Anda di halaman 1dari 22

KETERKAITAN SEJARAH DAN SASTRA MELIPUTI REDEFINISI FIKSI DAN

ESTETIKA

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra yang Diampu Oleh
Khomisah, M.A.

Oleh

Restu January NIM 1185020116

Rakha Naufan NIM 1185020112

Salsabila Cynthia Fadillah NIM 1185020124

Siti Muqissa Fathin Tarqi NIM 1185020131

Syaiful Anwar NIM 1185020122

Wafa Syaripatul Auliya NIM 1185020138

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji dan
syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah tentang Keterkaitan Sejarah dan Sastra Meliputi Redefinisi Fiksi dan
Estetika. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan motivasi sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu
Sastra serta menambah pengetahuan mengenai diskursif sastra dan sejarah serta redefinisi
fiksi dan estetika sehingga dapat diaplikasikan dengan baik.

Dalam penulisan makalah ini, sangat diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian. Diharapkan agar makalah ini dapat menjadi bacaan yang menarik dan
bermanfaat bagi para pembaca.

Bandung, November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Fiksi Sebuah Teks Prosa Naratif.....................................................................................5
B. Estetika..........................................................................................................................13
C. Redefinisi Fiksi dan Estetika.........................................................................................14
D. Definisi Sastra...............................................................................................................15
E. Pengertian Sejarah.........................................................................................................16
F. Keterkaitan Sastra dan Sejarah......................................................................................19
BAB III SIMPULAN...............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap peristiwa yang sudah terjadi dalam hidup baik secara individu maupun
kelompok merupakan sejarah yang memiliki makna serta hikmah tersendiri dibalik kejadian
tersebut. Peristiwa-peristiwa secara berkala seperti perang dunia memiliki tempat tersendiri
dalam pelaku sejarah tersebut. Keadaan sosial, budaya, serta ekonomi turut mempengaruhi
peristiwa dalam sejarah. Banyak cara dalam mengetahui keadaan pada masa lampau, salah
satunya dengan sastra. Sastra sebagai salah satu alat dalam menggambarkan berbagai kondisi
peristiwa di masa tertentu menjadikan erat kaitannya dengan sejarah baik dari segi sosial,
budaya, dan ekonomi. Sehingga para pembaca karya sastra tidak hanya menikmatinya saja
namun turut berperan dalam kondisi yang terjadi pada era yang digambarkan dalam suatu
karya sastra tersebut.

Sastra yang didalam karyanya memuat fiksi serta estetika yang berlaku dalam setiap
diksi yang dibangun memberikan nilai tersendiri dalam karya sastra bagi pembacanya. Fiksi
yang terkandung dalam karya sastra selayaknya fakta yang dibungkus dengan imajinasi
namun tidak keluar dari konteks keadaan peristiwa yang berlaku dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun estetika dalam suatu karya sastra mempermudah pembaca dalam memahami
dengan susunan kata yang rapi serta pengolahan bahasa yang menjadi nilai seni tersendiri
dalam suatu karya sastra.

Namun, terdapat sastra yang didalamnya kehilangan salah satu unsur karya sastra yakni
sejarah yang mana kaitannya erat dengan sastra itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan
tersebut menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi penulis melakukan penulisan karya
tulis ilmiah ini. Sehingga diharapkan makalah ini akan memberikan informasi mengenai
keterkaitan sejarah dan sastra meliputi redefinisi fiksi dan estetika.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fiksi Sebuah Teks Prosa Naratif

1. Pengertian dan Hakikat Fiksi

Fiksi adalah sebuah narasi yang sebagian atau seluruhnya berkaitan dengan peristiwa
yang tidak faktual melainkan imajiner dan diciptakan oleh seseorang berdasarkan
imajinasinya. Baik itu berbentuk tontonan, pendengaran ataupun tulisan.

Karya fiksi mengambil langkah dalam bentuk cerita, untuk menyampaikan poin,
perspektif pengarang, atau hanya sekedar untuk menghibur. Pada dasarnya karya jenis ini
tidak butuh pada fakta, logika atau kisah nyata. Apa dan bagaimana isinya, semua
tergantung pada pengarangnya. Fiksi merupakan sesuatu yang timbul dari dunia khayalan.
Malah sebaliknya, ketika fiksi telah berdasarkan fakta secara keseluruhan, maka tak lagi
berbentuk fiksi, melainkan sebuah sejarah.

Tetapi memang ada beberapa karya fiksi yang berdasarkan pada kisah nyata, namun
ketika ia telah dirangkai dan dibumbuhi imajinasi, ketika itu pula jenisnya berganti
menjadi fiksi. Ia tak lagi disebut sebagai sejarah atau sebuah fakta. Ibarat pepatah, karena
nilai setitik, rusak susu sebelanga. Sejarah akan tetap berbentuk sejarah, manakala nama,
tempat, dan tanggal tak berubah sedikitpun.

Adapu pengertian fiksi menurut para ahli, yaitu:

a. Nurgiyantoro (2007: 2-3), fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat
imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
b. Aceng Hasani (2005: 21), fiksi adalah karangan yang di dalamnya terdapat unsur
khayal atau imajinasi pengarang.
c. Sudjiman (1984: 17) yang menyebut fiksi ini dengan istilah cerita rekaan juga
memaparkan mengenai pengertian fiksi, yaitu kisahan yang mempunyai tokoh,
lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa.
Dalam hal ini Sudjiman menjelaskan bahwa karangan fiksi merupakan hasil imajinasi
seorang pengarang yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti tokoh, alur,

5
dan lainnya.z unsur-unsur tersebut saling berkesinambungan agar terjadinya sebuah
cerita.1

Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas—


sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat
dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang
dikemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang
membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang
disebut-sebut dalam fiksi bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat
faktual. Artinya, sesuatu yang disebut dalam teks nonfiksi harus dapat ditunjukkan
data empiriknya, dan kalau ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya, itu berarti
salah.

Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalah


manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya
kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karena itu, fiksi
menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang
bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan
hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal
itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus
memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan
manusia”. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu
saja, bersifat subjektif.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya


dengan lingkungan dan seksama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya
dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa hasil kerja imajinasi, khayalan,
tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan
penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup
kehidupan., perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari

1
http://myblogroland-2001995.blogspot.com/2014/11/makalah-fiksi.html?m=1

6
segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan
sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya
sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

Perlu dicatat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra
yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams
(1999:94) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar
penulisan fakta sejarah, fiksi biografis (biographical fiction) jika yang menjadi dasar
penulisan fakta biografis, dan fiksi sains (science fiction) jika yang menjadi dasar
penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan
sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).

Sebagai contoh, karya-karya Dardji Zaidan seperti Bendera Hitam dari


Kurasan dan Tentara Islam di Tanah Galia dapat dipandang sebagai fiksi historis.
Novel historis terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian berbagai
sumber. Namun, iapun memberikan ruang gerak untuk fiksionalitas, misalnya dengan
memberikan pikiran dan perasaan tokoh lewat percakapan. Contoh lain misalnya,
novel Surapati dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis) yang juga berangkat dari fakta
sejarah.

Karya-karya biografis orang terkenal seperti Bung Karno Penyambung Lidah


Rakyat (Cindy Adam) dan Kuantar Kau ke Gerbang (Ramadhan KH), Tahta untuk
Rakyat (Mochtar Lubis), dan Sang Pencerah (Akmal Nasery Basral), walau
merupakan karya nonfiksi yang oleh penyusunnya dimaksudkan bukan sebagai karya
sastra-yang-imajiner, dan oleh pembaca tidak jarang juga dinikmati sebagai karya
sastra. Karya biografis juga memberikan ruang bagi fiksionalitas, misalnya yang
berupa sikap yang diberikan oleh penulis, di samping juga munculnya bentuk-bentuk
dialog yang biasanya telah dikreasikan oleh penulis. Karya sastra yang dapat
dikategorikan sebagai fiksi sains, antara lain dapat dicontohkan novel yang berjudul
“1984” karya George Orwell.

Kebenaran fiksi. Seperti dikemukakan di atas, ada perbedaan antara kebenaran


dalam dunia fiksi dan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah
kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini
“keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di

7
dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, (dan bahkan
kadang-kadang) logika, dan sebagainya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dan tidak
dianggap benar di dunia, dapat saja terjadi dan dianggap benar di dunia fiksi.

Kebenaran sebuah cerita fiksi yang baik adalah kemungkinan, probabilitas,


atau kemasukakalannya (Adler & Doren, 2012:233). Sesuai dengan nama dan
sifatnya, cerita fiksi adalah karya kreatif-imajinatif yang tidak menyaratkan adanya
verifikasi dengan kenyataan untuk memiliki kebenaran yang masuk akal. Bahkan,
sekalipun cerita fiksi salah mengutip fakta realitas, jika pengisahannya dapat
membungkus kesalahan itu dengan cerita yang masuk akal, itu tudak akan merusak
cerita. Cerita masih dapat diterima oleh pembaca karena ia membawa alur logika
sendiri. Kita, pembaca, tentu menginginkan bahwa cerita ynag dikisahkan itu benar.
Namun, kebenaran itu hanya dapat terjadi di dalam dunia cerita itu yang dilakoni oleh
tokoh dan peristiwa yang sengaja dimuat dan dikembangkan oleh penulis yang
kemudian tercipta kembali dalam diri kita, dalam imajinasi pembaca.2

2. Pembedaan Fiksi
a. Novel dan Cerita Pendek

Perbedaan novel dengan cerita pendek (disingkat: cerpen) yang pertama (dan
yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara


lebih banyak. Jadi, secara implisit-dari sekedar apa yang diceritakan. Dipihak lain,
kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang
kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan


latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks dari pada unsur-
unsur cerpen.

b. Roman dan Novel

Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance
(romansa) dan novel. Novel bersifat realistis, sedang romansa puitis dan epik. Hal itu
menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang
dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi,
2
Nugiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 1-7

8
novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan
pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih
tinggi dan psikologi yang lebih mendalam. Romansa, yang merupakan kelanjutan epik
dan romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek &
Warren, 1989:282-3).

Dalam pengertian modern, sebagaimana dikemukakan Van Leeuwen (Jassin,


1961: 70) roman berarti cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman batin
dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan.
Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan “menceritakan tokoh sejak dari ayunan
sampai ke kubur” dan “lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku,
mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat hidup”. Novel dipihak lain
dibatasi dengan pengertian “suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan
benda yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat
dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode” (Jassin, 1961: 72).

c. Novel Serius, Novel Populer dan Novel Teenlit

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-
masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat
permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih
intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya,
novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi
akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya
bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak
memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel semacam itu biasanya cepat
dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer
pada masa sesudahnya.

Novel serius, justru “harus” sanggup memberikan yang serba


berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Hal itu sesuai
dengan hakikat kebenaran dalam cerita sebagaimana telah dikemukakan, yaitu
kebenaran dalam kemungkinan. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya
dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.
Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini

9
disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang universal. Di
samping memberikan hiburan, dalam novel serius juga terimplisit tujuan memberikan
pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk
meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang
diangkat. 3

Pada awal abad ke 21 muncul istilah baru, yaitu novel teenlit yang juga karena
munculnya novel-novel teenlit. Ada persamaan antara novel populer dan novel teenlit
yaitu sama-sama menggenggam predikat populer di masyarakat khususnya di para
remaja usia belasan. Sesuai dengan namanya, pembaca utama novel teenlit adalah
para remaja terutama remaja perempuan di perkotaan. Novel teenlit yang mulai
populer pada awal 2000-an, tampaknya, “menggatikan” tempat novel populer umtuk
menjadi berstatus populer di masyarakat walau itu tidak berarti novel populer (dalam
pengertian bukan teenlit).

Istilah teenlit terbentuk dari kata “teens”, “age”, dan akhiran “-er”, yang secara
istilah berarti ‘menunjuk pada usia remaja awal (masa adolesen) sampai akhir belasan
tahun’. Kelompok teenager tampaknya dimulai dari usia 13-19 tahun. Kata literature”
berarti ‘kesastraan’, bacaan. Jadi, istilah “teenlit” tampaknya menunjuk pada
pengertian bacaan cerita yang ditulis untuk konsumsi remaja usia belasan tahun.4

3. Unsur-unsur Fiksi
a. Intrinsik dan Ekstrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra


itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra,
unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.
Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta
membangun cerita. Kepaduan antar berbagai usur intrinsik inilah yang membuat
sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-
unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika membaca sebuah novel. Unsur yang
dimaksud, untuk menyebut sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

3
https://www.academia.edu/10780089/Makalah_tentang_Karangan_Fiksi
4
Nugiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 10-26

10
Dipihak lain, unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di
luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem
organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus ia lebih dapat dikatakan sebagai
unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri
tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun
cerita secara keseluruhan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah
tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Wellek dan Warren (1956), walau
membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya memandang unsur
itu sebagai sesuatu yang agak negatif, kurang penting. Pemahaman unsur ekstrinsik
suatu karya, bagaimanapun akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu
mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah
unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956:79-153) antara lain
adalah keadan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya.
Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa
psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun
penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu
merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lainnya misalnya pandangan
hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.

b. Fakta, Tema, Sarana Cerita

Stanton (1965:11-36) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam


tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Fakta (facts) dalam sebuah
cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, latar. Ketiganya merupakan unsur fiksi
yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah
novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual (factual
Structure) dan tingkatan faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut
harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan
sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Tema adalah sesuatu

11
yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman
kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, tajut, maut, religius, sosial dan
sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema, dapat disinonimkan dengan ide atau
tujuan atau tujuan utama cerita.

Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik


yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita
(peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan (tepatnya:
pemilihan) sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta
sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang
ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang.
Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang
penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme dan ironi.

Setiap novel akan memiliki 3 unsur pokok, sekaligus merupakan unsur


terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiga unsur pertama
itu saling berkaitan erat dan membentuk satu kesatuan yang padu, kesatuan organisme
cerita. Ketiga unsur inilah yang terutama membentuk dan menunjukkan sosok cerita
dalam sebuah karya fiksi. Kesatuan organis (organic unity) menunjuk pada pengertian
bahwa setiap bagian subkonflik, bersifat menopang, memperjelas, dan mempertegas
eksistensi ketiga unsur utama cerita tersebut.

c. Cerita dan Wacana

Menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi (juga disebut: teks naratif


“narrative text”, dapat dibedakan ke dalam unsur cerita (story, content) dan wacana
(discource, expression). Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedaan
tradisional yang berupa unsur bentuk dan isi di atas. Cerita merupakan isi dari
ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu yang diekspresikan
(Chatman, 1980:23). Cerita terdiri atas peristiwa (events) dan wujud keber-ada-annya,
eksistensinya (existents). Peristiwa itu sendiri dapat berupa tindakan aksi (actions,
peristiwa yang berupa tindakan manusia, verbal dan nonverbal) dan kejadian
(happenings, peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan dan tingkah laku
manusia, misalnya peristiwa alam gempa bumi). Wujud eksistensinya terdiri dari
tokoh (characters) dan unsur-unsur latar (items of settings). Wacana, dipihak lain,
merupakan sarana untuk mengungkapkan isi. Atau secara singkat dapat dikatakan

12
unsur cerita adalah apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif itu, sedang wacana
adalah bagaimana cara melukiskannya (Chatman, 1980:19).5

B. Estetika
1. Pengertian Estetika
Estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani
“aestheticos” yang merupakan kata yang bersumber dari “aishte” yang memiliki
makna merasa. Estetika dapat di definisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang
mengandung pola, dimana pola tersebut dapat mempersatukan bagian-bagian yang
menbentuknya dan mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga
menimbulkan keindahan. Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa estetika menyangkut
hal perasaan seseorang, dan perasaan ini dikhususkan akan perasaan yang indah. Nilai
indah yang dimaksudkan tidak hanya semata-mata mendefinisikan bentuknya tetapi
bisa juga menyangkut keindahan dari isi atau makna yang terkandung di dalamnya.
Adapun pengertian estetika menurut beberapa ahli, yaitu:
a. Herbert Read
Estetika (keindahan) adalah kesatuan dan hubungan bentuk yang terdapat
diantara pencerapan-pencerapan indrawi kita. Pada umumnya orang beranggapan
bahwa yang indah adalah seni atau bahwa seni akan selalu indah, dan bahwa yang
tidak indah bukanlah seni. Pandangan semacam ini akan menyulitkan masyarakat
dalam mengapresiasi seni, sebab seni harus selalu indah, menurut pendapat Herbert
read.
b. J. W. Moris
J. W. Moris mendefinisikan bahwa yang dinamakan estetika adalah dikenakan
pada objek yang memiliki nilai indah atau tidak indah (sering dipertukarkan dengan
seni/art/estetika=aesthetics seni=art).
c. Dra. Artini Kusmiati
Dra. Astini Kusmiati mendefinisikan bahwa estetika adalah kondisi yang
berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang tetapi rasa keindahan
tersebut baru akan dirasakan apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen-
elemen keindahan yang terkandung pada suatu objek.
d. Katstsoff

5
Nugiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 29-33

13
Katstsoff mendefinisikan bahwa estetika adalah menyangkut hal perasaan
seseorang, dan perasaan ini dikhususkan akan perasaan yang indah. Nilai indah yang
dimaksudkan tidak hanya semata-mata mendefinisikan bentuknya tetapi bisa
jugamenyangkut keindahan dari isi atau makna yang terkandung di dalamnya.6
2. Tujuan Estetika
a. Menentukan sikap terhadap keindahan dalam alam, kehidupan manusia dan karya
seni.
b. mencari pendekatan dalam menjawab masalah objek pengamatan indra.
c. mencari pandangan menyeluruh tentang keindahan dan objek yang
memperlihatkan rasa keindahan.
d. mengkaji masalah bahasa dan penuturannya yang baik (istilah dan konsep
keindahan).
e. mencari teori untuk menjawab di sekitar karya seni dan objek-objek yang
menerbitkan pengalaman indah.
3. Unsur dalam Kajian Estetika
f. Pembicaraan tentang hakikat karya seni dan objek-objek indah buatan manusia.
g. Pembicaraan tentang maksud dan tujuan penciptaan karya seni serta cara
bagaimana memahami dan menafsirkannya.
h. Mencari tolak ukur penilaian karya seni dengan kaidah-kaidah tertentu.

C. Redefinisi Fiksi dan Estetika

1. Fiksi adalah prosa naratif yang sebagian atau seluruhnya berkaitan dengan peristiwa
yang tidak faktual melainkan bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia
yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti tokoh, alur dan lainnya sehinnga
unsur-unsur tersebut saling berkesinambungan agar terjadinya sebuah cerita.
2. Estetika adalah ilmu yang mempelajari keindahan yang berawal dari kegiatan
seseorang untuk merasakan, menanggapi, mengindera atau mengamati suatu objek,
baik objek alam maupun seni yang memiliki nilai keindahan baik dari segi bentuk, isi,
warna maupun makna yang terkandung di dalamnya.

6
sc.syekhnurjati.ac.id

14
D. Definisi Sastra

Sastra secara etimologi diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk,
ataupun buku petunjuk pengajaran.7 Pengertian ini diambil dari asal usul kat, bahasa
Sansakerta. Satra terdiri dari akar kata, cas atau sas dan –tra. Sas dalam bentuk kata
kerja yang diturunkan memiliki arti mengajarkan, mengajar, memberikan suatu
petunjuk ataupun pedoman. Akhiran –tra menunjukan sarana atau alat. Pengertian
sastra dalam suatu tulisan tentu saja memberikan kategori bahwa semua tulisan adalah
sastra. Sementara yang di sebut sebagai susastra adalah tulisan yang indah. Kategori
terhadap tulisan yang indah ataupun yang baik juga tergantung dari berbagai konteks
dan situasi zamannya.

Pandangan yang berbeda tentang pengertian sastra, sebagai contohnya


diungkapkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937), menurut Gramsci nilai suatu karya
sastra bukan terletak pada karya sastra itu sendiri. Karya sastra nilainya terletak dalam
hubungan antara sastrawan umum. Baginya, bila seorang penulis sastra melakukan
kontak dengan masayarakat, zaman, dan sejarahnya, karya sastra nya dianggap
sebagai sebuah produk sejarah.
Pandangan tersebut tentu saja akan berbeda dengan kaum feminism.
Menurutnya, aktivitas kesusastraan kaum perempuan diaanggap sebagai wujud yang
nyata dari kesadaran sosial. Baginya, kesastraan menjadi alat perjuangan ataupun
gerakan perubahan untuk melawan berbagai bentuk penyederaan ataupun objektivitasi
kaum perempuan. Baginya, baik laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan secara
social akibat dari control socsial. Melalui kesusastraan, perempuan diharapka mampu
membongkar semua pengalaman sosial yang dipandang sebagai awal ataupun
penyebab dari penindasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh pengalaman
sosialnya.
Pengertian sastra pada masyarakat Tionghoa, sastra diturunkan dari akar kata
wen. Sastra sendiri merupakan gabungan dari kata wen dan xue (belajar), menjadi
wenxue. Wen sendiri memiliki berbagai pengertian yang diantaranya adalah huruf,
tulisan, prasasti, aksara, bahasa tulis dan lisan, karya tulis, karangan yang menunjukan
pribadi orang, halus dan sopan, upacara formalitas dan spiritual, menutupi kesalahan,
kelemahan, kecurangan, ketidakadilan, kekurangan, jabatan sipil, peninggalan sejarah,
dan lain-lain.keluasan makna kata wen ini memberikan arti yang luas bagi sastra

7
Dwi Susanto, Pengantar Kajian Sastra (Yogykarta: CAPS, 2016), h. 1.

15
sendiri. Bahkan, sastra dapat dijadikan semacam alat ntuk memahami jalan kehidupan
sehingga wenxue serupa dengan ajaran moralitas. Pandangan ini tentu saja melihat
sastra dari aspek moralitas yang pragmatik,
Kaum romantik memiliki definisi tentang sastra. Baginya, sastra adalah wujud
ekspresi jiwa ataupun pikiran dari para pengarang. Pandangan yang demikian ini
membawa dampak pada kajian sasra yang melihat sastra dari latar belakang kejiwaan
pengarangnya. Hal yang utama sering diungkapkan adalah maksud ataupun intesi dari
pengarang. Pandangan romantik ini dapat dilihat dari teori psikologi sastra, terutama
psikoanalisis klasik dari Gigmund Freud.
Pandangan umum lain mengatakan bila karya sastra adalah karya imajinatif
dan fiktif. Pandangan ini mengatakan bahwa karya sastra bukanlah dumia yang nyata.
Tokoh ataupin kejadian yang ada bukanlah realitas, tetapi hasil imajinasi ataupun
daya khayal dari penciptanya. Sebagai contohnya adalah karakter atau tokoh-tokoh
dalam katya sastra. Tokoh tersebut hanyalah cipataan dari pengarang. Sebagai satu
ciptaan dari pengarang, tokoh tidak memiliki latar sejarah dan tidak memiliki konteks
sosial. Pandangans eperti ini juga menguatkan bahwa karya sastra adalah karya kreatif
(seni) dan bermediumkan bahsa yang tidak absolut. Bahsa yang ada dalam karya
sastra merupakan bahsa model kedua, khusus dalam karya sastra itu, yang merupakan
ciptaan pengarang.
Berbagai pengertian kesastraan atau sastra yang beragam itu sesungghnya
menjelaskan mengenai “sdut pandang” atau paradigma. Artinya, dalam mengartikan
suatu realitas atau objek, sudut pandang yang berbeda tentu akan menghasilkan
implikasi yang berbeda dalam cara memperlakukan, menggunakan, dan mencari
kebenaran atau nilai dari sesuatu yang telah diartikan.

E. Pengertian Sejarah

Istilah "sejarah" berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata "syajaratun"
(dibaca"syajarah''), yang memiliki arti "pohon kayu". Pengertian "pohon kayu'" di
sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal
(peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti
yang menganggap bahwa arti kata "syajarah" tidak sama dengan kata "sejarah", sebab
sejarah bukan hanya bermakna sebagai "pohon keluarga" atau asal-usul atau silsilah.
Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata "syajarah" dengan kata
"sejarah", seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita,

16
silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2).
Dengan demikian pengertian "sejarah" yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa
Inggris yakni "history", yang bersumber dari bahasa Yunani Kuno historia" (dibaca
"istoria") yang berarti "belajar dengan cara bertanya-tanya". Kata "historia" ini
diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia)
dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996: 4).

Setelah menelusuri arti "sejarah" yang dikaitkan dengan arti kata "syajarah"
dan dihubungkan dengan pula dengan kata "history", bersumber dari kata "historia"
(bahasa Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti kata sejarah sendiri sekarang ini
mempunyai makna sebagai cerita, atau kejadian yang benarbenar telah terjadi pada
masa lalu. Sunnal dan Haas (1993: 278) menyebutnya; "history is a chronological
study that interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to
discover the truth". Carr (1982: 30). menyatakan, bahwa "history is a continous
process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue
between the present and the past". Kemudian disusul oleh Depdiknas memberikan
pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-
nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia
dari masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 1). Namun yang jelas kata kuncinya
bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah,
mapun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu.

Para ahli sejarah pada umumnya sepakat untuk membagi peranan dan
kedudukansejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni; (1) sejarah sebagai peristiwa; (2)
sejarah sebagai cerita, dan; 3) sejarah sebagai ilmu (Ismaun, 1993: 277).

Pertama, sejarah sebagai peristiwa; adalah sesuatu yang terjadi pada


masyarakatmanusia di masa lampau. Pengertian pada 'masyarakat manusia dan 'masa
lampau sesuatu yang penting dalam definisi sejarah. Sebab kejadian yang tidak
memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat manusia, dalam pengertian di sini,
bukanlah merupakan suatu peristiwa sejarah. Sebaliknya juga peristiwa yang terjadi
pada umat manusia namun terjadi pada sekarang, bukan pula peristiwa sejarah.
Karena itu konsep siapa yang yang menjadi subyek dan obyek sejarah serta konsep
waktu, dua-duanya menjadi penting.Pengertian sejarah sebagai peristiwa, sebenarnya
memiliki makna yang sangat luas dan beraneka ragam. Keluasan dan keanekaragaman

17
tersebut sama dengan luasnya dan kompleksitas kehidupan manusia. Beberapa aspek
kehidupan kita seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik, kesehatan,
agama, keamanan, dan sebagainya semuanya terjalin dalam peristiwa sejarah. Dengan
demikianm sangat wajar jika untuk memudahkan pemahaman kita tentang para ahli
sejarah mengelompokkan lagi atas beberapa tema. Pembagian sejarah yang demikian
itulah yang disebut pembagian sejarah secara tematis, seperti: sejarah politik, sejarah
kebudayaan, sejarah perekonomian, sejarah agama, Selain pembagian sejarah
berdasarkan tema (tematis), juga dikenal pembagian sejarah berdasarkan periode
waktu. Dalam pembagian sejarah berdasarkan periodisasi tersebut kita dapat
mengambil contoh untuk sejarah Indonesia: zaman prasejarah, zaman pengaruh
Hindu-Budha, zaman pengaruh Islam, zaman kekuasaan Belanda, zaman pergerakan
nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Revolusi Fisik,
Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Sebagai patokan dalam menentukan tiap
periode/zaman tersebut harus terpenuhi unsur pembeda antar periode satu dengan
lainnya.

Kedua, sejarah sebagai ilmu, dalam pengertiannya kita mengenal definisi


sejarah yangbermacam-macam, baik yang menyangkut persoalan kedudukan sejarah
sebagai bagian dari ilmu sosial, atau sejarah sebagai bagian dari ilmu humaniora,
maupun yang berkembang di sekitar arti makna dan hakikat yang terkandung dalam
sejarah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi sejarah yang akan
dikemukakan oleh para sejarawan. Bury (Teggart, 1960: 56.) secara tegas menyatakan
"History is science; no less, and no more". Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan
tidak lebih. Permyataan ini mungkin tidak bemaksud untuk memberikan penjelasan
batasan tentang sesuatu konsep, melainkan hanya memberikan tingkat pengkategorian
sesuatu ilmu atau bukan. Penjelasan tersebut jelas tidak memadai untuk untuk
memperoleh sesuatu pengertian. Definisi yang cukup simple dan mudah dipahami
diperoleh dari Carr (1982: 30). yang menyatakan, bahwa "history is a continous
process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue
between the present and the past". Pendapat Carr tersebut sejalan dengan pandangan
Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa: "Every historian would agree, I
think that history is a kind of research or inquiry". Colingwood berpendapat bahwa
sejarah itu merupakan riset atau suatu inkuiri. Colingwood selanjutnya menegaskan
bahwa sasaran penyususnan sejarah adalah untuk membentuk pemikiran agar kita

18
dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan
jawabanjawabannya. Oleh karena itu menurut Colingwood, "all history is the history
of thought", semua sejarah itu adalah sejarah pemikiran.

Ketiga, sejarah sebagai cerita; bahwa sejarah itu pada hakikatnya


merupakanhasil rekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Dengan demikian di dalamnya
terdapat pula penafsiran sejarawan terhadap makna suatu peristiwa. Perlu diketahui
bahwa buku-buku sejarah yang kita baca, baik buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah
di perguruan tinggi, maupun buku-buku sejarah lainnya, pada hakekatnya merupakan
bentuk-bentuk konkrit sejarah sebagai peristiwa (Ismaun, 1993: 280).

Dengan demikian pula bahwa dalam sejarah sebagai cerita, merupakan sesuatu
karya yang dipengaruhi oleh subyektivitas sejarawan. Sebagai contoh, tentang
biografi Diponegoro. Jika ditulis oleh sejarawan Belanda yang propemerintah
kolonial, maka Diponegoro dalam pikiran dan pendapat sejarawan tersebut dipandang
sebagai "pemberontak" bahkan mungkin "penghianat".

Sebaliknya jika biografi itu ditulis oleh seorang sejarawan yang pro-
perjuangan bangsa Indonesia, sudah dapat diduga bahwa Diponegoro adalah
"pahlawan" bangsa Indonesia. Disinilah letak sejarah sebagai cerita lebih bersifat
subyektif. Artinya memuat unsur-unsur dari subyek, si penulis/sejarawan sebagai
subyek turut serta mempengaruhi atau memberi "warna'", atau "rasa" sesuai dengan
"kacamata" atau selera subyek (Kartodirdjo, 1992: 62). Oleh karena itu tidak aneh jika
sejarah sebagai cerita sering disebut "sejarah serba subyektif" Sejarah akhirnya dapat
disimpulkan merupakan hasil rekonstruksi intelektual dan imajinatif sejarawan
tentang apa yang telah dipikirkan, dirasakan, atau telah diperbuat oleh manusia, baik
sebagai individu maupun kelompok berdasarkan atas rekaman-rekaman lisan, tertulis
atau peninggalan sebagai pertanda kehadirannya di suatu tempat tertentu. Sejarah,
bagi sejarawan, merupakan wacana intelektual (intellectual discourse) yang tidak
berkesudahan.

F. Keterkaitan Sastra dan Sejarah

Sejarah yang kaitan dengan kondisi atau peristiwa yang terjadi pada masa-
masa tertentu sedangkan sastra yang kaitannya dengan pengolahan bahasa dan
imajinasi menjadikan sejarah dan sastra masih dinilai oleh sebagian orang merupakan

19
dua komponen yang berbeda merupakan pernyataan yang tidak sesuai dengan realita
antara sejarah dan sastra. Karya sastra yang memuat peristiwa-peristiwa yang terjadi
namun dipadupadankan dengan imajinasi serta pengolahan bahasa pengarang
menjadikan sejarah menjadi salah satu unsur penting dalam sastra. Sejarah yang
berperan sebagai bahan baku dalam terbentuknya karya sastra memuat peristiwa yang
menarik dalam sastra sehingga karya sastra tersebut berperan sebagai salah satu alat
dalam melibatkan pembaca mengenai situasi yang nyata adanya dalam sejarah namun
pengolahan bahasa yang baik menjadikan pembaca memahami maksud dari
pengarang tentang karya sastra tersebut.

Sejarah sebagai bahan baku dalam menuliskan suatu karya sastra tidak hanya
bernilai sebagai tambahan agar karya sastra tersebut menarik, namun penggunaan
sejarah dalam karya sastra secara tidak langsung berperan dalam merekonstruksi
sejarah secara halus dengan pengolahan kata-kata yang secara tidak langsung
mempengaruhi pembaca untuk melakukan sesuatu kaitannya dengan sejarah yang
terdapat dalam karya sastra tersebut.

Sebagai seorang sastrawan perlu mengetahui serta menganalisis dengan betul


bagaimana sejarah pada setiap periode-periode yang berlaku sehingga karya sastra
yang dihasilkan memuat karya sastra yang kaya akan imajinasi pengarang namun
tetap bersifat struktural dari segi sejarah yang dimuat dalam karya sastra tersebut.
Sehingga tidak terjadi kekeliruan yang menyebabkan keluarnya dari zona sejarah
yang telah tersusun oleh para sejarawan.

Pengaruh sejarah sebagai salah satu unsur dalam karya sastra menjadikan
setiap pembaca dapat menimbulkan kepribadian yang turut peduli serta secara tidak
langsung menghormati sejarah. Karena pada dasarmya sejarah yang disusun oleh
sejarawan menggunakan imajinasi dalam merekontruksi masa lalu disertai bukti serta
data yang mendukung penyusunan sejarah tersebut, bukan menggunakan fantasi
semata tanpa disertai bukti serta fakta yang ada.

20
BAB III

SIMPULAN

21
DAFTAR PUSTAKA

http://myblogroland-2001995.blogspot.com/2014/11/makalah-fiksi.html?m=1. Diakses pada


hari selasa, 19 Nopember 2019
https://www.academia.edu/10780089/Makalah_tentang_Karangan_Fiksi. Diakses pada hari
minggu, 24 Nopember 2019

Luxemburg, Jan Van. dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Nugiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: Buku Seru

Susanto, Dwi. ____. Pengantar Ilmu Sejarah. Surabaya: UIN Sunan Ampel

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

22

Anda mungkin juga menyukai