Anda di halaman 1dari 5

Dunia Zara

Oleh Ni Komang Suwerni


(SMA Pariwisata Saraswati Klungkung)

Senyuman terpatri di wajahku saat kulihat dia tersenyum kepadaku. Hembusan angin
menerpa wajah seorang perempuan paruh baya yang tampak sedang menyapu. Keriput
terlihat jelas di wajahnya serta rambut yang sudah memutih sepenuhnya.
Perempuan paruh baya tersebut adalah nenekku. Aku yakin beliau kaget akan
kedatanganku apalagi tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Kemudian, dengan senyuman
yang tetap terhias di wajahnya. Beliau menyambutku dengan ramah dan menyuruhku masuk.
Tanpa ragu-ragu langsung saja aku masuk ke dalam rumah sementara beliau sedang menaruh
sapu di belakang rumah. Memang wajar jika beliau kaget karena ini pertama kalinya aku
kesini setelah setahun tidak pernah berkunjung. Hal tersebut karena aku sibuk dengan
duniaku sendiri sekaligus pekerjaanku sebagai seorang penulis.
Sebagai penulis, tentunya sibuk dengan berbagai tulisan-tulisan. Karena hal itu, aku tidak
bisa membagi waktuku dikala sibuknya. Beruntungnya, saat ini aku telah selesai menerbitkan
karyaku yang baru saja selesai dirilis. Sehingga aku bisa menenangkan pikiran sekaligus
liburan untuk saat ini. Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah Nenek. Aku sangat
rindu dengannya dan memutuskan untuk liburan saja ke rumahnya.
"Rara, nenek rindu sekali sama kamu. Kenapa baru sekarang kamu kemari?" Tanya beliau
begitu lembut setelah kita berdua duduk di sofa ruang keluarga.
"Maaf ya Nek,aku baru sekarang punya waktu luang. Ngomong-ngomong aku juga
sangaaat kangen sama Nenek hehe," jawabku sembari memeluk beliau dan menggoyangkan
tubuh kami ke kanan dan ke kiri
Kami berdua melepas rindu dengan berbincang-bincang sambil tertawa membuatku
teringat akan kenangan dulu saat aku masih tinggal disini. Nuansa rumah tetap tidak berubah,
nuansa kayu dan rindangnya pepohonan di halaman rumah tetap menjadi rumah ternyaman
bagiku di desa ini.
Nenek kemudian mengajakku berkeliling desa dan menceritakan apa saja yang terjadi
selama aku tidak disini. Aku senang karena sekarang sudah banyak pembangunan di desa ini
yang bisa memudahkan warga untuk ke kota terutamanya jalan raya. Selama berkeliling desa,
pikiranku begitu tenang. Desa yang begitu hijau dan damai membuatku terlarut dan
membuatku teringat akan masa kecilku dan kejadian dulu. Melihat aku yang tampak terdiam,
nenek bingung lalu bertanya,"Ra,kenapa kamu diam saja?"
Aku pun mengatakan kalau mengingat kejadian-kejadian dulu. Nenek kemudian
tersenyum lembut begitu mendengar perkataanku. Beliau tetnyata masih mengingatnya
dengan jelas meskipun sudah termasuk lanjut usia. Aku pikir beliau mungkin sudah
melupakannya karena sudah berlalu begitu lama. Aku masih ingat bagaimana keseharianku
disini dan ada satu kejadian yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Aku tidak akan
pernah melupakannya, saat itu bisa dibilang aku masih dalam masa labil-labilnya. Tapi berkat
itu semua, aku menikmati hidupku sekarang.
Sore hari waktu itu, aku baru saja selesai dari kerja kelompok. Aku merasa badanku begitu
lelah dan ingin secepatnya merebahkan tubuhku di kasurku yang empuk. Membayangkannya
saja sudah membuatku tidak sabar ingin cepat-cepat pulang. Begitu sesampainya di rumah,
aku bergegas langsung masuk ke kamarku kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur.
Belum beberapa lama memejamkan mata, gebrakan suara pintu mengagetkanku membuatku
terpaksa membuka mata. Ternyata itu Ayahku yang baru saja membuka pintu kamarku
dengan keras.
"Kenapa?" tanyaku melirik sembari mengerutkan alis kesal.
"Kalau baru pulang itu jangan langsung tidur,seengaknya mandi dulu ganti pakaian," tegur
Ayahku.
"Sekarang?" dia mengangguk.
"Haah baiklah," balasku tidak semangat. Sepeninggalnya Ayah,aku bangkit dari tempat
tidurku dan bersiap mandi.
Malam harinya, aku sedang duduk duduk bersantai di teras rumah sibuk dengan
kegiatanku sendiri. Kebetulan, aku menggemari yang namanya menulis. Disaat tengah sibuk
menulis, aku merasakan sentuhan di pundakku. Ternyata Nenek yang datang. Beliau terkekeh
kecil melihatku terkejut lalu langsung duduk di sampingku.
"Apa yang sedang kamu lakukan selarut malam ini?" tanya beliau heran. Belum sempat
aku menjawab, omonganku terpotong ketika Ayah tiba-tiba menyelutuk dari belakang.
"Apa lagi yang akan dilakukannya selain menulis atau apalah itu yang gak jelas seperti
ini!" Perkataannya tersebut sukses membuatku terdiam dan sakit hati tentunya. Tanpa pikir
panjang aku bangun dan bergegas masuk ke dalam kamarku. Kenapa sih Ayah tidak pernah
paham akan apa yang aku sukai dan selalu melarang seperti ini. Padahal dia tahu kalau aku
suka dengan hobiku ini apalagi semenjak Ibuku meninggal 2 tahun lalu, aku selalu
menuangkan perasaanku pada tulisan. Tidak peduli akan panggilan dari Ayahku, aku hanya
bisa terisak pelan kemudian perlahan mataku terpejam dan tertidur.
Sekarang aku memang memasuki jenjang tingkat SMA, wajar jika dikala ini aku sedang
sibuk-sibuknya bergelut dengan pelajaran dan tugas-tugas yang semakin padat. Namun, aku
tetap menyalurkan hobiku pada menulis jika punya waktu luang. Saat aku mendapat info dari
temanku kalau ada yang namanya aplikasi yang bisa dijadikan tempat bisa menuangkan ide
cerita melalui tulisan. Ah mendengarnya saja sudah membuatku tertarik, langsung saja
kuunduh dan kujelajahi aplikasi tersebut. Aku tertarik untuk upload tulisanku disana karena
dari yang sudah kulihat disana.Banyak karya orang yang peminat pembacanya banyak. Aku
menaruh harapanku disana, aku harap ada yang bisa membaca karyaku.
Berhari-hari aku tunggu tetap saja pembaca tulisanku hanya beberapa orang saja. Itupun
kurang dari 10 orang. Aku memang sempat berkecil akan hal itu. Tapi entah kenapa, aku
tidak merasa harus menghentikan hal ini. Aku percaya jika suatu saat aku pasti bisa berhasil.
Dengan menyemangati diriku sendiri, hal itu tidak akan mematahkan semangatku untuk
mencoba lagi. Kesabaranku membuahkan hasil, beberapa hari kemudian pembaca yang
membaca tulisanku semakin meningkat meskipun bisa dibilang tidak terlalu banyak. Tapi aku
sangat senang karena ada yang bisa membacanya.
Karena hal itu pun, aku jadi semakin sibuk dengan duniaku sendiri tanpa memperdulikan
hal lain di sekitarku. Kini semua waktu kuhabiskan dengan menulis dan menulis. Terlalu
lama bergelung dengan hal ini,aku sampai tidak menyadari kalau hari sudah sore. Waktu
memang sangat cepat berlalu apalagi jika hari minggu. Terdengar suara krucuk-krucuk yang
terdengar cukup keras dari perutku yang menandakan aku sangat lapar. Memang wajar
karena dari pagi aku belum sempat makan sama sekali.
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Sesampainya disana langsung saja aku minum air
terlebih dahulu karena selain lapar, tenggorokanku juga begitu kering. Lega kurasa setelah air
membasahi tenggorokanku. Sekarang aku beralih menuju meja makan. Aku heran begitu
membuka tudung saji karena tidak ada satupun makanan disana. Aku menjadi sangat kesal
karena disaat aku lapar tidak ada makanan yang bisa kumakan.
"Oh keluar juga kamu akhirnya." Sebuah suara menginterupsi dari belakang yang ternyata
adalah Ayah. Begitu kutoleh ke belakang,bisa kulihat Ayahku bersandar di pintu dapur
sembari melipat tangannya di depan dada. Matanya tertuju kepadaku dan menatapku tajam.
Aku hanya meliriknya sebentar lalu segera mengalihkan pandanganku segera. Baru saja aku
akan meninggalkan dapur, panggilan dari Ayah membuatku mengurungkan niatku pergi.
"Ada apa?" tanyaku heran begitu aku dipanggil.
Dia tidak bergeming sama sekali kemudian beberapa saat kemudian dia mencoba
mendekat lalu bertanya
"Untuk apa sih kamu bergelung dengan hal-hal nggak berguna kayak gitu?" Aku
mengerutkan dahi bingung apa maksud dari perkataannya itu.
"Ngapain kamu terus saja berdiam diri di kamar sampai lupa makan seperti ini!"
Omelnya."Lupain semua hal-hal yang berkaitan dengan tulisan. Apasih susahnya nurut sekali
saja?!" Sambungnya lagi. Aku tahu kalau dari dulu Ayah memang nggak suka aku menekuni
alam bidang tulis-menulis. Tapi aku sendiri tidak suka dikekang seperti itu.
Kami berdua memang sama-sama keras kepala, maka setiap bertengkar tidak ada yang
mau mengalah. Karena tidak ingin memperpanjang masalah, kuputuskan saat ini untuk tidak
membalas perkataannya dan memilih keluar dari dapur tanpa mengindahkan teriakannya
yang terus memanggil namaku.
Begitu kesal karena kejadian ini, kakiku terus saja melangkah hingga keluar dari rumah
tanpa mengenakan alas kaki. Kesal karena rasa lapar yang tidak terpenuhi ditambah lagi
dengan omelan dari Ayahku, aku jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Terus saja
kulangkahkan kakiku sambil menggerutu tidak senang tanpa sadar hari yang sudah mulai
gelap.
TIN!
"MINGGIR! ZARA MINGGIR!"
Aku terkejut mendengarnya, kutolehkan kepalaku ke belakang segera bersamaan
terdengar teriakan yang menyuruhku segera menyingkir. Itu adalah suara teriakan Ayahku
yang kulihat sedang berlari dari jauh. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa tubuhku lemas tidak
bertenaga. Pikiranku menyuruhku segera beranjak dari sana, namun tubuhku terlalu lambat
merespon. Kejadian yang begitu cepat tidak bisa dicegah terjadi kepadaku. Tanpa aba-aba,
tubuhku terhuyung ke aspal jalanan dan kepalaku terbentur akibat terserempet sepeda motor.
Aku kehilangan kesadaranku dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Aroma khas rumah sakit memenuhi Indra penciumanku. Aku membuka mataku perlahan
tapi tidak terlalu jelas apa yang kulihat. Aku hanya merasakan sakit di kepalaku dan
mendengar suara-suara yang tidak asing. Ya,itu adalah suara Nenek dan Ayahku. Kulihat
mereka sedang berbicara di di sofa kamar rawat inap ini. Terdengar isakan dari mulut
Ayahku, aku kaget karena ini pertama kali kudengar dia menangis. Aku mendengar beberapa
percakapan diantara mereka diantaranya ada yang membuatku merasa sangat bersalah.
"Buk,saya telah gagal menjadi Ayah yang baik buat anak saya.Maafkan saya," kata
Ayahku dengan suara bergetar. "Almarhumah Ibunya Zara pasti sangat sedih melihat saya
yang gagal menjaga dan menjadi Ayah yang baik buat Zara."
Nenek terdengar menangis juga begitu mendengar perkataan Ayah,beliau terisak lalu
berkata kepada Ayah,"Nak,kamu sama sekali tidak gagal.Sama sekali tidak. Hanya saja cara
Rara melihat kasih sayangmu berbeda. Dia hanya melihat Ayahnya marah-marah,tapi
sebenarnya dia tidak sadar kalau itu adalah bentuk perhatianmu kepadanya meskipun dengan
cara mengomelinya."
Setelah dari tadi aku mencoba menahan diriku agar tidak menangis. Kali ini aku sudah
tidak tahan lagi. Tanpa bisa dicegah lagi, akhirnya lolos keluar isakan dari mulutku disertai
dengan deras air mataku yang berjatuhan. Dengan suara bergetar, aku mencoba memanggil
Ayahku. Mereka berdua kemudian menoleh ke arahku dan tampak kaget melihat diriku yang
sudah sadar ditambah lagi dengan bercucuran air mata.
"Hiks...hiks...A-a-ayah." Aku memanggilnya dengan suara parau yang hampir tidak bisa
keluar. "Hiks...Za-zara minta ma-maaf," pintaku disertai dengan isakan yang tidak bisa
berhenti.
"Heh ngapain nangis hm?" tanya Ayah sambil mengusap air mataku. "Kamu nggak perlu
minta maaf pada Ayah. Ayah juga salah sama kamu. Sekarang cukup kamu menjadi orang
sukses yang berhasil. Itu sudah cukup buat Ayah." Sambungnya lagi dengan senyuman dan
linangan air mata. "Satu hal lagi, mulai sekarang Ayah nggak akan ikut campur dengan
apapun yang hal yang kamu sukai. Kejarlah mimpi kamu sesuai dengan keinginan kamu.
Ayah akan mendukungnya, tapi janji kamu akan menjadi orang yang berhasil ya!"
Aku kaget sekaligus terharu mendengarnya,aku tidak menyangka Ayah akhirnya
mendukung keinginanku. Tanpa aba-aba lagi aku langsung berhambur ke pelukannya. "Zara
janji! Zara janji Zara pasti bisa!" seruku dengan bahagia.
"Rara,kini kamu telah berhasil mewujudkan mimpi kamu," kata Nenek tiba-tiba ketika
kami selesai mengingat kejadian dulu. Aku terkekeh bahagia mendengarnya. Aku tersenyum
mengingat kejadian tersebut.
"Aku senang aku bisa mencapai hal yang memang benar-benar aku suka," balasku
tersenyum. "Ngomong-ngomong Nek,Ayah dulu sangat galak kan ya."
"Kamu ini ini ya haha." Nenek balas tertawa.
Kami kemudian tertawa bersama. Seluruh kejadian-kejadian yang pernah aku alami aku
anggap sebagai sebagai ingatan dan pelajaran yang tidak akan pernah aku lupakan. Begitu
banyak hal yang telah kualami,aku merasa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku yang
manja dan emosian kini bisa tahu yang namanya kedewasaan yang bisa membedakan mana
yang baik dan buruk berkat didikan dari orang-orang sekitarku.
"Oh iya Ra, Ayah kamu kenapa nggak bareng kamu kesini?"
"Ayah masih sibuk dengan pekerjaannya di luar kota Nek.Tapi Ayah sudah titip salam
buat Nenek. Katanya kalau kerjaannya selesai, Ayah akan langsung kesini." Aku tahu Nenek
pasti kesepian berada disini sendirian semenjak aku dan Ayah memutuskan untuk tinggal di
kota karena pekerjaan. Namun,apa boleh buat.Aku dan Ayah sama-sama sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Tapi kita semua pasti akan tetap menyempatkan berkumpul
sesering mungkin jika ada waktu luang bersama dengan keluargaku yang lain juga.
Tidak terasa 2 bulan lamanya aku berada disini, beban pikiranku berkurang semenjak
liburan ini apalagi bisa menghabiskan waktu bersama orang yang kusayangi. Hari ini adalah
hari dimana kepulanganku ke kota. Aku harus segera pulang ke kota karena harus segera
menyelesaikan deadline kerjaanku. Aku kemudian berpamitan kepada Nenek dan bersiap
untuk segera berangkat sebelum malam.
Di sepanjang perjalanan, kulihat-lihat keadaan desa ini sebelum aku pergi. Aku sadar
kalau tidak ada yang bisa membahagiakan jika aku hanya terfokus akan duniaku sendiri.
Tanpa sadar aku bisa saja melewatkan momen berharga sekecil apapun. Dengan kejadian
apapun itu, aku telah berpikir aku hidup di dunia bersama yang lain. Maka, akan kujalani
hidup dengan dunia bersama yang lain.
Perlahan, aku mulai jauh meninggalkan desa ini. Namun, kenangan-kenangannya akan
selalu membekas indah dalam ingatan. Meskipun tidak sesukses orang lain, tapi aku bahagia
bisa mewujudkan mimpiku ini. Mimpiku memang berarti untukku, namun dengan
kebersamaan dalam mewujudkan mimpi itulah yang jauh lebih berarti bagiku. Aku harap aku
bisa segera kembali kesini.

Anda mungkin juga menyukai