Anda di halaman 1dari 318

Ora UGM saiki, ya sesuk.

Ora isa sesuk, ya suk emben.


Ora isa suk emben, ya jarke wae.
Mengko lak tuwek karepe dhewe …

-1-
KUNCEN
&
W 4 G
Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada

Nursodik Gunarjo

HOROR - HOROR KOMEDI

-2-
KUNCEN & W 4 G
Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada

Karya: Nursodik Gunarjo

Cetakan Pertama
April 2019

12 x 19 cm
318 hal

Diterbitkan untuk kalangan internal KAGAMA


Tidak diperjualbelikan

-3-
PENGANTAR PENERBIT

-4-
DARI PENULIS

Yth. Kawan-kawan semua,

Terima kasih atas atensinya. Saya sudah sangat senang


bisa berbagi. Itu capaian besar bagi saya. Tidak pernah
berharap lebih dari itu. Saya menulis karena cinta. And love is
not for sale.

I love you all.

Nursodik Gunarjo

-5-
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT, -4-


DARI PENULIS, -5-
KUNCEN, -9-
1. RUMAH ANEH, -11-
2. WEDI, -14-
3. GUDEG BASI, -18-
4. POLTERGEIST, -23-
5. EXORCIST, -28-
6. DEN MASE GEN W, -33-
7. “BUTA” SEBELAH, -38-
8. GUSTI ALLAH YANG MENYEMBUHKAN, -43-
9. DISUNAT HUUU, -49-
10. BISIKAN LIRIH, -55-
11. JIN MAKMUM, -60-
12. PERPISAHAN, -66-
13. SEASON FINALE, -72-

-6-
W 4 G, -78-
1. WAITING FOR GAMA, -79-
2. NYAH REWEL, -83-
3. HIK MBAH MAIDO, -87-
4. SOSOK PUTIH, -91-
5. PMS, -96-
6. TRAGEDI PPO, -102-
7. CATATAN “SIPIL”, -108-
8. MENDADAK ROOM BOY, -114-
9. PERTEMPURAN TENGAH MALAM, -120-
10. (,), -128-
11. TAKUT DIPIPISI, -135-
12. ROAD RACE, -143-
13. GODA CAP JIE KIA, -149-
14. MALA(S) PETAKA, -157-
15. SERIGALA BERBULU MARMUT, -164-
16. OPERASI LANJUTAN, -171-
17. KANGEN YANG TERTUNDA (LAGI), -178-
18. TERCITA CAPE-CAPEMU, -186-
19. KERONCONG ANTI KERONCONGAN, -195-
20. KETIBAN AWU ANGET, -203-
21. PROFESIONDES, -211-
22. TANGISMU TAWAKU, -219-
23. SER ... DEG!, -226-
24. “BREXIT”, -234-
25. TUMPAH RUAH, -243-
26. SKRIPSWEET, -251-

-7-
27. SIBUK SKRIPSI!, -260-
28. NYARIS ..., -270-
29. GODAAN GAME YANG TERKUTUK, -279-
30. K-ULIAH K-ERJA N-GEKEK, -289-
31. AIR, OH AIR ..., -299-
32. PAHITNYA MADU, -309-

PENUTUP, -318-

-8-
KUNCEN

Waktu mau Sipenmaru tahun 1987, orangtua saya sedang


miskin-miskinnya. Jangankan ikut bimbel, sekadar beli
formulir saja gak gableg duit. Karena nekad, saya utang 25
ribu ke bulik saya untuk beli formulir. Tes Sipenmaru dapat di
PUML 45 (UGM) tepatnya di gedung Sekip (sekarang MAP).

Biar ngirit, selama persiapan Sipenmaru saya nunut tidur


di rumah milik kakak teman saya di Kuncen, Wirobrajan,
yang sehari-hari difungsikan sebagai tempat ngaji.

"Gak usah bayar, asal mau bantu ngajari ngaji anak-anak


kampung," ujar kakak teman saya.

Okelah ...

Hanya saja, rumahnya pas di tepi kuburan. Dindingnya


sudah pada growong. Hawanya singup dan agak bikin

-9-
bergidik. Kata si empunya, dulu rumah itu tempat tinggal
embahnya yang profesinya Kuncen (penjaga makam).

Suatu malam, antara tidur dan bangun, tiba-tiba tempat


tidur saya terasa berderak. Ada bunyi dengung yang aneh.

Penasaran, saya tengok bawah ranjang.

Astaga ... ternyata ada batu nisan!

Wuungg ... kontan kepala saya serasa membesar dan bulu


kuduk saya meremang. Belum hilang takut saya, tiba-tiba
teman saya nongol dari samping bilik sambil mecucu setengah
misuh,

"Jindul, ki jik malem Kamis, Ndesss!!!!"


(To be Kuncenued)

-10-
1
RUMAH ANEH

Dari awal saya sudah ada feel kalau rumah itu aneh.
Bukan hanya nisan di bawah tempat tidur yang bikin ganjil,
tapi juga karena letaknya yang menjorok masuk ke kuburan.
Iki sakjannya rumah apa cungkup, sih? Begitu pertanyaan
batin saya.

Jujur, jika disuruh milih, sebenarnya saya gak sanggup


tinggal di situ karena singup. Tapi mau di mana lagi? Ngekos
jelas gak punya duit. Ya wis, bismillah saja ...

Hari pertama tinggal di rumah Kuncen itu, teman-teman


sesama bokeker—kata lain dari have no money at all—dari

-11-
Wonosobo (saya, Aris, FX Sutarso, Unang) sudah punya
cerita masing-masing tentang keganjilan rumah itu.

"Semalam aku ditabrak sesuatu. Tapi gak jelas apa," ujar


Aris.

"Aku tidur seperti dibekap, nih leherku sampai merah,"


kata Tarso sambil menunjukkan bercak seperti bekas
dicupang, yang membuat kami terkikik, tapi ya itu, bulu leher
tetap saja njegrak.

"Bangku ngaji pada bergerak sendiri. Pagi-pagi saya harus


merapikan lagi, padahal jelas sorenya sudah ditata anak yang
piket," lapor Unang.

Saya pun tak ketinggalan langsung plodrah tentang tempat


tidur yang berderak dan suara dengung aneh itu. Untungnya,
kami berempat bukan tergolong bocah yang sangat penakut.
Jadi, ya ... sepakat dihadapi saja. Dengan prindang-prinding
tentu saja.

"Ra enek critane setan mangan uwong," kata Tarso.

Bener juga, ya ... Wong yen kepepet ki jebul isa kendel


tenan.

Hari kedua sehabis ngajari juz 'amma dan anak-anak ngaji


sudah pulang, saya kebelet pipis. Kamar mandi ada di luar
rumah, bersebelahan dengan sumur senggot, sumur yang

-12-
timbanya pakai bandulan batang bambu yang diberi pemberat
(Maaf, yang merasa millenial googling saja ya apa itu
senggot).

Sakjannya saya merasa horor juga bebersih pakai air


sumur itu. Lha piye, kan letaknya di kuburan. Kalau ada yang
meninggal, dikubur, njuk mulai rontok jazadnya, kalau hujan
kan sari patinya meresap ke air tanah. Yo, pora? Apa ya gak
mrembes ke sumur juga?

Tapi karena si empunya meyakinkan bahwa sudah


luamaaaa banget, sejak zaman jahiliyah, gak ada orang
dikubur di situ, ya akhirnya saya dkk pakai air sumur itu juga.
Hehe ...

Keluar pintu dapur yang mengarah ke kamar mandi, saya


mak jegagik, karena senggot timba ujug-ujug bergerak naik
sendiri. Saya hanya njuwowos.

Ketika saya periksa, saya pegang, ada airnya! Banyu tenan


iki, Ndess!

"Alhamdulillah, matur nuwun Mbah, sudah diambilkan


air," ujar saya takzim.

Tapi sumpah ... saat itu juga rasa kebelet pipis saya ilang.
Gak tahu itu isi kemih pada merembes ke mana ...
(To be Kuncenued)

-13-
2
WEDI

Malamnya saya kelop-kelop, gak bisa segera tidur.


Kebayang-bayang, kok iso-isone timba senggot munggah
dhewe. Logika fisikanya sih, masuk Pak Eko ..., karena
senggot beratnya memang pas nurunin. Naiknya enteng karena
pengaruh beban di ujung bambu. Bisa saja tadi sore ada anak
ngaji yang nurunin timba tapi "lupa" naikin. Gitu aja dah
mikirnya, biar ayem ...

Tapi mata ini tetep saja gak mau merem. Agak senewen
juga kalau nanti tiba-tiba ranjang saya berderak lagi seperti
semalam. Tapi saya tunggu-tunggu kok gak goyang juga, ya?
Mungkinkah yang hobi mengguncang lagi males malam ini?

Iseng-iseng saya melongok ke bawah ranjang. Ya,


memang betul ada batu nisan di situ. Nisan tenan, Ndes, bukan

-14-
nisan diesel. Tampak sudah sangat kuno, dan sebagian
tertutup tanah.

Nalar saya kembali berputar. Bisa saja itu nisan cadangan


yang disiapkan jika ada yang meninggal. Toh, Mbah yang
punya rumah ini dulunya juru kunci makam. Apa salahnya
nyiapin nisan cadangan buat yang suka mati mendadak?
Lagian kalau memang di bawah nisan itu ada orang mati
sungguhan, yo meh ngopo? Wong mati kuwi mikir siksa
kubur wae wis mumet, kok kurang gawean men ngoyag-oyag
dipane wong!

Gotcha ... ketemu sudah misterinya. So, sejatinya gak ada


yang gak logis di rumah ini.

"Yang bikin takut itu ya pikiranmu dhewe," begitulah


kata-kata bagus yang saya pinjam dari Franciscus Xaverius
Sutarso, karib saya sang jagoan neon dari Sumberan
Wonosobo.

Lesss ... gak sadar saya tertidur. Sangat lelap. Sampai


tengah malam tiba-tiba ada yang mendesak tubuh saya dari
samping dengan sangat keras, sesosok tubuh berselimut kamli
(selimut loreng zebra) lawas. Tentu saya kaget setengah mati,
¾ mati malah!

Saat saya buka selimutnya ...

-15-
Lhadalaah ... jebul Tarso! Nafas Si Gondrong itu tampak
tersengal dan wajahnya pias pasi koyo pucuk jenthik ditali
karet.

"Ngopo, Nda?!" tanya saya kepo.

"Aku disikep (dipeluk erat) meneh! Aku disikep neh!"


ujarnya gagap.

"Sopo sing nyikep, lanang po wedok?"

"Mbuh. Gedhe. Dhuwur. Tapi ra ketok raine. Trus ilang!"

"Ah, ngimpi kuwi!"

"Ngimpi piye, ki lho, deloken!" ujarnya sambil


memperlihatkan lehernya.

Wow ... ada bekas barut merah memanjang, seperti bekas


kecupan di sana.

"Herpes kuwi," celetuk saya sok tahu.

"Herpes Mbahmu salto! Kemarin juga kejadiannya seperti


ini. Disikep trus muncul tanda di leher," eyelnya.

Saya meringis. Mosok sih makhluk halus segitunya kalo


suka pada seseorang? Dua malam dua kali cup cup. Mayan
juga, Ndess, bagi jomblo ...

-16-
"Wis rasah wedi, So. Yang bikin takut pikiranmu sendiri,
kan?" ujar saya menasihati.

Tarso mungsret sambil bibirnya njegadhul sak kemenge,


kena skak mat kata-katanya sendiri.

“Duuhh ... wedi tenan aku, Nda. Bulu makhluk yang


meluk saya dhiwut-dhiwut. Hii ... Baunya apek. Sikepannya
kuat banget. Untung saya bisa lepas," tuturnya dengan mata
melirik kanan kiri.

Semprul. Dadi melu wedi juga aku iki.

"Kulitnya kasar-kasar gimana, gitu."

"Mbok wis, rasah dibahas neh," protes saya.

"Rambute ..."

"Stooop!! Crito liyane wae!!" bentak saya sewot.

Wis wedi, malah diterus-teruske. Jindul tenan owg!

Walhasil, malam itu Tarso tidur seranjang dengan saya.


Tepatnya gak tidur sih, lha wong sesak je, ranjange. Po maneh
Tarso terus-terusan berusaha meluk saya karena takut.

Jiah ... gilo tenan! Malam itu malah dadi horor yang super
horor buat saya, Ndesss!!!
(To be Kuncenued)

-17-
3
GUDEG BASI

Sejak kejadian Tarso dipeluk "Mak Dhiwut", selama tiga


hari berikutnya gak ada kejadian aneh. Mengherankan juga.
Mungkin lelembut ada cuti atau tanggal merah juga, ya? Tapi
hari kelima malam Kamis, eh sore ding, karena kejadiannya
masih sekitar jam 18.00, atraksi horor mulai lagi.

Saat itu Aris sedang kena piket nyiapin buka puasa (kami
biasa puasa Senin-Kamis). Berhubung gak mau repot, ia usul
beli gudeg Bu Sri saja di pasar Kuncen. Kami semua sepakat.
Selain enak, harga gudeg juga terbilang murah. Seporsi nasi
gudeg krecek dengan lauk tahu tempe dan telur separo cuma
Rp225. Tambah teh gula batu jadi Rp250.

Senyampang Aris beli gudeg, saya, Unang, dan Tarso,


nyiapin bangku dan bebersih tempat untuk ngaji.

-18-
Oh ya, gaes ... biar pun Tarso itu Katholik-nya kebangeten
(saking taatnya), tapi dialah yang paling sregep nyiapin tempat
untuk ngaji. Kalau ada Al Qur'an atau Juz 'Amma berantakan
atau berserakan di lantai, dia yang paling kenceng teriaknya.

"Hei ... kuwi isine wahyune Gusti Allah, Nda. Mbok


dirumati sing apik!"

Biasanya kami bertiga yang muslim njawab, "Nggih, Pak


Ustadz", dan dia akan mengacungkan dua jempol sambil
nyengir.

Pas bedhug magrib, Aris datang membawa bungkusan


mbriyut isi gudeg sak kancanya.

"Cantholke nggon cagak sik, Nda. Jamaah Maghrib sik,"


ujar Unang.

Kami pun mbatalin puasa dengan air putih, lalu sholat


bersama, minus "Ustadz" Tarso, tentu saja. Hehe ...

Rampung sholat maghrib, kami duduk melingkar layaknya


orang mau kenduri. Sido mangan tenan iki, Dab!

Saat membuka nasi, tiba-tiba Aris menggumam lirih,

"Astaghfirullah ... segane sayup, basi!"

"Hah ... kok bisa, kan masih anget?"

-19-
"Iya, tapi basi. Nih, malah sudah ngiler."

"Aduuhh ... coba buka gudegnya!"

Ya Allah ... ternyata gudeg, krecek, tahu, tempe, telur,


semua basi. Berbau dan ngiler. Bahkan tehnya pun baunya
anyir. Kami berempat beradu pandang keheranan. Kok iso?

Namanya saja darah muda nan bokek pula, gak terima


dong beli gudeg dikasih basi begini. Marahlah kami.

"Ayo, balekke nyang bakule!"

Kontan kami berempat menghambur ke pasar, nyari Bu


Sri penjual gudheg.

Sampai di tempat suasana masih ramai. Yang ngantri


banyak. Yang makan bejibun, termasuk Pak pak becak. Semua
tampak lahap. Tak tampak sedikit pun ada yang terganggu
kondisi masakan.

Saya mendekat dan mendeliki gudeg di baskom. Lalu saya


ambus-ambus ala Tom yang musuhnya Jerry itu. Faktanya:
baunya tetap harum segar menggugah selera. Saya pun
langsung jiper. Niat mengadili bakul gudeg pupus seketika.

"Neng kene fresh kabeh, piye ki?" ujar saya.

-20-
"Tapi nggone dhewe sayup, Ndes!" gerutu Aris dengan
wajah memelas.

Saya, Unang, dan Tarso cuma bisa angkat bahu, lalu


kompak balik kanan menuju kos. Bungkusan gudeg senilai
Rp1.000 kami lempar ke bak sampah.

Sepanjang jalan kami membisu, marah luar biasa. Marah


pada lelembut penghuni rumah yang telah membasikan gudeg
kami. Okelah, kami ditakut-takuti gak papa. Tapi mengambil
hak makan malam kami yang duitnya pas-pasan, itu sungguh
tak bermoral!!

Sampai di rumah, Aris langsung mengambil sapu lidi lalu


menuju tiang tempat tadi menyantolkan gudeg. Dengan sekuat
tenaga digebukinya tiang itu dengan sapu sambil nantang
gelut.

"Hei, lelembut penghuni rumah ini! Kita sesama makhluk


dan manusia diciptakan lebih sempurna! Kalau kalian
keterlaluan, aku habisi kalian! Mari kita bertempur!"

Awalnya saya pengin ikut nggebuki cagak juga. Tapi kok


... lucu ya. Opo salahe cagak kuwi?

Tapi ... lama-lama perangai Aris kok jadi tak terkendali,


melompat-lompat, teriak-teriak, gebuk sana gebuk sini, seperti
orang kesurupan. Matanya memutih dan gerakannya ngawur.

-21-
Tak pelak, perilakunya sempat jadi tontonan anak-anak yang
mau ngaji.

Terpaksa Aris saya gelandang ke kamar, saya ajak


istighfar dan saya tuntun baca ayat Kursiy. Setelah reda, saya
suruh wudlu dan istirahat.

Setelah ngajar suratan pendek, saya, Tarso, dan Unang


menyempatkan menengok Aris di kamar. Saya lihat tubuh
Aris lunglai tak bergairah. Matanya menerawang seperti
memikirkan sesuatu.

"Ris ... piye awakmu?"

"Rapapa kok ... aku ... aku ..."

"Piye, Ris? Keneng apa awakmu?"

"Aku ... aku ... "

"Duuhh ... kowe piye?"

"Aku ... aku ... lapar ..."

"Jinduull!! Memange kowe thok sing ngeleh? Kene kabeh


ya mlintir ususe, Ndesss!!"

Kami tertawa ngakak. Jadilah malam itu kami lanjut puasa


sampai pagi ...
(To be Kuncenued)

-22-
4
POLTERGEIST

Suara pating glodhak itu terdengar hampir tiap malam.


Asalnya dari ruangan yang dipakai untuk mengaji anak-anak.
Ada yang seperti ketukan jari di papan, dentam palu, dhug
dhug seperti orang menggali tanah, suara benda berat
bergeser, langkah kaki, sampai suara perabot rubuh. Gak keras
banget, tapi cukup mengganggu.

Sebenarnya sudah sejak malam pertama tinggal di situ,


saya sudah curious dengan keberisikan tengah malam itu.
Awalnya saya kira itu pokal tikus, curut and the gang.
Maklum, rumahnya agak kotor, terbuka, dan banyak dinding
bolong.

-23-
Tapi lama-lama saya sadar, tak mungkin tikus dkk
memindah bangku dan lemari, kan? Lha ini tiap pagi bangku
ngaji yang sorenya sudah rapi, bubrah lagi susunannya.
Bahkan lemari kayu nangka yang berat (gak ke-detect apa
isinya, karena posisi terkunci dan kuncinya ilang) juga sering
berubah posisi. Hanya Catwoman dan Mighty Mouse yang
bisa melakukan itu, Ndes!

Sejauh ini kami mengambil sikap moderat, membiarkan


saja itu terjadi. Wis karepmu kono, arep dha konser, ya
mangga. Do your own bussinness. Kalau ada yang berantakan
ya paginya ditata lagi. Dah gitu saja. Tapi lama-lama kesel
juga sih. Kesel campur kepo: Sakjannya siapa oknum pelaku
pemberantakan itu?

Suatu sore, Unang yang dulu pernah lapor tentang hal itu
saya ajak begadang. Karep saya biar pelakune ketangkap
basah. Tapi ia menolak dengan halus.

"Sik, Nda, aku tak konsentrasi Sipenmaru sik," ujarnya


polos.

Laah ... aku kan ya arep Sipenmaru juga. Opo hubungane?

Ia beralasan telah memberikan imbauan, tapi tidak


digubris.

"Wingi wis tak pasangi tulisan JANGAN BERISIK! tapi


jik rame juga."

-24-
Weh, padhakna cah EBTA wae, dipasangi tulisan Harap
Ujian Ada Tenang. Memange lelembut tau mangan sekolahan,
po?

Tapi sungguh, rasa penasaran saya sudah sampai ke ubun-


ubun. Pengin tahu siapa yang menggerakkan benda-benda itu.
Rumus kinetika sampai mekanika kuantum ra ana sing cocok
ditrapke neng fenomena Kuncenoida iki.

Gak kurang-kurang saya sampai cari referensi (biyen rung


usum google, Ndes). Nah, ketemu. Menurut buku bekas yang
saya nunut baca di Shoping Center, ternyata ada jenis hantu
bernama poltergeist. Dia nirkaton, tapi punya energi
memindahkan barang-barang. Apa mereka juga yang
menghuni rumah ini? Wallahu a'lam.

Malamnya, sengaja saya tidur di ruang ngaji. Saya gelar


tikar di situ dan berbaring sendirian. Biarlah Unang berkutat
dengan kisi-kisi Sipenmarunya. Sesok aku kari njaluk resume-
ne. Hihihi ...

Awalnya mrinding sih, tapi daripada pinisirin terus tiap


malam diganggu, ya mending dibuktekke sekalian. Jelase aku
mung pengin dadi saksi ahli, ahli makhluk halus. Rung enek ta
profesi kuwi? Yang jelas, di ruangan ngaji berukuran 6 x 6 m
sini aku merasa lebih bebas. Setidaknya bebas dari rasa
khawatir dipeluk Tarso. Wkwkwk ...

-25-
Jam 23.30 ngantuk saya gak tertahan. Heran. Mungkin
karena sore tadi makan sayur bayam. Kandungan zat besi
bayam masuk ke kelopak mata, jadi berat. Didukung lampu
merk lie mang wat, cepat sekali saya terlelap.

Saya tidur seperti disirep. Baru mendusin ketika terdengar


suara dreeed ...! dreeed! Suara kaki meja diseret bergesekan
dengan lantai. Saya sempat melihat dari ujung mata, meja jati
yang biasa untuk menempatkan kitab bergerak menjauh!

Mak pengkorog... kuduk saya rasanya membesar segede


padasan. Anehnya, tubuh saya sama sekali tak bisa bergerak,
kaku, seperti orang tindihen. Mau teriak juga gak bisa, kayak
orang bisu.

Tak lama bangku-bangku ngaji mulai bergerak sendiri.


Ada yang pelan, ada yang seperti hentakan stacato. Tapi tak
tampak makhluk sebiji pun yang mendorong atau menariknya.
Benar-benar bergerak sendiri!

Entah kenapa, saya yang awalnya pede habis, tiba-tiba


kehabisan pede. Keberanian saya musnah tak bersisa.
Mungkin saat itu saya sudah setengah pingsan.

Di ujung kesadaran saya mulai berdzikir dalam hati.


Lama-lama bibir saya bisa mengucap, "Allah ... Allah ... Allah
..."

-26-
Perlahan refleks tubuh saya kembali berfungsi. Saat semua
pulih, greg! Semua gerakan dan suara berhenti. Malam
kembali senyap samun.

Saya pun langsung meloncat dan berlari ke kamar sambil


nabrak-nabrak. Sampai kamar, Tarso yang sedang mlungker
saya tubruk. Dianya njondhil. Berdiri, mengibas-kibaskan
tangan, lalu memandang saya dengan wajah kaget campur
jijik.

"Kok main tubruk wae?! Emange aku hombreng po!!"

Mbuh karepmu, Sooo ... Wedi owg! Skor satu satu wis ...
(To be Kuncenued)

-27-
5
EXORCIST

Namanya Astari. Asalnya dari daerah Pandak, Bantul.


Umurnya 50 tahunan. Orangnya agak kecil walau gak sekecil
minion. Kupluk putih (kethu) bertengger di kepalanya. Seuntai
tasbih selalu berputar di genggamannya. Orang yang oleh
pemilik rumah disebut sebagai "Mbah Yai" (meski terkesan
terlalu muda) ini memang kedatangannya sangat kami
nantikan.

Seminggu sebelumnya, Mas Ari, sang sohibul bait,


memberi kabar pada kami bahwa ia akan mendatangkan
seorang kyai ahli lelembut untuk "membersihkan" rumah
Kuncen.

-28-
Woh, kami baru tahu bahwa di Indonesia ternyata ada juga
profesi exorcist atau malah sebangsa Ghost Buster gitu.
Jurusan apa ya dulu, kuliahnya? Gelarnya mungkin SpDm,
Spesialis Demit.

Bravo! Tentu kami menyambut baik kedatangannya.


Terus terang kami sudah bosen dengan gangguan demi
gangguan yang menguras energi. Meski, tentu mendatangkan
beliau tidak gratis, Nda. Ada "petukon rokok" (baca: mahar)
dan ubo rampe yang harus disiapkan.

"Mengingat panjenengan menempati rumah ini secara


prodeo, maka tolong bantu kami dengan bantingan (urunan)
seikhlasnya," kata Mas Ari.

Sungguh kami tak mampu menjawab "tidak" untuk


tawaran ajib ini. Dan sangu kami yang sudah setipis kulit
jeruk pun terpotong lagi secara signifikan.

Ubo rampe disiapkan di tampah. Isinya tumpeng, ingkung


ayam, garam, beras kuning, kembang tujuh rupa, dan entah
apa lagi hardware dan software lainnya.

Setelah mengelilingi rumah sambil menebar garam dan


beras kuning, Mbah Astari membakar menyan di ruang tengah
sambil komat-kamit. Kami hanya menonton dari jauh.

Tak lama kemudian ia bangun dan pasang kuda-kuda.


Lalu tampak bergelut dengan sesuatu. Kadang jatuh, bangun,

-29-
jatuh lagi. Seperti saling beradu pukulan, tendang menendang.
Ah, sayang tidak ada kamera supranaturlens, ya ... Kalau ada,
pasti rame betul pertarungannya jika direkam.

Ada satu jam beliau bertarung. Sampai keringatnya


dleweran dan ... kelelahan. Sayangnya lagi, kami gak bisa
bantu apa-apa selain urun mata dan deg-degan.

Saat seru-serunya bertempur, tiba-tiba Mbah Astari


ambruk semaput. Wah, gawat ini! Kami semua hanya bisa
mbebeki, gak tahu harus berbuat apa. Mosok kalah karo
lelembut arep dikei PPO apa Remason? Ra mathuk, Ndes!
Untunglah, tak lama kemudian beliau siuman.

"Waduh ... nyuwun ngapunten, Mase. Kula mboten


sanggup nyingkirne. Lelembute kuat-kuat dan jumlahnya
terlalu banyak. Gendruwonya saja tiga. Wewenya enam. Yang
serupa hewan banyak. Belum yang di cagak itu, ada ratusan
jumlahnya," katanya sambil menunjuk tiang yang dulu dipakai
Aris untuk nyantolkan gudeg.

"Tiang itu dulu dibuat dari kayu kuburan sini. Dari dulu
memang mereka rumahnya di situ," sambungnya.

Woo ... layak ... saat digandholi gudeg, mereka protes.


Taruh kata seratus lelembut yang marah pipis semua di atas
gudeg, sudah tentu gudegnya akan bersalin rupa, warna, bau,
dan rasa!

-30-
Mbuh pake adendum atau tidak, keterangan Mbah Yai
tadi. Tapi kalau dihubung-hubungkan dengan makhluk besar
yang menabrak Aris, si Dhiwut yang mendekap Tarso,
pindahnya barang-barang yang saya lihat sendiri, dan kasus
basinya gudeg, kok cocok. Duh ... tapi semua gagal dieliminir
sama Mbah Yai. Mau gimana lagi.

Habis bertugas, Mbah Astari pamit pulang. Tak lupa


tumpeng dan ingkung turut dicangking, plus amplop yang
ditlesepkan Mas Ari ke saku gamisnya.

Weeh ... enak tenan, Ndes. Tugas gagal pun tetap bayaran.
Suk yen ana rejaning jaman, aku pengin juga berprofesi jadi
setan remover. Saat tugas tinggal bilang aja ke yang
ngundang: setannya kuat-kuat, Pak, lalu ambil amplopnya.
Hihihi ...

Lima hari menjelang Sipenmaru kami fokus belajar.


Untuk sementara segala gangguan nonteknis kami abaikan.
Entah karena kebacut kebal dari bau hantu atau urat takut
sudah pada rantas, hal-hal menyeramkan pun turun kasta jadi
biasa saja. Bahkan kalau semalam saja gak ada yang
glodhakan, di hati muncul pertanyaan, "Kok tumben sepi?"

Jika kemarin mimpinya tentang dikejar wajah-wajah


seram, maka makin dekat Sipenmaru yang sering muncul di
mimpi adalah dikejar rumus-rumus dan huruf-huruf. Sumpah,
ini jauh lebih mengerikan!

-31-
Kebayang gak sih, kayak apa dikejar-kejar Times New
Roman 12 pt mesin tik manual ...
(To be Kuncenued)

-32-
6
DEN MASE GEN W

Gendruwo tiga, wewe enam, yang serupa hewan banyak,


yang di cagak jumlahnya ratusan. Kata-kata Mbah Astari itu
terngiang-ngiang di telinga. Sebanyak itu, ya?

Canggih juga Mbah Yai. Ngetungnya pasti pakai sensus


dengan total sampling nih.. Tapi saya yakin 99% kalau
penghuni rumah itu memang ada gendruwonya, karena bau
khasnya gak bisa diingkari.

Eh ... dikit-dikit saya juga punya sixth sense yang bisa


detect bau MH (makhluk halus), lho. Bau wengur seperti
ketela rebus, itu pasti gendruwo. Wangi bikin mual, itu wewe
atau kuntilanak. Busuk, biasanya jrangkong atau pocong.

-33-
Kalau pesing ... ah, itu sih anak-anak ngaji yang pis of cur di
pojokan karena gak berani ke kamar mandi!

Tapi gak pernah terpikir kalau berbagai varietas lelembut


itu ternyata kumpul di rumah ini. Wah, kalau ini sih namanya
asrama! Opas asramanya patut diduga Pak Gendruwo atau Bu
Gendruwi. Soalnya mereka itulah yang posturnya paling
besar.

Mas Ari, si empunya rumah, mengaku pernah melihat


makhluk tinggi besar. Kepalanya sundul bubungan rumah.
Rambutnya dhawul-dhawul. Tangannya sepanjang doplangan
sepur. Matanya merah seperti lampu LED. Dan (maaf) sesome
siged-siged nglembreh sampai perut. Kata dia lho, ya ...

"Yang saya lihat yang cewek, Mas," kata Mas Ari sambil
kirig-kirig.

Woooh!

Wallahu a'lam, apa si Emak itu yang umbar cupang di


leher Tarso? Geje aja. Karena saya sendiri emoh kalau mau
dicritani detil perihal sosok gigantik itu. Opo maneh suruh
ketemu, amit-amit jabang baby! Big No!

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak (kecuali


bakso malang). Malam itu saya terpaksa melek sendirian di
kos. Tanpa kabar-kabari, Unang, Aris, Tarso pulang ke

-34-
Wonosobo. Itu pun saya tahunya dari Mas Ari yang waktu
Isya tadi pamit mau nginep di Condongcatur.

Oya, perihal kepulangan gerombolan si Berat itu


alasannya receh banget: karena ada nunutan mobil gratis milik
kakaknya Tarso yang mau mudik ke Wonosobo.

Kirik plastik tenan! Hambok kalau ngaku teman senasib


seperkerean, kasih tau saya, dong. Kan saya bisa nunut juga,
Ndess!

Yang saya gak habis pikir, ini kan kurang tiga hari lagi
Sipenmarunya. Mulih ya meh ngopo? Arep golek jimat nggon
Lik Paidi Wadaslintang ya percumah. Wong tahun lalu
anaknya Lik Paidi aja gagal masuk Yujiem owg!

Sepanjang malam saya misuh-misuh sendirian. Sungguh


saya merasa teraniaya dengan polah kawan-kawan. Apalagi
saya cek mereka gak ninggalin apa-apa untuk dimakan.
Hellow.. orang ronda rame-rame di pos kamling aja dikasih
kopi ma blangreng. Lah saya solo guardian, disuruh garingan .

Jam 01.15 mata malah makin lebar. Sepertinya ini isyarat


agar saya "wayangan", istilah saat itu untuk belajar sampai
pagi. Okelah, saya pun beranjak mengambil bundel soal-soal
warisan kakak moyang.

-35-
Baru saja mbukak sampulnya, tiba-tiba ... pet! Listrik
oglangan (padam). Bukan njeglek, tapi padam total sak antero
Yogya.

Jindul tenan PLN ... mbok kalau mau membunuh setrum


kasih tahu, napa. Kan saya bisa siap-siap ... tidur dulu, kek.
Kalau gini kan jadi miris. Suasana sangat gelap. Benar-benar
gelap sempurna. Sampai ujung hidung sendiri pun tak tampak.

Seingat saya di dekat pintu menuju dapur ada lampu


teplok. Saya meraba-raba dalam gelap. Nah, ketemu. Tapi di
mana koreknya? Duhh ... teplok tanpa korek itu tak beda
dengan jomblo tanpa mak comblang: tak berguna babar blas!

Selagi mencari-cari letak korek, tiba-tiba terdengar suara


dehem yang serak dan berat dari pojokan. Saya njenggirat.

"Siapa?" tanya saya.

Gak ada jawaban.

"Mas Ari, ya?"

Tetap sunyi.

Tiba-tiba ada angin berkesiur membawa bau yang tak


asing bagi hidung saya: bau wengur seperti ketela rebus.

-36-
Blaiik! Tak salah lagi, yang ada di hadapan saya sudah
pasti Den Mase Gen W. Saya lirik di pojokan atas dekat
plafon, ada sepasang mata besar, merah, menatap tanpa kedip.

Sontak dengkul saya lunglai. Tak terasa saya ndheprok di


tempat. Lemas tak berdaya. Herannya, saat itu saya
samasekali tidak ingat berdoa. Yang ada di pikiran hanya
bagaimana berupaya bangkit dan sesegera mungkin lari ke
tempat lain. Namun baru setengah berdiri, tiba-tiba sebuah
tamparan mendera mata kiri saya. Gak sakit, tapi sungguh
mengagetkan.

Byar! Saat itulah tiba-tiba lampu di kamar sebelah


menyala. Saya terkesiap karena ternyata saya berada di tempat
yang asing. Masih di rumah yang sama, tapi di ruangannya
belum pernah saya masuki. Sebuah ruangan yang penuh debu
dan sarang laba-laba.
(To be Kuncenued)

-37-
7
“BUTA” SEBELAH

Bagaimana bisa saya tiba-tiba berada di kamar ini? Lewat


mana masuknya? Tapi pertanyaan itu segera terlindas rasa
giris yang kembali menyekap.

Bergegas saya berlari menuju pintu. Handel saya tarik


sekuat tenaga. Brak! Terbuka. Dan ... alhamdulillah seberkas
sinar dari ruang ngaji langsung menerpa muka saya. Loalah..
ternyata saya tadi masuk ke ruangan yang letaknya di sisi
timur ruang ngaji. Ruang yang sudah puluhan tahun tidak
pernah dibuka karena, kata Mas Ari, kuncinya hilang. Tapi
kok saya bisa masuk dan keluar dengan mudah? Ini
benarbenar bikin garuk-garuk kepala.

-38-
Saat balik ke kamar, saya baru sadar ada yang aneh di
mata saya. Pandangan mata seperti kabur. Hah ... jangan-
jangan itu akibat dari tamparan tadi?

Saya langsung ambil spion Honda si Pitung (Honda


pitungpuluh) yang difungsikan sebagai cermin obat
nggantheng. Di bayangan cermin, gak ada yang aneh di wajah
saya. Gak ada luka. Mata juga tampak biasa-biasa saja. Cuma
memang pandangan agak kabur.

Saat saya coba tutup mata kiri dengan telapak tangan,


semua masih tampak jelas. Tapi saat ganti mata kanan yang
ditutup, astaga ... saya gak bisa melihat apa-apa! Saya uceg-
uceg mata kiri saya ... saya tes lagi ... Yungalah ... saya
memang "buta" sebelah! Simpulan saya satu: pasti karena
tamparan tangan ghoib Den Mase tadi.

Sepanjang dini hari, mata kiri saya pegangi sambil baca


semua doa dan wirid yang saya bisa. Mulai istighfar, suratan
pendek, sampai ayat Kursiy saya baca. Harapan saya sih,
dengan doa-doa itu apa pun yang menutupi mata saya bisa
ilang. Tapi hasilnya nihil. Tetap saja mata kiri saya tak
berfungsi.

Hati saya gundah gulana. Gimana tidak, lha untuk baca


sulit je ... Padahal dua hari ke depan menjelang Sipenmaru ini
tugas dan fungsi mata kudu maksimal. Sampai siang
menjelang sore, saya masih menjadi pendekar mata satu. Baca

-39-
soal ya dengan satu mata. Baru kali ini saya bisa merasa
arogan maksimal. Bagaimana tidak? Soal-soal Skalu yang
kondang sulitnya sak alaihim pun hanya saya pandang sebelah
mata! Hehehe ...

Jam 19.00 gerombolan si Berat datang dari kampung.


Saya sudah pasang mimik njenggureng. Amunisi damprat
sudah saya siapkan. Pokoknya kalau mereka muncul di
hadapan saya, tinggal tret! tret! tret! Mampus kabeh nanti ...

Eh, tiba-tiba Aris nongol. Tanpa ngomong sepatah kata


pun dia meletakkan seplastik tempe kemul di depan saya.
Menyembah, lalu pergi. Tak lama Unang muncul. Meletakkan
geblek (makanan khas Wonosobo). Menyembah, lalu pergi.

Terakhir, Tarso masuk. Meletakkan empat lonjor arem-


arem besar dan seplastik tahu asin. Saat dia menyembah, tawa
saya tiba-tiba meledak tak tertahankan.

"Wasyeeeeeemm!! Kalian benar-benar lelaki penuh tipu


dayaaa!!" teriak saya sambil nggablogi Tarso.

Aris dan Unang yang ikut nyusul bergabung tak luput pula
dari gabloganku. Kami tertawa ngakak sampai lemes.

"Kita kan temannya friend, jangan njegadhul begitu. Mari


kita selamatkan generasi penerus dengan makan bersama. Ayo
diganyang, mumpung belum basi!" tutur Aris.

-40-
Kami pun asyik berkecap-ria. Sengaja saya kerasin
kecapnya. Sttt ... Biar penghuni cagak dan kamar sebelah pada
mati mupeng!

"Eh, pren.. tahu gak. Gara-gara kalian tinggal, aku tadi


malem ditampar Den Mase (kami memang gak berani sebut
nama)," sambil ngemplok tahu saya cerita.

"Hah, lalu?"

"Mataku buta sebelah. Yang kiri."

'Hah, lalu?!!"

"Ya, lalu kalian datang membawa makanan ini, sehingga


saya lupa kalau saya sekarang setengah tunanetra."

Set. Kontan mereka semua berhenti mengunyah.

"Wis ditambakke durung? Gowo Sardjito wae. Gowo


dhukun wae!" saur manuk temen saya memberi usulan.

Saya hanya menggeleng.

"Ini urusannya nonteknis. Moga-moga setelah makan


nanti bisa sembuh," potong saya sambil memberi isyarat untuk
terus kembul bojana.

Tapi teman-teman saya rupanya hilang selera karena


prihatin melihat kondisi saya. Mereka pun serempak

-41-
menghentikan makan sambil memandang saya. Saya tak
peduli, terus menyuap, mumpung gratis, Ndess!

Hingga sehari sebelum Sipenmaru, mata saya tak juga


pulih. Duh ... gawat tenan iki. Dalam batin saya bertanya-
tanya, kok doa-doa yang saya rapal gak mempan ya, kenapa?
Mungkinkah lelembutnya tergolong kebal doa, atau saya yang
kurang khusuk membacanya? Saat sedang bingung, tiba-tiba
saya teringat sesuatu.

Dulu, kalau ada orang kesurupan, Mbah saya


menyembuhkannya dengan melangkahi orang tersebut.
Uniknya, sebelum melangkahi, simbah terlebih dahulu
melepas celdamnya! Hanya pakai jarik saja. Konyol, tapi
sangat efektif. 90 persen setannya langsung ngabur. Masalahe
sopo sing iso tak jaluki tulung nglangkahi aku sekarang?
(To be Kuncenued)

-42-
8
GUSTI ALLAH YANG
MENYEMBUHKAN

Saat probabilitas untuk sembuh dengan metode


nglangkahi dan segala atribut syarat rukunnya saya sampaikan
ke teman-teman, semua saling pandang.

"Ngene, Ndes, bukan maksud hati emoh menolong, tapi


mbok aturannya di-revisi sik!" komentar Unang.

"Ho-oh, mbok rasah nganggo copot jas wadi barang!


Masalahe sing lara ki mripatmu. Lha yen tak langkahi rak
padha wae karo pameran alutsista jarak dekat," protes Aris.

-43-
"Yen jelas marine rapapa. La ngko gek-gek kadhung
pesawat melintas malah gangguane berbalik mengenai
pesawat, lak bisa marai gagal take off," ujar Tarso sambil
mrenges.

"Tapi yen pakaian lengkap, aku gelem nyoba," kata


Unang.

Eureka! Kenapa tidak dicoba saja. Meski ragu tapi saya


setuju dan langsung berbaring di tikar. Unang pun segera
berdiri lalu melangkah tepat di atas kepala saya tiga kali
bolak-balik.

"Piye Nda, wis waras?" tanya Unang harap-harap cemas.

Saya duduk. Mengejap-ngejapkan mata. Lalu saya jawab


keras,

"Blaass! Wis dikiandhaniii ... kudu copot kathok kok


ngueyell!"

"Wah, yen kudu ngono ya Mbahmu wae celuken rene!"

"Piye yen Mbahmu wae, Nda!" kata saya jengkel.

Semua tersenyum kecut, sekecut kecutnya!

Pagi itu, tepat sehari menjelang Sipenmaru. Kami


berempat pergi ke UGM ngecek ruang ujian. Alhamdulillah

-44-
semua dapat lokasi yang sama yaitu Gedung Administrasi
Sekip (Sekarang gedung MAP) lantai II. Saya masih ingat,
nomer tes saya dapat nocan ... 0287-45-05550.

Yang bikin saya nelangsa, di saat yang kritis dan


sepenting itu gangguan mata kiri saya belum teratasi. Masih
surem-surem diwangkara kingkin sehingga sulit sekali dipakai
membaca. Maka rencananya, setelah cek ruangan (terpaksa)
akan saya lanjutkan dengan cek mata ke poli RS Sardjito. Ra
nyambung ya ben, toh sama-sama cek. Mbuh nanti hasile
piye, sing penting sesuk Sipenmaru isa lancar.

Saat sedang melihat-lihat ruangan, seorang bapak tiba-tiba


memanggil saya.

"Mas ... Mase, njenengan baik-baik saja?"

"Memang kenapa, Pak?" saya pura-pura bloon.

Ia tersenyum. Kemudian memperkenalkan diri. Namanya


Abdul Kadir. Asli dari Dolopo Madiun. Ia mengaku sedang
mendelokkan (weh, apa ya bahasa Indonesiane) lokasi tes
anaknya yang mabuk perjalanan berat setelah diontang-
antingkan bus Sumber Kencono Madiun-Yogya.

"Maaf ya Nak, apa sampeyan merasa ada gangguan yang


nggak biasa?" tanyanya serius.

-45-
Weh, kok tahu ya? Akhirnya saya jawab apa adanya. Saya
ceritakan peristiwa yang menimpa saya sampai terjadinya
gangguan "buta" sebelah yang saya alami.

"Maaf ya, Nak ... ada yang ngikut sampeyan sekarang.


Menutupi mata sampeyan. Yuk, kita ke tempat yang sepi,”
kata si Bapak sambil menggamit lengan saya.

Sampai di bawah pohon beringin belakang kampus, ia


memegang kepala saya. Tangan kanannya ditempelkan ke
mata saya sambil meminta agar saya baca surah Al-Falaq dan
An-Naas. Dia sendiri merem sambil komat-kamit baca doa
entah apa.

Lima setengah menit kemudian, ia membuka telapak


tangannya.

"Cobi, Mase melek!"

Byar! Alhamdulillaaahh ... ternyata penglihatan mata kiri


saya sudah pulih kembali. Saking leganya saya langsung sujud
syukur. Gak peduli Mbak Mas calon mahasiswa yang ada di
situ pada memandang sinis. Mungkin mereka berpikir, wuiihh
... kemaki ... Durung lulus wae wis mbungahi! Hambok ben!
Aku isa ngambah UGM wae wis seneng, Ndess!

"Wah, saya sudah sembuh Pak! Saya sangat berterima


kasih. Semua berkat Bapak!"

-46-
"Bukan Mas. Gusti Allah yang menyembuhkan,"
tukasnya.

Sebelum sempat menanyakan alamat lengkap, si Bapak


sudah pamit pulang. Terburu-buru katanya.

(Dari lubuk hati yang terdalam, melalui FB ini saya


mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak
Abdul Kadir. Jika ada putra atau putrinya yang kebetulan
menjadi anggota Kagama, sudilah kiranya japri saya untuk
bersilaturahmi).

Tekan ndi ki mau ... malah pidato ...

Oh, ya ... pulangnya kawan-kawan saya ajak mampir ke


Gudeg Jl. C. Simanjuntak (aku lupa nama warungnya). Ya,
idep-idep syukuran lah. Soal sangu tipis memang saya akui.
Tapi nraktir makan enak sekali-sekali kan boleh. Apalagi
momennya tepat: persiapan daya tahan tubuh untuk
menyongsong Sipenmaru.

Tentu saja Unang, Aris, dan Tarso girang bukan kepalang.


Gak seperti biasanya yang lauknya cuma 3T (tahu, tempe,
telur) sekarang berani ambil paha dan dada. Nasinya full
munjung kayak gunung Sindoro. Biyuuh!

Rampung makan saya menghampiri kasir sambil rogoh-


rogoh sak. Matik aku! Kok kosong! Padahal perasaan tadi ada

-47-
duit Rp10.000 gambar Kartini? Hadeuuuh!! Tak pelak, muka
saya pun kontan mbleret seperti matahari gerhana.

"Ada masalah?" tanya Aris.

"Eh, ee, anu ... dhitku keri neng ngomah ki, Nda," jawab
saya sambil garuk-garuk kepala.

"Yasalaaaam!!" kontan koor kecewa berluncuran dari


mulut-mulut kekenyangan itu.

"Maaf, Ndes. Patungan sik, ya„" pinta saya dengan


wajah nyremimih, "kowe cah telu dhuwite, aku patunge."

"Kamu memang lelaki penuh tipu dayaa!!" ujar Tarso


sambil nggablog saya.
(To be Kuncenued)

-48-
9
DISUNAT HUUU

Sejak sore, berkali-kali Tarso mendendangkan lagu


dangdut "Malam Terakhir"-nya Rhoma-Rita, yang syairnya
diubah seenak udelnya sendiri.

Malam ini malam terakhir bagi kita/

Untuk melepaskan rasa pusing kepala/

Esok kita akan pergi ke Sipenmaru/

Kuharapkan tiada lagi gangguan hantu ...//

-49-
Gebleg ni anak. Bukannya belajar malah ngglenggeng.
Lagunya pakai nyinggung-nyinggung hantu, pula! Padahal
sudah ada traktat tak tertulis, di rumah Kuncen pantang bicara
hantu! Wanen tenan cah iki, Ndes!

"Ra sinau ta, So?" tanya saya heran.

"Raak! Wis insyaf aku. Pengalaman sinau sebulan, oleh-


olehane ya mung mumet. Sesuk ujian, maka malam ini aku
mau bobo gasik biar otak fresh!" ujarnya.

Logis sih, bagi dia. Lha kalau saya ya amburadul tenan,


wong kemarin sempat prei belajar dua hari gara-gara mata
soak. Malam ini justru harus "nyarutang" belajar dengan
metode SKS: Sistem Kebut Semalam.

Saya tengok Aris lagi gitaran. Dengan lagu yang itu-itu


juga, karena bisanya memang hanya itu. Saat saya tanya, dia
cuma mengangkat alis sambil meneruskan lagu falsnya, "no
woman no cry ... no woman no cry ...". Pas tenan dengan
kejombloanmu, Ndess!

Di kamar, Unang lagi baca buku. Asyik, ada temannya


nih, pikir saya. Saat saya dekati, walaahh.. ternyata yang dia
baca serial cerita kung fu.

"Kok malah baca Koo Ping Ho?"

-50-
"Lagi belajar stategi menyerang soal Sipenmaru dengan
ginkang dan lwekang ..." jawabnya ngasal.

"Wooh ... yawis. Salam nggo Yo Ko dan Siauw Liong Lie


„" jawab saya.

"Lho, kok kowe ruh tokohe, Ndes?" ujarnya heran sambil


membolak-balik sampul buku yang dipegangnya.

"Hehe ... aku wis maca kok ..."

Puhh ... cuma dhewekan nih, belajarnya. Yah, moga-moga


karena malam ini malam terakhir, aman terkendali, gak ada
gangguan hantu. Laah ... kok saya jadi bicara hantu juga?

Berhubung kami sedang konsen belajar, urusan mulang


ngaji kami serahkan ke Mas Ari. Sebenarnya kasihan juga,
satu orang harus handel 23 anak. Kalau yang gede-gede sih
gampang, tinggal suruh ngapalin. Lha yang krucil-krucil ini
yang repot, ditinggal ngajari yang satu, yang lain pada pating
crowet sendiri. Malah ada yang keluyuran ke mana-mana.

Jam 19.15 saya sedang berusaha keras memahami rumus


fluida bergerak, ketika tiba-tiba terdengar suara menangis dari
pojokan. "Huuu! Huuu!" Bah, hantu mana pulak yang jam
segini sudah buka praktek? Gerutu saya dalam batin.

Penasaran, saya dekati suara itu. Astaga, ada sosok kecil,


gundul, sedang terisak di sana. Tuyulkah itu? Sedang nangis

-51-
karena nelangsa, mau nyuri duit di rumah ini tapi ternyata gak
ada yang punya duit?

"Hei ... kamu tuyul, ya?! Kalau mau nyolong duit di


rumah wong sugih sana! Jangan di sini. Di sini mlarat semua!"
bentak saya sambil memberi isyarat agar dia pergi.

"Huwaaaa ... sakiiit! Sakiiit!"

Bukannya pergi, tapi tangis sosok kecil itu malah makin


menjadi-jadi.

Dari frekuensinya yang mendekati 55 desibel, jelas itu


suara manusia. Saat saya cek dan saya pegang, ya memang
tubuhnya padat berisi. Artinya anak sungguhan. Tapi ngapain
dia ada di ruang dapur? Ngapain pula nangis nggriyeng?

"Cep cep ... apanya yang sakit, Dik?" tanya saya pelan.

Si kecil menuding-nuding anunya sambil terus merintih.


Saat sarungnya saya buka. Astaga, ternyata kondisi anunya
persis seperti habis disunat!

"Kamu habis sunat?"

Ia menggeleng. "Tadi pipis di sini, trus disentil sama


huuuu ..."

"Siapa yang menyentil anumu?" kejar saya.

-52-
Ia hanya menggeleng sambil meneruskan tangisnya.

Saya pikir goblok juga saya. Sudah jelas dia jawab "huuu"
(who?) kok masih saya tanya. Ya, jelas yang nyunat ya si who
tadi!

Hwuaduuh ... terpaksa malam itu kami mengantar si anak


ke rumah orangtuanya. Menerangkan kalau anak itu habis
disunat lelembut. Bapaknya bertindak cepat membawa si anak
ke Pak Mantri terdekat. Tapi Pak Mantri bilang bahwa hasil
sunatannya ditinjau dari kaidah medis sudah benar dan bagus.

"Pun cukup sepisan mawon sunate. Mangke yen disunat


malih malah telas!" kata Mantri. Kami pun terbahak.

Pulang dari ngantar si bocah, waktu sudah jam 23.30.


Terlalu larut untuk mulai belajar lagi. Maka kami pun bersiap-
siap tidur. Saya ikut teman-teman saja lah ... tidur lebih utama
daripada ngantuk!

Tapi saya lihat si Tarso masih ngglibet saja, gak mau balik
ke kamarnya.

"Ayo turu, jarene kowe arep turu gasik?" ujar saya.

Tarso hanya memandang kami dengan tatapan gimana,


gitu.

-53-
"Aku tak turu bareng kowe kabeh ya, Nda..," ujarnya
dengan suara bergetar. Jelas dia menyimpan rasa takut yang
amat sangat.

"Laah ... ngapa kok dirimu takut begitu? Lha wong yang
diganggu cuma anak kecil. Gak usah parno begitu," Unang
meyakinkan.

"Tapi nganu je, Ndes ..."

"Nganu apa, So?"

"Aku ... durung sunat, je."

Kami kontan terdiam beberapa saat.

Lalu tawa kami meledak.

Ternyata oh ternyata ...


(To be Kuncenued)

-54-
10
BISIKAN LIRIH

Gara-gara Tarso takut setengah mati disunat lelembut,


malam itu ia kami proteksi secara khusus. Tiga tempat tidur
kami kawinkan jadi satu dan Tarsonya kami tempatkan di
tengah.

Bagaimana kalau lelembut si tukang sunat datang. Ya


akan kami halangi, mbuh piye carane mengko. Kalau ngeyel
tetep mau nyunat, ya saya terpaksa akan bilang, "Saya sudah
beib ... tuh cari aja yang belum ... hehe ..."

Eh, baru lima menit mapan, Tarso sudah ngorok berat.


Bunyinya kayak campuran suara orang nggergaji dan sepur
lewat. Benar-benar missing link sama problem yang dia

-55-
hadapi. Apa dia milih tidur biar gak lihat kalau tukang
sunatnya datang?

"Jindul ik. Sing dikawal wis amblas. Malah kene dha ra


isa turu dhewe," gerutu Unang.

Saya pun terpaksa nyumpel kuping dengan bantal. Tapi


suara gemuruh tenggorokan itu tetep tembus sampai rumah
siput telinga dalam! Malam itu saya gak bisa tidur nyenyak.
Bukan hanya karena ngoroknya Tarso, tapi juga karena mikir
gek-gek ora lolos Sipenmaru. Jujur, aku ra patek bodho, tapi
ya ra patio pinter. Mulane saya beli formulir IPC (IPA-IPS).
Tapi gegara diojok-ojoki Aris, pilihan pertama saya jatuhkan
ke Teknologi Industri Pertanian UGM. Baru nyusul Teknik
Mesin Undip, dan Komunikasi UNS.

"Aja kuwatir, Ndes! De'e (kamu dialek Obosonow) kan


lucu, pasti ketampa neng UGM. Kasihan UGM, suasananya
akan terlalu baku kaku selamanya tanpa kehadiran dirimu!"
nasihat Aris.

Jindul ... sejak kapan level kelucuan menjadi tolok ukur


masuk UGM? Kecuali kalau kepanjangan UGM adalah
Universitas Guyon Maton! Yen tenan ngono, ya asyik betul.
Soale aku wis duwe sertipikat ToNGL Test of Ngekek Guyon
sak Lempohe!

-56-
Baru sak liyepan merem, saya bermimpi. Mimpi basah.
Haa ... iya, mimpi basah beneran! Kami berempat sedang
menyeberangi sungai besar. Saya, Unang, Tarso kesulitan
meski sudah berenang dan klebus. Tapi Aris mak jlig jlig jlig
... dengan gampangnya meloncati batu-batu dan sampai ke
seberang. Setelah itu dada-dada kaya wong ra duwe utang!
Asyem!

Begitu nglilir saya sadar bahwa itu firasat bagi kami


bertiga. Firasat yang gak terlalu baik. Wah, sida ora ketampa
tenan kiye.

Maka saya pun berdoa agar Gusti Allah memeremkan


mata saya sekali lagi. Jika bisa mimpi lagi, akan saya revisi
mimpi saya yang pertama dengan mimpi baru yang lebih
optimis! Setidaknya, saya bisa ikut nyeberang lah ...

Meskipun sudah dimerem-meremkan sampai sepet, tetep


saja mata gak mau terpejam. Makin mendekati pagi, peluang
untuk merevisi mimpi pun makin kecil. Ya wis lah.. terima
nasib yen cen kudu gagal. Toh dunia tak selebar kolor. Kolor
pedhot, tuku neh, Ndess!! Ra duwe dhuwit lak ya isa patungan
sik ... yang penting saya patungnya ...

Eh, tapi tes-e kan masih besok. Belanda masih jauh. Kok
sudah ngeper duluan ki, piye! Kudu berpikir positif. Ada
pepatah mengatakan, "Jangan pesimis." Karena "Jangan

-57-
pesimis lebih enak daripada jangan terong dan jangan tempe."
Hahaha ...

Jam tiga setengah saya sudah bangun. Jane ya ora bangun,


wong turu wae ora dadi. Ogah melek dhewek, teman-teman
saya obrak-obrak.

"Asholatu khoirum minan nauuuum!!" teriak saya.

Semua gragapan. Saat melihat jam, semua menggerutu


gak karuan.

"Jindul, jik wayahe jam kerja maling wis gugah-gugah,"


gerutu Unang.

"Yen arep budhal kampus saiki silahkan, Ndess! Ngelap-


ngelap ruang ujian kana!" imbuh Aris.

Tarso bangkit sambil uceg-uceg mata, lalu bilang, "Aku ra


sholat, Ndes, lagi M!"

Bwahaha ... semua mrenges together dan ... akhirnya


melek semua. Benar-benar setia kawan. Una solidarde. Basa
Polandiane: Ruji rubeh. Lekji lekbeh. Turu siji turu kabeh.
Melek siji melek kabeh!

Saya langsung menyambar anduk dan njujug kamar


mandi. Bukan karena sregep adus, tapi karena kalau mandinya

-58-
belakangan, air sumur sudah kecoklatan seperti larutan Choki-
Choki.

Saat mau masuk kamar mandi, tiba-tiba terdengar bisikan


lirih, "Lulusss ... lulussss."

Saya menilingkan telinga. Ki rungon-rungonen, pa piye?


Tapi bisikan itu terdengar lagi, sangat jelas, "Luluss ... luluss
...".

Saya pun spontan menjawab, "Amiiin! Dongakke nggih,


Mbah. Mugi-mugi kula sedaya saged ketampi teng Gadjah
Mada."

Weh, dunia terbalik-balik. Mosok lelembut kon melu


ndongakke? Tapi gak salah, kan? Saya minta tetap pada Allah
SWT, la simbah dunia maya kuwi tak kon mbantu doa ... Ya
mbuh ndongane piye terserah dia. Yang jelas, kata-kata
"lulus" itu melecut optimisme saya sampai sundul wuwung.

Pokoknya pagi itu saya jadi luar biasa bersemangat.


Nglincipi potlot 2B yang mau dipakai ureg-ureg lembar jawab
saja sampai dua kali. Nyetrika baju dua kali. Sarapan juga
(maunya) dua kali. Sayang anggaran terbatas ...
(To be Kuncenued)

-59-
11
JIN MAKMUM

Sore itu kami berkumpul di ruang ngaji dengan perasaan


plong. Beban yang berbulan-bulan menghimpit kepala terasa
hilang sudah. Semua ketawa-ketiwi, menceritakan kekonyolan
saat mengerjakan Sipenmaru tadi.

"Mau aku meh semaput, Nda," ujar Aris.

"Lah ... Kok isa?" tanya saya.

"Iya. Kakehan mikir."

"Ya mesthi wae. Jenenge wae tes!"

-60-
"Dudu kuwi sing tak pikir."

"Laah.. trus apa?"

"Mikir kok dhuwit patungan sing tuku gudeg biyen rung


diijoli ya."

"Sadubintul!" potong saya sambil garuk-garuk kepala.

"Suk yen panen pete tak ijoli. Tenin. Dua kali lipat!"

"Moh, Nda. Riba kuwi."

"Lha, maumu apa?"

"Balekke Rp500 wae, bonus pete 5 lingget (ikat)."

"Wah, ndlodor kuwi! Pete sak lingget wae Rp600 je," kata
saya mecucu.

Aris meringis.

"Aku ya meh semaput mau," ujar Tarso nimbrung.

"Arep nagih utang juga? Ngaku wae!"

"Tenan iki, Ndes. Meh semaput tenan."

"Memange keneng apa?"

-61-
"Pas nggarap Matematika Dasar. Waktu kurang limang
menit, aku nggarape lagi tekan nomer 30. Saking gugupe tak
jawab ngawur. Pokoke tak irengi kabeh lembar jawabe nganti
entek."

"Sing penting kan, rampung!" serobot Unang.

"Masalahe dudu kuwi, Nang. Soale kan 50 ..."

"Ho-oh. Lalu?"

"Aku njawabe nganti nomer 75, je!"

Bwahahaha! Tarso.. Tarso..! Apik tenan iki. Soal 50


dijawab 75! Susuk no panitiane Sipenmaru!

"Salahe dhewe nyediani lembar jawab 75!" gerutu Tarso


dengan wajah tak bersalah.

Tak pelak kami pun ngakak sampai sakit perut. Moga-


moga sesuk komputere bingung le nyocokne, error, njuk Tarso
dicathet lulus ngono wae ...

Saya lalu menceritakan mimpi basah tadi malam. Aris


tersenyum girang mendengar dalam mimpi ia bisa nyebrang
sungai dengan meloncati batu-batu.

"Terima kasih telah dimimpikan yang firasatnya baik,"


ujar Aris.

-62-
"Semoga saya lulus tenan," sambungnya.

Saat Aris sedang girang-girang gumuyu, mak jedhul.


Unang muncul membawa buku "Tafsir Seribu Mimpi". Kitab
rujukan para penggemar Porkas (judi "resmi" sebelum muncul
SDSB). Entah dia dapat dari mana buku ajib itu, karena,
sumpah, kami bukanlah Porkaser.

"Sik sik sik ... tapi menurut buku ini, batu itu lambang
angkanya 0. Nol di sini artinya: Tidak ada. Nihil. Das.
Suwung. Zonder. Bisa juga berarti Wurung. Wukan. Rusak.
Gagal."

Mendengar paparan Unang, kontan muka Aris njuwowos.


Senyumnya terbang entah ke mana.

"Dadi rung jelas ya, tafsire. Lha kalau kalian bertiga


kecemplung kali sampai basah kuyup, artinya apa?" kejar
Aris.

"Itu artinya perjuangan dan kerja keras!" ujar Unang


sambil pura-pura baca dan mengedipkan mata ke arah saya.

Saya angkat dua jempol sambil manggut-manggut kayak


derkuku. Kontan saja Aris beringsut pergi sambil ngedumel,
"Loncat di batu-batu juga perjuangan, Ndes!"

Saya tergelak. Lalu mengadu telapak tangan dengan


Unang. Tosss!

-63-
Senja itu saya kebagian jadi imam sholat magrib. Kami
memang biasa giliran jadi imam karena menyadari tajwid dan
mahraj bacaan kami sama-sana amburadul. Elek kabeh, dadi
ya giliran ben dosane rata. Tapi mungkin imam sholat kali
inilah yang paling tidak khusuk sepanjang hidup saya.

Saat bacaan Al Fatikhah selesai dan makmum mengucap


"Amiin!" kok kuping saya menangkap ada suara lain yang
bukan suara Aris dan Unang. Suara yang berat dan dalam.
Suara siapa?

Usai baca Surat At-Tin, dilanjut ruku', ujung mata saya


melihat makmum saya ada empat! Heh, siapa yang dua?
Padahal tadi gak ada tamu di rumah ini. Apa Mas Ari? Tapi
biasanya ia sholat maghrib di masjid? Lagian tumben-
tumbenan ada bau parfum kasturi yang menyengat hidung.
Biasanya sih bau ketek, tapi ini kok wangi memabukkan. Saya
khusnudzon saja, barangkali Aris atau Unang barusan dapat
warisan parfum dari eyangnya. Kan, mereka baru pulang
kampung.

Rasa penasaran saya berlanjut pada saat ruku' dan sujud


raka'at berikutnya. Jelas saya lihat makmum saya ada empat.
Yang dua jelas sohib saya, tapi dua lagi di sisi kiri posturnya
tinggi besar di atas rata-rata. Berpakaian serba putih.

-64-
Saat salam ke kanan saya masih melihat makmum ada
empat. Tapi saat salam ke kiri ... dua orang yang di sisi kiri
mendadak lenyap seperti ditelan bumi!

"Yang di sebelahmu, siapa tadi?" tanya saya pada Unang,


segera setelah salam.

"Kamsudmu?"

"Tadi di sebelahmu ada dua orang lagi ikut makmum.


Berbaju putih, baunya wangi."

Tanpa menjawab, tiba-tiba Unang dan Aris menggulung


sajadah dan langsung nggendring lari ke kamar.

"Hoiii ... enteni aku! Aku ya wedi, Ndess!" teriak saya


sambil menyambar sajadah dan menyusul lari.

Setakut-takutnya saya, saya tetap merasa tenang.


Setidaknya makhluk gaib itu ikut sholat, artinya tidak jahat.
Kata simbah saya memang ada jin Muslim yang suka ikut
makmum orang yang lagi sholat. Okelah. Tapi mbok aja
ngetok ...
(To be Kuncenued)

-65-
12
PERPISAHAN

Perpisahan selalu menyedihkan, tak terkecuali perpisahan


dengan rumah Kuncen. Meski ada rasa dongkol, gemes,
marah, juga sebel dan takut, tapi kebersamaan yang kami
jalani dengan para Gondes di sana benar-benar njanget di hati.

Seperti pagi itu, air mata tumpah saat kami pamitan.


Bagaimana gak mewek, jika anak-anak yang biasa ngaji
dengan kami pada memeluk kaki sambil histeris. "Mas jangan
pergi ... Mas di sini saja dengan kami ... Huuuu ..."

Yungalah ... benar-benar melow level dewa. Sumpah, saat


tiga indukan kambing saya dijual untuk sangu ke Jogja,
menyisakan anak-anak kambing yang mengembik-embik

-66-
memelas di kandang, saya cuma mbrabak. Tapi pagi itu di
hadapan kurcaci-kurcaci cilik yang semua sendu unyu-unyu,
pertahanan catanacio eluh saya runtuh.

Unang dan Aris yang biasanya anti gores juga terisak-isak


di pojokan, kayak bayi kehilangan susu emaknya. Tak kuasa
berkata-kata. Mas Ari yang punya rumah malah tersedu-sedu.
Bahkan Tarso yang gedhe dhuwur seperti Bima, pagi itu
berubah bak Arjuna ilang gapite. Lemes tak berdaya dengan
mata menyungai Gangga.

"Jindul ... aku nangis tenan, Ndes. Tangis pertamaku sejak


aku dibaptis," ujar Tarso sambil menyeka mata.

"Sama. Aku juga sudah luamaa gak nangis. Seingatku, aku


terakhir nangis ya saat disunat," cluluk saya.

Tarso langsung njewer kuping saya dan mendekatkan ke


mulutnya.

"Iki adegane lagi sedih, Ndess!! Mbok aja ngomong


sunaaat!"

Saya pun terpaksa mesem tertahan. Meski masih dengan


berurai air mata ... Kompleks tenan perasaan saat itu. Nano-
nano campur Mr. Sarmento rasa sarsaparilla.

Saya yakin, di alam ghoib rumah Kuncen juga banyak


yang lagi nangis. Ada yang nangis sedih karena kehilangan

-67-
teman ngangsu, ada kehilangan imam sholat. Tapi prediksi
saya, banyak pula yang gulung-koming karena kehilangan
objek usilan. Lho, memange mudah pa, nyari ganti orang yang
tahan diusili seperti kami? Saiki tak tinggal, kapok ra, kowe!

Sebelum ke terminal, kami mampir nggudeg dulu ke Bu


Sri. Sarapan sekalian mohon pamit. Kalau yang ini kayaknya
gak pake nangis, deh. Masih kagol aja soal gudeg basi dulu.
Meski saya yaqin gologoqin sibasiqin and ainul yaqin wal
kejepret thengel-thengel ... itu bukan salah Bu Sri.

"Lhoo ... kok gawane mbriyut, mau pulang ke Wonosobo


ta, Nak?" sapa Bu Sri ramah.

"Nggih, Bu ... " jawab kami bareng campur takjub.

"Kok ngerti awake dhewe cah Sobo, ya?” bisik Aris.

"Kan, ketok."

"Apane?"

"Irenge."

Aris cuma angkat bahu sambil melet.

"Alhamdulillah, Nak. Berkat sampeyan semua, anak saya


sekarang sudah pinter ngaji dan rajin sholat."

"Loh ... putra njenengan ngaji nggen Mas Ari, ta?"

-68-
"Enggih ... anak kula si Rizal."

"Woalah. Sing larene bagus nika, ta?" ujar Tarso.

Bu Sri tersenyum bangga. Tak lama kemudian srat sret


cekatan mengambilkan empat porsi nasi gudheg. Lalu ditimpa
krecek, tahu, tempe, dan ... dada ayam! Kok dada? Sapa sing
pesen?

"Pun, mangga didhahar. Sekecakne!" kata Bu Sri masih


dengan senyum manisnya.

"Blaik! Piye ki ngko mbayare?" bisik saya ke Tarso.

"Ha mbuh ... kan saiki giliranmu mbayar!" jawab Tarso


sambil menggigit dada menthok yang menul-menul itu.

Saya lihat gerombolan si Berat makannya ngethimel.


Sementara saya menyuap tertahan-tahan. Membayangkan
rupiah yang harus keluar, nasi tiba-tiba serasa sekam, daging
ayam serasa potongan sandal. Seret ditelan terdampak galau.
Gimana gak galau. Kalau saya semua yang bayar, alamat saya
gak bisa bayar ongkos sampai rumah! Mosok mau patungan
lagi? Tak mu'in. Mereka pasti nolak.

Hampir setengah jam, gudeg saya baru habis. Kawan-


kawan sudah ribut takut ketinggal bis. Saya pun mengambil
dompet sambil meringis. Apa boleh buat, saya terpaksa
menghampiri Bu Sri yang masih juga tersenyum manis.

-69-
"Pinten, Bu?"

"Napane sing pinten?"

"Lha gudege wau sekawan ..."

"Halah ... Mase. Untuk pak Ustadz mosok nganggo


mbayar. Njenengan saja ngajari anak saya ngaji gak pakai
bayar kok."

"Lho ... dados niki gratis??"

"Tis ... tis!"

"Subhanallah ... maturnuwun, Bu. Mugi-mugi pinaringan


rejeki berlimpah ruah," doa saya.

"Amiin!"

Meninggalkan warung langkahku terasa sangat ringan.


Kami berjalan sambil bersiul-siul.

Indahnya pagi ini ...

Sambil nyegat Kopata saya mencecar Tarso.

"So, emang kamu tahu anaknya Bu Sri yang namanya


Rizal?"

"Enggak!"

-70-
"Kok kamu bilang, sing larene bagus?"

"Cah nek ra tau mangan ilmu glembuk ya gini ini! Emak-


emak ki bakal klepek-klepek yen disanjung anake bagus.
Buktine ya Bu Sri mau. Senyum terus, ta?"

"Trus untunge apa?"

"Lha gudegmu ra mbayar kan merga kuwi, Ndesss!"

"Woooo ... dasar lelaki penuh tipu daya!!!"


(To be Kuncenued)

-71-
13
SEASON FINALE

Malam itu saya nginep di rumah Pakdhe di kota


Wonosobo. Alasannya sederhana: Besok pengumuman
Sipenmaru! Lho, apa hubunganya Sipermaru dengan nginep?
Gini lho sodara-sodari yang sok milenial, saya tinggal di
kecamatan terjauh dari ibukota kabupaten Wonosobo. Meski
masih termasuk Indonesia. Indonesia bagian kemringet.

Deskripsi kampung saya menurut BPS adalah: Adoh ratu


cedhak watu. Adoh lonceng cedhak celeng. Adoh pupur
cedhak kapur. Tapi yang paling kritis adalah ... adoh koran
cedhak doran (gagang pacul). Ya, gara-gara gak ada koran
itulah, saya bela-belain ngungsi ke kota. Maklum the one and

-72-
only media pengumuman Sipenmaru saat itu, ya cuma koran.
Mau pakai radio atau tivi, gak mu'in lah ... karena pasti
penyiare lambene berbusa kaya deterjen B-29 jika harus baca
nama yang diterima satu per satu. Hehe ...

Pagi sepagi-paginya saya sudah mruput ke Toko Buku


Sukirman Jl. Sudagaran, Wonosobo. Eh, gerombolan si Berat
ternyata sudah ada di sana.

"Aku bar sahur langsung ke sini!" kata Aris.

"Aku sejak tengah malam," ujar Unang tak mau kalah.

"Lha kamu, So?" tanya saya ke Tarso.

"Sejak zaman penjajahan aku sudah di sini!" ujarnya


ketus.

Kami pun mrenges bersama. Sudah lama kami rindu


peringisan begini. Konon menurut sas-sus, toko Sukirman
adalah agen Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat yang
bukanya paling pagi di dunia. Tapi ternyata kabar itu bohong
belaka. Buktinya sampai jam 07.07 belum buka juga tokonya
Mbah Kirman.

"Untuk edisi Sipenmaru ini korannya baru selesai dicetak


jam 04.00. Sudah dikirim tapi belum sampai sini," kata
penjaga toko dari balik jendela.

-73-
Wadooww ... padahal yang ngantri sudah berjejal-jejal.
Ada seratus orang lebih. Mayoritas orang tua-tua (bapake,
ibuke, like, pakdhe, kakak, tetangganya si calon mahasiswa).
Dan.. saya yakin, semua belum sarapan!

Jam 09.21 koran Suara Merdeka baru datang. Tapi ya


amplop ... cuma dikirim 10 eksemplar! Itu pun harga per
eksemplarnya Rp1000. Wah, mahal bingit! Padahal biasanya
maksimal Rp50. Sementara kabar terakhir, Kedaulatan Rakyat
sudah habis diborong wong Yogya begitu keluar dari regol
percetakan. Yang luar kota dipersilahkan ngemut jari. Kakek-
ane tenan!

Hanya butuh 10 detik, koran edisi khusus itu sudah habis


dibeli barisan antre terdepan. Mangkelke meneh, mereka gak
sudi mendelokkan sedikit pun koran itu pada yang lain. Malah
seorang ibu yang dapat duluan, langsung memasukkan kertas
berharga itu ke balik kutangnya. Yaahh ... siapa yang berani
menjarah kalau sudah masuk ke safe deposit yang itu?

Tak pelak kami pun bercericit tak puas. Untunglah si


empunya toko berbaik hati menempelkan satu eksemplar
(koran jatah Mbah Kirman sendiri) di pintu toko. Tapi karena
lembar pengumuman Sipenmaru formatnya bolak-balik dan
yang baca rebutan, walhasil dalam waktu singkat koran itu
pun sukses tercabik-cabik.

-74-
Duh, saya pun terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Mau tahu nasib aja sulitnya begini. Bingung juga, mau lihat di
mana lagi nih pengumuman?

Saat sedang termangu di perempatan, tiba-tiba seorang


anak seumuran SMP nyamperin saya.

"Sipenmaru, Mas!" katanya sambil menyodorkan koran


yang tebalnya minta ampyun.

Wah, pucuk dicinta ulam disayang. Kok dia punya?

"Berapa, Dik?" tanya saya cepat.

"Rp2.500, Mas."

"Wuiikk ... mahalnya!"

"Santai Mas ... Gak beli juga gak papa, kok Mas," ujarnya
sambil ngeloyor pergi.

Eiitt! Terpaksalah saya rebut, bayar jreng, gak pakai


patung. Weh, bakat bisnis juga ni anak, atau tepatnya bakat
makelar ...

Sampai di rumah Pakdhe, koran saya beber di lantai. Mata


langsung action mencari nama saya. Tentu yang pertama saya
cari adalah PUML 45 (UGM) Jurusan Teknologi Industri

-75-
Pertanian. Ada 60 orang yang diterima, dan nama saya ... tidak
ada!

Saya scroll berulang-kali, tetap saja nama saya nihil. Ah,


mosok sih, saya gak keterima di Yujiem? Lalu apa gunanya
saya melucu selama ini? Trus ngapain si Mbah yang di sumur
Kuncen mbisiki saya, "lulus ... lulus„". Pasti dia khilaf!
Nyatanya saya dapat predikat yang biasa nongol di undian
permen ndhog cecak: Anda belum beruntung!

Tak sabar mata langsung pindah ke PUML 43 (UNDIP)


Jurusan Teknik Mesin. Ada 55 yang diterima. Tapi lagi-lagi
nama saya absen! Ada nama Gunarto di sana. Selisih sedikit
dengan nama saya. Tapi jelas bukan salah ketik karena nama
depannya Seto.

Sambil deg-deg plas, saya buka PUML 44 (UNS) Jurusan


Komunikasi. Ada 80 yang diterima. Dan nama saya
bertengger di angka 50. Saudara-saudara saya sudah ribut
kasih selamat. Tapi saya masih mbidheg seperti tiang listrik.
Bukannya tidak senang diterima di UNS, tapi sedih karena
saya tidak bisa membobol pintu UGM.

"Yoh, rapapa. Kali ini dikau lepas dari genggamanku.


Tapi kapan-kapan, aku pasti berlabuh di persadamu ... Hai,
UGM!" tekad hati saya.

-76-
Malamnya, saya baru tahu bahwa cuma Aris yang berhasil
masuk UGM (MIPA). Unang tereksitasi ke Unpad, dan Tarso
singgah di Unsoed. Cocok dengan mimpi saya.

"Lulus„" tiba-tiba bisik lirih itu terdengar lagi.

Saya hafal betul, itu suara si Embah yang di sumur


Kuncen!

Tapi, kok ada di sini?


(Fin)

-77-
W 4 G

-78-
1
WAITING FOR GAMA

Akhirnya masuk juga saya ke UGM. Tapi yang ini


kependekan dari Universitas Geblas Maret. Saya tetap
menamai kampus di Kentingan Solo itu dengan nama UGM.
Ra matching ya ben! Karena di hati saya, kuliah itu ya UGM.
Liyane mung "seperti" kuliah ...

Sumpah, susah bener move on dari Gama yang


Bulaksumur. Padahal saya baru ngambah Sekipnya doang!
Gimana yang udah ngalamin kuliah di sana, pasti ngethel
cintrongnya kayak kerak di silit wajan. Wajar lah kalau pada
gak lulus-lulus. Lha wong masuknya aja susah kok dicepetin
keluarnya ... Mendho, kan?

-79-
Awalnya saya kehilangan semua. Terutama gerombolan si
Berat yang asyik-asyik menggathelkan. Candanya itu lho yang
susah dicari benchmark-nya. Juga segala jenis gangguan di
rumah Kuncen yang bikin kecanduan. You will never scare
me anymore, Kids! Dan tanpa kalian hidup terasa terlalu
normal belaka, gak ada prindang-prindingnya! Tapi urip ki
mung mampir ngombe (sekadar numpang minum. Note:
mulane rasah kaget yen akeh wong teler!)

Bagi saya "seperti kuliah" di UNS hanyalah spasi,


sebelum ketemu titik di UGM. Entah berapa panjang spasi itu,
tergantung yang punya mesin ketik nasib.

Hari pertama yang saya lakukan tentu cari kos. Sengaja


saya cari yang mirip-mirip Kuncen: dekat kuburan. Bukan
soal sok berani, tapi ini soal ideologi pengiritan. Makin dekat
kuburan, biasanya harga kos makin jatuh. Bahkan yang masuk
wilayah kuburan, bisa gratis, seperti rumah Kuncen dulu.

Akhirnya saya dapat juga kos di pinggir Bongpai (kuburan


Cina) Tegalkuniran, masuk wilayah Kec. Jebres, Solo Kota.
Soal tarif ya murah tenin. Jika tarif kos yang lain sebulan
Rp7.500 - 10.000 for free (artine ra entuk mangan-ngombe), di
sini cukup ngrogoh kocek Rp5.000 sudah inklut sarapan dan
minuman gratis wedang putih sepanjang hari.

Yang saya suka, aura mistisnya sangat mirip dengan


rumah Kuncen. Sama-sama kuno, bahkan lay-outnya pun

-80-
mirip. Ada nisan (meski yang ini jenis bongpai) di depan
rumah, ada sumur (tapi jenis timba kerekan), dan ruangannya
besar-besar.

Yang beda, di sini gak dipakai untuk ngaji. Selain itu, ada
dua kucing hitam candramawa yang jika malam matanya
berkilat-kilat seperti senter. Daann ... letaknya hanya beberapa
meter dari tungku krematorium (tempat pembakaran mayat)
Jebres. Jika ada mayat dikremasi, suara plethus-plethusnya
kedengaran sampai kamar. Bau sangitnya juga.

Soal cari kawan, saya termasuk supel. Hanya dalam dua


hari promosi, saya sudah punya gerombolan baru penghuni
kos Tegalkuniran. Anggotanya Teguh, Hari, Maryono, dan
Jayus. Mereka berempat (lima dengan saya) adalah para
Gondes yang semua telah menjadi mantan sebelum sempat
jadian dengan UGM. Sama-sama korban pilihan pertama yang
tak tergapai. Hiks ...

Untunglah kami semua tergolong anggota partai Kai Pang


(sebutan kami untuk mengganti kata mlarat). Jadi soal selera
yang murah-murah ya satu jiwa. Untungnya lagi, preambule
konstitusi yang kami anut sama: “Bahwa ngekek adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu segala bentuk
keterlaluseriusan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikelucuan dan peringisan!” (Ini adalah thriller an extended
version of Kuncen. Mohon masukan apakah menarik untuk

-81-
dilanjutkan? Jika tidak ya stop saja sampai di sini. Aku ya
kesel nulise je, Ndess! Hehehe ...)
(To be W4Ginued)

-82-
2
NYAH REWEL

Solo terbuat dari kenangan, angkringan dan insomnia.


Jarene. Tapi khusus wilayah Kentingan, tempat kampus UNS
berada, definisi itu harus ditambah dengan kalimat: plus
mrinding ala kadarnya.

Bagaimana tidak? Tiga perempat wilayah Kentingan yang


luasnya sekitar 100 hektare dulunya adalah makam. Campuran
makam Islam, Kristen, dan Cina. Tak heran berbagai cerita
horor terkait tempat itu sudah berseliweran sejak hari pertama
saya kuliah. Yang paling legendaris tentu kisah Nyah Rewel,
arwah noni cantik yang makamnya ogah dipindah dari bumi
Kentingan.

-83-
"Waktu makamnya digusur dulu, mesin buldozer langsung
mati. Ganti buldozer lain, operatornya yang nggeblak
kesurupan. Ganti operator, mandornya yang pingsan. Begitu
berulang-ulang," kojah Kang Trisno, pengayuh becak tugu
Cembengan Jebres yang mengaku saksi mata kejadian itu.

"Akhirnya makamnya gak jadi dipindah, malah dibangun


bagus, di dekat Fak. Sastra sana."

Menurut cerita para mahasiswa senior, wilayah kerewelan


Nyah Rewel memang sangat luas, meliputi KKS (Kampus
Kentingan dan Sekitarnya). Kadang ia menakuti orang yang
sedang berkaca di Fak. Sastra dan Fisip. Suka ikut tampil di
bayangan cermin. Ya karena itulah cewek-cewek pada gak
berani ngaca sendirian di kampus karena takut bayangan.
Selain bayangan mantan tentu saja. Yang cowok juga, takut
ngaca, kalau ini alasannya karena khawatir kelihatan jeleknya.

Lain waktu beliaunya dilaporkan tampak bergelayut dari


pohon ke pohon sekitar Fak. Hukum dengan jubah putihnya
yang nglembreh ke mana-mana. Atau berayun-ayun santai di
pohon beringin dekat FKIP.

Hadeehh ... Jindul ik! Kok mak prinding ya aku nulis iki
...

Gak cuma itu, ia juga dikabarkan suka iseng nyasarke


tukang becak ke tengah makam dekat kampus. Pura-pura

-84-
suruh ngeterke, tapi becake diarahkan ke jalan mokal gang
mustahal sampai terjebak nisan gak bisa keluar.

Tapi yang bikin giris, suara ketawanya sering nyekikik


kedengaran sampai di Gedung Pusat. Konon Pak PR III saat
itu pun pamit kalau diminta stay sendirian di Gedung Pusat.

Weh, yen tak pikir-pikir, energik, multitalenta, dan kuat


tenan ya Nyonyahe iki ...

Mosok dulunya dia Nyonya Meneer yang kuat berdiri


sejak 1918? Tapi itu kan baru sebatas cerita. Biasa lah ...
orang kalau cerita lelembut itu gegedhen empyak kurang
cagak. Lebih besar bohongnya daripada nyatanya. Jadi ya saya
santai saja menanggapinya ...

Sampai suatu siang sehabis kuliah, saya mengalami


kejadian tak terduga. Saat menyeberangi koridor ruang kuliah
di tengah gerimis, tiba-tiba saya melihat sosok perempuan
berbaju putih duduk di pojok depan Sekretariat Mahafisippa
(Mahasiswa Fisip Pecinta Alam).

Awalnya saya kira mahasiswi yang lagi nunggu


gebetannya. Sepintas terlihat sangat cantik. Seperti Indo
campur Cina gitu. Rambutnya panjang ngandhan-andhan.

Tapi setelah saya amati dari samping, wajahnya yang


tertunduk terlihat sangat pucat bahkan hampir seputih kapas.

-85-
Baru saja saya dekati, tiba-tiba plas ... hilang ... menyisakan
bau wangi yang menyengat.

Dheg! Sadarlah saya bahwa saya baru saja ketemu dengan


legenda kampus ini. Sungguh beruntung! Gak semua orang
lho diberi kesempatan jumpa dengan beliaunya. Di siang
bolong, lagi! Sejak itu saya percaya seratus persen bahwa
Nyah Rewel memang eksis adanya. Soal mengapa berkenan
menemui saya, wallahu a'lam. Sekadar say hallo, atau ada
maksud lain?
(To be W4Ginued)

-86-
3
HIK MBAH MAIDO

Solo tanpa hik (angkringan) bagai sayur tanpa sayuran.


Artinya, gak eksis blas!

Sepertinya, malam Solo memang diciptakan untuk


penggemar kulinernya para kuli ini. Tak heran, begitu
matahari surup, ratusan angkringan sudah tergelar di seantero
Solo Raya.

Tapi hik tanpa mahasiswa, jelas iseng belaka. Karena para


mahasiswa lah para hikers sesungguhnya, yang dihidupi dan
menghidupi hik. Merekalah yang membuat Solo dilanda
insomnia. Meski cagak meleknya sekadar segelas kopi yang
pesennya jam 21.00 habisnya jam 03.30. Hahaha ...

-87-
Di antara angkringan di KKS, yang paling sohor tentu
hiknya Mbah Maido. Karena cuma di hik inilah pembeli bisa
menikmati nasi kucing sambel teri, ndhog sambel, gorengan,
sate telur plus wedang kopi jos, es teh, kopi, susu atau jahe
dengan bonus ... grundelan dan pisuhan! Yup. Tak seorang
pun tahu siapa nama tukang hik yang mangkal di depan pabrik
Indo Moto Jl. Kol. Sutarto itu.

Nama Maido muncul karena tabiatnya yang suka maido


(mengomeli) pelanggannya. Bahkan kalau sedang PMS (Pas
Moodnya Sensi), ia juga suka misuhi siapa pun yang datang
dengan pisuhan khas Solo yang halus bak jelly tapi menusuk
dalam hingga ke tulang.

Contohnya kalau dia sedang merokok. Ada pelanggan


datang bukannya disambut, tapi malah dicuekin secuek-
cueknya. Kalau ada yang order, "Mbah, obongke (bakarkan)
tahu dong!", langsung disambar, "Siiik! Matamu picek (buta)
ya, kan aku sedang udut!"

Gak cuma itu, masih disambung, "Kalau gak sabar, cari


hik lain sana! Aku gak patheken kok kalian gak jajan di sini!"
Hahaha, tooop!!

Pesan minuman juga harus satu-satu. Tartil kaya baca


huruf hijaiyyah. Gak bisa: "kopi 1, susu 3, teh 2, jahe 4, es teh
3." Kalau pesannya begitu, siap-siap saja dibikinkan es teh
semua! "Nih, tak gawekke es teh kabeh!" Sudah gitu masih

-88-
diancam, "Kalau gak diminum, awas kalian! Tak bunuh satu-
satu! Biar pengalaman seperti apa rasanya mati!" Hahaha ...
mati kok buat pengalaman!

Tapi sumpah, kami sama sekali tidak marah atau sakit hati
dipisuhi begitu. Hanya ngakak tak berkesudahan. Bahkan
ironisnya ada rasa kangen jika sehari saja tidak dipaido.
Seperti ada yang hilang dari episode hidup hari itu. Maka
kalau sudah jam 23.00, sudah pasti ada saja yang ngajak,
"Maido sik, yuk!"

Malam itu sepulang dari Maido pukul 01.15 saya langsung


kembali ke kamar. Saat mau buka pintu, kucing hitam
candramawa piaraan Ibu kos yang nongkrong di depan kamar
saya tiba-tiba menggeram. Matanya tajam menatap saya.
Mulutnya terbuka memperlihatkan taringnya. Cakarnya keluar
siap menerkam. Ekornya mencuat ke atas, sementara tubuhnya
ditekuk meninggi seperti huruf "n" dan bulu-bulunya berdiri.

Saya tahu, kucing adalah makhluk yang paling peka


terhadap kehadiran lelembut. Tapi mengapa kucing itu
menatap saya dengan pandangan mengancam? Apakah di diri
saya ada yang menakutkan di matanya? Jujur, baru pertama ini
saya bergidik ngeri melihat ekspresi seekor kucing.

Sebelum saya tahu apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba


si Pus menerkam saya. Refleks saya meloncat masuk kamar

-89-
sambil menutup pintu. “Duer!” Tubuh kucing hitam itu pun
menabrak pintu.

“Slameett!” desis saya sambil mendekap dada yang


mengkab-mengkab. Antara terkejut dan kaget. Eh, sama saja
ya. Maaf.

Tapi hati ini bertanya-tanya. Ada apa dengan saya? Kok


kucing saja sampai menganggap saya sebagai musuh? Saya
menduga yang dia serang sejatinya bukan saya, tapi sesuatu
yang menempel di badan saya. Tapi apa atau siapa? Wong
saya sendiri gak mudheng, bahwa ada yang aneh di diri saya.

Tapi sejak kejadian malam itu, saya jadi gak lagi percaya
seratus persen sama kucing! Bahkan sampai sekarang saya
agak-agak parno kalau ketemu kucing, especially jenis yang
menjadi merk batere Eveready. Jangan-jangan dia agen
lelembut yang lagi menyamar ...
(To be W4Ginued)

-90-
4
SOSOK PUTIH

Malam itu Teguh mengetuk pintu kamar saya. Wajahnya


seperti penuh tanda tanya, titik, koma, dan tanda seru.

"Ndes ... sak jane wong tuwa sing sok nginthil dirimu itu
siapa?" tanyanya serius.

"Ha ... orang tua yang mana? Anggur tjap orang tua?" saya
balik bertanya heran.

"Orang tua yang ke mana-mana ikut kamu, Ndes. Tak kira


bapakmu."

-91-
Saya garuk-garuk kepala. "Beja temen bapakku gelem
ngeterke aku kuliah, Ndes. Aku ini sejak SD dah dilepas
seperti embek. Ke mana-mana sendiri."

Tapi Teguh bersikeras bahwa sosok yang dilihatnya


memang lelaki menjelang sepuh. Ia lalu menjelaskan detil
orang tua yang dia lihat: Pakai peci putih, baju putih, sarung
putih, rambutnya pun putih ...

"Sik ... sik ... kamu serius ta, Ndes?" kejar saya.

Teguh manggut pasti. Cah Rembang yang punya indra


keenam, ketujuh, kedelapan, dst ini memang layak dipercaya.
Ia kalau bicara sangat serius seperti Newton. Dengan catatan:
kalau lagi gak kumat mencleknya ...

Mak tratab ... tiba-tiba saya ingat suara bisik-bisik di


Kuncen dan di rumah Pakdhe Wonosobo. Masya Allah ...
benarkah simbah penjaga sumur itu mengikuti saya sampai ke
Solo?

"Kowe kok bangeten ndablege ta, Ndes. Mosok didhereki


kok ra mudheng?" gerutu Teguh.

"Sumpah, aku ndak tahu, je, Guh."

"Hati-hati saja. Bangsa alus itu nggak konsisten."

-92-
Tapi kata-kata Teguh terpaksa saya abaikan. Karena yang
saya rasakan, justru si Embah ini kesannya melindungi saya.
Yang masih jelas terbayang ya kejadian semalam, saat saya
ditubruk kucing candramawa yang ketempelan makhluk
embuh.

Sejatinya yang menutup pintu itu bukan saya, tapi sosok


putih yang tiba-tiba berkelebat menarik daun pintu hingga
terkatup.

Ah, saya jadi ingat saat beliau melecut semangat saya


yang nyaris patah arang menghadapi Sipenmaru dengan
bisikan "Lulus". Dan nyatanya saya lulus beneran, meski
bukan di tempat yang saya favoritkan. Tentu Allah yang
meluluskan saya. Tapi mantra "Lulus" yang ia ucapkan
mampu membuat saya pede habis saat melahap soal-soal
Sipenmaru.

Jujur, saya berhutang budi pada sosok putih itu. Tapi saya
sendiri tidak bisa melihat dan atau bertanya siapa sejatinya
beliau, dan mengapa bersusah-payah mengikuti saya sampai
Solo. Gak mungkin lah kalau cuma mau nyari hik, ya, kan?

Rasa penasaran membuat saya mencoba berkomunikasi


dengan mata batin untuk mencari tahu siapa sejatinya yang
menginthili saya itu.

-93-
Jam 01.00 saat yang lain berangkat me-Maidokan diri,
saya justru mulai kontemplasi. Saya awali dengan wudlu,
shalat sunah dua rakaat, lalu disambung dzikir panjang.
Lampu kamar sengaja saya matikan.

Awalnya agak mudah memusatkan pikiran. Tapi lama-


lama ada saja gangguan datang menyerang.

Gangguan pertama adalah suara Jeff, mahasiswa jurusan


Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia asal Perancis, yang
sedang latihan "suluk" di kos sebelah. Sumpah, olah vokalnya
super berantakan, ditambah logatnya yang cadel bin pelo,
membuat saya tak kuasa menahan tawa. Duh ... latihan
ndalang kok jam segini ...

Baru semenit suara Jeff berhenti, terdengar suara cowok


dan cewek sedang mendiskusikan sesuatu dekat jendela.

Jindul ik ... tibake sopir truk gudang Pedaringan sedang


nyang-nyangan rego apem! Tentu yang ini membuat saya
misuh-misuh entek-amek kurang golek, meski cuma dalam
batin.

Syukurlah habis itu suasana kembali kondusif. Mata


kembali saya pejamkan. Madhep suku tunggal nutupi babahan
hawa sanga (menghadap yang satu menutup seluruh indra
yang sembilan). Tak terasa saya berada di alam layap-layaping
ngaluyup (antara sadar dan tak sadar).

-94-
Sekonyong-konyong saya melihat sesosok lelaki persis
seperti yang digambarkan Teguh sedang duduk di kursi
kamar. Wajahnya sederhana namun berwibawa. Kebapakan.

"Nuwun sewu, panjenengan sinten? (maaf, Anda siapa?)"


sapa saya takzim.

Ia tak menjawab sepatah kata pun. Hanya tersenyum


sekilas, kemudian menghilang ... karena terusik suara
jegigisan Gondes-gondes yang baru pulang dari Maido.

Wah, rusak sudah permenungan saya ...

"Ndeess ... tangi, Ndess!!" teriak Hari sambil nggedor-


nggedor pintu kamar saya.

"Ada apa?" tanya saya bersungut-sungut.

"Kabar baik. Hik Maido ada diskon, all item. Bakule


ulang tahun!" cericitnya.

"Memange berapa diskonnya?"

"Harga tetap. Cuma gak pakai omelan dan pisuhan."

Woo ... lha malah ora payu no. Wong sing digoleki cah-
cah itu pisuhannya kok!
(To be W4Ginued)

-95-
5
PMS

Sekaya-kayanya saya, tetap saja dilanda PMS (Post Mid-


month Syndrome). Artinya, lewat tanggal 15, hati pasti galau
seperti mbak-mbak yang lagi "dapet". Bedanya, galau mbak-
mbak diikuti rasa ingin ngremus kursi, sedangkan galau saya
disertai mikir pijimana caranya menjembreng duit agar bisa
sampai akhir bulan.

Bagaimana tidak? Kiriman saya sebulan cuma Rp25.000.


Itu pun Tempo: tempo-tempo datang, tempo-tempo kagak.
Untuk bayar kos Rp7.500. Dus tinggal sisa Rp17.500. Dibagi
rata 30, jatah untuk survival per hari cuma Rp583,3, atau
Rp194,4 per madhang! Padahal nasi kucing di Mbah Maido

-96-
saja sudah Rp100 per eksemplar ... eh, bungkus. Maaf salfok,
habis bungkusnya koran, sih!

Ehh ... iku durung nganggo lawuh lho, Ndess! Juga belum
pake minum. Ya mosok setiap makan cuma nasi 1 ¾ bungkus
polosan, karo ceguken berkelanjutan? Rak ya ora lucu ta,
Ndess!

Celakanya bagi Cah nggunung, mangan sego siji jelas


kurang, sementara arep mangan loro, alarm anggaran pasti
berbunyi nyaring. Ini sungguh dilema yang menggiriskan bagi
seorang badoger seperti saya.

Pepatah “Ibarat makan buah simalakama: dimakan Ibu


mati, tidak dimakan Ayah meninggal,” pun tak ada apa-
apanya dibanding kebimbangan terkait per-segoan ini.

Di pepatah masih pasti makannya, walau cuma buah. Lha


ini nasinya tersedia, tapi gak berani makan ... Yungalaah ...

Duit Rp25.000 itu kalau saya ibaratkan, “Seperti sarung


kekecilan yang dipaksa untuk kemulan. Ditarik ke atas, kaki
kelihatan. Ditarik ke bawah, kepala kedinginan.” Yawis,
pilihannya yang paling rasional ya gak usah tidur, atau gak
usah sarungan sekalian. Hehehe ...

Tapi pada saat kritis seperti itu, The Power of Kepepet


biasanya Auto On. Ada saja akal supaya bisa lolos dari jerat
lapar. Adalah Jayus yang punya ide brilian ini.

-97-
"Ndes ... setiap ada kremasi di Tiong Ting kan selalu ada
pesta penghormatan," ujarnya di suatu tanggal "uwanen"
(kami menyebut tanggal 15 ke atas sebagai tanggal uwanen,
yang artinya tanggal beruban alias tanggal tua).

"Betul. Lalu?" kejar Maryono.

"Wah, gak cerdas blas! Kita pura-pura jadi kerabat si


Mati."

"Lalu?" saya yang penasaran ikut nimbrung.

"Ya ... kita kan bisa ikut makan-makan gretongan!"

Waah, kok ya lantip betul otak si Jayus ini. Kok gak dari
dulu ngomongnya!

"Ya udah, ayo dandan. Tadi kulihat ada yang mau


dikremasi. Kayaknya tauke kaya. Panganane mesthi numero
uno. Ayo gek budhaal! (Ayo segera berangkat)."

Kami pun semburat ke kamar masing-masing. Pakai


pakaian terbagus (bukan jaket almamater, lho ya!). Pakai
sepatu thok (resmi) yang kemarin untuk seragam penataran P-
4. Tak lupa rambut diciprat air, lalu disisir mlipis.

Gak kaya cewek yang dandannya lebih lama dari


kencannya, dalam waktu lima menit kami berlima sudah
kumpul di lobby. Eh ... emperan kos. Bayangan makan besar

-98-
membuat kami bisa priper dengan manajemen proklamasi:
“Dengan cara seksama dan dalam tempoh yang sesingkat-
singkatnya.”

Yak, kami berlima benar-benar menjelma menjadi Jacky


Chan, Liu Tek Hua, Sammo Hung, Yuen Biao, dan Jet Li.
Pendekar film kung fu yang siap menyerbu ... hidangan!

Jayus memimpin barisan dengan langkah tegap. Sampai


depan Tiong Ting, 20 meter dari pos penjagaan, tiba-tiba
Jayus berbalik arah.

"Heh, kenapa, Ndess?!" kami serentak bertanya.

"Wah, kacau ini. Yang hadir semua berkulit putih bersih,


bermata sipit!" ujarnya dengan wajah khawatir.

Kami terdiam. Saling pandang. Lalu memandang diri


sendiri. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata ...
empat orang di antara kami berkulit hitam legam dan bermata
belok. Cuma saya yang agak putih dan bermata suthup.

"Piye ki, Ndes?" kata Jayus minta pertimbangan.

"Gapapa, masuk aja. Ngaku sopirnya, pengawal, centeng,


atau pembantu si Mati kan bisa!" usulku.

Tapi walau sudah saya dorong sampai dengkek, semua


merasa gak pede.

-99-
"Wis kowe wae sing mlebu, Gun. Kami berempat pulang,"
kata empat sekawan itu sambil balik kanan ke arah kos.

Tinggal saya sendirian termangu di gerbang krematorium.


Masuk ... gak ... masuk ... gak ... Akhirnya saya putuskan
masuk.

Di portir penjagaan saya lihat tulisan nama yang


meninggal (maaf tidak saya sebut). Saya hafalkan luar kepala.

Saat menemui wakil keluarga, saya hanya bilang singkat,


"Tanpa Koh A (nama si Mati), saya tidak akan seperti ini. Sie
sie!"

Wakil keluarga mengangguk dalam sambil menepuk-


nepuk bahu saya. Setelah penghormatan pada jenazah, mata
saya langsung berpendar mencari di manakah gerangan
jamuan makan diadakan.

Sampai lelah mata ini mencari-cari, tetap saja tak saya


temukan hidangan istimewa seperti yang dibilang Jayus.

Jindul tenan kok Gondes siji iki!

Saya pun ngacir pulang membawa rasa dongkol ... dan


lapar, tentu saja!

-100-
Sampai di kos, saya disambut kawan-kawan yang ternyata
masih bergerombol di depan rumah dengan seragam
"kondangan"-nya.

"Piye Ndes ... enak-enak panganane?" celoteh mereka.

"Enaaakk!"

"Banyak ya, variannya?"

"Banyaaak!"

"Kok gak mbungkus?" protes Jayus.

"Mau ta, kamu? Sini!" ujar saya.

Tepat ketika Jayus mendekat, angin di lambung saya yang


kosong mendesak keluar dengan kecepatan supersonik. Semua
semburat lari sambil misuh-misuh. Itulah hasil lapar yang
tertunda!
(To be W4Ginued)

-101-
6
TRAGEDI PPO

Sudah tak bedhek sebelumnya, kawan-kawan pasti akan


banyak mengalami hil yang mustahal di kos Tegalkuniran ini.
Ibarat orang kecepit, tinggal nunggu njeritnya saja.

Berdasar survei virtual saya, tempat ini sungguh


nyalawadi. Mulai beranda sampai dapur, mulai teritis sampai
sumur, semua mengandung hawa gaib. Metode verifikasinya
adalah dengan menghitung seberapa sering bulu lengan saya
bergidik. Dan itu sering sekali. Celakanya, hanya saya dan
Teguh alias Tekek yang terbilang tahan jirih. Sementara
lainnya semua penakut kelas parah. Apalagi Hari alias Mitro.

-102-
Busyet ... ada suara kupu-kupu di jendela saja sudah pucet dia
...

Kejadian aneh pertama dialami oleh Maryono alias


Meyek. Sore itu menjelang maghrib ia sedang siap-siap
mandi. Seperti biasa, sebelum mandi pasti kudu nimba air
dulu untuk mengisi kolah (bak mandi).

Saat masuk bilik yang ada sumurnya, tiba-tiba ia


terjingkat. Di atas palang kerekan timba, ia melihat ada benda
seperti karung tersampir di situ. Tapi jelas bukan karung,
karena bentuknya lebih panjang dan warnanya putih.

Sebelum jelas benar apa yang ia lihat, mendadak benda itu


merosot jatuh ke dalam sumur, lalu berdebum meninggalkan
suara "Bluungg!" dan kecopak air yang menggema di seantero
kos.

Jayus yang kamarnya paling dekat sumur langsung lari


mendekat sambil bertanya gugup,

"Yeeekk, apa yang jatuh?!"

Tak ada jawaban.

“Wah, pasti si Meyek kecemplung sumur!” batin Jayus.

-103-
Bergegas ia melompat ke arah sumur. Tapi langkahnya
terhenti ketika melihat sesosok tubuh kerempeng tergeletak di
samping padasan (gentong untuk wudlu). Tubuh si Meyek!

"Tuluuung! Tuluung! Meyek semaput!!" teriak Jayus.

Tak pelak kami pun langsung menghambur ke arah suara


teriakan. Orang-orang kampung yang mendengar kehebohan
itu pun ikut datang merubung. Semua berupaya mengangkat
tubuh Meyek ke kamar Jayus. Tapi karena kebanyakan yang
ngangkat, malah hampir jatuh terlempar.

Melihat itu, Mitro yang berbadan gempal langsung turun


tangan.

"Sudah ... minggir semua! Biar saya saja yang angkat!"

Nyeng ... sekali cengkiwing badan Meyek yang sedang


pingsan total itu langsung terbang. Terang saja, wong anak
Bojonegoro itu beratnya cuma 39 kg. Pasti balitanya dulu
KMS-nya berada di garis merah karena kurang gizi.

Wajah Meyek yang tirus itu tampak pias. Matanya


terkatup rapat. Bibirnya membiru. Eh, ini karena kebanyakan
ngisep Gudang Garam, ding!

"Minyak! Ambilkan minyak angin, cepat!" ujar Jayus.

-104-
Saya ingat masih punya Pak Pung Oil (PPO) yang terkenal
ampuh mengusir masuk lesus. Segera saya ambil, saya buka
tutupnya, dan isinya saya oleskan ke hidung Meyek.

Saking semangatnya, saat mau mblonyohi dadanya, botol


PPO itu jatuh di perutnya. Isinya luber ke mana-mana. Kena
efek bau PPO yang aduhai, sejenak kemudian mata Meyek
kriyip-kriyip. Siuman. Melek. Sadar, lalu duduk.

Ia terheran-heran melihat puluhan orang merubungnya.

"Ini ngapain, kok pada kumpul di sini?" tanyanya polos


sambil tolah-toleh.

"Yaelaaahh ... nonton awakmu, Ndess!!" ujar saya


spontan.

Para perubung nyekikik sambil pergi satu per satu. Semua


lega, karena yang tadi tumbang sudah tereliminasi dari daftar
calon almarhum.

Saat yang di kamar tinggal kelompok Lakon, tiba-tiba


Meyek njenggirat bangun, mendesis, lalu memegangi
selangkangannya.

"Ssssh ... Panaass! Panaass!" teriaknya.

-105-
Tak lama kemudian ia menyambar diktat kuliah Pengantar
Sosiologi. Memelorotkan celananya, lalu mengipasi bagian
"pesawat pribadi"-nya dengan diktat itu bertubi -tubi.

"Sshhh ... panaaass!!

Jinduull ... sopo ki mau sing minyaki t*t*tku??!!" jeritnya.

Kami bubar sambil menahan tawa ...

Sebelum si Pemilik tubuh wayang itu dilanda angkara


murka ke si Penumpah bala, mending saya nggendring ke
kamar. Pintu saya kunci. Aman dweeh ...

Tapi malam itu saya kepikiran, buntalan putih apa


sebenarnya yang dilihat Meyek? Mosok pocongan? Kalau iya,
kok kurang kerjaan betul sampai menyampirkan diri di
palang? Lalu ngapain juga bersusah payah nyemplung sumur?
Gak takut kedinginan? Wis, embuhlah! Tinggal tidur gasik
saja. Nanti jam 01.00 bangun untuk ngapeli Maido.

Lumayan juga energi yang keluar untuk PPPK tadi. Harus


diganti dengan tiga eksemplar nasi kucing, nih. Si Meyek pasti
mau mbayari. Tinggal bilang saja, "Besok setiap mandi saya
tunggui." Hihihi ...

Belum lagi mata terpejam, tiba-tiba terdengar Hari Mitro


menggedor-gedor pintu.

-106-
"Ndes ... aku tak turu kene (tidur sini), ya ..." ujarnya
begitu pintu terbuka.

"Laah ... memange ada apa?"

"Anu je, Ndess ... kamarku bau darah ..."

Hah ... yang bener?"

"Iya, Ndes. Sejak sore tadi. Bau darah segar yang anyir
seperti bau habis kecelakaan, gitu."

Weeh ... kok ya ada-ada saja fenomena di rumah ini.

"Ya udah, gini aja, tukeran. Aku tidur di kamarmu, kamu


tidur di sini," usul saya.

"Wah, takut Ndes. Tidur bareng kamu saja ..."

Saya cuma bisa menghela napas panjang.

Hhhh ... Dalam batin, saya berdoa: Semoga si Mitro ini


tidak jadi Tarso kedua yang suka main peluk sembarangan.
Jijay, Ndessss!
(To be W4Ginued)

-107-
7
CATATAN "SIPIL"

Ini urusan akuntansi: catat-mencatat. Pembukuannya rapi.


Penulisnya ybs sendiri, ya para Gondes penghuni kos
Tegalkuniran. Judul bukunya: Daftar Utang Makan Anak Kos.
Yang punya buku Bu Wardi, pemilik Warung Ijo samping
Tugu Cembengan.

Yak. Nyathet adalah solusi jelang akhir bulan yang amat


sangat pro "Bani Lafar" seperti saya. Bagaimana tidak?
Aturannya: siapa pun dan kapan pun boleh makan di warung
Bu Wardi. Yang punya duit, bayar. Yang gak punya duit,
tinggal bukak buku sampul ijo. Nyathet nama, tanggal, dan

-108-
harga nominal menu yang masuk perut. Bayarnya ... sak
elinge! Harak jos ta, Ndess!

Awalnya saya termasuk spesies antinyathet. Mosok di


kampus nyathet, di warung nyathet juga. Kemlinthi alias
kemaki bin berlebihan kuwi, jenenge. Peh mahasiswa kabeh
dicatat, ben ketok ngilmiah ngono?

Tapi belakangan saya terpaksa ikut arus faham percatatan


itu. Salah saya sendiri, eh ... salah ortu ding ... yang sering
tidak ngirim jatah bulanan. Uang kos kadang tak terbayar.
Dampaknya, sarapan pagi yang seharusnya inklut paket kamar
kadang diembargo Ibu kos. Duit tipis sisa bulan lalu pun
terpaksa diincrit-incrit sekadar agar bisa survival.

Untunglah ada Bu Wardi yang baik hati, suka menabung,


dan tidak sombong. Amalannya menerbitkan buku ijo bagi
kaum duafa sungguh mulia. Pasti waktu kuliah dulu Bu Wardi
pernah ngrekoso juga. Anyway lah ... Yang jelas kreativitas
beliau telah menyelamatkan generasi muda Tegalkuniran dari
kepunahan!

Sayangnya, pelayan warungnya yang namanya Susi


(lengkapnya Susiyem, asli Wonogiri) tak seramah induk
semangnya. Judesnya sak alaihim. Ia suka njegadhul kalau
lihat catatan para Koster mulai memenuhi halaman buku ijo.

-109-
"Itu cathetanmu wis sak meter lho, Mas. Mbok dicicil.
Apa nunggu panjang lagi, nglawer seperti buntut layangan?"
celetuknya julid.

Biyuh. Kalau sudah digitukan, rasanya pengin talak tiga


dengan Susi. Eh ... warung ijo. Tapi niat "mulia" itu tak
pernah kuasa dilaksanakan. Alasannya cuma satu: “Trus yen
ora nyathet, arep mangan neng endi, Ndes? Nggone Maido?
No way!”

Jujur, kami masih lebih suka ngadepi Susi yang meski


lambene kalo mecucu bisa sak meter, tapi masih kaya ada
manis-manisnya, gitu. Lha balik Maido, jangankan manis,
kecut aja enggak! Salah-salah berani ngutang di hiknya,
pulang kos malah bergelar almarhum, dicucuk pakai sunduk
sate endhog. Heheheh ...

Siang itu, untuk yang kesekian kalinya, saya terpaksa


"harus" makan di warung Bu Wardi. Sudah tentu pakai
metode nontunai, alias nyathet lagi nanti.

Mengingat catatan saya sudah 14 edisi, maka hati ini jadi


gojag-gajig tak karuan.

"Lapar, ya?" ujug-ujug Tekek muncul di hadapan saya.

"Pertanyaan retoris! Gak perlu jawaban! Wong yang


nanya juga perutnya kukuruyuk dari tadi," sahut saya dingin.

-110-
"Take easy man, take easy ... Follow me, please ... ayo
kita kemon," ujar Tekek keminggris, sambil menggamit
lengan saya.

"Ke mana?"

"Madhang!"

"Iya tahu. Tapi di mana?"

"Bu Wardi."

Hah! Tentu saya terperanjat, karena setahu saya catatan


Tekek jauh lebih panjang dari milik saya. Kok pede banget dia
...

"Eh, tapi ... anu je, Ndes ..." Tekek membungkam mulut
saya sambil menyilangkan telunjuk di mulutnya sendiri.

"Just ... follow me, and never talk anymore!" titahnya.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, saya ikuti saja si Tekek


yang memasuki warung ijo sambil bersiul-siul.

Di pintu, Susi menyambut kami dengan mata berbinar dan


wajah segar. Senyumnya merekah cerah di bibirnya yang
merah. Wow, kok tumben?

"Eee ... Mas Teguh. Mau dhahar ta, Mase?" Susi


menyambut Tekek dengan senyum semanis sakarin.

-111-
“Wah, jindul ... hanya Tekek yang disapa. Aku gak
dianggep nih „” batin saya.

"Hehe ... ngantar juragan saya. Ni tolong pak Gundul


dilayani dulu!" kata Tekek sambil menuding hidung saya, tapi
matanya berkedip-kedip seperti lampu disco sor asem stasiun
Balapan.

"Ah, Mase bisa aja ..." kata Susi mendekatiku sambil


membawa piring dengan nasi munjung.

Saya yang masih terpesona suasana, cuma main tunjuk


saja. Wis, pokoke semua lauk saya tunjuk.. Walhasil, siang itu
saya makan dengan lahap sampai kemlakaren. Yang
mengejutkan, semua gratis tis. Mimpi apa saya tadi malam?

"Kok semua gratis? Susi ulang tahun, ya?"

Tekek menggeleng.

"Bu Wardi syukuran?"

Lagi-lagi Tekek menggeleng.

Ah, sak karepmu lah! Yang penting hari ini catatan saya
mandali. Gak tambah panjang.

Jam 18.30 terdengar suara pit udug (sepeda motor) masuk


halaman kos. Tampak sebuah Yamaha 70 warna biru. Saya

-112-
hafal betul, itu motornya Bu Wardi. Tapi yang nongkrong di
atas sadel adalah ... Susi!

"Mas Teguh wonten (ada)?" tanyanya ramah.

"Nggak. Kalau Tekek ada," jawab saya.

"Ya, saya cari Mas ... Tekek ... Ih, Mase ... manggil
kawannya kok begitu „" serunya tersipu.

Sebelum saya tanggapi, Tekek muncul dengan dandanan


mlipis. Bener-bener sempurna. Tak tampak sedikit pun sisa
kemlaratan dalam dirinya.

"Sik ya, Ndes ... aku meh nonton nang Dedy Theatre karo
Susi."

Woohh ...

Saya hanya bisa ngowoh menyaksikan Susi menggonceng


sambil memiting mesra pinggang Tekek.

Jindul, ik! Tibake Tekeke wis malih Boyo! Boyo full


muslihat. Gak bisa bayar utang, pelayane sing digendhaki ...
(To be W4Ginued)

-113-
8
MENDADAK ROOM BOY

Siang itu, Bu Sri, Ibu kos, memanggil saya secara khusus


di ruang tamu.

Duh ... pasti urusan penting, nih. Karena saya telat bayar
kos dua bulan.

"Maaf, Bu ... kiriman saya belum datang," kata saya


merasa bersalah.

"Ah, bukan itu maksud saya manggil Mas kemari. Saya


mau minta tolong „," ujarnya.

Ia menghela nafas.

-114-
"Mase kan tahu barang alus, paham dunia gaib dan klenik.
Tolong kamar almarhum suami saya dibuka. Isinya yang
aneh-aneh tolong dikeluarkan. Tolong sekali ya, Mas ... Sudah
setahun lebih gak dibuka ..."

"Waduh ... dari mana Ibu tahu saya ngerti barang alus dan
tahu dunia gaib?" selidik saya.

Semua teman-teman bilang begitu. Tolong ya, Mas ..."

Wooo ...

Jindul tenan. Kelompok Lakon pasti seenaknya ngasih


info yang menyesatkan kepada Ibu kos. Kalau barang alus
sebangsa tepung kanji, welut, atau pipi diciprat oli, saya tahu.
Dunia gaib juga paham, wong saya sering melamun. Itu gaib
juga, kan? Wong lamunan gak bisa dipegang. Lah ini ... tahu-
tahu sekarang disuruh membersikan barang-barang aneh dari
kamar Bapak kos yang sudah almarhum. Pora jindul kuwi,
jenenge?!

"Tapi, Bu„" elak saya.

"Sekali lagi, tolong Mas ... Hanya Mas yang bisa," Bu Sri
ngotot.

Waduuhh ... kok bisa gini ceritanya? Hambok meng-hire


paranormal profesional, apa piye gitu, lho! Lha ini malah
nyuruh paragaknormal!

-115-
Melihat saya ragu-ragu, Bu Sri langsung mengajukan
penawaran.

"Dah, gini saja, Mas ... Mas keluarin, bila perlu


musnahkan, barang barang mistis yang ada. Sebagai ganti,
uang kos Mas selama tiga bulan saya anggap lunas. Mas juga
boleh makan gratis dua kali sehari, pagi dan sore ..."

Wuiikk ... menarik ini! Bagi saya, lunas bayar kos adalah
skala prioritas nomer wahid, setelah makan, tentu saja! Tiga
bulan, Ndes ... hemat Rp22.500 + konsumsi tiga bulan (minus
maksi) hanya dengan mbersihin kamar. Why not? Apa
susahnya? Soal mistis ... dipikir keri wae!

Jumat siang itu saya jadi room boy beneran. Berbekal


kunci tembaga yang bentuknya kayak ikon film Friday The
13th dan empat kantong kresek besar, saya menghampiri pintu
kamar almarhum Bapak kos. Sendirian. Bu Sri gak mau ikut
masuk, takut katanya.

"Seumur-umur saya belum pernah masuk ke kamar itu. Itu


kamar ritual pribadi Bapak. Mendekat saja saya gak berani,"
tuturnya.

Weh, makin aneh ini. Masuk ke kamar di rumah sendiri


kok gak pernah dan gak berani. Ada apa di dalam?

Saat pintu kamar saya buka, yang pertama tercium adalah


bau kemenyan menyengat hidung ...

-116-
Lalu, ada sriwing-sriwing wangi minyak tjap Serimpi atau
tjap Air Mata Duyung ...

Suasana kamar remang-remang. Pengap. Tak ada jendela


maupun ventilasi. Penerangan hanya ada lampu plenthong
lima watt. Redup.

“Ini kamar, apa goa Selarong?” celetuk saya dalam batin.

Dari temaram lampu, terlihat di sisi kanan ada tikar


pandan. Di atasnya, ada tempat seperti tampah berisi bunga
kering dan tulang (?). Ada lagi pedupan, bejana, tempayan,
siwur, boneka nini thowok, kain putih, dan aneka macam
benda aneh yang tidak saya ketahui fungsinya. Sementara di
sisi kiri, ada lukisan bunga teratai cukup besar, potret diri
entah siapa, payung motha, dan kotak kayu.

Saat kotak itu saya buka, ternyata isinya pusaka. Ada


keris, cundrik, trisula, mata tombak ... cukup banyak. Yang
mengagetkan, saat membuka kotak itu, bulu halus di lengan
saya langsung njegrak serempak. Jelas, ini pertanda tidak
baik!

Tapi, mengingat kesanggupan yang telah saya ucapkan ke


Bu Sri, rasa miris itu saya tahan. Toh, kata Tarso, mana ada
setan makan orang. Maka saya mantapkan saja untuk terus
membersihkan kamar itu. “Bismillah, niat karena Allah ...”

-117-
Saat saya sedang memasukkan benda-benda aneh itu ke
dalam tas kresek, saya merasa ada sepasang mata yang
mengawasi gerak-gerik saya. Tapi saya cuek saja, wong
nyatanya setelah saya penthelengi gak ada siapa-siapa, kok.

Setelah semua benda di atas tikar masuk kantong kresek,


giliran saya menurunkan lukisan bunga teratai.

Ah, baru ingat, kalau tidak salah, bunga teratai itu simbol
salah satu aliran kepercayaan Kejawen. Tapi setahu saya, gak
mengajarkan ritual pakai alat-alat aneh seperti itu. Kalau ini,
menurut saya, malah lebih mirip voodo? Entahlah. Tugas saya
hanya membersihkan. Dan jujur, saya ingin tugas ini bisa
segera rampung. Takut saja tengkuk saya jadi menebal seperti
tengkuk Mike Tyson karena kebanyakan merinding.

Setelah dua jam hankamnas (bertahan di dalam kamar


yang panas), akhirnya seluruh benda berhasil saya kumpulkan
dalam tiga kelompok besar. Satu kresek besar berisi peralatan
ritual. Satu ikat besar berisi benda-benda seperti padupan,
payung, bejana dan sebangsanya. Dan satu kotak berisi pusaka
yang belum saya utik-utik.

Atas saran Bu Sri, kresek berisi peralatan ritual saya


larung ke Bengawan Solo tepat di bawah jembatan dekat
Taman Jurug. Payung, bejana, lulisan, dll akan dijual ke pasar
loak Triwindu. Sedangkan sekotak pusaka untuk sementara

-118-
dititipkan ke saya, sebelum ditawarkan ke famili almarhum
yang mau ngopeni.

Wah, mau ditaruh di mana nih, kotak pusaka? Padahal


kamar saya terbilang paling mini. Sudah sesak dengan buku-
buku. (Guayamu, Ndess! Kuliah aja cuma bawa satu buku
sekrip levis tjap 555 yang dilipet-lipet masuk saku sampai
kucel). Intinya sesak, wis ngono wae!

Saya lantas ingat, kamarnya Mitro kan seluas lapangan


futsal. Nah, kenapa tidak dititip di sana saja?

Sore itu, kotak pusaka sudah nongkrong di kamar Mitro


dengan manisnya. Sementara saya leluasa menikmati hidup
yang indah ini di suite room pribadi. Nak-nan. Baru kali ini
telung sasi ra mbayar kos. Entuk madhang, pisan!

“Maka nikmat mana lagi yang engkau dustakan?”


(To be W4Ginued)

-119-
9
PERTEMPURAN TENGAH
MALAM

Malam itu badan saya nggregesi. Sendi-sendi terasa


seperti mau copot. Kepala nyut-nyutan. Suhu badan
meningkat drastis. Cekak-cingkrangnya, saya terkena Friday
Night Fever. Beda dengan film John Travolta dengan judul
mirip yang penuh nyanyian dan tarian, badan saya justru
penuh gigilan. Demam sungguhan, Ndes!

Entah siapa yang woro-woro, berita kemeriangan saya


sontak tersebar ke seluruh ruang kos. Gak pakai lama,
kelompok Lakon sudah bergerombol di kamar saya dalam
formasi pleno.

-120-
"Bisa sakit juga ternyata kamu, Ndes. Jarene anti gores?"
Jes membuka pidato.

"Makanya ... jangan sembarangan ngobrak-abrik kamar


kos orang! Apalagi kamar mereka yang species, genus, ordo,
class, dan divisio-nya beda dengan kita," imbuh Tekek,
dengan gaya sok ilmiahnya.

"Jelas kamu itu kualat, karena dapat full diskon kamar tiga
bulan, tapi gak ngajak kita orang. Itu pengkhianatan," timpal
Meyek.

"Dan menitipkan sesuatu tanpa resi, tanpa tanda terima, di


kamar orang yang usianya lebih tua, itu juga menimbulken
keresahan," Mitro menimbrungi.

Jindul ik ... cah-cah ini sejatinya mau bezuk, apa mau


menghakimi orang sakit biar cepat mencapai naza' bin
sakaratul maut? Tapi mau protes, kepalaku terasa amat berat.
Pusing dan sakit tak terkira, apalagi jika dibawa berkata-kata.
Badan juga terasa panas membara. Untung gak ada
termometer. Kalau ada dan diukur, pasti air raksanya muncrat
dari pangkal pemindai suhu itu karena umob. Saking
panasnya, Ndes ...

Melihat saya tidak bereaksi, empat sekawan itu beringsut


pergi satu per satu. Boro-boro ninggali buah, roti ganjel ril,
atau receh ala kadarnya, mendoakan pun, tidak. Sungguh

-121-
marai soyo njarem sakite ... Cuma si Mitro yang sebelum
pergi mendekati saya sambil bertanya pelan,

"Ndes, sak jane yang kamu titipkan di kamarku itu kotak


apa, kok wangi?"

"P a r f u m ," jawab saya lemah setengah mengeja.

"Oooo ..." tukas Mitro sambil nggendring menyusul


gerombolan. Ke mana lagi, kalau tidak hang out ke Maido.

Hhhh ...

Sambil menahan sakit, otak saya berpendar. Benarkah


saya kualat? Saya yakin tidak! Lha wong saya sudah
diizinkan—malah disuruh—oleh shohibul bait, kok. Artinya,
pekerjaan saya sah secara hukum adat, perdata, maupun
pidana. Tapi yang saya bingungkan, kok tiba-tiba saya
ambruk? Padahal habis maghrib tadi saya masih sebugar
Stallone! Biasanya orang sakit itu ada early warning-nya. Ya
sumer-sumer atau gimana, gitu. Lha ini langsung akut je ...
Apakah kamar yang tertutup bertahun-tahun itu mengandung
kuman, bakteri, atau virus, yang kesaktiannya mampu
memporakporandakan benteng imunitas saya? Bisa jadi. Tapi
masa iya, dampak inkubasinya begitu hebat, langsung bikin
tubuh terkapar?

Saking tak kuatnya menahan sakit, saya terempas ke alam


amun-amun.

-122-
Sebelum sadar ini di mana, tiba-tiba saya melihat
berpuluh-puluh makhluk tinggi besar muncul di depan saya.
Tanpa permisi langsung berebut mengeroyok dan memukuli
saya. Tak jelas wajah-wajah mereka, yang saya tahu cuma
badannya buesaarr. Salah satunya yang bermata menyala,
ganasnya luar biasa.

Jab, hook, dan uppercut-nya secepat Muhammad Ali


bertubi-tubi menghajar tubuh saya. Meski saya sudah
berteriak-teriak minta ampun, pukulan, cakaran, dan
tendangan tetap menghujani tubuh saya. Sakit bener. Sampai
saya berpikir, mungkin inilah akhir hidup saya ...

Di saat kritis itu, tiba-tiba sesosok lelaki tua berpakaian


serba putih muncul dan langsung melawan makhluk-makhluk
aneh itu dengan gigih.

Sakti juga "beliau" ini. Hanya beberapa kelebat, makhluk-


makhluk itu jatuh terpental. Sisanya lari menjauh sambil
meraung-raung. Entah raungan kesakitan, atau marah.

Saat suasana kembali sunyi, saya tersentak kaget.


Ternyata saya masih berada di tempat tidur. Keringat
membasahi sekujur tubuh sampai sprei ikut basah. Badan
terasa hancur lebur seperti baru digilas sepur tumbuk, lemas
tak berdaya. Tapi panas sudah menurun.

Saat saya menengok sekeliling ...

-123-
Hah! Ternyata kamar saya berantakan! Bubrah seperti
kapal pecah. Diktat kuliah bertebaran seperti habis disebar
dari helikopter. Bahkan lemari plastik terbuka lebar dan baju-
baju berserakan di lantai. Tapi yang paling mengagetkan
adalah saat saya mencopot baju, tampak memar biru lebam
seperti bekas pukulan terpampang nyaris di sekujur tubuh
saya! Ini mimpi atau sungguhan? Kalau mimpi, kok
dampaknya nyata begini? Kalau nyata, kok kejadiannya
seperti di alam mimpi?

Tak pelak, malam itu saya harus tidur dengan tanda tanya
besar tersimpan di kepala.

Pagi-pagi benar, Tekek, Jes, dan Meyek sudah merapat ke


kamar saya. Semua berebut ingin siaran langsung
menyampaikan pengalamannya—yang tampaknya berkaitan
dengan saya.

"Tadi malam, sepulang dari Maido, terdengar suara gaduh


dari kamarmu. Seperti barang-barang dilempar dan kamu
mengigau hebat," ujar Tekek.

"Gak cuma itu, saya juga mendengar suara gedebak-


gedebuk dan gereng-gereng seperti orang berkelahi," imbuh
Meyek.

"Lha kok, aku ora mbok gugah?" protes saya.

"Tak pikir awakmu sedang latihan drama," sahut Meyek.

-124-
Wooo ... drama mbahmu kiper, tah!

"Trus kamu mau lapor apa, Jes?" tanya saya sambil


melirik Jayus.

"Saya tidur ..."

"Wooo ... kalau itu sih gak perlu dibahas!" protes saya.

"Eit ... nanti dulu. Saya tidur dan bermimpi ... di rumah ini
ada perkelahian hebat antara Gundul melawan orang-orang
aneh berwajah seram ..."

"Heh ... kok nyambung? Trus gimana?" kejar saya penuh


tanda tanya.

"Karena takut, ya mimpinya gak saya terusin ..."

Wooo ...

Akhirnya saya ceritakan kejadian semalam. Dari A sampai


Z. Semua terlongong-longong heran campur ketakutan. Kok
peristiwanya nyambung satu sama lain, ya?

Saat sedang pada mengkirig itulah tiba-tiba saya ingat


kotak yang saya titipkan di kamar Mitro.

"Eh, di mana Mitro ... kok gak kelihatan?"

-125-
Semua, kecuali saya yang masih lempoh, menyambangi
kamar Mitro.

Sejurus kemudian, pada balik lagi ke kamar saya.

"Kamarnya tidak dikunci. Dan orangnya menghilang


entah ke mana!" lapor Meyek.

Waduuuhh ...

Siang harinya, barulah Mitro si Bocah Cepu pulang


kandang. Dengan murka, ia langsung mendatangi kamar saya.

"Kenapa gak bilang kalau kotak itu berisi pusaka?! Eh,


tahu gak ... semalam pusakanya pada hidup. Gerak sendiri
pating klothak ..."

"Sik ta, Ndesss „"

"No time for loving you! Ngerti, gak ... aku ketakutan
hebat sampai harus ngungsi ke kos-kosan Terik.

"Sik ta, Cah baguusss ..."

"Nobody or yesterday! Sekarang juga ambil itu kotak dan


bawa ke kamarmu!!" bentaknya.

"Oh, kamu pengin dengar cerita yang lebih seram?" tanya


saya sambil menunjukkan luka lebam di sekujur tubuh saya.

-126-
Mitro mendelik melihat kondisi saya, lalu mengipas-
ngipaskan tangannya dengan wajah ketakutan.

"Loooh ... kenek apa, kuwi?"

"Serem pokoke ... Tak critani, ya ..."

"Oh, no ... No, Ndes ... thank you „" katanya sambil
meloncat pergi.

"Tapi, kotake jupuken!" pintanya dari balik pintu.


(To be W4Ginued)

-127-
10
(,)

Konon, definisi kebahagiaan adalah: Muda foya-foya, tua


kaya-raya, mati masuk surga. Nyatanya itu bohong belaka.
Bagi kelompok Lakon, kebahagiaan adalah: melihat kartu
wesel bertuliskan namanya melambai-lambai di kaca jendela
Bagian Pengajaran FISIP UNS.

Sayangnya, untuk mencapai kebahagiaan itu gak mudah,


Ndes ... Memang setiap hari ada saja lembaran kartu berwarna
abu-abu klewus dipampang di sana. Tapi saat dibaca Kepada
Yth-nya, tidak tertuju ke saya dkk. Heran juga, apa Bapak Ibu
kelompok Lakon belakangan ini pada dilanda demensia
alzheimer? Lupa kalau anaknya kuliah di UGM cabang

-128-
Kentingan? Atau lupa bagaimana caranya ngirim wesel?
Hehehe ...

Siang itu, seperti biasa saya lewat di depan jendela kaca


yang menjadi "etalase nasib" kami. Tentu, sambil membaca
nama-nama yang terpampang di sana. Tak dinyana, saat serius
baca, Pak Prapto yang mbaurekso Pengajaran memanggil
saya.

"Mas ... Mase. Njenengan mas Nursodik Gunarjo, kan?"

"Nggih, leres, Pak!" jawab saya semangat.

“Waaah ... dipanggil pasti ada kiriman, nih!” batin saya


berbunga-bunga.

"Gini lho, Mas ... saya itu sampai bosen melihat sampeyan
wira-wiri di depan jendela kayak setrika. Yang pada dapat
wesel aja nggak sesering itu nengok ke sini. Lha sampeyan
yang gak pernah dapat wesel kok kayak minum obat saja,
nengoknya tiga kali sehari!"

Wasyem ketjut ... bukannya dapat duit, malah dapat


omelan! Yoh ... awas kowe, Pak! Oleh wesel tenan, tak traktir
nggone Maido kowe, Pak! Aku ambil makanannya, sampeyan
yang kebagian paido (omelan)- nya! Fair enough, kan?

Tapi, nasib saya dan tiga teman lainnya ternyata masih


jauuuhh ... lebih baik dari Mitro.

-129-
Saya, setidaknya masih dapat ransum dua kali makan
gratis dari Ibu kos, kompensasi setelah saya jadi sansak hidup
para lelembut beberapa waktu lalu.

Tekek, jelas masih dapat jatah empat sehat lima sempurna


(nasabulasu dengan su cetak tebal) dari Susiyem. Hasil
praktek paper ilmu glembuknya yang berjudul "Strategi
Menaklukkan Jomblowati dengan Metode Multitrik Gebeting
Komprehensif".

Jes, terbilang gak pernah masalah soal duit. Karena selain


kiriman dari ortunya banyak, dia itu pelit alias medhit bin
bakhil-nya gak ketulungan. Beli tempe di Yu Jajan seharga
Rp25 saja ditawar menjadi Rp50 dapat tiga! Pantesan duitnya
kayak diformalin: awet!

Meyek, tercukupi dengan laba jualan undian permen


ndhog cecak-nya. Cah Bojonegoro ini memang kere-aktif.
Tiap hari ia menyuplai kemasan plastik isi tiga butir permen
ndhog cecak yang dibonusi gulungan kertas undian. Harga per
plastiknya Rp25, tapi ssstt ... yang ada hadiahnya cuma lima,
dan itu pun diputer di 10 lokasi seantero Solo! Sementara
ribuan bungkus lainnya cuma berisi kertas bertuliskan: BELI
LAGI! Cerdas!

Lha yang kasihan ya Cah Cepu ini, apesnya bertubi-tubi.


Sudah empat bulan Mitro gak dapat kiriman. Utangnya sudah
pasti banyak. Nyathetnya sudah puanjaaang ... kayak buntut

-130-
layangan. Bahkan dia sudah di-warning Ibu kos agar get-out
dari mansion Tegalkuniran.

Sebagai kawan seperkerean, saya putar otak gimana


caranya agar Mitro bisa tetap makan. Bagaimanapun saya
berhutang budi karena ia pernah saya titipi benda pusaka yang
membuatnya repot. Maka setiap kali disediakan makan, saya
selalu ambil nasi sepiring munjung beserta sayur dan lauk
sebanyak-banyaknya.

Setelah itu bilang ke Ibu kos, "Bu, saya makan di kamar


saja ya. Sungkan di sini dilihat teman-teman yang lain."

Biasanya Ibu kos bilang, “Oh ... monggo, Mase ..."

Di kamar, nasi itu saya bagi dua dengan Mitro, dan kami
nikmati bersama sambil haha hihi ... melupakan nestapa ...

Duuhh ... nulis ini kok saya jadi mbrebes mili dhewe.
Oalah Tro, Mitro ... semoga sekarang dirimu jadi orang
sukses, sehat dan bahagia ...

Suatu hari, sehabis kuliah, Mitro mengajak saya ke


Kopma (Koperasi Mahasiswa) dekat Gedung Pusat.

"Aku meh kirim telegram, Ndes ... memberitahukan ke


ortu bahwa kondisiku di sini sudah kritis."

-131-
Saya cuma manggut mengiyakan. Sambil sejatinya saya
pengin tahu kirim telegram itu caranya bagaimana. Mosok,
mahasiswa gaptek!

"Tulis alamat yang dituju di sini, alamat pengirim di sini,


dan isi pesannya di sini," kata Mbak pelayan Kopma yang
wajahnya angker melebihi Nyah Rewel itu, sambil
menyodorkan secarik kertas dan pena.

Mitro langsung saja ureg-ureg menulis. Agak lama.


Setelah selesai, menyodorkannya ke Nyah Rew ... eh, Mbake.

Si Mbak memelototi tulisan Mitro, lalu nunul-nunul


kalkulator cap Casio.

"Semua Rp3.230, Mas."

"Hah ... kok mahal?" seru Mitro njenggirat kaget.

"Iya, Mas. Kan dihitung per huruf Rp10. Sampeyan nulis


pesannya 223 huruf termasuk tanda baca. Ongkos kirimnya
Rp1.000. Jadi total Rp3.230."

"Ndeehh ... Lak padha mbek jajanku sak wulan!"


gerutunya dengan logat Cepu njekeknya.

"Sini, saya revisinya dulu, Mbak!"

-132-
Sambil njegadhul, Nyah ... eh, Mbake ... melemparkan
kertas formulir itu ke Mitro. Saya ikut nglirik kertas itu.
Tulisannya begini: Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah
putro sehat. Semoga Ayah Bunda di rumah juga demikian
adanya. Mohon maaf, sangu putro sudah sejak 4 bulan lalu
habis. Mohon kiranya dikirim sangu lagi. Sekalian persiapan
bayar SPP. Wassalamualaikum Wr. Wb. Salam taklim putro.
Hari Rudianto.

"Wah, kalau itu sih Bab I Skripsi!" celetuk saya.

Mitro nyengir kuda. Lalu srat-sret-srot mencoreti kata


yang tidak perlu. Hahaha ... jadi ingat slogan kuliah Dasar-
Dasar Jurnalistik-nya Bu Sofiah tentang asas ekonomi kata.
Pangkas habis!

"Ini, Mbak, yang sudah saya koreksi!" ujar Mitro.

"Lho ... kok isi pesannya hanya koma ( , ). Bener nih?"


tanya Mbake heran.

“Iya, Mbak ... memang hanya koma."

"Jadinya Rp1.010," kata Mbake masih dengan wajah tak


percaya.

Jadilah siang itu telegram terkirim ke Cepu dengan pesan


utama: Tanda koma! Tapi sepanjang perjalanan pulang ke kos,
si Koma masih mengganggu otak saya.

-133-
"Tro ... kok isi pesannya cuma tanda koma ki maksudmu
gimana?"

"Kamu tahu, orang yang hidup tidak, mati pun tidak,


selama berbulan-bulan disebut apa?"

"Koma ..."

"Naah ... itu!"

Ooo ...

Saya paham, maksud si Mitro pengin memberitahukan


ortunya bahwa kondisinya sekarang sudah "koma" alias
hampir dud. Tapi sejatinya, intinya ya tetap saja, karena gak
punya duit untuk bayar pesan yang panjang!
(To be W4Ginued)

-134-
11
TAKUT DIPIPISI

Word of mouth alias celoteh cangkem memang nguweriii


... Jika tersebar bisa liar tak terkendali. Yang jauh melenceng
dari fakta pun bisa dianggap benar.

So, fenomena post truth sejatinya sudah ada di era 80-an.


Contohnya, ya saya ini. Tanpa wisuda, tanpa sertifikat, ujug-
ujug ditahbiskan orang ramai menjadi "paranormal kampus".
Kan, gendheng klelegen sarung ta, itu!

Sing paranormal ki, sopo? Po-ra-normal, mungkin. Kalau


kendel pada makhluk halus, memang saya akui. Tapi ya
sekadar bondo nekat saja. Gak ada ilmu atau keahlian apa pun
tentang bangsa alus yang saya miliki. Toh, meski sudah saya

-135-
jelaskan panjang lebar kali tinggi, tetap saja orang-orang gak
percaya! Tetap saja menganggap bahwa saya paranormal.
Cwapeek deh!

Repotnya, kalau ada peristiwa yang bau-bau mistis,


sayalah yang disuruh nginspeksi atau bahkan menghadapi.
Harak cilaka, ta?

Seperti siang itu, saat kuliah Pengantar Ilmu Hukum, tiba-


tiba salah seorang staf TU minta izin ke pak Sudihardjo, dosen
PIH, untuk masuk ruangan dan memanggil saya.

"Ada apa, Pak?" tanya saya tergopoh sambil keluar ruang


kuliah.

"Bu In (staf Administrasi, nama saya samarkan)


kesurupan di ruang TU, Mas. Kata Pak Prapto, suruh manggil
Mas saja."

Jindul ik ...

Pak Prapto kan yang tempo hari nggremengi saya soal


wesel. Eh, sekarang malah ngasih tugas suruh ngadepi
lelembut. Wah, gak bener ini!

"Kasihan Bu In-nya, Mas. Sudah dua jam gak sadar-sadar


..."

-136-
Terpaksa, sekali lagi terpaksa, saya iyakan tugas yang
aneh ini. Jujur, saya belum pernah nangani orang kusurupan.
Caranya bagaimana saya juga tidak tahu. Satu-satunya yang
pernah saya tangani, ya Aris waktu di Kuncen dulu. Tapi
menurut saya, Aris sih bukan kesurupan, tapi stress. Takut
dimarahi kawan-kawan karena gudegnya basi. Hehehe ...

Kata yang ngerti, ngadepi orang kesurupan itu yang


penting hatinya mantep, tatag. Kalau diajak dialog jangan
sampai merendah. Bila perlu, dieyeli atau dibentak saja. Dah,
gitu aja rumusnya.

Masuk ruang tempat Bu In berbaring, saya langsung uluk


salam,

"Assalamu'alaikum!"

Tiba-tiba, Bu In yang dijaga Pak Prapto dan staf TU


berteriak dengan suara berat, menggelegar. Suara laki-laki!

"Kurang ajar, kamu! Kenapa kamu mengganggu aku!"


sambil nuding ke arah saya.

"Hei, yang ganggu itu kamu! Kamu setan masuk ke tubuh


manusia, itu pelanggaran kode etik!!!" jawab saya keras meski
ngawur.

-137-
Mendengar suara keras saya, makhluk yang merasuki Bu
In terdiam. Mungkin bingung, mikir kode etik ki panganan
apa? Kapokmu kapan!

"Kenapa diam? Kamu merasuki tubuh orang buat apa?!"


bentak saya.

"Mau tak bawa pulang!"

"Ke mana?!"

"Ngoresan (nama tempat dekat Rumah Sakit Jiwa Solo)."

"Ya, bawa saja sana! Memangnya kamu kuat?! Ayo, bawa


sekarang!" tantang saya.

Lagi-lagi makhluk itu diam. Dalam batin, saya tertawa.

"Aku minta diantar!" sambungnya.

"Lah ... kamu ke sini datang sendiri! Sekarang ngancam


mau bawa orang, kok minta diantar. Enak banget, kamu!
Tidak bisa!"

Ia kembali terdiam.

Yak, sudah mulai kalah set rupanya. Gak boleh dikasih


kendor!

-138-
"Sekarang, kamu harus pulang! Tinggalkan tubuh ini!!"
ancam saya makin keras.

Aku minta darah!" tiba-tiba makhluk itu mulai minta yang


aneh-aneh.

"Tidak!! Tinggalkan tubuh ini!! Sekarang!! Kalau tidak,


tahu sendiri akibatnya!!" teriak saya sambil saya tuding.

"Aku minta daging!" rengeknya agak merendah.

"Hei! Kamu makhluk astral. Mana bisa minum darah dan


makan daging yang bentuknya fisik. Kamu sekolah gak, sih!!"

Untuk kesekian kalinya makhluk itu diam.

Kesempatan bagi saya untuk melancarkan serangan akhir.

"Minggat kamu, sekarang!!! Kalau tidak, saya kencingi


kamu!!!" sembur saya sambil berdiri dan pura-pura membuka
retsluiting.

Eh, tiba-tiba tubuh Bu In tersentak, kemudian perlahan-


lahan matanya terbuka. Sadar. Wah, untung belum terlanjur
bukak pintu hanggar, tadi!

Pelan-pelan Bu In saya bimbing istighfar dan zikir. Sekitar


setengah jam kemudian, Bu In sudah stabil. Saya pun pamit
pulang.

-139-
Sambil berjalan ke kos, saya merasa heran sendiri. Kok
lelembut takut ya diancam mau dipipisi. Layak, dulu mbah
saya kalau menyadarkan orang kesurupan dengan cara
dipledingi. Ini tadi baru saya ancam saja sudah ngacir.
Untuuungg ... coba kalau tadi sudah kebacut buka celana tapi
lelembutnya gak mau pergi, kan kewirangan saya. Sekali lagi.
Untungnya ...

Sampai di kos, saya mendadak kepikiran kotak pusaka


yang belum juga diambil oleh Mbah Sudin, adik Ibu kos yang
tinggal di Kalibening, Banjarnegara. Saya sangat berharap
kotak yang sementara ini dikembalikan ke tempat semula di
kamar Bapak, segera dievakuasi ke Banjarnegara. Kenapa?
Karena jika Mbah Sudin ngambil kotak itu, saya bisa nunut
mobilnya pulang ke Wonosobo. Rutenya keliwatan. Hehehe ...

Pagi itu, saya sedang nglaras di teras ketika tiba-tiba


terdengar bisikan, "Bali (pulang) ... bali ..." seperti
memerintah. Saya hafal betul, itu suara sosok baju putih yang
kemarin menolong saya. Tapi kenapa menyuruh saya pulang?
Entah mengapa keinginan saya untuk pulang seperti tidak bisa
dicegah. Apalagi bisikan itu terus saja menggelitik telinga
saya. Feeling saya, pasti ada sesuatu yang tidak beres di
rumah. Tapi apa? Daripada tidak tenang, saya memutuskan
untuk mengikuti bisikan halus itu.

Saat pamitan ke Ibu kos, ia bilang mau titip sesuatu.

-140-
"Tolong bawakan kotak pusaka itu ke Wonosobo, Mas.
Biar nanti Mbah Sudin mengambil di rumah Mas Gun saja.
Kan Banjar-Wonosobo dekat," kata Bu Sri sambil
mengibaskan selembar uang sepuluh ribuan gambar Kartini.

Wow ...

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala. Gak tahu ini musibah


apa berkah namanya. Yah, jadi kuli angkut bentar gak papa
lah. Toh gajinya uhuiiyy ... Untuk ongkos Solo-Wonosobo pp
saja masih sisa.

Kotak pun saya gotong ke pinggir jalan Kol. Sutarto,


nyegat bus arah ke Terminal Tirtonadi.

Bus pertama lewat. Melintasi saya, bukannya berhenti,


malah ngegas. Bus kedua lewat. Juga ngegas. Bus ketiga,
keempat, dan seterusnya juga demikian. Semua lewat begitu
saja seperti tidak melihat saya. Padahal saya sudah ngawe-awe
sampai loncat-loncat ... Aneh!

Putus asa dua jam gak dapat bus, kotak akhirnya saya
bawa kembali ke kos. Uang gambar Kartini saya kembalikan
ke Bu Sri.

"Lho ... Mas?" tanya Bu Sri heran.

-141-
Tapi saya hanya memberi isyarat penolakan dengan
tangan, lalu lari lagi nyegat bus ke jalan. Wis kawanen iki,
Ndess!
[To be W4Ginued]

-142-
12
ROAD RACE

Laju benar bus Peni yang saya naiki membelah jalan


menuju Yogya. Woh, ternyata di belakangnya diuber bus
Suharno. Mungkin karena Peni ogah digebet Suharno, maka
pilih nggendring secepat angin. Tak peduli para penumpang
pada menekan dada, takut jantungnya jatuh tercecer. Sudah
tenar se-dunia dan akherat, kalau dua PO bus itu lagi saingan
nge-race di jalanan, balap nascar di sirkuit Indianapolis pun
kalah pamor. Mungkin gak secepat nascar sih, tapi yang dheg-
dhegan jauh lebih banyak. Takut awarahum ... Hihihi ...

Saya sih senang saja, meski ikut ngeri-ngeri sedap. Malah


kebeneran, bisa cepat sampai rumah. Keburu pengin tahu, apa

-143-
sebenarnya yang sedang terjadi di Wonosobo sana. Moga saja
road-race ini gak diselingi adegan senggol-bacok antar sopir
dan kernetnya.

Menjelang subterminal Kartasura ... eh, tiba-tiba muncul


Srimulyo menyalip di tikungan. Suharno tampaknya patah
arang, lalu mundur jauh ke belakang. Sementara Peni tetap
tancap full gas, wuuuss ... tanpa memedulikan calon
penumpang yang telantar di tepi jalan. Mbois tenan, Ndess!

Di simpang Ketandan, kondektur mulai menarik sewa jok.


Saya siapkan seribuan, karena ongkos Solo-Yogya waktu itu
Rp600. Ketika kondektur lewat, uang saya kibaskan sambil
bilang, "Yogya.” Tapi ia hanya memandang saya, lalu
beringsut menarik ongkos penumpang di belakang. Weh, kok
aneh. Mosok gak mau dibayar? Memangnya saya siapa, kok
diberi privilage naik bus secara prodeo?

Gak percaya, waktu Mas Kondek balik ke depan, saya


cegat. Kembali uang saya sodorkan sambil mengucap, "Yogya
satu." Mas Kondek cuma tersenyum, menatap tajam, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menolak.

Astaga, apa yang sedang terjadi pada saya? Belum lagi


setengah hari sudah mengalami dua keanehan dengan bus?
Yang pertama tidak mau disetop. Yang ini tidak mau dibayar.
Padahal pacakan saya ya gak tampak kere-kere amat. Gak
mungkin lah orang jatuh iba karena melihat penampilan.

-144-
Sungguh, saya sama sekali gak mirip anggota partai kay-pang
(pengemis). Atau ... mereka keder melihat wajah saya yang
mirip juragan bakpao? Embuh, Ndess ... yang jelas kejadian
yang sama terulang ketika saya naik bus Ramayana dari
Yogya ke Magelang. Kondektur juga ogah dibayar. Bahkan
dari sikapnya, ia tampak menaruh hormat yang amat sangat
kepada saya!

W4Gindul ik ... saya jadi kepo sendiri.

Sampai saat ngetem di terminal Muntilan, saya sempatkan


turun dan nunut ngaca di toilet. Perasaan, gak ada yang
berubah. Tetap konsisten ... jeleknya. Cuma sekarang agak
lebih hitam dikit ... wkwkwk!

Yawis, lah. Ngapain juga harus mbebeki, wong dikasih


gratis kok bingung. Yang harus dipikirkan justru ini sudah jam
tiga sore. Kalau jam empat nanti belum sampai terminal
Magelang, alamat kepancal bus terakhir menuju Wonosobo.

Harak tenan! Sampai terminal Magelang, bus Padi Daya


laste (terakhir) sudah take off dari lajur pemberangkatan.

Duuhh ... lemeslah saya ...

Kucing plastik tenan! Gara-gara ngurusi kotak wasiat itu,


saya jadi telat. Tahu begitu, tadi gak usah terbujuk rayuan
gambar Kartini. Tapi gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur,
jadi ya ... dimakan saja, Ndes!

-145-
Sedang bingung bagaimana caranya bisa sampai rumah,
tiba-tiba seseorang yang wajahnya sangat saya kenal menyapa
saya. Ternyata Oki, teman SMA 1 Wonosobo.

"Gun, seka ngendi?"

"Wah, Oki! Anu, seka Solo. Ki arep balik Sobo tapi


kehabisan bus!"

"Woh, ikut aku saja. Aku sekarang nyopir irengan


(omprengan plat hitam)," ujarnya.

"Loh ... kamu gak kuliah ta, Ki?"

"Maunya masuk UGM, tapi gak lolos Sipenmaru. Ini


ngompreng dulu ngumpulin sangu buat ndaftar UGM tahun
depan," sambungnya sambil meringis.

Nyooss ...

Dengar kata UGM, mendadak kesumat saya tersulut.


Bayangan kuliah di Bulaksumur kembali bergelora dalam
kepala saya. Yoh ... sesuk tak kancani ngrebut kursi UGM, Ki!
Aku tak melu Sipenmaru neh tahun ngarep!

Bayang-bayang saya buyar bersama derak roda Suzuki


trunthung yang melesat seperti kesetanan. Wah, ternyata cara
nyopir Oki jauh lebih ugal-ugalan dari Tinton Suprapto. Jalan
di punggung gunung Sindoro-Sumbing yang penuh lubang itu

-146-
ia sasak tanpa pilah-pilih. Tak pelak nyaris seluruh
penumpang muntah-muntah dengan suksesnya, termasuk saya.

Tak sampai dua jam, mobil sudah sampai di rumah paklik


saya di kampung Stasiun Wonosobo. Saat saya ulungkan
selembar lima ribuan, Oki menggeleng keras.

"Aku sekarang sudah kaya, Gun. Jangan menghinaku


dengan recehan itu,” celetuknya sambil ngakak.

Gapleekk!

Saya cuma bisa nggablok punggung dia sekeras-kerasnya.

Baru mau masuk gerbang, tiba-tiba Paklik dan Bulik


keluar membawa tas mbriyut seperti mau bepergian.

"Loohh ... kamu pulang! Siapa yang ngabari kalau Simbah


seda (meninggal dunia)?" tanya Paklik terheran-heran.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun," bibir saya


menggeletar.

Saat Paklik bertanya lagi siapa yang memberi kabar saya


tentang sedanya Simbah, saya cuma menggeleng. Tapi batin
saya bergumam, “Ooh ... ini ta, maksudnya mengapa sosok
putih itu menyuruh saya pulang.”

"Ya wis ayo sekalian ikut ke Wadaslintang!" ajak Paklik.

-147-
Saya cuma bisa nginthil tanpa bisa berkata apa-apa.

Saat naik mobil carteran pun, saya lebih banyak membisu.


Jujur, berpulangnya Simbah sangat membuat saya sedih.
Karena sejak balita saya sudah diasuh Simbah. Beliau pula
yang sering menasihati saya tentang hakikat hidup dan
kehidupan.

Usai pemakaman Simbah, saya masih tercenung di teras


ketika Mbah Kyai Soleh, imam masjid kampung, mendekati
saya.

"Mas Gun ... mulai saat ini kamu harus sangat hati-hati.
Ada yang mencoba mengaturmu. Tolong menjauh dari itu.
Jangan sampai tinggalkan sholat. Ingat, jangan sampai
tinggalkan sholat!"
(To be W4Ginued)

-148-
13
GODA CAP JIE KIA

Konon, kefakiran (jika tidak tahan uji) akan mendekatkan


kepada kekafiran. Dan ujian ketahanan mlarat itu bernama
Cap Jie Kia, judi tebak nomer buntut berhadiah 10 kali lipat
uang taruhan.

Awalnya saya tidak tahu kalau kelompok Lakon tertular


virus gambling itu. Baru ngeh ketika suatu sore, Jes masuk
kos sambil bersorak-sorai.

"Horeee ... tembus! Horee ... tembus!"

-149-
Waow... napa bocah ini kok tumben berkotek-kotek kayak
pitik babon habis bertelur? Eh, ber-kukuruyuk kaya jago habis
menginseminasi babon, ding!

"Aku menang Rp100.000, Ndes!"

"Wooh, duit kabeh kuwi? Gak campur kreweng?" sahut


saya.

Jes tak menjawab, hanya membeberkan 10 lembaran


bergambar RA Kartini dengan wajah bangga. Duit betulan,
bukan duit monopoli!

"Gak usah ngiri karena kemarin kamu batal dapat


selembar Kartini dari Bu Sri. Sudah nasibmu, Ndes! Nasibku
juga kalau sekarang aku dapat 10 lembar tanpa harus mikul
kotak ke mana-mana," sindirnya.

Saya cuma mesem kecut sekecut acar blimbing wuluh.

Jindul ik ... baru enak sithik wae wis metu sinise.


Menungso ... menungsooo!

Ia lalu plodrah. Kemarin habis beli Cap Jie Kia di


warungnya Cik Hwa. Nomer yang ia beli 124. Nominalnya
cuma Rp100, sih. Tapi karena tiga nomer yang ia beli sama
persis dengan buntut tiga nomer yang diumumkan salah satu
radio swasta niaga di Solo, maka ia berhak mendapatkan
hadiah 100 x 10 x 10 x 10 = 100.000.

-150-
Uakiih banget kuwi! Untuk bayar SPP satu semester yang
cuma Rp90 ribu saja, selembar Kartini masih bisa balik
dompet. Kalau semua untuk beli dawete Bah Bolon Sar Legi,
bisa dapat sekolam. So, bisa menerapkan peribahasa "Sambil
menyelam minum cendhol.”

Tapi sebagai alumni pengajian Al-Kunceniyah, walau


sebentar, hati saya berontak melihat kawan seiring berbahagia
di atas penderitaan penombok Cap Jie Kia yang lain. Harus
ditegur, ini.

"Ra mutu... mahasiswa kok tuku buntutan. Lama-lama


bisa jadi ajudannya Samino (gambler terkenal Tegalkuniran
saat itu) kowe, Ndes!" saya balas menyindir.

"Sekali-sekali kok, Ndes... Ini yang pertama sekaligus


terakhir," janji Jes.

"Eh... tapi ngomong-ngomong nanti kamu ikut ke Maido


gak, Ndes?" rayunya.

"Ooo ... kalau itu ... wajib," jawab saya.

"Woo ... kancil!" gerutunya.

Kami pun mrenges together. Sambil melahap nasi kucing


beberapa eksemplar dan mendengarkan omelan Maido, saya
menelisik.

-151-
"Jes, kok kamu tiba-tiba beli nomer 124, itu ispirasinya
dari mana?"

Mendengar pertanyaan saya, tiba-tiba tawa Jes meledak.


Ia terbahak-bahak sampai tersedak. Tentu saja saya kepo habis
melihat keganjilan itu.

"Kamu lahir tanggal berapa?" kejar Jes.

"12."

"Bulan?"

"4."

"Jika dirangkai.."

"124 ... Bajinduull! Kamu pakai tanggal dan bulan lahirku


untuk nomboki nomer!?" seru saya.

"Tenang, Ndes ... Hak cipta tetap ada padamu. Maka


dengan ini, aku hibahkan 10% pendapatanku untuk membayar
royalti pada pemilik angka keramat!" ujar Jes sambil
menyodorkan selembar Kartini kepada saya.

"Ok, aku terima. Tapi dengan ini aku hibahkan kembali


uang ini kepada Hari Mitro agar dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umat," ujar saya sambil menyambar uang itu,
lalu mengangsurkannya ke Mitro.

-152-
Jes masih terlongong-longong setengah tidak ikhlas
melihat uang berpindah secepat kilat ke saku Mitro. Tapi
semua sudah terlambat. Keputusan sudah dibuat. Tidak bisa
diganggu gugat.

"Pren ... kalian memang sahabat sejati. Dalam perang


maupun damai. Dalam susah maupun gembira," pidato Mitro.

Kami semua tertawa. Hanya Jes yang melengos sambil


memegang sisa uang di sakunya.

Kapokmu kapan, Cah medhiitt! Saya kira kalimat "Ini


yang pertama sekaligus terakhir" beli buntutan, diucapkan
serius oleh Jes. Nyatanya babar pisan! Secara diam-diam, ia
masih rutin membeli CJK. Bahkan tomboknya gak cuma
ratusan rupiah, tapi sudah ribuan, bahkan puluhan ribu ripis.
Yungalah ...

Celakanya, Meyek sang juragan ndhog cecak mulai


terpengaruh. Ia bahkan secara khusus mendatangi saya ke
kamar untuk minta nomer. Tentu saja saya marah besar.

"Kamu gila, Yek! Memangnya saya dukun!!" protes saya


keras.

“Sekali ini saja, Nda! Wis sak omong-omongmu nomer


pira, nanti tak belinya."

-153-
"No way! Get out!!" bentak saya sambil menuding agar
Meyek segera oncat dari kamar saya.

Melihat saya marah sungguhan, Meyek ketakutan, lalu


beringsut pergi diam-diam.

Sekali-sekali para Gondes ini memang harus di-shock


terapi agar gak kebablasan. Belajar dari bang haji Rhoma
Irama, judi memang meracuni kehidupan. Jangan sampai si
Meyek yang pekerja keras ikut-ikutan. Bisa-bisa duit ndhog
cecaknya habis untuk beli buntutan. Kan, kasihan.

Tapi pagi itu saya terkaget-kaget ketika melihat Meyek


memasang sesuatu di daun pintu dengan lem super Alteco.

"Apa itu?" tanya saya.

"Kupon Cap Jie Kia," jawab Meyek tak acuh.

"Kok kamu pasang pakai lem super?"

"Biar gak ilang. Biar jadi monumen. Bukti kalau aku


pernah sekali beli dan sesudah itu kapok."

Saya acungi jempol dia. Top!

Sambil mendekat, saya lihat nomer yang ia beli: 41 dan


14.

-154-
"Dapat ilham beli nomer bolak-balik ini dari mana?" tanya
saya.

Mendengar pertanyaan saya, Meyek diam membisu.

Saya kejar, tetap keep silent sambil angkat bahu.

Sorenya, saya dapat kabar dari Tekek bahwa nomer 41


yang dibeli Meyek ternyata tembus! Karena ia beli Rp500,
maka dua nomeran ia dapat Rp50.000.

Badhalaa ... Meyek pucat ketika ingat kuponnya sudah


dilekatkan di pintu dengan lem super.

"Hadeuuhh ... piye njupuke? Padahal kalau mau ambil


hadiah bukti kuponnya harus dibawa ke warung Cik Hwa,"
ujar Meyek kalut.

Setelah berembug, sepakatlah Cik Hwa-nya yang


dipanggil untuk memverifikasi kupon ke kos-kosan. Tak
henti-hentinya, tacike tertawa melihat kupon yang menang itu
bertengger di daun pintu tanpa mungkin dicopot lagi.

"Padahal ini kudu disetor ke pusat, eee ... mosok dijebol


sak pintune?" celetuknya sambil menyeka air mata geli.

Kami hanya bisa ngakak sampai sakit perut. Untungnya,


hadiah untuk Meyek tetap turun tanpa harus setor pintu ke
agen!

-155-
Saat menghitung lembaran duit, saya kembali
menanyakan hal-ikhwal dari mana ilham angka 41 itu berasal.

"Dari kamu," kata Meyek pelan.

"Laah ... kok bisa???"

"Kemarin kamu kan ngusir aku sambil nuding-nuding


menyuruh aku keluar ..."

"Ya ... lalu?"

"Orang nuding kan empat jarinya ditekuk, satu jari lurus.


Ya tak beli saja 41. Eh, malah tembus!"

Saya menepuk jidat sambil teriak, "Ya salaaaaaammm!!!"


(To be W4Ginued)

-156-
14
MALA(S) PETAKA

Entahlah, akhir-akhir ini saya malasnya gak ketulungan.


Penginnya tiduuurr terus. Gak siang, gak malam, penginnya
molor. Apalagi kalau menjelang senja, duuh ... mata ini seperti
kena lem glukol. Dempet tak terkira.

Saya sering terlelap sebelum maghrib, dan baru mendusin


alias nglilir jam 23 atau 24. Anehnya, setelah itu mata seperti
dapat kekuatan baru, berbinar lebar sampai menjelang fajar.
Setelah itu merem lagi sampai jam 10 pagi. Eh, siang, ding!
Mirip kalong, lah.

-157-
"Kamu itu sebenarnya dikirim ke Surakarta Hadiningrat
untuk kuliah apa untuk nunut tidur, Ndes?" tanya Tekek suatu
hari.

"Woo ... ya kuliah, dong!"

"Tapi seminggu ini kamu cuma masuk dua kali. Sisanya


ngorok. Itu namanya tidur nyambi kuliah," tandas Tekek.

Sebelum saya sempat menjawab, dia sudah ngecuwis lagi.

"Aku juga heran, kamu sekarang gak pernah subuhan.


Dzuhur dan Ashar kadang-kadang. Maghrib babar pisan. Dan
Isya kelewatan," tegur Tekek.

Wah, kalau ini saya gak bisa jawab. Karena apa yang dia
sampaikan benar adanya. Heran juga saya, kok bisa begini?

"Aku tukang pacaran, Ndes ... tapi soal sholat gak pernah
lupa. Lha kamu mantan guru ngaji kok malah ndlodor begitu,"
semprot Tekek.

Ampun, Esmeralda! You are so right. Would you mind to


give me a piece of time to change my attitude ... halaahh ...
Pokoke intine ... nasihatmu tak tompo, Ndess!

Cling ... tiba-tiba saya ingat pesan Mbah Kyai Soleh:


“Jangan pernah tinggalkan sholat.” Tapi ironisnya, meski
sudah di-warning begitu, saya enteng saja meninggalkan

-158-
kewajiban yang menjadi tiang agama itu. Hiiks ... ampuni saya
ya Allah ...

Kalau mengingat, menimbang, dst ... dari pesan Mbah


Kyai bahwa ada yang mencoba "mengatur" saya, sepertinya
benar. Rasanya semua ini bukan kemauan saya pribadi.
Pertinyiinnyi: Siapa yang berani ngatur? Wong saya ini tipe
orang yang ditubruk endha, didhadhung rantas, dipalang
mlumpat (ditangkap ngeles, diikat putus, dipalang loncat).

"Tapi yang saya lihat, kelakuanmu bukan kamu banget,


Ndes! Aku sudah setahun bersamamu, jadi hafal bethithetmu
(kelakuanmu) sampai sedetil-detilnya. Dan yang kulihat
kemarin, bukan kamu!" Tekek meyakinkan saya.

Dengar apa yang diomongkan, jangan lihat siapa yang


ngomong. Segondes dan sebuaya apa pun si Tekek, asal
mulutnya lagi lempeng, ya saya perlu meresapi nasihatnya.
Meresapi = sapi yang diperes.

Sorenya saya mencoba bertahan agar tidak tidur. Jam


15.30 saya sudah mandi, berwudlu, lalu disambung sholat
Ashar. Lancar.

Sambil nunggu Maghrib, saya baring-baring sambil baca


Al-Qur'an. Mendengar suara sendiri kok mendayu-dayu,
menghanyutkan. Tak terasa, less ... saya tertidur. Baru

-159-
tergagap-gagap bangun saat kawan-kawan menggedor pintu,
ngajak wedangan ke Maido.

"Ndess!! Jangan kebanyakan tidur, nanti matamu gemuk!"

Dengan masih berseragam sholat, saya membuka pintu


sambil uceg-uceg mata.

"Weh, kok masih sarungan ma kuplukan. Baru tahajud,


ya?" celetuk Mitro.

Saya menggeleng lemah. Bagaimana mau tahajud, sholat


Magrib dan Isya saja belum! Huaduuh... ini pasti situasinya
gak normal. Sepertinya saya sengaja disirep agar gak sholat.
“Tapi siapa yang nyirep?” Pembaca jangan nanya gitu, wong
saya sendiri juga gak ngerti je, Ndes!

Walhasil, jam 01.00 saya baru sholat Maghrib, jamak


sama Isya. Mbuh diterima apa tidak, yang penting saya gak
mau lowong sholat. Memang sih, orang tidur gak wajib sholat.
Tapi kalau keseringan itu namanya dhemen, bukan alpa.

Tak mau kecolongan, saya pinjam jam wekernya Mitro.


Saya setel alarm jam 04.00. Biar berisik maksimal, weker saya
letakkan di kasur, tepat di atas ubun-ubun. Kalau wekernya
ngerik dan saya tidak bangun, itu namanya kebacut!

Pagi itu Mitro menggedor pintu kamar saya, ngajak


kuliah. Saya meloncat dari kasur. Wah, sudah jam 09.00. Lah,

-160-
kok tadi pagi saya gak dengar weker bunyi? Saya cek, puteran
dering weker merk Five Rams sudah kendor. Artinya, tadi
pasti sudah derdentang-dentang gak karuan. Tapi sumpah,
suaranya gak masuk gendang telinga saya.

"Dasar kuping ember kesumpelan lempung! Tetangga


kamar saja pada bangun semua dengar wekermu, eh wekere
Mitro. Lah kamu malah bikin alarm sendiri dengan dengkur
tenggorokan!" semprot Jes seperti mitraliur.

Saya cuma diam dengan kepala penuh tanda tanya. Saya


yang biasa tengen (gampang terbangun jika mendengar sedikit
suara) kok bisa sebudek itu. Entahlah! Yang jelas pagi itu saya
(lagi-lagi) tidak sholat Subuh. Sebuah prestasi yang benar-
benar tidak bisa dibanggakan! Kurang ajar betul lelembut
yang bermain enjot-enjotan di bulu mata saya, yang membuat
kelopak terasa berat. Kelakuan itu sudah tergolong
extraordinary crime, kejahatan luar biasa terhadap ibadah
seseorang. Saya tidak boleh tinggal diam. Pelakunya harus
ditangkap dan diadili. Harus saya prihatini malam ini. Biar
jelas siapa sesungguhnya oknum yang mengintervensi hidup
saya selama ini.

Berbekal rasa mendongkol itulah, malam itu saya sengaja


beli kopi pahit dua gelas besar di Maido.

"Kopi pait loro, Mbah, gelas gajah," ujar saya.

-161-
"Arep nggo apa kopi pait? Kopi itu ya manis. Gak gableg
duit, ta untuk beli kopi manis? Dasar mlarat, kowe!" jeplak
Maido mulai kumat uring-uringannya.

Entah kenapa, mendengar kata "mlarat" kok tiba-tiba


kepala saya mak prempeng.

"Urusanku, ta! Aku mintanya kopi pahit dua gelas. Titik.


Mau tak pakai untuk nyuci sandal kek, mau tak pakai untuk
nggebyur kucing kek, itu urusanku!" jawab saya ngegas.

Mbah Maido tampak kaget. Mungkin karena selama ini


gak ada yang berani sama dia.

"Lah, sing Maido ki aku. Kok malah kowe sing ..."

"Gantian! Mosok saya njajan di sini setahun dipisuhi


terus. Sekali-sekali boleh dong, saya yang ngroweng! Wis
Mbah, iki aku lagi bludreg. Gawekna kopi pait gelas gede
loro, dibungkus!" samber saya masih dengan persneling
tinggi.

Klintrih-klintrih Mbah Maido mengambil gelas. Meracik


kopi secepatnya, lalu memberikan pada saya.

"Monggo, Mase „" katanya lirih.

-162-
Saya tinggalkan angkringan hik itu dengan rasa puaaass ...
Meskipun malam itu tugas besar masih menghadang di depan
mata ...
(To be W4Ginued)

-163-
15
SERIGALA BERBULU
MARMUT

Dua gelas kopi pahit cap Maido sudah amblas ke perut.


Khasiatnya sungguh nyata: saya melek total. Tapi bukan
hanya mata yang saya siapkan, jiwa pun saya samaptakan.
Ibaratnya, bagi saya malam itu memang malam puputan
margarana.

Sekira jam 00.00, saya sengaja mandi besar. Berwudlu,


lagi. Setelah itu sholat sunnah, lalu duduk di sajadah sambil
wirid tanpa putus. Memang cuma itulah amalan yang saya
tahu. Saya berharap dengan cara itu Gusti Allah akan

-164-
menolong saya dengan kuasa-Nya. Terus terang, saya sudah
tidak tahan dengan gangguan itu.

Awalnya hanya meninabobokan saya pada waktu-waktu


sholat, sehingga saya absen menyebut asma Allah. Tapi
belakangan ini terornya semakin menjadi-jadi, menghilangkan
mushaf Al-Qur'an dari kamar saya!

Kekuatan itu juga mengiming-imingi saya dengan nomor-


nomor cantik, yang selalu jitu keluar secara presisi saat
pengumuman Porkas atau Cap Jie Kia. Untung saya tidak
tergoda untuk menjadi dukun nomer. Padahal jika saya
lakukan, pasti sudah kaya-raya.

Tapi yang paling membuat saya galau adalah saya sangat


sering mimpi basah yang frekuensinya di luar nalar. Itulah
yang membuat saya kelelahan sehingga penginnya molor
berkepanjangan.

Saya sadar, sepertinya jeda waktu saya untuk bersabar


telah usai. Jika dibiarkan, gangguan ini tidak hanya membuat
ibadah saya berantakan, namun juga mengancam prestasi
akademik, bahkan hidup saya. Maka keputusan bulat sudah,
kekuatan negatif ini harus saya lawan!

Dini hari itu sungguh tintrim. Suara kesiur angin yang


kemrosak di atas seng jelas bukan angin sebaene (biasa).

-165-
Karena pusarannya lokal saja, dan tepat midid di wuwungan
kamar saya.

Wangi melati yang ngambar berulang lalu hilang,


menandakan ada yang wira-wiri di sekitar kamar saya.
Kadang seperti ada suara rintihan kecil, gerengan tertahan,
dehem-dehem, dan detak langkah tak jelas, meningkahi
gerimis yang tlethik sejak sore. Suara siapa?

Saya baru ingat bahwa malam ini adalah malam tepat


setahun saya membersihkan kamar Bapak kos. Apakah para
penghuni mau ngamuk lagi dan meremuk-redamkan badan
saya? Saya rasa tidak, karena tintrim yang mengiris ini
rasanya sangat dekat. Bahkan tak berjarak dengan saya.
Ajaibnya, saya tidak mampu mempermanai, rasa apa yang
sejatinya sedang melanda tubuh saya saat itu. Gigrik tidak,
tapi kekes. Takut tidak, tapi merinding. Jauh di lubuk sana,
ada rasa semedhot seperti campuran kecewa dan khawatir.

Ya, saya khawatir gangguan yang saya hadapi ini akan


abadi. Dan jika itu tak teratasi, maka sudah pasti ibadah saya
akan terberai seperti jerami diterbang badai dan kuliah saya di
UNS akan panen nilai D.

Maka malam itu adalah waktu ujian saya. Waktu untuk


memilih pasrah bongkokan kepada yang tak kasat mata, atau
berontak dengan segala risiko, termasuk mungkin saja,
kehilangan nyawa. Dan saya memilih opsi kedua.

-166-
Saya ingat ketika mau berangkat ke Solo, Ibu saya meniup
kepala saya tiga kali sambil berkata, "Suatu ketika kamu akan
menghadapi semua kenyataan sendiri, dengan kekuatan
sendiri. Karena hanya kamu yang bisa. Dan hanya kamu yang
tahu apa itu. Tapi Ibu yakin, kamu akan berhasil."

Saat itu saya berpikir ibu saya nglantur. Kata-katanya


absurd dan tak bisa dimengerti. Maklum, pinisepuh yang
sudah uzur kadang bicara di luar logika. Sekarang saya tahu,
bahwa saya sedang menghadapi sesuatu yang tak terindra,
namun kekuatannya sangat terasa. Kekuatan yang membuat
saya terombang-ambing dalam bimbang yang tak
berkesudahan.

Di saat pikiran saya nglambrang, tiba-tiba kesiur angin


yang cukup besar masuk melalui ventilasi. Saat itulah saya
merasakan bulu lengan saya njegrak maksimal. Saya tahu ada
yang hadir di dekat saya, tapi mata saya tak bisa menangkap
sosoknya.

Dengan segera saya berdiri untuk mengambil niat sholat


dua rakaat. Sesaat setelah takbiratul ikhram, tiba-tiba saya
rasakan sesosok makhluk menyekap badan saya dengan erat.
Sangat erat, sampai saya kesulitan bernafas.

Saya teruskan bacaan al-fatihah. Sekapan itu makin erat.


Sampai saya selesai membaca surat Al-Falaq dan An Naas,
sekapan itu tak kunjung mengendor. Bahkan ketika saya mau

-167-
ruku’, makhluk itu menahan saya dengan tenaga yang lebih
besar. Sepertinya dia tidak rela saya melakukan gerakan
sholat.

Tubuh saya dikunci, sehingga sama sekali tak bisa


bergerak. Terpaksa sholat saya teruskan dengan isyarat.
Bacaan demi bacaan saya ucapkan setartil mungkin dan semua
sengaja saya baca jahr (bersuara). Toh sampai salam, tak ada
tanda-tanda dia mau melepaskan saya.

Saya mencoba melepaskan diri dengan segala upaya, tapi


sia-sia belaka. Sekapannya begitu kuat. Nafas saya sampai
tersengal-sengal, nyaris putus.

Di tengah ketidakberdayaan itu, saya hanya bisa


memusatkan pikiran sambil berdoa, "Ya Allah, sekuat-kuat
makhluk adalah dalam kuasa-Mu. Maka hanya kepada-Mu-lah
aku memohon pertolongan. La haula wala quwwata illa
billah!" begitu terus saya ulang dan saya ulang.

Saat bacaan saya semakin khusuk, saya rasakan sekapan


di tubuh saya mengendor. Kesempatan itu saya gunakan untuk
berontak.

Saat tubuh saya lepas, saya layangkan pukulan ke kepala


makhluk itu sambil berteriak, "Allahu akbar!!"

Makhluk itu terpental.

-168-
Saat pandangan berjarak itulah, saya terperanjat luar biasa.

Ya Allah... ternyata dia adalah lelaki tua berbaju putih


yang oleh kawan-kawan dibilang sering mengikuti saya!
Berbeda dengan yang saya lihat saat menolong saya dahulu,
yang wajahnya berwibawa penuh senyum.

Wajah di hadapan saya itu terlihat dingin menggiriskan.


Matanya menyiratkan kebencian luar biasa!

“Nduull! Nduull!! Bukak lawange! Bukak lawange!"


terdengar suara orang ramai memukul-mukul pintu kamar
saya.

Bersamaan dengan itu, sosok putih di depan saya hilang


entah ke mana.

Ketika pintu saya buka, tampak Jes, Mitro, Meyek, Tekek,


bahkan Bu Sri, berdiri dengan sikap siaga membawa senjata
masing-masing. Ada yang bawa pentungan, potongan besi,
arit kethul, dan lain-lain.

"Enek apa, Ndul, kok bengok-bengok nyebut asmane


Allah?" tanya Meyek.

"Ngg ... anu... aku ngimpi," jawab saya sekenanya.

"Woo... jindul ik. Nglindur kok marai tangi wong sak


Indonesia Raya!" cericit Meyek.

-169-
Saya hanya pura-pura mesem sambil menutup pintu. Di
dalam kamar saya merasa gemes, karena selama ini saya
dibohongi oleh sosok yang sudah saya anggap sebagai dewa
penolong saya. Ternyata dia serigala berbulu marmut!

Benar kata Tekek, jangan pernah percaya sama lelembut,


karena tidak konsisten! Tapi, saya gak habis pikir ... kok bisa-
bisanya ya dia ngikut saya?
(To be W4Ginued)

-170-
16
OPERASI LANJUTAN

Saya masih pinisirin, bagaimana ceritanya si Kakek bisa


nempel di tubuh saya? Mosok mak bedunduk, tiba-tiba
muncul tanpa sebab, kan tidak mungkin. Pasti ada
lantarannya.

Konon, biasanya makhluk seperti itu sih, khadam dari


benda pusaka atau batu aji. Tapi saya kan gak pernah ngoleksi
akik dan batu-batuan seperti punyanya Pak Tung atau Mbah
Joyo. Pusaka, saya juga gak punya, selain tombak senggol
modot yang limited edition itu, hehehe ...

-171-
"Ra mungkin, Ndes! Pasti ada benda pusaka yang kamu
miliki. Ra ketang sithik," ujar Mitro meyakinkan saya dengan
wajah dua rius ...

"Ndeehh ... sejak kapan awakem (dirimu dialek Cepu) jadi


paranormal, Tro. Kok main tuduh begitu?"

"Lha kan, baru saja dikukuhkan jadi pengurus IKPTK."

"Apa kuwi?"

"Ikatan Keluarga Paranormal Tegal Kuniran! Tapi aku


bagian keluarganya. Bagian paranormalnya dirimu!"

"Ra kacek, Ndess!" potong saya sambil mringis.

Tapi analisis Mitro kok ya masuk akal bagi saya. Akik,


pusaka ... hmm, kok saya jadi kepo sendiri! Jangan-jangan
memang ada barang-barang nyalawadi yang katut (terbawa)
atau sengaja ngatut di properti saya?

Tak ada jalan lain untuk membuktikannya, kecuali harus


mbongkar ulang seluruh harta kekayaan, eh... harta
kemiskinan ... yang saya miliki satu per satu. Saya pengin
masalah ini tuntas tas tas... kayak iklan M Kapsul.

Operasi lanjutan ini gak menyita waktu kok. Wong harta


saya cuma celana panjang 4, kaos 3, baju 2, jaket almamater 1,

-172-
celdam 3 yang dipakai side A dan side B, dan sepatu 2. Plus
dompet yang selalu kosong dan ... setumpuk diktat kuliah!

Lho, jangan salah. Justru di antara barang yang saya


miliki, diktat inilah yang paling mahal harganya! Mbayare
wae direwangi ra madhang barang owg! Karena mahal
pulalah, ada dosen yang jadi diktator, jual diktat untuk beli
motor!

Gak sampai setengah jam saya bongkar, seluruh daftar


inventaris sudah tercentang. Tapi sama sekali gak ada barang
nyalawadi seperti yang dikhawatirkan Mitro. Yang saya
temukan cuma beberapa kecoa yang naik pitam karena saya
gusur paksa saat lagi kelonan.

Saat milang-miling apa yang belum saya cek, mata saya


tertumbuk pada tas Alpina tua yang teronggok di dasar lemari
plastik. Dulu saya beli di sektor loak pasar Beringharjo, tapi
pensiun dini lantaran gigi ritsluitingnya sudah gak mau saling
gigit.

Dengan ogah-ogahan, saya ambil tas itu. Males aja, karena


selain bulukan juga sudah jamuran, eh sama saja ya ... Dan
baunya... gak patek wangi, Ndes!

Saya rogoh, seluruh anak tas kosong melompong. Ya kan,


semua isinya sudah saya remove sejak pindah dari Kuncen

-173-
dulu. Tapi saat saku tas sebelah dalam saya cek ulang, loooh
... kok ada kantung kecil bertali terbuat dari kain mori, di situ!

Saat saya lihat isinya, ternyata batu akik berwarna putih


bersih tembus pandang yang di dalamnya ada warna merah
seperti bercak darah segar.

Wah, bikin curigation ini! Siapa yang memasukkan akik


beserta kantungnya itu ke dalam tas saya? Sejak kapan?

"Naah ... gue kate juge ape... pasti itu biang keroknye!"
ujar Mitro saat saya tunjukkan batu seukuran ujung telunjuk
itu.

Belum lagi saya ajak diskusi, Mitro sudah menyingkir dari


pintu kamar sambil bilang,

"Tapi ... tapi ... itu urusanmu, ya. Aku gak ikut-ikutan lho,
Ndes!!" lalu lari terbirit-birit entah ke mana.

Wealaahh ...

Setelah batu akik dalam genggaman, ingatan tentang


kerugian-kerugian yang saya alami mendadak muncul. Emosi
saya kembali tersulut.

No mercy! Batu ini harus dimusnahkan!

-174-
Segera saya melangkah ke bengkel lasnya Om Taruno
Wagiyo yang berada persis di depan kos.

"Om, punya palu besar?" tanya saya.

"Oi ... oi ... ada. Mau lu pake buat apa ha itu palu?"

"Mau saya pake untuk ndheplok ini," jawab saya sambil


menunjukkan akik putih pembawa masalah itu.

"Hayaa ... itu balang bagus. Kasih owe saja la, nanti owe
ganti duit ..."

Saya tidak pedulikan suara si Om.

Palu besar saya ambil. Akik saya letakkan di plat besi


tebal yang biasa dipakai tatakan tempa.

Sekali ayun... prak!!

Huaduuhh ... ternyata meleset! Cuma kena ujung, dan


barang itu meluncur secepat peluru melewati ujung hidung
Om Taruno. Untung ia sigap merunduk dengan gerakan kung
fu.

"Hayaaaa... hampil ilang saya punya mata haa ..." celetuk


si Om marah sambil menyeka keringat.

Saya hanya bisa minta maaf berkali-kali. Walang wadung


walang ataga. Barang wis kadhung, arep dikapakna? (Sudah

-175-
telanjur mau bagaimana lagi). Termasuk kecerobohan saya
yang gagal menghancurkan akik sialan itu adalah
keterlanjuran.

Saya dibantu Om Taruno dan geng Tegalkuniran mencoba


menyisir akik itu hingga ke sudut-sudut bengkel. Tapi barang
ajib itu seperti lenyap ditelan bumi.

"Coba disilak pakai sapu, la ... Mungkin itu balang kena


tumpuk sampah sama tahi bubut (sayatan logam sisa mesin
bubut)," usul Om Taruno.

Kami pun berbagi mengeroyok setiap jengkal bengkel


dengan sapu lidi. Dalam waktu singkat, sisa dedaunan dan
sayatan logam terkumpul. Kami sortir lagi sampah itu seteliti
mungkin. Tetap saja batu putih itu nihil eksis.

Setelah lelah mencari, kami pun balik kanan ke kos


dengan langkah gontai.

"Dasar setan belang. Sudah kalah saja masih ngerjain!"


gerutu saya gemes segemes-gemesnya.

Saat melangkah, tiba-tiba Jes si Raja Medit berkotek,

"Ndess ... kalian sadar gak, berkat kita semua bengkel si


Om jadi bersih cemerlang tanpa noda!"

Kami semua njuwowos ...

-176-
"Wah, iya. Kita dikerjain. Gak bener ini!" celetuk saya
sambil melangkah balik ke bengkel.

Sampai di tempat, si Om yang sedang merakit ranjang besi


saya semprot.

"Om, yang bener aja! Om sengaja mengerjai kami untuk


membersihkan bengkel secara gratis, kan!?"

"Hayaa... itu masih lingan, laa ... Coba kalau mata owe
sampai bolong kena batu yang lu pukul, bisa milyalan lu orang
bayal owe!" sergahnya.

Saya cuma nyengir.

Jindul ik ... Babahe dilawan!


(To be W4Ginued)

-177-
17
KANGEN YANG TERTUNDA
(LAGI)

Sejak ketemu Oki, hasrat untuk bertemu Yujiem kambuh


lagi. Pletik kangen yang semula laten, kembali kobong
membara api. Menjelma menjadi tekad yang meledak-ledak
dan sulit dikendali: pengin Sipenmaru sekali lagi!

Yo-i. Ingatasnya cuma nyambi nyopir, semangat Oki


masih bergelora pengin menjelajah Bulaksumur secara kaffah.
Mosok saya yang sudah latihan kuliah setahun di UGM
cabang Jebres kalah sama dia. No ... no, Ferguso!

-178-
Mendekati Juni 1988, hati saya makin dag-dig-dug. Bukan
karena ketar-ketir gak bisa garap soal Sipenmaru, tapi
karena... formulirnya belum juga terbeli! Padahal garis finish
pembelian formulir sudah membayang di depan mata.

Harga formulirnya sih, cuma Rp25.000. Majalahnya, duit


saya kurang, kurang sak rego! Iya kalau dulu, kawan-kawan
Kuncen bisa diajak patungan. Mereka urun duit, saya yang
urun patungnya. Lha sekarang, Gondeser Tegalkuniran semua
para ahli jual beli: jual celana, beli nasi. Diajak patungan, ya
mung metu patunge thok.

Sebenarnya, hasil pengetatan anggaran tiga bulan kemarin


sudah terkumpul Rp9.800. Tapi hampir tiap hari ada saja yang
nembung butuh. Meyek salah satunya, yang pagi itu sowan ke
kamar saya dengan wajah sekusut kain jumputan.

"Kenapa dhapurmu bruwet begitu, Ndes? Semangat


dong!" sapa saya.

"Orang tidak akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan


yang lebih tinggi seperti aktualisasi diri, jika kebutuhan
dasarnya tidak terpenuhi. Begitu menurut teori Hierarki
Kebutuhan Maslow," plodrahnya.

"Kebutuhan dasar itu apa?" tanya saya yang memang


ketinggalan sepur di perkuliahan.

"Makan, misalnya ..."

-179-
"Oh ... lalu?"

"Enek sewu, Ndes? Durung sarapan, je!"

Hancuriitt!! Arep utang wae kok omongane muuteeeerr ...


kayak gangsingan. Pakai bawa-bawa Maslow segala!

"Lha kok sampai utang? Kan kamu pengusaha undian


ndhog cecak terbesar se Asia Tenggara?" tanya saya heran.

"Tragedi itu terjadi gara-gara dua hal. Pertama,


daganganku dirampas polisi karena dianggap mengandung
muatan perjudian. Tuduhannya serius: berupaya
memasyarakatkan judi dan menjudikan masyarakat!"

"Hadeuuhh ... lha yang kedua karena apa?"

"Duitku habis untuk beli kupon CJK yang sampai


sekarang dibiarkan beroperasi, meskipun jelas itu judi!"

Mendengar penjelasan Meyek, kok kepala saya jadi


puyeng sendiri. Lha terus sebenarnya siapa yang judi kalau
begitu? Wis embuh lah! Anak ini kalau lagi lapar ya gitu,
ngomongnya seperti sinyal radio SW kemakan cuaca:
kemrosok keras tapi sama sekali gak jelas!

"Iki enek duit nyaris Rp15.000, tapi arep tak nggo tuku
formulir Sipenmaru Rp25.000. Dus, masih kurang Rp10.200."

-180-
"Tapi sepengetahuanku, belum pernah ada laporan orang
mati karena gak beli formulir. Kalau orang mati karena gak
makan, banyak, Ndes," sambungnya dengan pasang wajah
nyremimih.

Mantap benar pledoinya!

Maka gak pake lama, selembar gambar Sisingamangaraja


terpaksa keluar dari dompet saya. Timbang ana sing mati
kaliren, malah repot nanti!

Jindul ik ... neraca debet-kredit kas scontro saya jadi


njomplang lagi. Mau cari pinjaman dari mana lagi untuk beli
formulir?

Jes pascamenang tiga nomeran dulu itu, duitnya bisa


dipastikan masih banyak. Tapi daripada minjam ke dia, saya
mending putus cinta, deh. Karena hasilnya sama saja: sama-
sama sakit hati! Mitro jelas sedang krisis moneter, malah plus
hiper inflasi dan devaluasi. Tekek juga sedang gak baik
ekonomi makronya pascakredit macetnya ditagih Pak Wardi
(karena ditagih Bu Wardi tidak mempan). Hihihi ...

Harapan saya satu-satunya tinggal Ibu kos. Semoga beliau


mau memberi kredit ringan tanpa agunan. Cuma belakangan
ini raut muka si Ibu sedang keruh melulu. Harus pakai
strategi, nih ...

-181-
Maka siang itu ketika Bu Sri sedang menyapu halaman,
saya samperin.

"Bu, biar saya saja yang menyapu," ujar saya sambil


meminta sapu lidi yang ia pegang.

Bu Sri memandang saya dengan tatapan setajam silet.


Lalu bicara dengan nada tinggi.

"Kalau mau pinjam uang, bilang saja terus terang!"

"Hah! Kok Ibu tahu kalau saya mau pinjam uang?" seru
saya kaget.

"Saya itu jadi Ibu kos sudah 19 tahun. Jadi sudah hafal
betul, wajah dan kelakuan anak kos butuh uang itu seperti
apa," celetuknya dingin.

"Seperti apa, Bu?"

"Ya, seperti Mase tadi. Pura-pura bantu nyapu sambil


pasang wajah manis. Jiaaann ... Gak kreatif blass! Mosok dari
jaman saya bukak kos abad 19 sampai sekarang kok
modusnya begitu terus!"

Saya cuma njuwowos mendengar omelan Bu Sri.

Begitu, ya? Tapi saya belum menyerah.

"Jadi, saya tetap boleh mbantu nyapu kan, Bu?"

-182-
"Nyapu boleh. Utang tidak!" jawabnya ketus.

Sayur bayam, sayur lodeh. Wassalam deh ...

Sebenarnya, uang saya yang beredar di bursa efek,


maksud saya efek kelaparan kawan-kawan Tegalkuniran
lumayan banyak. Kalau saya hitung, lebih dari cukup untuk
menambal kekurangan beli formulir. Kenapa tidak ini saja
yang ditagih?

Sayangnya, saya seperti es krim yang meleleh karena


kelamaan tidak dimakan, jika sudah berhadapan dengan para
Gondes yang tak lain adalah kawan sak kruntelan. Jangankan
menagih utang, melihat mata mereka yang cowong-cowong
karena malnutrisi saja rasanya pengin nangis sendiri. Hikkss
...

Dan dua hari kemudian saya benar-benar larut dalam


kepedihan, saat loket penjualan formulir Sipenmaru di Kopma
tutup beneran. Sedih karena saya tak pernah bisa membeli
kertas idaman itu. Gagal sudah mimpi saya untuk
mendampingi Oki merebut kursi UGM.

Yang menyesakkan dada, uang saya sebenarnya kurang


sedikit, kurang Rp8.000 saja. Tapi begitulah. Jangankan
delapan ribu, kurang satu sen juga tetap kurang namanya.

"Gak jadi ndaftar UGM, kan?" celetuk Ibu kos saat


kebetulan nyuci bersebelahan di sumur.

-183-
"Gak, Bu. Kehabisan formulir," jawab saya.

Dalam batin saya heran tak kepalang, kok update banget


ya Ibu ini dengan info terbaru para kosternya?

"Alhamdulillah kalau gak jadi ikut Sipenmaru lagi!"


sambungnya.

"Loh ... kenapa kok Ibu malah bersyukur?" kejar saya


heran.

"Kan, sampeyan jadi tetap kos di sini. Saya ayem kalau


Mas di sini, karena rumah saya jadi tenang. Para lelembut gak
berani ganggu."

"Sik, tah Bu ... jadi itu alasan Ibu tidak mau ngasih
utangan ke saya, karena tahu mau saya pakai untuk beli
formulir?"

Bu Sri mengangguk lemah, memandang saya dengan


pandangan bersalah, lalu menunduk sambil terus nguceki
pakaian di ember besar sampai busanya terbang ke mana-
mana.

Sungguh saya tak tahu harus sedih atau bahagia saat itu.
Sedih karena tidak jadi menjajal remidi ujian masuk kampus
idola. Bahagia karena ternyata di sini keberadaan saya
dibutuhkan orang lain.

-184-
"Ndes ... aku ada perlu. Ke sini sebentar!" tiba-tiba suara
Tekek memecah kecanggungan suasana.

"Enek apa?"

"Isih duwe duwit, ora? Aku pinjam Rp15 ewu saja. 1 x 24


jam saya kembalikan. Emergency ini," ujarnya serius.

"Sik ... arep nggo apa?"

"Pokoke pinjemi dulu. Ceritanya nanti!"

Seluruh uang yang ada di dompet saya serahkan ke Tekek.


Dengan sigap ia merebut uang itu, lalu berlari ke arah jalan
dengan wajah gugup.
(To be W4Ginued)

-185-
18
TERCITA CAPE-CAPEMU

“Kejarlah asa sejauh mungkin, niscaya akan tercita cape-


capemu.” Begitulah saya mengejar Gama, yang ternyata harus
berakhir dengan lelah ha(ya)ti. Tapi itu semua tak mampu
menghapus hasrat di jiwa yang dari sononya sudah tertulis
"UGM" dengan huruf kapital.

Seperti rotasi bumi yang tak kenal istirahat, hidup pun


harus senantiasa berpolah: bergerak, berdinamika. Malam
akan berganti, cuaca berubah. Pun nasib akan cakra
manggilingan. Ora UGM saiki, ya sesuk. Ora isa sesuk, ya suk
emben. Ora isa suk emben, ya jarke wae. Mengko lak tuwek
karepe dhewe ... hahaha!

-186-
Sik, sik, sik ... kok malah berpuisi koyo wong mabuk topi
miring ki, piye? Cerita tentang mbah baju putih mana
kelanjutannya? Batu akik yang mencelat di bengkel Om
Taruno akhirnya gimana? Trus si Tekek yang bawa lari duit
molas ewu gimana? Duh Gusti, paringana mbois. Ternyata
sulit betul jadi pribadi bergelimang request. Tak terkecuali
saya yang pontang-panting direquest-i penggemar W4G ...

Baiklah ... menunggu memang membosankan. Waktu 1 x


24 jam hanya sak liyepan. Tapi jadi puanjaaang dan
luaamaaa... jika dipakai untuk menunggu duit balik ke
celengan.

Celakanya, yang ditunggu adalah Tekek, orang yang tak


pernah paham arti kata komitmen, baik konotatif maupun
denotatif.

"Jindul ik ... ini sudah 24 jam lewat 14 menit, tapi gak ada
tanda-tanda si Tekek bakal menampakkan batang hidungnya,"
gerutu saya.

"Lha kemarin pamitnya mau ke mana?" tanya Jes sambil


ikut khawatir.

"Mene ketehe ... bilangnya cuma emergency, kok," jawab


saya.

-187-
"Emergency itu luas, Ndes! Bisa nabrak orang, keluarga
sakit, sumurnya luber, kucingnya beranak, ikan koinya batuk,
itu juga termasuk emergency!" cerocosnya.

"Tul! Mendengarkan mulutmu yang bunyi terus kayak toa


orang sunatan, juga emergency!" tukas saya kesal.

Jes terbahak ...

Saat kesal itulah, tiba-tiba Tekek muncul.

Hhh ... kebiasaan. Dasar pendekar tanpa bayangan! Lakon


satu ini selalu muncul di injury time, dan selalu dengan wajah
tanpa dosa. Anehnya, kali ini ia membawa sebuah map warna
merah.

"Untung orangnya bisa kukejar. Nyaris. Nih, ini untukmu,


Ndul!" celetuknya tanpa harus kutanya.

Saat map saya buka, tiba-tiba mata saya terbelalak.


Ternyata isinya formulir Sipenmaru tahun 1988 yang sangat
saya dambakan!

"Sori, Ndes. Adanya tinggal IPA. IPC-nya sudah habis."

"Ini kamu beli di mana?" tanya saya masih gak percaya.

"Di ... Solo!"

-188-
"Iya, tahu! Kita kan memang tinggal di Solo, mosok di
bun binatang!" cerewet Jes.

"Sudahlah ... di mana dan bagaimana kubeli, gak penting.


Yang penting kawan kita ini anaknya nanti gak ngeces, karena
ngidamnya pengin formulir Sipenmaru bisa kelakon!" khotbah
Tekek sambil ketawa-ketiwi.

"Trus ... uangnya kurang, dong?" kejar saya khawatir.

"Gak kok. Pas."

"Kok bisa?"

"Aku kan masih punya hutang Rp11.500 padamu. Gak


papa kan kalau kubayar pakai formulir?"

Oh, my God! Dengan sukacita kupeluk si Gondes Tekek


penuh rasa haru. Tapi yang bersangkutan malah menjauh
sambil memekik,

"Jiaah! Memange aku hombreng, pa!?"

Huahaha ... kok déjà vu, ya? Kayaknya dulu pernah


dengar makian itu. Tapi, di mana?

Tanpa buang waktu, formulir saya isi selengkap-


lengkapnya. Kebetulan karena PUML-nya 44 (Solo), maka

-189-
bisa dikumpulkan di UNS. Tesnya besok juga di UNS. Jadi
gak usah keluar ongkos.

Siang itu Bu Sri memepet saya saat mencuci bersebelahan.


Kali ini wajahnya tampak segelap awan cumulonimbus.
Tampaknya petir kata-kata akan segera berkilatan.

"Jadi beli formulir juga, rupanya!" ujarnya tajam.

"Ya, Bu ... dibelikan Tekek."

"Mau ndaftar di UGM lagi, kan!?"

"Ya, Bu, salah satunya. Teknik Mesin UGM."

"Pokoknya saya doakan tidak lulus! Awas kalau ke UGM


betulan nanti!!" sambar Bu Sri sambil melengos pergi.

Woo ... kok gitu? Kan aku tidak utang dirimu, Bu. Aku
juga tidak lagi berminat menyapukan halamanmu. Kok masih
marah?

Ah, biarlah. Biar kafilah menggonggong, anjing tetap


berlalu. The show must go on.

Kali ini saya akan pakai formula Meyek, "Beli sekali,


sesudah itu kapok." Semoga saja saya tidak kecanduan beli
formulir seperti Meyek beli CJK!

-190-
Sekira jam 15.00 saya sedang membongkar soal-soal
Sipenmaru yang saya pinjam dari kamar Mitro, ketika
sekonyong-konyong Om Taruno Wagiyo datang bertamu
sambil menenteng bungkusan martabak.

"Apa itu, Om?"

"Hayaa ... ini oleh-oleh owe buat lu olang semua!" ujarnya


dengan wajah bersinar.

Waah, tumben.. Padahal si Om terkenal pelitnya, dari pelit


masih ke sana lagi. Ada apa ini?

"Syukuran ya, Om?"

Ia cuma mengangguk.

"Dapet nomer?" tebak saya.

Sekali lagi ia mengangguk.

Saat si Om beringsut pergi, sepintas saya lihat sesuatu


menyembul di jari manisnya. Setelah saya amati, olala ...
ternyata ia memakai cincin perak mengkilat dengan mata batu
akik putih bening dengan noktah merah di tengahnya!

W4Gindul ... ternyata barang yang kemarin saya cari-cari


dia kekepi sendiri!

-191-
Hampir saja saya rebut barang itu. Tapi ketika ingat
betapa ribetnya hidup saya dengan akik sialan itu, akhirnya
saya ikhlaskan. Biarlah ... tampaknya si akik sudah
menemukan tuan rumah yang pas sekarang!

Kawan-kawan yang sedang ngethimel tentu tidak paham,


apa hubungannya martabak dengan senyum si Om yang baru
nembus CJK. Tapi saya sangat mahfum apa yang
sesungguhnya telah terjadi. Dalam batin saya hanya bisa
berdoa, semoga besok-besok order las-lasan Om Taruno tidak
mangkrak karena ditinggal molor!

Pagi di bulan Juli 1988 itu terasa menyengat, saat mata


saya bersirobok dengan pengumuman hasil utul (ujian tulis)
Sipenmaru. Ternyata untuk kedua kalinya, saya ... tidak lolos!

Tekek adalah Gondeser Tegalkuniran yang paling terpukul


oleh kenyataan itu, sampai-sampai ia bercucur air mata.

"Sedih aku, Ndes! Tak rewangi golek utangan nggo


nglunasi formulirmu, malah ora katut!" ucapnya sambil
mimblik-mimblik.

Saya pun tak sanggup berkata apa-apa. Toh, manusia


hanya bisa berusaha. Allah yang menentukan hasilnya.

"Kegagalan adalah sukses yang tertunda, Kek!" ujar saya


sambil menepuk bahu Tekek.

-192-
"Betul, Ndul. Tetapi kegagalanmu adalah makan yang
tertunda. Karena kita berdua sekarang sama sekali gak punya
uang!"

"Jindul, ik! Kamu aslinya sedih karena saya gak diterima


Sipenmaru, atau karena gak bisa makan?"

"Dua-duanya," jawab Tekek sambil nyengir.

Benar juga, ya.

Saat sedang bingung, tiba-tiba muncul Bu Sri dengan


wajah secerah mentari pagi.

"Gak diterima di UGM, kan?" tanyanya renyah.

Saya menggeleng lemah.

"Jos! Ternyata doa saya diijabah!"

Sebelum saya sempat membela diri, Bu Sri menoleh ke


Tekek sambil berkata,

"Mas Teguh, tolong semua kawan dikabari, nanti malam


kita kita syukuran dengan makan bersama!"

"Siap, Bu!" sambut Tekek dengan wajah banar.

-193-
Malam itu kami benar-benar dijamu makmal ala kenduri.
Saya sendiri yang disuruh ndongani. Kawan-kawan dan Bu Sri
mengamini.

Duhh ... baru kali ini, kegagalan dirayakan dengan suka


hati.

"Tahu begini, sering-sering aja kamu gagal, Ndul!" bisik


Mitro sambil nyekikik.

Gondes tenan, owg!!


(To be W4Ginued)

-194-
19
KERONCONG ANTI
KERONCONGAN

Sipenmaru tidak hanya menguras emosi, tapi juga


finansial: Saldo ATM (Anti Tilepan Maling) sor bantal saya
mendadak minus. Tapi menurut buku primbon karangan Hari
Gondes Sumitro, "Ana dina ana upa, ana obah ana gabah" (ada
hari ada nasi, ada gerak ada gabah). Maka saya sama sekali
gak kuatir soal asupan bahan pokok. Sudah ada yang ngatur!

Seperti sore itu, ujug-ujug Pak Edy (lulusan Seni Rupa


yang dulu tugas akhirnya separo saya garapkan) ngajak saya
main keroncong di Kusuma Sahid Prince Hotel (KSPH),
tempatnya bekerja.

-195-
"Ini keroncong beneran, bukan keroncongan?" tanya saya.

"Iyalah. Kalau keroncongan kan, perutmu. Eh, kamu bisa


pegang gitar, kan?"

"Bisa!"

"Pegang ukulele?"

"Bisa!"

"Maksudku memainkan ..."

"Oh ... nek iku gak pati enjos, Pak!"

"Who ... ra kacek! Yen mung nyekel thok, bayi ya isa!


Tapi gak papa, ikut saja sambil kenalan dulu," ujarnya
meyakinkan.

Wis, embuh! Tahu-tahu sore itu saya sudah nggonceng


Vespa warna telur bebek Pak Edy sambil membopong gitar
menuju hotel.

Weh, setil tenan, kayak seniman!

"Tukang melodinya lagi sakit. Nanti kamu saja yang


menggantikan," ujar Pak Ed.

"Waah ... tapi saya kan belum tahu, melodi keroncong itu
seperti apa," ujar saya khawatir.

-196-
"Pak Ed tahu?"

"Ora!"

Week ... bul ra kacek juga!

Sampai di lokasi, ternyata keroncong sudah main, minus


melodi. Pak Ed langsung memberi isyarat agar saya join saja.

Waduuh ... kalau sekadar genjrengan sih biasa. Lha ini,


langsung action di hotel! Ditonton para tamu dan turis asing
pula? Gemrobyos, Ndes!

Tenang wae. Londo-Londo itu juga gak mudeng


keroncong. Kita ngawur, sana juga gak tahu, kok!" nasihat pak
Ed sambil nggejig sepatu saya.

Saya manggut sambil nyengir kecil.

Wis, pokoke ngetutke wae. C, A minor, D minor, ke G, ke


C lagi. Pokoke kalau jaman sekarang ya kayak klip lagunya
Kuburan, lah.

Tapi rasanya lagu demi lagu mengalun demikian pelan,


panjaaang ... gak rampung-rampung. Efek dari grogi saya ...

Jam 22 pas, pertunjukan usai. Saya langsung lari ke toilet.


Perut saya mules terdampak stres selama dua jam penuh.

-197-
Keringat membasahi kaus Rollingstone saya, sampai bisa
diperas.

Wah, jindul ... aku diplonco pak Ed yen ngene iki!

"Mainmu unik. Jumat depan ikut lagi, ya!" kata salah


seorang pegawai KSPH sambil memasukkan amplop kecil ke
saku jeans saya.

Amplop, Ndes! Hambok sumpah, seumur hidup belum


pernah sekalipun saya dikasih amplop. Moga-moga isinya
signifikan. Amiin ...

Ngomong-ngomong dia bilang main saya unik, wong Solo


itu kalau ngomong memang bahasanya ajib. Saya tahu,
sebenarnya dia pengin bilang "hueleek". Tapi siapa peduli.
Yang penting mingdep aku diajak lagi!

Setelah ngobrol dan kenalan dengan pemain lainnya dan


Mbak penyanyinya yang dari cakep masih ke sana lagi, kami
dijamu makan malam oleh pihak hotel. Menunya... ya Allah ...
dari mewah masih ke sana lagi. Sangat mewah menurut
ukuran saya. Tangan saya sampai gemetar, pengin ngambil
semuanya, sebanyak-banyaknya. Untung otak waras saya
masih bekerja, hehehe ...

Surprise-nya lagi, saat pulang masing-masing diberi


bingkisan yang entah isinya apa. Wah, jan ... uenak tenan
kerja beginian. Disuruh seneng-seneng, sangu dapat, makan

-198-
terjamin, bekal mantap. Sungguh selaras dengan ideologi The
Koster.

Sampai di kos, bingkisan dibuka rame-rame oleh para


Gondes. Isinya kue basah dan makanan kecil aneka rupa.
Semua tampak senang dan bahagia, bisa menikmati makanan
kelas hotel bintang lima.

"Untung kamu gak keterima di UGM, Ndes. Kalau di


Jogja, kamu ngamennya di Ambarukmo, snack-nya gak bakal
sampai ke sini," ujar Tekek sambil terus mengunyah.

Entah kenapa, mendengar kalimat itu hati saya merasa


teriris-iris. Sedih, iba, dan nelangsa campur aduk menjadi
satu.

Duuhh ...

Masuk kamar, jantung saya dag-dig-dug berdebar tak


karuan menggagas amplop yang tadi diberikan staf hotel.

Berapa ya, isinya? Sedikit gak papa, yang penting bisa


untuk ngisi ATM saya ...

Perlahan amplop putih itu saya buka. Isinya saya tarik


pelan-pelan.

-199-
Badhalaaa ... ternyata isinya ... kartu nama! Ora lucu
tenan! Mosok kertu nama diamplopi! Wong Solo nyat kreatif
tenan, Ndesss!!!

Tapi setidaknya keroncong telah membawa berkah:


membuat Gondeser Tegalkuniran tidak keroncongan. Meski
hanya untuk sementara waktu. Maka setiap malam Jumat, saat
yang lain menjadi jamaah yasinan masjid Al Hikmah
Kentingan, saya justru ngembul di majelis Kusumasahiddiyah.

Jujur, saya merasa iri dengan kawan-kawan yang bisa


aktif ngibadah. Tapi para Gondes selalu membesarkan hati
saya tentang hal ini.

"Tenang, Ndes. Nanti saya pamitkan Pak Kyai bahwa


dirimu juga sedang "jihad" mencarikan makan bagi kami-
kami. Saya yakin Gusti Allah maha paham, betapa jerih
payahmu telah membuat kami terhindar dari bahaya
malnutrisi."

Wallahu a'lam. Yang pasti setiap Kamis pukul 23.00,


wajah cerah para Gondes pasti sudah menyambut saya di
portiran kos. Sambutan yang penuh penghargaan tulus, polos,
tidak dibuat-buat. Meski hanya dipicu kehadiran sebungkus
kue.

"Bukan seberapa banyak dan seberapa baik yang kita


berikan, tapi seberapa ikhlas kita memberikannya. Bukankah

-200-
begitu, jamaah?" kata Ustadz Meyek AlBojonaghori yang
baru sembuh total dari napza jenis CJK.

Karena kata itu sering diucapkan berulang-ulang, maka


biasanya kami jawab bareng-bareng,

"Bukaaaaaaann!"

Hahaha ...

Tapi benar belaka bahwa makanan adalah sumber konflik


utama sejak zaman Adam Hawa. Ada saja ganjalan yang
muncul di luar intensitas ibadah: jengkelnya Maido. Ya,
tukang hik yang pernah saya ingatkan agar tidak selalu marah
itu suatu malam mengajukan komplain.

"Gara-gara kamu, setiap Kamis teman-temanmu absen


wedangan. Daganganku dadi ora payu! Mbok cekoki apa ta
sakjane?!" protesnya.

Saya cuma diam. Bukan karena gak mau jawab, tapi


karena malas bertengkar dengan orang yang lebih tua.
Bagaimanapun, Mbah Maido punya kontribusi optimal
terhadap tumbuh kembang saya.

Kalau mau bikin bangkrut orang, jangan begitu caranya.


Terus terang saja bilang ke saya biar kita selesaikan secara
jantan!" tantangnya.

-201-
Saya tatap mata Mbah Maido, lalu dengan pelan saya
tanggapi omelannya,

"Maaf, Mbah. Saya betina!"

Mendengar jawaban saya, tiba-tiba tawa Mbah Maido


meledak keras. Ia ngakak berkepanjangan sampai terjongkok-
jongkok, hampir pipis di tempat.

"Bajinduulll!! Guendheeeng!! Edaaan!!! Lucu tenan


kowe! Anake sapa kowe, Leee!!??" teriaknya sambil
menyalami saya erat-erat.
(To be W4Ginued)

-202-
20
KETIBAN AWU ANGET

Cik Yin menggedor-gedor pintu kamar saya dengan keras.


Saat saya buka, tampak istri Om Taruno itu berkacak
pinggang di depan pintu, didampingi Bu Sri. Wajahnya
sangar. Bulu ketiaknya berkibar-kibar dari balik baju lekton
(keleke katon) yang dia pakai. Tapi, sumpah, bukan bulurah
(bulu warna merah) itu yang bikin galfok. Melainkan
wajahnya yang tampak murka level 9. Galfok lagi, mengapa
kemarahan itu ditumpahkan ke saya? Apa urusannya?

"Hei, Mas! Kalau jual barang yang bener! Gara-gara akik


yang Mas jual ke suami saya, dia sekarang bawaannya males

-203-
melulu. Kerjaan numpuk tidak tergarap. Pokoknya sampeyan
harus bertanggung jawab!" cerocosnya seperti senapan mesin.

Wuiik ... rupanya si Putih bintik merah sudah makan


korban lagi. Tapi kalau saya dituduh jadi biang keroknya, ya
salah alamat. Apalagi tiba-tiba bicara soal jual-beli? Wah,
ketiban awu anget ini namanya. Gak ikut perkaranya, tapi
dapat masalahnya ...

"Maaf, Cik, memangnya berapa uang yang Om bayarkan


ke saya? Kok saya lupa, ya!" jawab saya sekenanya. Kura-
kura dalam perahu.

"Kan Rp100 ribu. Itu banyak sekali! Sudah gitu,


barangnya bawa sial!"

"Oh, baik. Tolong kembalikan akiknya ke saya. Soal duit,


gampang deh nanti. Saya bayar nanti, plus ganti ruginya."

Cik Yin mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Wuaah ... ternyata barang sialan itu sudah ia bawa


sekalian meski tanpa cincinnya! Sip inih ...

Tanpa buang waktu, saya ajak Cik Yin ke bengkel Om


Taruno, eh... yang notabene adalah rumah dia sendiri. Tak
lupa kawan-kawan saya ajak sebagai saksi.

-204-
Om Taruno pucat pasi melihat saya datang bawa pasukan
lengkap sak bergada. Tapi ... sesungguhnya saya tahu setahu-
tahunya, bahwa ia jiper kaliber super pada emak baju lekton
yang ada di samping saya. Hihihi ...

"Nih, Pah.. Papah omong sendiri dengan yang punya


akik!" bentak Cik Yin.

"Eh, e ... anu... itu akik owe kembalikan ke lu olang.


Maaf, Mah, itu batu owe ambil, bukan beli.. Hayya ... owe
kilaf... Maaf juga Mas Gun ...," ujar si Om terbata-bata sambil
memegang dada, hormat ala Shaolin.

"Hah, jadi gak beli, ya!? Lalu uang Rp100 ribu kemarin
Papah kasih ke siapa?! Jangan bohong, ya!!" teriak Cik Yin
sambil menarik kuping suaminya.

Si Om cuma mengaduh-aduh minta ampun.

Waduuhh ... kalau gak dicegah, bakal ada perang Manchu


Jilid III ini. Maka sebelum korban berjatuhan, saya putuskan
untuk menengahi.

"Sudah, gini saja. Saya gak akan tuntut Om Taruno,


masalah kita anggap selesai. Tapi tolong, Om harus bantu saya
memusnahkan batu keparat ini."

"Hayyaa ... setuju. Tapi owe takut laa ... Kalau


penunggunya yang baju putih ngamuk, bagaimana?"

-205-
Wah, makin trawaca sekarang. Kalimat "baju putih" yang
diucapkan Om Taruno sudah menjelaskan segalanya. Rupanya
si Lelembut itu sudah menampakkan diri di depan tuan
barunya.

"Ya kalau ngamuk, itu risiko Om, lah. Salah sendiri


ngambil punya orang tanpa permisi! Tapi kalau Om gak mau,
ya terpaksa akan saya pidanakan dengan pasal pencurian!"
gertak saya.

Om Taruno memegang jidat sambil menoleh ke istrinya.


Cik Yin mengangguk, isyarat agar eksekusi dilanjutkan.

"Sudah, sekarang ambil las karbit, tang tempa, sama palu


besar!" titah saya.

Tanpa banyak tanya, Om Taruno menyiapkan peralatan


yang saya minta.

Dengan segera, akik saya jepit dengan tang tempa.

"Bakar dengan las karbit!"

Si Om menutul ujung las dengan korek, lalu


menyentrongkannya ke batu putih bercak merah itu.

Semenit kemudian, batu itu mulai menghitam, disusul bau


sangit meruap ke angkasa. Bukan bau batu, bukan bau logam,
tapi sangit wering seperti bau daging terbakar!

-206-
Setelah lima menit, saya kasih isyarat agar si Om
melaksanakan prosesi terakhir.

Ia mengambil palu besar. Mengangkatnya tinggi-tinggi,


lalu menghantamkannya ke akik itu dengan kekuatan penuh.

Bersamaan dengan bunyi praak!! dan batu hancur


berkeping-keping, tiba-tiba terdengar suara jerit panjang yang
dalam bergema ke seluruh ruangan bengkel.

Berbareng dengan itu, tubuh Om Taruno terempas ke


lantai. Badannya mengejang. Pupil matanya berbalik
memutih.

Waduuh ... dia kesurupan!

Melihat kejadian itu, Cik Yin bukannya menolong, tapi


malah lari lintang-pukang masuk rumah diikuti nggendringnya
para Gondeser ke arah kos. Sungguh gak ACI namanya
meninggalkan sohib seiring yang sedang kerepotan!

Langsung saja saya ingat peristiwa waktu Bu In semaput


di Ruang Administrasi dulu. Mungkin perlu aksi yang sama.
Kebetulan kantung kemih saya perlu dikosongkan, nih ...

Untungnya, sebelum saya ambil tindakan, Om Taruno


sudah kriyip-kriyip bangun dan tersadar. Ia duduk sambil
memeluk lutut, lalu menghela nafas panjang.

-207-
"Om barusan pingsan.." kata saya mengingatkan.

"Iya ... owe takut ... takut sekali „"

"Memang lelembut begitu, suka bikin masalah ..."

"Hayya... owe bukan takut ke lelembut laa ..."

"Laaah ... lalu takut ke siapa?"

"Istli owe ..."

Jinduull! Saya tepok jidat keras-keras. Tak pikir si Om


kesurupan si baju putih ki mau. Tibake kesambet si baju
lekton!!

Tapi harus saya akui, sejak peristiwa destruksi itu


perasaan saya jadi lebih tenang. Kekhawatiran diganggu
makhluk dari dimensi lain seperti yang diwanti-wanti Mbah
Sholeh mulai sirna. Namun bukan berarti urusan saya dengan
dunia halus di Tegalkuniran selesai.

Adalah Eyange, ibunya Ibu kos, yang baru datang dari


Kalibening, yang mendadak maghrib itu bikin geger seantero
kos. Ia keluar dari pintu dapur sambil menenteng sesuatu yang
menggiriskan: bangkai kucing hitam di tangan kiri dan arit
besar di tangan kanan, yang keduanya bersimbah darah segar!

-208-
"Mas Gun ... tulung bangke kucing ini dirukti.
Dimandikan, dibungkus kafan, dan dikubur seperti layaknya
mengubur jazad manusia," pesannya.

Aku mengangguk, meski tak bisa lepas dari rasa bergidik.


Penasaran, tapi gak berani menanyakan ke Eyang lebih dalam,
apa yang sesungguhnya telah terjadi. Saya tahu itu kucing
candramawa yang menubruk saya saat awal masuk kos dulu.
Tapi mengapa ia sampai dibunuh? Mengherankan lagi, apa iya
di usia Eyang yang sudah mendekati 90 tahun masih mampu
mengayunkan arit sampai membuat kepala kucing itu
terbelah? Benarkah beliau yang melakukan? Kemungkinan
besarnya, kecil!

Terpaksalah malam itu saya beli mori, memandikan,


mengkafani, dan menguburkan si kucing nahas itu. Sempat
bingung juga mau dikubur di mana, tapi Eyange bilang, "Di
mana saja boleh. Wong dulu, sini ini kuburan semua kok!"
katanya.

Woalah, layak ...

Kedatangan Eyange yang menurut rencana mau tinggal di


Tegalkuniran hingga sak sedane, ternyata membuat gundah
para Gondes.

"Eyange sering omong sendiri, seperti menghardik sesuatu


suruh pergi!" lapor Mitro.

-209-
"Kadang menyabeti sudut-sudut ruangan dengan sapu
penebah, sambil musuh-misuh!" sambung Meyek.

"Kemarin, waktu mau wudlu juga berteriak-teriak,


minggat! minggat! gitu," tambah Jes.

"Saat itu ada siapa di situ?" tanya saya.

"Cuma aku."

"Naah.. jadi jelas kan siapa yang disuruh minggat!"

"Hajindul kowe, Ndess!!"

Kami pun tertawa. Meski dalam batin tetap penuh syak-


wasangka, pasti ada yang tidak beres di rumah ini!
(To be W4Ginued)

-210-
21
PROFESIONDES

Akhirnya kami punya profesi sendiri-sendiri. rofesi para


Gondes atau yang nyaris terkenal dengan istilah profesiondes.
Tidak new-gihi sih, tapi new-kupi. Hihihi ...

Saya penulis nyambi pengamen keroncong. Bisa juga


sebaliknya. Mitro sales alat kesehatan. Meyek jualan kerajinan
bonggol jati. Jes loper koran. Dan Tekek jual-beli burung.

Tapi di antara profesiondes itu, yang jelaz (mateni z) cuma


milik saya. Lainnya agak-agak mencurigakan. Masalahnya
sederhana: para Gondes cenderung menyembunyikan aktivitas
merkantilisme yang mereka lakukan.

-211-
"Sakjannya alkes apa sih yang kamu jual, Tro?" ujar saya
menyelidik. Jujur, saya kepo habis, karena setiap kali ditanya
Mitro cuma senyam-senyum.

"Sorry, Ndes. Saya hanya bisa kasih clue-nya. Fungsinya


bertentangan: satu untuk membesarkan, satunya lagi untuk
mengecilkan. Hasil akhirnya adalah pede."

Saya cuma tertawa kecil, karena ada clue tambahan bahwa


itu... khusus untuk dewasa.

"Koyok KTP ngono lho... sing oleh nganggo cuma yang


17 plus-plus," jlentrehnya.

Ooo ... gitu ya?

Meyek juga agak keberatan saat diminta membeberkan


bisnisnya. "Takut dicontek pesaing," katanya.

Ternyata saat saya selikidik, yang ia jual adalah kerajinan


seperti pot, guci, lampu gantung, asbak, yang semua terbuat
dari kayu jati apkiran. Lantas apa istimewanya?

"Saya jual pakai sistem multilevel marketing, kayak


Amway gitulah!" ujar Meyek.

Weh, canggih juga ya. Cuma saya bingung, bagaimana


mbagi fee dengan downline-nya nanti? Wong untuk bayar
kredit bakwan nggone Maido saja ngos-ngosan!

-212-
Loper koran yang dilakukan Jes sebenarnya biasa-biasa
saja, jualan koran sebangsa KR, Suara Merdeka, Kompas, dan
lain sebagainya. Yang unik adalah jumlah yang "dan lain
sebagainya" ini lebih banyak dari korannya.

Suatu ketika saya sempat ngintip ke kamar Jes yang


difungsikan sebagai ruang transit barang cetakan yang jadi
komoditas niaganya.

Masya Allah ... ternyata tumpukannya setinggi leher.

Masya Allah ... ternyata tumpukan itu didominasi buku


novel tipis bergambar "cetho".

Masya Allah ... ternyata terbanyak adalah serial NC dan


AA. Dua novel genre baru yang sering membuat sabun di
kamar mandi cowok menjadi cepat habis.

"Lha, piye ... kuwi sing paling laris je, Ndesss!" ujar Jes
membela diri.

"Tapi kan merusak moral!" bantahku.

"Tepatnya ... menguji keimanan ..." eyelnya sambil


nyengir.

Tapi yang paling aneh adalah profesi Tekek. Katanya jual


beli burung, tapi gak pernah kelihatan burungnya. Jangankan

-213-
Derkuku, Parkit, Kutilang, Jalak, atau Beo, Emprit pun tidak
ada.

"Kamu jual burung yang mana, Kek? Jangan-jangan


burungmu sendiri sing mbok dol ke Susi?" sindirku.

"Eit, jangan ngawur! Era kejayaan jual produk sudah


lewat. Sekarang eranya jual jasa. Cukup dengan approach
interaktif, komunikasi intens dan ofensif, sedikit ekspresi aura
positif, maka customer akan terinfluensi dan benefit pun
mengalir."

"Sik ... sik ... jelase kalimat sing tunjek poin, piye?"

"Aku menjualkan burung milik orang dan mengambil


sedikit fee dari situ."

"Halaah! Muni makelaran wae kok definisine cukup nggo


ngubengi Jurug tekan Sriwedari!" semprot saya sambil
ngekek.

Tekek ikut ngekek.

Kerja sih kerja, tapi jangan tanya soal pendapatan. Karena


bagi kami, pepatah besar pasak dari tiang sulit dihindarkan.
Yang penting ada upah jerih payah, sekadar bisa untuk beli
sego kucing sak paidone.

-214-
Yang jelas, sejak aktif cari duit, kuliah jadi keteteran.
Prinsip "aja kakehan kuliah mundhak dodolane kether"
membuat Gondeser sering bolos. Sehari penuh mremo, dan
baru pada kembali ke kos jelang maghrib. Tak heran Bu Sri
sering nanya, "Iki wis dha lulus pa piye, sakjane?"

Tapi sejak jadi profesiondes, secara bertahap kecekungan


badan bisa dikurangi. Meyek yang semula beratnya cuma 39
kg, sekarang naik menjadi 39,6 kg. Lumayanlah, naik 6 ons.
"Daripada tinimbang, kan lebih baik aluwung „," komennya
soal berat badan yang stagnan.

Mitro naik drastis dari 80 menjadi 86 kilo. Konon karena


customer yang puas dengan kebesaran dan kekecilannya suka
pada ngajak nraktir. Bukan di hik tentu, tapi di rumah makan
non-maido yang menunya berlemak-lemak.

Jes mengaku berat badannya tidak naik. "Makan memang


lebih banyak, tapi ke belakangnya juga lebih sering,"
begitulah penjelasan ilmiah ala Jes.

Tekek masih setia dengan pola berat badan yang


fluktuatif. Naik 1 ons sehabis makan, tapi turun 2 ons setelah
diomeli Susi yang galaknya sak alaihim itu. Jadi ya tekor!

Saya sendiri naik dari 58 menjadi 60 kilo. Benar-benar


signifikan. Sepertinya perlu dibuat skripsi "Dampak Paket

-215-
Kalori Cap KSPH terhadap Perubahan Massa Tubuh
Gondeser". Hehe ...

Tapi momen perbaikan gizi itu hanya bertahan dua bulan.


Habis itu berhenti seperti sepur kelinci kena portal. Lucunya,
proses berantakannya nyaris bersamaan, dengan penyebab
yang remeh-temeh pula.

Tanpa hujan tanpa angin, ujug-ujug per September 1988


keroncong KSPH berhenti manggung. Penyebabnya, tukang
kabel sound-nya mendadak berhenti bekerja.

"Laaah, kan tinggal ganti orang. Kalau cuma nyeploske


kabel aku juga bisa!" protes Tekek.

"Masalahnya ... tukang kabel itu adalah adiknya Bos. Dan


dia juga merangkap sebagai manajer keroncong," jelasku.

"Woo ... layak!" cetus Tekek.

"Kamu sendiri kenapa berhenti jual-beli... eh.. makelaran


burung?"

"Aku dikejar-kejar pembeli. Penyebabnya, uang telanjur


kuterima, tapi burung gak kunjung diberikan oleh
pemiliknya."

"Lah ... kan gampang, tinggal kembalikan uangnya,


urusan selesai."

-216-
"Itulah masalahnya. Uangnya sudah kupakai untuk beli
daster Susi Similikithi!"

"Woo, layak!" balas saya.

Siangnya Jes muncul sambil misuh-misuh entek amek


kurang golek.

"Ndladuk ik..!! Mosok buku-buku larisku dibajak ta,


Ndess! Biasanya per agen ngambil minimal 10 per minggu.
Ini sebulan gak ada yang ngambil. Eh, ternyata mereka
gandakan dengan alat baru yang namanya potokopi dan
mereka jual sendiri!"

"Woalah. Eh, ngomong-ngomong memangnya buku yang


kamu jual itu asli?" tanya saya.

"Hehehe ... bajakan juga, sih!" jawab Jes sambil garuk-


garuk kepala yang tidak gatal.

Yah, itulah yang namanya re-bajakisasi. Pembajak dibajak


lagi oleh pembajak lainnya! Hukum karma ternyata berlaku
tanpa ampun!

Beberapa hari kemudian, giliran Mitro yang mengeluh


karena penjualan "alkes"-nya ngedrop drastis.

-217-
"Sudahlah, Tro ... mungkin orang Solo sudah pada besar
dan sudah sempit semua. Jadi tak butuh treatment lagi," kata
saya menghibur.

Mitro cuma senyum kecut.

Eh, siangnya kakak Meyek yang menyuplai dagangan


datang dari Bojonegoro membawa mobil pick-up full
kerajinan jati. Niatnya sih mau ngambil hasil penjualan plus
nambah stok barang.

"Gimana, laku barangnya?" kata kakak si Meyek.

"Alhamdulillah habis!"

"Sip. Duitnya mana?"

"Maaf ... habis juga, Mas ..."

"Jindul!! Dari dulu kelakuanmu gak sembuh-sembuh!!"


semprot si kakak sambil ngibrit pergi.

Barang sak pick-up dibawa pulang lagi.

Meyek cuma tertunduk.

Kami juga.

Lengkap sudah kegagalan Gondeser Tegalkuniran kali ini.


(To be W4Ginued)

-218-
22
TANGISMU TAWAKU

Suara rintihan itu terdengar lagi. Kadang jelas, kadang


menghilang. Seperti suara perempuan yang lagi nestapa
dibalur duka. Arahnya jelas dari sumur. Sesaat kemudian,
pindah ke belakang dapur. Balik lagi ke sumur. Kayak setrika
saja, mondar-mandir ...

Saya mendengar rintihan itu setahun lalu, saat masih


berpredikat New Gondeser. Awalnya saya pikir suara musang
bulan, yang suka nangis kalau sedang kekenyangan. Maklum,
Tegalkuniran itu miniatur suaka margasatwa. Gremetan apa
saja masih ada. Tapi setelah saya cek-ricek, info selebriti dan
kabar-kabari, jelas bukan. Yang ini lebih mengiris telinga.

-219-
Saat itu, setahu saya "dia" hanya keluar di malam Anggara
Kasih (Selasa Kliwon) yang gerimis. Di luar itu, jarang
muncul. Bahkan di malam Anggara Kasih pun, kalau tidak
gerimis ya aman-aman saja. Tapi ini, malam Minggu kok
nangis juga?

Mosok di alam lelembut ada juga jomblowati yang


mingseg-mingseg nangis darah gara-gara batal diapeli calon
yayangnya?

Tapi suara rintihan itu tetap mengganggu. Aktivitas saya


mendengarkan tangga lagu-lagu radio PTPN Rasitania jadi
gak khusuk. Mosok lagu "Apanya Dong"-nya Euis Darliah
yang groovy abis, disenggaki senggukan, "Hiiikks ... hiiiks ..."
Kan ora wangun, Ndess!

Tak mau nge-jam session saya dengan Telesonic 2 Band


kesayangan terganggu, saya memutuskan mencari suara itu.
Biasanya gampang kok, nyetopnya. Tinggal diteriaki,
"Brisik!" gitu saja sudah cep-klakep, diam seketika, seperti
emak-emak ngobrol kedatangan penagih utang!

Dengan mengendap-endap, saya menuju ke arah sumur.


Suara itu datangnya seperti dari palang kerekan timba. Benar
saja, ternyata ada sesosok perempuan berbaju putih duduk
ongkang-ongkang di sana. Tak jelas wajahnya, tapi dua
kakinya menjuntai ke lubang sumur.

-220-
Ini pasti sosok yang dilihat Meyek dulu. Sosok yang
membuat pesawat Meyek terguyur PPO! Hadeh, tapi kok
bahaya betul posisinya. Nek kecemplung piye jal, kan bisa
mati? Eh, memang sudah mati, ding! Gak tahu lagi kalau dulu
matinya her, sehingga pengin remidi dengan mati dua kali ...

Mungkin dia kura-kura dalam perahu, atau memang


beneran gak melihat kedatangan saya. Terus saja ia merintih
meratapi nasibnya yang entah kenapa. Wah, kudu ditegur ini,
biar gak keterusan sakit wuyungnya.

Baru saja mulut saya monyong siap melepas kata, tiba-tiba


pundak saya terasa dicolek dari belakang. Siiirrrrr! Seketika
darah saya berdesir kencang. Tengkuk saya terasa
menggelembung sebesar gardu. Bulu kuduk saya njegrak
seperti duri kaktus!

Saat saya menoleh, hampir saja saya berteriak. Sesosok


nenek tua yang wajahnya berlipat-lipat seperti sprei tak
disetrika, berdiri tepat di belakang saya. Hadeuuhhhh ...
ternyata Eyange!

Ia memberi isyarat agar saya menyingkir. Dengan cekatan


Eyange menyebarkan semacam serbuk dengan tangan kirinya.
Sementara tangan kanannya mengobat-abitkan sapu gerang
sambil bibirnya ndremimil.

-221-
"Dhemit, jin, setan, aja ngganggu putuku! Minggat!
Minggat! Minggata sing adoh. Bali mring alam kalanggengan
atas kersane Allah!"

Weh, doa apa pula itu? Sungguh baru kali ini saya
mendengar doa semacam itu. Tapi khasiatnya sungguh nyata.
Sosok tubuh putih itu langsung meloncat dari palang sumur
sambil berteriak panjang. Setelah itu menghilang.

"Kasihan ...," ujar Eyange lirih.

"Kenapa kasihan, Yang?"

"Dia nangis terus karena pasangannya hilang. Dia sedih,


sehingga mau bunuh diri. Tapi jangan didekati. Karena dia
tidak sungkan-sungkan menyeret orang yang ada di dekatnya
agar ikut mati."

"Walaahh ... segitunya?"

"Iya. Itulah sebabnya Mas Gun saya kejar karena saya


takut terjadi sesuatu."

Mendengar penjelasan Eyange, saya tiba-tiba jadi


mengkirig sungguhan. Padahal seumur-umur saya tidak
pernah takut berlebihan pada lelembut. Ternyata berani tanpa
ilmu bisa fatal akibatnya!

-222-
"Ngomong-ngomong, apa betul itu tadi arwah penasaran,
Yang?"

"Bukan, lah. Itu bangsa alus. Kalau bukan jin, ya setan


yang memba-memba (menyerupai sesuatu atau seseorang).
Arwah mana bisa jahat seperti itu," jelas Eyange.

Lumayan lah, dapat kuliah satu semester tentang dunia


perdhemitan, straight from the throat of the horse alias
langsung dari gurunya.

"Tadi, gadis yang mau nyemplung sumur cakep nggak,


Yang?"

"Woooh ... cakep banget, kayak widodari (bidadari). Tapi


babar pisan ora pas, yen mbok pek bojo! (tidak pas diperistri)"

"Memangnya, kenapa?"

"Ora isa meteng! (gak bisa hamil)"

Bwahahaha ... nasihat yang jitu tenan yen iki, Ndess!

"Tapi Mas Gun ke depan harus hati-hati. Gara-gara ruang


semedi yang merupakan markas mereka sampeyan obrak-
abrik dulu, sekarang penghuninya bubrah tersebar ke mana-
mana."

-223-
Waduuh ... kok jadi sebegitu ya, dampaknya? Padahal
saya hanya melaksanakan arahan Ibu kos?"

Menurut Eyange, satu di antaranya yang ganas adalah


yang merasuki kucing candramawa yang mati kemarin. Ada
kecenderungan kucing trance itu akan menyerang siapa saja,
khususnya yang rajin beribadah.

"Sejak dulu kucing hitam itu sudah ditempeli makhluk,


tapi makhluk biasa yang suka bermain-main. Sedangkan yang
nempeli akhir-akhir ini bisa mengancam nyawa. Jadi, ya
terpaksa Eyang musnahkan."

Woohh ... nguweri!

Dan peringatan Eyange agar saya hati-hati itu benar


adanya. Pagi itu ketika saya sedang membetulkan daun pintu
kamar mandi, tiba-tiba martil yang saya letakkan di lubang
rooster sekonyong-konyong "terbang" dan nyaris menghantam
kepala saya.

Secara fisika, jelas tidak mungkin martil jatuh mendatar


karena arah gaya gravitasi selalu ke bawah. Tapi secara
metafisika, ya bisa-bisa saja terjadi. Jangankan martil, becak
saja bisa temangsang di cabang pohon beringin. Gek sapa sing
nguncalake, coba?

Dan dari hari ke hari ada saja kisah muskil yang menimpa
para Gondes. Gak semua menyeramkan, sih. Ada juga yang

-224-
membikin ngakak meskipun tetap bikin mrinding. Salah
satunya yang dialami Jes.

"Sempakku (celdam) sing tak isis (diangin-anginkan) di


jemuran kamar tiba-tiba bergerak ngalor-ngidul," lapor Jes.

"Waduh, trus?"

"Ya, tak biarin saja. Mbalah cepet kering!" jawab Jes


sambil ngekek-ngekek mrinding.

"Kemarin sore saya mandi. Sudah samponan dan sabunan,


rambut dan muka sudah penuh busa, lha kok gayungnya ilang.
Saya gragapi tidak ketemu. Edan tenan!!" cerita Meyek.

Mendengar ceritanya demumukan mencari gayung sambil


mengucek-ucek mata yang kepedasan, tawa kami meledak tak
tertahankan.

"Sik ... sik ... sik ... tertawamu kok mengandung algonol
begitu!" celetuk Meyek sambil memandang kami berempat.

Kami hanya bisa tekekeh sampai lemes. Karena ... yang


sesungguhnya menggeser gayung pakai gantholan adalah ...
Mitro.
(To be W4Ginued)

-225-
23
SER ... DEG!

Gak di kampus, gak di kos-kosan, mahasiswa kreatif


selalu muncul. Ada yang kreatif sungguhan, ada pula yang
kereaktif alias aktif karena kekereannya. Salah satunya adalah
Jes. Ia sekonyong-konyong koder menemukan strategi bisnis
yang tak terduga: mengetikkan skripsi orang. Tarifnya
lumayan bikin ngiler, Rp50 per lembar. Tentu dengan mesin
ketik manual merk Brother, Olivetti, Royal, atawa Olympia
yang bunyinya tik tik tik ... ser deg ser deg itu!

Sakjannya saat itu sudah ada komputer generasi AT atau


XT yang masih pake disket 5,5 inch dua biji: disket program
dan disket data. Perangkat lunaknya pake nenek buyutnya MS

-226-
Word yang namanya Chi Writer dan Word Star. Tapi, di Solo
yang punya komputer semacam itu bisa dihitung dengan
kuping, saking langkanya.

Awalnya, Jes bermain solo karier dengan menjadi the one


and only typist in SKK. Saya tahu, biar duitnya semua masuk
ke kantong dia. Belakangan, seiring naiknya permintaan,
jenthik Jes bengkak-bengkak sebesar pisang mas, lantaran
kebanyakan nunul tuts mestik (mesin ketik) yang ternyata tak
selembut tuts piano.

"Kapokmu kapan! Makanya kalau ada rejeki bagi-bagi!"


sindir Meyek.

"Ya wis, mulai besok semua Gondeser bantu ngetik, ya!"


sahut Jes sambil membalut ruas-ruas jarinya dengan Salonpas.

"Tapi mesin ketiknya kan, cuma satu. Mosok dikroyok


lima? Kamu kebagian konsonan. Aku vokal. Gundul tanda
baca. Meyek spasi. Tekek nyekeli kertase. Begitukah?" timpal
Mitro.

Jes menepuk jidat sambil tertawa.

"Wah, iya ya ... Ya udah, besok aku carikan jalan


keluarnya," janji Jes.

"Kalau gak ketemu, bagaimana?"

-227-
"Ya ... cari jalan masuknya!" tukasnya cuek.

Ganti para Gondeser yang menepuk jidat! Jalan masuk?


Jindul ik ...

Tapi, bukan Jes namanya, kalau gak nemu trik. Entah


bagaimana ceritanya, siang itu ada orang datang mengusung
empat buah mesin ketik besar-besar merk Olympia dan
Brother ke kos-kosan.

"Weh, dapat 'jalan masuk' dari mana ini?" tanya saya


takjub.

"Kerjasama dengan servis mestik Warsito Pucangsawit.


Sewa sehari Rp100," jawab Jes bangga.

Gak pakai lama, suara tak-tik-tuk sudah memenuhi kos


Tegalkuniran. Semua sibuk menuntaskan order yang
menumpuk. Dikuping dari jauh, suaranya kaya snoozing
tembakan di film seri Battlestar Galactica yang lagi booming
di TVRI. Cuma, yang ini lebih berisik.

Saking berisiknya, sampai-sampai Bu Sri menyempatkan


diri menengok tiap kamar anak gondesnya. Tapi setelah
melihat kertas kuarTo berlembar-lembar, karbon dan tip-exx
berserak di lantai, ia cuma berkomentar dengan nada penuh
dukungan.

-228-
"Wah, sudah pada mulai ngetik skripsi ya, Mas? Padahal
baru semester empat. Hebat!" kata Bu Sri dengan wajah
kagum level 7.

"Betul, Buuu!" jawab kami kompak.

Gak nipu, kan? Nyatanya kami memang sedang ngetik


skripsi beneran. Ya untungnya si Ibu gak nanya, skripsinya
siapa? Hihihi ...

Di saat Jes panen rupiah, Mitro ternyata punya ide yang


tak kalah cemerlang: membuka jasa konsultasi skripsi secara
pribadi. Kalau ada yang ambil ketikan, ia akan memberi
usulan mana yang harus diperbaiki, ditambah, dan atau
dikurangi. Weh, kalah dosen pembimbing, yen ngene iki!

Anehnya, banyak mahasiswa (sebuah PTS di Solo) yang


mengikuti sarannya, meski setiap lembar ia mengutip bea
tambahan Rp10. Pinter bener dia menggunakan kesempatan
dalam kesempitan!

Tak mau kalah, saya pun memanfaatkan mesin ketik yang


nganggur di dini hari itu untuk ngetik cerita pendek, puisi,
opini, artikel, hingga novel. Hasilnya saya kirim ke pelbagai
media massa. Alhamdulillah, ada saja yang dimuat. Honornya
sangat lumayan. Untuk cerpen, opini, dan artikel Rp2.500-
5.000. Bahkan kalau novel/novelet bisa Rp100.000. Wow!
Sayang saya belum pernah nembus yang terakhir ini.

-229-
Cuma, Jes agak mrengut melihat mesin ketik digunakan
untuk kegiatan sampingan. Dia memang tipe orang yang susah
melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain
susah.

"Kok, nyimut ... yang bayar sewa aku kok yang untung
dirimu!" komentarnya sepedas lomboke Susi, eh warunge Bu
Wardi.

Ya sudahlah, Boy! Sebagai jalan tengah, saya dan Mitro


ikut mengusung beaya sewa mestik Rp25 per hari. Hora papa,
Jes. Asal dirimu bahagia!

Suara mesin ketik yang ramai bersahutan ternyata


membawa berkah tersendiri bagi kedamaian rumah
Tegalkuniran. Gak ada lagi suara-suara aneh terdengar di
malam hari. Semua kalah oleh tak-tik-tuk.

Saya yakin lelembut yang sok usil pada jengkel setengah


mati atas kehadiran mesin bersuara itu. Mungkin saja mereka
masih berusaha nangis, teriak, menggeram, dan sebagainya.
Tapi frekuensinya kalah ramai dengan mestik! Ahihihi ...

Ternyata gampang mengalahkan lelembut. Tinggal taruh


mestik, mainkan, dan urusan selesai, begitu pikir saya. Tapi
kesimpulan itu terpaksa saya batalkan, ketika malam itu saya
berjalan di samping kamar Meyek.

-230-
Samar-samar terdengar suara ketukan mestik dari dalam
kamar. Lah ... kan Gondesnya sedang pulang kampung? Kok
mestiknya berbunyi? Siapa yang mengetik di dalam?

Sambil berjingkat saya dekati pintu kamar Meyek.


Memang benar ada suara tik tik tik lengkap dengan ser deg ser
deg-nya dari dalam kamar. Tapi lampu dalam keadaan gulita.

Setahu saya memang ada sistem mengetik "buta" yang


apal letak tuts di luar kepala, sehingga bisa ngetik tanpa
melihat. Tapi setahu saya pula, Gondeser bisanya pakai sistem
11 jari, satu jari kanan dan satu jari kiri. Jadi tidak mungkin
yang sedang ngetik itu salah satu dari kami!

Saat saya intip dari kaca pintu, suara tik tik itu langsung
berhenti. Suasana kembali sunyi. Eh, tunggu dulu ... ternyata
suaranya pindah ke ... kamar saya! Wah, kurang ajar ini ...

Segera saya kejar ke kamar. Benar, mestik Brother yang


biasa saya pakai berbunyi. Saya hafal betul, karena suaranya
agak cempreng. Tapi begitu sampai pintu, suara itu
menghilang lagi. Dan ... kembali terdengar tik tik tik di kamar
Meyek!

Ndladuk! Sengaja mempermainkan, kiye. Tapi saya ogah


meladeni. Wis, sak bahagiamu Mbut, Lelembut! Arep latihan,
sumangga. Arep kursus, ya silahkan. Arep nyaingi mbukak

-231-
rental, ya karepmu, paling Jes yang tersaingi nanti. Maka saya
biarkan saja tak tik tak tik sepanjang malam. Puas! Puas!

"Kamu nglembur cerpen ta, Ndul? Kok nyeput sampai


malam?" tanya Mitro keesokan harinya.

"Hooh." Saya jawab begitu saja daripada Mitro nggeblak


ketakutan.

"Si Meyek ya lembur ketoke. Sampai subuh."

"Hooh." Kembali saya jawab pendek.

"Eh... tapi ... tapi kan Meyek pulkam, ta? Laah ... jadi si ...
siapa, ndeh yang ngetik tadi malam?" ujar Mitro dengan suara
menggeletar.

Wadooo ... kok malah eling ta, Cah iki! Gawat!

Benar saja, sebelum saya jelaskan lebih lanjut, tubuh


tinggi besar itu sudah jatuh terduduk. Nglimpruk seperti
handuk basah!

Dengan susah payah, Mitro saya papah ke kamarnya.


Sampai di kamar ia histeris sambil menunjuk-nunjuk mesin
ketik yang ada di mejanya, "Singkirkan!! Singkirkaan!!"
teriaknya.

-232-
Hadeuuhh ... terpaksa mesin tik itu saya gotong ke
halaman, lalu saya langsir ke kamar saya.

Wah, kacau ini. Pasti bakal ada tragedi susulan neeh ...
Pertama, terganggunya kinerja jasa pengetikan Jes. Kedua,
terganggunya tidur saya, karena nanti malam Mitro pasti
minta join seranjang! Hhhhh ...

Apes tenan, sedang bribik-bribik usaha mulai jalan, eh,


sudah ada lelembut yang cemburu. Ternyata untuk urusan
yang terkait duit, manusia sama lelembut sama siriknya!

Gondeeess ... Gondesss!!


(To be W4Ginued)

-233-
24
“BREXIT”

Dampak mestik "ngetik sendiri" sungguh dahsyat. Mitro


dan Meyek langsung mengajukan brexit (break and exit) dari
koalisi Jes Gondes Bersatu, alias emoh jadi tukang ketik lagi.
Tidak hanya itu, duo Gondes ini juga pamit pindah dari
mansion Tegalkuniran.

"Aku sudah tidak tahan. Mosok hidup terus-menerus


dicekam ketakutan. Itu melanggar hak asasi manusia, freedom
from fear," ujar Mitro.

"Yaelah ... takut ya takut saja, Tro. Gak usah bawa-bawa


HAM segala!"

-234-
Tapi ya monggo saja kalau mau pindah. Toh itu juga
dijamin oleh Hak Asasi Mahasiswa (singkatannya HAM juga)
pasal 1 ayat (3): bebas memilih kos sesuai hati nurani dan
kantong, tanpa paksaan dari siapa pun dan/atau pihak mana
pun.

"Aku juga tidak tahan ... Tiap hari kedinginan ... Tidur di
ubin tanpa tikar ... Nyamuk-nyamuk menjengkelkan ..."
sambung Meyek.

"Itu alasanmu pindah?" kejar saya.

"Bukan. Itu syair lagu dangdut."

"Wooo ... dasar alumni lapangan Sriwedari! (Saat itu tiap


malming di Sriwedari ada pentas dangdut)"

"Tapi aku memang mau pindah, Ndul. Ada kos yang lebih
murah dan ... bisa diangsur ..." bisik Meyek.

"Wooo ... Ke mana kalian akan boyongan?" kejar saya.

"Aku ke Bu Pang. Mitro ke Bu Santoso."

Saya tepok jidat. Lah, dua kos-kosan itu kan cuma


berbatas pagar dengan kos Bu Sri! Bahkan yang kosnya Bu
Santoso, jika dibobol dindingnya, tembus ke kamar saya.

-235-
"Kalau mau pindah yang jauh sekalian. Ke jabalkat kek,
atau ke rakhmatullah ... Lah ini, pindah kok cuma 10 meter.
Ra kacek!"

"Eh, anu je, Ndul. Aku penginnya kita tetep bisa kumpul
sakgondesan, meskipun tidak sakpetarangan," cetus Mitro.

"Kadhung nyandu pepatah: mangan ora mangan asal


kumpul je, Ndes!" imbuh Meyek.

Saya cuma bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Iya,


kumpule enak, lha ora mangane kuwi sing gak nguati!

Yang pasti, brexit-nya duo M dari grup Nunuler, membuat


Jes ibarat mati berkalang tanah, hidup berkalang kabut.
Dengar kabar itu, pagi-pagi ia sudah berkotek-kotek, suaranya
njebret sak Tegalkuniran.

"Jindul ik! Metu ya metu, tapi mbok pakai permohonan


dulu. Kalau dadakan begini kan, jadi amburadul, targetnya!"
Jes uring-uringan dengan wajah menghitam.

Ya, maaf, memang dia sudah hitam dari sononya ...

Terpaksalah dia merekrut tukang ketik baru dua orang,


warga kampung situ. Sayangnya, mereka cuma bisa mengetik,
tidak paham logika dan alur pikir skripsi. Tak pelak
ketikannya salah melulu. Lembar skripsi jadi penuh tip-exx,
therok-therok kayak wajahe Mbok Tomblok.

-236-
Maka daripada dikomplain pelanggan, dalam waktu
setengah hari saja, pengetik baru itu pun sukses dipecat tanpa
pesangon!

"Hadeehh ... isa setres yen ngene carane!" keluh Jes


sambil mengacak-acak rambutnya yang memang sudah acak-
acakan dari sononya ...

"Tenang, Ndes, kan masih ada aku dan Tekek. Kita


selesaikan bersama!" tantang saya.

"Naah... itu baru temannya friend, namanya! Joss!!" ujar


Jes girang.

"Tapi tarifnya harus khusus ini. Kalau tidak, ya maafkan


kami ...," pinta Tekek.

"Bagaimana kalau satu setengah kali, plus bonus Maido."

"Deal!" jawab Tekek cepat, yang kemudian saya aminkan.

Jadilah malam itu kami bertiga lembur berlembar-lembar.


Saking banyaknya yang harus diketik, saya sampai eneg
sendiri. Sripsi yang harusnya skripsweet karena mengandung
duit, malam itu tiba-tiba berubah jadi skripshit!

Apalagi saya kebagian skripsi yang banyak tabelnya. Ya


Allah... mengapa cobaan ini Engkau timpakan kepadaku!

-237-
Yang namanya bikin tabel dengan mestik manual itu...
sesuatuh banget!

Ah, saya curiga. Pasti si Jes sudah memilih, yang full


narasi buat dia sendiri. Sementara kami diberi yang banyak
baris dan kolom. Gak aneh. Wong dia itu masternya urik!

Namanya sudah sanggup, ya dikuat-kuatkan, meski ujung


telunjuk sudah kebas mati rasa. Tekan terus, Ndess! Jika
semalam dapat 100 lembar saja, bisa kumpul 100 x Rp75 =
Rp7.500, plus bonus hik Maido sakklenger-nya!

Namun jangankan 100 lembar, belum lagi dapat 50, Jes


sudah tepar duluan. Tepat pukul 01.45, matanya sudah merem
sempurna dengan kepala "nancep" di tuts mestik!

"Weh, juragan KO. Kita ikut rehat yuk!" usul saya.

"Gak bisa, Ndes! Harus makan dulu! Maido first, sleep


behind!" tukas Tekek.

Wah, iya ya ...

Saat Jes mau saya bangunkan, Tekek melarang. "Gak usah


dibangunin. Nanti malah kita disuruh ngetik lagi!"

Wah, iya ya ...

-238-
Tekek langsung menyeret saya ke Jl. Kol. Sutarto, tempat
Mbah Maido dan angkringannya bertakhta. Saya manut saja,
kan waktunya memang sudah memasuki WIB ... Waktu
Indonesia bagian Badh*g. Hehe ...

"Wis sugih ya, wis ra sudi mrene! (Sudah kaya ya, gak
mau ke sini lagi)" semprot Mbah Maido begitu melihat
kedatangan kami.

Saya dan Tekek cuma nyengir mendengar sapaan "mesra"


itu. Normal dan standar, pikir saya, sambil menyambar nasi
kucing, gorengan, dan pesen es teh dua gelas gajah.

"Sedang sibuk garap skripsi, Mbah!" ujar Tekek.

"Yang nanya, siapa!" potong Mbah Maido.

Bwahahaha! Modar kowe! Saya dan Tekek tergelak,


diskak-ster Mbah Maido tanpa ampun ...

Selesai makan, saya sepak kaki Tekek keras-keras. Isyarat


agar dia yang ngomong bahwa yang akan bayar adalah Jes.
Tapi Tekek balas menyepak kaki saya lebih keras, sambil
mengarahkan dagu ke Maido. Saya menggeleng. Tekek balas
menggeleng, lalu angkat bahu.

"Mau bayar, gak? Ini sudah mau tutup! Gek minggat! Gak
usah tidur di sini!" bentak Mbah Maido seperti membaca
pikiran kami.

-239-
Akhirnya saya dan Tekek ping suit. Dia keluar jempol,
saya kelingking. Saya menang. Segera saja tubuh Tekek saya
dorong sekuat tenaga ke arah Mbah Maido.

"Eh, nganu, Mbah ... yang akan bayar si Jes ..." kata Tekek
terbata-bata.

"Endi, bocahe!?! (Mana anaknya)"

"Nganu, Mbah ... besok mau ke sini. Bayarnya besok ..."

"Jindul! Alasanmu sak kolam renang! Kalau gak punya


duit, gak usah ke sini! Maido pantang diutang!!" bentaknya.

Tak mau berpanjang urusan, Tekek saya gelandang


pulang. Tak peduli Mbah Maido teriak-teriak sambil
mengacung-acungkan pemecah es.

"Hei! Bayar sik, Cah mlarat! Wani mulih takcacah-cacah,


kowe! (Berani pulang saya cincang kamu)"

Kami cuek, terus saja melangkah sambil terkikik-kikik.


Wis, sakkarepmu, Mbah. Sekali ini saja kasbon. Besok aku, eh
... Jes akan bayar jreng ...

Sampai di kos, saya dan Tekek mengendap-endap kembali


ke dekat mestik. Bukan mau ngetik lagi, tapi mbeber tikar dan
tidur menemani Jes yang sudah duluan dibuai mimpi.
Ngantuk, Ndess ...

-240-
Tepat adzan Subuh, Jes bangun. Gak pakai lama langsung
menghardik kami sambil kepreh-kepreh.

"Ndladuk... kok malah dha turu ki, piye? Nih, Gundul


cuma dapet 51 halaman. Tekek 52 halaman. Gimana sih, kan
janjinya 100 halaman?!"

"Sabar ... dirimu dapat berapa?" tanya saya.

Jes menyambar hasil ketikannya, menghitung, lalu


nyengir. "46 ...," desisnya.

"Aku benchmark-nya ya dirimu, Jes. Kamu kerja, aku


kerja. Kamu tidur, aku juga tidur ..." eyel saya.

Jes terdiam. "Eh, ngomong-ngomong kalian lembur


sampai jam berapa?"

"Ngg ... jam 3-nan ya, Ndes ..." jawab saya sambil
mengejapkan mata ke Tekek.

"Lebih „," imbuh Tekek.

"Oke ... oke ... maafkan aku karena ketiduran duluan."

"Gakpapa, Jes. Yang penting kamu harus ingat pesan


Rasulullah."

"Apa itu?"

-241-
"Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya."

Jes menjeb. Menyambar kalkulator, nunul-nunul sebentar,


lalu mengangsurkan uang kertas dan kricik.

"Nih, Gundul Rp3.825. Tekek Rp3.900. Tapi maaf, bonus


tidak keluar karena target 100 lembar tidak tercapai!" ujar Jes
sambil pergi.

Saya memandang Tekek. Tekek memandang saya. Lalu


kami berdua memekik, "Bajinduuuulll!!"

Sido dicacah-cacah Maido tenan ki, mengko!!


(To be W4Ginued)

-242-
25
TUMPAH RUAH

Bau sangit daging manusia terbakar meruap ke angkasa.


Suara plethus-plethus tulang yang termakan api terasa
menggetarkan dada. Uhh ... tengah malam begini krematorium
Tiong Ting malah "punya hajat" ...

Biasanya, kremasi selalu diadakan siang hari.


Pertimbangannya, agar polusi suara dan baunya tersamar
bunyi dan asap knalpot kendaraan yang lalu-lalang.

Tapi entahlah, mungkin ada request khusus, sehingga


"Ngaben"-nya warga Tionghoa kali ini digelar menjelang dini
hari. Namanya saja tengah malam, ya sepi. Dampaknya, bau
dan suara itu jadi semakin menusuk indra.

-243-
Sesaat setelah letusan tulang yang ketiga, yang paling
keras suaranya, Mitro muncul di pintu kamar saya. Wajahnya
terlihat pucat. Tubuhnya berkelumun sarung sambil tangannya
membopong ... guling!

"Waahh ... penghuni kos sebelah! Ada apa kok tiba-tiba


nongol dengan wajah seperti Scooby Doo?" sapa saya heran.

"Aku takut, Ndes! Mbayangke wong diobong (orang


dibakar) kok rasanya mrinding disko. Serem. Jadi gak bisa
tidur, nih ..."

"Well ... Lalu ...?"

"Aku mau nginep di kamarmu, boleh ya?"

"Wooo, jindul ik! Kemarin pindah dari sini karena takut.


Eh, sekarang boyong lagi ke sini karena takut juga!" gerutu
saya sambil garuk-garuk kepala.

"Kritis, Ndes! Bener-bener takut nih. Bayar gapapa wis,


yang penting saya ada temannya!" tukasnya.

Wah, maksa nih! Tapi dengar kata "bayar", saya jadi


terkikik sendiri. Kok, ke sana arahnya? Memange saya tipe
renten yang suka ngambil rente dari rental?

-244-
"Ya udah, semalam Rp250 saja. Tapi tidak pakai peluk!
Catat, sekali lagi, tidak pakai peluk!" ancam saya sambil
menahan geli.

Mitro meringis kecut, manggut, lalu nyungsep di tikar


bawah kaki saya. Langsung membungkus daun telinganya
dengan sarung dan menindihnya dengan guling. Saya tertawa
melihat upaya kerasnya meminimalisasi suara.

"Kenapa kupingnya gak kamu tinggal di kos saja, Tro!"


gerutu saya.

Mitro nyengir, sambil terus berusaha merem secepatnya.

Baru saja mau memejamkan mata, eh... terdengar suara


ketukan perlahan di kaca kamar. Hadeeh, sopo maneeh iki?

Saat saya buka ... woalah, Meyek!

Ia muncul dengan wajah ala Shaggy, kawan Scooby yang


jirihnya ampun-ampunan itu. Sudah saya duga, kedatangannya
juga pasti mau minta suaka marganendra alias nunut tidur!

"Kapal keruk, jangkare kobong. Silahkan masuk, kamare


kosong!" ujar saya berpantun sambil menahan gemes.

"Jeruk purut dibuat es. Aku takut, Ndesss ...!" ujar Meyek
sambil menyusul rebah mendampingi Mitro.

-245-
"Eit ... nanti dulu. Tarif hotel Rp250 semalam. Kalau tidak
akur, sila tidur di emperan," goda saya.

"Setubuh! Tapi ... tolong mesin ketiknya keluarin dulu ..."


kata Meyek sambil melirik mestik Brother yang ada di meja
belajar dengan wajah takut.

Hadeehh! Sudah numpang, masih bikin rempong pula ni


anak. Tapi saya maklum, Meyek dan lebih lagi Mitro pasti
masih trauma. Takut mestiknya autoplay lagi! Hehehe ...

Terpaksalah si Brother saya gotong ke bekas kamar


Meyek. Saya parkir sementara di situ.

Duo penakut itu sudah amblas dilalap mimpi, tapi malah


saya yang ganti kelop-kelop. Mau tidur, tempatnya sudah
dianeksasi Gondes-gondes itu. Apalagi kaki Mitro yang besar
melintang di kasur saya, seperti portal perumahan dosen Palur.
Wah, mau tidur di mana lagi, nih?

Tiba-tiba terbersit pikiran usil saya. Biar saja mereka tidur


di kamar saya. Toh mereka bisa saling mengawani (bukan
mengawini!). Dan saya, bisa tidur leluasa di bekas kamar
Meyek. Besok bangun, tinggal nagih Rp500 ke mereka. Kan
lumayan, buat sarapan, hehe ...

Saat berbaring di kamar Meyek, saya baru sadar, ternyata


dari sini bau daging manusia yang terbakar di Tiong Ting

-246-
sangat menyengat. Jauh lebih menyengat dibanding di kamar
saya. Hhhh ... memualkan!

Lebih dari itu, baunya juga menciptakan suasana mistis


yang aneh. Bau yang lebih kuat dari dupa atau kemenyan,
yang biasanya membuat para lelembut belingsatan.

Saat pikiran menerawang, sekonyong-konyong saya


mendengar suara ribut. Gak jelas arahnya dari mana. Seperti
orang bercakap-cakap, langkah-langkah kaki, suara musik,
ah... campur aduk.

Penasaran, saya bangkit. Seperti ada yang menuntun, kaki


ini melangkah ke halaman belakang.

Tepat di ujung halaman, saya lihat Eyange berdiri


mematung sambil memegang senjata andalannya: sapu
gerang. Tapi beliau tidak bertindak apa pun. Hanya diam
sambil memandang ke kejauhan.

Melihat kedatangan saya, Eyange hanya memberi isyarat


agar saya tenang. Saya pun ndhepipis di pojokan, menunggu
apa yang akan terjadi selanjutnya.

Suara ribut masih terdengar, tapi tak sesosok makhluk pun


saya lihat. Anehnya, suara itu seperti jauh, namun dekat di
kuping. Dekat, tapi seperti bergema jauh, bahkan seperti di
awang-awang.

-247-
Sekira tujuh menit kemudian, suara ramai seperti pasar itu
berhenti mendadak. Kesunyian terasa menusuk telinga, saking
sepinya. Aneh, ke mana makhluk-makhluk itu pergi?

"Ini malam Anggara Kasih (Selasa Kliwon). Hari


besarnya lelembut. Kebetulan ada bau yang mendukung, maka
mereka semua tumpah-ruah keluar sarang. Berbahayakah
mereka, Yang?" bisik saya.

"Tidak. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri. Lagi


pula, hanya segelintir manusia yang bisa mendengar suara
mereka. Mas Gun termasuk di antaranya," jelas Eyang.

Woohh ... padahal kalau saja disuruh memilih... saya


mending tidak usah dengar suara-suara aneh seperti itu. Tapi
ya gimana lagi, itu bawaan bayi je ...

"Lupakan saja. Anggap saja kejadian tadi tidak ada.


Lelembut kalau jadi perhatian dan diopeni, ya jadi besar
kepala. Mereka kuat karena kita puja, kita takuti, kita hormati.
Kalau kita biasa saja, ya mereka tidak bisa berbuat apa-apa
pada kita," nasihat Eyang.

Yes. Satu semester lagi pelajaran tentang lelembut saya


dapatkan dari Eyange malam ini!

Maksud hati kembali ke kamar untuk tidur. Namun


melihat dua tubuh manusia yang centang-perenang memenuhi

-248-
ruang, saya balik kanan. Wah, mentang-mentang diminta
bayar, seluruh petak ruang dipakai semaksimal mungkin!

Ah, sebentar lagi subuh. Mending ditinggal ngisis sebentar


sambil nunggu adzan. Habis adzan, duo penakut itu harus saya
ekstradisi ke negaranya ... eh, kos masing-masing! Setelah itu,
baru saya bisa tidur nyenyak sampai jam 08.00.

Sedang asyik di teras menghirup segarnya udara pagi


pascakremasi, tiba-tiba pintu gerbang kos didobrak dari
dalam. Dua sosok tubuh berlari kencang sambil berteriak,
"Setaaaaan!!!"

Jelas itu Mitro dan Meyek. Tapi kenapa mereka lari


lintang-pukang?

Saya susul ke rumah Bu Pang. Busyet, pintu kamar Meyek


dikunci dari dalam! Saya ketuk-ketuk tidak direspon.

Saya kejar ke kos Bu Santoso. Kamar Mitro juga dislot


dari dalam. Saya panggil-panggil namanya tidak dijawab.

Wah, blaik ini!

Saya balik menengok ke kamar saya. Pintu sudah


menganga lebar. Ember berisi cucian basah numplek di lantai.
Sementara sarung dan kemul dua Gondes itu terlempar di
emperan!

-249-
Wah, pasti ada yang tidak beres ini!

Siangnya, saya ketemu dua Gondes itu di warung Bu


Wardi.

"Wah, edan ... kamarnu nguweriii ...!" cetus Mitro.

"Hooh. Saat tidur tadi, ujug-ujug ada yang anjlok dari atas
lemari, bruuggh!! Ya terus saja kita tinggal lari!!" timpal
Meyek.

Mendengar cerita dua tak sejoli itu, saya langsung tepok


pantat kuat-kuat.

"Yaelaaahh!! Yang mak brug itu ember cucian jatuuuhh!"


seru saya.

"Tenane?" kejar Meyek.

Aku manggut pasti.

"Tapi ... karena kita ketakutan luar biasa ... sewa kamare
gak usah bayar, ya? Anggap saja impas," pinta Mitro.

Saya cuma njuwowos, sambil bilang, "Whaaat?!"


(To be W4Ginued)

-250-
26
SKRIPSWEET

Tak terasa empat tahun sudah saya menggondes di


Tegalkuniran. Selama itu pula kekoplakan menjadi pengikat
hati para Gondeser. Konflik tentu ada, tetapi selalu bisa
diselesaikan dengan jalan usahmarah dan mugpapat (empat
mug kopi) di Maido.

Lucu juga ya, menyelesaikan konflik di tempat yang


penuh konflik! Lha piye, di Maido semua yang sedang dilanda
dongkol akan dimarahi juga. Anehnya, rasa jengkel biasanya
akan segera sirna, berganti dengan ngekek berkepanjangan.
Rupanya begini praktik anger management yang
sesungguhnya, ahihihi ...

-251-
Soal Mitro dan Meyek yang desersi, gak usah dibahas
lagi. Toh nyatanya Bu Sri juga tidak terlalu ngurusi. "Kos di
luar monggo saja, wong di sini mereka juga bayar kosnya
dhat-nyeng," ujar Bu Sri.

Horoookk ... ternyata gitu, ya?

Praktiknya, duo M itu kalau siang masih suka ngendon di


kamar saya, atau kalau tidak, ya parkir bokong di lincak
halaman kos sesorean. Masuk kamar cuma kalau sudah mau
merem. Jadi sejatinya mereka ya cuma ... setengah pindah!

Oya, soal prestasi akademik, saya termasuk lumayan. IPK


saya sampai semester 8 mencapai 3,01. Top tenan! Loh,
jangan salah, jaman itu bisa nembus IP 3 itu sudah ngeden
sampai kemringet. Masih ingat kan pepatah, "IP 2 milik
mahasiswa, IP 3 milik dosen, dan IP 4 milik Tuhan." Naah ...
level saya sudah setingkat dosen. Hehehe ...

Hanya Jes dan Mitro yang agak terseok-seok mengejar lari


sang semester. Jes kepentok di matkul Matematika Dasar dan
Mitro tercabar matkul Logika.

"Jindul ik ... aku ngambil Matdas sudah empat kali, tapi


gagal terus," keluh Jes.

"Memange kendalamu apa, Jes?"

"Aku kena sindrom numeria neurosa."

-252-
"Apa itu? Sajake istilah anyar?"

"Penyakit mual kalau melihat angka-angka."

"Lho, ada ta penyakit seperti itu? Kok kalau lihat angka


Rupiah kamu tidak mual?"

"Mual juga, eh! Apalagi angkanya Rp10.000, tapi utangku


Rp30.000. Gak cuma mual, tapi mules juga!"

Bwahaha... keree ... kereee!

"Kalau saya, ambil Logika lima kali, kelima-limanya


dapat D," cericit Mitro.

"Hambatannya apa?" tanya Tekek yang ikut nrambul.

"Bikin contoh silogismenya selalu gagal. Kata dosennya,


Pak RG Sukadyo, silogisme saya gak logis ..."

"Yang kamu bikin, contohnya gimana, sih?" tanya saya


kepo.

"Tidak setiap petani menanam padi. Pak Tekek kadang-


kadang bertani. Maka Pak Tekek jualan burung."

"Waaaa ... layak entuk D! Lha wong ra nyambung blas!"


gerutu Tekek.

-253-
"Lho ... salahku di mana? Kan, Pak Tekek bertaninya
cuma kadang-kadang. Apa salahnya waktu senggangnya
dipakai jualan burung! Kan, bagus itu. Nyatanya sampai
sekarang Tekek jualan burung betulan. Ya nggak, Kek?"

Kami pun terkakak-kakak sakadiknya, saking gelinya.


Jindul ... silogisme kok disangkut-pautkan dengan profesi
keseharian!

Mengingat dst, menimbang dst, bahwa sudah empat tahun


kuliah tapi belum ada tanda-tanda wisuda, maka wedangan di
Maido malam itu kami gunakan untuk rakorsus membahas hal
tersebut.

Biar tidak diusir, kami pesan naskuc 10 eksemplar, kopi 4


gelas gajah, es teh 1 dan gorengan aneka rupa 10 biji. Tak lupa
tips "sewa tikar" Rp100 untuk semalam suntuk. Aman!

"Kita ini mahasiswa paling aneh sakdunia dan akhirat.


Bikin skripsi orang sudah ratusan, tapi bikin untuk diri sendiri
malah kagak!" ujar Jes.

"Aku mbalah konsultan mbereng je, Ndes. Tapi konsultasi


dhewek rung tau blas!" sambung Mitro masgul.

"Tidak bisa dimungkiri, bikin skripsi adalah sebuah


keniscayaan. Kita sendirilah yang bisa memulai. Maka mau
tidak mau, kita harus memulainya di sini, saat ini juga!" pidato
Meyek berapi-api.

-254-
"Malam ini juga, ayo kita sewa komputer di Gatot Rental.
Ngetik sakkenyoh-kenyohe. Paling tidak, besok kita sudah
ajukan judul. Setujuuu?" sambung Tekek.

"Wookeeh ... makan langsung kita kemon!" ujar saya


penuh semangat.

Naskuc dan gorengan langsung diganyang. Kopi dan es


teh diminum dengan metode one gleg! Sebentar saja semua
menu sudah licin tandas ke perut. Lanjut bayar jreng ke
Maido, lengkap saksewa tikarnya.

"Lho, katanya mau semaleman. Kok baru sakndulit sudah


bubar? Trus piye klasane (tikarnya) iki, dah dibayar kok
nganggur?" cecar mbah Maido.

"Sampeyan pake sendiri saja, Mbah! Mau untuk guling-


guling monggo. Mau untuk koprol, ya silahkan!" celetuk
Meyek.

"Ndlogok ik! Peh wis sugih, kemaki! (Mentang-mentang


sudah kaya jadi sombong)," semprot Mbah Maido.

Kami terus saja lenggang kangkung sambil obral ketawa.


Yang kami tuju rental komputer Gatot, sebelah timur Tiong
Ting.

Sampai di lokasi, kami ngowoh. Ternyata sudah tutup.


Wah, jinguk tenan ... ngendor-ngendorkan semangat ini!

-255-
"Dhodhog saja pintunya. Bilang ada tugas maha penting!"
kata Tekek.

Jes pun langsung mengetok pintu gerbang keras-keras.


Tak lama, Mas Gatot si empunya rental nongol.

"Dah tutup, Mas!" ujarnya.

"Yang nutup siapa?"

"Ya saya."

"Nah, sekarang buka lagi, karena kami berlima mau rental


semaleman," sambung Meyek meyakinkan.

Sambil pasang wajah ogah-ogahan, Mas Gatot membuka


gerbang, membuka rolling door, lalu mempersilahkan kami
masuk. Gak pakai tunggu, kami sudah menghadapi komputer
masing-masing. Siap action!

"Silahkan. Ini disket program, ini disket data, pakai saja.


Sewa satu jam Rp75. Saya tinggal tidur. Nanti kalau sudah
kelar, bangunin saya," Mas Gatot memberi tutorial singkat,
lalu kembali masuk ke ruang dalam.

Tinggal kami termangu-mangu di depan monitor.

"Iki nyetele, piye?" cetus Jes lirih.

-256-
"Hah ... saya kira kamu paham ..." jawab Meyek. "Kamu
tahu gak, Tro?"

"Babar pisaaan ..." jawab Mitro.

"Wah, aku ya gak enjos, je," kata Tekek sambil menoleh


ke saya. "Gundul?"

"Idem," sambung saya.

Terpaksa Mas Gatot kami bangunin lagi. Sambil


bersungut-sungut ia menghidupkan komputer satu persatu,
lalu pergi tidur lagi.

Saat tulisan WordStar 4.0 muncul dan kursor berkedip-


kedip, sekali lagi kami saling berpandangan. Jangankan
mengetik, mau nunul keyboard saja ragu-ragu, takut salah!

Sampai seperempat jam kami hanya membisu sambil


menatap layar penuh ragu. Njlegedheg seperti reco Gladhag.
Niat menulis pun berganti menjadi cengar-cengir
berkelanjutan.

"Ndladhuk ik ... bul gak enek sing isa komputer! Trus buat
apa sewa segala?" gerutu Tekek.

"Lah ... kan, kamu provokatornya!" tandas saya.

Tekek cuma njuwiwi seperti kethek ditulup.

-257-
Apa boleh buat, Mas Gatot terpaksa kami obrak sekali
lagi.

"Sampun, Mas ...," ujar Jes.

"Loh ... kok cepet, katanya mau semalaman?" celetuknya


dengan wajah penuh tanya campur dongkol karena tidurnya
terinterupsi dua kali.

"Lha, ini malah belum ada pemakaian samasekali!


Bagaimana sih, kalian ini! Ya sudah, pulang sana! Ganggu
orang tidur saja!!" sembur Mas Gatot.

Kami cuma meringis menahan malu sambil cepat-cepat


berlalu.

"Dapat apa kamu dari rental komputer, Ndes?" goda Mitro


sambil melangkah gontai menuju kos.

"Setidaknya, aku sudah tahu cara menghidupkan dan


mematikan," Tekek membela diri.

"Aku malah sudah dapat rancangan judul sukripsi!"


potong Jes.

"Heh, tenane? Apa judulnya?" kejar Mitro.

-258-
"Pengaruh Tingkat Kegoblokan Mahasiswa terhadap
Pemahaman Posisi Tombol On-Off Komputer. Studi Kasus
Gondes Tegalkuniran"

Jiahaha ... W4Gindul! Judul yang skripsweet tenan, yen


iki!
(To be W4Ginued)

-259-
27
SIBUK SKRIPSI!

Sebuah Mitsubishi Colt T mata belok Plat R ... D berhenti


di depan kos. Seorang lelaki berumur 60-an berkopiah hitam
turun dan langsung mencium tangan Eyange.

Tak salah lagi, itu pasti Mbah Sudin, yang disebut-sebut


Bu Sri bakal mengambil kotak pusaka. Asyik. Beliau datang,
artinya saya bakal dapat nunutan gratis sampai ke Wonosobo!

Saking girangnya, saya langsung masuk kamar untuk


packing. Siapa tahu Mbah Sudin tergesa. Kalau sudah siap kan
tinggal mak nyeng ... angkat tas langsung ikut tancap gas.
Pung nak pung no.. mumpung enak mumpung ono. Itu nama
ajiannya.

-260-
Rampung packing saya sengaja nyamperi Mbah Sudin.
Intinya sih mau kenalan, sambil menyampaikan maksud
utama ... menunutkan diri itu tadi.

"Nah, ini Mas Gun!" kata Bu Sri begitu saya nongol di


ruang tamu.

Saya langsung salim cium tangan Mbah Sudin, namanya


juga anak kos yang baik budi.

"Wooh ... sampeyan, ta. Saya dulu susah-payah jauh-jauh


dari Banjar nyari alamat sampeyan di Jalan Stasiun Wonosobo
untuk ambil pusaka. Eh, malah rumahnya kosong. Belakangan
saya dapat kabar dari Sri, ternyata barang itu gak sampeyan
bawa!" sambut Mbah Sudin dengan wajah keruh.

Sruuutt ... hati saya yang tadinya sudah mekrok berbunga-


bunga langsung ciut. Yungalaahh ... kok malah kena omel?
Mimpi apa saya semalam?

"Maaf, Mbah. Saya sudah berusaha membawa kotak itu ke


jalan, tapi gak ada bus yang mau berhenti. Jadi, ya saya
kembalikan ke sini ...," jelas saya kikuk, karena gak menduga
bakal kena semprot dadakan.

"Halaah... alasan saja Mase, ini. Mana ada bus gak mau
ngangkut penumpang. Mase saja yang ogah kerepotan. Jujur
saja, Mas ..." tudingnya.

-261-
Hancuriit..! Kalau bukan kerabat Ibu, pasti sudah tak
jindul-jindulke tenan Mbahe iki. Kenal aja belum kok sudah
nembak pake kata-kata setajam silet! Tapi mau bela diri
bagaimana, wong fakta yang saya alami begitu, kok!

Gak pake senyum, saya langsung balik lagi ke kamar


dengan langkah tegap. Marah, Ndes! Tas isi baju yang sudah
siap di dekat pintu, saya tendang sekerasnya.

"Wiiikk ... ngopo to, kuwi?" komen Jes heran.

"Latihan bal-balan!" jawab saya sekenanya.

"Memange mau tanding lawan mana?"

"PSOTW!"

"Singkatan kesebelasan opo kuwi?"

"Please Silent, Ojo Takon Wae!!" bentak saya sambil


melotot.

Jes terdiam sambil menelan ludah. Kapokmu kapan! Ada


orang esmoci malah dicerocosi, ya begitu akibatnya!

Tapi sumpah, melihat wajah Mbah Sudin tadi itu,


sekonyong-konyong minat untuk nunut langsung hanyut ke
laut. Wis, gak nunut sampeyan gak patheken, Mbah. Aku isih
iso bali dhewe ora ketang utang-utang!

-262-
Maka ketika Bu Sri memanggil saya untuk membantu
mengangkat kotak ke mobil, saya cuma nyeplos dingin dari
dalam kamar, "Ngapunten Bu, saya sedang sibuk skripsi!"

Well, saya kuping dari dalam kamar, tampaknya terpaksa


Mbah Sudin mengangkat sendiri kotak kuno itu. Tapi berkali-
kali diangkat, digeser, dijungkit, kotak itu bergeming.

"Lah ... deneng koh abot nemen kiyeh, Sri! (Dialek


ngapak: Kok berat sekali ini, Sri)"

"Tapi kemarin Mas Gun bisa ngangkat ke jalan dari sini


bolak-balik, kok?" timpal Bu Sri heran.

"Wah, jajal Mase kon mreneh, kon ngangkat maning!


(Coba mase suruh ke sini, suruh ngangkat lagi)"

Berhubung Bu Sri sudah melakukan panggilan kedua,


sebentar lagi last call, terpaksa saya turun tangan. Sambil
lewat saya tatap mata Mbah Sudin. Ia tampak gelisah,
menghindar dari sirobok mata saya sambil agak menunduk.
Hihihi ... Gondes dilawan! Bisik saya dalam batin.

Tanpa kesulitan, kotak saya naikkan ke dalam mobil.


Biasa saja, beratnya persis seperti ketika saya angkat ke tepi
Jalan Kol. Sutarto dulu. Plus minus ya 20 kilo lah.

-263-
Ah, saya curiga ... jangan-jangan Mbah Sudin pura-pura
keberatan agar bebas dari urusan angkat-junjung ini? Wah,
kalau benar begitu, kalah pokil saya!

Setelah pamitan ke Eyange dan Bu Sri, Mbah Sudin


menghampiri saya dan menyalami saya dengan erat.

"Ampuh sampeyan, Mas. Itu tadi saya gak kuat


sungguhan. Maafkan saya!" celetuknya sopan.

Saya terlongong-longong. Horoookk!! Gak kuat


sungguhan? Sebelum sempat menjawab, Mbah Sudin sudah
bergegas naik ke si mata belok.

"Gak pulang sekalian, Mas, kan bisa ikut saya sampai


Wonosobo?" tawarnya.

'Eh, nganu ... maaf, saya sedang sibuk skripsi," jawab


saya.

Entahlah, kok kalimat itu keluar lagi ... Padahal karena


saya kadung ilfil dengan sikapnya.

Baru saja Mbah Sudin mau memutar kunci kontak, tiba-


tiba ... Duaaarrr!!! Ban belakang mobil meletus.

"Wah, deneng si njeblug?? (kok meletus). Padahal masih


gres, bane!" seru Mbah Sudin keheranan sambil turun
memijit-mijit ban. Terang aja kempes, wong barusan meletus!

-264-
(Hayo siapa yang suka mijit ban kempes kayak Mbah Sudin?
Hehehe ...)

Ia langsung mengeluarkan dongkrak dan ban cadangan.


Bu Sri memandang saya. Saya tahu, maksudnya nyuruh agar
membantu Mbah Sudin mengganti ban. Tapi melihat ekspresi
saya yang dingin, amar itu tak kunjung terucap.

Ah, biar sajalah si Mbahe olahraga dikit, biar agak


langsing!

Seperempat jam kemudian, proses ganti ban selesai.


Kembali Mbah Sudin memutar kunci kontak. Tapi starter
mobil cuma "tertawa", hie ... hie ... hie ... gak mau greng
menyala. Diputar lagi berkali-kali, yang kedengaran hanya
ketawa mengejek si penyetarter.

"Montor bodhol!" maki Mbah Sudin sambil menggebuk


kap mobil.

Dalam batin saya menyahut, "Betul sekali!"

Gak sabar, busi langsung dicopot dan dipasang lagi.


Pompa bensin disedot pakai mulut, lalu dipasang kembali.
Sekali lagi, dan lagi, kunci kontak diputar. Hasilnya nihil.
Mesin cap Tiga Berlian itu tak kunjung mau hidup.

Mbah Sudin ndeprok di bawah pohon jambu. Kasihan


juga si Embah ini. Napasnya ngos-ngosan. Keringatnya

-265-
bercucuran sejagung-jagung. Wajahnya tampak kesal dan
putus asa.

Diam-diam saya berpikir, apa ada hubungannya macetnya


mesin dengan kotak pusaka itu ya? Soalnya dulu juga bikin
gara-gara saat saya bawa nyegat bus?

Iseng-iseng kotak pusaka saya turunkan. "Coba Mbah,


distarter lagi," usul saya.

Mbah Sudin memutar kontak. Dan... greng! Tokcer, mesin


langsung menyala. Tanpa menunda waktu, kotak saya naikkan
lagi. Eh, mesin tiba-tiba mbrebet dan ... mati lagi. Distarter
ngadat lagi.

Saya coba turunkan lagi kotaknya. Distarter nyala, tapi


begitu kotak dinaikkan, mesin mati lagi. Begitu terus
berulang-ulang.

Wah, pripun niki (gimana ini), Yang?" Mbah Sudin


memohon pertimbangan Eyange.

"Ini pusakanya gak mau ikut kamu, Din. Maunya ikut Sri.
Ya sudah, kamu tinggal saja, biar nanti dimasukkan lagi ke
senthong sama Mas Gun," kata Eyange sareh.

Mbah Sudin merengut. Tampak sekali wajahnya sangat


ngarep.com. Tapi ternyata yang diarep gak mau kompromi.
Yah, namanya juga milih juragan, ya suka-suka yang milih.

-266-
Saya sendiri kalau suruh ngikut si Mbahe yang pemarah ya
mikir ping pitulikur jaran!

Jadilah Mbah Sudin siang itu pulang ke Banjarnegara


dengan tangan kosong. Dan mobil kosong tentunya, karena
saya gak jadi nunut, hihi ...

Tapi sepeninggal Mbah Sudin ada tugas besar


menghadang saya. Tugas dari Eyange, yang seumur hidup tak
pernah saya bayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun:
ngopeni pusaka!

"Saya minta Mas Gun menjamasi (memandikan) dan


membersihkan pusaka ini tiap bulan Suro. Karena Sri dan saya
perempuan, gak mungkin melakukan itu. Apalagi tampaknya
yang di dalam pusaka itu sudah kenal Njenengan," titah
Eyange.

"Waduh ... maaf, Yang. Bukan saya menolak, tapi saya


sekarang sedang sibuk ngurus skripsi," elak saya.

"Skripsi itu apa butuh dijamasi juga?" tanya Eyange


dengan wajah serius.

Hampir saja tawa saya meledak mendengar pertanyaan


polos Eyange. Tapi karena beliau nanyanya serius, ya harus
dijawab serius pula.

-267-
"Inggih, Yang. Njamasinya sehari dua kali. Minimal ya
sekali lah ..."

"Wah, ya sibuk betul kalau begitu. Ya sudah, nanti saya


minta tolong Pak Tio (suaminya Bu Pang ibu kosnya
Meyek)."

Legaaaa rasanya. Gak bisa mbayangin kalau bener-bener


harus njamasi pusaka yang baru bukak kotaknya saja sudah
bikin bulurah, eh ... bulu kuduk berdiri.

Baru semenit menikmati masa kebebasan, Tekek muncul


di hadapan saya membawa guntingan iklan koran dengan
wajah sumringah.

"Ndul, ada tawaran menarik jadi surveyor. Sehari gajinya


Rp1.000. Cepet daftar, terakhir hari ini!"

"Gak, Kek. Aku sedang sibuk skripsi!" jawab saya


singkat.

Mendengar jawaban saya, Tekek seperti sadar akan


sesuatu. Ia memandang saya tajam. Lalu menunduk. Sejenak
kemudian membuang kertas di tangannya ke udara.

"Aku juga sedang sibuk skripsiiii!!" serunya sambil ngacir


balik ke kamar.

Saya garuk-garuk kepala.

-268-
Malamnya saya tunggu sampai jam 23, tak sebiji pun
Gondeser nongol. Aneh ini! Biasanya jam segitu semua sudah
berkotek-kotek ngajak ke Maido. Kok, tumben?

Saya pun keluar kamar. Mencontongkan telapak tangan ke


mulut dan berteriak ala Tarzan. "Arep do neng Maido ora,
Ndess?!!"

"Sorii ... prei! Lagi sibuk skripsi!!" jawab para Gondes


bersahutan.

Bwahaha ... top markotop tenan!


(To be W4Ginued)

-269-
28
NYARIS ...

Hujan menderas seperti dituang dari langit saat saya


pulang dari hik Maido. Mana gak bawa payung pula. Apes
lagi, begitu menyeberangi perempatan tugu Cembengan, mak
pet ... listrik oglangan! Puhh ...

Gelap pekat dan kuyup membuat langkah saya terhenti di


emperan rumah Om Taruno. Sambil njedhindhil kedinginan,
saya memepetkan tubuh ke tembok. Tempias air yang
terhembus angin terasa menampar-nampar muka.

Ah, enak bener kawan-kawan yang sedang "sibuk skripsi"


sehingga gak harus basah thili-thili seperti ini. Tahu begitu,
tadi saya ikut sibuk juga, he he ... Eh, tapi lapar je, Ndes!

-270-
Kilat cahaya petir membiaskan bayangan besi bekas yang
pating crongat. Ada banyak barang logam tak terawat
teronggok di situ. Kotak-kotak besi, pintu, potongan rel,
hingga serpihan bumper mobil. Kumuh dan kotor.

Gak seperti biasanya yang aman damai jika lewat di situ,


saat ngeyup di malam hujan begitu, tiba-tiba bulu lengan saya
berdiri. Wah, pertanda apa ini?

Saya tengok sekeliling, tetap sunyi sepi. Hanya suara


detak-detak air hujan yang menetes di plat seng terasa
mendominasi. Tapi saya yakin, saya sedang tidak sendiri ...

Saat kilat menyambar sangat dekat, saya melihat sesosok


tubuh berdiri mencangkung di pojok. Tingginya seukuran
tubuh manusia. Ah, sayang cahaya itu begitu cepat berpendar,
sehingga mata saya tak sempat menangkap objek itu
seutuhnya.

Kilat menyambar lagi, dan lewat cahaya sekilas itu mata


saya langsung mengenali bahwa sosok yang berdiri di pojok
adalah lelaki berbaju putih. Sosok yang sudah empat tahun
lenyap dari ingatan saya!

Jindul ik, kok dia masih ada? Bukankah cincin batu putih
bernoktah merah itu sudah hancur dilas dan digodam Om
Taruno? Kenapa dia tidak ikut hancur?

-271-
"Hei, Laknatullah! Kenapa kamu masih mengganggu
kehidupanku! Pergi, kau!! Kembali ke alam kelanggengan
sana!!" bentak saya menukil kalimat yang pernah diucapkan
Eyange.

Tapi saat kilat berpendar lagi, saya lihat makhluk itu


masih berdiri di tempatnya! Wah, ini mantranya yang gak
manjur karena yang mengucapkan kebanyakan dosa, atau
lelembutnya yang memang bandel?

Sedang tegang-tegangnya meneroka, tiba-tiba Om Taruno


muncul begitu saja dari balik pintu.

Hei ... siapa malam-malam teliak-teliak, ha?!" tanyanya


sambil menyorotkan senter.

"Saya, Gun."

"Hayyaa ... Mas Gun kehujanan lupanya. Ini owe pinjami


payung la ...," katanya sambil mengulungkan payung hitam
besar.

Saya sambut pinjaman payung dari si Om itu dengan


sukacita. Sambil mengucapkan terima kasih, saya buru-buru
berlalu.

Saat melintasi pojokan, saya rasakan ada benda jatuh


menimpa payung. Pegangan payung terasa bergetar dan berat,

-272-
seperti ada sesuatu yang nempel di atasnya! Astaghfirullah ...
Apa ini? Apakah hanya perasaanku saja?

Nyatanya saat payung saya tangkupkan di emperan kos,


tidak ada secuil pun benda yang menempel di atasnya, selain
selembar daun jambu yang luruh terbawa hujan.

Sampai di dalam kamar saya masih dheleg-dheleg. Hati


saya galau. Kok dia menampakkan diri lagi di depan saya?
Jangan-jangan dia masih ingin mengikuti saya?

Ah, semoga kejadian tadi just accidental, kebetulan


belaka. Tapi apa iya, di dunia lelembut juga ada kebetulan?
Apa bukan sengaja ia menghadang saya di pojokan.
Menunggu saya terlena agar bisa nempel lagi di tubuh saya?

Membayangkan itu, hati saya tiba-tiba terasa kecut


sendiri. Bagaimana tidak, di injury time masa studi seperti ini,
saya benar-benar butuh ketenangan. Jangan sampai makhluk
laknat itu datang lagi dan memporandakan jadwal hidup saya
yang memang sudah acakadut.

Dulu, di awal semester, saya nyaris gagal total karena


alasan nonteknis terkait dia. Tentu harus saya jaga benar agar
kejadian yang sama tak terulang lagi. Bagaimanapun,
kewaspadaan tingkat tinggi harus saya terapkan.

Tak ingin kecolongan, malam itu saya sengaja mengajak


Tekek untuk tidur di kamar saya. Segeblek-gebleknya Tekek,

-273-
dia adalah satu-satunya di antara para Gondes yang mata
batinnya paling tajam.

"Kok aneh, ujug-ujug minta aku menemani tidurmu?


Sejak kapan kamu jadi penakut, Ndes?"

"Sejak malam ini. Eh, Kek, kamu masih ingat orang tua
baju putih yang dulu sering kamu bilang mengikutiku?"

"Ya. Kan sudah modar didheplok Om Taruno," potong


Meyek.

"Iya. Seharusnya. Masalahnya, aku barusan ketemu dia ..."

"Hah? Di mana?"

Saya ceritakan kejadian di emperan rumah Om Taruno,


mulai dari saat lelembut itu menampakkan diri sampai
kejadian sesuatu menempel di payung. Tekek hanya geleng-
geleng kepala.

"Sepertinya dia masih ingin bersamamu," simpul Tekek.

"Itulah kekhawatiranku. Feelingku dia sekarang ada di kos


ini. Makanya aku minta dirimu menemaniku," sambung saya.

"Waduuhh ...!"

-274-
Tak pelak malam itu saya tidak bisa tidur. Kebalikannya,
Tekek malah menguap melulu. Matanya merah dan wajahnya
seperti orang lesu darah.

"Ya sudah, kamu tidur saja, Ndes! Nanti kalau ada apa-
apa, aku bangunin," perintah saya.

Tekek mengangguk. Hanya dalam hitungan menit, ia


sudah ngorok. Tidur dalam. Kok aneh? Padahal biasanya ia
paling betah melek.

Saya tunggu hingga jam 02.00 tidak ada kejadian apa pun.
Perasaan saya pun mulai berangsur lega. Mungkin apa yang
terjadi tadi malam sekadar fatamorgana, bayangan yang
muncul akibat kecemasan berlebihan.

Saya pun menarik sarung, berusaha memejamkan mata.

Belum lagi terpicing, tiba-tiba Tekek menggeram sambil


memegang lehernya. Tubuhnya mengejang. Dadanya
tersentak-sentak seperti orang sesak nafas.

Secepat kilat tangan Tekek saya singkirkan dari lehernya.


Saya tiupkan bacaan Al-Falaq dan An-Naas ke telinganya,
namun Tekek malah berontak makin keras. Ia menggeram-
geram sambil berusaha mencakar saya. Tangannya saya
pithing sekuat tenaga, namun sekali sentak ia berhasil lepas.

-275-
Merasa tak mampu menangani sendiri, saya berteriak
memanggil Eyange. "Eyaaanng! Eyaaang!!" Toloong!!"
Tekek kesurupan!"

Tak berapa lama Eyange sudah berdiri di depan pintu


dengan membawa senjata andalannya: sapu gerang. Melihat
kondisi Tekek, bibir Eyange langsung merapal doa entah apa.

Diangkatnya sapu gerang tinggi-tinggi. Sekali sabet, tubuh


Tekek mengejang sambil berteriak keras. Masya Allah ...
ternyata suaranya tinggi melengking, bukan suara dia!

Eyange masih terus menyabet-nyabetkan sapu ke setiap


sudut kamar, sambil meminta agar makhluk halus yang
mengganggu segera pergi.

Berbarengan dengan berhentinya ayunan sapu Eyange,


tubuh Tekek melunglai. Nafasnya berangsur teratur. Sesaat
kemudian ia melek, lalu memeluk tubuh Eyange sambil nangis
ngguguk.

"Aku hampir mati, Yang. Aku hampir mati, Yang ..."


isaknya.

"Tidak! Manusia tidak bakal kalah sama lelembut.


Tenang, brekasakan itu telah pergi jauh!" kata Eyange
menenangkan.

-276-
Setelah reda, Eyange bercerita bahwa makhluk baju putih
itu sudah beberapa kali datang ke kos dan beberapa kali pula
berhadapan dengan Eyange.

"Yang sering saya sabeti dan teriaki agar pergi, ya si Putih


itu."

Woalah ...

"Dia sebenarnya ngincer Mas Gun. Tapi tidak bisa masuk,


karena dari bayi sudah terlahir kulitnya tebal. Akibatnya
nyasar ke Mas Teguh. Untung tadi langsung saya tangani,"
terang Eyange.

Kulit tebal? Mungkin itu kata kiasan. Ah, entahlah. Saya


sendiri tidak tahu maksud Eyange apa. Cuma saya sangat
menyesal, gara-gara kulit tebal saya malah Tekek yang
akhirnya jadi korban.

"Maaf ya, Kek, jadi ikut ribet," kata saya saat


menyambangi Tekek di kamarnya esok paginya.

"Gak papa, kok. Asal jangan sering-sering!" jawab Tekek


sambil mrenges.

"Hahaha ... ya wis mengko tak ijoli Maido paket komplit!"

"Wah, kayaknya gak impas kalau Maido!"

-277-
"Lha, mintamu apa?"

"Timlo Solo Jalan Slamet Riyadi."

"Ya wis, beres!"

Pulang dari nraktir Tekek, Mitro sudah menghadang di


lobi kos dengan wajah njegadhul.

"Nraktir kok gak ajak-ajak, sentimen tenan!"

"Lha kamu pengin ditraktir makan timlo, po?" tanya


Tekek.

"Tentu, dong!" potong Mitro.

"Syaratnya gampang. Kesurupan dulu!"

Mendengar saran Tekek. Mitro tolah-toleh, lalu ngibrit lari


ke kamarnya ...
(To be W4Ginued)

-278-
29
GODAAN GAME YANG
TERKUTUK

Sejak peri(h)tiwa "gagal rental" itu, mas Gatot jadi sangat


akrab dengan para Gondes. Ia selalu menyapa lebih dulu bila
bertemu. Ajaibnya, ia hafal satu-satu nama lima sekawan (sing
bener kudune lima gangsal), meski kami gak pernah
beraudiensi secara formal.

Awalnya sih, ia mengaku selalu ngakak jika ketemu salah


satu, salah dua, atau salah kabeh Gondes. Apalagi kalau bukan
karena ingat kepekokan anak manusia yang gak tahu letak
tombol on/off komputer itu.

-279-
Lama-lama pengin kenal dengan orang-orang antik ini.
Mungkin ia pikir, asyik juga bergaul dengan The Flinstones.
Manusia langka yang di era modern masih setia pada
peradaban zaman batu. Hihihi ...

Belakangan, karena saking akrabnya, ia minta kami


mencabut sebutan "Mas" kepadanya.

"Cukup panggil Gatot, atau Tot saja. Seperti bunyi


klakson!" ujarnya.

"Baiklah, Tooot!" jawab kami serempak, disusul tawa


berkepanjangan.

Suatu pagi, Gatot mengundang kami berlima untuk datang


ke rentalnya. Undangannya resmi, di-print pakai printer dot
matrix yang trit trit itu. Isinya cukup bikin njondil: Tawaran
Kerjasama.

"Wah, jangan-jangan suruh megang komputer. Blaik, iki!"


ujar Tekek keder.

"Ah, kalau itu sih aku siap. Aku pegang monitornya,


Gundul pegang kibornya, kamu pegang setrumnya!" potong
Meyek.

Tekek nyengir. Kami meringis. Jujur, kalau menyangkut


kata komputer, kami miris.

-280-
Setengah antusias, setengah jiper, kami berbondong ke
rental. Wuiih ... ternyata di TKP sudah disiapkan konsumsi:
kue kotakan dan teh botol. Wah, seriyes iki, Ndes!

"Gini, dulu sampeyan kan sudah pengalaman bukak


pengetikan. Saya sekarang bukak rental komputer. Gimana
kalau kita merger?" Gatot membuka pembicaraan.

"Maksudnya, kami bukak pengetikan skripsi dengan


komputer milik sampeyan, gitu kan?" kejar Tekek.

Gatot manggut. "Wah, cerdas sampeyan!" puji Gatot.

"Sejak bayi, Ndes ... Ibu saya dan ibu Einstein kan masih
satu kakek," balas Tekek.

"Oh, ya? Siapa nama kakek sampeyan?"

" A d a m ." jawab Tekek tanpa ekspresi.

Kami termasuk Gatot pun terkikik-kikik sak Fatmala-nya.

"Sebagai kompensasi, selain upah Rp50 per lembar,


setelah jam 10 malam komputer bisa dipakai untuk apa pun.
Free."

"Wah, menarik ini!" celetuk Jes. Dengar kata free, mata


bisnis si Irit ini langsung cemlorot seperti lampu baliho
terminal Tirtonadi.

-281-
"Gimana, setuju?" tanting Gatot.

"Big yes. No opinion!" sambar Tekek, yang lalu kamu


aminkan ramai-ramai. Ibarat orang lapar dikasih nasi, mana
mungkin nolak ...

"Tapi, ngomong-ngomong, kapan mulai kerjanya?" tanya


Mitro dengan wajah was-was.

"Sekarang. Itu sudah ada tiga skripsi masuk."

"Waduuhh ...!!" seru kami nyaris berbarengan.

Melihat reaksi para Gondes, Gatot sudah ngakak duluan.

"Hahaha... jangan takut. Habis ini kita latihan komputer.


Satu jam sudah bisa, kok. Apalagi sampeyan semua kan typist
andal!"

Hhhh ... lega rasanya! Kirain suruh langsung nunul dik


komput, bisa mati berdiri para Gondeser! Hehehe ...

Gak sampai satu jam latihan, semua sudah lancar.


Ternyata jauuuhhh ... lebih gampang ngetik dengan komputer.
Gak perlu tip-exx, gak perlu karbon. Salah tinggal di-Del.
Nunulnya juga gak perlu pakai ngeden.

Sayangnya, WordStar adalah program DOS, maka semua


"perintah" masih pakai kibor. Panel Ctrl, Alt, dan Tab yang

-282-
ditekan diikuti huruf, cukup rumit untuk dihafalkan. Untung
Gatot sudah bikin contekan yang di-print rapi.

Ya, kertas selembar itulah yang jadi sasaran lirikan mata


setiap detik. Untungnya, selain Tekek, kami semua jomblo.
Jadi gak ada yang khawatir lirikan itu bikin kubu sebelah
panas hati. Hehe ...

Hasil training singkat itu benar-benar amazing. Dalam uji


coba sesore saja, satu orang sudah bisa melahap 15-20
halaman. Termasuk hebat untuk newbie! Tentu saja ini bikin
Gatot tersenyum puas.

Jam 10 malam theng, kami sudah boleh istirahat. "Game


sik wae, biar gak spaneng," usul Meyek.

Kami pun membongkar tumpukan disket game. Wuaah ...


ternyata banyak sekali game yang tersedia. Ada Prince Persia,
Cabal, Tetris, Bilyar, Pacman, Digger, Galaxy Mission, Super
Mario ... pokoknya lengkap!

"Laah ... sampeyan aslinya bukak rental komputer apa


games?" cecar saya.

"Dua-duanya, he he ...," jawab Gatot.

Namanya juga cowok, lihat game, ya kayak kucing lihat


pindang, hawanya pengin nubruk melulu. Walhasil, tengah

-283-
malam hingga subuh pertama itu habis untuk mendaras game
level demi level sampai over.

"Motonya sih sibuk skripsi, nyatanya sibuk game!" cericit


Mitro saat pulang ke kos sekira jam 05.15.

"Halaaah ... Memange situ tadi ngapain?" kejar saya.

"Aku bikin judul proposal penelitian, Ndes. Setelah itu


baru game!"

"Wah, hebat! Apa judulnya?" tanya Meyek kepo.

"Mission Acomplished!"

"Woo, sandhal gerang! Itu sih tulisan di game setelah


pesawat landing di bulan!" semprot Meyek.

Kami ngekek sampai tersandung-sandung.

Namanya juga habis jamal (jaga malam), pagi itu semua


Gondes tidur bunuh hingga dzuhur. Sangat lelap. Andai ada
kebakaran pun, pastilah kami lari dulu, meleknya belakangan!

Saya yakin ibu kos khawatir, dikira anak kosnya pada


ngoplo. Maklum saat itu ramai di-warning, jika ada
mahasiswa molor seharian, patut dicurigation itu karena pil
koplo.

-284-
Ya, kami memang mabuk. Tapi bukan mabuk karena nge-
lip. Kami mabuk kursor! Hahaha ...

Pesona game ternyata begitu melenakan. Jika ada yang


bilang zat adiktif bikin kecanduan, maka game adalah
embahnya candu. Gak hanya bikin nagih, tapi sudah sampai
level lupa diri.

Buktinya begitu jam break tiba, semua Gondes sudah pasti


langsung mantengi game favorit masing-masing hingga fajar.
Eh, sstt ... bahkan di jam kerja pun, ada saja yang diam-diam
loading game di layar. Edan tenan!

Suatu ketika Bu Sri curiga, karena kami selalu berangkat


sore pulang pagi.

"Kerja apa to, kok kayak kalong. Siang ngglimpang,


malam begadang?" tegur Bu Sri.

"Ngetik skripsi di rental komputer Gatot, Bu," jelas saya.

"Ohh ... pakai komputer ya, sekarang? Skripsi sendiri,


kan?"

Saya manggut, tapi tidak terlalu dalam. Ini urusan mobil


soalnya. Mobilang jujur takut dimarahi. Mobilang bohong
takut dosa. Padahal saya yaqin seyaqin yaqinnya bahwa Bu
Sri tahu anak gondesnya belum ada satu pun yang bikin
skripsi!

-285-
Setidaknya, 'peringatan' Bu Sri membuat saya sadar
bahwa waktu untuk bikin skripsi tinggal sakcrit. Jika tidak
segera dimulai, kami bisa terancam jadi mahasiswa abadi.
Apalagi kami semua belum KKN.

"Ndes, bagaimana kalau malam ini kita gak nge-game?"


usul saya pada suatu sore, saat memulai 'dinas'.

Kontan semua Gondes berhenti menutul kibor.

"Memang kenapa?" tanya Jes yang barusan pamer, setelah


berhasil menembus Super Mario Bros level mencit.

"Karena IP game gak bisa untuk wisuda, Ndes!" ujar saya.

"Tapi ... bukankah menurut Johan Huizinga manusia


adalah homo ludens, makhluk bermain?" eyel Mitro.

"Betul. Tapi sebagai mahasiswa, kita adalah juga homo


scriptus. Makhluk yang harus bikin skripsi!" tandas saya
ANGAS, agak ngawur sedikit.

"Salaaah! Yang benar homo erectus, makhluk yang selalu


*r*ksi!" potong Tekek sewot.

"Oh, baiklah. Karena homo erectus mau scriptus, maka


semua ludens harus diinteruptus. Kalau tidak, kita bisa
mampus!" Meyek menengahi.

-286-
Bwahaha ... cerdaaas!!

Atas kesepakatan bersama, saat itu juga seluruh disket


games dikumpulkan oleh Tekek, dimasukkan ke kotak, di-
lakban, lalu diserahkan ke Gatot.

"Untuk sementara, di bulan puasa game ini, setan saya ikat


dan saya serahkan ke bapaknya setan," ujar Tekek sambil
mengangsurkan kotak ke Gatot.

Gatot tertawa ngakak. Kami semua tergelak-gelak sak


kacanya ...

Tapi ternyata godaan setan yang terkutuk itu bukan hanya


berwujud game. Terkutuk lain yang muncul kemudian adalah
... kantuk!

Begitu pekerjaan ngetik usai, tanpa loading game, semua


Gondes langsung angop seangop-angopnya. Apalagi saat
mulai membuka rancangan judul skripsi milik sendiri,
hadeeeh ... mata seperti dibebani balok beton. Walhasil gak
sampai 6 menit, empat Gondes sudah game over ngeloni
kibor!

Melihat kekritisan itu, terpaksalah saya ketuk kamar


Gatot. "Tot, emergensi. Setannya, eh, game-nya keluarkan
lagi, daripada Gondesnya pada menggelepar!" pinta saya.

-287-
Gatot nyengir, mengeluarkan kembali kotak disket game
sambil geleng-geleng kepala.

"Puasa-puasa sendiri, batal-batal sendiri! Dasar,


Gondes!!" gerutunya.

Saat mau balik ke ruang ketik ... eh, kok itu komputer di
kamar Gatot nyala. Bunyi theme song-nya sangat familiar di
kuping.

"Lah ... kamu lagi bukak program apa, Tot?" selidik saya.

"Hehe ... game ...," jawabnya tersipu.

Bajinduuullll!!

Tibake jas bukak iket blangkon. Sama jugak sami mawon!


(To be W4Ginued)

-288-
30
K-ULIAH K-ERJA N-GEKEK

Pagi itu saya mual campur pusing tujuh keliling. Bukan


karena mau M, tapi gegara dikocok dalam kabin bus Sedya
Utama menuju lokasi KKN di Wonogiri. KKN tenan iki,
Ndes! Bukan Kuliah (tapi) Kerjane Ngetik, he he ...

Baru tahu, ternyata jalan menuju lokasi adalah campuran


antara roller coaster, see saw, dan dermollen yang memutar,
berliuk-liku, naik-turun (Yang rumahnya Wonogiri "coret",
pasti paham lah).

Antimo dua biji yang saya telan bersama satu gelas tehnis,
dua lonjor arem-arem, dan empat bakwan, sama sekali tak
berguna. Kenyang iya, ngantuk iya, tapi mual jalan terus.

-289-
Walhasil, rekor saya tidak mabuk perjalanan selama 12 tahun
pun rontok.

Tak terkecuali, Gondeser baru selokasi: Ranti (FKIP),


Retno (FH), Setyo (FS), Widi (FE), dan Juni (FKIP) pun teler
dengan suksesnya. Bahkan Setyo sang Koordinator Desa
(Kordes) saat singgah di kantor Bupati Wonogiri
menyempatkan diri untuk ... kerokan!

Dawungan, itulah nama desanya. Kata dosen pembimbing


KKN, letaknya sih "di seputar kota Wonogiri saja." Tapi
ketika sampai di ibukota kabupaten, kernet bus—yang ikut
mabuk—bilang, "Alhamdulillah sudah separuh jalan!"

Hah, separuh?

Yup. Ternyata dari ibukota kabupaten, masih ke timuuuur


... lagi. Melewati Ngadirojo, Sidoharjo, Jatipurwo, lalu
Jatisrono. Dari Jatisrono, belok kanan 10 km ke Kecamatan
Jatiroto. Sampai? Ternyata belum ...

"Desa Dawungan-nya sebelah mana, Mbak?" tanya saya


kepo kepada seorang staf kecamatan, saat acara serah-terima
dengan Pak Camat.

"Masih 11 kilo lagi, Pak!"

"Mas!" ralat saya sambil sedikit mendelik.

-290-
Jindul ik, jik imut ngene diceluk Pak! Lagi pula, sejak
kapan aku menikahi ibumu, Nak? Hi hi hi ...

"Serius, masih 11 kilo?"

"Dua rius. Pokoknya masih ngliwati dua gunung, dua


sungai, dan dua desa lagi. Ya 12 kilo lah ..."

Wooohh ... kok jadi lebih? Jangan-jangan gara-gara


takpendeliki tadi, njuk jaraknya diimbuhi? He he ... urik juga
Mbake ini!

Tapi apes tenan ki, Ndes ... kendaraan colt pick-up yang
disewa kampus ternyata hanya bisa ngantar rombongan
sampai ke Desa Cangkring, 5 kilometer dari kecamatan.
Sementara untuk yang kebagian Desa Dawungan, dimohon
meneruskan by-sikil sejauh 7 kilometer lagi!

"Mantap!" cetus Setyo yang kebagian bawa lampu


petromax dan seabreg peralatan berukuran besar. "Tahu
begini, saya paketkan!" keluhnya.

Tentu dia guyon. Mana ada jasa pengiriman sampai ke


Indonesia bagian kemringet seperti ini!

Teman-teman cewek yang prinsipnya "palugada: apa yang


lu gak butuh pun gua ada" alias semua barang dibawa, sudah
pasti uring-uringan tak terkira. Porter, mana porter?

-291-
Saya yang bawa tas besar dan gitar pun meringis. Ingin
rasanya saya banting saja itu gitar, ngrepot-ngrepoti saja. Eh,
tapi regane larang je, Ndes, 27 kali ngamen!

Jadilah kami hiking siang itu. Atas arahan Pak Kades


Cangkring, kami disarankan ambil jalan pintas lewat jalan
setapak, memotong bukit Cemoro Telu. "Menghemat satu
kilo," katanya.

Sebagai pemandu jalan, Pak Kades menugaskan


keponakannya yang namanya Mas Madi. Ada juga empat
orang pejantan tangguh yang ditugas-fungsikan layaknya
Sherpa-nya Tenzing Norgay. Nek bingung, bahasa Solone:
tukang panggul tas!

Tak lupa, kami juga dibekali nasi bungkus, sayur, lauk,


gorengan, pisang dua sisir dan air minum satu ceret besar.

"Waaah, hik Maido kalah komplit, iki," celetuk saya


spontan.

Eh, mendengar kata "Maido", tiba-tiba semua saling


pandang, saling senyum, lalu terkekeh-kekeh sak Cut-nya ...

Setelah saya tanya, jindul ik... ternyata semua kenal


dengan sosok pengumbar makian yang bertakhta di Jl. Kol.
Sutarto itu! Wah, tenar tenan, si Mbahe!

-292-
"Saya pelanggan setia, ya makanannya, ya pisuhannya,"
ujar Retno geli.

"Wah, kalau begitu, kita satu guru satu ilmu. Sama-sama


dapat kuliah Ilmu Umpatan Dasar 6 SKS!" cetus Widi,
disambung tawa ngakak bersama, kali ini adiknya gak ikut,
hehe ...

Berkat Maido, komunikasi anggota geng baru yang


semula kaku, menjadi lancar dadakan. Bahkan karena merasa
sesama alumni Al Maido, kami merasa berhak saling
memanggil dengan sebutan "Gondes" satu sama lain.

Perjalanan yang panjang dan suntuk itu pun mendadak


berubah ceria. Awalnya kami jalan sambil nyanyi "Naik-naik
ke Puncak Gunung", karena di kiri kanan benar-benar banyak
pohon cemara.

Separuh perjalanan, saat peluh mulai bercucuran, lagunya


kami ganti menjadi "Maju Tak Gentar". Maklum, semangat
masih makantar-kantar.

Tapi jelang etape terakhir, saat medan makin berat,


dengkul kami goyah, keringat tumpah, tenaga musnah,
konsentrasi bubrah. Maka lagunya kami ganti lagi menjadi
"Gentar Tak Maju".

Sumpah, saya yang asli anak gunung saja hampir putus


nafas. Juni, Setyo, dan Widi bahkan sudah minta time-out

-293-
empat kali. Beruntung Retno dan Ranti cukup tangguh. Coba
kalau duo R ini sampai tumbang, kami tentu akan kerepotan
karena harus ping suit dengan para "Sherpa" untuk
menentukan siapa yang berhak untuk ... menggendongnya!

Baru ngeh saat itu, mengapa Pak Kades Cangkring


membekali kami dengan makanan seabreg-abreg. Ternyata
perjalanannya memang menguras tenaga. Maka saat desa
Dawungan kelihatan di kejauhan, pencapaian itu pun kami
rayakan dengan membongkar bekal dan kami serbu bersama.

Makan sambil memandang langit memerah menuju senja


dan hutan menghijau di bawah kaki, sungguh tiada
bandingnya.

"Sayang gak ada yang misuhi, ya," celetuk Setyo.

Iya, ya. Entah mengapa, kami tiba-tiba kangen Mbah


Maido!

"Sakjannya Mbah Maido diajak KKN saja, ya. Sebagai


peserta kehormatan," usul Widi.

"Setuju! Sak angkringannya dibawa. Lha, tapi terus


tugasnya disuruh ngapain, mosok di KKN jualan juga?" tanya
Ranti.

-294-
"Jangan dikasih tugas, lah. Justru apa-apa yang biasa
beliau lakukan, kita yang kerjakan. Mbah Maido, gantian kita
yang layani," ujar Retno.

"Ide bagus. Nyiapin nasi kucing, minuman panas-dingin,


ngobong (memanggang) 3T (tahu, tempe, telur) biar kita.
Mbah Maido yang menyantap," imbuh Juni.

"Ok. Tapi ingat... masih ada satu tugas beliau yang juga
harus kita kerjakan," kata saya.

"Apa itu?" kejar Setyo.

"Maido! (Ngomel)" sahut saya.

"Wah, iya, ya! Kalau begitu, kita semua yang gantian


ngomel. Mbah Maido mendengarkan!" celetuk Juni.

Jiahaha... sepertinya cukup adil! Toh selama ini jasa


beliau mengomeli kami sudah banyak. Sekarang giliran kami
membalas jasa dengan mengomeli beliau!

Tepat saat matahari terbenam, kami diterima Pak Kades


Dawungan dalam kegelapan. Iya, gelap sungguhan, karena
listrik belum ada. Penerangan hanya pakai lampu teplok dan
thinthir.

-295-
Awalnya Setyo mau menyalakan petromax yang ia bawa,
tapi setelah dicek ternyata kaos lampunya ambrol, efek
terjedot-jedot saat digotong tadi! Ya sudahlah...

Pak Kades (warga menyebutnya Pak Polo) namanya


Sarmin. Usianya wow ... baru 21 tahun, di bawah usia kami
yang rata-rata 22 tahun. Tak pelak saya pun berkelakar, "Jika
boleh, kami akan memanggil Njenengan, Dik Polo."

Ternyata Dik ... eh ... Pak Sarmin setuju! Bwahahaha ...

Pak Polo ternyata mantan pemain Kethoprak Desa, bagian


dagelan. Wajar jika urusan ngocol dan guyonan, kami kalah
jauh! Inilah yang namanya the right man in the right place.
Tukang peringisan ditempatkan di desa yang dikomandani
dagelan. Klopp ... sak Jurgen-nya!

Kami ditempatkan dalam dua ruangan terpisah. Yang


cewek di satu ruangan kecil dengan satu tempat tidur besar.
Sedangkan yang cowok di satu ruangan besar dengan empat
tempat tidur kecil. Bolak-balik ya ...

Saya sih gak ambil pusing soal tidur. Yang mendesak


untuk dilakukan saat itu adalah mandi. Sudah gerah banget,
dan bau badan sudah sekecut pati kanji. Kandung kemih juga
sudah minta di-tap.

"Kamar mandi di mana, Bu?" tanya saya pada Bu Polo


yang masih imut banget itu.

-296-
"Oh, di kanan rumah, di bawah pohon asem. Tapi maaf,
malam ini semua belum bisa mandi. Sumber air dan sumur
kering, selang juga mati. Kami hanya punya air dua ember.
Silahkan dipakai untuk yang penting-penting saja," pesan Bu
Polo.

Waduuhh ...

Terpaksalah Kordes ambil kebijakan: masing-masing


dijatah air tiga gayung. Tidak boleh lebih. Hanya boleh untuk
pipis, cuci muka, dan sikat gigi.

"Lha nek kebelet nganu piye, Ndes?" tanya Juni khawatir.

"Ditunda wae nganunya. Kalau kepepet, ya terpaksanya


istinjak, bersuci pakai pasir dan batu kayak di gurun," titah
Setyo, disambut tawa kecut kawan-kawan.

Ya, kecut banget, sekecut bau badan kami. Karena kami


semua punya kekhawatiran yang sama ...

Saya sengaja ngambil giliran ke kamar mandi terakhir.


Harapannya sih biar dapat air paling banyak. Tapi saat
merogoh ember terakhir ... ya salaaam ... ternyata isinya
tinggal sak crit!

"Banyune mbok entekke ki piye, Ndes?" protes saya ke


Setyo saat kembali ke kamar.

-297-
"Sori, Nda ... karena gelap, tadi embernya kesenggol dan
jatuh," kata Setyo dengan wajah bersalah.

Piye, iki? Yang tersisa cuma air teh dalam ceret yang
dibawa dari Cangkring tadi. Mosok, habis pipis mau bebersih
pakai air teh? Nggak, ah! Ntar malah kayak terapi pembesaran
yang itu ...

Ya, sudahlaahh ... pipis dan gosok giginya ditunda episode


depan saja!
(To be W4Ginued)

-298-
31
AIR, OH AIR ...

Air adalah permasalahan paling krusial (bikin kurus dan


sial) di Dawungan. Lebih-lebih di musim kemarau, harga air
lebih mahal dari emas. Buktinya, cewek setempat lebih
memilih mandi daripada mendekati emas-emas KKN yang
bau ketjut!

Tak jarang air jadi sumber congkrah. Kapan hari, Lik


Sono dan Lik Paidi nyaris gelut. Gara-garanya, dua ember air
yang susah-payah dipikul Lik Sono dari pinggir kali,
"dicicipi" sapi Lik Paidi. Lik Sono minta ganti rugi, tapi Lik
Paidi nyuruh Lik Sono minta ganti rugi ke ... sapinya. He he
he ...

-299-
Tempo hari pula Mas Kisut menuduh Pak Karim sengaja
melepas sambungan selang untuk mengoncori ladang jeruknya
yang nggik-nggiken. Tapi Pak Karim menganggap Mas Kisut
yang ceroboh karena memasang selang lewat tanahnya tanpa
izin. Keduanya nyaris baku pukul, untung segera dipisah oleh
Pak Polo.

Air pula yang membuat saya kalang kabut. Pasalnya di


Tegalkuniran saya terbiasa mandi dua kali sehari. Lah di sini,
bisa mandi dua hari sekali saja sudah ganteng.

"Apa di sini gak ada sumur?" tanya saya suatu hari pada
"Dik" Polo.

"Banyak!"

"Lalu apa masalahnya, kok sulit air?"

"Ayo kita lihat!" cetusnya sambil menyeret saya ke sumur


miliknya di belakang rumah.

"Sumur ini sangat dalam. Saking dalamnya, kalau kita


menjatuhkan kerikil sambil menyulut rokok, habis sebatang
baru terdengar suara 'pluk!' kerikilnya tiba di dasar!" jelas Pak
Polo.

"Lho ... kok suaranya 'pluk' bukannya 'plung'?" tanya saya.

"Soalnya hanya ada tanah di dasarnya. Airnya tidak ada!"

-300-
Woooh ...

"Sejatinya masih ada satu sumur yang airnya sangat bagus


di rumah Koh Swie, tapi sudah satu bulan ini gak ada yang
berani nimba."

"Memangnya, kenapa?" tanya saya heran.

Pak Polo cerita, sebulan lalu Koh Swie gantung diri


karena masalah ekonomi. Sejak itu, tak ada satu pun warga
yang berani menginjak halaman rumahnya.

"Katanya si Engkoh masih suka nongol di halaman


belakang, di sekitar sumur situ, hiii ...," kata Pak Polo dengan
wajah ngeri.

"Tapi bunuh dirinya gak nyemplung sumur, kan?"

"Gak. Gantung diri di blandar rumah."

"Yess! Nanti sore saya mandi di sana saja!"

"Woohh ... kalau Engkohe muncul, bagaimana?"

"Ya saya ajak mandi sekalian, he he ..."

"Wah, edan, Sampeyan!"

-301-
Sorenya, ketika kawan-kawan setia menunggu air selang
yang ngicir seperti pipisnya orang kencing batu, saya pergi
berkalung handuk sambil membawa peralatan mandi lengkap.

"Arep adus ngendi, Ndes?" tanya Juni heran.

"Di sumur Koh Swie."

"Yang gantung diri itu???"

Saya manggut.

"Yuk, siapa mau ikut? Airnya ngebur, loh!" pamer saya.

Meski saya dorong-dorong sampai lecet, gak ada yang


tertarik. Mungkin prinsip para Gondes, lebih baik kecut badan
daripada kecut hati!

Memasuki halaman belakang rumah Koh Swie,


suasananya memang agak tintrim. Maklumlah, sudah 40 hari
rumah ini tidak disentuh manusia.

Kamar mandi yang berkeramik putih tampak sedikit


dikotori daun dan ranting. Tapi dibandingkan dengan kamar
mandinya Pak Polo yang dindingnya dari gedek bambu, ya
jauuuhh ...

Saat menaruh handuk dan siap-siap nimba, saya dengar


ada suara gemericik dari dalam kamar mandi. Wah, ada yang

-302-
mandi rupanya! Bohong dong, kalau dibilang gak ada yang
berani mandi di sini.

Saya dengar suara orang menciduk air dengan gayung,


menyiram, menggosok badan, dan suara laki-laki dehem-
dehem kedinginan.

Khawatir dituduh "ikan lumba-lumba ikan gabus, ora


melu nimba melu adus", saya pun meraih karet timba lalu
mulai mengisi bak mandi. Saya cukup familiar dengan timba,
karena pernah menggunakannya ketika kecil di kampung dulu.

Saat air sumur yang jernih segar mulai memenuhi bak,


tiba-tiba terdengar suara ... ceklek! Kunci gerendel kamar
mandi dibuka dari dalam. Daun pintu terbuka, namun tak
tampak sesosok tubuh pun keluar. Hanya jejak kaki basah
terlihat bergerak menuju ke dalam rumah!

Saat saya lihat, ternyata lantai kamar mandi benar-benar


basah, bahkan ada sisa air mengalir! Ada juga wangi sabun
aroma melati tercium. Jelas ini bekas orang mandi. Tapi,
siapa?

Nyatanya, saya nimba persis di depan pintu tapi gak


melihat orang keluar?

Wah, kalah cepat ini namanya. Mau ngajak mandi


lelembut, malah sudah keduluan. Ya wis sakkarepmu, Mbut,
Lelembut! Saya butuhnya mandi dengan air segar dalam

-303-
jumlah banyak sepuas-puasnya! Yang butuh bersih gak cuma
dirimu, Mbut!

Pulang ke rumah Pak Polo, saya pamer tubuh yang segar-


wangi. Kawan-kawan semua pada iri. Tapi saat saya ceritakan
kejadian tadi, semua bergidik ngeri, termasuk Pak Polo.

"Wah, kalau saya mending kecut daripada mandi


berpartner lelembut," komentar Pak Polo.

"Halah.. gak ada lelembut saja Bapake ini jarang mandi,


kok ..." tiba-tiba Bu Polo yang sedang menyajikan teh
nyeletuk.

"Huss ... jangan membuka rahasia perusahaan!" semprot


Pak Polo.

Tapi kami sudah telanjur ngakak berkelanjutan ...

Berhubung satu-satunya sumber air bersih yang tersedia di


sumur Koh Swie tidak diminati, maka terpaksalah lima
sekawan mandi di belik (sumur resapan) di pinggir kali.
Waktunya dipilih malam hari. Maksudnya jelas, agar terhindar
dari keterbukaan dan transparansi.

Repotnya, Retno dan Ranti gak berani mandi sendiri.


Selalu minta diantar. Repotnya lagi, Widi, Setyo, dan Juni
penakut semua. Jadi mau tidak mau, saya yang dianggap
paling kendel selalu ikut piket ngantar tiap malam.

-304-
Strategi duo R ini pinter juga. Saat berangkat, lampu
senter cowok yang pegang. Tapi 100 meter menjelang belik,
senternya mereka minta. Kami berempat diminta menunggu di
batu besar di tengah kegelapan.

"Kok, bukan kami saja yang pegang senternya, Nok?"


tanya Widi suatu malam, saat kami menemani ke girli.

"Woo ... enak aja! Lha nanti kami sedang mandi kamu
main sorot, kan berbahaya!" ujar Retno dengan wajah disadis-
sadiskan.

"Ha ha ha, cerdas! Ya sudah sana, dibawa!"

Kami pun seperti Jaka Tarub menunggu bidadari mandi.


Bedanya, yang ini Jaka Tarub-nya rombongan. Bedanya lagi,
sambil digigiti nyamuk yang besarnya sak kebo-kebo dan
dilingkupi aroma tak sedap khas kali.

Saat sedang khusuk menunggu, tiba-tiba terdengar suara


... srreeekkkk ... brugh!! yang cukup keras dari pinggir kali.

Belum lagi sadar suara apa itu ... Byar! cahaya senter
menyorot ke arah datangnya suara, diiringi teriakan Retno dan
Ranti. Pet! Lampu senter kembali mati.

Hanya tiga detik, tapi cahaya senter yang dipencet Retno


menjelaskan segalanya. Pertama, ada daun kelapa kering

-305-
jatuh. Kedua, Retno sedang sabunan dan Ranti sedang
shampo-nan!

Tak pelak, kami pun terkekeh-kekeh sampai sakit perut


karena tak menyangka akan disuguhi "film" di tengah
kegelapan. Oalaaahh ... Jaga-jaga sendiri biar tidak
disembronoi, malah akhirnya sembrono karepe dhewe!

Sejak peri(h)tiwa "senter maut" itu, duo R kapok diantar


cowok. Belakangan, yang ngantar mandi kalau bukan Mbok
Yah pembantunya Bu Polo, ya Bu Polo sendiri. Elok tenan,
cah KKN aduse diantar Bu Lurah!

Toh masalah air tak kunjung selesai. Kali ini yang bikin
pusing adalah selang air yang terlalu sering putus. Akibatnya,
pagi-pagi Bu Polo sering kepreh-kepreh karena gak ada air
untuk menanak nasi.

"Ngene wae, Cah. Kita main domino. Yang kalah


hukumannya ngurut selang dari mata air sampai kolah (bak
air). Setuju?" tantang Pak Polo.

"Siapa takut!" jawab saya, diaminkan kawan-kawan


cowok.

Jadilah malam itu kami tanding kompetisi memperebutkan


piala Polo Cup. Juara 1 - 3 boleh tidur. Juara 4 dan 5 ngurut
selang. W4Gindulnya, saya dapat posisi 4 dan Pak Polo paling
buncit!

-306-
"Ndladuk ik ... ya wis ayo Mas Gun, kita menjalankan
misi mulia ini," kata Pak Polo sambil menyambar lampu
petromax yang akan dipakai untuk obor kerja.

Baru tahu, ternyata selang airnya panjangnya hampir satu


kilometer! Membentang melewati ladang, kebun dan kalen.
Ujungnya ada di sumber air di bawah pohon beringin kurung
yang letaknya di bukit atas desa.

"Kita langsung ke sumber saja. Nanti ngurutnya dari atas


ke bawah," kata Pak Polo.

Saya manggut-manggut saja.

Sampai di sumber, saya takjub. Ternyata pohon


beringinnya besarnya sak alaihim. Akarnya berjuntaian dan
saling silang satu sama lain. Di growongan bawah akar itulah
bendungan mini tempat selang mengisap air berada.

Saat kami tengok, ternyata bendungannya berantakan.


Tapi nanti dulu ... di tanah basah yang porak-poranda kok ada
cap telapak kaki bulat dengan empat jari berkuku tajam!

"Pak ... kok kayaknya itu tapak kaki kyaine ..." bisik saya
takut.

"Kyaine siapa?" kejar Pak Polo dengan wajah tak


mengerti.

-307-
Sebelum saya menjawab, tiba-tiba terdengar suara auman
yang dalam dari rimbunan semak dekat pohon beringin.
Seketika bulu kuduk saya berdiri. Tak salah lagi, itu memang
kyaine!

Belum lagi sadar mau bertindak apa, sekonyong-konyong


terdengar suara gemeratak. Butiran tanàh beterbangan
menimpa tubuh kami.

"Lariiii!!" teriak saya.

Segera saya tarik tubuh Pak Polo. Baru sekira 50 meter,


lampu petromax terbentur pohon dan langsung mati. Saking
takutnya, kami terus berlari dalam gelap. Tak peduli kaki kami
habis terantuk batu dan tonggak ...
(To be W4Ginued)

-308-
32
PAHITNYA MADU

"Desa mawa cara, negara mawa tata", tiap daerah


memiliki kekhasan tersendiri. Demikian pula Dawungan. Desa
ini sungguh unik dari sudut pandang astronomis, geografis,
maupun sosiokultural. Weh, sejak KKN bahasa-ne lincip
tenan, Ndess!

Soal kondisi alam Dawungan, cuma Ebiet G. Ade yang


bisa menggambarkan secara pas, "tanah kering bebatuan."
Benar-benar gersang. Jangankan hortikultura, rumput pun
berkeluh-kesah kalau disuruh tumbuh di sini.

Potensi alam di sini memang sangat minus. Itulah yang


membuat hampir seluruh penduduk usia produktif boro ke

-309-
Jakarta. Saya tahu kondisi itu saat mengundang warga untuk
kerja bakti memperbaiki talud jembatan Tretes. Duuhh ...
ternyata yang datang semua para lansia dan anak-anak?

"Yang muda-muda pada ke mana, Pak?" tanya saya pada


pak Kadus Tretes.

"Macul di Jakarta," jawabnya.

"Memang gak bisa macul di sini?" kejar saya.

"Males, Mas. Di sini, nanam singkong panennya sidagori


(sejenis semak). Nanam padi, panennya alang-alang. Mending
pada ke Jakarta jualan bakso atau mie ayam," ujar Pak Kadus.

Ya. Vegetasi yang tumbuh subur di dusun Dawungan,


Sempor, Paran, dan Tretes, hanyalah jambu mete. Selain
jambu, dipastikan bakal dilanda stunting dan daunnya
menguning. Ada sih, beberapa petak sawah dekat aliran
sungai Keduwang. Tapi untuk saat ini, kondisinya pun retak-
retak dihantam kemarau.

Soal tradisi, desa ini tergolong lain dari yang lain. Hampir
setiap rumah punya satu pohon besar yang difungsikan
sebagai "dhanyangan", tempat memuja arwah nenek moyang.
Di pohon besar itu, pada hari tertentu, lazim diberi cok bakal
(sesaji) dan dibakari kemenyan.

-310-
Pak Polo sendiri punya dhanyangan berupa pohon
trembesi besar di ujung pekarangan sebelah barat dekat kalen.
Tapi ia mengaku sudah tidak aktif melakukan ritual di sana.

"Tinggal Mbah Kakung yang masih suka ngobong


menyan. Kalau saya, ngobong menyannya di mulut
(maksudnya merokok klembak menyan)," ujarnya.

Yang unik, kalau ada orang hajatan, sudah pasti


memasang loudspeaker alias Toa di pucuk pohon tertinggi.
Suara lagu-lagu dangdut dan gamelan yang diputar dari pita
kaset akan bergema seantero desa.

Dijamin berisik maksimal, deh. Tapi gak boleh protes,


karena melek semalaman mendengarkan kaset termasuk
dianjurkan sebagai salah satu bentuk solidaritas berbagi
kebahagiaan ... he he he ...

Nah ini yang sungguh ajib, dua hari sebelum hingga


setelah malam hajatan, selalu digelar permainan ceki (judi
kartu). Judi ini dianggap sebagai kegiatan legal dan normal
belaka, karena merupakan bagian dari tradisi turun-tumurun!

Bahkan saking legalnya, untuk keperluan itu, di Kantor


Desa tersedia inventaris meja bundar tanpa kaki sebanyak 20
buah, yang memang khusus disewakan untuk permainan judi.
Hasil sewanya dicatat sebagai bagian dari Pendapatan Asli
Desa (PAD) yang dilaporkan rutin di Musdes bulanan!

-311-
Jangan diragukan lagi soal keamanannya. Sebab kalau ada
aktivitas perjudian seperti itu, yang hadir di barisan terdepan
adalah Pak Camat, Danramil, dan Kapolsek. Di meja
belakangnya, Pak Polo dan perangkat desa. Baru di baris
terakhir, sohibul bait dan warga setempat.

Ini berlaku tidak hanya saat hajatan, tapi juga saat ada
kematian. Kalau ada warga meninggal sore, malamnya
jenazah biasanya akan diinapkan. Alih-alih baca Yasin, sambil
"tugur" atau menunggui yang mati, warga justru sibuk
membanting Dimpil, Plompong, Senthun, Ketok, dkk di ruang
sebelah. Uniknya, hasil kemenangan para gambler ini
seluruhnya akan disumbangkan ke keluarga yang ditimpa
musibah. Elok tenan ...

Sungguh desa yang penuh kejutan. Saya yang asli ndesit


saja suka tertegun-tegun dengan kejadian tak terduga yang
saya alami di Dawungan bersama para Gondes. Salah satunya
adalah soal janji yang harus dan wajib ditepati.

Bagi sebagian warga Dawungan, mahasiswa KKN adalah


selebriti. Tak heran saat tour of dusun, ada saja yang datang
mendekati. Salaman sambil ngobrol ketawa-ketiwi. Itulah
bentuk selfie nir-kamera.

"Jangan lupa, nanti sore mampir ya Mas, Mbak!" pesan


mereka.

-312-
"Biasanya kami spontan jawab saja, "Nggih Pak, Bu,
Mbah, Lik ... dst." Maklum, yang ngampirke banyak banget.

Tak tahunya, kata "inggih" yang kami ucapkan, dimaknai


sebagai janji alias kesanggupan kami untuk datang bertamu
sungguhan. Walaah ...

Malam itu sekitar jam 21.00, kami heran tak kepalang,


saat Bu Polo bilang ada delapan orang ngantri mau sowan ke
markas KKN, sambil membawa bakul nasi dan rantang susun!

"Semua bilang, mau mengirim dhaharan (makanan) untuk


Mas-Mbak KKN. Katanya tadi sudah masak besar, tapi
ditunggu-tunggu Mas-Mbake gak datang ke rumah!" jelas Bu
Polo.

Huaduuuhh ... sungkan tenan iki, Ndes! Akhirnya warga


yang "nonjok" itu kami temui satu per satu. Kami minta maaf
ala AU—setinggi-tingginya, ala AL—sedalam-dalamnya, dan
ala AD—seluas-luasnya. Mereka hanya bilang, "mboten nopo-
nopo", tapi repotnya, masakan tetap ditinggal untuk kami
semua!

Bisa mbayangkan gak, Ndes ... dalam waktu semalam


dikirim menu paket lengkap delapan set! Makmur tenan yen
iki, tapi campur malu dan sedih. Malu, karena itu akibat salah
kata ke para warga. Sedih, karena pasti kami akan
kekenyangan. Dan kekenyangan akan berdampak pada

-313-
frekuensi ke belakang. Sementara persediaan air di kamar
mandi tetap tipis! Duh ...

Sejak itu, kami berhati-hati benar jika mau mengucapkan


kata "inggih", khususnya yang menyangkut tawaran mampir.
Mending dijawab, "Maaf, kami semua sedang sibuk
menggarap papan monografi!" Lebih aman!

Sore itu kami sedang santai di halaman, ketika Pak Polo


muncul dari kebun dengan wajah bungah.

"Mas, suka madu?"

"Wah, pacar aja belum punya, bagaimana bisa merasakan


nikmatnya madu!" jawab Juni.

"Maksudnya madu tawon."

"Owh ... kalau itu gak nolak."

"Yuuk, ikut saya!" ujar Pak Polo sambil menggelandang


kami yang cowok ke arah dhanyangan.

Ternyata ada tawon madu bersarang di lubang pohon


trembesi. Sepertinya sudah besar dan ranum. Bakal panen raya
nih! Tapi melihat ribuan tawon berseliweran, Setyo, Widi, dan
Juni langsung ngacir balik ke rumah. "Wedi dientup (takut
disengat)!" seru mereka serentak.

-314-
Ya wis, lah. Dientup tawon itu berat, kamu tak akan kuat.
Biar kami saja! Celetuk saya dalam batin.

Pak Polo menyulut rokok klembak menyan dan meniup-


niupkan asapnya ke lubang tempat sarang tawon. Ajaib,
ternyata tawonnya pada minggir. Langsung saja lubangnya
dibobok pakai kapak. Sarang yang penuh madu ditarik ke luar,
lalu dilemparkan ke ember yang saya pegang.

Pada tarikan kedua, melihat madu segar menetes, Pak Polo


mupeng. Tak sabar, sarang yang menul-menul langsung
disobek dan disuapkan ke mulut. Setelah itu disesep madunya
dan ampasnya disemburkan ke udara. Begitu berulang-ulang.

Saat sedang asyik memamah sarang, tiba-tiba,

"Aduuuhh!" Pak Polo menjerit sambil menepuk-nepuk


mulutnya. "Ilatku dientup (lidahku disengat)!" teriaknya
sambil merosot dari atas pohon.

Untungnya semua sarang sudah di-download. Segera saja


saya masukkan ke ember dan kami berdua berlari pulang.
Sepanjang jalan, Pak Polo mendesis-desis kesakitan. Matanya
berair dan pipinya memerah.

Sampai di rumah ia langsung masuk kamar dan tidak


keluar lagi sampai malam.

-315-
Lepas isya, bau lezat masakan menguar dari dapur.
Kontan saja perut para Gondes berkukuruyuk.

'Masak apa, Bu, kok baunya aduhai?" tanya Retno.

"Bothok (pepes) tawon, yang tadi diunduh Mas Gun."

"Yang dibothok apanya?" kejar Widi ikut nimbrung.

"Ya anaknya tawon. Larvanya. Uenaaak, kok Mas!"

Awalnya agak gimana gitu melihat bentuk masakannya


yang aneh, namun setelah dicicipi, semua sepakat bahwa
rasanya memang ogud. Oke dan gud. Apalagi ditambah
minumnya madu diencerkan dengan air hangat. Wiih ... cucok
meong!

Gak sampai setengah jam, semua sudah leyeh-leyeh


kekenyangan. Apalagi yang pas, setelah kenyang selain tidur.
Malam itu kami pun merem lebih awal.

Jam setengah lima, Widi mengobrak-obrak tidur saya


dengan wajah gugup.

"Ndes, wajahku bengkak!"

Belum lagi saya jawab, Setyo dan Juni muncul.

"Aku juga! Malah sekujur tubuh!"

-316-
Tak lama, Ranti dan Retno muncul dengan kondisi sama,
bengkak. Malah Retno pakai bilur-bilur merah seperti biduren.

Woalaah ... ternyata semua alergi tawon! Cuma saya


sendiri yang tidak bengkak!

"Bajindul ... gak setia kawan, ini namanya! Lainnya


bengkak, kamu kempes sendiri!" semprot Setyo.

Saya cuma bisa garuk-garuk kepala.

Sedang ubres membahas alergi tawon, tiba-tiba Pak Polo


keluar kamar sambil menutupi muka dengan telapak tangan.

"Laah ... kenapa mukanya, Pak?" tanya Retno.

Pak Polo berhenti. Membuka telapak tangannya sambil


menjulurkan lidah.

Wuaaaaa ... ternyata wajahnya juga tembem seperti Gajah


Mada!!
(To be W4Ginued)

-317-
PENUTUP

Yth. Gondesquad

Mohon maaf saya harus menghentikan W4G sampai batas


waktu yang tak terbatas. Semoga apa yang sudah saya tulis
mendatangkan manfaat. Mohon maaf jika ada kekurangan dan
kesalahan selama ini.
Salam Gondes,

Nursodik Gunarjo

-318-

Anda mungkin juga menyukai