsa,” ia
ulurkan tangan sembari menatap tajam.

“Sama-sama,” Girsa mendengkus tipis. Namun ia tak menolak


jabatan tangan itu. “Next, perizinan IKN, harap kerja samanya.”

“Belum jelas,” komentar Harun tanpa jeda. “Tapi, ya, bisa kita
bicarakan,” timpalnya lagi tanpa ekspresi berarti.

Girsa mengangguk pelan, lalu ia kembali melirik Inka yang masih


bergeming di sebelah suaminya. “Ka, cepetan, adek baru kamu
nggak gigit kok.”

Inka Wijaya, anak perempuan satu-satunya Sanusi Wiaya dan juga


Inggrid Caturangga. Bungsu dari empat bersaudara, yang mana
ketiga kakaknya merupakan laki-laki semua. Ia diperlakukan begitu
istimewa oleh kedua orangtuanya serta para saudaranya. Nyaris 32
tahun usianya, dan selama itu pula ia menjabat sebagai anak bungsu
plus satu-satunya anak perempuan di keluarga.

Seperti kebanyakan putri konglomerat lainnya, Inka Wijaya


menguarkan aura kekayaan walau perhiasan yang dikenakannya tak
mencolok. Wajahnya tidak bengis, justru tampak begitu teduh.
Namun, sorot matanya begitu tajam.

“Hm, agak berat melepaskan status sebagai anak bungsu setelah


hampir 32 tahun menjalaninya,” Inka berdiri di samping kakak laki-
lakinya. “Tapi, ya, seperti yang kamu bilang, Mas. Sepertinya nggak
terlalu buruk mempunya adik baru,” dengkusnya diiringi tawa kecil
dari bibir Girsa Wijaya. “Inka,” ia langsung menyodorkan tangannya.

Nyala menatap suaminya sebentar, sebelum kemudian membalas


jabatan tangan itu. “Nyala, Mbak.”
Oke, segini saja.

Nyala tidak akan memaksa untuk dilimpahi cinta oleh keluarga


Wijaya.

Cukup saling mengenal.

Cukup saling mengetahui nama.

Selebihnya, waktu yang akan merenda hubungan mereka.

***

“Sumpah, itu Girsa Wijaya?!” Mayang nyaris memekik di telinga


kakaknya saat menyadari bahwa para Widjaja telah berkumpul. Ia
dapat dengan mudah mengenali Inka Wijaya, berkat aktifnya wanita
itu bermain sosial media. “Ya, Tuhan, kenapa sih, laki-laki itu makin
tua makin legit,” ia menggigit bibir bawahnya tak tahan. “Mana
sekarang stylenya brewokan gitu. Aduh, lemah gue, La,” ia menutup
mata saking tak kuatnya melihat aura Girsa Wijaya yang aur-auran di
matanya. “Nyala, please, jangan ingetin gue kalau Ayura itu istrinya.
Gue mau ngehalu kalau Girsa, duda.”

“Huussh!” Nyala langsung menepuk lengan Mayang.

Acara pengajian baru saja selesai dilakukan.

Saat ini, anaknya sedang berada dalam gendongan suaminya.

Harun membawa anaknya ke tengah-tengah keluarga Aminoto.


Nyala sempat ikut ke sana tadi sekaligus memperkenalkan diri pada
keluarga besar suaminya. Namun, payudaranya mulai mengeras.
Dan ia butuh memompa ASInya terlebih dahulu.

Ruang ASI sengaja dipersiapkan di ujung ballroom, jadi Nyala tak


perlu naik ke kamarnya hanya tuk memompa ASI. Siska bisa saja
menemaninya, tetapi Nyala memilih Mayang untuk menemani.

“Terus tadi, waktu ketemu sama lo, mereka nggak yang mandang lo
sinis gitu ‘kan?”

Nyala sudah sempat bercerita pada Mayang tentang pertemuannya


dengan anak-anak Sanusi Wijaya. “Nggak sih. Mereka nggak ada
yang sini. Cuma, ya, bukan berarti langsung jadi sayang sama gue.”

“Yaiyalah, wajar,” Mayang meluruskan kakinya di atas sofa bed di


ruangan tersebut. “Harun juga nggak langsung sayang sama elo
walau udah berhasil nidurin lo,” ia ungkapkan fakta tersebut dengan
frontal. “Butuh waktu. Ya, minimal lebaran nanti lo tahu kalau lo
mulai harus ngejadwalin mudik,” kekeh Mayang sambil tertawa. “Lo
atur deh jadwal, lebaran ini ke rumah mertua atau mudik ke
Makassar.”

Nyala berjalan dari sofa menyusuinya menuju sofa yang ditempati


sang adik. Ikut merebahkan punggung pada sandaran, Nyala
mengangkat kaki dan diletakkan di meja. Persis sama seperti yang
dilakukan oleh Mayang. Sementara pompa elektrik mendesis pelan
pada kedua payudaranya. “Hidup gue berubah 180 derajat dari
tahun lalu, ya, May?” mendadak ia menjadi ingin curhat. “Tahun
lalu, gue cuma mbak-mbak FL yang suka dipandang sebelah mata
sama kader-kader partai. Bahkan sama pejabat yang datang
berkunjung ke DPP. Gue juga cuma berstatus anak piatu, yang
ditinggal mati ibunya sementara nggak pernah diakui bapaknya.
Jomlo ngenes,” Nyala tersenyum geli saat mengatakan hal itu. “Tapi
sekarang, gue dijuluki Ibu Ketum sama kader-kader yang dulunya
sepele banget sama gue.”

Hal itu benar-benar terjadi.


Di sepanjang acara ini, entah sudah berapa banyak kader-kader
partai yang menyalaminya dengan senyum sopan dan genture yang
begitu hormat.

“Gue juga salaman sama bakal calon Presiden, May. Gue dipeluk
calon Ibu Negara. Dikasih hadiah sama calon wakilnya juga. Gilak,
bahkan gue foto bareng mareka,” ungkap Nyala takjub. “Tapi yang
bikin gue speechless tentunya, kedatangan Pak Presiden tadi.
Jantungan gue, May. Seumur hidup, gue nggak pernah ngebayangin
bakal disalamin sama Presiden.”

“Yang iri dengki sama lo, pasti makin kepanasan, ya, La?”

Ajeng dan Rani juga hadir atas undangan yang ia pinta pada sang
suami. Mereka merupakan satu-satunya staff DPP biasa yang
menghadiri acara akikah anaknya ini. Dan sungguh, Nyala benar-
benar sangat bersyukur dengan kehadiran mereka berdua. Ia ingat,
bagaimana ia menangis saat berpelukan dengan kedua rekan
kerjanya itu. Tiga tahun bekerja bersama, mereka benar-benar teman
yang Nyala miliki. Minus Adisti, yang ternyata telah berkhianat.

Menghapus sudut matanya yang berair, Nyala menerawang


mengingat nasibnya selama ini. “Mendadak aja, gue dikenal jadi
anaknya Sanusi Wijaya sama istrinya Harun Dierja dalam waktu
singkat. Muka gue mejeng di base-base X. Nama gue juga trending di
sana. Terus, gue malah takut sama keadaan gue yang sekarang,
May.”

“Itu namanya fase kehidupan, La,” timpal Mayang sambil menghela


napas panjang. “Lo lagi di atas, setelah lo ngedayu sepeda lo dari
kasta terbawa. Nggak masalah, La, kalau pun nanti lo bakal jatuh, lo
udah terbiasa ‘kan sama keadaan itu?” Mayang memain-mainkan
ponsel di tangannya tanpa minat. “Tapi, selagi lo lagi di atas, nikmati
aja pemandangan yang ada di sana. Kalau lo ngerasa anginnya
terlalu kenceng, lo bisa pegangan kok. Karena lo di sana nggak
sendirian. Ada Harun Dierja yang udah buncin mampus sama lo,”
kekehnya tertawa.

“Menurut lo begitu?”

Mayang mengangguk. “Lo udah pernah ngejalanin hidup yang


berdarah-darah ‘kan? Dijadikan umpan sama bapak lo sendiri.
Dihamili sama laki-laki yang nggak lo duga. Dicaci maki banyak
orang. Well, anggap aja, Tuhan lagi ngasih reward buat lo karena lo
udah tabah ngejalani ujiannya.”

Nyala memandang Mayang dengan sorot mata takjub. “Sumpah, lo


beneran Mayang?” matanya melebar tak percaya.

Mayang hanya berdecak singkat. “Gue dulu juga begitu ‘kan?


Sebelum gue jadi exclusive caddy, gue pernah ngejalanin kehidupan
caddy yang ampas banget. Dari mulai bangun pagi buta, dandan dari
jam lima pagi, dan baru turun ke lapangan jam 12 siang. Pantat gue
digrepe-grepe om-om buncit najis. Sampek gue juga pernah disiram
air sama istri orang gara-gara dituduh selingkuhan suaminya. Ya,
gitu deh, hidup kita nggak ada yang tahu, La. Sekarang, gue jadi
caddy yang cuma nemenin para pejabat sama pengusaha-pengusaha
yang punya member VIP.”

Nyala manggut-manggut mengerti. “Bagus juga sekarang nyaleg, ya,


May? Siapa yang nyangka, preman pasar macam dia akhirnya naik
level jadi preman rakyat,” Nyala tertawa sambil menutup mata. “Lo
bener. Nasib orang nggak ada yang tahu.”

“Iya ‘kan? kita dulu dikenal cuma sebagai anak Lidia janda gatel
tukang rayu laki orang,” Mayang menambahkan sambil meringis.
“Inget nggak sih lo, La. Kita selalu disepelekan tetangga. Mereka
bilang, nasib kita paling nggak jauh-jauh kayak mama. Godain laki
orang. Kerjanya pamer selangkangan. Ckck, kalau inget itu, gue
pengin banget deh bayarin mulut-mulut mereka.”

“Dan, gue hampir bernasib kayak mama, May,” Nyala menghela


sedih. “Gue hamil di luar nikah.”

“Tapi, pada akhirnya, laki lo adalah Harun Dierja. Calon menteri.


Dan siapa tahu beberapa tahun lagi jadi Presiden RI. Ya, nggak?”

Diam-diam, Nyala mengangguk.

Tidak ada yang pernah menebak rahasia kehidupan.

Tetapi, apa pun keadaan yang tengah membelenggu sekarang, sudah


sebaiknya kita jalani dengan penuh kebajikan. Siapa tahu, Tuhan
memang sedang memberikan ujian. Dan ganjarannya adalah
kenaikan kelas dengan kebahagiaan yang tak pernah kita
bayangkan.

Ketukan pintu yang terdengar, buat Nyala mengembalikan atensinya


pada realita yang ada. Ia bertukar pandangan dengan Mayang
sejenak. Sebelum kemudian, adiknya itu yang membukakan pintu.

“Sudah selesai?”

Harun Dierja menyusulnya, dengan Biru yang masih berada dalam


gendongan.

Mayang yang tahu diri, segera menyingkir dari sana.

“Sebentar, ya, Mas?” Nyala mengintip dadanya sejenak. Lalu


mengeluarkan ASI yang tertampung. Menuangnya pada wadah yang
sudah botol bening yang sudah steril, menuliskan tanggal, kemudian
memasukkannya ke dalam freezer yang tersedia di sana. “Mas Biru
nyariin Ibu, ya?”
Harun menggeleng, namun tetap memberikan anak mereka pada
sang istri. “Bukan Mas Biru yang cari ibunya. Tapi, Mas Harun yang
sedang mencari-cari keberadaan istrinya,” tutur Harun tanpa
disangka-sangka.

Hal yang kontan saja membuat Nyala tertawa. Ia menyentuh wajah


suaminya dengan gurat bahagia. “Aku nggak nyangka kamu bakal
ngomong gitu lho, Mas,” ungkap Nyala dengan senyum yang
sampai ke mata.

Mengedikkan bahunya, Harun hanya mengecup pipi istrinya. “Ayo,


tamu-tamu kita merasa kehilangan bintang utamanya.”

“Siapa? Aku?” Nyala bertanya dengan nada yang tak percaya.

“Tentu. Mereka semua yang datang ke acara ini, benar-benar demi


melihat kamu. Mereka ingin melihat, benarkah yang menjadi istriku
adalah anak dari Sanusi Wijaya? Mereka pasti senang memotret
kamu diam-diam.”

“Kayak kamu ‘kan?” Nyala menyipit dengan seringai tertahan.


Pasalnya, ia pernah memergoki sang suami memotret dirinya tanpa
sepengetahuannya.

Namun, sekali lagi Harun menggelengkan kepala. “Bukan,” balasnya


atas tuduhan tersebut. “Aku cuma senang, mencintai kamu diam-
diam. Sebelum, ya, akhirnya ketahuan.”

Seperti yang Nyala katakan, hidup ini adalah rahasia paling magis
yang tak dapat diurai dengan logis. Karena siapa yang akan
menyangka, Harun Dierja Aminoto yang tersohor sebagai ketua
umum partai Nusantara Jaya, jatuh cinta pada Nyala Sabitah yang
dulu pernah bekerja sebagai staffnya.
Well, dunia memang penuh misteri.

Tetapi demi Tuhan, Nyala jatuh hati pada garis takdirnya sendiri.

Sebab kini, Nyala yang seumur hidupnya selalu menjadi rahasia.


Sekarang menjelma sebagai Nyala Sabitah yang dikenal sebagai anak
Sanusi Wijaya dan istri Harun Dierja.

Dunia mengenalnya.

Dan Nyala, menyukainya.

***

yeess, selesaai yaaa Expart kitaa beb.

nanti kalau aku luang, aku tambahin dikit2. mungkin, dibagian2


krusial ajaa yaa

dimomen-momen magissnyaa, biar kalian meringiiss hahahaa

tunggu dongeng selanjutnyaaa yaaa

aku belum mutusin mau bikin yang mana. sedang aku


pertimbangkan wkwkwkk

btw, di universe aku, Pak Harun gk punya IG. Jdi, jgn harap doi
posting2 foto di feednya.

di IGS aku, kalu belum ilang, ada tuh postingan Nyala sama
anaknya. hahaha cuma iseng2 aja beb, jgn kalian cari akunnya,
karena gk ada hahaha

yowess, begitu ajaa yaaa sampai ketemu kapan2. dan sampai jumpa
lagi di dongeng aku selanjutnyaaaa
tengkyuu semuanyaaaa ….

Anda mungkin juga menyukai