Aku memperhatikan parasnya yang dibelai sinar matahari. Ia tak tampak terganggu
akan hawa panas yang menjilati kulit wajahnya seperti kebanyakan siswi lainnya yang terus
menyembunyikan wajah mereka dari sang penguasa siang sambil memprotes marah akibat
suhu lingkungan yang mereka nilai cukup panas. Sebaliknya, ia terlihat sangat menikmatinya.
Melihatnya seperti itu, beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa selama ini ia terkurung
di dalam rumah berbahan dasar balok es milik Suku Eskimo yang mendiami wilayah Kutub
Utara.
Aku melihatnya untuk pertama kali pada bulan Febuari. Kala itu aku tengah
melarikan diri ke perpustakaan untuk menghindari seorang siswi yang terus mendekatiku
walau telah berulangkali kutegaskan ketidakmampuanku untuk mencintainya. Saat hendak
membaca, mataku menangkap sosoknya yang tengah menghirup wangi mawar merah di
taman yang terletak di depan perpustakaan. Rambut hitam panjangnya yang tergerai bebas
tampak bergoyang mengikuti arah angin. Wajahnya merona merah akibat cuaca yang
lumayan dingin. Keberadaannya berhasil menyedot habis fokusku sehingga tak lagi
kupedulikan buku filsafat yang awalnya hendak kubaca. Saat sebuah senyum terpahat di
wajahnya, pikiranku langsung dipenuhi kesadaran bahwa jatuh cinta pada pandangan
pertama tak hanya terjadi dalam dongeng-dongeng Disney.
Sejak saat itu aku terus memperhatikannya. Kusadari bahwa aku juga lebih sering
melamun dengan sosoknya sebagai objek lamunanku. Tak kupedulikan nurani yang terus
memprotes marah. Mengusirnya dari tempat yang telah ia diami di dalam hatiku terlalu sukar
untuk dilakukan. Jadi aku lebih memilih untuk membiarkannya.
Aku sadar bahwa aku harus mempersembahkan cintaku sepenuhnya pada Tuhan
sebagai konsekuensi dari pilihanku menjadi seorang frater. Aku sendiri tak menyangka
bahwa dalam jalan menuju penyempurnaan imanku ini, aku akan memuja sosok lain selain
diri-Nya. Hal itu menenggelamkanku dalam pusaran dilema yang kemudian berujung pada
insomnia selama berbulan-bulan. Banyak cara kutempuh untuk memperjelas inginku yang
sesungguhnya,namun pencerahan seolah tak sudi mengetuk hati dan pikiranku sehingga aku
terus dibayangi ketidakpastian.
Terkadang aku mengutuk para ilmuwan yang tak kunjung berhasil menciptakan mesin
waktu. Sudah tentu aku tak perlu bimbang jikalau aku memiliki mesin waktu. Aku hanya
perlu kembali ke bulan Februari saat pertama kali aku melihatnya dan mencegah diriku
sendiri untuk pergi ke perpustakaan sehingga aku tak dapat melihatnya. Mudah,bukan??
.................................
Pagi ini aku berdiri mematung di koridor sekolah sembari mengamati aktivitas para
siswa. Sebagian besar dari mereka tampak membentuk kerumunan dan saling berbagi cerita.
Sebagiannya lagi tampak duduk menyendiri sambil menikmati belaian angin. Ada pula yang
terlihat tenggelam dalam novel yang mereka baca.
“Selamat pagi, Frater..” sapanya lembut. Aku yang masih belum pulih dari
keterkejutan tak sanggup bersuara. Aku hanya dapat tersenyum untuk membalas sapaannya.
“Saya dengar seminggu lagi masa top frater di sekolah ini akan habis. Saya harap jika
suatu saat nanti kita bertemu kembali, frater telah menjadi seorang imam. Saya berjanji akan
selalu berdoa agar frater senantiasa kuat dalam menjalani panggilan..” ujarnya bersemangat.
Tanpa menunggu reaksikku, ia kemudian melangkah pergi.
“Doaku untuk Tuhan akan menjadi wujud cintaku padamu..” bisikku pada angin yang
berhembus sambil menatap punggungnya untuk yang terakhir kali.
P/S:
yunuariigembo.wordpress.com