Anda di halaman 1dari 14

1

Yaa Bunayya, Maafkan Aba


dan Biya
P ukul 11 malam waktu Korea, sepasang suami dan istri belum beristirahat.
Mereka manfaatkan waktu untuk berbincang setelah tidak bertemu
hampir seharian. Bhumi merangkul Haia yang duduk bersandar di ranjang.
Sisa koreksian dokumen ujian tengah semester mahasiswa dan materi acara
seminar fakultas dia tangguhkan. Dosen mata kuliah hukum Islam di Seoul
International University hanya ingin menjemput kantuk dengan perempuan
di pelukannya.
Wanita di sisi Bhumi sekarang menikmati aktivitas sebagai ibu rumah
tangga yang nyambi belajar dan bekerja. Haia dilibatkan dalam penelitian
proyek eksternal bersama Prof. Kwon walau telah lulus kuliah, menulis konten
di akun media sosial Aisa sebagai hobi, dan membuat blog video keseharian
keluarga muslim di Korea. Hitung-hitung mengisi waktu sampai Aqsha
masuk masa penyapihan lalu dia akan mendaftar sebagai dosen universitas
milik Pemerintah Indonesia di Korea.
“Mas, lucu, ya, sistem sekolahnya Suri. Aku tadi dapat kiriman video,
isinya bimbingan konseling anak kita. Katanya, sih, setiap orang tua wajib
nonton.” Haia mengambil telepon genggam dari meja rias.
“Kamu sudah lihat?”
“Belum. Aku sengaja tunggu Mas pulang kerja. Mau lihat sama-sama.
Aku benaran penasaran apa yang diceritain Suri. Ada beberapa ibu yang share
pengalamannya di grup chat, katanya nangis pas nonton, Mas.” Haia terkekeh.
“Nangis?”
“Nggak tahu, deh, apa yang bikin nangis. Setiap anak, hasil konselingnya
juga beda-beda.”
Haia koneksikan ponsel pada layar televisi di dinding kamar. Video
berdurasi sepuluh menit mulai berputar dengan volume suara rendah karena
ada bayi terlelap dalam boks di kamar mereka. Tampak si sulung dengan
kerudung biru muda duduk berhadap-hadapan dengan gurunya. Meja yang
jadi penghalang jarak keduanya berlapis taplak meja motif kotak-kotak,
dinding putih tulang dihias dengan karya-karya seni hasil tugas siswa, dan
ada beberapa mainan perangsang motorik anak di sudut-sudut ruangan.
“Apakah hari ini Suri puasa?”
“Iya, Miss!”

2
“Apakah tidak haus dan lapar melihat teman-teman saat waktu istirahat?”
tanya Miss Dayeon seraya menggoda.
“Tidak. Aku sudah berjanji untuk puasa penuh tahun ini!”
“Kamu hebat!” puji Miss Dayeon.
Miss Dayeon mencari posisi nyaman siswinya untuk bercerita dengan tenang.
Dia ajak siswi berjilbab ini menggambar sebentar sambil sesekali bertanya sedikit
tentang pakaian bernama gamis, penutup kepala yang dikenakan Suriah, dan Al-
Qur’an. Tiga hal itu sengaja disinggung karena Miss Dayeon tahu betul Suriah
sangat bangga pada keyakinannya. Bahkan, Suriah tidak segan melantunkan
sedikit hasil hafalan Al-Qur’an di hadapannya.
Haia dan Bhumi tersenyum bangga mengucap syukur pada Allah. Putri
mereka ternyata mampu menjaga ketaatan di usia yang masih sangat muda.
“Boleh Miss bertanya lagi?”
“Tentu saja.”
“Apa yang membuat Suri bahagia?
Suriah begitu cepat menjawab, “Saat bermain dengan adik Aqsha di hari
libur bersama aba dan biya. Saat aba berkata aku anak salihah! Saat biya
memujiku karena berhasil menenangkan adik Aqsha yang menangis seharian!”
Dari lontaran kata-kata itu, si guru melihat perkembangan siswinya yang pesat
di kelas dua. Kosa kata Suriah dalam bahasa Inggris dan Korea semakin banyak
dan dia lebih percaya diri dibanding saat pertama kali masuk sekolah dasar.
“Apa yang membuat Suri kesal atau marah?”
“Saat ada yang jahil mengambil panghapus atau pensilku di kelas.”
“Kalau yang membuat Suri sedih?
Suriah bergeming dan menggeleng pelan. Awalnya bocah dengan gamis
itu masih menggambar, tetapi lama-kelamaan gelagatnya terlihat tak nyaman.
Kedua manik matanya menatap nanar.
Satu pertanyaan memberi celah Haia dan Bhumi semakin mengenal putri
mereka. Video yang awalnya terlihat lucu menjadi perenungan bagi dua orang
dewasa.
“Apa yang membuat Suri sedih?” Miss Dayeon mencoba bertanya lagi, tapi
Suriah tetap enggan menjawab. Guru muda itu sudah memiliki cara khusus bagi
anak-anak yang tak begitu mudah bercerita pada orang lain tentang isi hatinya.
Boneka beruang cokelat besar dikeluarkan dari bawah ke atas meja.
“Ah, Seonsaengnim, baega apeuda1. Suri, Miss Dayeon pergi ke toilet
sebentar. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Titip Gomy, beruang kesayangan Miss.”

1 Perut Bu Guru sakit.

3
Miss Dayeon pun pamit keluar ruangan.
Suriah mengamati boneka lucu berpita di leher. Dia usap bulu lembut dan
senyuman pun terulas di wajah putihnya. Di sinilah cara bimbingan konseling
bekerja. Beruang yang seharusnya hanya diam, tahu-tahu bersuara.

Gomy:
Annyeong, Suriah.
Suriah mengagumi kecanggihan boneka beruang dengan mata berbinar-
binar.
Suriah:
A-annyeong, Gomy. Kamu bisa berbicara?
Gomy:
Hanya anak kecil baik hati yang bisa mendengarku bicara. Apakah kamu
mau berjanji tidak memberi tahu orang lain?

Rasa gemas pada boneka tentu meluluhkan hati Suriah. Dia mengangguk
penuh semangat.

Suriah:
Iya, aku berjanji.
Gomy:
Tadi, aku dengar ada yang membuat kamu sedih? Bolehkah aku
mendengarkanmu bercerita?
Suriah:
Apakah kamu juga mau berjanji tidak bilang siapa-siapa? Bolehkah aku
ceritakan semuanya?
Gomy:
Tentu saja boleh, dan aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun.
Suriah:
Pinky promise, first.

Suriah mengacungkan kelingking kemudian dia tempelkan pada ujung


lengan Gomy.

4
Gomy:
Promise.
Suriah:
Ada banyak yang membuatku sedih sejak usiaku di angka lima. Aku melihat
sesuatu yang menyeramkan. Bunda Aisa mengeluarkan darah dari mulutnya.
Waktu itu, aku takut sekali. Aku ingin menolong bunda, tetapi tidak bisa. Setelah
itu, aba dan bunda sering bertengkar. Aku sering melihat bunda menangis di
ruang baca, aba hanya diam di depan televisi. Aku tidak tahu harus apa. Jadi
aku bersembunyi di dalam lemari. Tiba-tiba aba pergi ke Jakarta lamaaa sekali.
Bunda bilang, aba harus berkunjung ke rumah Eyang Fatih.
Gomy:
Apakah sekarang abamu sudah pulang?
Suriah:
Tentu saja sudah. Dulu aba pulang bersama Tante Haia. Ruang bacaku dan
bunda berubah menjadi kamar untuk Tante Haia. Aku tidak suka Tante Haia.
Apalagi saat aba memeluk Tante Haia. Aku merasa aba tidak lagi sayang padaku
dan bunda.
Gomy:
Lalu?
Suriah:
Aku sedih saat bunda meninggal dunia. Tapi, Tante Haia yang kukira jahat
ternyata sangat baik. Tante menemaniku setiap hari. Aku dipeluk, disuapi, dan
digendong. Bahkan, Tante tidak pernah meninggalkanku.
Gomy:
Apakah ada hal menyenangkan bersama Tante Haia dan aba?
Suriah:
Banyak! Aku sayang sekali pada aba dan Tante Haia. Sekarang aku
memanggilnya ‘Biya’.
Gomy:
Apa itu biya?
Suriah:
Singkatan dari Bunda Shafeeya. Cantik, kan? Harus cantik karena biyaku
sangat cantik! Biya dan bunda adalah dua wanita yang paling cantik di dunia
dan surga.
Gomy:
Apakah kamu sangat menyayangi aba dan biya?

5
Suriah:
Sangat!
Gomy:
Apakah ada yang ingin kamu sampaikan pada aba dan biya?
Suriah:
Apakah nanti mereka akan tahu? Aku malu dan takut.
Gomy: Tidak usah takut. Aku akan meramunya menjadi pesan cinta. Kamu
akan lebih disayang setelahnya.
Suriah: Benarkah?
Gomy: Ya.
Suriah mengumpulkan keberanian lalu berbicara lagi sembari tangannya
memegang kaki boneka beruang.
Suriah: Aba, bisakah tidak bicara terlalu keras saat lelah? Aku takut dan
sedih saat Aba berteriak apalagi membentak biya. Aba sibuk, ya? Aku rindu
menggambar dengan Aba. Tapi... Aba pasti capek setiap hari harus kerja. Dari
pagi sampai malam, bahkan aba sering tidak tidur sampai bertemu pagi lagi,
demi aku, biya, dan Aqsha. Aku pernah melihat Aba menangis dalam salat
waktu biya sakit dan hamil besar. Maaf, ya, Aba. Seharusnya, Suri peluk Aba.
Bukannya masuk kamar.
Biya, jangan sembunyikan sedih sendirian. Aku tahu, Biya sering menangis
sambil menyusui atau menimang adik tengah malam. Apakah Biya sakit? Kenapa
malah menyuruhku tidur duluan? Kakak Suri bisa temani Biya. Biya kadang
juga sama seperti Aba. Suka menaikkan suara dan aku tidak suka. Apalagi saat
dulu Biya lempar guci ke tembok lalu pergi ke Jakarta. Aku takut. Dua tangan
kecilku tidak bisa menutupi suara keributan itu dari telinga. Padahal, Biya yang
aku tahu penyayang.
Biya, bolehkah sesekali tidur lagi bersama Suriah? Kakak rindu Biya juga.
Kakak ingin dipeluk sambil tidur seperti Aqsha. Biya, maaf, kemarin Kakak
nggak sengaja menjatuhkan gelas kesayangan Biya. Aku sayang Aba dan Biya
karena Allah.
Gomy: Mereka pasti senang sekali mendapat pesan cinta ini. Kamu anak
yang baik, Suriah. Kamu juga harus selalu sehat. Tumbuhlah menjadi anak yang
selalu membawa kehangatan seperti musim semi di Korea.
Suriah: Terima kasih, Gomy. Kamu sangat baik. Aku senang menjadi teman
barumu.
Gomy: Sama-sama.
Suriah berdiri lalu memeluk boneka beruang di meja sangat erat. Sampai-

6
sampai, matanya terpejam, menikmati persahabatan antara mereka. Namun,
tak lama, Suriah teringat pesan sang aba, “Jangan terlalu dekat dengan teman
laki-laki di sekolah, Cut Suriah.” Kedua matanya membulat. Beruang ini laki-
laki atau perempuan? Batinnya.
Suriah: Gomy, kamu perempuan. kan?
Gomy: Aku laki-laki.
Boneka dalam peluknya segera dilepas sampai terjatuh dari meja. “Aish!
Kenapa tidak bilang? Kita bukan mahram! Aku menyesal sudah memelukmu.
Hanya aba dan Aqsha, laki-laki yang boleh peluk perempuan secantik biya dan
Suri!”

Video selesai begitu saja. Ditutup dengan Suriah marah-marah dengan


imutnya pada boneka yang ternyata laki-laki. Miss Dayeon, si pengisi suara
sesungguhnya memasuki ruangan kemudian berpura-pura bertanya apa yang
terjadi.
Kedua orang dewasa yang tangannya saling tergenggam saling pandang.
Bulir-bulir air mata sudah berjatuhan dari kelopak mata ibu beranak dua.
Sedangkan, si ayah hanya mampu menariknya dalam pelukan sambil
mengusap-usap lembut punggung istrinya. Mata dibalik kacamata juga
merah. Dia sudah terpukul akan kesalahan yang tak sengaja diperbuat.
Yang satu teringat kemarin membentak anak karena sudah memecahkan
gelas. Satunya lagi teringat menolak permintaan Suriah untuk menggambar
bersama karena tanggungan kerjaan dari kampus belum tuntas.
Tidak berlama-lama mereka diam di atas ranjang, spontan saja, keduanya
mengambil air wudu lalu mendirikan salat dua raka’at. Salam telah terucap,
Haia menepuk pelan bahu suaminya. “Mas, tolong pimpin doa.”
Dua pasang tangan menengadah. Diawali dengan panggilan-panggilan
indah pada Tuhan, salam pada Baginda Nabi Saw, dan menyebutkan berbagai
nikmat dari Allah yang sudah diberikan.
“Ya Allah, ampuni kami yang masih lalai dalam melakukan tugas utama
sebagai ibu dan ayah. Lisan kami masih sering membentak anak-anak,
kepayahan kami dalam mengatur waktu mengambil jatah kebahagiaan
mereka yang seharusnya dipenuhi oleh kami berdua, dan kebodohan kami
yang belum mampu menjadikan rumah sebagai sekolah terbaik bagi mereka.”
“Ya Allah Yang Maha Agung. Sungguh, menjadi ayah bukan pekerjaan
mudah. Berkali-kali aku ingin menyerah dan merasa gagal menjamin bahagia
seluruh anggota keluargaku, Ya Rabb. Maafkan aku yang alih-alih mengayomi
dan melindungi, malah jadi sumber ketakutan bagi putriku sendiri.”

7
Haia memberi ruang pada hatinya untuk mengucap kata. Dia beranikan
mengakui seluruh kesalahan dan dosa. “Allah, aku pun demikian. Menjadi ibu
bukan amanah yang mudah dipikul pundak. Mencurahkan cinta dan kasih
pada seluruh orang rumah setiap waktu kerap aku abaikan. Terutama pada
putriku Suriah yang beranjak besar. Aku sering memarahinya ketika lelah, aku
sering menolak pintanya, aku sering mengabaikan saat waktu-waktu sibuk
menyapa, dan kerap memberinya tugas yang tak seharusnya dia lakukan.
Namun, tak pernah dia benci padaku, Ya Allah. Tangan mungilnya selalu
memelukku begitu hangat. Bibirnya selalu mengucap kalimat manis hingga
penat dalam hidupku sirna. Mudahkan aku pula untuk menjaga amanah
Mbak Aisa, Ya Allah.”
“Bayiku Al-Aqsha, aku sering merasa gagal dalam memenuhi kebutuhan
kasih sayang, bahkan asupan gizi terbaiknya. Tak seharusnya aku mengeluh
pada sakit yang kurasakan ketika mengasihinya. Dia terlahir atas dasar
inginku, bukan inginnya. Seharusnya, aku mampu kembali mengingat bahwa
prosesnya terlahir ke dunia jauh dari kata mudah. Namun tetap, di tengah
seluruh kekurangan itu, kedua matanya selalu mengerjap, begitu lucu usai
perutnya penuh minum susu. Tangan yang begitu kecil menepuk-nepuk
pipiku dengan sayang.”
Sesak sudah sangat menyakitkan dada. Isakan yang muncul menghalangi
kelancaran pernapasan, tapi Haia coba untuk tetap mencurahkan kekalutan
hatinya. “Ya Allah, mampukan aku menyeimbangkan peran. Tolong ingatkan
aku, bahwa bagaimanapun, tugas utama seorang ibu adalah mendidik anak-
anaknya. Mendidik bukan tentang meminta mereka belajar begitu keras,
tetapi ini soal menghadirkan cinta dan kasih yang utuh, sehingga anak-anak
kami tidak hanya cerdas secara akal, tetapi juga pintar mengelola hati serta
perasaan.”
Bhumi menarik napas dalam-dalam. Dia embuskan perlahan bersama
air yang mengalir di pipinya. Tangannya semakin tinggi mengangkat pinta.
“Ya rahman, ya rahiim. Mampukan aku pula untuk menyeimbangkan peran.
Mencari nafkah memang betul tugasku, Ya Rabb, tetapi anak-anak tak boleh
kehilangan sosok ayahnya yang tenggelam dalam pencarian pundi-pundi
kehidupan. Mudahkan aku yang berdosa dan jauh dari sempurna menjadi
teladan bagi anak-anak dan istriku, wahai Dzat yang menyempurnakan.
Mudahkan untuk bersikap tegas tanpa harus menyakiti hati mereka.”
“Allah, di negeri yang tak mampu selalu kami dengar azan berkumandang,
teguhkan keimanan keluarga kami. Jika seluruh distrik ini gelap, biarkan
rumah kami jadi lentera karena pendar cahaya keimanan dari seluruh
penghuninya.”
Pria dengan peci rajut abu-abu ingin menutup doa, tetapi dicegah oleh

8
istrinya. Sang istri yang tadi duduk di belakang suaminya sekarang berpindah,
tepat di sisi kanan. Kedua tangan suami digenggamnya begitu hangat. Dia
paham betul tentang kemudahan beribadah dalam pernikahan. Dari kuatnya
tautan itu, Allah gugurkan dosa-dosa mereka.
“Ya Allah, maafkan aku pula yang belum sempurna menjadi pendamping
baginya. Maaf atas segala ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas
begitu mulia sebagai istrinya. Di tengah keriuhan dunia, tolong ingatkan aku,
Ya Allah. Bahwa, belum tentu esok hari kami masih berjumpa. Untuk itu,
sudah seharusnya hari-hari dilewati dengan sebaik-baiknya agar tak ada yang
sia-sia.”
Sajadah, doa, dan salat tak pernah gagal mengembangkan layar cinta
antara dua insan yang bersatu dalam takwa. Saat mendengar ungkapan istri
pada Tuhannya, tangan suami tergerak merengkuh sambil bibirnya berucap,
“Ya Allah, aku juga belum sempurna menjadi suaminya. Berkali-kali, dia
kubuat kecewa, air mata turun di pipinya, dan hatinya menahan perih.
Namun, pintu maaf selalu terbuka begitu tulus dari hatinya. Tolong ingatkan
aku saat mulai lupa, Ya Allah. Bahwa esok hari belum tentu kami masih
berjumpa. Setiap waktu yang terlewat tak boleh terbuang sia-sia oleh duka
dan air mata. Ya Rabb, jika kesempatan hidup yang Kau takdirkan bagiku
tak lagi ada, tolong jaga dia dan anak-anakku. Karena sebaik-baik penjagaan
datangnya dari-Mu.”
Ibadah terpanjang memang harus dilalui dengan tangan yang saling
genggam. Guna tarik-menarik saat melupakan tujuan akhir dan tujuan awal.
Hakikatnya suami dan istri adalah partner untuk saling mengingatkan dalam
kebaikan. Akhirnya benar-benar mereka akhiri doa, tetapi tak beranjak dari
tempat bersujud pada-Nya.
Haia mengambil tangan kanan Bhumi lalu menciumnya sangat takzim.
Bhumi berganti mencium tangan istrinya dengan lembut kemudian memberi
perlakuan manis di kening.
“Mas, selama ini, aku merasa sudah banyak belajar menjadi ibu dan istri
yang baik. Tapi mengapa begitu sulit?”
Bhumi lihat sorot mata polos sedikit merah sedang memandangnya
dalam. “Shaf, tidak ada manusia sempurna. Begitu pula suami, istri, dan orang
tua. Semua tak luput dari salah. Namun, satu hal yang perlu diingat. Orang
tua yang baik akan selalu menyadari kesalahan dan tidak malu meminta
maaf pada anak-anaknya. Anak-anak yang saleh juga tidak akan pelit dalam
memberi maaf pada orang tuanya.”
“Apakah Mas Bhumi sudah mampu merelakan seluruh kesalahan abu
pada umi?”

9
Senyum penuh wibawa terukir. Kedua kelopak mata yang masih basah
tak membalas tatapan istri, menerawang jauh sebagai cermin kecamuk dalam
hati. “Sekarang, aku selalu berusaha memaafkan abu. Aku melakukan karena
Allah telah memerintahkan setiap anak berbakti pada orang tuanya, Shaf.”
Ungkapan Bhumi mengingatkan Haia pada satu niat yang akhir-akhir ini
sedang ingin diwujudkan. Awalnya tak ingin bilang, tapi tidak baik juga kalau
disembunyikan. Ada adab dan hubungan dengan suami yang ingin dijaga.
“Mas, aku belum pernah mempersembahkan apa pun untuk umi dan abi.
Jadi sebenarnya....” Ragu-ragu, Haia ingin melanjutkan pembahasan. Takut
suaminya salah tangkap.
“Sebenarnya?” Bhumi menanti kelanjutan ucapan sang istri.
“Aku berniat menjual rumah hadiah dari Zidan. Hasil penjualannya ingin
aku wakafkan atas nama umi dan abi. Maaf, baru bilang sama Mas.”
Bhumi mengusap kepala Haia. “Masyaallah tabarokallahu. Shaf, rumah
itu harta pribadimu. Seluruh kewenangannya ada padamu. Tak perlu izin
padaku. Justru aku kagum karena kamu menghadiahkan satu-satunya
hartamu untuk umi dan abi. Tapi Shaf, apa kamu yakin?”
“Kenapa tidak yakin?”
“Apa kamu nggak mau jadikan rumah itu investasi buat dirimu sendiri?”
“Aku masih punya tabungan. Lagipula ada suamiku di sini. Buat apa aku
pusing? Aku percaya kita akan selalu berkecukupan, Mas, insyaallah. Lagipula,
rumah di Jakarta itu bukan rumahku.”
Bhumi tampak berpikir dengan kening berkerut. “Rumah itu sudah balik
nama atas namamu, kan?”
Jari-jari lentik menyentuh dada Bhumi sambil wajah yang terbingkai
mukena merah jambu tersenyum tipis. “Rumahku ada di sini, di Bhumi Syam
yang menjadi pelabuhanku. Nae sarangeui unmyeong, takdir cintaku,” tutur
Haia syahdu.
Raut yang tercipta tegas menatap istrinya sendu. Hatinya telah luruh
lantaran tersentuh. Hanya doa-doa baik dalam hati sebagai pengganti rasa
syukur sudah disandingkan dengan perempuan semulia ini. “Terima kasih,
Hagia Sophia, telah memilihku jadi pelabuhan cintamu. Pelabuhan yang tak
hanya tempat bersinggah, melainkan tempat kapalmu bersandar selamanya
hingga akhir waktu.”
Haia memeluk pinggang Bhumi dari samping. “Aku sayang sama Mas.”
“Mas lebih sayang sama kamu,” jawab Bhumi mengusap kepala Haia.
“Aku cinta sama Mas.”
“Mas lebih cinta sama kamu.”
10
“Fillah2?”
“Insyaallah, fillah, Shafeeya istriku.” Dan ternyata, Bhumi juga memiliki
ganjalan di hati. Sudah dari seminggu yang lalu dia ingin bicarakan dengan
Haia. Namun, terlewat begitu saja karena aktivitas sebagai dosen tiada henti.
“Shaf, aku berniat untuk mendonasikan barang-barang peninggalan Aisa.
Bagaimana kalau kamarnya juga kita manfaatkan jadi ruangan lain, Shaf?”
Bhumi bertanya dengan sangat hati-hati.
Haia sedikit berpikir. “Aku nggak setuju, Mas, kalau yang ini.”
“Kenapa?”
“Ada hak Suri atas harta peninggalan Mbak Aisa. Bagaimana kalau kita
biarkan dulu saja? Kita tunggu Suri sedikit besar lalu kita tanya pendapatnya.
Mulai sekarang, kita belajar untuk selalu melibatkan anak-anak atas semua
keputusan yang kita ambil. Anak-anak kita adalah titipan Allah yang juga
memiliki peran dalam keluarga, Mas.”
Bhumi menghela napas. “Kamu ada benarnya juga.”
Haia menguap. “Mas, ngantuk.”
“Ayo, tidur dulu.” Tangan Bhumi yang ingin merapikan sajadah tertahan.
“Mau digendong sama Mas ke kasur,” rayu Haia.
Awalnya hati ingin menolak karena bobot istri tak serendah dulu, tapi iris
mata hazel yang memohon melelehkan hati Bhumi Syam. Hanya gelengan
kepala diikuti kalimat, “Ya ampun, bayiku satu ini.” Selanjutnya Bhumi
dengan ikhlas menggendong Haia dan menyelimuti penuh kasih.

***

Suara takbir bergema. Bukan dari toa masjid atau musala. Lantunan merdu
berasal dari benda elektronik persegi panjang di ruang keluarga yang
menayangkan acara siaran langsung stasiun televisi Mekah.
“Taqobbalallahu minna wa minkum3! Minal aidin wal fa izin4, Aba! Biya!
Mohon maaf lahir dan batin,” pekik Suriah.
Hari raya lebaran juga sampai Korea. Salat idul fitri didirikan di beberapa
titik, yaitu di Masjid Pusat Seoul di Itaewon, musala milik Indonesia, sampai
halaman KBRI Seoul dimanfaatkan untuk menggelar salat hari raya idul fitri.
Selesai salat di Masjid Pusat Seoul ditunaikan, Bhumi dan Haia pulang.

2 Karena Allah?
3 Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian.
4 Selamat berhari raya dan meraih kemenangan.

11
Akan tetapi, sebelum acara makan-makan seperti biasa dimulai, Bhumi
menjalankan tradisi sungkeman bersama anak-anak dan istri. Dengan
mengharap ibadah selama tiga puluh hari diterima oleh Allah, hari ini juga
dimanfaatkan sebagai momen saling melapangkan hati antar manusia.
Hitung-hitung mempererat tali silaturahim.
“Masyallah! Taqobbalallahu minna wa minkum. Aba juga minta maaf, ya,
Nak. Maaf, Aba sering menyakiti hati Kakak,” balas Bhumi saat menyambut
pelukan, ciuman di pipi, dan anak perempuannya bersimpuh dengan lutut
lalu mencium tangannya.
Setelah dari Bhumi, Suriah bergeser ke Haia. “Maaf lahir dan batin, Biya.
Maaf, Kakak Suri suka nakal.”
Haia mengecup kening, pipi, dan hidung putrinya. “Kakak nggak pernah
nakal. Kakak anak salihah. Maaf lahir dan batin juga, ya, Nak. Maafkan
semua kesalahan Biya.”
Sekarang giliran si istri pada suami. “Mas, aku minta maaf, ya, atas semua
khilaf.”
“Sama-sama, Shafeeya. Aku juga banyak salahnya.” Bhumi dan Haia
saling bergantian mencium tangan seperti biasa sebagai bentuk kasih dan
sayang.
“Bayi Aba nggak minta maaf?” goda Bhumi pada Aqsha di gendongan
Haia.
“Aku juga minta maaf, Aba.” Tangan kecil dengan jari-jari gendut
digerakkan ibunya untuk meraih tangan ayahnya. Suami dan istri itu tertawa
melihat wajah bingung dari anak mereka.
“Aqsha mau Kakak gendong? Biya, aku boleh gendong adik?”
Bayi yang genap menginjak 10 bulan dengan bulu mata lentik menguap.
Tadi pagi terlalu melelahkan. Dia jadi pusat perhatian orang-orang saat salat
idul fitri. Dahi lebar sedikit tertutup peci memikat banyak hati. Apalagi tubuh
gembulnya dibalut gamis laki-laki warna hitam sama persis seperti yang
dikenakan Bhumi.
“Gimana kalau Biya taruh Aqsha di bouncer5 aja?” tawar Bhumi. Si ayah
masih sering khawatir kalau anak sulungnya menggendong bayi. Baginya
Suriah tetap saja anak kecil, bahkan kadang dia mengganggap semua anaknya
sama-sama bayi.
“Kamu lucu banget sih, Aqsha. Si gembul kesayangan Kakak Suri.” Suriah
telah sibuk bermain dengan adik bayi. Dia bernyanyi, membunyikan mainan-
mainan kecil seperti bebek kuning dari karet dan bola dengan isi lonceng.

5 Tempat duduk bayi.

12
“Cilukba, cilukba, cilukba.” Suriah menggoda dengan menyembunyikan
wajah di balik kain kerudung yang menjulur di dada lalu membuka untuk
menggoda adiknya. Aqsha tertawa lebar walau matanya terkantuk-kantuk.
Ayah dan ibu mereka menyiapkan meja untuk makan siang. Khusus hari ini,
mereka ingin menyantap menu lebaran di ruang tengah, tidak di meja makan.
“Biya, Aqsha tahu-tahu bobok,” adu Suriah dengan tangan otomatis
mengusap-usap lembut kening adiknya.
“Mungkin dia kecapekan, Nak. Tadi, kan, harus bangun pagi-pagi ikut
kita salat.” Haia mengambilkan lontong dan opornya untuk Bhumi.
“Ayo, makan dulu, Suriah,” ajak Bhumi pada Suriah.
Mereka rayakan hari besar Idul Fitri dengan lontong, opor ayam, sambal
goreng ati, dan rendang. Tentu saja bukan Haia yang memasak. Dia sudah
kerepotan dengan bayi yang rewel karena tumbuh gigi. Mereka pesan pada
salah satu orang Indonesia pemilik jasa katering menu makan lebaran di
Seoul.
Si ibu memuji gadis kecil di hadapannya usai makan, “Wah, ada yang
puasanya penuh 30 hari, lho, Aba.”
“Oh, iya, Biya benar. Kasih hadiah apa, ya, Biya?”
Suriah bangun dari duduk dan menyempil di antara kedua orang tuanya.
“Nggak mau hadiah apa-apa. Maunya Allah kabulin doa aja supaya Aba, Biya,
dan Aqsha selalu ada di hidup Suriah.”
“Masyaallah, Nak,” ucap Bhumi.
“Insyaallah kita selalu bersama, ya. Hingga teraihnya cita-cita masuk
surga,” jawab Haia menimpali suaminya.
Bayi laki-laki di bouncer bangun dan menangis keras. Mungkin tidak
terima karena momen indah yang tidak melibatkan dirinya. Bhumi berdiri,
lalu menggendong putra kecilnya. “Cemburu, ya? Cemburu nggak diajak
ngobrol?”
Mulut mungilnya sedikit terbuka. Ternyata anak bungsunya lapar juga.
Haia terkekeh dan mengambil bayinya. “Cemburuan, nih, kayak Aba.”
Satu cubitan mendarat di pipi Haia. “Aw, Mas!”
“Kamu itu lebih cemburuan dibanding aku!” elak Bhumi.
Suriah menarik baju ayahnya. “Aku mau digendong juga kayak Aqsha.”
“Aduh, aduh, ternyata Gongju-nim Aba yang cemburu?” Bhumi menarik
napas dalam dan mengangkat Suriah.
Haia tertawa kecil dan mengelus punggung putrinya. “Anak salihahnya
Biya.”

13
Bhumi melengkapi ucapan Haia, “Yaa bunayya6, laa tusyrik billah7. Jadilah
anak-anak yang salih, salihah. Muslih8 dan muslihah.”
Walau di negeri minoritas, lebaran tetap istimewa bagi mereka. Agendanya
juga masih sama. Setelah makan, mereka pasti akan pergi ke makam Aisa. Sore
hari akan dihabiskan untuk video call bersama Pakde Fatih, Ustazah Maryam,
keluarga Aisa, dan beberapa rekan atau sahabat lainnya.
Nikmat Tuhan mana lagi yang dapat didustakan? Takdir cinta karena
perjanjian tak terduga dan ketulusan cinta dari dua orang manusia bernama
Gibraltar dan Alexandria menggiring Hagia Sophia, Bhumi Syam, Suriah,
dan Al-Aqsha menuju kebahagiaan tak terhingga.

SELESAI

6 Anakku sayang.
7 Janganlah persekutukan Allah.
8 Orang yang baik secara pribadi dan sosial.
14

Anda mungkin juga menyukai