Anda di halaman 1dari 5

Tafsir 'yang Mungkin' Dari Sapi dan Hantu

Sebermula tafsir, penyair adalah penafsir yang memungut kata - kata dari persentuhan
dengan alam, dirinya sendiri dan Tuhan. Penyair dalam permenungan seperti nabi yang
tengah mendapat wahyu: senyap, reflektif, dan penuh pemaknaan. Hubungan penyair dengan
lingkungan jadi menimbulkan tafsir sebening cahaya.
Puisi lahir dari peristiwa, dan tidak lahir dari kekosongan. Momen puitik yang
ditangkup penyair dalam puisi mengarak pembaca terpejam, resah, penuh tasfir, tanda tanya,
bahkan dengan kompleks menimbulkan beragam pembacaan. Sebuah puisi memiliki semesta
terbuka di mana pembaca dapat menemukan interkoneksi yang tak terhingga. Menafsirkan,
mengetahui, menembus ke esensi sesuatu, dan lain-lain adalah cara-cara yang menggambarkan
proses membuat teks bekerja, meminjam Istilah Umberto Uco dalam Semesta Tafsir (Terj,
2019).
Persinggungan manusia, dengan alam, hewan, dan lingkungan menjadi sumber
inspirasi. Proses kreatif lewat puisi muncul sebagai medium estetika dalam menafsir, dan
menguar makna. Proses seorang penulis dalam memupuk peristiwa terefleksikan lewat
metafora, tanda, dan majas-majas. Puisi mengusung tema demi nilai-nilai yang berkaitan
dengan kondisi di sekitar.
Awal dari tulisan ini sebagai upaya untuk memahami keterbukaan makna yang luas dari
antologi puisi karya Dadang Ari Murtono, Sapi dan Hantu (2022). Buku puisi yang berhasil
membawa pembaca terpejam dalam semesta penyairnya untuk beberapa saat. Octavio Paz ,
pernah menyebut puisi sebagai the other voice. Sebentuk suara, yang menyedot pembaca
terbenam, berlama-lama dengan kata.
Kita akan tersedot pada spektrum kata-kata, membentuk semesta sendiri dalam imaji,
lalu terhempas kembali ke dunia nyata. Secara garis besar, buku ini dibedakan jadi dua sub
bagian: sapi dan hantu. Melalui sapi, penulis hendak mengolah spiritualitas masyarakat Jawa
dalam kemasan tafsir yang bebas. Sementara hantu, jalan bagi penyair untuk bertolak pada
dunia kosmologi Jawa, kengerian, sekaligus tragedi dari peristiwa yang pernah terjadi. Tafsir
bagi antologi puisi Dadang terbentang luas dengan lekatnya berbagai unsur budaya.
Budaya yang merupakan laku sehari-hari manusia bisa berupa apapun. Budaya bersifat
mengikat dengan keadaan di lingkungan. Orang-orang yang hidup pada daerah pesisir akan
bersinggungan dengan lokan, kapal, dan ikan. Masyarakat di daerah perkotaan, sehari-hari
harus memepak telinganya dengan bising dan deru kendaraan. Penduduk di dataran tinggi,
kebanyakan hidup sebagai petani atau peternak yang akrab dengan gembala sapi.
Sapi-sapi digembala manusia untuk bertani. Pada masa lampau, sapi-sapi akan ribut
dengan pekerjaan di hari jelang panen. Manusia melihatnya sebagai hewan yang suci,
kepercayaan agama Hindu. Marvin Harris tergerak dengan Sapi, dia menjadikan hewan itu
sebagai objek penelitian. Di india, kaum Brahmana tak akan memakan sapi, hewan mulia. Sapi
di India kata Marvin, menjadi pertahanan terakhir melawan lintah darat. Seekor sapi betina
jompo yang kurus kering masih terlihat cantik dimata pemiliknya. Perjumpaan Dadang dengan
sapi menghadirkan puisi. Diolahnya kata-kata jadi sajian yang melenakan.
Puisi panjang berjudul ‘sejumlah puisi di kandang ganjaran,’ sudah cukup mempuk
pengetahuan kita tentang tabulasi berbagai jenis sapi. Berbagai macam jenis seperti sapi bali,
sapi brahman, simental, limosin, dan peranakan ongole dipinjam penyair untuk mengernyitkan
pintu gerbang buku ini. Sapi bukan hanya dipandang sebagai hewan penggembala, atau hewan
pembajak tanah tapi representasi kehidupan masyarakat.
siang tadi seorang kawannya berkata, “bukan pemuda pacet bila tak bisa main
bantengan: mengisi raga dengan roh banteng” (halaman 5)
Pacet, salah satu kawasan di Mojokerto, tempat penyair menuliskan puisi yang
membawa kita terlibat sebagai bagian dari kehidupan, tradisi, dan kepercayaan. Sapi menjadi
simbol budaya karena pada bait selanjutnya semakin jelas arah puisi “sapi bali juga keturunan
banteng, dia kuat membajak sawah, dan kotorannya bagus menyuburkan tanah.”
Corak budaya, kehidupan masyarakat dalam pola yang dibangun dari kemampuan
spiritual dan intelektual semakin tersingkap pada puisi berjudul ‘sapi gajahmungkur’: kini, di
dusun podho orang-orang melantunkan/shalawat nabi di langgar untuk mendapat syafaat/ dan
merapal mantra-mantra warisan sang pertapa/ untuk memanggil atau menggembalakan sapi-
sapi (halaman 21).
Puisi yang menautkan peristiwa alamiah masyarakat untuk mengikat hewan sapi
sebagai hewan peliharaan. Puisi sapi gajahmungkur sangat mirip dengan proses upacara
ngalungi sapi. Upacara yang banyak dilakukan masyarakat Jawa mengatur hubungan manusia
dengan sang pencipta. Hal ini dapat dilihat pada bait merapal mantra-mantra warisan sang
pertapa.
Dengan peristiwa merapal sebagai ikatan rasa syukur manusia kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Ngalungi sapi biasanya dimaksudkan untuk permohonan dan doa agar sapi-sapi
yang dimiliki diberi kesehatan dan cepat beranak pinak. Munculnya kekhasan upacara tradisi
Ngalungi Sapi dalam teks puisi sebagai bentuk kepekaan penyair pada jelajah spiritualitas
masyarakat.
Selanjutnya masih dengan simbol sapi, melalui puisi berjudul ‘setapak sapi’ kita dibawa
pada ingatan. Ingatan tentang aturan-aturan dan keyakinan yang sengaja dibuat manusia untuk
memenuhi kebutuhannya dalam berkehidupan.
setiap kali melewati setapak menuju sawah itu/orang-orang selalu ingat apa yang
dikatakan duku rimang/perihal maling yang menguasai sirep binatang/ (halaman 11).
Kita bisa merasakan pada fragmen itu ada semacam kengerian untuk abai pada
kepercayaan masyarakat. Kepercayaan yang dipercaya, dilakukan, dan ada rasa takut untuk
dilanggar ini bersifat mengikat. Adanya ikatan manusia dengan alam sejatinya bermakna
keseimbangan. Jika dilanggar pada bait selanjutnya, menundukkan kepala untuk menghormati
yang kehilangan dan yang kesakitan ada konsekuensi dari larangan. Barangsiapa yang masih
berani lewat di jalan setapak itu, bersiaplah kehilangan sapi.
Dadang menggunakan realitas budaya dalam puisi berjudul ‘matahari bersalin di
kandang ganjaran’. Orang-orang berlari ke satu titik ke satu titik seperti dulu sewaktu/
terdengar teriakan maling di malam-malam penuh kecemasan dan kegeraman.
Penyair menciptakan jembatan bagi pembaca untuk mengenang suatu peristiwa yang
mungkin saja bermuara dari kisah dan pernah terjadi. Masyarakat berlari pada satu titik terjadi
akibat pergumulan yang dilatarbelakangi cemas dan geram. Kesadaran ini merespon kata
‘maling’ sebagai sesuatu yang membahayakan lalu akhirnya lari pada suatu titik.
Setelah sapi, kita akan dibawa pada hantu. Hantu secara harfiah merupakan makhluk
tak kasat mata yang bisa dirasakan dengan kehadiran, sebentuk wangsit, atau sebuah respon
akan yang keberadaan entitas yang gaib. Mari kita hayati petikan puisi yang berjudul ‘kedung
baya’: menjelang pagi orang-orang pergi, meninggalkannya yang tinggal torso/berkepala;
mulutnya menggigit/sejumput alang-alang, lantas pusaran air meninggi,/menyahutnya,
menenggelamkannya,/memupus luka dan menjadikannya /makhluk tak kasat mata (Halaman
42)
Hantu, bagi Dadang tampak bukan hanya bersandar pada yang gaib. Dia seolah
menegaskan hantu adalah desas-desus sejarah kelam yang terus dirawat dan dipercaya sebagai
sebuah bahaya. Penyebab kematian dari makhluk tak kasat mata yang tinggal torso kepala itu
karena tudingan bahwa dia (aku lirik dalam puisi) merupakan komunis. Seperti halnya hantu,
komunis menciptakan kengerian bulu kuduk, menciptakan ketakutan, dan kegetiran sejarah
juga ingatan.
Hantu menjadi simbol bagi adanya kejahatan yang acap kali tidak dilirik mati (gaib)
bagi sebagian orang, namun nyata bagi yang mengalami dan merasakan. Kita simak puisi
berjudul ‘setelah penguburan nenek tamah’ berikut: sebagian warga percaya desas-desus itu,
sebagian/tidak, tapi siapa pun tahu, mereka mesti menjaga/makam siapa pun yang mangkat
selasa legi, sebab/para pemburu ilmu tua bakal datang sebelum malam/ketujuh, datang
merangkak seperti seekor anjing,/mengeduk makam basah itu dengan cakar, dan
menyobek/sepotong kafannya dengan gigitan kasar (halaman 66)
Intertekstualitas atas irisan budaya yang termuat dalam puisi-puisinya. Karena pada
dasarnya sastra dan antropologi merupakan dua hal yang berdekatan. Keduanya dapat
bersimbiosis dalam mempelajari manusia lewat ekspresi budaya.
Sastra dalam hal ini puisi mungkin saja mengarah pada ranah imajinatif, sementara
antropologi menyajikan fakta-fakta masyarakat dalam terma budaya. Simbiosis sastra
(khususnya puisi) dan antropologi menyajikan sikap budaya yang ditulis dengan bahasa
figuratif, metaforis, dan estetis. Setidaknya Dadang hendak menyajikan kondisi antropologis
dengan jalan puisi. Tidak heran bila penyair lewat puisinya menyajikan narasi budaya.
Antropologi sangat kentara dalam sehimpun puisi ini. Keterkaitan teks sastra dengan
budaya masyarakat menjadikan buku ini penting untuk ditelaah. Masalahnya adalah teks sastra
dengan banyak sekali kekuatan imajiner tidak kemudian begitu saja disajikan sebagai
antropologi sastra. Dadang Ari Murtono dalam buku yang terbit di Penerbit Pelangi Sastra
Malang tahun 2022 ini melakukan pemaknaan baru ‘dalam’ kemungkinan teks sastra. Dewan
Kesenian Jakarta (tidak) keliru menisbatkan penghargaan kedua bagi Sapi dan Hantu karya.
Kendati, para Juri bersepakat kata, -tak ada yang menghuni juara satu. Dadang mungkin tetap
jadi juara terbaik bagi masyarakat Pacet, Mojokerto.
Dani Alifian, kelahiran Situbondo 1999. Saat ini menjadi
wartawan di beritajatim.com. Menulis esai sastra, dan puisi di
beberapa media. Juara 2 Festival Puisi Mahasiswa Nasional
HMJ Universitas Negeri Malang; Juara Favorit Lomba Cipta
Puisi Nasional Festival Seni Budaya dan Sastra Universitas
Brawijaya Malang. Dapat disapa melalui Instagram @dani_alifian.

Nama: M Afnani Alifian


Npwp:-
No Rekening: BRI
125901006626503 :
A.n: Muhammad Afnani Alifian

Anda mungkin juga menyukai