Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan suatu penyakit
yang disebabkan oleh suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
dan dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy Syndrome)
(Suryadinata, 2016). Penyakit HIV/AIDS bagaikan fenomena gunung es
(iceberg phenomena), yaitu jumlah penderita yang dilaporkan sedikit
dibanding jumlah sebenarnya yang telah menyebar. Penyakit ini dapat
menyerang siapa saja serta memberikan dampak yang cukup serius akibat
adanya infeksi sekunder yang akan berakibat rusaknya organ tubuh serta
dapat terjadi kematian (Indriani, 2015).
Data UNAIDS tahun 2017 jumlah penderita HIV dan AIDS diseluruh
dunia sebanyak 36,9 juta. Jumlah penderita HIV dan AIDS di Indonesia
yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa.
(Kemenkes RI, 2018). Data Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD)
Provinsi Bali menjelaskan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Bali pada
tahun 2017 mencapai 15.873 orang meningkat menjadi 19.286 orang pada
tahun 2018. Kota Denpasar  menempati urutan pertama dengan jumlah
penderita 7.246, posisi kedua Badung 3.141 orang, ketiga Buleleng
2.953, sedangkan Klungkung sebanyak 399 orang (Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi Bali, 2018). Menurut catatan medik RSUD Kabupaten
Klungkung selama jumlah pasien HIV/AIDS tahun 2020 sebanyak 110 orang
meningkat dibandingkan jumlah pasien HIV/AIDS tahun 2019 sebanyak 66
orang.
Meningkatnya kasus HIV/AIDS di masyarakat Indonesia,
menimbulkan pandangan yang berujung munculnya stigma negatif yang
melekat kuat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pandangan terhdap
masa depan orang yang mengidap penyakit ini mengakibatkan keputusasaan,
ketidakberdayaan, harapan yang pesimistik, dan persepsi tidak jelas yang
akan membuat interpretasi salah terhadap fakta yang ada dengan cara negatif
(Ramadanu, dan Retnasari, 2015). Kebanyakan masyarakat menganggap
ODHA sebagai manusia pendosa, hukuman atas perbuatan penderitanya yang
telah dilakukan. Interpretasi yang salah ini memunculkan stigma-stigma yang
negatif dan diskriminatif terhadap ODHA. Stigma negatif yang ditujuka
kepada ODHA menyebabkan penanganan penyakit menjadi terbengkalai,
terlebih lagi jika stigma dan diskriminasi muncul dari perawat (Damalita,
2016).
Stigma yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit merupakan salah
satu tantangan utama dalam mencegah dan manajemen HIV/AIDS terutama
dinegara berkembang. Stigma merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi keinginan orang yang beresiko tertular untuk melakukan VCT
dan juga mempengaruhi ODHA untuk menjalani pengobatan. Stigma dan
diskriminatif yang muncul dari perawat terhadap ODHA dapat bersumber
dari keyakinan yang kurang tepat dari diri sendiri, sehingga memunculkan
sikap diskriminatif ketika berhadapan dengan ODHA. Stigma yang muncul
ini menurunkan interaksi sosial dan kualitas hidup dari ODHA (Urifak,
2017).
Dampak yang dapat terjadi abapila pasien ODHA merasa terstigma oleh
petugas kesehatan, dapat mempengaruhi kualitas perawatan, kualitas hidup
pasien, dan keterlibatan dalam proses perawatan. Di sisi lain, akibat stigma
yang melekat pada penyakitnya, ODHA merasa tidak dapat mendiskusikan
kondisi mereka dengan keluarga dan teman-temannya. ODHA tidak semua
mampu terbuka tentang status positif HIV mereka. Ketika ODHA tersebut
harus dirawat di rumah sakit karena penyakitnya, kebutuhan akan perawatan
yang berkualitas tetap harus dipenuhi oleh para petugas kesehatan. Terutama
perawat, yang merupakan tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi
dengan pasien. Namun, perawat yang sering berinteraksi dengan perawatan
pasien terinfeksi HIV, menjadikan perawat sebagai profesi yang berisiko
tinggi tertular HIV (Lasmadiwati, 2017). Terdapat banyak kasus penularan
HIV/AIDS pada perawat ditemukan berasal dari rangkaian kecelakaan yang
terjadi akibat paparan cairan tubuh pasien ketika melakukan perawatan.
Sebagai contohnya yaitu kecelakaan akibat luka tusukan jarum suntik yang
mengandung darah terinfeksi HIV atau luka dari benda tajam lainnya yang
terkontaminasi dengan darah pasien positif HIV (Chin, 2017).
Kasus penularan HIV/AIDS pada perawat memberikan dampak negatif
terutama terkait perasaan aman dan nyaman perawat ketika menghadapi
ODHA. Perawat merasa khawatir mengenai keamanan tempat kerjanya dan
kepastian jaminan kerja terutama untuk mencegah mereka dari terifeksi
HIV/AIDS. Menurut Van Dyk (2018), perawat diharuskan untuk selalu
mengingat bahwa setiap pasien yang masuk ke rumah sakit mungkin menjadi
pembawa (carrier) HIV. Hal ini dikarenakan tidak ada cara yang cepat untuk
mengatakan apakah pasien tersebut mengidap HIV atau tidak. Darah atau
cairan tubuh lainnya yang terpapar harus selalu diwaspadai pada setiap
pasien. Kondisi ini menyebabkan banyak waktu perawat habis dalam
tindakan-tindakan pencegahan penularan HIV yang kadang berlebihan pada
setiap pasien yang ditemuinya (Djoerban, 2016)
Petugas kesehatan menjadi tidak nyaman setelah kontak dengan pasien,
karena khawatir pasien tersebut menderita HIV. Sehingga ada kalanya
perawat melakukan perlindungan dengan berbagai pakaian pelindung yang
lengkap dipakai ketika berhadap dengan pasien yang dianggap menderita
HIV. Langkah-langkah seperti ini mungkin dapat menghabiskan waktu dan
menjauhkan hubungan terapeutik dengan pasien. Kualitas komunikasi dan
hubungan terapeutik menjadi berkurang dan bahkan tidak jarang muncul
sikap diskriminatif terhadap pasien dengan HIV/AIDS Suryadinata (2016).
Menurut Aryanto (2018) terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan
munculnya stigma pada fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor terebut meliputi
ketakutan tertular virus HIV, kurangnya terpapar informasi terkait penularan
HIV, serta sikap dan perilaku terkait stigmatisasi bahwa HIV merupakan
dampak dari perilaku amoral
Berdasarkan penelitian Intani (2017) sebanyak 44,9% responden
menyatakan bahwa perawat masih ada rasa takut tertular saat memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien HIV. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga
kesehatan termasuk perawat masih ada stigma kepada pasien HIV. Aryanto
(2018) juga mengungkapkan sebanyak 79.4% perawat mempunyai stigma
tinggi. Penelitian Martiningsih (2015) menemukan stigma terhadap ODHA
dalam pelayanan kesehatan diantaranya adalah dianggap remeh dan mendapat
judgement yang buruk, tidak diberikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas
yang lain, “labelling” terhadapa pasien, penggunaan alat perlindungan diri
yang berlebihan terhadap pasien, tes HIV tidak secara tuntas dan Conseling
pre dan post yang tidak adekuat,
Hasil studi pendakuluan yang peneliti lakukan di RSUD Klungkung
dengan melakukan wawancara terhadap 4 perawat yang pernah merawat
pasien HIV. Peneliti bertanya tentang apa yang mereka rasakan saat
ditugaskan merawat pasien HIV dan bagaimana sikap mereka sebelum dan
saat bertemu pasien HIV. Hasilnya menunjukkan bahwa masih terdapat
stigma tentang pasien HIV seperti perawat masih takut dengan penularan
HIV, menggunakan sarung tangan double, dan meminta perawat lain untuk
bertukar pasien jika dirinya mendapat pasien HIV.
Dari pemaparan diatas yaitu masih adanya kasus pasien ODHA yang
mendapat stigma dari perawat disertai dengan belum adanya penelitian serta
data riil tentang stigma perawat secara keseluruhan pada pasien dengan
ODHA di RSUD Kabupaten Klungkung maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang “Stigma Perawat Terhadap Orang dengan HIV AIDS di RSUD
Kabupaten Klungkung “.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah ”Bagaimanakah stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS di RSUD Kabupaten Klungkung?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui stigma perawat terhadap orang dengan HIV AIDS di
RSUD Kabupaten Klungkung.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS di RSUD Kabupaten Klungkung berdasarakan umur
b. Mengidentifikasi stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS di RSUD Kabupaten Klungkung berdasarakan jenis
kelamin
c. Mengidentifikasi stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS di RSUD Kabupaten Klungkung berdasarakan pendidikan
d. Mengidentifikasi stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS di RSUD Kabupaten Klungkung berdasarakan masa kerja

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan :
a. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dibidang keperawatan medikal bedah, terutama tentang
stigma perawat terhadap orang dengan HIV AIDS
b. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat memberikan data awal dalam mengadakan
penelitian yang terkait dengan stigma perawat terhadap orang dengan
HIV AIDS.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan :
a. Bagi perawat
Sebagai evaluasi atau introspeksi diri dalam memberikan pelayanan
kesehatan HIV sehingga nantinya akan memberikan kualitas
pelayanan yang baik.
b. Bagi tempat penelitian
Sebagai acuan evaluasi dalam pelayanan keperawatan HIV dalam
mengurangi stigma pada perawat sehingga tidak ada stigma di
lingkungan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai