Anda di halaman 1dari 37

BELAJAR BERMAIN

Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu
menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan
kedua kaki terselonjor.Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian
mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk
dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa.

Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden
dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyoroti tempat
tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas
sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai.

Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala
mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu.Sudah
sembuh, ya?

Pertama-tama, yang akan dikatakan semua orang tentang hal baik


adalah:Alhamdulillah,bersyukur atas kesehatan dan nikmat hidup yang diberikan Tuhan pagi ini.
Tubuh masih utuh tak kurang satu apapun dan ambisi tidak dilahap waktu meski semuanya sudah
terlambat untuk dimulai. Tapi tak dapat dipungkiri, keanehan pun menjalar mengitari hal
tersebut.

Aneh karena dislokasiku bisa sembuh dalam semalam tanpa ada rasa nyeri sedikitpun.
Aneh rasanya karena saat bercermin aku menemukan debu melapisi kulit wajahku. Saat
kupastikan langit-langit kamar, sarang debuatau semacam jaringlaba-laba tidak ada di sana. Aku
jadi curiga saat merasakan perutku tak lama merasakan lapar yang tak tertahankan.Apa, jangan-
jangan?

Brrrm,,, mpssss,

Aku berpaling keluar jendela. Melihat pick up memarkir diri di depan kos yang tak lama
dua orang di depan keluar untuk menurunkan beberapa barang besar dibungkus kertas krep
coklat dibelakangnya—digotong masuk ke dalam kamar tepat di sampingku. Aku menarik tirai
untuk mengintip. Melihat Esa yang tengah berdiri di tengah halaman memantau kegiatan
tersebuthampir dua puluh menitan sampai semuanya selesai. Setelahnya, supir dari pengendara
pick up serta satu orang temannya mengacungkan jempol, kemudian membawa mobilnya keluar
dari halaman kos dengan cepat.

Tunggu-tunggu. Bukannya itu tadi manajer sekaligus kasir di Larasa, ya? matanya kan
sipit. Aku membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Masih dengan surai yang berantakan,
kotoran di ujung mata, muka yang sembab, jugabaju piyama motif parangritis, dengan gagah
berani menatap lawan yang nampak bersinar di bawah pantulan sinar matahari.

Esa sendiri tercenung. Dia terdiam seribu bahasa karena terpaku padaku yang berbentuk
setengah rupa. Aku yang sadar diri paling jelek hanya berusaha meluruskan helai rambut dan
mengusap wajah pelan. Ia memakai kaus pendek merah bertuliskan “fight” dengan gambar
kobaran apipada bordernya. Jeansselutut mengekspose warna kakinya yang putih-bersih,
berjalan mendekat dengan sesekali mengelus surainya yang terlihat mengkilap. Tapi meski
begitu, nuansa tatapannya dalam dan gelap.

“Kamu kenal manajer di Larasa, ya?” tanyaku.

Tanpa basa-basi aku langsung menuding begitu. Ia me-loading pertanyaan dengan lambat
meski jawabannya hanya sekadar anggukan kepala sebelumpandangannya beralih pada
tangannya yang memegang kenop pintu dengan tergesa.

“Kok bisa?”

Aku menahannya dan ia jadi menjeda pergerakan. Kali ini dengan jelas menatapku tidak
suka sambilmengkerutkan alis. Kamar kami bersebelahan dan tembok penghalangnya dibuat
seperti perosotan, jadi para tetangga bisa saling menyapa dengan lebih leluasa.

“Memangnya, anda ada perlu apa, ya?”

“Eh—” dadaku mencelos. Apa yang ia katakan barusan? Anda?

Aku bungkam beberapa detik.


Kau tahu, belakangan ini aku mulai bermain mobile legendhinggalarut malam setiap hari
sampai mimisan karena kurang tidur dan aku jadi tahu kalau pertanyaan barusan rasanya seperti
tertembakstun dari lawan.

“Anda, kenal saya?” tambahnya lagi. Aku jadi tak mengerti.

“Kamu nggak ingat, aku siapa? sama sekali?”

Ia berpikir cukup lama. Mencari-cari siapa aku di dalam kepalanya sambil beradu tatap
tanpa berkedip. Bergeming, menimbulkan inisiatifku untuk memajukan dagu padanya. Ia
mencermatiku dalam-dalam, dan kukatakan dengan begitu jelas.

“Aku pacarmu, Esa.”

Ekspetasiku dengan responnya berbeda. Barusan itu hanya hening, dibarengi dengan
tatapan tidak mengerti. Ia jelas tidak semudah itu percaya, tapi responnya begitu biasa.Refleks
pandangannya melompat ke arah lain, dengan santai mengabaikanku sambil bergegas masuk ke
dalam kamarnya. Bahkan telingaku mendengar jelas bunyi pintu yang dikunci rapat-rapat.Aku
berpikir beberapa detik. Sebegitu alerginya ia dengan manusia? Apa jangan-jangan, karena
amnesianya?atau karena aku jelek?Aku memiringkan kepala dan mendesis, tapi kalau lupa
sama orang yang baruditemui satu hari yang lalu, bukannya itu keterlaluan?

Ceklek,

Dia membuka pintu lagi dan muncul dengan sekantong besarpaper bag yang isinya bahan
masakan.Aku bisa melihatdaun sawi dan daun bawangmencuat dari sana membuat mataku
terbelalak saat ia menyodorkan semuanya padaku.

“Apa ini?” tanyaku, bingung.

“Katamu, kamu jago masak apa saja selain air dan kamu sudah janji mau masakin aku,
kan?”

Aku terkejut.

“Iya, kamu ingat?”

Ia menarik napas sambil memejamkan mata, entah kenapa kelihatannya nyaris menjadi
murka.
“Yaiyalah, jelas! itu sudah tujuh hari yang lalu, tahu!”

“Hahh?!!”

***

Sekarang pukul setengah dua belas siang. Matahari terik. Suhu aspal menguap. Kumbang-
kumbang berdengung bersaing dengan bunyi jarum jam yang berdentang. Angin kering sesekali
berhembus membawa debu pasir ke pintu rumah-rumah yang jendelanya terbuka. Aku diam
mengamati Esa yang sibuk berbicara dengan seseorang di telfon sementara isi dunia sedang
berputar-putar di atas kepalaku.Bingung. Pening. Gelisah,bergabung membentuk pusaran angin
tornado yang membentuk gumpalan penyesalan:Apa yang telah kuperbuat pada tujuh hari
berhargaku selama ini?

Hidup ini luar biasa teman-teman. Alurnya tidak bisa ditebak dan akhir kisahnya tidak
mampu diprediksi. Semua orang tahu itu, tapi baru kali kini aku menyadari kekuatan sihir dari
sebuah teori. Tubuhku membeku di tempat, masih memegang bahan masakan tadi dengan
pandangan ke halaman kos yang sudutnya ditanami lidah buaya oleh bu Ros.

Ngomong-ngomong tentang lidah buaya, aku ingat tumbuhan itu dulu hanya bibit
mungilseukuran pohon tauge berumur tujuh hari, di dalam sebuah pot kecil dengan tanah kering
yang kuprediksi bisa bertahan hidup sekitar nol koma nol satu persendari sepuluh. Tetapi, setelah
dipindah oleh bu Ros ke dalam pot yang lebih besar dengan tanah yang sudah digemburkan serta
dicampurkan pupuk, lalu setiap hari disiram dan dipuji dengan rajin, alhasil lidah buayanya
lama-kelamaan menjadi bertunas dan beranak-pinak dengan subur sampai sekarang. Percaya
tidak percaya, daunnya kini jadi sebesar lengan manusia.

Aku tidak tahu menahu apa urusan diriku dengan lidah buaya tersebut namun sekilas
perubahan yang dialaminya membuatku tersadar betapa mengejutkannya kehidupan. Bu Ros
telah merawatnya dengan ketulusan hati meski orang lain memprediksi lidah buaya tidak akan
bisa bertahan, namun lidah buaya tidak menggubris sebab ia tahu kasih sayang Bu Ros
padanyatakkan pernah berubah. Jadi, yang perlu ia lakukan hanyaberfokus pada dirinya sendiri
dengan berfotosintesis dengan giat dan terus berkembang hingga menjadi lidah buaya yang
terbaik.
Aku merasa payah karena cara menjalani hidup lidah buaya lebih baik daripada diriku.
Jika sadar lebih awal, seharusnya aku bisa seperti lidah buaya. Giat berfotosintetis dan terus
berkembang kala Tuhan tidak memiliki batasan dalam hal kasih sayang.

“Noumi…?”

“Eh—?” aku jadi lupa sampai dimana tadi. Esa kelihatannya bingung, jadi ia bertanya.

“Kamu, sudah sehat?”

“Apa?”

“Kakimu…”

“Oh.” Aku menunduk.“Sudah.”

Mengingat tadi aku sempat terkejut sebelum jawabannya terkuak diluar


kewajaran.Selanjutnya Esa juga sempat tidak percaya alasan aku mangkrak dari radarnya selama
tujuh hari penuh karena itu, tapi kukatakan bahwa ini bahkan sudah terjadi untuk yang kedua
kalinya, dan aku beruntung bisa bangun dan bernapas seperti sedia kala.

“Tapi, tidur selama itu, memangnya tidak lapar?”

Iya. Aku baru sadar kalau aku lapar. Tanganku memegang perut, menunjukkan senyum
meringis. Ia menatap nanar sebelum mendengus sambil menggeleng.

“Lima belas menit lagi aku bakal kedatangan tamu. Masakin aku lain kali saja, ya.”

“Tapi, ini?”

“Buat kamu masak sendiri. Buat kamu makan sendiri juga,” tukasnya sambil memastikan
jam pada layar ponselnya lagi. Aku segera menampik keputusan tersebut.

“Eh, nggak lah, nggak mau. Aku masaknya sebentar, kok. Kita makan bareng-bareng saja.”

“Makan bareng-bareng? Memangnya bisa?”

Aku mengangguk antusias, tapi keningnya mengkerut.

“Tapi, tamukubagaimana?”

“Memangnya,tamu kamu ada berapa orang? Biar sekalian aku masakin yang banyak.”
“Hm—” Ia berpikir dengan menggigit bibir bawahnya yang kukira akan memberi solusi
diluar pilihan, tapi tak tahunya, “anak-anak kecil, lima orang. Kamu bisa?”

***

Aku menguncir surai tinggi-tinggi di depan wastafel sebelum menggunakan celemek.


Berpikir mau memasak apa setelah mengintip isi paper bag yang tadi sembari mengeluarkan
isinya satu per satu. Ada satu slot telur, wortel, kentang, seledri, bawang putih, cabai, tomat,
daging ayam, jamur shitake, sawi putih dan daun bawang.

Jujur, selama hidup dua puluh tahun di dunia ini, aku tidak pernah mau menghabiskan
uang hanya untuk belanja bahan masakan di supermarket. Jelas saja hitungannya jadi rugi jika
dibandingkan dengan berbelanja langsung di pasar. Kalau dipikir-pikir, Esa cukup berduit juga.
Kira-kira, dia kerja apa, ya?

Aku menggeleng, menghilangkan dengan cepat prasangka negatifyang berkelebat di dalam


kepala denganmengalihkan fokus ke panci yang kutaruh di atas kompor yang akan digunakan
untuk merebus ayam. Ketika memasukkan ayamnya setelah kucuci bersih,sekilas aku mengingat
pesan Esa yang mengatakan untuk tidak memberi perasa terlalu banyak saat tanganku tengah
membuka toples garam.“Sebisa mungkin jangan sampai asin,” katanya.Karena takut kelebihan
setelah kutengok kanan-kiri, kuambil hanya sejuput lalu kutaburkan di atas airnya.

Katanya, mengurus anak-anak repotnya sebelas dua belas dengan mengurus bayi. Cuma
bedanya, kalau anak-anak kecil biasanya sudah bisa makan sendiri, tapi aku tidak tahu umur
berapa anak-anak yang akan datang nanti, jadi takaran komposisinya kubuat senetral mungkin.

Aku membersihkan seluruh bahan untuk kupotong seukuran gigitan. Kentangnya kupotong
dadu. Wortelnya kuiris agak tipis supaya matangnya bisa bersamaan dengan kentang. Seledrinya
di cincang kecil-kecil, begitu juga dengan daun bawang, jangan lupa dengan tomat. Kalau tomat
sengaja kupotong besar-besar seperti ukuran sawi putih karena fungsinya memang sebagai sayur.

Bumbunya ada bawang putih, bawang merah, merica halus, ketumbar, gula dan garam
secukupnya. Untuk menghaluskannya, kebetulan aku hanya punya blender jus yang sebenarnya
satu paket dengan blender bumbu, tapi karena pisau blendernya tidak tajam dan selalu macet-
macetan saat dipakai, alhasil kubuat kegunaan blender jus menjadi duofungsi.Mantap! (Dilarang
meniru kebiasaan ini.)

Aku menumis bumbu dengan api sedang. Aroma yang menyengat hidung langsung
mengisi ruangan dan membuatku jadi bersin-bersin. Aku memasak dengan pintu kamar yang
terbuka dan tak lama bisa kuprediksi suara motor menepi dan anak-anak terdengar bergerumbul
di depan kamar Esa. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Dengan cepat kumasukan sayur ke dalam
wajan sebelum semuanya kutumpah setelah beberapa menit ke dalam panci tempat merebus
ayam tadi. Jika lama-kelamaan isi panci tersebut sudah mirip sop ayam, baru kompornya
kumatikan. Sepuluh butir telur kukocok cepat dalam mangkuk dan kugoreng perlahan tanpa
garam. Beberapa menit setelahnya, telurnya kusajikan pada piring besar sebelum kututup
pintunya kembaliuntuk segera mandi.

***

“Hahhh…”

Aku menghela napas lega. Shower kuhidupkan. Kubiarkan pucuk kepala hingga ujung kaki
terguyur air hingga aroma lemon sabun dan sampo pun memenuhi ruangan.

Ternyata, bisa punya pengalaman tidur selama tujuh hari itu cukup menyenangkan. Tidak
seburuk yang kuduga. Entah itu baik atau buruk terhadap kondisi kesehatanku secara medis, tapi
untuk saat ini aku merasa bugar. Apalagi bisa bertemu air untuk keramas. Ada sebuah kalimat
disuatu buku yang pernah kubaca, katanya salah satu cara menghilangkan stress yang paling
ampuh adalah dengan terguyur air. Aku percaya hal itu sebab disetiap kali mandi kurasakan
seluruh pegal ditubuhku menghilang, seolahOverthinkingku hanyut bersama busa dari sabun
yang meleleh.

Setelah selesai mandi. Aku memilih mengenakan kaus pendek biru bertuliskan ‘Lets go!’
dengan bawahan celana hitam selutut sementara suraiku yang sebahu kukeringkan dengan hair
dryer. Aku mengoleskan body lotion wangi aloevera dikedua tangan, kaki dan leher. Bahkan
sudah seperti kencan pertama,aku memoles bibir dengan lip balm.

Waktunya keluar.
Aku menghirup udaradalam-dalam lalu menghela napas panjang. Ini selalu menjadi bagian
tersulit dalam hidup: menampakkan diri dihadapan orang baru. Kau tahu, perasaan ketika kau
harus menghadiri acara arisan ibu-ibu tapi kau terlambat datang dan kedatanganmu menjadi
pusat atensi semua orang? Itu yang paling kubenci. Dulu Ibuku sering absen dari arisan komplek
karena kesibukannya sebagai guru pramuka, sementara yang ditunjuk untuk menggantikan pun
bukan penggemar sosialita. Dua tahun yang lalu aku baru tahu kalau penyakit pengecutku ini
dinamakan introvert, setelah ratusan kali mencoba bersikapseperti lawannya (ekstrovert,)
membuatku sukses menengak obat antidepresan sebab overhang, dan akhirnya aku menyudahi
drama untuk fokus menemukan diriku sendiri.

Aku banyak membaca artikel tentang introvert dan perlahan mulai menemukan keindahan
sebuah pribadi. Aku dianugrahi rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung menghabiskan waktu
sendiri untuk mencari tahu banyak hal tentang dunia.Syukurnya, aku juga dianugrahi otak yang
maha luar biasa oleh sang pencipta agar aku bisa membuat dunia seperti yang kuinginkan di
masa depan. Walau tak sedikit, introvert selalu punya kelemahan.

Introvert itu kurang mudah tersenyum. Terlalu pemilih, sedikit berbicara, terlalu banyak
berpikir, terlalu peka dan sensitif, overthinking, dan sedikit action. Kupikir Esa juga
menunjukkan sikap yang serupa. Kuperhatikan ia hanya berbicara pada pokoknya saja dan belum
pernah kudapati sukaberbasa-basi.

Jadi, dengan melangkahkan satu kaki bersama jantung yang berdebar kencang, aku mulai
menengok keadaan kamar Esa tepat di depan pintunya. Sekilas anak-anak yang terlihat berdiri
menatap monitorkomputer membelakangi arah pintu dibelakang punggung Esa,(dimana posisi
Esa tengah duduk persis di depan komputer),seketika menoleh ke arahku karena menemukan
bayangan di dinding.

Kami sontak sama-sama terkejut sebelumkututupi dengan senyuman canggung sampai


menyentuh pipi sebelum berhasil menyapa mereka dengan ramah.

“Oh, halo…!”

Mendengar suaraku Esa pun ikut menoleh. Aku yang berpegang kuat pada kusein pintu
hanya menyipitkan mataku untuk menyapanya juga.
“Oh, halo juga…” perlahan ia menurunkan satu gadis cilik yang berada dipangkuannya
sebelum berkata, “ayo, beri salam pada Bu Guru Noumi!”

Bu Guru? Belum sempat mencerna situasi, mereka semua langsung berderet memasang
postur siap untuk berseru kompak.

“Halo, Bu Guru Noumi!!!”

Aku tergugu di tempat. Baru kali ini dipanggil Bu Guru dan rasanya agak aneh. kuberitahu
saja ya tentang kekuranganku yang kedua. Banyak orang yang salah paham dengan umurku.
Katanya aku berpenampilan seperti umur tiga puluh tahun didukung dengan pembawaanku yang
begitu dewasa. Sepuluh tahun lebih tua dari usia sesungguhnya, bahkan mungkin lebih.

“Ah, iya, halo, hai…”

Aku berkedip dua kali, tiba-tiba merasa kosong. Kalau sudah menyapa, selanjutnya apa
lagi?

“Kalianlagi apa, nih?”

Aku melihat Esa yang masih dalam mode gembirakedatangan tamu, tapi kondisinya
sekarang beberapa pasang mata bulat pemberani tengah menyorotku dengan rasa ingin tahu yang
sangat amat tinggi. Aku jadi gugup.

“Kita lagi belajaraplikasi CorelDraw, bu Guru Noumi,” kata satu anak laki-laki yang
pipinya gembil. Ia tersenyum lebar padaku.

“Oh, ya? siapa yang ajari?”

“Kak Dwi.” Dua anak laki-laki yang lain juga menyahut.

“Kak Dwi? Siapa?”

“Kak Dwi, ini!”

Merekaberusaha menunjukkan Esa dengan antusiasme tinggi sementara Esa sendiri terlihat
biasa saja.Namun cara mereka memangil Esa dengan nama yang lain, juga dengan sebutan ‘kak,’
membuatku iri setengah mati.

“Kak Dwi?”
“Iya Bu Guru Noumi. Kak Dwi ini jago pakai CorelDraw, loh. Photoshop juga bisa.”

“Oh, begitu.” Aku tersenyum. Mencoba mendekat untuk menyentuh pipi mereka yang dari
tadi membuatku gemas. “Nama kamu, siapa?” tanyaku pada salah satunya.

“Toto.”

“Toto…? Toto umurnya berapa tahun?”

“7 tahun.”

“Wow, keren.” Aku kagum dengan usianya. Seketika teringat Rebung, anakan dari pohon
bambu yang entah mengapa bisa dijadikan perbandingan dari umurnya hanya karena rebung
dikonsumsi saat tanaman itu baru muncul dari tanah.

“Kalau kamu?”

“Aku juga 7 tahun.”

“Oh, kamu juga seumuran dengan Toto, ya. Nama kamu siapa?”

Ia dengan lekas mengulurkan tangan. Tersenyum cerah padaku. “Aku kembarannya Toto,
tapi tidak identik. Namaku Tato.”

“Wah, aku baru pertama kali lihat kembar yang tidak identik, lho. Nama kalian juga unik
sekali. Papa kalian jago bikin Tato, ya?”

Sejenak, mereka saling pandang sebelum memberi jawaban dengan menggunakan bahasa
Sasak.

“Ndek… amak ite kuat nginem1,” sahut Toto dengan enteng.

“Kuat nginem?”

“Nggih, kance main nine,2” balas Tato kali ini.

Kemudian mereka tertawa. Kepalaku terasa dipalu. Keterjutan mendadak akibat serangan
realita anak-anak berumur 7 tahun membuat suara itu menggema dalam ruang hampa. Mereka
masih kecil tapi sudah tahu kalau papanya main perempuan. Namun, nampaknya itu tidak
menjadi beban yang membuat mereka malu. Terlihat bahkan dari cara mereka cengengesan
setelah membeberkan perilaku keluarga sendiri.

“Kalau aku, kak? Namaku jago buat bikin apa?”

Satu anak lagi yang lupa kutanya namanya menarik-narik ujung bajuku. Aku segera
menyadarkan diri.

“Oh, iya. Memangnya, nama kamu siapa?”

“Rico!”

“Hm… kalau nama panjangnya?”

“Ricolo Sebastian.”

“Wah, nama yang bagus.”

Aku sejenak terpana dengan anak yang satu ini. Ia paling ramah dan bersemangat. Kulitnya
bersih, matanya bulat bening, alisnya melengkung sempurna bagai pelangi. Warna dan bentuk
bibirnya layaknya buah plum. Alisnya tebal, surainya tebal, pipinya juga tebal. Badannya, gendut
menggemaskan pula.

“Masak, sih?”

Lah, dia malah tidak percaya.

“Iya! nama kamu mirip pelukis, Piccolo. Rico pasti jago melukis, kan?”

Tiba-tiba aku melihat Esa menggeleng, menarik garis bibirnya ke bawah.

“Picasso, Nom. Bukan Piccolo.”

“Oh.”

Seharusnya ia tidak mengoreksi kesalahan orang lain di hadapan anak-anak begini, tapi
Ricolo sendiri juga ikut menggeleng. Tak lama ia pun menunjuk seorang gadis yang berdiri
paling ujung di sebelah kanan dengan bibir mengerucut.

“Yang palingjago melukis itu dia ... Pakai kuas lagi.”


Setahuku, dimana-mana kalau melukis pasti menggunakan kuas, tapi segerasaja kugeser
pandanganku ke arah gadis yang ditunjukuntuk mempertemukan radar kami berdua.Aku percaya
takdir itu dipertemukan dengan cara yang paling sederhana, meski gadis tersebut tidak ingin
tersenyum karena lebih memilih mengangguk untuk mengiyakan perkataan Rico,aku tetap tahu
maksudnya itu pasti terbalik. Jika mendengar suaranya sendiri di antara banyak orangakan
membuatnya kikuk, maka dari itu kebanyakan introvert selalu terlihat pendiam. Aku menunduk
untuk menyapanya.

“Hai… nama kamu, siapa?”

Tak lama ia memberanikan diri menatapku lagi, dan dengan gagah berani mengulurkan
tangan mungilnya.

“Yange, Rahajeng Putu Swatara. Umur 8 tahun. Dipanggil Ajeng.”

Tuh, kan benar. Dia itu langsung to the point agar tidak ditanya-tanya lagi. Coba saja
bertanya basa-basi, pasti jawabannya hanya ‘iya’ dan ‘tidak.’ Aku mengangguk, membalas
dengan menggenggam tangannya.

“Salam kenal juga Ajeng. Aku Noumi. Panggil saja kakak Noumi.”

Ajeng mengangguk.

Benar lagi. Kali ini jawabannya hanya mengangguk, dan sengaja kupertegas panggilan
‘kakak’ agar mereka paham bahwa tulisan dikeningku ini dibaca, ‘masih muda.’ Jangan salahkan
aku yang terlihat tua, sebab tidak semua orang dilahirkan dengan porsi kolagen yang berlebih.
Rico saja terlihat membulatkan mulut, terkena paham.

“Ngomong-ngomong, kak Noumikok, bisa jegeg1 banget, Kenapa?”

Wow, apa katanya tadi? Bisa lebih keras?aku tidak percaya yang mengatakan itu Ajeng,
dengan muka terheran-heran pula.

“Masak, sih?”

“Iya, menurutku, kak Noumi ini jegeg banget. Mirip Amanda Manopo.”

Aku sekarang sedang membayangkan bagaimana rasanya layang-layang bisa melayang


tinggi di angkasa sebelum benang yang lain membuatnya terputus sebab Esa menahan tawa
layaknya teman perempuan yang berkawan karibtapi saling menusuk secara perlahan.Iri bilang
bos!

“Mungkin itu hanya menurut Ajeng, tapi, makasih banyak sudah puji kak Noumi jegeg…
Ajeng juga jegeg banget, kok. Kulitnya kuning langsat pula.”

“Kulit kuning langsat itu, apa kak?”

“Kulitnya orang Indonesia.”

“Memangnya kulit kak Noumi bukan kuning langsat?”

“Bukan, kulit kak Noumi agak sawo matang.”

“Berarti, kak Noumi bukan orang Indonesia?”

“Orang Indonesia, kok.”

Ajeng jadi bingung. Aku juga. Tapi tiba-tiba Esa menyahut asal.

“Bukan! kak Noumi itu orang Korea.”

Seketika membuat Ajengterkejut bukan kepalang.

“Kak Noumi orang Korea?!” tanyanya sambilmemasang ekspresi syok, membekap mulut
sendiri dengan kedua tangan dan tak disangka malah bersorak,“aku juga suka banget Korea!!
Aku suka BTS!!!!”

“Wahh!” Aku ikut terkejut. “Kakak juga suka BTS!!!!”

“Aaaaakhhh!!!”

Jelas saja orang korea berkulit putih, namun kami menjerit seolah bahagia telah turun ke
bumi dalam bentuk hujan setelah kemarau melanda selama setahun, kemudian berpelukan erat.
Sudah kubilang, ini takdir, sampai Esa dan yang lain saja jadi bingung kami ini kenapa.

Bukan rahasia umum lagi kalau nama BTS telah mendunia. Namun menemukan orang
yang sejalan itu akan membuat harimu terasa lebih baik, percaya deh. Kami berpelukan dan
Ajeng masih sebegitu senangnya sampai kakinya mengudara demi memeluk leherku. Bayangkan
saja, siapa yang bisa membuat dua orang asing jadi seakrab ini dihari pertama bertemu? Aku tak
menyangka K-pop bisa melakukan ini.Bukan-bukan, maksudku, aku tak menyangka K-pop bisa
menjadi alasan kuat dalam mempersatukan umat di dunia, yang tentu saja itu hanya menurut K-
popers. Ajeng melepas pelukan lalu tersenyum lebar padaku. Melihat rautnya, aku jadi tahu
seberapa besar rasa cinta yang ia beri pada BTS seperti saat aku awal-awal mengidolakan
mereka.

“Kak Noumi. Kapan-kapan, ajari aku bahasa Korea, boleh?”

Aku balas tersenyum.

“Boleh dong. Kalau hari ini, mau?!”

Matanya langsung membulat berlinang. “Mau banget!” kaki mungilnya langsung


menghentak-hentak kegirangan.

“Tapi, eh, pak guru Dwi kasih izin, tidak?”

Aku melirik pemilik nama sebelum memaksanya untuk segera mengambil keputusan
dengan tatapan yang tajam. Esa menarik napas sambil mengerling malas.

“Boleh... boleh. Apa saja boleh.”

“Asyik!”

Ajeng kegirangan lagi.

“Tapi, eh. Bagaimana kalau sebelum belajar, kita semua makan dulu?”

Rico seketika jadi bersemangat dan Esa menjawab lagi dengan kalimat yang sama.

“Boleh… boleh. Apa saja boleh.”

***

Setelah memutuskan untuk makan di ruang tengah kamar Esa, aku meminta tolong kepada
Ajeng, Rico, Tato dan Toto, untuk membawa perlengkapan makan dari tempatku. Mereka
beriring-iringan dengan bawaan mereka sesuai kemampuan. Tato dan Toto membawa Botol
besar air minum, gelas, piring, dan sendok. Kemudian Rico dan Ajeng membawa telur dadar dan
nasi dalam bakul plastik. Sisanya, aku membawa sop ayam semangkuk besar.
Mereka langsung meletakkan semuanya di lantai yang baru saja selesai disapu oleh
pemiliknya dan diizinkan begitu saja. Aku sedikit terkejut.

“Eh… memangnya nggak ada alas, ya? kayak tikar begitu?” tanyaku masih belum mau
mendaratkan sop ayam langsung di atas keramik putih tersebut. Esa terlihat bingung.

“Kenapa memangnya? Lantainya kan sudah bersih.”

“Kan kotor kalau nggak pakai alas.”

Esa sejenak melirik anak-anak yang mendongak menonton kami sebelum kembali
menatapku datar.

“Kamu nggak tahu anak-anak kalau makan selalu berceceran? dipakaikan alas itu hanya
menambah pekerjaan, Nom. Siapkan saja lantai supaya mereka bebas berkarya. Nanti selesainya
tinggal di pel. Mudah, bukan?”

“Bukan.”

Aku secara sukarela mengalah karena jawaban darinya sangat masuk akal. Kita harus
memberi setidaknya kebebasan anak-anak dalam menentukan cara mereka menyantap makanan.
Banyak peraturan hanya akan membuat mereka tidak nyaman. Kalau tidak nyaman, mereka tidak
mau makan. Kalau tidak makan, daya imun mereka mengurang, dimana hal tersebut dapat
menyebabkan mereka rentan terserang penyakit.Kalau sudah terserang penyakit, mereka bisa-
bisa berurusan dengan rumah sakit, selanginfus, dan obat-obatan. Kan kasihan kalau tidak bisa
bermain lagi. Terlebih sekarang pandemi masih berlangsung cukup lama.

“Aku suka makan sayur!kak Noumi, ambilkan Rico wortelnya yang banyaak!”

Rico berseru ketika Esa baru saja duduk bergabung setelah aku selesai menyendokan satu
setengah centong nasi untuk piring Ajeng. Aku terkekeh ketika Esa menjawil pipi anak tersebut
dengan gaya kejut sebelum menyampaikan pesan dengan nada lembut.

“Ricolo Sebastian. Lain kali kalau mau meminta sesuatu kepada siapapun itu, biasakan
diawali dengan kata, ‘tolong,’ atau ‘minta tolong, ya.’”

Terpikirkan dalam benakku beberapa detik yang lalu namun entah mengapa aku tidak
mengatakannya. Syukur saja Esa peka.
“Memangnya kenapa? Kenapa harus begitu?”

Esa menarik napas dan berkedip sedikit lama. Berusaha memberi tahu dengan cara yang
paling halus.“Karena itu dinamakan tata krama, Rico.”

Rico tidak berkedip, juga tidak mengangguk. Ia hanya ingin tahu lebih banyak dengan
binar-binar dimatanya.

“Orang Indonesia punya tata krama untuk saling menghargai satu sama lain. Meminta itu
bahasanya lebih sopan dibandingkan kata ‘ambilkan’. Karena Rico meminta pertolongan kepada
orang lain, jadi kalimat yang harus diucapkan pertama kali adalah…?”

“Minta tolong…”

“Seratus!” Esa mengacungkan jempol padanya. Semangat bocah tersebut jadi bertambah
dua kali lipat.

Kuperhatikan ada satu gadis paling cilik diantara semua lamat-lamat meminta duduk
dipangkuan Esa. Dari tadi aku tidak sempat menyapanya karena ia kelihatannyasangat pemalu.
Selalu bersembunyi jika ditanya. Wajahnya sangat murung dan ia sangat mudah menangis. Aku
takut kalau seandainya terlalu memperlihatkan perhatian, ia akan jadi benci padaku.

“Namanya siapa, Sa?” tanyaku pelan dengan gerakan bibir lebar-lebar kepada Esa. Esa
mencoba membalas dengan cara yang sama.

“Nana.”

“Siapa?”

“Na…! na…!”

“Oh…” Aku mengangguk paham. Nana tidak mengetahuinya sebab ia menunduk,


sedangkan aku mulai menyendokkan nasi untuknya.

“Nana… suka telur?”

Ia melihatku sebentar, kemudian meringis.Menggeliat risih. Esa berbisik ditelinganya dan


ia hanya mengangguk. Masih meringis.

“Iya, katanya.”
Karena Nana suka telur dan aku juga suka Nana, jadi jatah telurku, kutaruh semua
dipiringnya. Anak-anak mulai makan dengan lahap kecuali Nana. Ia tidak mau makan sendiri
dan itu harus membuat Esa turun tangan untuk menyuapinya dengan kesabaran tingkat tinggi.
Aku jadi prihatin. Dulu aku juga begitu. Terlalu alergi dengan orang baru. Kedatangan orang
baru membuatku kurang nyaman karena aku jadi tidak leluasa melakukan apa yang kumau. Apa
lebih baik, aku pergi saja?

“Kenapa…?”

Esa bertanya semudah itu hanya karena pandangan kami bertemu. Padahal aku tidak
melakukan apapun.

“Kenapa, apanya?”

Ia melihat satu piring kosong tidak terisi apapun, seperti mencari-cari alasan dari
pertanyaannya sendiri.

“Kenapa nggak makan?” tanyanya heran.

“Aku sudah makan.”

“Kapan?”

“Tadi, waktu selesai masak.” Tiba-tiba saja perutku terasa mual. “Eh, aku ke kamar dulu,
ya. Nanti kalau sudah selesai, aku bakal balik lagi ke sini.”

Buru-buru kuangkat bokong dan ingin segera melarikan diri. Tapi, “hei.”

Esa meletakkan telur dadar miliknya ke atas piring kosong tersebut sebelum
menyodorkannya padaku. Tatapankuserupa dengan piring itu sebelum terisi telur dadar.

“Apa?” tanyaku tak mengerti namun ia langsung menjawab seolah menutupi rasa
prihatinnya.

“Bawa ini, aku nggak makan telur.”

***

Sekarang pukul dua lebih lima belas menit. Aku tengah berdiri menopang tubuh di depan
wastafel yang krannya sengaja kuhidupkan. Menunduk memperhatikan sepotong telur dadar
yang terasa menyedihkan. Dulu untuk makan telur itu bagiku adalah sesuatu yang spesial. Tapi
sekarang ketika melihatnya di depan mata juga karena ingatan bagaimana caranya ia dipindah
dari piring seseorang ke piring ini, membuatku berpikir bahwa telur sebenarnya tidak spesial. Ia
digampangkan oleh sebagian orangkarena cara mendapatkannya cukup mudah. Aku tidak tahu
kenapa,tapi aku menangis. Ini benar-benar sulit dimengerti. Orang lain memberimu makanan
secara sukarela, kau bukannya bersyukur tapi malah menangis? yang benar saja.

Beginilah cara penyakitku kambuh dalam suatu kondisi. Jika berkumpul dengan orang lain,
pikiran jelekku terus mengkerukut tanpa kendali sampai aku sendiri sakit kepala. Itu yang
membuatku harus menarik diri dari kerumunan agar aku bisa merasakanketenangan. Jika
sendirian, aku tidak lagi melihat orang lain, tidak lagi berpikir jelek tentang mereka, tidak
memperhatikan gerakan apapun dari yang mereka lakukan, dan setidaknya, tidak menyiksa
diriku sendiri.

Aku terduduk merosot menyandarkan punggung di sana, menekuk lutut untuk menopang
tangan kananku yang menyeka air mata. Lagi-lagi masa lalu sialan. Kuharap aku tidak punya
masa lalu kalau tahu ia akan membentukku menjadi tidak waras begini. Meski berkawan karib
sudah lama, hidup susah tetap tidak bisa kutunjukkan kepada orang-orang dengan rasa bangga
seperti orang tua yang pamer prestasi anaknya.

Yah, meski aku enjoy dengan diriku yang sekarang, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau
kemiskinan telah mengajariku banyak hal tentang kesabaran. Itu bullshit!Omong kosong! Tidak
ada namanya kesabaran dalam hidup jika kau tidak menghasilkan uang. Dan sekarang aku
pengangguran. Tidak berniat mencari pekerjaan sedikitpun karena tak tahunya memasak
makanan untuk anak-anak kecil yang entah berasal dari mana, datang ke rumah Esa untuk apa,
dan mengapa satu diantaranya tidak menerima kehadiranku, sungguh mudah membuatku
mengalami mental breakdownsekarang.

Esa tentu saja orang asing. Ia baru kutemui tujuh hari yang lalu namun anehnya kami
bersikap seolah sudah kenal lama. Biasanya kepercayaan yang seperti itu akan menghasilkan
kekecewaan yang mendalam, sebabdiam-diam, aku ingin mengandalkan dia lebih banyak untuk
perlahan mengambil kontrol atas semuanya. Ingin menjadikannya seperti yang kumau dan bisa
ditebak esok tanpa diduga ia akanmenghilang secara mendadak karena tidak tahan dengan
keegoisanku. Bukannya manusia memang seperti itu? tentu saja aku egois karena aku juga
manusia, maka dari itu aku harus membatasi interaksi dengan orang yang berkaitan agar rencana
jahat tadi tidak terjadi.

Memandang jarum jam yang terus berdetak tanpa henti membuatku gugup. Dari pada
berdiam diri tidak menghasilkan uang begini, aku memilih untuk mengecek info loker di
instagram. Tetapi sudah sekian menit melihat-lihat, tidak ada satupun yang dapat membuatku
berangkat ke TKP pada detik itu juga. Aku berpikir sekilas untuk menghasilkan uang dari rumah
atau sekadar searching di google dengan keyword: cara cepat dapat duit tanpa kerja lewat
internet. Dan itu tidak benar-benar memberi solusi karena pengerjaannya masih memerlukan
effortdimanaekspetasi sebelumnya adalah‘tidurpun menghasilkan uang.’

Sepuluh menit terpakai untuk melihat info loker namun tiga puluh menit terbuang sia-sia
karena ketagihan menonton Suga yang selalu muncul di beranda.

Kalau dipikir-pikir, apa penghasilan Esa didapat dari mengajar anak-anak tadi? Kalau
benar, berapa uang yang ia dapatkan dari satu anak? Ia bisa mengajarkan anak-anak apa saja?
memangnya ia tidak butuh guru tambahan lagi? tapi, tadi ia memperkenalkanku sebagai Ibu
Guru kepada anak-anak, apa itu tandanya aku bisa mengajar juga di sana? Apa ia akan
membayarku kalau aku melamar kerja sebagai guru padanya? Aku bisa apa saja, ya? bahasa
Korea juga masih belajar.

Tok, tok…!

Beberapa manusia dengan tangan mungilnya terdengar mengetuk pintuku sebelum disusul
dengan seruan, “Bu Guru Noumi…!” membuatku terkekeh geli karena merasakantekad yang
tidak biasa untuk menjadi Guru. Aku berjalan membuka pintu kemudian melihat mereka
tersenyum lebar dengan memegang piring masing-masing yang isinya telah habis tak tersisa.

“Hai… kalian sudah selesai makan, ya? wah, piringnya langsung bersih!”

Kutemukan Nana juga ikut berdiri digandeng Ajeng. Bayi mungil itu begitu awam akan
dunia, bagaimana mungkin aku bisa sakit hati olehnya? ini benar salahku. Seharusnya aku yang
lebih paham tentangnya karena aku pernah merasakan menjadi bayi yang cengeng. Aku
memberikannya senyuman paling hangat namun tetap tidak menunjukkan perhatian berlebih,
karena segala sesuatu yang berlebihan akan mengurangi bagian yang lain.
“Kalau sudah selesai, kalian bisa tidak, mencuci piring kalian masing-masing?”

“Bisa!”

Hanya Ajeng yang menyanggupi sebab ia paling dewasa dari yang lain.

“Oke, ikuti Bu Guru, ya, karena semua harus bisa mencuci piring sendiri.”

Tato dan Toto hanya mengikuti perintah sedangkan Rico, sambil berjalan masuk, ia
mencebik.

“Tapi aku nggak bisa cuci piring sendiri, Bu Guru!”

Aku menyiapkan dingklik di depan wastafel dan meminta Ajeng yang pertama kali
menaikinya kemudian menoleh ke arah Rico. Anak-anak yang lain dengan rapi menaruh piring
mereka di sebelah wastafel untuk menunggu giliran mencuci.

“Kenapa?”

Ia menggeleng, memasang ekspresi tidak mengerti tentang mengapa dirinya begitu


sementara yang lain kini kuamati mulai memanjat kasur untuk bermain dengan telapak kaki yang
kotor. Aku menghela napas.

“Ya sudah… kalau Rico nggak bisa, mulai dari sekarang Bu Guru akan ajarkan caranya
mencuci piring dengan baik dan benar, oke?!”

“Yah..”

Aku tahu ia terkejut luar biasa karena alasan malasnya jadi tidak mempan. Mau tidak mau
ia harus melaksanakan perintah. Jadi aku tersenyum puas.

“Begini kan caranya, Bu Guru?”

Ajeng memberikan sabun cair hijau beraroma lemon ke spon cucinya, lalu ia basahi sedikit
sebelum digosok pada permukaan piring. Aku mengangguk dan memberikannya dua jempol
sembari memegang punggungnya untuk menjaga keseimbangan sebab dingklik yang ia pijaki
agak bergoyang.

“Ngomong-ngomong, Ajeng sudah berapa lama nih, belajar sama Pak Guru Dwi?”
Aku iseng-iseng bertanya, beruntungnya Ajeng dengan sukarela menjawab.

“Hm, sudah lama, sih. Kayaknya.”

“Oh, ya? memang sudah lamanya, berapa lama?”

“Minggu kemarin, kalau nggak salah.”

Aku ingin tertawa tapi kutahan. Jika benar begitu, aku dan dia sama-sama baru
seminggumengenal Esa. Aku baru ingat ia masih kecil, jadi kemampuan mengiranya tidak tepat.
Dulu aku juga begitu. Dari senin ke minggu itu rasanya seperti sebulan.

“Diajari apa saja biasanya?”

“Hm… apa ya? apa saja, sih.” Mirip seperti yang tadi, lagi-lagi aku harus belajar bersabar
menghadapinya.

“Oh, ya? memang apa sajanya itu, apa saja?”

“Hm, apa ya…?” Ajeng mulai berpikir, membiarkan air kran mengalir ditangannya.

“Bermain…?”

“Bermain?!”

“Iya!”

Aku jadi tidak mengerti.

“Jadi selama ini kalian nggak belajar, tapi malah… bermain?” tanyaku sambil
mengerutkan alis. Ajeng meniru itu.

“Kami belajar, kok. Belajar caranya bermain.”

Hening.

Aku berkedip dua kali. Berpikir. Bagaimana caranya anak sekecil ini dapat memiliki
kemampuan komunikasisebaik itu? belajar caranya bermain katanya? Aku sama sekali tidak
meremehkan, ini justru kagum dan tercengang dalam waktu bersamaan. Yang lebih membuatku
tercengang lagi adalah otak dibalik ide tersebut. Aku sering memikirkan hal ini berulang kali.
Anak-anak meski dimasa mereka waktunya bermain, namun cara bermain yang tidak baik
cenderung membawa pengaruh pada kesehatan mental mereka dikemudian hari, bukan? Jika
orang dewasa mengerti caranya menghabiskan waktu untuk bermain, dalam artian memuaskan
keinginan atau membahagiakan diri sendiri, tentunya mereka akan memperhatikan kondisi
mental anak-anak mereka dengan sangat baik. Pendidikan formal memang perlu, namun
pendidikan karakter tetap nomor satu. Bukankah cikal bakal terbentuknya karakter yang baik
tergantung dari cara mereka mengajarkan anak-anak mereka bermain? Aku jadi penasaran
dengan ceritanya lebih lanjut.

“Memang, caranya bermain, bagaimana?”

***

Krskk!!!! Bssss…

Kertas layang berwarna putih dikibas lalu dibentangkan di atas lantai. Ruang tengah yang
sekaligus menjadi kamar bagiku, itu hanya menjadi ruang kosong untuk Esa. Tidak ada kasur,
TV, bahkan alas. Sekilas yang kuamati hanya lantai putih dan seperangkat komputer yang
diletakkan di sudut dekat jendela bersama gudged lainnya. Kurasa Esa sangat paham mengenai
teknologi. Dibanding melengkapi kebutuhan primer atau sekunder, ia lebih memilih memenuhi
kebutuhan tersier sepertimemasang wifi,membeli printer, harddisk, laptop, hanphone, tab,
camera DSLR, dan mainan serba miniatur yang ia posisikan pada wadah gabus yang diberi
pencahayaan. Dapurnya sekilas hanya diisi kompor, peralatan makan yang minim, juga mesin
cuci.

“Buat apa ini?” tanyaku setelah terkena kibasan kertasnya, sementara ia tengah sibuk
mencari peralatan kuas di dalam sebuah ransel untuk ia berikanpada Ajeng.

“Untuk dia melukis.”

Ajeng menerima dengan senang hati, sedangkan Esa tak lama tertangkap basah
memperhatikanku saat mulutku tengah menganga.

“Kamu sudah makan?” tanyanya cepat. Aku langsung menggeleng. Salah, seharusnya aku
mengangguk.

“Sudah, kok. Anak-anak juga sudah kuajari cara mencuci piring sendiri, dan aku sudah
cucikan piringmu juga.”
“Ah, iya. Terima kasih.”

Ia jadi menggaruk tengkuk karena merasa tidak enak, sementara aku jadi malu lantaran
tidak tahu harus berkata apa sampai perihal mencuci piring pun kusebut-sebut.

“Aku boleh ikut melukis kan?”

“Boleh dong. Tapi, sorry, aku nggak punya kuas lebih.”

“Aku punya sendiri, kok. Aku ambil dulu ya di kamar.”

Ia mengangguk membolehkan dan aku pun memacu kakiku secepat mungkin untuk
mengambil barang itu dengan suka cita. Kembalinya aku langsung menumpahkan semua
peralatannya di lantai. Memilih mana yang harus dipakai.

“Wah, Bu Guru juga punya cat acrylic, ya?” tanya Ajeng dengan mata yang berbinar
sembari memegangnya, terkagum-kagum.

“Iya. sudah lama Bu Guru nggak pakai karena nggak tahu mau melukis apa.”

Tato dan Toto mulai mendekat namun mereka tidak berminat melukis sama sekali. Mereka
punya passion yang berbeda.

“Kita mau main game saja!”seru mereka yang langsung beralih padakomputer. Esa
menyalakan komputer kembali lalu menonton mereka bermain sambil memperhatikan kondisi
sekitar.

“Rico mau ikut melukis?” tanyaku. Ia hanya menggeleng.

“Aku lebih suka memotret orang melukis.”

“Wow…”

Tiba-tiba saja ia jadi terlihat keren karena perkataannya barusan. Keimutannya sementara
disimpan dulu.

“Coba foto kak Noumi sama Ajeng, Rik, nanti aku upload di shutterstock.” Esa menyahut
dari tempatnya dengan muka enteng. Rico sendiri seperti tidak terlalu memperdulikan hal
tersebut, sementara aku sekilas seperti pernah mendengar istilah yang Esa ucapkan tadi.
“Itu website tempat menjual foto kan?Shutterstock?”

“Iya.”

“Memangnya Rico pernah berhasil jual foto di sana?”

“Belum terjual, sih, tapi berhasil diaprrove satu dari dua puluh foto.”

“Oh, ya?! Pakai kamera apa?”

“Pakai kamera handphoneku.”

“Kenapa nggak pakai kamera DSLR itu? punyamu kan?”

Ia menengok benda yang kutunjuk dengan mengerucutkan bibir ke arah meja kerjanya,
namun ia berpaling sambil menggaruk alis.

“Iya, sih, tapi itu cara settingnya sulit, Rico belum paham. Jadi sambil belajar, dia coba
dulu lewat kamera ini. Lagi pula, zaman sekarang kualitas gambar yang dihasilkan handphone
lumayan bagus. Bukan lumayan, sih. Bagus banget malah.”

“Masak, sih?”

“Kamu nggak percaya? Mau kukasih lihat hasil jepretan Rico?”

“Mau.”

Esa langsung membuka galeri untuk menunjukkan hasil jepretan Rico dengan senyum
sumringah padaku. Mencoba menjelaskan detail dari makna yang terkandung dalam satu frame
itu.

“Ini kupu-kupu kecil yang suka hinggap di bunga …. Itu kan sulit kalau difoto, tapi coba
kamu perhatikan lebih jauh, kepakan sayapnya seolah hidup, bukan?”

—Bukan,(jawaban hati.)

Aku belum bisa sepenuhnya menilai, sebab itu hanya kupu-kupu di atas bunga… tidak
terlihat hidup ataupun sayapnya terlihat nyata. Biasa saja, tapi jika reaksiku biasa-biasa saja atau
malah mengkritik hal yang tidak kumengerti, itu jelas akan menorehkan luka di hati kecil Rico.
Jika hati kecilnya terluka, maka seterusnya hati itu tidak akan bertumbuh besar. Tugas orang
dewasa untuk membesarkannya, jadi, sambil menatap matanya yang berharap-harap cemas, aku
mendaratkan dua jempol dikedua pipinya untuk berseru, “keren, Gila!” membuat mereka semua
tertawa, termasuk Rico, meski ketawanya tidak terlalu membahana atau sedikit dari pecah,
namun gerakan bahu mereka yang luwes karena tergelitik candaan membuat kehadiranku merasa
diterima. Hawa dingin yang tadinya menyelubungi kami, perlahan menghangat. Baguslah,
lagipula musim hujan sebentar lagi akan datang.

“Tapi, keren,gila? Maksudnya apa?”

Yang benar saja. Anak-anak ternyata hobi bertanya juga, ya. Aku baru tahu.

“Oh… orang Jakarta kalau ngomong suka bilang begitu: Keren, gila artinya keren banget.
Kerennya di luar kendali. Mangkanya jadi keren gila.”

“Kenapa tiba-tiba jadi orang Jakarta?”

“Memang kamu tahu Jakarta di mana?”

“Tahu, di pulau Jawa, kan? Ibukota Indonesia.”

“Wah, hebat! Tahu darimana?”

“Dari berita-berita di TV.”

“Oh, jadi, kamu suka nonton berita, ya?”

“Nggak, papaku yang suka. Disetel setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, isinya tentang
Ibukota melulu.”

“Oh, begitu.”

“Tapi, kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Itu, ngomong kayak orang Jakarta!”

“Hm—”

Lumayan sulit juga ya berbicara dengan anak kecil. Esa sampai jadi malu sendiri karena
melihatku kebingungan seolah menganggap ini situasi yang genting.
“Biasanya kita cenderung akan meniru hal-hal yang sering kita dengar, baca, tonton, atau
rasakan. Nah, karena Bu Guru sering nonton channel kuliner orang Jakarta di youtube,
mangkanya Bu Guru tanpa sadar ikut-ikutan cara ngomong mereka, deh.”

“Aku juga suka nonton drakor, mangkanya aku ikut-ikutan ngomong pakai bahasa Korea.
Anyeonghaseyo, begitu,” kata Ajeng mengutarakan pendapat serupa. Ia sudah menuangkan
minyak ke dalam palet dan menyilangkan beberapa warna primer. Posisi tubuh tengkurap, selagi
nyaman, tangan gemuknya dengan lihai mengoles cat ke permukaan kertas dengan seluwes-
luwesnya. Rico sendiri mengangguk. Entahlah, ia sudah dalam mode paham atau tidak, aku tidak
tahu, sebab kekosongan matanya terlihat masih lapar mencari-cari jawaban yang lebih dari
kiranya.

“Spontanitas, Rik.” Esa mendesis. Ia mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Rico
sambil sesekali melirik khawatir kepada Nana yang tengah mengeruk-ngeruk lantai dengan oil
pastel.

“Reaksi kak Ajeng tadi itu namanya spontanitas, dimana hal itu dilakukan secara tiba-tiba
… mendadak, atau tanpa rencana. Sedangkan ‘keren-gila’ itu adalah perilaku meniru. Kebiasaan
suka menonton orang Jakarta diyoutube, drama korea, india, anime, atau memperhatikan apapun
itu membuat kita cenderung untuk meniru. Jadi, reaksi tadi namanya spontanitas, dan ‘keren-
gila’ itu namanya meniru.”

“Kenapa kita harus meniru?”

“Kita tidak harus meniru, tapi secara umum—”

“Umum itu apa?”

Mata anak itu tidak berkedip sama sekali sampai-sampai Esa nyaris tersedak liur sendiri.

“Ekhem,” dehamnyasedikit untuk pemanasan sebelum melanjutkan penjelasan. “Umum itu


adalah orang banyak, secara menyeluruh, atau contohnya nih, kebanyakan orang biasanya
melakukan hal yang sama, itu disebut ‘umum.’

Mata anak itu kali ini mengerjap, aku jadi ikut khawatir kalau seandainya ia akan
mengambil ancang-ancang lagi untuk bertanya.
“Sampai situ paham?” Esa bertanya lembut. Rico mengangguk.

“Nah, karena secara umum manusia melakukan apa yang orang lain lakukan, tanpa
disadari sekalipun, maka muncul lah kebiasaan meniru kayak yang dilakukan kak Noumi
barusan.”

“Oh, tapi-tapi—

Nah, kan!

“Kata Bu Guru disekolah, kita dilarang meniru jawaban orang lain.”

“Itu bukan meniru, Ibu Gurunya mungkin salah ngomong. Itu namanya menjiplak.”

“Menjiplak itu apa? tahu dari mana kalau Ibu Guruku salah ngomong?”

“Menjiplak itu adalah tindakanmenyalin atau mengcopysecara persis seratus persen hasil
karya orang lain, atau sering disebut dengan plagiarisme. Kenapa Kak Esa bisa tahu? karena…
hm, yah, tebak-tebakansaja. Kan, mungkin... mungkin saja bu Guru Rico salah ngomong.”

“Tapi, tebak-tebakan itu, beda bukan, sama teka-teki silang?”

Ya ampun, nyambungnya dimana, hei?

“Beda dong…”

“Bedanya apa?”

“Bedanya itu—”

Duh, aku jadi pusing sendiri mendengar percakapan mereka. Jika diteruskan begini bisa-
bisa berlanjut sampai malam karena tanpa dinyana Esa sanggup menjawab hal-hal konyol yang
Rico pertanyakan sampai satu jam setengah tanpa rasa jengkel sedikitpun. Bisa dipastikan bila
itu aku, mungkin melempar tutup panci sampai melesat ke keluar rumah bisa dijadikan pengganti
jawabannya.

Ajeng masih asyik dengan lukisannya sedangkan Nana sudah beralih membuat sebuah
maha karya ditembok. Parahnya lagi, Tato dan Toto sama sekali tidak berkutik dari tempat
duduk mereka di depan komputer. Kedua bola mata mereka fokus bermain game sampai level
ke-semiliar mungkin. Luar biasa sekali orang-orang ini, tapi sebenarnya yang lebih luar biasanya
lagi aku, duduk lalu berbaring di tempat untuk memperhatikan mereka semua yang melakukan
sesuatu yang mereka sukai. Kurang kerjaan apa lagi aku ini?

“Ajeng kalau besar nanti, mau jadi pelukis, ya?” Posisiku kini sudah menyamping gaya
mermaid, sambil menopang kepala, mulai menatap Ajeng dengan seksama.

“Nggak tahu.”

Berbeda dengan Rico, Ajeng lebih pemalas untuk mengutarakan maksudnya.

“Kenapa?”

“Nggak tahu aja. Misalnya kalau aku bilang mau jadi pelukis sekarang, pas besar nanti
tahu-tahunya jadi penyanyi, gimana?”

Seketika aku terjeduk paham. Mataku berbinar-binar. Benar juga, tidak ada hal yang benar-
benar terjadi sesuai ekspetasi di muka bumi ini. Aku berpikir demikian karena yang kurasakan
hanya itu selama dua puluh tahun terakhir hidup. Dan kalau coba diingat lagi, perutku jadi
bergejolak saking mualnya.

“Kalau Bu Guru, dulu cita-citanya jadi guru, ya? mangkanya sekarang jadi Ibu Guru.”

Aku ingin terbahak namun miris pun datang bersamaan. Cita-cita, ya?itu hampir setiap
detik mampir dikepalaku dan mengacaukan kedamaiannya. Cita-citaku tidak bisa dihitung
dengan jari. Bahkan aku sendiri sudah lupa apa sebenarnya cita-citaku sebagai anak kecil dulu.
Beranjak dewasa, aku lebih senang menyebutnya dengan sebutan mimpi, karena cita-cita itu
berhubungan dengan segala keindahan yang kita bayangkan senyaman saat tengah bermimpi.
Aku pernah mendengar dari seseorang kalau dunia itu sebenarnya ada dua. Dimana yang
pertama, ia terletak dalam fantasi, dan yang kedua adalah kenyataan yang sedang kita jalani.
Kupikir selama ini aku terlalu dominan dengan fantasi, jadi sulit bagiku untuk menerima
kenyataan. Jadi saat menginjak usia dua puluh tahun pertamaku sekaligus yang terakhir sebagai
Noumi Roula, entah dikehidupan selanjutnya aku akan dilahirkan sebagai manusia lagi atau
debu, aku tidak tahu, tapi yang jelas aku tetap tidak ingin punya mimpi. Aku sadar kalau rasa
sakitku kini disebabkan oleh fantasi yang kubangun dengan menguras pikiran. Pola makanku
terganggu dan insomniaku semakin menggila.
Aku dibuat anemia sehingga mudah lelah dalam mengerjakan apapun. Menurutku, semua
menjadi kacau semenjak kita menciptakan mimpi. Kuharap Ajeng tidak melakukan hal yang
sama.

“Apa bu Guru nggak punya mimpi?”

Alisku menukik terkejut. Terheran-heran dengan mahluk mungil yang satu ini. Apa mudah
baginya membaca pikiran orang lain yang sedang melamun?

“Kenapa tiba-tiba Ajeng tanyanya begitu?”

“Hm, nggak tahu,” jawabnya handal. Tangannya masih sibuk mewarnai kertas minyak
dengan cat.“Ajeng Cuma penasaran saja apa mimpi bu Guru saat kecil dulu sampai bisa jadi
Guru sekarang.”

Ada satu Dream cather yang kubeli di toko klontong ketika mengunjungi pantai Nirwana
di Sulawesi tenggara saat kelulusan SD delapan tahun lalu. Beberapa tahun kemudian aku tanpa
sengaja menonton sebuah drama remaja, TheHers, yang diperankan Park Shin hye sebagai Cha
eun sangkala itu. Pada episode awal, aku bau tahu barang yang kubeli beberapa tahun lalu
namanya Dream Catherkarena pada drama tersebut, Dream cather diartikan sebagai penangkap
mimpi indah dikala mimpi buruk menyerang. Dan aku jadi berinisiatif untuk menggantungnya di
depan kamar waktu itu, berharap benda tersebut dapat menangkap segala sesuatu yang baik,
bahkan mungkin mendatangkan uang yang berlimpah untuk memperbaiki nasib sialku.

Sayangnya, persepsi hanyalah persepsi, sebelas dua belas dengan mengharapkan hujan
uang.Dream Cather atau benda apapun itu tidak akan pernah bisa menangkap mimpi yang
bermain bersama angin dikala malam mencekam. Atau mungkin saja, aku yang menerbangkan
mimpi-mimpi itu?

“bu Guru nggak punya mimpi. Dan bu Guru bukan seorang guru.”

Ajeng mencelupkan kuas ke dalam cat warna merah dan ia terkejut. “Lho, kok gitu?” aku
hanya menjawab dengan mengendikkan alis.

“Terus, bu Guru jadi apa dong sekarang kalau nggak jadi guru? Kan bu Guru jadi guru
kami.”
Kuperhatikan Esa memperhatikan kami meski ia mencoba fokus mengajar Rico memotret
miniatur orang di dalam mangkuk yang diisi air,(mungkin konsepnya kolam renang,) dan proses
pengajarannya dalam mode serius tingkat tinggi, tapi aku masih melanjutkan perbincangan
kembali dengan Ajeng sambil ikut membantunya melukis.

“Bu Guru hanya dipanggil “bu Guru” sama kalian, tapi bu Guru nggak semudah itu bisa
jadi guru, karena seorang guru itu harus punya pengetahuan yang luas tentang dunia. Hanya
karena Pak guruDwi memperkenalkan bu Guru dengan sebutan bu Guru, jadi sekarang bu Guru
jadi guru kalian, deh.”

Baru kali ini aku didengar oleh mata seorang anak yang berbinar terang. Seluruh panca
indranya hanya dipasang untuk mendengarkanku lalu ditaruhkan empati yang semurni air telaga.
Begitu polos dan bening. Aku melanjutkan.

“Tapi walaupun bu Guru bukan seorang guru beneran, bu Guru bisa mengajarkan pelajaran
pakai gaya bu Guru sendiri, kok.”

Dua buah bola mata berkedip tanda memahami maksud sebelum menggeleng lembut untuk
berkata dengan kesungguhan hatinya.

“Ajeng nggak peduli bu guru beneran itu harus bagaimana, tapi Ajeng suka bu Guru.”

Jika saja angin mendadak berhembus kencang sekarang, maka akan kujadikan alasan kuat
tentang mataku yang berkaca-kaca. Terharu aku dibuatnya, ditambah lagi caranya
mengungkapkan pernyataan itu sungguhmenggemaskan.

“Ajeng suka sama bu Guru?”

“Iya.”

“Kenapa?”

Ia sudah tak canggung lagi untuk bertatap muka denganku, bahkan lebih dekat.

“Karena bu Guru mirip sama Ibuku.”

Oh, ya ampun. Kujadikan itu pujian yang lebih dari layak. Dimiripkan dengan pahlawan
tanpa tanda jasa baginya, itu sangat sesuatu. Aku mendaratkan jemari di pucuk kepalanya, lalu
mengusap surainya dengan lembut.
“Kalau bu Guru mirip sama Ibunya Ajeng, berarti Ibunya Ajeng mirip seperti malaikat,
dong.”

“Kok bisa?”

“Bisa lah. Kan kamu mirip malaikat juga. Kamu nggak sadar, ya, mirip malaikat?”

“Malaikat apa dulu? soalnya kalau dipelajaran agama Islam, malaikat itu artinya Jibril.”

“Hah?” Oh, astaga. Aku tertawa. Geli menggelitik perut.

“Kok, Jibril?”

“Iya, kan itu nama malaikat.”

Aku mengusap air di sudut mata lalu menghela napas.

“Maksud bu guru bukan begitu, tapi sini, deh, tak kasih tahu. Malaikat itu ada 10 dalam
ajaran Islam.” Ajeng memperhatikan dengan seksama saat aku meregangkan jari jemari untuk
mulai berhitung.“Pertama Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atit, Malik, dan
Ridwan.”

“Kok banyak banget?”

“Sebenarnya nama Malaikat masih lebih banyak lagi dari itu, tapi hanya 10 diantaranya
yang diketahui. Sebagai perwakilan.”

“Kenapa?”

“Karena nggak ada yang benar-benar tahu, berapa pastinya Tuhan memiliki malaikat.
Mungkin saja seratus, dua ratus? Atau malah satu juta malaikat? Nggak ada yang pernah tahu
pastinya berapa. Jadi sebagai perwakilannya, muncul lah 10 nama malaikat tersebut.”

“Oh, begitu. Cara munculnya bagaimana?”

“Hm… itu sudah ada di dalam Al-Quran, kok.”

“Al-Quran itu, apa?”

“Al-Quran itu adalah kitab suci umat Islam.”

“Kenapa dibilang kitab suci?”


“Karena isinya petunjuk untuk berbuat kebaikan.”

“Oh, jadi kalau berbuat baik itu tandanya kita sudah suci, ya?”

Pintar juga caranya mengambil kesimpulan. Aku jadi tidak bisa untuk tidak berkata, “iya,”
sambil mengangguk mantap.

“Kalau dalam agama Hindu, bagaimana?” tanyaku balik, mungkin ia tahu banyak tentang
agamanya sendiri.

“Hm, kami nggak punya malaikat, sih, bu Guru, tapi kami punya banyak dewa.”

“Oh, ya? dewa apa saja? Kalau makna dari gelang yang kamu pakai ini, apa? kenapa
warnanya belang tiga? Merah, putih, hitam?”

“Ini namanya gelang Tridatu. Artinya apa, ya? oh! ini hanya sebagai tanda kalau kami
orang Hindu. Kalau maknanya aku nggak tahu. Pokoknya ini aku dapat kalau ada upacara
sembayangan di Pura.”

“Oh, begitu.”

“Iya. Kak Noumi mau pakai gelang ini?”

“Eh—”

Barusan ia memanggilku kak? Bukan bu guru lagi?

“Nggak… emangnya bu Guru boleh pakai gelang Tridatu walau nggak ikut sembahyangan
di Pura?”

“Boleh aja, kok, kan banyak gelang yang kayak begini dijual di toko-toko aksesoris.”

“Oh, bu Guru baru tahu.”

“Kalau mau, besok Ajeng bawain, ya.”

“Boleh. Makasih, ya.”

“Kalau bahasa Koreanya, ‘sama-sama,’ apa?”

“Cheonmanneyo”
“Oh, cheongmaneyo.”

“Bukan cheongmaneyo, tapi cheon-man-ne-yo.”

“Oh, Cheon-man-ne-yo, begitu?”

Aku mengangguk.

“Aku bisa bilang Anyeonghaseyo dan anyeonghigeseyo.”

“Artinya apa?”

“bu Guru nggak tahu? artinya kan ‘halo’ dan ‘selamat tinggal.’”

“Oh, iya, terus-terus, apa lagi?”

“Hm… aku juga bisa bilang Arigato gozaimasu... koniciwa… spasiba… bonjour… xie
xie… nihouma—”

“Wow!”

“Saranghae… mianhae… grazie… obrigado… swadikap… kopunkhap… danke… danje…


merci… syukron… hvala… thank ye, thenk ye, multumesc, shur-nur-ah-gah-lem, dan tujechhe.”

Aku dan Esa bertukar pandang sejenak, kemudian bertepuk tangan secara meriah.

“Wuaaaah, Keren!!!” Senyum Esa mengembang dengan mata yang berbinar. Ia masih
bertepuk tangan sambil menganggukkan kepala. Aku tidak tahu pasti apakah yang Ajeng sebut
barusan itu adalah bahasa asal-asalan atau benar dari berbagai Negara, tapi aku sudah terlanjur
gemas.

“Kok kamu bisa hebat banget, sih? Sini cium dulu!”

Anak itu tidak menolak saat kudekap kuat untuk kucium kedua pipinya. Ia malah
memejamkan matanya erat dan tertawa seperti tengah digelitik.

“Saranghae…” aku membuat bentuk hati di atas kepala dengan kedua tanganku, lalu
Ajeng membalas, “nado saranghae…” dengan gaya paling imutnya. Seperti bahasa Inggris,
saranghae atau I love u tidak hanya ditujukan kepada pasangan, tapi kita boleh mengatakannya
kepada siapapun atau orang terkasih sebagai tanda kasih sayang.
Kebanyakan orang Indonesia, biasanya mempopulerkan ‘saranghae’ sebagai bahan
candaan atau sapaan saat bertemu orang yang terlihat seperti orang Korea. Dulu pernah waktu di
suatu Mall, aku, tiga orang temanku, dan satu orang tak dikenal lainnya, berada dalam satu lift
dengan orang Korea. Karena penasaran ingin memastikan, teman-temanku bertanya, Where are
you from? Dan saat mereka menjawab from Korea, sontak bapak-bapak dibelakangku langsung
berkata saranghae dibanding mengatakan anyeonghaseyo lebih dulu, (padahal orang Koreanya
itu laki-laki semua.) Kami tertawa terbahak-bahak, tanpa kecuali orang Korea itu sendiri. Meski
mereka membalas ungkapan tersebut dengan nada yang sama, namun moment itu sukses menjadi
legend dalam hidupku.

“Bilang saranghae juga dong ke pak Guru,” pintaku. Ajeng langsung memancarkan
pesonanya.

“pak Guru, saranghae.…”

Esa tahu banget gaya menangkap nyamuk di udara dengan kedua tangan lalu menelannya
sebelum tersenyum lebar dengan memiringkan kepala.

“Saranghae juga, Ajeng…”

Rico merasa iri karena kulihat ia cemberut. Kedua pipi bakpaonya nyaris bergelinding di
lantai karena merosot.

“Tuh, bilang saranghae juga ke Rico,” pintaku gesit. Kemudian lagi-lagi Ajeng
memberikan ekspresi lembut nan ceria kepada anak laki-laki tersebut.

“Saranghaeyo, Rico…”

Rico tak membalas senyum. Ia hanya berdeham, “hm,” dengan malasnya. Aku terkikik.

“Lha, kok jawabnya begitu?” Esa menjawil pipinya sambil menatap jenaka secara lekat.
Yang ditatap mencoba membuang muka.

“Mau dicium juga, hm? Kayak kak Ajeng tadi? Hm, hm?”

Tawaran Cuma-Cuma tanpa kesepakatan bersama itu pun langsung dilaksanakan sepihak
oleh Esa. Pipi Rico yang pulen dicap dengan stempel bibir secara brutal sampai anak itu menjerit
tidak terima lalu Esa membuatnya berguling-guling dilantai. Aku dan Ajeng dibuat tertawa-tawa
melihat mereka berdua bagai kutu rambut yang bertumpukan bila diadu, bahkan keseruan
mereka mengundang atensi dua anak kembar yang dari tadi bermain game zuma di depan
komputer. Tato dan Toto yang kesannya tak peduli perlahan mulai memberi minat untuk
bergabung bersama kami. Nana yang tadinya sibuk mengecat tembok sendiri, kini terdiam
bingung menatap tak mengerti atas kemenangan apa yang telah terjadi hingga mereka berdua
rela membuat selebrasi sekonyol itu. Rico sendiri pun setelahnya dibuat bagai orang babak belur.
Terduduk lemas dengan muka lesu karena tidak sanggup adu kekuatan dengan Esa, membuat
yang menjahilinya tertawa puas karena melihat sang korban menderita.

“Hohohoho…”

Aku menggeleng, mencoba merapikan surainya yang jigrak. Menyingkirkan beberapa helai
rambut yang berkeringat dan mengusap wajahnya sebelum memberi kecupan singkat dikening
serta berakhir dengan menyembunyikannya ke dalam pelukan.

Kasihan. Meski kami semua tertawa melihat fisiknya yang lucu, namun ia terlihat sama
sekali tidak senang, malah cenderung sedih. Dan benar saja, tak lama setelah itu, mendadak ia
jadi menangis kencang dipelukanku.

“Akkhhhhh!!!”

Suaranya membahana membuat kami semua terkejut, termasuk Esa. Ia kebingungan


setengah mati setelah aku menatapnya dengan mata membulat karena telah membuat anak ini
menangis. Karena aku tak bisa berkata kasar kepada Esa sekarang sebab anak-anak menatap
kami dengan muka serius, Esa pun mencoba menaikan alisnya seolah bertanya padaku.

“Kenapa?”

Alisku menukik.

“Kau apakan dia?!”

“Aku hanya main-main…!”

“Main-main bukan begitu caranya!”

Ia segera menciut dengan menurunkan pandangan, menunjukkan gestur bersalah. “Maaf.


Aku nggak tahu kalau jadinya bakal begini.”
Itu membuatku jengah. Kurotasi bola mataku dengan sengaja seolah tengah melimpahkan
kekesalan padanya untuk membuat Rico merasa baikan, sementara dalam posisi kepompong,
kutepuk-tepuk punggung dan bokong anak ini karena ia terus cegukan.

“Uuu… nggak apa-apa, kenapa menangis? Siapa yang nakal, pak guru Dwi, ya? Oh, iya…
sudah bu guru pukul, kok. Cup, cup, cup, ya?”

Esa mengusap hidung. Menatap anak-anak yang lain, lalu tersenyum canggung.
Meyakinkan kepada mereka bahwa ini hanya masalah sepele yang tak perlu bantuan polisi sama
sekali kalau hanya untuk sekadar membantu muka mereka kembali tenang.

“Maafin bu guru juga, ya. Kami nggak ada maksud apapun apalagi sampai bikin Rico
menangis, kok. Pak guru Dwi juga niatnya hanya bercanda sama Rico, iya kan pak guru Dwi?”

“Iya, maafin pak Guru, Rik.”

Aku menarik diri namun ia tak mau lepas, terus mendesak wajahnya di bawah dadaku
sementara aku khawatir ia tidak bisa bernapas. Kuputar melalui tengkuknya ke arah berlawanan
dengan Esa untuk mengusap air matanya yang membanjiri pipi. Hanya sedikit saja dan itu
langsung membuatnya lega bukan main. Kudapati keringatnya banyak bercucuran. Kelopak
matanya sudah bengkak seperti tersengat lebah dan hidungnya tak berhenti mengeluarkan ingus
sehingga mau tak mau harus kuseka dengan tanganku sendiri. Saat Esa dan yang lain mulai
berisik, aku berbicara dengan nada berbisik.

“Rico kesal karena bu Guru nggak bilang Saranghae ke Rico, ya? atau karena Rico nggak
suka dicium pak Guru Dwi?”

Ia tak menjawab sedangkan aku sibuk mengusap keringatnya dengan tangan. Entah itu
benar atau salah namun yang pasti tak ada salahnya menanyakan penyebab utama dari akar
permasalahannya agar hatinya tidak selalu digunakan untuk menyimpan amarah.

“Kenapa Rico nangis? Rico marah sama siapa, hm?”

Kulihat bibirnya semakin memerah saat ia basahi dengan air liur. Saat kugenggam
tangannya, ia tetap tak bergeming. Kubawa ia berayun-ayun pelan dan bersenandung untuk
sesekali kutengok, ia sedang melamun. Ia sebenarnya menangis karena apa, sih? Membuatku
penasaran. Tapi setelah berlama-lama ketika Esa mulai berisik dengan yang lain, lalu aku mulai
berbicara dengan nada berbisik lagi, Rico mengatakan yang sebenarnya.

“Aku sebenarnya sedih karena bu Guru peluk aku.”

***

Anda mungkin juga menyukai