14 Februari 2022
Ini bukan surat yang aku tulis di kertas, melainkan ini hanya lah suara dari isi
kepalaku saat ini.
Saat ini tubuh rampingnya sedang menelungkup di atas karpet tebal yang
berada di depan sofa ruang tamu unitnya. Menghadapku yang sedang
berbaring di hadapannya dengan tangan kanan yang aku letakkan di belakang
kepalaku sebagai sebuah sandaran, sedangkan tangan kiriku sibuk menyisir
pelan surai cokelat tuanya yang saat ini panjangnya sudah melebihi
pundaknya.
Oh, tidak. Sepertinya sebentar lagi gajah di pipinya itu akan menggeru tanda
marah karena saat ini si empunya tengah meraih tanganku untuk kemudian ia
arahkan ke arah deretan giginya yang rapi. Bersiap melahap habis otot di
sekitar ibu jariku.
Entah sejak kapan aku menyadari bahwa ia memiliki indian dimples yang akan
muncul tiap kali ia tertawa pelan. Sepertinya aku harus menyudahinya di sini
sebelum celotehanku tentang parasnya ini bisa ku jadikan novel karena aku
tidak akan pernah bisa menemukan titik ujungnya.
Kata orang, bilang “I love you” itu tidak hanya saat Valentine, seperti hari ini.
Aku setuju. Namun rasanya kurang afdol jika tidak mengatakannya di hari
kasih sayang ini, kan?
Aku sudah mengucapkannya tadi pagi, tepat saat aku mengantarnya ke Mojo.
Kasihan sekali gadisku itu, masih harus bekerja di hari seperti ini. Tadinya aku
sudah ingin membuat janji dengan nail artist yang biasa aku pesan untuknya.
Namun ia bilang tidak usah. Sayang, karena kuku cantik itu tidak akan
bertahan lebih dari satu hari karena, ya... bisa-bisa sarung tangan karet yang
ia gunakan saat bekerja akan robek begitu saja.
Lalu aku terpikir untuk mengajaknya makan malam di luar, sebut lah itu fine
dining. Namun gadisku itu lagi-lagi menolaknya. Kali ini bukan karena ia ada
shift malam, tapi katanya ia ingin menghabiskan sisa hari ini di apartemennya
saja, dengan aku. Ah, dia memang tidak bisa ditebak.
Ia tidak tahu jika aku selalu merapalkan ribuan doa untuknya. Bagaimana aku
selalu mengharapkan keselamatannya saat ia tidak sedang berada di dalam
radarku. Aku juga selalu berdoa agar kebahagiaan selalu menyelimuti hari-
harinya, meskipun begitu aku juga berdoa jika kekecewaan itu harus datang,
aku berdoa agar ia selalu diingatkan bahwa hari buruk itu akan berlalu secepat
Lagi-lagi aku terkesiap ketika bibir lembapnya menyapa bibirku yang selalu
ingin mengeluarkan semua kata-kata indah untuknya. Ia sepertinya sadar jika
pikiranku ini sedang tidak berada di satu alam yang sama dengannya. Gadisku
itu memang kelewat peka dengan semua hal di sekitarnya.
Ia lantas bertanya apa yang sedang aku pikirkan, namun aku tidak
menjawabnya. Aku lebih memilih untuk menyapa bibirnya balik yang saat ini
berjarak kurang dari sepuluh sentimeter. Pertemuan itu tidak berlangsung
terlalu lama karena aku terlebih dulu menarik kepalaku mundur. Ia terlihat
bingung, namun dengan segera aku memberikan beberapa kecupan di
wajahnya, paling banyak di pipinya. Gadisku menggeliat kegelian karena deru
napasku yang dapat ia rasakan dengan jelas menyapu wajahnya, tapi aku tahu
ia menyukai itu. Ia suka ketika aku sibuk menciumi pipinya.
Di saat-saat seperti ini, aku justru tidak membutuhkan time stone untuk
menghentikan atau memutar waktu, justru aku ingin waktu terus berjalan
karena artinya aku tahu aku menghabiskan ribuan detik untuk hal yang tidak
akan aku sesali nantinya.
eknath, 416
4 Desember 2021
Signature dish milik Four Seasons Hotel Jakarta— Tagliatelle Meatball menjadi
makanan yang dipilih Kaluna setelah pikiran dan perut laparnya berdebat
dalam diam ketika dirinya membaca nama-nama makanan yang tertulis pada
buku menu. Perut laparnya seperti mata manusia yang berbinar ketika
mendapat uang kaget, sedangkan pikirannya tertuju pada harga setiap
makanan yang tertera tepat di bawah nama makanan yang berbahasa asing
itu. Gadis itu cukup mandiri secara keuangan untuk membayar makanan yang
harganya tidak murah itu, hanya saja ia berpikir perut laparnya yang malang
itu pasti tidak mampu menghabiskan makanan yang jumlahnya juga tidak
sedikit itu. Jadi ia pikir lebih baik memesan Tagliatelle Meatball karena
Juan yang sebelumnya menyarankan gadis itu untuk memesan makanan yang
porsinya lebih banyak pun akhirnya paham alasan di balik gadisnya yang
hanya memesan makanan dengan porsi sedang. Terlihat dari Kaluna yang
biasanya membutuhkan waktu setengah jam untuk menghabiskan makanan
dengan porsi normal, kini dalam waktu kurang dari waktu normalnya, gadis
itu berhasil menghabiskan hidangan yang dilumuri cacciatore sauce itu.
Makan malam sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu namun sepertinya
mereka masih enggan untuk beranjak dari tempat duduknya. Terutama Bunda
yang tampaknya masih asik mengulik semua hal tentang gadis berumur 25
tahun yang duduk tepat di hadapannya. Kemudian pertanyaan yang tidak
pernah ia pikirkan sebelumnya keluar, “Kok, kamu mau, sih, Na, sama anaknya
Bunda?”
Pertanyaan meledek namun sedikit tricky itu mendapat respon yang berbeda-
beda. Ayah Juan yang tampak santai karena ia pikir itu hanyalan pertanyaan
iseng yang istrinya keluarkan, Kaluna yang sedikit tertawa namun tetap
memikirkan jawaban yang sekiranya dapat ia keluarkan, dan Juan— si korban
yang kini hanya memasang muka jengkelnya.
Kaluna yang menyadari perubahan ekspresi pada wajah Juan itu kemudian
bergerak untuk menggenggam tangan kanan laki-lakinya. “Justru malah Nana
yang bingung, Bunda. Kok, anaknya mau, ya, sama Nana?”
Ramalan cuaca hari ini memang tidak menunjukkan tanda-tanda hujan akan
turun malam ini, namun Juan dapat merasakan dingin dari telapak tangan
gadisnya yang secara tiba-tiba menggenggam tangannya tadi. Entah suhu di
ruangan ini yang memang cukup rendah atau Kaluna yang ternyata sedang
deg-degan karena Bundanya yang sedari tadi tidak berhenti menginterogasi
gadisnya itu.
Kata 'gapapa' yang Juan tahu sebenernya apa-apa itu membuat dirinya
dengan cepat melepas jas berwarna hitam yang sedari tadi memeluk
tubuhnya. Menyampirkannya kepada bahu Kaluna. Berharap agar jasnya itu
dapat sedikit mengurangi rasa dingin yang menyelimuti gadisnya.
Tanpa ada seorang pun yang tahu, sebuah senyuman terukir di wajah Bunda.
Tubuhnya menghangat kala menyaksikan anak semata wayangnya itu yang
sudah tumbuh dewasa dan tahu dengan benar bagaimana ia harus
memperlakukan seorang perempuan.
“Eh, udah jam 10, ya, ini? Pantes kedinginan si geulis. Yaudah Bunda sama
Ayah pamit pulang duluan, ya?” pamit Bunda yang mengundang tanya dari
Kaluna. Ia berpikir memangnya habis dari sini ia dan Juan mau kemana lagi?
Jemari yang kini sudah terpaut kembali membuat Juan dengan mudahnya
dapat menarik tangan gadis itu untuk ikut dengannya. “Mau kemana?” tanya
Kaluna bingung karena saat ini jika ia tidak salah tebakan, Juan menariknya
berjalan ke arah lift berada.
“Apaaaa? Emang bener, kok, orang aku udah reserved kamar buat malem ini.”
tambah Juan dengan Kaluna yang memilih untuk tidak menanggapi
pernyataan laki-laki itu.
Tangannya kembali ditarik pelan saat lift berdenting karena kini mereka sudah
berada di lantai 15 hingga langkahnya berhenti di depan salah satu kamar.
Dengan cepat Juan merogoh saku kanannya untuk mengambil kartu kamar
yang entah sejak kapan berada di sana. Juan mempersilakan gadisnya untuk
masuk selagi dirinya pergi ke dapur untuk mengambil dua buah gelas
burgundy dan satu botol wine yang entah sejak kapan pula ia pesan, Kaluna
juga tidak tahu.
“Hm?”
“Apaaa?”
Kaluna yang sedikit kesal karena laki-lakinya itu hanya memanggilnya dan
tidak kunjung melanjutkan kalimatnya itu dengan cepat menarik rahang tegas
Juan. “Apa?” tanya Kaluna tepat di wajah Juan yang hanya berjarak sekitar 20
sentimeter itu.
“Aku abis beli rumah.” satu kalimat pembuka yang berhasil membuat otak
Kaluna seperti kehilangan fungsinya.
“Kemanaaa?” tanya Juan yang terkejut karena tiba-tiba Kaluna bangun dari
duduknya dari berjalan menjauhinya.
“Ambil air putih, biar waras dikit ngobrolnya.” jawab Kaluna yang dihadiahi
sebuah kekehan pelan dari Juan.
Kaluna kembali dengan dua gelas berisi air putih dan memberikannya kepada
Juan— menyuruhnya untuk meminum air putih itu terlebih dahulu sebelum ia
mengeluarkan kalimat anehnya lagi.
“Kapan?”
Juan meletakkan gelas yang berisi air putih ke meja di depannya. “Ga tiba-tiba
juga, sih, Bub. Kamu penasaran ga, sih, kenapa selama ini aku masih tinggal
sama Ayah Bunda?” tanya Juan yang dibalas dengan sebuah anggukan.
“Aku selama ini masih tinggal sama Ayah Bunda soalnya biar aku cepet
nabungnya. Aku bisa aja ngeapart, tapi, kan, nanti uang aku bisa keluar lebih
banyak lagi buat beli kebutuhan sehari-hari.” jelas Juan.
He's a visioner. Tidak pernah sedikit pun Kaluna berpikir kekasihnya itu sudah
merencanakan hal-hal yang akan dan ingin ia lakukan dalam hidupnya mulai
entah dari kapan. He's indeed a great planner.
“Is this something about you that I just know now?” tanya Kaluna yang dibalas
dengan sebuah dehaman.
“Tell me more about you future plan.” pinta Kaluna. Jika orang lain mungkin
berpikir Kaluna terlalu ingin banyak tahu, justru memang itu yang diharapkan
Juan. Ia ingin menceritakan semua rencana hidupnya kepada gadis itu. Ia
ingin menceritakan semuanya karena ia ingin Kaluna ikut andil di dalamnya.
Juan menarik satu napas panjang, “Yang paling deket dari sekarang, sih, aku
mau hidup sama kamu.”
“Hah? Maksudnya aku pindah ke rumah baru kamu?” tanya Kaluna kaget.
Menurutnya pernyataan yang baru saja Juan lontarkan terdengar cukup
ambigu.
“Iya, tapi nanti kalo rumah aku udah ada isinya, soalnya sekarang masih
kosong. Aku mau hidup sama kamu, Na.” ujar Juan yang lagi-lagi membuat
Kaluna bingung karena ia masih mengulang kalimat yang sama meski ia sudah
menjelaskannya tadi.
“Hah?”
“Tadi kamu nanya aku mau hidup sama kamu atau engga, giliran aku ayoin
kamu malah hah hoh hah hoh.” ledek Kaluna. Ia paham betul laki-laki di
hadapannya itu masih kaget.
Kaluna terkekeh pelan ketika Juan masih terdiam. Ia bangun dari duduknya,
berniat untuk mengisi kembali gelas berisi air putih yang kini sudah habis.
Namun belum sempat ia melangkahkan kaki pertamanya, Juan sudah lebih
dulu menarik pelan lengan kiri gadis itu. Menyebabkan tubuh gadis itu
terhuyung ke belakang. Dengan sigap lengan Juan meraih pinggang ramping
Kaluna dan menariknya agar gadis itu jatuh ke dalam pangkuannya. “Hih,
ngapain, sih?” omel Kaluna yang masih menetralkan detak jantungnya.
“I love you, Kaluna Faleesha.” ujar Juan sebelum bibirnya dengan lembut
menyapa bibir gadis itu. Ciuman yang semula lembut kini beralih menjadi
ciuman yang cukup panas. Setengah mati Kaluna mencoba mengimbangi
permainan Juan. Kaluna melingkarkan kedua lengannya pada leher Juan ketika
tangan kanan Juan bergerak mengelus punggung gadis itu. Kemudian
meremas pelan surai hitam Juan saat bibir laki-laki itu kini sudah berada pada
rahang bawahnya. Menyapu semua permukaan rahangnya hingga ke bagian
leher dan mulai memberikan jejak di sana.
Satu erangan keluar dari mulut gadis itu kala Juan mencium pelan bagian
puncak dari pundak putihnya. Tangan Juan berhasil menemukan letak
resleting dress merah gadisnya namun sebelum itu ia menjauhkan wajahnya
dari pundak Kaluna. “Are you sure about this?” tanya Juan meyakinkan.
eknath, 407
4 Desember 2021
Keadaan Mojo pagi ini berbeda dari biasanya. Halaman depan yang biasanya
baru ramai mulai pukul sepuluh pagi, kini sudah banyak orang yang berlalu
lalang di sana padahal jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Kaluna
sudah sampai di sana sejak pukul enam pagi dan pastinya bersama laki-laki
yang kini sedang melakukan check sound di kafe sebelah. Dirinya sendiri sedari
tadi sibuk mondar-mandir kesana kemari mempersiapkan keperluan vaksin
gratis. Sejak semalam ia sudah tidak sabar untuk bertemu banyak anjing dan
kucing hari ini.
Dua jam berlalu dan selama itu pula persiapaan untuk vaksin gratis selesai.
Kini anak-anak Mojo sudah berada pada posisinya masing-masing, seperti
Kaluna, Jidan, dan Abbas yang berjaga di tenda depan bersama Citra yang
akan mengurus pendaftaran, Enzi dan Nadhif yang hari ini merangkap
menjadi logistik, dan Ashley bersama ketiga mahasiswa magang yang berjaga
dari dalam klinik.
Matahari mulai bergerak ke arah barat seiring dengan acara utama yang akan
dimulai sekitar satu jam lagi. Penonton mulai ramai berdatangan. Ada yang
mulai menempati kursi masing-masing, ada pula yang memilih untuk
memesan minuman terlebih dahulu.
“Mau kemanaaaa?” tanya Juan ketika Kaluna yang sedang berada di dalam
dekapannya bergerak menarik diri menjauh.
“Bentar, hp aku bunyi.” jawab Kaluna sambil merogoh kantong celana jeansnya.
“Halo?”
“Aku mau jemput bunda juga, wlek.” ledek Juan sambil kembali melangkahkan
kakinya mendahului gadisnya yang sedang mendecak sebal.
Kedua pupil Kaluna dan Juan melebar ketika netranya melihat kedua orang
tua mereka yang ternyata sedang mengobrok asik di samping panggung.
“Lah?” tanya Juan heran ketika mereka sampai di depan orang tua mereka.
“Kok kamu ga bilang-bilang, sih, Ju, kalo bundanya Nana satu almamater SMA
sama bunda?” tanya Bunda juan tiba-tiba.
“Ma, Dhika mana?” tanya Kaluna yang sedari tadi tidak melihat keberadaan
adik laki-lakinya itu.
“Lagi beli minum.” jawab Mama Kaluna yang kemudian hanya dibalas
anggukan oleh Kaluna.
Setelah membicarakan lumayan banyak hal, Juan akhirnya pamit untuk segera
ke backstage karena acara puncaknya akan dimulai sebentar lagi. Begitu pula
dengan Kaluna yang ikut pamit ke backstage untuk menemani laki-lakinya itu.
“Oit! Cekiber abis kemana aja, nih?” tanya Arka ketika mereka baru saja
menginjakkan kaki di backstage.
Lagi-lagi Juan menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Namun kali ini,
dekapannya lebih memiliki arti laki-laki itu butuh semangat sebelum naik ke
panggung. Tangan Kaluna bergerak membelai pelan punggung lebar Juan,
seperti memberikan ketenangan dan kekuatan di sana. “Bisa, pasti bisa.” bisik
Kaluna.
“Kamu nonton dari depan aja, ya, deket Bunda sama Mama.” ujar Juan yang
masih sibuk menghirup aroma minyak telon yang menyeruak ke luar dari
tubuh gadis itu.
“Dah, sana, udah dipanggil, tuh.” kata Kaluna sambil menepuk pelan punggung
Juan.
Enzi tidak menjawab pertanyannya, namun Kaluna tahu ini bukan pertanda
baik. Terlihat dari peluh yang memenuhi dahinya. Kaluna tahu maksud Enzi.
Minggu ini Mojo kedatangan dua ekor kucing dengan diagnosa FIP atau Feline
Infectious Peritonitis, sebuah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Feline
Coronavirus. Namun sepertinya hari ini adalah harinya. Setelah menyuntikan
anti-inflammatory untuk meredakan peradangan, kondisi dua ekor kucing itu
perlahan membaik.
Kaluna keluar dari Mojo, berniat untuk kembali menonton showcase band
favoritnya itu sembari memesan satu buah caramel macchiato di 1980's Coffee
Shop. Ia berdiri di ujung pintu kafe sambil menyenderkan tubuhnya di sana.
Menyeruput salah satu varian kopi yang sudah beberapa tahun kebelakang ini
selalu menemaninya hingga akhirnya Kaluna tersadar bahwa saat ini semua
mata tertuju padanya. Entah bagaimana, gadis itu juga tidak tahu pasti.
Namun perlahan indra pendengarannya menangkap salah satu potongan lirik
lagu yang sedang dinyanyikan oleh suara yang paling ia hafal. Potongan lirik
lagu yang satu minggu ini memenuhi telinganya karena ia sudah memutar
lagu itu ratusan kali.
Lagu itu terus Juan lantunkan hingga lirik favorit gadis itu akhirnya muncul, “I
love you, K.” Tubuhnya menghangat. Semburat merah ramai-ramai datang
“Stop biting your lips, okay?” bisik Juan sembari ibu jarinya menyapu
permukaan bibir gadis itu yang membuat Kaluna akhirnya melepaskan gigitan
pada bibir bawahnya. “Bite mine instead.“
eknath, 405
4 Desember 2021
Netranya terfokus pada pintu tembus pandang klinik hewan yang hanya
berjarak 6 meter dari dirinya yang berada di dalam mobil hitam miliknya.
Menunggu gadis yang hari ini menggunakan scrub berwarna biru tua keluar
dari sana. There you go. Dilihatnya Kaluna yang baru saja mendorong pintu
tembus pandang itu dari dalam. Menampakkan gadis yang surai hitamnya hari
ini diikat rapi dengan model pony tail.
“Halo.” sapa Kaluna saat membuka pintu penumpang depan. Gadis itu
kemudian segera duduk dan menutup pintu penumpang itu kembali. Memutar
badannya agar dapat melihat laki-laki yang tadi memintanya untuk
menemuinya.
“Kenap—”
Manis, dan akan selalu manis. Itu yang Juan rasakan whenever they're kissing.
Kaluna yang sempat kaget kemudian tersadar dan berusaha mengimbangi
tempo permainan Juan. Bahkan kini kedua tangannya sudah ia letakkan di atas
bahu laki-laki itu. Jari-jarinya bergerak lembut menyisir surai hitam Juan yang
dengan sengaja dibiarkan tumbuh gondrong oleh pemiliknya.
Satu hal yang Kaluna sadari tiap mereka berciuman adalah laki-laki itu selalu
melepas pagutannya tepat sebelum gadis itu kehabisan napasnya. Namun
tetap saja setelahnya dengan rakus Kaluna akan menghirup oksigen sebanyak-
banyaknya. “Calm down, buttercup. The air is yours.” ledek Juan sembari
kembali memberikan kecupan ringan di bibir gadis itu. Tidak lupa juga ia
memberikan kecupan ringan pada tiap inci wajah gadis itu yang memberikan
sensasi geli.
“I solved the case.” ujar Juan setelah ritme napas Kaluna kembali normal.
“I love you, buttercup, bub, sayang, cantik.” final Juan sebelum bibirnya kembali
menyapa bibir manis gadis di hadapannya.
eknath, 371
26 November 2021
Gotcha.
Bagian bawah mata yang jika tersenyum akan membentuk bulan sabit itu kini
terlihat menghitam. Kaluna bertanya-tanya entah apa yang sedang laki-laki
ini kerjakan hingga dirinya bisa menyimpulkan bahwa belakangan ini jam tidur
Juan pasti sedang tidak teratur.
“Maaf.”
“That's not the answer, Juan.” Juan paham betul yang gadisnya butuhkan saat
ini hanyalah penjelasan tentang apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari
kebelakang. Dengan cepat ia meraih pergelangan tangan Kaluna dan
menariknya pelan ke arah sofa. Menuntun Kaluna untuk duduk dengan dirinya
yang masih berdiri di hadapannya. Kaluna lagi-lagi menengadahkan kepalanya
namun kali ini ditemani dengan wajah bingungnya.
“Aku mau mandi dulu, kotor banget abis dari luar. Abis ini aku ceritain
semuanya, okay?” ujar Juan menjawab kebingungan yang tergambar jelas pada
raut wajah gadisnya masih dengan tangan kirinya yang menggenggam tangan
kecil Kaluna.
Tidak butuh waktu lama bagi Kaluna untuk menunggu Juan selesai
membersihkan tubuhnya. Kini laki-laki itu sudah duduk di hadapannya
dengan aroma khas detol biru menyeruak ke indra penciuman gadis itu.
“Kafe yang mau dipake buat showcase tiba-tiba kemarin ngasih kabar katanya
gabisa dipake.” satu kalimat permbuka dari Juan namun Kaluna sudah
mengerti masalah apa yang sedang dihadapi laki-lakinya sampai-sampai
timbul pertengkaran kecil di dalam hubungannya.
“Padahal acaranya kaya 5 hari lagi dan hari ini harusnya udah sebar poster.
Dari semalem udah nyoba hubungin tempat-tempat yang sekiranya bisa kita
pake tapi udah full booked semua. Bingung banget, Na, kalo sampe acaranya
gajadi.” cerita Juan.
“Gausah ikut pusing mikirin masalah aku, sayang.” ujar Juan yang menyadari
perubahan raut wajah Kaluna dari yang tadinya hanya fokus mendengarkan
ceritanya dengan seksama, kini berubah menjadi raut wajah berpikir dengan
kedua alis yang hampir bertaut.
“Kenapa, sih?”
“Tunggu aja besok, sayang.” balas Kaluna final yang akhirnya disetujui oleh
Juan.
“Baikan, kan, ini?” tanya Juan sedikit ragu. Takut jika sebenarnya Kaluna masih
marah kepada dirinya.
Juan mengikuti perintah Kaluna dan segera ikut duduk di pinggir kasur lalu
memposisikan dirinya untuk menghadap gadisnya. Kaluna membuka tutup
dari kemasan eye cream tersebut dan bersiap untuk mengaplikasikannya pada
bawah mata Juan.
“Buat bawah mata kamu, ga liat apa udah mirip panda gitu.”
“Udah diem aja sini.” tambah Kaluna sambil menarik pelan lengan kiri Juan.
Kemudian meletakkan tangan kirinya pada bagian belakang kepala Juan untuk
menahannya. Dengan telaten Kaluna mulai mengoleskan eye cream berwarna
krem muda itu pada bagian bawah mata Juan. Lalu memberikan sedikit pijatan
di sana menggunakan ujung aplikatornya.
Mata Juan sedari tadi tidak terlepas pada wajah gadis itu. Terutama bibirnya.
Pikirannya tiba-tiba teringat pada malam di mana ia mengajak Kaluna
meminum wine di apartemen gadis itu. Teringat bagaimana manisnya bibir
Kaluna yang bercampur wine malam itu menyentuh permukaan bibirnya.
“What are you looking at, sir?“
“Your lips.” jawab Juan yang membuat gadis itu menghentikan kegiatannya.
“Kenapa?”
“I miss her.” balas Juan as soon as he finally gave her a peck. She thought it would
be a peck but he gave her PECKS. Along with the “I love you” sentence that he said
eknath, 362
26 November 2021
Di kala suasana hatinya yang tidak cukup baik, gadis itu sebisa mungkin
mengalihkan pikirannya kepada hal-hal yang sekiranya tidak membuat
moodnya semakin jatuh. Pagi ini Kaluna memutuskan untuk mengendarai
mobilnya yang terhitung sudah 1 minggu lamanya tidak ia gunakan. Memilih
album Badlands milik Halsey untuk menemani perjalanannya pagi ini menuju
Mojo. Berharap suara milik penyanyi kelahiran 1994 itu dapat membantu
menyusun kembali semangat kerjanya hari ini.
Penampilan Kaluna tiap kali datang ke Mojo tidak pernah bisa berhenti
membuat orang-orang yang melihatnya berpikir kalau ia adalah seorang
pemilik hewan yang rutin datang ke Mojo namun karena takut ramai jadi ia
sudah datang sejak pukul delapan pagi. Bagaimana tidak? Tiap kali gadis itu
turun dari kendaraan yang ia gunakan, semua orang di sekitarnya akan
langsung terfokus pada sendal jepit berwarna biru muda yang ia gunakan.
Ditambah pakaian yang ia gunakan sesuai dengan moodnya hari itu. Seperti
hari ini, gadis itu terlalu lelah untuk memilih pakaian yang sekiranya senada
untuk ia gunakan. Maka dari itu tadi pagi Kaluna dengan cepat mengambil
satu set baju tidur dengan motif gingham yang bernuansa abu-abu.
Kedua temannya yang sedari tadi belum menyadari kehadiran Kaluna pun
kemudian ikut berdiri setelah mendengar sapaan dari salah satu temannya itu.
“Pagi, dok.”
“Lu ga mandi ya, nyet?” ledek Enzi lagi-lagi dari balik meja administrasi.
Hari ini Kaluna memutuskan untuk menggunakan salah satu scrubnya yang
berwarna cukup terang, yaitu krem. Lagi-lagi berharap akan ada keajaiban
datang menghampiri dirinya. Belum sempat ia menyelesaikan doanya, loker
berbahan besi yang berada tepat berada di hadapannya itu berbunyi karena
diketuk pelan oleh seseorang.
“Permisi, dokter.”
Kaluna memang baru sehari bekerja bersama tiga mahasiswa magang itu,
namun dirinya sudah dapat mengenali suara perempuan di sampingnya tanpa
harus melihat. “Kenapa, Almeera?”
“Silakan.”
“Sebelumnya saya mau minta maaf atas kelalaian saya kemarin. Saya sadar
betul tindakan saya sangat sembrono dan terkesan tidak sopan. Mulai dari
lalai tidak membawa scrub hingga dengan tidak sopannya saya bertanya hal
pribadi dokter, terlebih di jam kerja. Saya mohon maaf, dokter.” jelas Almeera
yang seketika membuat kedua alis Kaluna berhenti menyatu.
Kaluna terkekeh pelan, “Makasih udah berusaha reach out saya duluan dan
ngakuin kesalahan kamu. Saya ga masalah kamu mau nanya hal pribadi saya
selagi itu di luar jam kerja dan tidak terlalu privasi. Jadiin ini pelajaran, ok?
Saya mau selama magang di sini kamu paham etika yang harus kamu terapin
nanti kalo kamu udah jadi dokter hewan. You're going to be a great vet,
Almeera.”
Ini yang Kaluna inginkan. Ia tidak merasa mahasiswa magang harus pintar dan
menguasai semua kasus-kasus di klinik karena mungkin dirinya sendiri belum
tentu bisa. Berani mengakui kesalahan yang diperbuat pun menurut Kaluna
sudah lebih dari cukup.
“Terima kasih banyak, dokter. Oiya, dok, saya sebenernya udah ngefollow
sosial media dokter lumayan lama jadi I think I can confidently say that you're a
big fan of caramel macchiato, so here's a cup of caramel macchiato for you. I hope
it can boost up your mood today.” ujar Almeera sambil memberikan segelas
caramel macchiato yang sempat ia beli sebelum datang ke Mojo.
“Oiya, dok.”
“Kenapa?”
“I'm sorry if this sounds too personal, but I can see why you and Juan complete
each other.“
Pikirannya tentang Juan yang cukup membuatnya meledak tadi pagi akhirnya
datang lagi. Tidak, ia tidak marah kepada Almeera yang tiba-tiba
membicarakan hal pribadi meskipun sebelumnya ia sudah meminta maaf
sebelum mengatakan itu. Ia marah kepada kalimat yang Almeera baru saja
katakan tentang dirinya dan Juan. She mads at the fact that they're in the middle
of a cold war while other people think about how they're truly made for each
other.
“Na?”
Kaluna yang tersadar jika mereka sudah sampai pun segera berusaha put
herself together. “Hah, iya, maaf.”
“Aku ga boleh mikir gini, sih. Cuma aku takut anak magangnya aneh-aneh.”
“Then that's Mojo's job to keep them on track selama magang di sini. Aku ga
bermaksud nyalahin kamu atau apa loh, ya. Wajar kok kalo kamu khawatir gini.
Tapi coba inget-inget dulu pas kamu masih magang kayak yang semalem
kamu ceritain, deh. Kan, dulu kamu juga ibaratnya masih nol banget soal kerja
di klinik atau di peternakan, ya, kan?”
“Kan, ga ada orang yang tiba-tiba langsung bisa. Kalo mereka salah diingetin
dulu baik-baik, kalo emang udah ga bisa dibilangin baru kamu tegur tapi tetep
jangan kebawa emosi kamunya.”
Ia melangkahkan kakinya keluar dari mobil hitam milik Juan menuju Mojo.
Belum sempat Kaluna menutup pintu kaca yang tadi ia buka sampai rapat,
ketiga mahasiswa magang itu sudah terlebih dahulu menyapa dirinya.
Membuat gadis itu sedikit terkejut hingga membelakkan kedua bola matanya.
“Selamat pagi, dok.” ujar ketiga mahasiswa magang itu secara bersamaan.
“Pagi. Ayo ganti bajunya dulu. Pada bawa scrub masing-masing, kan?” tanya
Kaluna kepada tiga mahasiswa yang kini sudah bangun dari duduknya.
Kaluna pikir mood baiknya akan bertahan setidaknya hingga jam makan siang
nanti. Namun pikiran itu kini hanya tinggal angan-angan kala salah satu
mahasiswa yang Kaluna yakini bernama Almeera itu menahan langkah kakinya
tiba-tiba saat kalimat penghancur mood baiknya pagi itu terlontar secara
gamblang. “Dok, mohon maaf saya ga bawa scrub.”
Enzi yang sedari tadi hanya memperhatikan dari belakang meja admin pun
ikut menegang. Paham betul akan kalimat yang baru saja ia dengar itu bukan
pertanda baik. Sedangkan Citra hanya dapat menutup kedua wajah masamnya
dengan kedua tangannya. Memilih untuk tidak melihat kejadian yang akan
terjadi setelah ini.
“Kenapa ga bawa?” tanya Kaluna santai namun wajah kecutnya itu tidak bisa
berbohong.
Jika saat ini kalian berpikir reaksi Kaluna terlalu berlebihan, silakan saja
asumsikan pendapat kalian karena Kaluna tidak akan mengubah reaksinya.
Menurutnya lalai dalam bekerja memang sering terjadi namun baik Enzi,
Ashley, dan dirinya sudah mengantisipasi itu semua. Terbukti dari mereka
yang dengan senang hati membuat daftar barang-barang apa saja yang harus
dibawa mahasiswa magang itu sejak proposalnya diterima.
Kaluna yang sejatinya tidak suka apabila scrub miliknya dipakai orang lain pun
mau tidak mau harus meminjamkan salah satu scrub berwarna biru mudanya
itu. Satu-satunya scrub milik gadis itu yang dengan sengaja tidak ada bordir
nama lengkapnya pada bagian dada kanannya.
Setelah berganti pakaian, kini Enzi dan Kaluna beserta paramedis dan tiga
mahasiswa magang sudah berkumpul di ruang utama klinik itu untuk
mendengarkan beberapa arahan yang akan disampaikan oleh Enzi dan Kaluna.
“Pembagiannya udah jelas, kan, ya? Ada yang keberatan, ga?” tanya Enzi
diujung pemaparannya.
“Dari saya engga ada, dok.” jawab Hanan yang kemudian disusul anggukan
tanda setuju oleh kedua temannya.
“Oke, kalo udah ga ada sekarang bisa ke tempat masing-masing, ya. Almeera,
Hanan, ayo.” tutup Kaluna sambil mengarahkan kedua anak buahnya yang
seharian ini akan berada di bawah bimbingannya di poliklinik.
“Jadi kalo misalnya kalian ada pasien, tulis diagnosa kalian apa, obat yang
kalian pake apa, intinya rincian tentang pasien kalian di catetan kecil kalian.”
“Untuk lebih lanjutnya, see and learn tiap kali ada pasien yang dateng, ok?”
tanya Kaluna yang menaruh harapan cukup besar kepada kedua anak buahnya
hari ini.
“Baik, dokter. Oiya, dok, saya mau tanya.” ujar Almeera yang dibalas anggukan
“Saya baru sadar setelah liat nama lengkap dokter di snelli, dokter pacarnya
Juan Eknath, ya?”
Triple kill.
eknath, 275
3 November 2021
Tidak berselang lama, panggilan itu tersambung dan disambut dengan sapaan
dari laki-laki paruh baya di seberang sana.
“Lagi makan?” tanya Papa Kaluna karena mendengar suara dentingan sendok
dan mangkuk yang saling beradu.
“Iyaa, dikirimin bakso tadi sama Juan. Papa udah makan belom?” tanya Kaluna
balik.
“Udah dong.”
“Tumben banget jam segini udah pulang. Oiya Papa mau ngomong apa tadi?”
“Baik. What's wrong? Tumben banget Papa nanyain gini sampe ditelfon.” ujar
Kaluna heran.
“Kenapa dokter Gista?” tanya Kaluna lagi sambil mengunyah sepotong bakso.
“Beliau kan lagi hamil tuh, Kak. Terus ternyata due datenya sebentar lagi.”
“Ih selamat, dok! Eh berarti Papa sendirian dong di klinik?” tanya Kaluna.
“Oh... Sejauh ini Mojo baik-baik aja, sih, Pa. Maksud aku dipegang berdua juga
fine-fine aja. Cuma mungkin aku harus diskusi dulu sama yang lain enaknya
gimana.”
“Iya gapapa diskusiin aja dulu. Kalo emang ga bisa juga gapapa, jangan
dipaksain.” jelas Papa Kaluna yang tidak ingin memberatkan putrinya itu.
“Iyaa pasti. Nanti aku kabarin secepatnya ya, Pa. Eh Papa udah berapa hari di
klinik sendiri?” tanya Kaluna sedikit khawatir.
“Baru sehari, kok. Itu juga sama staff yang lain jadi Papa suruh pulang cepet.”
jawab Papa Kaluna.
Gadis itu sedikit bernapas lega, “Jangan buka full kayak biasanya, ya, Pa.”
“Iyaa. Yasudah itu aja yang mau Papa omongin. Kamu gimana sama Juan?”
tanya Papa Kaluna meledek.
“Iyaa tapi jangan Papa suruh diagnosa, loh, ya.” ledek Kaluna balik.
Terdengan suara tawa di sana, “Paling Papa suruh itung jumlah gigi kucing.”
“Paaaaaaa??????”
“Hi, buttercup.” sapa Juan dengan kedua matanya yang membentuk bulan
sabit.
Kaluna terkekeh pelan. Membiarkan Juan masuk dan menaruh satu buah
paper bag yang sedari tadi ia bawa di atas meja makan.
“Hah kok tiba-tiba? Eh maksud gue makasih Bundanya Juan.” balas gadis itu
sedikit panik dan kaget.
“Iyaa gatau juga si Bunda.” jawab Juan sambil melenggangkan kakinya ke arah
sofa.
“Mau angetin apple pienya dulu.” balas Kaluna yang saat ini sibuk
mengeluarkan makanan itu dari paper bag yang berukuran cukup besar.
“Nanti aja. Belom laper. Sini.” ajak Juan sekali lagi namun kali ini akhirnya
Kaluna ikut duduk di sampingnya.
Satu menit berlalu tanpa kata ataupun kalimat. Sedari tadi Juan hanya sibuk
memperhatikan kontur wajah yang tidak ia lihat selama dua hari ke belakang.
Juan paham betul gadis di depannya ini sedang salah tingkah. Terdengar dari
suara decakan sebal khas jika gadis itu dan tangannya yang tiba-tiba meraih
remot untuk menyalakan tv.
“Lo gamau nanya apa gitu? Gada yang dipenasaranin?” tanya laki-laki itu
meledek.
“Go ahead.“
Baru saja Kaluna membuka mulutnya namun Juan lebih dulu memotong
ucapannya, “Sebentar, jangan ngomong dulu.”
“Dah. Ayo tanya.” ujar Juan semangat sambil menatap wajah Kaluna dari
bawah.
“Coba ceritain dulu deh itu kronologinya gimana.” balas Kaluna akhirnya.
Kaluna mengulurkan tangan kirinya ke pipi kanan Juan yang membuat laki-
laki itu sedikit terkejut.
Laki-laki yang kemudian mengikuti saran Harsa itu akhirnya bertanya kepada
Dhika apakah kakaknya ada di rumah dan ternyata tidak. Kemudian laki-laki
itu bertanya kepada Ashley yang pada akhirnya Ashley menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Tidak lupa mengirimkan dua buah tautan podcast dokter
hewan dengan topik kesehatan mental dokter hewan yang setelahnya Juan
dengarkan dengan seksama.
God, he really took his time to listen to something he might never listen in his
entire life.
Ia takut salah langkah. Merasa dirinya takut salah bicara walaupun ia sangat
ingin menemui gadis itu. Ia juga meminta saran sang Ibunda yang akhirnya
Juan memutuskan untuk meminta tolong kepada Dhika. Meminta tolong pula
“Aus gue cerita udah kayak baca novel. Gamau ambilin minum?” ledek Juan
tidak habis-habisnya.
“Ya bangun dulu dong.” titah Kaluna sambil mengangkat pelan kepala laki-laki
itu agar tidak terbentur.
“Ngapain, sih?” tanya Kaluna yang kini menyandarkan dirinya pada pantry
dapur.
“Iya, kan ini udah ketemu.” balas Kaluna sambil memberikan segelas air putih
kepada laki-laki itu.
Tidak ada obrolan setelahnya. Hanya ada Kaluna yang memperhatikan Juan
yang sibuk menghabiskan segelas air putih di genggamannya.
“If you ever wondering about all of the things happened between us, I just wanna
let you know if it's mutual.” ucap Juan tiba-tiba yang membuat gadis itu
mengangkat kepalanya. Memberanikan diri menatap netra yang sedang
menatapnya balik dengan tatapan teduhnya.
“You have no idea how much I thank God for everything happened. How I thank
that you found Mochi at that time. How I thank that I met you at Mojo. I don't
think I can list and tell you everything that I thank because I even thank that I can
see your face this close.“
“Seeing how you love your job. Knowing that it's not always the happiness you get
but you still love your job makes me wanna be someone that you can always tell
about your days, someone that you can always rely on when you have bad days, I
do really wanna be that someone.“
“I don't even know how to ask you to be my girlfriend because I don't want it just
as simply as boyfriend and girlfriend that's it, no. Gue gatau gimana harus
jelasinnya.”
“Iya apa?” tanya Juan panik. Tidak mau terlalu percaya diri terlebih dahulu.
“Na, kalo lo ngerasa terpaksa dan belum siap, bilang, ya?” tanya Juan khawatir
jika dirinya terlalu terburu-buru dan memaksa.
“Fyi, I never say anything twice.” balas Kaluna berusaha meyakinkan Juan.
Juan memajukan wajahnya. Menatap manik cokelat gadis itu lebih dekat.
Kemudian pandangannya turun ke bibir bawah Kaluna yang sedari tadi digigit
oleh pemiliknya.
“Can I?” tanya Juan meminta izin yang dibalas anggukan oleh Kaluna.
Juan kemudian menaruh tangan kanannya ke pipi gadis itu. Menarik rahang
Kaluna perlahan untuk memperdalam ciumannya. Sedangkan tangan kirinya
ia gunakan untuk melindungi kepala Kaluna agar tidak terbentur etalase
dapur yang berada tepat di atas kepala gadisnya. Kaluna sendiri belum berani
melepaskan genggaman tangannya pada kaos hitam laki-laki itu.
Lembut dan tidak menuntun— itu dua kata yang dapat Kaluna jelaskan saat
ini. He just let everything go with the rhyme.
“I love you.” bisik Juan di sela-sela ciuman itu yang lagi-lagi berhasil membuat
Kaluna tersenyum.
Juan yang menyadari Kaluna mulai kehabisan napasnya itu menarik kepalanya
perlahan. Membiarkan Kaluna menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
“Gapapa, jadi ga?” tanya Juan lagi untuk menutupi rasa malunya.
“Iya, kamu mundur dulu dong.” balas Kaluna sambil mendorong pelan
pinggang laki-lakinya itu.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya?” izin Juan yang dibalas anggukan.
Setelah Juan memasuki kamar Kaluna, gadis itu kemudian memasukkan apple
pie yang tampaknya merasa tidak dianggap ke dalam oven.
“Na, mau tanya boleh? Kalo privacy gausah dijawab gapapa.” izin Juan.
“Engga, aku takut kelewat batas aja. I saw that blue tone book on your desk. It
says 'Kaluna's Vet Journal'.“
“Tolong ambilin bukunya bawa ke sofa, nanti kita baca bareng. Aku mau siapin
apple pienya dulu.” ujar Kaluna.
Kini keduanya sudah berada di sofa dengan Kaluna yang bersandar pada dada
bidang laki-laki itu. Tangan kiri Juan sibuk memegang jurnal sedangkan
tangan kanannya ia letakkan pada surai hitam gadis itu.
“Apaaaa? Biasa aja.” balas Kaluna karena ia pikir memang ia belum seberapa
hebat.
“Biasa aja apanya, cantik?” tanya Juan yang membuat Kaluna terdiam karena
salah tingkah.
“Mau ikut aku isi jurnal ini tentang kasusnya Leo ga?”
eknath, 237
24 Oktober 2021
Hujan di pagi hari mengguyur kota Jakarta. Meredam suara tangis seorang
gadis di balik selimut putihnya.
“Apa harusnya emang gue gausah jadi dokter hewan, ya?” pikir gadis itu dalam
hati.
Entah sudah berapa kali kalimat tersebut berulang kali terputar dalam
pikirannya. Menangis, terdiam, meraung. Nampaknya tubuh gadis itu sudah
terprogram untuk melakukan hal tersebut berulang kali.
Hujan semakin deras. Maka semakin deras juga suara rintikan hujan menutupi
pendengaran Kaluna. Sampai-sampai gadis itu juga tidak sadar jika ada
seorang laki-laki paruh baya yang kini sudah berada di sampingnya.
Suara parau khas orang bangun tidur dan menangis terdengar seakan
mengecilkan suara rintik hujan sementara, “Pa?”
Laki-laki yang sedang meletakkan buku terakhir yang berjudul Anesthesia and
Analgesia for Veterinary Technicians karya John Thomas dan Phillip Lerche itu
menengok ke arah sumber suara. Melihat kondisi gadisnya yang— ah sudahlah
namun kemudian ikut duduk di sebelah gadis itu.
“Siapa yang bilang begitu? Sini suruh ngomong di depan Papa kalo berani.”
balas laki-laki paruh baya itu.
“Papa jawab nanti, tapi kakak mandi dulu, ya? Papa tunggu di dapur.” jawab
laki-laki itu sambil sedikit merapikan rambut di pelipis gadisnya.
Laki-laki paruh baya yang Kaluna panggil papa itu kemudian berjalan ke arah
dapur. Merapikan beberapa makanan yang ia bawa dari rumah. Mulai dari
capcay, ayam goreng, dan tidak lupa tempe goreng kesukaan anak sulungnya.
Tidak lama kemudian Kaluna keluar dari kamarnya dengan wajah yang sedikit
lebih segar walaupun duka masih menyelimuti dirinya. Ia lantas duduk di kursi
meja makan yang berhadapan dengan Papanya.
“You've been waiting for wh— So you've been waiting for me to lost a patient?!”
tanya Kaluna sedikit emosi.
“Says who? I've been waiting for you to learn this kind of thing. That being a vet is
not only about the happiness you get when your patient is healthy and ready to go
home, no. I want you to learn how it feels to loose a life, to understand that you
can't always save them. With a note that you have to give your best, ya.” jelas
Papa Kaluna yang kemudian membuat gadis itu tersadar.
“That's normal. I've been there too. Justru ini pengalaman jadi dokter hewan
muda yang harus kamu alamin dan kamu pahamin jadi seiring berjalannya
waktu kamu akan terbiasa dengan hal kayak gini.” lanjutnya.
“Papa tanya ya, waktu itu kamu libur apa emang masuk?”
“Libur.”
“Terus masalahnya dimana? Kan kamu lagi libur? Toh kalau kamu masuk aja
belum tentu pasien kamu yang kemarin bakal dateng tiba-tiba dengan
keadaan kritis kan?” tanya Papa Kaluna yang lagi-lagi menyadarkan
pikirannya.
“Take your time, Kak. Tapi jangan berlarut-larut sama sedih. Inget masih
banyak nyawa yang bisa kakak selametin, ya, kan?” tanyanya yang dibalas
anggukan.
“You can always come at me, okay? You're going to be a great veterinarian, I can
see that.“
⇠ Older