Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIKSIONALITAS KARYA SASTRA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah kajian fiksi

Dosen Pengampu:
1. Dr. Munaris, M.Pd.
2. Muharsyam Dwi Anantama, M.Pd.

Oleh:
1. Amirul Akbar 2113046041
2. Fatmawati 2113046037
3. Iqbal Kurniawan 2113046031
4. Jesika Wulandari 2113046055
5. Meli Safira 2113046043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA LAMPUNG


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah kajian fiksi. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada kita para pembaca dan juga
bagi penulis tentang fiksionalitas karya sastra.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Munaris, M.Pd dan
Muharsyam Dwi Anantama, M.Pd Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Fiksi dan Kenyataan ...................................................................................... 3
2.2 Mimesis dan Kreasi ....................................................................................... 3
2.3 Teks Naratif ................................................................................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12
3.1 Simpulan...................................................................................................... 12
3.2 Saran ............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut Darmawati (2013), sebuah karya sastra, selain menjadi sebuah cerminan
dari kehidupan nyata, juga berfungsi sebagai media penciptaan dunia baru.
Pernyataan tersebut menjadi popular karena sastra mengubah dunia ini menjadi
serba baru melalui kata-kata, baik sebagai gambaran dari kehidupan nyata maupun
sebagai imajinasi khayal belaka. Oleh sebab itu, kehadiran karya sastra ada
kalanya dapat mewakili dunia nyata dan adakalanya pula menjadi khayalan
semata. Namun, keduanya tidak mengubah citra dan nilai-nilai yang
dikandungnya. Pada dasarnya, fiksionalitas dalam karya sastra mengarah pada
karya yang mewakili dunia khayal. Misalnya, kisah tentang seekor burung yang
terbang jauh ke angkasa hingga menembus langit ke tujuh. Secara logika, kisah
seperti itu tidak logis dan bukan fakta, sehingga sulit diprediksi kemungkinan
adanya kejadian tersebut di alam nyata. Sebaliknya, kehadiran imajinasi khayal
seperti itu membuat karya tersebut semakin memotivasi pembaca untuk terus
membaca dan mengikuti kisahnya secara tuntas. Kehadiran imajinasi khayal
seperti itu pula akan menambah popularitas dan kedibilitas suatu karya sastra.
Peristiwa seperti ini disebut fiksi atau lebih dikenal dengan istilah fiksionalitas
(Luxemburg, 1984:20). Fiksi pada umumnya memiliki makna sejajar dengan
rekaan. Meskipun secara etimologis fiksi disejajarkan dengan rekaan, fiksi dalam
aktivitas kreatif mewakili pengertian mengenai hakikat sastra secara umum
(Ratna, 2010:309-310). Kemudian, Wellek dan Waren dalam tulisan yang sama
juga menyatakan bahwa ciri utama dalam karya sastra adalah fiksi, imajinasi, dan
invensi. Hal tersebut diperkuat lagi dengan Junus (1983:6- 7) yang menyatakan
bahwa suatu karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi yang intensif akan
berbeda dengan karya lain. Karya yang menggunakan imajinasi semaksimal
mungkin akan mempunyai dunianya sendiri. Sebaliknya, makin rendah kadar
imajinasi suatu karya makin dekat hubungannya dengan peristiwa kongkret.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, 2008), fiksionalitas dalam bidang
kesastraan berasal dari kata fiksi yang berarti cerita rekaan (roman, novel, dan
sebagainya); rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; atau pernyataan yang
hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Selanjutnya, fiksi adalah bentuk karya

1
sastra yang melibatkan sebagian atau seluruhnya dengan informasi atau peristiwa
yang tidak benar terjadi atau hanya berupa imajinasi yang ditemukan oleh
pengarangnya (wikipedia). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa fiksi
merupakan kisah fiktif atau rekaan dalam karya sastra, sementara fiksionalitas
merupakan serangkaian peristiwa fiktif atau khayal yang diungkapkan oleh
pengarang dalam karyanya dan bersifat menambah kredibilitas karya itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang ada di atas, maka kami dari tim penyusun makalah
menyusun rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud fiksi dan kenyataan?
2. Apakah yang dimaksud mimeris dan kreasi?
3. Apakah yang dimaksud teks naratif?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah penulisan yang sudah disebutkan, maka kami sebagai tim
penyusun makalah mempunyai tujuan penulisan, yaitu sebagai berikut :
1. Dapat mendeskripsikan dan memahami mengenai fiksi dan kenyataan.
2. Dapat mendeskripsikan dan memahami mengenai mimeris dan kreasi.
3. Dapat mendeskripsikan dan memahami mengenai teks naratif.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Fiksi dan Kenyataan


Fiksi adalah cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); rekaan; khayalan; tidak
berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.
Fakta adalah “hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang
benar-benar ada atau terjadi”. Jelas, perbedaan fiksi dan fakta adalah fiksi itu tidak
nyata sedangkan fakta itu nyata. Fakta bisa dicek kebenarannya atau bisa
dibuktikan keberadaannya.

Dalam bahasa Inggris, fact (fakta) artinya kenyataan atau kebenaran. Fiction
(fiksi) artinya cerita rekaan atau khayalan. Misalnya: The “average” American is
a fiction. Yang disebut orang Amerika “pukul rata” hanya khayalan. Salah satu
jawabannya: Fact is a true happening whereas fiction is an imaginative
happening. In other words, it can be said that anything that is true is a fact. On
the other hand , anything that is fictitious and imaginative can be called fiction.
This is the reason novels and short stories are called fiction.

Fakta adalah kejadian nyata sedangkan fiksi adalah kejadian imajinatif. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa apa pun yang benar adalah fakta. Di sisi lain, apa
pun yang fiktif dan imajinatif dapat disebut fiksi. Inilah sebabnya mengapa novel
dan cerita pendek disebut fiksi.

Demikian perbedaan fiksi dan fakta. Dalam konteks jurnalistik, wartawan hanya
boleh melaporkan fakta. Fiksi itu urusan penulis karya sastra seperti cerpen atau
novel. Penulis karya fiksi sering disebut “pengarang” karena memang “mengarang
cerita”.

2.2 Mimesis dan Kreasi


2.2.1 Mimesis
Mimesis adalah teori yang menganggap semua karya seni sebagai tiruan alam atau
kehidupan. Bahkan kata mimesis sendiri dalam bahasa Yunani secara tersirat
bermakna “tiruan”. Mimesis merupakan teori yang telah lama diajukan oleh salah
satu pelopor filosof di dunia ini, yaitu Plato. Mengapa demikian? Bukankah
seandainya ketika kita melukiskan pemandangan alam, proses penciptaanya tetap

3
melibatkan imajinasi kita sendiri? Seandainya kita menggambarkan suatu
peristiwa dalam karya sastra, tetap akan melibatkan sudut pandang kita sendiri?

Mimesis Plato
Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya
merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam
dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia. Di dalam dunia gagasan, semua
manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang
ada di dunia gagasan tersebut. Demikian pula benda-benda yang ada di dunia:
bunga, pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya dianggap sebagai tiruan dari dunia
gagasan mengenai hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, ketika seorang penyair atau pelukis menggambarkan mengenai
pohon atau bunga dalam karyanya, dia hanyalah menggambarkan tiruan dari
sebuah tiruan. Puisi atau sajak yang dihasilkan oleh seorang penyair juga tidak
lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979, hlm. 16).

Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian


filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw, 1988, hlm. 220).
Menurut Plato ada beberapa tataran tentang Ada, yang masing-masing mencoba
melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Sesuatu yang nyata secara
mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat
kedekatannya terhadap Ada yang abadi (Verdinius, via Teeuw, 1988, hlm. 220).
Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, ia hanya dapat
mendekatinya lewat mimesis: peneladanan, pembayangan, atau peniruan.

Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi
meniru keselarasan Illahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru
Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh
meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988, hlm. 220).

4
Namun demikian, dalam konteks penciptaan, menurut Plato mimesis sebagai
sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal,
karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia
kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal
yang ada dalam kenyataan yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri
yang hirarki (Teeuw, 1988, hlm. 220).

Meskipun Plato cenderung merendahkan nilai karya seni yang hanya dipandang
sebagai tiruan dari tiruan, namun dalam pandangannya tersebut tersirat adanya
hubungan antara karya seni dengan masyarakat (kenyataan). Apa yang tergambar
dalam karya seni (terutama sastra), memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi
dalam masyarakat.

2.2.2 Kreasi
Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh
Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang memandang sastra
sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk, 1984) memandang
mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak
kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil bertitik pangkal
pada kenyataan, seniman/penyair menciptakan kembali kenyataan.

Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probabilitas yang memaksa, dengan


ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam
keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, karena dunia itu merupakan
konstruksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata.

Karena seniman menciptakan kembali kenyataan, maka menurut Aristoteles, nilai


karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam karya seorang
seniman, pandangan atau penafsiran kenyataanlah yang dominan, dan
kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi
manusia (Teeuw, 1988, hlm. 222).

5
Berbeda dengan Plato yang cenderung merendahkan karya seni dalam
hubungannya dengan kenyataan, Aristoteles memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap karya seni. Menurutnya, karya seni menjadi sarana pengetahuan yang
khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap
situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan
lain (Teeuw, 1988, hlm. 222).

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak


semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk
menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru
serta kenyataan indrawi yang diperolehnya sendiri.

2.3 Teks Naratif


2.3.1 Pengertian Teks Naratif
Teks Naratif – Narrative text (naratif teks atau teks naratif) merupakan satu di
antara bentuk paragraf yang perlu diketahui dalam mendalami ilmu bahasa dan
sastra. Fungsi dan tujuan dari narrative text kurang lebih memiliki kesamaan,
meskipun tertulis berbeda, baik bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.

Secara garis besar, teks naratif merupakan karya tulisan yang memiliki makna
untuk mengisahkan suatu kejadian atau cerita, sehingga dapat terdiri atas
serangkaian paragraf yang ditulis sedemikian rupa. Secara tata bahasa, teks naratif
menggunakan formula past tense. Hal ini berarti teks naratif merupakan sebuah
karya tulis yang menceritakan kejadian yang telah berlangsung pada masa lampau.
Pengertian Teks Naratif menurut para ahli:

Pengertian Teks Narasi menurut Gorys Keraf

Berdasarkan buku Argumentasi dan Narasi, Keraf (2010) berpendapat bahwa


pengertian teks narasi adalah suatu wacana yang menyajikan serangkaian
peristiwa yang telah terjadi dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa tersebut.

6
Pengertian Teks Narasi menurut Fizona

Menurut Fizona (2009), pengertian dari teks narasi adalah jenis tulisan yang
berusaha menciptakan, mengisahkan serta merangkaikan tindak tanduk perbuatan
manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau berdasarkan urutan waktu.

Pengertian Teks Narasi menurut Sirait

Sementara menurut Sirait (1985, 24), pengertian teks narasi adalah jenis karangan
mengenai rangaian suatu peristiwa atau kejadian. Teks narasi bertujuan untuk
memberi tahu pembaca mengenai kronologi dan pokok permasalahan dari
peristiwa tersebut.

Pengertian Teks Narasi menurut Novi Remini

Dalam bukunya yang berjudul Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran


Bahasa dan Cerita Indonesia, Remini (2007, 32) menyatakan bahwa narasi adalah
jenis tulisan atau percakapan yang bertujuan untuk menyampaikan atau
menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia sesuai perkembangan
dari waktu ke waktu.

2.3.2 Struktur Teks Naratif


1. Title
Struktur pertama dari teks naratif adalah title (judul). Judul merupakan struktur
teks yang mencerminkan kejadian yang dinarasikan di dalamnya. Secara umum,
judul teks naratif biasanya mengandung unsur nama tokoh maupun tempat
berlangsungnya kejadian. Dengan adanya judul, susunan paragraf di dalamnya
menjadi sempurna untuk disebut sebagai teks naratif.

2. Orientation
Struktur selanjutnya dari teks naratif adalah orientation. Orientation atau orientasi
ini berisi paragraf pembuka mengenai suatu kejadian yang akan diceritakan
kembali. Secara umum, orientasi berisi pengantar atau pengenalan latar, sehingga
paragraf yang berisi orientasi biasanya lebih menerangkan tokoh, tempat, hingga
waktu kejadian.

7
3. Complication
Struktur teks naratif selanjutnya adalah complication. Complication merupakan
sejumlah paragraf yang berfungsi untuk mengembangkan kejadian di dalam teks.
Hal ini berarti kejadian tersebut mulai diceritakan mengenai permasalahan yang
dihadapi tokoh, bahkan permasalahan mengalami pengembangan hingga klimaks.

Complication terdiri atas tiga konflik, yaitu:


Natural conflict, yaitu konflik alam atau antar semesta.
Social conflict, yaitu konflik antar tokoh atau pelaku.
Psychological conflict, yaitu konflik batin atau diri sendiri.
4. Resolution
Struktur teks naratif yang terakhir adalah resolution. Resolution merupakan istilah
yang merujuk kepada penyelesaian masalah atau konflik tokoh. Sama halnya
maknanya, paragraf resolution berfungsi untuk memberi gambaran pembaca
mengenai penyelesaian konflik yang terjadi di antara tokoh. Dalam paragraf ini
dapat disimpulkan bahwa cerita akan mengalami akhir yang baik atau sebaliknya.

2.3.3 Unsur Pembentuk Teks Naratif

Menurut Titik (2012, 50-58), unsur-unsur pembentuk teks narasi adalah sebagai
berikut.

1. Tema

Tema merupakan pokok pikiran atau gagasan pokok mengenai sesuatu. Dalam
teks narasi, biasanya ada suatu peristiwa atau masalah yang menjadi dasar atau
inti yang akan mewarnai seluruh cerita dari awal hingga akhir.

2. Tokoh atau Aktor

Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku yang wajib ada dalam teks
narasi adalah tokoh utama yang berperan penting dalam dan menjadi pusat
perhatian dalam cerita. Tokoh utama tersebut dapat diceritakan menggunakan
sudut pandang orang pertama, kedua maupun orang ketiga.

8
3. Alur

Alur atau plot adalah jalan cerita dari awal hingga akhir yang mengatur hubungan
peristiwa demi peristiwa agar saling berkaitan. Jalan cerita pada teks narasi
disusun secara kronologis sesuai urutan waktu.

4. Latar

Latar merupakan keterangan mengenai terjadinya suatu peristiwa. Ada tiga jenis
latar, yaitu latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat adalah keterangan di
mana terjadinya peristiwa. Latar waktu adalah keterangan kapan peristiwa itu
terjadi. Sementara latar suasana menggambarkan bagaimana suasana tersebut
terjadi.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara atau teknik pengarang dalam penokohan. Ada tiga
jenis sudut pandang, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang
kedua, dan sudut pandang orang ketiga. Penentuan sudut pandang ini sangat
berhubungan dengan kepribadian pengarang.

2.3.4 Contoh Teks Naratif

Asal Usul Kota Lampung


Pada zaman dahulu ada empat bersaudara bernama Ompung Silamponga,
Ompung Silitonga, Ompung Silatoa, dan Ompung Sintalaga yang berusaha pergi
menyelamatkan diri dari Tapanuli ke arah tenggara. Mereka menyeberangi lautan
dengan menggunakan rakit. Kemudian mereka terombang-ambing tanpa arah di
tengah laut berhari-hari sehingga persediaan makanan yang semakin menipis.
Sesekali ketika menemukan daratan, mereka singgah untuk mencari bahan
makanan dan kembali melanjutkan pelayaran.

Suatu ketika, Ompung Silamponga jatuh sakit. Kondisinya semakin memburuk


hari demi hari. Namun, ia tetap bertekad meneruskan perjalanan. Sementara itu,

9
kedua saudaranya telah begitu letih sehingga memutuskan untuk berhenti
berlayar.

Tiba-tiba, terlihat sebuah rakit terombang-ambing di dekat rakit mereka. Ketiga


bersaudara yang sehat itu memutuskan untuk berpisah dengan Ompung
Silamponga. Mereka menggotong saudaranya yang sedang sakit parah tersebut
dengan hati-hati ke rakit yang baru mereka temukan dan mendorongnya, sehingga
terbawa arus menjauh dari mereka.

Ompung Silamponga terombang-ambing sendiri dengan rakitnya. Tubuhnya


menjadi semakin lemah sekali. Setelah sekian lama terombang-ambing, rakitnya
kemudian menghantam sebuah benda keras. Ompung Silamponga kemudian
terbangun. la mendapati dirinya sudah terdampar di sebuah pantai indah yang
ombaknya tidak begitu besar. Entah mengapa ia merasakan tubuhnya menjadi
kuat dan sehat. Ia lalu berjalan menyusuri pantai tersebut. Ia menemukan sebuah
sungai dengan air yang jernih di sekitar pantai tersebut. Kemudian Ompung
Silamponga pun berpikir untuk tinggal di daerah itu.

Setelah beberapa waktu tinggal di daerah itu, Ompong Silamponga merasa bosan.
Lalu, ia pergi menjelajahi pulau tersebut. Ompong Silamponga menjelajahi
sebuah hutan lebat di dekat pulau tersebut. Akhirnya, sampailah ia di sebuah
puncak bukit dengan pemandangan yang sangat indah. Kemudian la juga bisa
mengetahui bahwa ada penduduk yang tinggal di kaki bukit tersebut. Dengan
perasaan gembira, tanpa sadar ia pun berteriak dengan keras, "Lappung! Lappung!
Lappung!" (Dalam bahasa Tapanuli, lappung berarti luas).

Tak lama setelah itu, Ompung Silamponga turun dari bukit dan membuka
perkampungan baru di sana. la memberi nama tempat tersebut "Lappung".
Ternyata di sekitarnya, tinggal juga sekelompok penduduk yang hidup sangat
terbelakang. Ompung Silamponga menjalin hubungan baik dengan penduduk asli
tersebut. Semakin lama daerah itu semakin berkembang. Ompung Silamponga
menghabiskan hidupnya disana sampai meninggal dunia.

10
Nama Lampung diakui berasal dari dua hal. Pertama, dari kata-kata yang
diteriakkan Ompung Simaponga di atas bukit ketika pertama kali menemukan
daerah itu. Kedua, berasal dari sebagian nama Ompung Silamponga.
Darmawati.

11
BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan

Fiksi adalah cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); rekaan; khayalan;
tidak berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau
pikiran. Fakta adalah “hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan;

sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi”. Jelas, perbedaan fiksi dan fakta
adalah fiksi itu tidak nyata sedangkan fakta itu nyata. Fakta bisa dicek
kebenarannya atau bisa dibuktikan keberadaannya.

Mimesis adalah teori yang menganggap semua karya seni sebagai tiruan alam
atau kehidupan. Bahkan kata mimesis sendiri dalam bahasa Yunani secara tersirat
bermakna “tiruan”

teks naratif merupakan karya tulisan yang memiliki makna untuk mengisahkan
suatu kejadian atau cerita, sehingga dapat terdiri atas serangkaian paragraf yang
ditulis sedemikian rupa.

3.2 Saran

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amri. 2018. Kajian Mimesis Dalam Novel Doa Cinta Karya Sirin M. K. Seminar
Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia, Vol 2(1): 176-187
Darmawati B. (2013). FIKSIONALITAS SASTRA BUGIS KLASIK I LA
GALIGO. SAWERIGADING, 19(2), 169-176.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Fizona. 2006. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Diksi Insan Mulia
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwake Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Keraf, Gorys. (2010). Argumentasi dan Narasi. Jakarta. Gramedia.
Luxemburg, Jan Van dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terjema. an Dick
Hartoko). Jakarta: Gramedia
Novi Resmini, dkk. 2006. Membaca dan Menulis di SD Teori dan
Pengajarannya. Bandung: UPI Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Sirait Laoli Rostina R., dkk, Adat dan Upacara Pernikahan Daerah Nias,
Depdikbud Prov Sumatra Utara, 1984/1985,
Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV. http://
pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/, diunduh tanggal 1 Maret 2013
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Wijayanti, Titik, 2012, Marketing plan! Dalam bisnis second edition. Jakarta, PT
Elex Media Komputindo.

13

Anda mungkin juga menyukai