Anda di halaman 1dari 31

METAFIKSI DAN MEMORI TRAUMATIS

DALAM NOVEL DWILOGI DAWUK SEBAGAI KONSTRUKSI


KEARIFAN LOKAL BUDAYA PESISIR UTARA JAWA TIMUR

PROPOSAL TESIS

OLEH
MUHAMMAD AFNANI ALIFIAN
NIM 220211801879

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
MEI 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Konteks Penelitian............................................................................................1
1.2 Fokus Penelitian................................................................................................4
1.3 Manfaat Penelitian............................................................................................4
1.4 Definisi Operasional.........................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................7
2.1 Naratologi.........................................................................................................7
2.2 Pengertian Novel.............................................................................................18
2.3 Teori Resepsi..................................................................................................19
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................28
3.1 Pendekatan dan Orientasi Teoretis..................................................................28
3.2 Data dan Sumber Data....................................................................................28
3.3 Pengumpulan Data..........................................................................................29
3.4 Instrumen Penelitian.......................................................................................29
3.5 Analisis Data...................................................................................................31
3.6 Pengecekan Keabsahan Temuan.....................................................................31
DAFTAR RUJUKAN............................................................................................32

ii
DAFTAR TABEL

3.1 Penjaringan Data Bentuk Metafiksi...............................................................29


3.2 Interpretasi Data Bentuk Metafiksi................................................................30
3.3 Penjaringan Data Memori Traumatis.............................................................30
3.4 Interpretasi Data Bentuk Memori Traumatis..................................................30

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan (1) konteks penelitian, (2) fokus penelitian, (3)
manfaat penelitian, dan (4) definisi operasional. Keempat hal tersebut dipaparkan
sebagai berikut.

1.1 Konteks Penelitian


Metafiksi merupakan strategi bercerita yang menyuguhkan kesadaran
untuk pembaca bahwa cerita di dalam novel hanya sebuah fiksi. Strategi bercerita
ini belum banyak digunakan oleh pengarang novel di Indonesia. Hal itu terbukti
dari karya-karya novel di Indonesia yang sebagian besar hanya bersifat fiksi saja.
Cara bercerita menggunakan metafiksi dilakukan dengan memasukkan proses
kreatif pembuatan cerita atau bercerita di dalam fiksi secara tumpang tindih.
Adanya kesadaran tersebut mampu menyampaikan hubungan antara pengarang
dengan plot, karakter, dan pemikirannya sebagai bagian dari masyarakat. Strategi
metafiksi menciptakan keterbukaan ruang bagi tokoh di dalam novel untuk
menggugat posisi pengarang. Penggunaan strategi metafiksi dapat
mempertanyakan status novel bukan hanya artefak, tetapi juga dibangun dengan
penggabungan antara fiksi dan realitas. Oleh karena itu, penggunaan strategi
metafiksi memungkinkan adanya interaksi langsung antara pembaca dan
pengarang dengan dimensi teks.
Proses pengarang mengolah bahan untuk menjadi cerita utuh dalam novel
pasti melibatkan ingatan. Ingatan pengarang terwujud dalam fragmen masa lalu
yang berisi banyak hal. Ingatan tersebut dapat berwujud kejadian yang
menyenangkan maupun kejadian peristiwa kelam. Cerita kelam akan membentuk
memori traumatis yang dapat digunakan pengarang sebagai sumber inspirasi
dalam mengarang cerita. Memori traumatis yang berada di dalam novel
menyebabkan pembaca ikut merasakan trauma. Penggambaran memori traumatis
di dalam novel tidak secara terang-terangan tetapi dengan narasi yang dihaluskan
bahkan tidak menutup kemungkinan dengan rekonstruksi ulang. Strategi bercerita
dengan metafiksi menjadi cara yang tepat untuk menyisipkan memori traumatis di
dalam cerita.

1
2

Salah satu novel yang berisi penjelasan tersebut adalah Dwilogi Dawuk
karya Mahfud Ikhwan. Novel Dwilogi Dawuk digunakan sebagai objek material
penelitian. Novel Dwilogi Dawuk terbagi menjadi dua, yaitu Dawuk: Kisah
Kelabu dari Rumbuk Randu dan Anwar Tohari Mencari Mati. Novel ini dipilih
sebagai objek penelitian karena pernah mendapat penghargaan Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) tahun 2019. Selain itu, novel ini dipilih karena menerapkan strategi
bercerita metafiksi dalam bentuk cerita bergunjing. Dwilog Dawuk menceritakan
seorang tokoh pembual bernama Warto Kemplung. Secara singkat, novel ini
mengisahkan bualan Warto Kemplung yang hendak dituliskan menjadi cerita utuh
oleh Mustofa Abdul Wahab. Cerita di dalam novel membentuk kesadaran diri
seorang penulis novel yang seolah-olah melakukan percakapan dengan
pembacanya. Novel karya Mahfud Ikhwan ini mengisahkan wilayah yang
melahirkan tradisi konflik antara sinder, mandor, dan blandongan. Cara bercerita
Mahfud Ikhwan berkaitan erat dengan kultur khas masyarakat pesisir yang ceplas-
ceplos dan gemar menggunjing tetangga. Novel Dwilogi Dawuk juga
mengisahkan masyarakat Rumbuk Randu yang banyak menyimpan cerita kelam
dan kenangan miris seorang tokoh bernama Mat Dawuk. Novel karya Mahfud
Ikhwan ini lekat dengan unsur kultural, tradisi, dan unsur kearifan lokal budaya
masyarakat pesisir utara Jawa Timur.
Terdapat empat penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Pertama,
penelitian berjudul Strategi Pembacaan Novel Metafiksi Cala Ibi oleh Bramantio
(2010). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa Novel Cala Ibi karya
Nukila Amal merupakan novel yang dibaca dengan strategi pembacaan metafiksi
karena adanya ketidakgramatikalan dalam novel. Kedua, penelitian berjudul
Metafiksi dalam Serial Once Upon A Time Season 4: Sebuah Kajian Alih Wahana
oleh Angelina (2016). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa Serial
Once Upon A Time Season 4 merupakan serial alih wahana dari film sehingga
memunculkan sisi metafiksi dalam rangkaian dialog dan jalinan ceritanya. Ketiga,
penelitian berjudul Cosmographie Metafiction in Sesshu Foster's Atomik Aztex
oleh Pöhlmann (2010). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa bentuk
kosmografi metafiksi yang terdapat dalam novel Atomik Aztex karya Sesshu
Foster’s. Metafiksi digunakan pengarang untuk mendekatkan pembacanya pada
3

tokoh, jalan cerita, dan konflik. Keempat, penelitian berjudul African Cultural
Memory in Fred Khumalo’s Touch My Blood and Its Metafictional Para-Texts
oleh Masemola (2021). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa novel
Touch My Blood karya Fred Khumalo menceritakan memori kelam afrosentris
dengan strategi bercerita metafiksi.
Terdapat persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan penelitian ini dengan keempat penelitian di atas terletak
pada topik kajian yang sama-sama meneliti metafiksi dan memori traumatis.
Sementara itu, perbedaan penelitian ini dengan keempat penelitian sebelumnya
terletak pada teori yang digunakan dan cara pendekatan terhadap objek penelitian.
Pertama, penelitian Bramantio (2010) hanya berpijak pada metafiksi dengan
pembacaan naratologi, sementara penelitian ini berpijak pada teori metafiksi
sebagai strategi penceritaan memori traumatis. Kedua, penelitian Angelina (2016)
menggunakan teori naratologi untuk mengetahui dialog dan jalan cerita dalam
serial film, sedangkan penelitian ini menggunakan naratologi untuk mengetahui
strategi metafiksi yang digunakan penulis novel. Ketiga, penelitian Pöhlmann
(2010) membaca novel sebagai dokumen sejarah yang ditulis ulang dengan kreasi
pengarang, sementara penelitian ini menjabarkan novel sebagai dokumen memori
budaya yang diceritakan ulang penulisnya dengan strategi metafiksi. Keempat,
penelitian Masemola (2021) memandang bahwa novel membentuk konstruksi
pengetahuan pembaca tentang suatu peristiwa, sedangkan penelitian ini
menguraikan strategi pengarang yang digunakan untuk membentuk konstruksi
pembaca.
Berdasarkan konteks penelitian di atas, penelitian ini penting untuk
dilakukan karena akan memperkuat sejumlah penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya. Hasil penelitian ini menguraikan tentang kearifan lokal budaya
sebagai teknik bercerita metafiksi untuk mendekatkan pembaca pada novel. Hasil
luaran dari penelitian ini berdampak pada pembaca untuk mengenang peristiwa
budaya yang menyebabkan trauma. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat
digunakan masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan disharmoni dan konflik
kepentingan yang mungkin masih sering terjadi di pesisir utara Jawa Timur.
4

1.2 Fokus Penelitian


Fokus penelitian ini adalah metafiksi dan memori traumatis dalam Dwilogi
Dawuk karya Mahfud Ikhwan. Fokus penelitian ini dapat dijabarkan sebagai
berikut.
(1) Bentuk metafiksi dalam novel Dwilogi Dawuk karya Mahfud Ikhwan
konstruksi kearifan lokal budaya pesisir utara Jawa Timur.
(2) Bentuk memori traumatis dalam novel Dwilogi Dawuk karya Mahfud Ikhwan
sebagai konstruksi kearifan lokal budaya pesisir utara Jawa Timur.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu secara teoretis dan praktis.
Kedua manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut.
(1) Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini memberikan kontribusi untuk praktisi sastra
sebagai pengembangan cara bercerita dengan strategi metafiksi. Bagi pembaca,
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mencari alternatif penyelesaian masalah
dari memori traumatis. Bagi akademisi sastra, penelitian ini akan menjadi langkah
awal untuk melakukan kajian mendalam pada novel Dwilogi Dawuk karya
Mahfud Ikhwan.
(2) Manfaat Praktis
Manfaat praktis hasil penelitian ini bermanfaat untuk guru, masyarakat
umum, dan pengarang karya sastra. Bagi guru, penelitian ini dapat menambah
khazanah pengetahuan untuk menganalisis karya sastra. Bagi masyarakat umum,
penelitian ini bermanfaat untuk memberi pengetahuan tentang ingatan budaya
traumatis di pesisir utara Jawa Timur. Bagi pengarang karya sastra, penelitian ini
dapat digunakan untuk menemukan hal positif sebagai sumber ide dan kreasi
menulis novel.

1.4 Definisi Operasional


Ada enam istilah yang terdapat dalam penelitian untuk menghindari
ambiguitas pemaknaan. Berikut dijabarkan definisi operasional penelitian ini.
5

(1) Metafiksi berasal dari dua kata, yaitu meta dan fiksi. Metafiksi adalah definisi
pada karya sastra yang sadar diri. Metafiksi bukan genre tetapi jenis dari
bentuk, jika ada fiksi maka ada metafiksi.
(2) Memori traumatis adalah sehimpun ingatan (masa lalu) baik individu maupun
kolektif yang membentuk rasa trauma.
(3) Naratologi merupakan teori pembacaan karya sastra strukturalis yang
dikembangkan Gerard Ganette. Teori ini memandang sebuah cerita sebagai
wacana naratif sehingga dapat dilihat berbagai aspek dari unsur pembangun
internalnya.
(4) Fokalisasi atau bisa disebut sebagai sudut pandang, fokalisasi masuk pada
kategori modus naratif. Fokalisasi adalah cara untuk melihat posisi narator di
dalam cerita. Konsep ini membedakan antara narator dan pengarang.
(5) Konstruksi merupakan cara melihat bahasa sebagai bangunan dari peristiwa
di dalam teks.
(6) Kearifan lokal budaya merupakan laku, adat istiadat, dan kebiasaan
masyarakat lokal yang mewujud dalam kebijaksanaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab kajian pustaka ini dipaparkan (1) naratologi, (2) pengertian
novel, dan (3) teori resepsi. Ketiga hal tersebut dipaparkan sebagai berikut.

2.1 Naratologi
Naratologi merupakan teori yang digunakan untuk menganalisis struktur
penceritaan teks sastra. Kajian naratologi muncul pertama kali dari sebuah esai
yang ditulis oleh Genette (1983) yang berjudul Narrative Discours: An Essay in
Method. Teori ini berfungsi sebagai pembacaan pada karya sastra berdasarkan
pada narasi. Melalui teori ini memungkinkan pembacaan karya sastra yang
deskriptif dan tersusun secara sistematis. Ganette (1983:31) menjelaskan bahwa
struktur narasi berimplikasi pada tiga makna, yaitu (1) narasi merupakan tuturan
lisan atau bisa juga berupa tulisan yang berisi kejadian atau sejumlah kejadian, (2)
narasi berarti serangkaian dari kejadian yang menjadi pokok tuturan, hubungan
pertautan, pertentangan, maupun yang lainnya pada semesta cerita, dan (3) narasi
merupakan peristiwa itu sendiri ketika seorang tokoh atau narator menceritakan
sesuatu atau tindakan menceritakan.
Naratologi merupakan kajian yang sangat strukturalis karena melihat
sebuah narasi cerita dengan perhitungan matematis. Pada penelitian ini naratologi
tidak digunakan sebagai konsep pembacaan pada struktur teks. Namun, untuk
mengetahui kriteria ketidakstabilan teks sehingga dapat disebut sebagai karya
yang menggunakan strategi bercerita metafiksi. Naratologi digunakan untuk
melihat posisi narator di dalam teks serta mengetahui perbedaannya dengan
pengarang yang berada di luar teks. Menurut Culler (2007), strukturalisme tidak
bermaksud menjelaskan tentang makna dari novel, melainkan sebagai usaha untuk
eksplisit dari sistem penokohan dan konvensi yang membuka kemungkinan karya
sastra memiliki bentuk dan makna dari dalam teksnya sendiri.
Melalui teori naratologi pembacaan karya sastra dapat dilakukan dengan
mengacu dari dalam teks itu sendiri tanpa harus rujukan teks lain ataupun kisah
lain. Naratologi juga dapat dikatakan sebagai metode analisis struktural
penceritaan teks sastra. Pada taraf tersebut, naratologi menyediakan istilah yang

7
8

diperlukan ketika mendeskripsikan teknik dalam sebuah novel dan menyusunnya


dengan cara yang sistematis (Evanda,2017:11). Pembahasan tentang sistematika
di dalam novel dekat hubungannya dengan strategi dan cara yang digunakan
pengarang dalam menulis semesta cerita. Oleh karena itu, pembacaan naratologi
dapat digunakan untuk membaca strategi pengarang dalam menulis novel.
Genette (1983:42) membagi naratologi ke dalam lima pokok pembacaan
pada struktur internal teks, yaitu (1) urutan naratif (order), (2) durasi naratif
(duration), (3) frekuensi naratif (frequency), (4) modus naratif (mood), dan (5)
suara naratif (voice). Urutan naratif (order) adalah hubungan antara urutan
kejadian yang ada di dalam cerita dengan pengaturan di dalam cerita. Durasi
(duration) merupakan perbedaan antara waktu peristiwa yang sebenarnya (story
time) dengan waktu yang narator butuhkan dalam menceritakan persitiwa
(narrative time). Frekuensi naratif (frequency) berkaitan dengan intensitas
peristiwa yang terjadi dalam cerita dan seberapa sering peristiwa tersebut
disebutkan dalam cerita. Modus naratif (mood) berfokus pada konsep jarak
(distance), perspektif (perspective), dan fokalisasi (focalization). Sementara itu,
suara naratif (voice) berhubungan dengan siapa yang bercerita dan cerita tersebut
muncul. Setiap struktur tersebut memiliki bagian yang menjadi bahan analisis
dalam sebuah wacana naratif. Penjelasan ini hanya akan menjabarkan terkait
modus dan suara naratif. Kedua unsur tersebut untuk memperkuat unsur
ketidakstabilan dalam teks sebagai tanda dari metafiksi. Kedua unsur naratologi
tersebut digunakan untuk mengetahui memori traumatis yang terdapat dalam teks.
Penjelasan modus naratif, suara naratif, metafiksi, dan memori traumatis
dijabarkan sebagai berikut.

2.1.1 Modus Naratif


Menurut Genette (1983:52), modus naratif adalah posisi pengarang atau
kedudukan dari narator dan tokoh pada suatu cerita. Modus ini digunakan untuk
melihat tata cara seorang pengarang ketika menampakkan narator berada di dalam
cerita. Narator bisa menjadi sosok yang penting sebagai pengisah cerita atau
narator hanya berada di luar cerita. Didipu (2020) membedakan kedudukan
narator menjadi empat jenis, yaitu (1) narator yang menjadi tokoh pada peristiwa
9

internal atau berposisi sebagai tokoh utama yang menyampaikan cerita, (2) narator
sebagai tokoh cerita akan tetapi observasinya dari luar cerita atau narator sebagai
bukan tokoh utama yang mengisahkan tokoh utama di dalam cerita, (3) narator
bukan tokoh cerita dengan analisis internal peristiwa, biasanya ditandai dengan
pengarang maha tahu (analitis) ketika mengisahkan cerita, dan (4) narator bukan
menjadi tokoh cerita dengan observasi dari luar peristiwa, tandanya pengarang
yang berkisah sebagai observer atau pengamat saja.
Genette (1983:61) juga menggunakan istilah fokalisasi (focalization).
Fokalisasi sebenarnya sama dengan sudut pandang atau perspektif dari cerita.
Konsep fokalisasi digunakan untuk mengamati posisi narator pada cerita. Pada
pemahaman ini perlu ditegaskan bahwa narator berbeda dengan pengarang.
Pengarang merupakan orang yang menulis cerita dan posisi berada di luar teks.
Sementara narator, merupakan sudut pandang yang digunakan pengarang untuk
mengisahkan cerita.
Fokalisasi dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu fokalisasi nol, fokalisasi
internal, dan fokalisasi eksternal. Pertama, fokalisasi nol atau disebut juga zero
focalization adalah teknik fokalisasi naratif dengan narator lebih tahu daripada
karakter cerita (Ganette, 1983:65). Narator dapat menceritakan lebih dari
pengetahuan yang dimiliki suatu tokoh. Todorov & Weinstein (1985)
melambangkan fokalisasi nol ini dengan rumus ‘Narrator > Character’. Kedua,
fokalisasi internal adalah narator yang hanya menjelaskan sesuatu yang diketahui
tokoh. Todorov & Weinstein (1985) melambangkan jenis ini dengan ‘Narrator =
Character’. Ketiga, fokalisasi eksternal (external focalization), Ganette (1983:69)
menjelaskan bahwa fokalisasi ini menepatkan narator yang tahu lebih sedikit
daripada karakter yang berada di dalam cerita. Todorov & Weinstein (1985)
meingidentifikasinya dengan penggunaan tanda ‘Narrator < Character’. Ketiga
jenis fokalisasi tersebut akan digunakan secara bergantian dalam penelitian ini.
Fokalisasi digunakan untuk mengetahui posisi narator dalam cerita sehingga dapat
diketahui modus pengarang dalam menuliskan cerita.
10

2.1.2 Voice (Suara Naratif)


Suara naratif (voice) merupakan istilah yang digunakan Ganette untuk
menyebut suara naratif tentang posisi narator ketika bercerita atau dari mana
narator menyampaikan cerita. Suara naratif berfokus pada telaah tentang tiga hal,
yaitu waktu penceritaan, pelaku (person), dan tingkatan naratif (narrative level).
Waktu menceritakan adalah posisi narator untuk menggambarkan waktu pada
cerita. Kategori waktu dalam cerita dibedakan menjadi empat, yaitu naratif masa
lampau, naratif yang prediktif, naratif masa kini, dan naratif yang kompleks.
Pertama, naratif masa lampau (subsequent) adalah narator yang menceritakan
peristiwa pada waktu lampau. Kedua, naratif prediktif (prior) merupakan narator
yang bercerita tentang kejadian pada masa mendatang, jenis narator ini mirip
seperti peramal atau bermimpi. Ketiga, naratif masa kini (simultaneous)
merupakan narator yang bercerita tentang peristiwa dan aksi pada masa sekarang.
Keempat, naratif yang kompleks (interpolated) adalah narator yang
menggabungkan peristiwa yang sedang terjadi, akan terjadi, dan sudah terjadi
(Genette, 1983:73).
Ganette (1983:76) menjelaskan terkait pelaku (person) sebagai istilah
tentang siapa yang berkisah pada cerita. Ada dua kategori terkait pelaku, yaitu
narator heterodiegetic dan narator yang homodiegetic. Narator heterodiegetic
adalah jenis naratif yang naratornya tidak hadir dalam cerita yang dikisahkan.
Sementara itu, narator homodiegetic merupakan cerita dengan teknik narator yang
hadir sebagai tokoh dalam kisah cerita. Kemudian, pada posisi yang bersamaan
jika narator homodiegetic menjadi tokoh utama atau tokoh protagonis dalam cerita
maka disebut sebagai narator autodiegetic.
Terkait aspek tingkat naratif (narrative level) berhubungan dengan posisi
narator ketika mengisahkan cerita. Posisi narator dibedakan menjadi dua, yaitu
narator berkisah dari luar (ekstradiegetik) dan narator berkisah di dalam cerita
(intradiegetik). Genette (1983:148) melihat hubungan antara tingkat naratif
(ekstradiegetik atau intradiegetik) dengan tipe narator (heterodiegetik atau
homodiegetik), menjadi empat tipe dasar status narator. Paradigma ekstradiegetik-
heterodiegetik merupakan narator pada tingkat pertama yang bercerita, tetapi
tokoh sendiri tidak hadir dalam cerita. Paradigma ekstradiegetik- homodiegetik
11

adalah narator di tingkat pertama yang menceritakan kisahnya sendiri. Paradigma


intradiegetik heterodiegetik merupakan seorang narator dalam derajat kedua yang
menceritakan kisah kisahnya, tetapi tokoh tersebut tidak hadir dalam ceritanya.
Paradigma intradiegetik dan homodiegetik didefinisikan sebagai narator pada
derajat kedua yang menceritakan kisahnya sendiri.
Suara naratif dan modus naratif merupakan pijakan teori untuk membaca
struktur internal novel. Melalui kedua unsur naratologi tersebut pembacaan sastra
akan berfokus pada struktur internalnya saja sehingga dapat diketahui strategi
pengarang bercerita. Teori naratologi perlu diperkuat untuk membuktikan bahwa
novel menggunakan suatu strategi tertentu. Berikut ini dijabarkan tentang
metafiksi sebagai strategi penceritaan pengarang dalam menuliskan novelnya.

2.1.3 Metafiksi
Metafiksi terdiri atas dua irisan kata, yaitu ‘meta’ dan ‘fiksi’, secara kata
metafiksi adalah fiksi di atas fiksi atau fiksi yang memiliki kesadaran. Matlock
(2016) memandang bahwa metafiksi adalah karya yang sadar diri. Metafiksi
bukan teori atau landasan berpikir, hal tersebut lebih pada strategi bercerita atau
cara bercerita seorang pengarang. Karya yang ditulis dengan metafiksi akan
membuat semacam perayaan kekuatan imajinasi bersama dengan ketidakpastian
tentang kenyataan. Melalui strategi menulis ini, pengarang novel dapat memupus
batas antara yang fiksi dan yang nyata. Sementara itu, Currie (2014) berpendapat
bahwa metafiksi merupakan teknik seorang pengarang untuk mengolah fiksi yang
memiliki kesadaran konstruktif akan bentuknya sebagai fiksi. Menurut Currie
(2014), metafiksi hanya bingkai untuk menyampaikan cerita alih-alih genre atau
jenis karya sastra.
Mengacu pada kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metafiksi
merupakan bentuk sebuah karya yang sadar diri dengan penggunaan teknik
kesadaran dari penulis sehingga membuat pembaca merasa hilang batas antara
yang fakta dan yang fiksi. Konstruksi tersebut membuat pembaca seakan sadar
sedang membaca atau melihat sebuah karya fiksi. Cara bercerita metafiksi
dilakukan pengarang dengan narasi cerita yang tumpang tindih pada satu bingkai
narator atau lebih dari satu narator dengan tokoh yang sama.
12

Menurut Τσομπάνος (2016), metafiksi memiliki tiga ciri, yaitu kesadaran


diri, parodi, dan bereksperimen dengan posisi narator. Τσομπάνος mengartikan
kesadaran diri (self reflective) sebagai kesadaran yang merefleksikan proses
artistik pembuatan karya. Melalui cara ini pengarang sebenarnya hendak menarik
perhatian pembaca dari cerita dan memungkinkan pembaca untuk
mempertanyakan isi teks. Ciri selanjutnya adalah parodi. Ciri ini meletakkan
novel yang ditulis dengan strategi metafiksi sebagai bentuk parodi atau alat untuk
menertawakan kemufakatan sastra dan mengeksplorasi hubungan antara sastra
dan realitas, kehidupan, dan seni (Alexander,2021). Melalui parodi ini penulis
bertujuan menguatkan ketidakstabilan antara yang kenyataan di luar teks dengan
kenyataan ciptaan di dalam teks. Sindiran atau parodi yang bertendensi pada dunia
nyata mampu membuat pembaca cerita sulit membedakan antara realitas dan
fiktif. Di sisi lain parodi memunculkan cara bercerita yang fleksibel sehingga
menjadi media yang dimanfaatkan sebagai kritik. Kemudian ciri yang terakhir
eksperimental. Eksperimental merupakan cara pengarang untuk meletakkan
narator dan hubungannya dengan karakter fiksi di dalam cerita. Cara ini dilakukan
pengarang untuk membuat cerita yang fleksibel dengan narator seringkali
berperan ganda, di satu sisi kadang narator serba tahu tetapi di sisi lain juga
menjadi narator orang pertama (Τσομπάνος,2016). Eksperimental juga dapat
terlihat dari cara pengarang menggabungkan berbagai teknik bercerita.

2.1.4 Memori Traumatis


Memori traumatis, mengacu pada pendapat Hirsch (2019) bahwa trauma
dapat dialami secara personal, kolektif, maupun kultural dari mereka yang hidup
pada masa lalu atau generasi lama melalui hubungan pos-generasi. Memori masa
lalu memberikan dampak yang luar biasa dan tidak terduga pada kehidupan
sekarang maupun mendatang. Penggambaran memori tersebut dapat
ditransmisikan kepada generasi masa kini sebagaimana mengacu pada teori
postmemory. Menurut Hirsch (2019), postmemory merupakan usaha memilah
antara bentuk retorika dan politik dari memori dan transmisi. Postmemory juga
menjadi gambaran hubungan antara generasi saat ini dengan trauma pribadi,
kolektif, maupun budaya dari generasi sebelumnya. Hubungan tersebut berupa
13

pengalaman yang diingat dengan baik dalam bentuk cerita, gambar, maupun
perilaku dari suatu tempat. Pengalaman dari generasi masa lalu dapat
ditransmisikan pada generasi saat ini dalam bentuk kecakapan afektif demi
memastikan bahwa ingatan tersebut menjadi hak hidup generasi sebelumya
(Hirsch,2013).
Trauma yang terjadi pada masa lalu dirasakan generasi saat ini melalui
hubungan pos-generasi. Pengalaman tersebut tidak dialami langsung melainkan
hanya dalam fragmen ingatan melalui cerita, foto, gambar, dan perilaku orang
yang berada di sekitarnya ketika tumbuh. Pengalaman yang ditrasnmisikan pada
generasi saat ini biasanya dalam bentuk ingatan mendalam dan dalam bentuk
kesan afektif sehingga menjadikan memori tersebut seolah-olah memori menjadi
milik individu antar generasi. Memori mendalam yang diwariskan generasi
terdahulu biasanya bersifat traumatis (Hirsch,2013). Kesan traumatis lebih
dominan dan lebih kuat terekam kuat individu maupun kolektif.
Teori postmemory lebih memandang struktur generational dari transmisi
yang tertanam sangat signifikan dalam bentuk mediasi. Mediasi dipengaruhi oleh
beberapa hal, Hirsch (2019) menjelaskan bahwa koneksi postmemory pada masa
lalu bukan untuk dimediasikan dengan mengingat kembali atau recalling,
melainkan berasal dari empat hal penting, meliputi investasi, imajinasi, proyeksi,
dan kreasi. Empat hal tersebut merupakan cara menyampaikan memori masa lalu
terlepas dari kebenaran ilmiah dan objektivitas cerita tersebut. Memori yang terus
diwariskan dari satu generasi pada generasi lainnya akan menjadi bagian dari
budaya masyarakat. Memori yang awalnya bersifat individu akan bersifat kolektif
ketika peran antar generasi semakin meluas.
Postmemory yang berkaitan dengan novel merupakan memori baik
individu maupun kolektif terhadap kejadian besar yang diarsipkan dan direpetisi,
diceritakan kembali, dan dibutuhkan sebagai cara mengingat kejadian tersebut.
Ingatan yang terus dan turun temurun akan menghasilkan memori sebagai bagian
dari budaya masyarakat. Berdasarkan penjelasan Hirsch (2019) dapat diketahui
bahwa trauma terjadi secara personal maupun secara kolektif. Berikut ini
dijabarkan lebih lanjut terkait memori sebagai bagian dari budaya dan dimensi
memori budaya.
14

2.1.4.1 Memori sebagai bagian budaya


Memori sebagai bagian dari budaya selalu merujuk pada dialog antara
individu dan kolektif (Erll,2011:96). Memori sebagai bagian dari individu
sekaligus bagian dari kolektif saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Pada
taraf individual, memori individu dipengaruhi oleh tindakan kolektif yang
dihadapi kelompok sosial dan merupakan warisan dari generasi sebelumnya.
Sementara pada taraf kolektif, memori masyarakat adalah wujud bersama dari
individu yang memiliki irisan ingatan dari masa lalu. Keduanya memiliki dimensi
penting pada dimensi material yang digunakan sebagai perantara antara level
individu dan kolektif. Selain itu, wujud sederhana memori kolektif merupakan
bentuk semantis hasil reduksi pikiran atau metafora (Erll, 2011:96). Tingkatan
dalam metafora perlu diperjelas sehingga dapat mempermudah proses identifikasi
memori ketika seseorang melakukan pembacaan pada suatu dokumen budaya.
Pada level individu, memori kolektif dipahami sebagai metonimia, pada level
kolektif memori dipahami sebagai metafora.
Memori budaya merujuk pada hubungan individu dan kerangka sosial
kultural sehingga memiliki kedekatan dengan ilmu sosial (Caldicott &
Fuchs,2005:12). Menurut Kattago (2015:3-4), pemahaman individu selalu
memerlukan kondisi sosial sehingga keadaan sosial berperan penting dalam
pembentukan memori kolektif. Ketika individu mengingat akan selalu
dipengaruhi kelompok tempat individu berada. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa struktur sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap
pembentukan memori individual sebagai wujud terbentuknya memori budaya.
Pengetahuan individu selalu berasal dari hasil interaksi dan komunikasi dengan
kelompok sehingga mampu menyimpan konsep tertentu. Kemampuan mengingat
dan menafsirkan kejadian masa lalu seseorang tidak terlepas dari interaksi dan
komunikasi sosial. Erll (2011) berpendapat bahwa horizon pengetahuan, persepsi,
dan budaya merupakan hasil interaksi individu dengan tatanan atau kerangka
sosial (social frameworks). Tanpa kondisi sosial, individu tidak memiliki akses
pada fenomena kolektif seperti bahasa sehingga tidak bisa diambil untuk
kepentingan personal.
15

Berkaitan dengan persepsi dan ingatan, terdapat perbedaan yang


menentukan perbedaan keduanya. Persepsi cenderung bersifat lebih spesifik,
sedangkan memori merupakan bentukan sosial. Struktur sosial, guru, tokoh
keagamaan, tokoh politik, komunitas, surat kabar, dan karya sastra merupakan
kondisi kolektif yang menjadi syarat rekonstruksi masa lalu (Kattago,2015).
Terutama pengaruh bahasa yang mengandaikan kecenderungan komunikatif dan
telah memberikan kode spesifik memori dalam kondisi sosial. Konvensionalitas
bahasa itulah yang memberikan pengaruh atas rekonstruksi memori dan
membentuk beragam persepsi atas fenomena. Hal tersebut menjadi poin penting,
bahwa intersubjektivitas atau ruang bersama individu dan kolektif memungkinkan
diseminasi memori budaya. Memori budaya bukan merupakan representasi
singular (Kattago,2015:4-5). Oleh sebab itu, ingatan tidak pernah menampilkan
bentuk objektif karena ingatan merupakan konstruksi negosiatif dengan
lingkungan sosial.
Pada teori memori budaya ini, Erll (2011) bertujuan memberi informasi
relasional sebagai cara memahami memori bahwa memori yang terkumpul
(collected memory) dan memori kolektif (collective memory) berbeda. Memori
yang terkumpul sebagai kumpulan memori yang berada dalam tataran individual
dan bersifat asosiatif, sedangkan memori kolektif merupakan kumpulan memori
yang berada pada tataran sosial yang bersifat metaforis. Perbedaan tersebut
mengacu pada memori individu yang terbentuk secara sosial kultural (memori
yang terkumpul), dan peranan simbol, media, serta institusi dan praktik sosial
yang digunakan untuk membangun, memelihara, dan merepresentasikan masa lalu
bersama. Terdapat perbedaan antara memori sebagai fenomena budaya dan
budaya sebagai fenomena memori. Pemilahan tersebut penting ditekankan, karena
keduanya menjadi struktur memori budaya karena memori kolektif membentuk
memori individual, sementara memori individual sebagai aktualisasi memori
kolektif. Dari keduanya, media memainkan peranan penting untuk keberlanjutan
memori budaya.
Media berperan sebagai dimensi material dalam wujud artefak, simbol,
arsitektur, atau dokumen tulis. Pengkodean memori dalam dimensi mental hanya
terjadi jika ada bantuan media dan dimensi sosial. Kedua aspek tersebut
16

merupakan entitas yang dapat diamati untuk menafsirkan memori. Oleh sebab itu,
Erll (2011) menggunakan pendekatan semiotika untuk memudahkan interpretasi
memori budaya yang bersifat abstrak dengan bertumpu pada aspek konkret yang
muncul dalam memori kolektif. Selain itu, terdapat satu hal yang perlu dicatat
bahwa memori budaya hanya dapat mempelajari hal-hal konkret yakni dimensi
sosial dan material (Erll, 2011).

2.1.4.2 Tiga Dimensi Memori Budaya


Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan tentang memori budaya adalah
hasil interaksi individu dan sosial yang saling berpengaruh satu dengan yang
lainnya. Memori budaya tidak terlepas dari latar belakang kebudayaan yang
dihasilkan masyarakat. Memori bergantung pada hal konkret agar tetap berfungsi
dalam dimensi mental individu. Melalui model semiotika budaya, Erll (2011:112)
memilah ruang berbeda terhadap dimensi memori budaya. Pemilahan tersebut
berguna untuk memahami perbedaan bidang kajian memori budaya. Postulat
utama dari model semiotik budaya adalah hubungan dinamis yang terjadi antara
tanda dengan teks (dimensi material), interpreter (dimensi sosial), dan proses
dekoding (dimensi mental). Oleh sebab itu, memori budaya bukan hasil,
melainkan proses yang terjadi dari interaksi ketiga dimensi tersebut. Berikut
dijelaskan tiga dimensi dari memori budaya.
17

Gambar 1 Tiga dimensi dalam memori budaya


Sumber: Erll, Astrid (2011:103)

Gambar tersebut menjelaskan bahwa setiap dimensi dalam memori budaya


berbeda satu sama lain. Dimensi material (artefak), materi dan simbol merupakan
produk fisik yang disebarluaskan untuk konstruksi memori budaya. Dimensi
sosial adalah pembawa dan bentuk praktik sosial yang bertujuan untuk mengingat,
dan digunakan bersama dengan berpijak pada dimensi material. Dimensi sosial
berhubungan dengan komunitas, praktik dan lembaga yang menjadi kesepakatan
masyarakat. Kemudian gambar lingkaran dengan garis putus adalah dimensi
mental. Dimensi mental merupakan fenomena budaya pada level mental, dan
bersifat abstrak. Dimensi ini hanya dapat diketahui dengan proses interpretasi.
Kodifikasi dimensi mental hanya terjadi melalui dimensi materi, sosial, dan dalam
bingkai bentuk simbol yang digunakan komunitas sosial (Erll, 2011:104).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dimensi sosial dan material
merupakan dua dimensi yang bersifat konkret. Kedua dimensi ini dapat terlihat
melalui observasi langsung pada dokumen budaya komunitas sosial tertentu
ketika hendak menafsirkan bentuk memori budaya. Oleh karena itu, pada
pembahasan ini hanya dimungkinkan tafsir kongkret pada dimensi material dan
dimensi sosial memori budaya. Kedua dimensi awal tersebut sebagai kerangka
kodifikasi memori budaya. Contoh dari dimensi sosial misalnya upacara
pemakaman. Pada upacara tersebut terdapat bentuk traktat religi yang dapat
diketahui sebagai dimensi material. Kedua hal tersebut dapat diketahui secara
langsung sebagai dasar perumusan dimensi mental yang bersifat abstrak.
Dimensi sosial dan material berfungsi sebagai medium untuk memahami
kode abstrak dari tindakan mengingat budaya. Pada pembuktian tersebut, media
menjadi dasar komunikasi memori budaya sehingga harus dipahami dengan
tafsiran yang luas sebagai segala hal yang memberikan akses menuju konten
memori budaya masyarakat pengguna tanda memori budaya (Erll,2011). Akses
tersebut menjadi penghubung dari dimensi memori budaya, dan menjadi
penguraian kode tentang masa lampau. Dapat dipahami bahwa media dan sistem
simbolik memainkan peranan penting untuk menentukan dan membentuk mode
18

mnemonik. Selain itu, media juga memungkinkan variasi cara mengingat dengan
menunjukkan tentang cara memori budaya diingat.
Penjelasan tentang tiga dimensi memori budaya membawa pada asumsi
bahwa aspek konkret berperan untuk memahami memori budaya. Memori adalah
abstraksi mental yang berkaitan dengan masa lampau tetapi hadir di masa
sekarang. Jarak waktu tersebut diisi dengan berbagai serpihan ingatan yang
tumpang tindih sehingga mengingat juga berarti melupakan. Memori yang sangat
traumatis pada ketiga dimensi memori tersebut berada pada ruang tersendiri.
Ingatan memang bersifat selektif sekaligus konstruktif (Erll, 2011) sehingga
ingatan kelam seringkali masuk pada taraf seleksi yang lekat di dalam ingatan
seseorang. Pandangan ini yang membuat penelitian tentang dimensi memori
traumatis penting karena berhubungan ingatan kelam yang melekat pada
masyarakat. Ingatan tersebut dituliskan oleh pengarang menjadi jalinan cerita
novel yang menciptakan novel sebagai dokumen memori dari ingatan individu
dan ingatan kolektif.

2.2 Pengertian Novel


Menurut Nurgiyantoro (2010:9), istilah novel berasal dari bahasa Italia
novella. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil atau dapat
juga diartikan sebagai cerita pendek dalam pentuk prosa. Sumardjo dan Saini
(1997:29) menyatakan bahwa novel dalam arti luas adalah cerita berbentuk prosa
dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas dapat berarti cerita dengan plot (alur)
yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang
beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas tersebut juga
tidak mutlak, bisa jadi yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya
secara tema, karakter setting, dan lain-lainya.
Definisi novel mengikuti perkembangan zaman dari modern menuju
postmodern. Ketika zaman beralih dari paradigma modern menuju postmodern,
novel mengalami sedikit pergeseran makna. Novel yang digunakan dalam
pembahasan ini adalah novel yang hadir pada zaman postmodern. Novel
postmodern memiliki corak khusus jika disikapi dari wacana kesusastraan.
Menurut Tally (2011:12), bahwa novel postmodern seringkali menampilkan
19

pastiche atau peniruan gaya dan genre dari novel di masa lalu. Pastiche seperti
parodi dilakukan dengan meniru gaya penulis dari novel sebelumnya. Secara
ringkas, novel postmodern ditandai dengan cara menulis, teknik, dan konten isi
yang ambigu, tidak memiliki makna yang tetap, dan pastiche.

2.3 Teori Resepsi


Fokkema & Kunne-Ibsch (1978) menjelaskan bahwa resepsi sastra telah
menjadi bagian integral dari tujuan penelitian sastra, dan resepsi sastra
diintegrasikan pada definisi dari kesusastraan (literariness). Resepsi sastra
merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang dikembangkan oleh
mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman. Teori ini menggeser fokus penelitian
dari struktur teks ke arah resepsi atau kenikmatan dari pembaca. Pergeseran
orientasi dari teks kepada pembaca ini diilhami oleh pandangan bahwa teks sastra
merupakan salah satu gejala yang hanya menjadi aktual jika sudah dibaca dan
ditanggapi pembacanya. Teks hanya sebuah pralogik dan logika yang
sesungguhnya justru ada pada benak pembacanya.
Schmitz (2007) mengemukakan bahwa studi tentang resepsi sastra
membuat teori bahwa pembaca harus dikembalikan pada haknya. Suatu karya
sastra tidak dapat disamakan keberadaannya dengan objek material seperti sebuah
benda. Secara analogis, teks sastra hanya akan memiliki eksistensi yang nyata
sampai seorang pembaca membacanya dan melakukan konkretisasi dalam proses
membaca yang dilakukan. Jauss (1983) berpendapat bahwa pembacalah yang
semestinya memberikan arti dan makna yang sesungguhnya pada karya sastra,
bukan pengarang. Pembacalah yang menikmati, menafsirkan, dan mengevaluasi
secara estetis dari suatu karya.
Makna dari pembacaan karya sastra bergantung pada horizon harapan
pembaca, yang di dalamnya termasuk kompetensi kesastraan. Horizon harapan
terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Dengan kata
lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang
berbeda. Terkait horizon harapan pembaca yang berhubungan dengan karya sastra
dijabarkan lebih lanjut pada pembahasan berikut.
20

2.3.1 Horizon Harapan


Horizon harapan yang dimiliki setiap pembaca berbeda-beda (Jauss,1983).
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh
tidak objektif. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa karya sastra bukanlah
suatu bentuk tindak komunikasi biasa. Pemahaman yang sesuai dan tepat atas
gejala ini tidak mungkin dilakukan tanpa memerhatikan aspek komunikatif karya
sastra, atau dengan kata lain, tanpa mendekati karya sastra sebagai tanda atau
sebagai gejala semiotik. Objektivitas cakrawala harapan disusun melalui tiga
kriteria. Pertama, konvensi yang berkaitan erat dengan teks yang dibaca pembaca.
Kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap teks yang telah dibaca
sebelumnya. Ketiga, kontras antara fiksi dan kenyataan merupakan kemampuan
pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang sempit dan
cakrawala pengetahuan hidupnya yang luas (Jauss,1983).

2.3.2 Konstruksi Kearifan Lokal Budaya


Novel sebagai karya sastra akan membentuk konstruksi pembaca.
Pandangan ini bertolak dari pemikiran Jauss (1984) bahwa sastra membentuk
horizon harapan pembaca. Elemen terpenting dalam novel adalah bahasa yang
memiliki makna budaya. Bahasa memiliki ikatan erat dengan masyarakat. Sultoni,
dkk.(2021) menjelaskan bahwa novel terkadang berperan sebagai dokumen sosial
budaya yang bermanfaat untuk melihat fenomena masyarakat. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dipahami bahwa novel yang memiliki elemen bahasa
menjadi bagian dari masyarakat.
Novel juga menjadi produk budaya yang mencerminkan pandangan
pengarang dalam melihat realitas sosial budaya di sekitarnya. Wahyudi (2013)
berpendapat bahwa pandangan pengarang menjadi landasan dari lahirnya karya
sastra. Sejalan dengan itu, Rokhmansyah (2014) menjelaskan bahwa pandangan
pengarang pada dunia berfungsi menunjukkan kolektivitas tertentu. Melalui
pandangan dunia tersebut, karya sastra dapat menunjukkan esensi bagi
masyarakat. Novel dapat mengisyaratkan nilai, makna, dan corak dari kondisi
masyarakat.
21

Masyarakat sebagai pembaca maupun pengarang sebagai bagian dari


masyarakat akan menciptakan makna untuk novel. Jauss (1984) berpendapat
bahwa karya sastra dikatakan ada karena mendapat konkretisasi dari pengetahuan
pembaca. Selain pengarang yang menjadi penulis novel, keberadaan pembaca juga
penting jika mengacu pada teori resepsi sastra. Tanpa respon pembaca, karya
sastra hanya benda mati (artefak). Karya sastra disebut hadir jika sudah melewati
pengalaman dari pembacanya. Perwujudan makna karya sastra bersifat estetis-
subjektif, dan bukan estetis-objektif (Muslimin,2017).
Teori resepsi sastra menjelaskan bahwa pembaca berperan penting untuk
memberikan makna pada suatu karya. Dari teori tersebut maka novel dapat juga
dapat membentuk konstruksi pengetahuan pada pembacanya. Antara pengarang,
karya sastra, dan pembaca terikat di dalam hubungan yang diistilahkan sebagai
segitiga semiotik (Masemola,2021). Melalui hubungan segitiga semiotik tersebut
keberadaan pembaca sangat penting karena menjadi pihak yang aktif dalam
pemaknaan teks. Hubungan antara pembaca dan novel berimplikasi estetis dan
historis. Implikasi estetis dapat dilihat pada realitas bahwa seorang pembaca pada
saat pertama menerima suatu karya sastra selanjutnya melakukan uji nilai estetik
melalui pembandingan dengan karya-karya yang sudah pernah dibaca. Adapun
implikasi historis dapat dilihat dari fakta pembaca pertama dan akan berlanjut atau
diperkaya melalui resepsi lebih lanjut dari proses pembacaan selanjutnya.
Karya sastra sejatinya hasil refleksi pengarang pada kehidupan nyata.
Proses pemaknaan karya termasuk novel dilakukan melalui kegiatan apresiasi.
Melalui proses apresiasi sastra seseorang dapat memperoleh pengetahuan
kemanusiaan yang humanistis (Saryono,2009). Pembaca dapat mengetahui
berbagai sikap manusiawi dan tidak manusiawi, keadaan masyarakat yang
dipersepsi oleh sastrawan, imbauan untuk menjunjung kemanusiaan, dan keadaan
budaya masyarakat. Proses telaah dan apresiasi sastra tersebut dapat berbuah nilai
pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang manusiawi untuk dikembangkan
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini dipaparkan (1) pendekatan dan orientasi teoretis, (2) data dan
sumber data, (3) pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) analisis data, dan
(6) pengecekan keabsahan temuan. Keenam hal tersebut dipaparkan sebagai
berikut.

3.1 Pendekatan dan Orientasi Teoretis


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Kualitatif merupakan pendekatan dengan menggunakan reduksi data yang dapat
diolah menjadi uraian dalam bentuk kalimat deskriptif. Pendekatan kualitatif
dimanfaatkan untuk mendeskripsikan data penelitian. Ada dua pertimbangan
mengenai penetapan pendekatan penelitian kualitatif. Pertama, penelitian ini
memerlukan pembacaan mendalam dengan sumber data. Kedua, sesuai dengan
kebutuhan data penelitian yang berupa narasi cerita.
Orientasi teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah naratologi
dan teori memori. Naratologi merupakan pengkajian karya sastra yang berfokus
pada struktur internal novel. Naratologi yang digunakan dalam penelitian berfokus
pada aspek voice dan fokalisasi. Kedua unsur naratologi berguna untuk melihat
posisi narator dan pengarang di dalam cerita (Gannette, 1991). Kajian memori
digunakan untuk melihat konsekuensi memori pada novel. Kajian memori yang
digunakan mengacu pada pendapat Erll (2011) tentang memori traumatis.

3.2 Data dan Sumber Data


Data pada fokus pertama dalam penelitian ini adalah narasi cerita dan
dialog antar tokoh yang menjelaskan tentang strategi bercerita metafiksi.
Sementara itu, data fokus kedua dalam penelitian ini berupa narasi, dialog, dan
monolog yang menjelaskan tentang memori traumatis sebagai konstruksi kearifan
lokal budaya.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Dwilogi
Dawuk karya Mahfud Ikhwan. Dwilogi novel terdiri atas dua novel, yaitu Dawuk:
Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu diterbitkan oleh marjin kiri pada tahun 2021

28
29

berjumlah 190 halaman, dan Anwar Tohari Mencari Mati diterbitkan oleh marjin
kiri pada tahun 2021 berjumlah 210 halaman. Sumber data penelitian tersebut
diperkuat dengan artikel ilmiah, artikel pertanggungjawaban dewan juri
Sayembara Menulis Novel DKJ tahun 2014, dan teks kritik sastra novel Dwilogi
Dawuk.

3.3 Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
dokumentasi. Teknik tersebut digunakan karena sumber data penelitian ini adalah
dokumen yang berupa novel. Terdapat tiga tahapan pengumpulan data dalam
penelitian ini. Pertama, peneliti sebagai key instrumen (instrumen kunci)
melakukan pembacaan novel Dwilogi Dawuk secara cermat dan terarah pada
permasalahan yang diangkat dalam fokus penelitian. Kedua, data yang telah
dikumpulkan kemudian dikelompokkan sesuai dengan fokus penelitian. Ketiga,
data yang sesuai kemudian diinterpretasi sesuai dengan fokus penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga instrumen utama
dalam penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai instrumen utama
kemudian didukung dengan instrumen pendukung dalam proses pengumpulan
data. Instrumen pendukung penelitian ini adalah tabel panduan hasil pencatatan
data dan hasil analisis data yang disajikan sebagai berikut.

Tabel 3.1 Penjaringan Data Bentuk Metafiksi


No Kutipan Halaman Kutipan Interpretasi Awal
Penting
1
2
3

Setelah memperoleh data awal, kemudian dilakukan interpretasi untuk


memperoleh esensi dari bentuk metafiksi yang terdapat dalam novel Dwilogi
30

Dawuk. Interpretasi awal bentuk metafiksi digunakan untuk menghubungkan


dengan konstruksi kearifan lokal masyarakat pesisir utara Jawa Timur.

Tabel 3.2 Interpretasi Data Bentuk Metafiksi


No Kutipan dan Halaman Ciri Fokalisasi Deskripsi Kode
Metafiksi
1
2
3

Setelah data dari fokus pertama penelitian pertama diperoleh, penelitian


lalu mengarah pada fokus kedua. Bagian ini menjabarkan bentuk memori
traumatis dalam novel Dwilogi Dawuk. Tabel berikut digunakan untuk interpretasi
data.

Tabel 3.3 Penjaringan Data Memori Traumatis


No Kutipan Halaman Kutipan Interpretasi
Penting Awal

1
2
3

Setelah data diperoleh, dilakukan interpretasi terhadap bagian yang


mengungkapkan memori traumatis dalam Dwilogi Dawuk. Berikut disajikan tabel
interpretasi data fokus kedua.

Tabel 3.4 Interpretasi Data Bentuk Memori Traumatis


No Kutipan dan Dimensi Deskripsi Kode
Halaman Memori
1
2
31

3.5 Analisis Data


Setelah data terkumpul, dilakukan analisis data. Pada penelitian ini data
dianalisis berdasarkan tiga alur, yaitu (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3)
penarikan simpulan (Miles,dkk., 2014 ). Ketiga alur tersebut dipaparkan sebagai
berikut.
(1) Reduksi Data
Tahap pertama analisis data dalam penelitian adalah reduksi data. Data
yang sudah terkumpul dibaca secara cermat dan berulang untuk menemukan data
yang didalamnya memuat fokus penelitian ini yaitu, metafiksi dan memori
traumatis. Jika ditemukan data baru, maka akan dimasukkan kembali pada hasil
penelitian.
(2) Penyajian Data
Tahap kedua penelitian ini adalah penyajian data. Data dikelompokkan
sesuai fokus dan dimasukkan dalam tabel analisis data. Kemudian, data yang
dikelompokkan disajikan sebagai hasil dari penelitian. Penyajian data dalam
penelitian ini akan dibedakan menjadi dua, yaitu penyajian data fokus pertama
tentang metafiksi dan fokus kedua tentang memori traumatis.
(3) Penarikan Simpulan
Tahap ketiga penelitian ini adalah penarikan simpulan. Penarikan simpulan
berdasarkan hasil dari analisis data yang telah dilakukan. Simpulan diperoleh
sebagai hasil akhir dari kedua fokus penelitian ini.

3.6 Pengecekan Keabsahan Temuan


Pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini menggunakan proses
validasi. Validasi adalah cara untuk melakukan uji akurasi terhadap temuan
(Stake, 2005). Validasi penelitian dilakukan dengan tiga langkah, yaitu (1)
triangulasi teori, (2) ketekunan pengamatan, (3) pemeriksaan sejawat (peer
review). Pertama, triangulasi teori untuk membandingkan data dengan perspektif
teori yang relevan sehingga menghindari bias temuan (Denzin & Lincoln, 2011).
32

Kedua, ketekunan pengamatan dilakukan dengan membaca novel secara seksama


secara berulang-ulang agar memperoleh pemahaman yang komprehensif. Ketiga,
ulasan sejawat (peer review) dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara
atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan sejawat.
32

DAFTAR RUJUKAN
Alexander, S. T. (2021). Dari Belinyu Ke Jalan Lain Ke Rumbuk Randu : Dari
Parodi sampai Black Comedy. Yogyakarta: Gambang.
Angelina, A. (2016). Wahana Alih Metafiksi dalam Serial Once Upon A Time
Season 4: Sebuah Kajian. Prosiding Seminar Nasional: Sastra, Budaya, dan
Perubahan Sosial.
Bramantio, B. (2010). Strategi Pembacaan Novel Metafiksi Cala Ibi. Tesis:
Universitas Indonesia.
Caldicott, C. E. J., & Fuchs, A. (2005). Cultural Memory: Essays on European
Literature and History. Oxford and New York: Lang, 59 (4), 12-43.
Culler, J. D. (2007). The Literary in Theory. California: Stanford University Press.
Currie, M. (2014). Metafiction. London: Routledge.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2011). The Sage Handbook Of Qualitative
Research. London: SAGE Publishing.
Didipu, H. (2020). Teori Naratologi Gérard Genette (Tinjauan Konseptual).
Telaga Bahasa, 7 (2), 163–172.
Erll, A. (2008). Literature, Film, and the Mediality of Cultural Memory. London:
Walter de Gruyter.
Erll, A. (2011). Memory in Culture. London: Palgrave Macmillan.
Evanda, T. (2017). Kajian Naratologi Roman Reckless Fleisch Karya Cornelia
Funke. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta.
Fedosova, T. (2015). Reflection of Time in Postmodern Literature. Athens
Journal of Philology, 2 (2), 77–88.
Fokkema, D. W., & Kunne, E.I. (1997). Theories of Literature in the Twentieth
Century. London: C. Hurst & Company.
Genette, G. (1983). Narrative Discourse: An Essay in Method Translated By Jane
Lewin. New York: Conell.
Gonzalez, J. A. (2014). Living in the Funnies: Metafiction in American Comic
Strips. Journal of Popular Culture, 47 (4), 838–856.
Hirsch, M. (2013). The Generation of Postmemory. On Writing with
Photography, (Spring), 1 (1), 202–230.
Hirsch, M. (2019). Connective Arts of Postmemory. Analecta Política, 9(16),
33

171–176.
Hutcheon, L. (1984). Narcissistic Narrative: The Metafictional Paradox. In
Poetics Today, 5 (2), 29-52.
Ikhwan, M. (2020). Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Jakarta: Marjin
Kiri.
Ikhwan, M. (2022). Anwar Tohari Mencari Mati. Jakarta: Marjin Kiri.
Jauss, H. R. (1984). Toward Anaesthetic of Reception. International Fiction
Review, 11 (2), 112-218.
Kattago, S. (2015). Introduction: Memory Studies and its Companions. Farnham:
Ashgate Publishing Company.
Masemola, M. K. (2021). African Cultural Memory in Fred Khumalo’s Touch my
Blood and its Metafictional Para-texts. Journal of Black Studies, 52 (2), 103–
122.
Matlock, J. (2016). Metafiction As Anti-Genre Across Narrative Mediums.
Michigan: ProQuest.
Miles, H., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A
Methods Sourcebook. London: SAGE Publishing.
Muslimin, M. F. (2017). Resepsi Sastra: Literasi Berbasis Horison Harapan.
Prosiding The 1st International Conference on Language, Literature, and
Teaching, 835–842.
Pöhlmann, S. (2010). Cosmographie Metafiction in Sesshu Foster’s Atomik
Aztex. Amerika Studien, 1 (1), 223–248.
Rokhmansyah, A. (2014). Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal
Terhadap Ilmu Sastra. Graha Ilmu: Surabaya.
Saryono, D. (2009). Dasar Apresiasi Sastra. Malang: Elmatera Publ.
Schmitz, T. A. (2007). Modern Literary Theory and Ancient Texts: An
Introduction. Carlton: Blackwell Publishing.
Stake, R. E. (2005). Qualitative Case Study. Thousand Oaks, 3 (1), 443-466.
Sultoni, A., Juidah, I., & Saufan H, H. (2021). Konstruksi Nilai Sosial Dalam
Kumpulan Cerpen Tawa Gadis Padang Sampah Karya Ahmad Tohari.
Bahtera Indonesia; Jurnal Penelitian Bahasa Dan Sastra Indonesia, 6 (2),
162–177.
34

Swingewood, A. (1998). Cultural Theory and The Problem of Modernity. New


York: St. Martin’s Press.
Todorov, T., & Weinstein, A. (1985). Structural Analysis of Narrative In Novel A
forum on fiction. Carolina: Duke University Press.
Wahyudi, T. (2013). Sosiologi Sastra Alan Swingewood Sebuah Teori. Poetika, 1
(1), 55–61.
Waugh, P. (2002). Metafiction: The Theory and Practice of Self-Conscious
Fiction. Poetics Today, 7 (3), 12-67.
Τσομπάνος, Δ. Α. Ι. (2016). When Worlds Collide: Ontology and Metafiction in
Stephen King’s Song of Susannah and The Dark Tower. Revista CENIC.
Ciencias Biológicas, 28 (3), 67-82.

Anda mungkin juga menyukai