Anda di halaman 1dari 33

HEGEMONI NEGARA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI

(KAJIAN HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengkajian Cerita Rekaan

Dosen Pengampu: Laura Andri Retno Martini, S.S., M.A.

Oleh:
Nama: Stella Lasverina Limparu
NIM: 13010120130048

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................1

BAB I....................................................................................................................................................2

PENDAHULUAN.................................................................................................................................2

A. Latar Belakang...........................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................................................3
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................................................3
E. Landasan Teori..........................................................................................................................4
1. Teori Struktur Fiksi................................................................................................................4
2. Hegemoni Antonio Gramsci..................................................................................................8
BAB II.................................................................................................................................................12

ANALISIS STRUKTUR NOVEL DAN HEGEMONI NEGARA DALAM NOVEL ENTROK


KARYA OKKY MADASARI............................................................................................................12

A. Analisis Struktur Novel Entrok................................................................................................12


B. Hegemoni Negara dalam Novel Entrok...................................................................................27
BAB III................................................................................................................................................31

KESIMPULAN...................................................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................32

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sastra merupakan sarana penyampaian gagasan, ide dan pemikiran seorang
pengarang melalui media penyampaian berupa bahasa. Sebuah karya sastra pada
umumnya sering mengangkat fenomena sosial yang ada di masyarakat sebagai latar
belakang penciptaan karya. Hal ini sejalan dengan pendapat Najid (2009: 1) bahwa
karya sastra merupakan kristalisasi dan pengalaman hidup, sastra menampilkan
gambaran kehidupan dan hubungan antarmanusia. Oleh karena itu karya sastra
memiliki kedudukan yang penting untuk menggambarkan fenomena sosial beserta
permasalahan dalam masyarakat sebagai bahan refleksi dan edukasi bagi pembacanya.
Salah satu bentuk karya sastra yang mengandung fenomena sosial masyarakat
adalah novel. Pengertian novel menurut Sumardjo dan Saini (1997: 29) adalah cerita
berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, ukuran yang luas berarti cerita dengan plot
(alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang
beragam dan setting cerita yang juga beragam. Novel merupakan salah satu bentuk
karya sastra yang merepresentasikan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat. Salah satu fenomena yang cukup sering diangkat sebagai tema dalam
novel yaitu tentang hegemoni. Hegemoni dalam KBBI memiliki arti beragam, yaitu
pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan dari satu negara ke negara (atau negara
bagian) lain. Hegemoni sendiri pertama kali dikenalkan oleh kaum Marxis Rusia,
khususnya Plekhanov pada tahun 1883 hingga 1984. Selanjutnya, pengertian
hegemoni disempurnakan oleh Antonio Gramsci pada tahu 1891. Menurut Gramsci,
hegemoni memiliki arti bahwa suatu kelas berkuasa menjalankan kepemimpinan
dengan cara kekerasan dan persetujuan. Dasar pemikiran hegemoni menurut Gramsci
yaitu mengutamakan ide dan tidak semata-mata menggunakan kekuasaan fisik dalam
mengatur tatanan sosial politik. Harus dengan persetujuan dari yang dikuasai dan
mematuhi norma penguasa tanpa kekerasan (Simon, 2004: 56). Hegemoni menurut
Gramsci juga terbagi ke dalam lima konsep kunci, yaitu kebudayaan, kekuasaan,
ideologi, kaum intelektual, dan negara.
Berdasarkan pengertian hegemoni di atas, penulis kemudian menemukan salah
satu novel yang di dalamnya terdapat tema hegemoni yang cukup kuat, novel tersebut
berjudul Entrok karya Okky Madasari. Entrok merupakan novel pertama Okky yang

2
diterbitkan pada bulan April 2010 dan menjadi bentuk peringatan terhadap hari
Kartini. Novel Entrok dilahirkan atas dasar kegelisahan terhadap menipisnya toleransi
dan maraknya kesewenang-wenangan. Mengangkat latarbelakang waktu 1950-199,
novel ini secara eksplisit menggambarkan situasi politik dan sosial masyarakat pada
akhir masa zaman Orde Lama hingga pergantiannya ke masa Orde Baru. Tema yang
menonjol dalam novel Entrok yaitu mengenai feminisme. Hal ini digambarkan
melalui perjuangan tokoh utama Marni dan Rahayu yang merupakan ibu dan anak
dalam mendobrak stigma mengenai perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak
dapat berbuat apa-apa. Selain tema feminisme, terdapat beberapa tema lain yang turut
hadir dalam novel ini yaitu mengenai pluralisme, kepercayaan hingga hegemoni.
Tema hegemoni dalam novel Entrok lebih ditonjolkan kepada hegemoni
negara dalam praktiknya. Hegemoni negara sendiri dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu
hegemoni masyarakat politik dan hegemoni masyarakat sipil. Berkaitan dengan tema
hegemoni negara yang terdapat dalam novel Entrok, peneliti ingin melakukan analisis
berkaitan dengan struktur pembangun dalam novel Entrok berupa tema, tokoh dan
penokohan, latar, alur, dan amanat serta menganalisis bentuk hegemoni negara yang
terdapat dalam novel Entrok menggunakan kajian teori hegemoni oleh Antonio
Gramsci secara lebih rinci. Hal ini dilatarbelakangi karena penelitian terhadap novel
Entrok sebagian besar hanya perpusat pada analisis feminisme dan minimnya
penelitian mengenai analisis hegemoni negara berdasarkan teori hegemoni Gramsci.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis strutur yang membangun keutuhan cerita dalam novel Entrok
karya Okky Madasari?
2. Bagaimana hegemoni negara dalam ovel Entrok karya Okky Madasari?

C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Entrok karya Okky Madasari.
2. Mendeskripsikan hegemoni negara dalam novel Entrok karya Okky Madasari

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang berjudul Hegemoni Negara dalam Novel Entrok
Karya Okky Madasari (Kajian Hegemoni Antonio Gramsci) secara teoritis yaitu
memberikan sebuah hasil penelitian yang nantinya dapat dijadikan bahan
perbandingan terhadap hasil penelitian sebelumnya maupun hasil penelitian yang

3
akan dilakukan. Secara praktis, penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman pembaca mengenai struktur-struktur pembangun dalam novel dan
kajian hegemoni negara dalam sebuah novel, secara bersamaan juga diharapkan
penelitian ini dapat menjadi wadah untuk mengembangkan kemampan penulis dalam
melakukan analisis terhadap sebuah novel.

E. Landasan Teori

1. Teori Struktur Fiksi


Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran
semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama
membentuk kebulatan yang indah (Abrams, dalam Nurgiyantoro 1998: 36).
Analisis struktural karya sastra dalam fiksi dapat dilakukan dengan
menidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan struktur
intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur intrinsik fiksi sendiri terdiri atas tema,
tokoh dan ppenokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat.

1.1. Tema
Tema menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1998: 75) adalah makna
yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum
yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks
sabagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-
perbedaan. Pada hakikatnya, tema merupakan makna yang dikandung cerita.
Makna cerita tersebut dalam sebuah karya fiksi, mungkin saja lebih dari satu.
Oleh karena itu, terdapat dua penggolongan tema alam sebuah karya fiksi;
tema mayor dan tema minor. Nurgiyantoro (1998: 82-83) mengemukakan
pengertian tema mayor, yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar atau
gagasan dasar umum karya. Sedangkan, tema minor yaitu makna yang hanya
terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita yang diidentifikasikan sebagai
makna tambahan.

1.2. Tokoh dan Penokohan


Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165), menurut Abrams tokoh
cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan

4
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan. Hubungan seorang tokoh dengan kualitas pribadinya
berkaitan dalam penerimaan pembaca. Nurgiyantoro (1998: 176-177)
membedakan tokoh dalam fiksi berdasarkan segi peran dan tingkat pentingnya
menjadi dua yaitu, tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Tokoh utama merupakan tokoh yng paling banyak dieritakan dan senantiasa
hadir dalam setiap kejadian. Sedangkan tokoh tambhan merupakan tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita.
Penokohan merupakan penggambaran suatu watak tokoh dalam sebuah
prosa. Altenbernd dan Lewis (Nurgiyantoro, 1998: 194-211) membagi teknik
penggambaran tokoh menjadi dua, yaitu teknik penjelasan ekspositori dan
teknik dramatik.
1. Teknik ekspositori
Teknik ekspositori atau sering disebut teknik analitis merupakan
pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau
penjelasan secara langsung. Melalui teknik ini pengarang dapat
dengan cepat dan singkat mendeskripsikan kedirian tokoh cerita.
2. Teknik dramatik
Teknik dramatik merupakan penggambaran tokoh cerita dilakukan
secara tidak langsung. Pengarang membiarkan para tokoh cerita
untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui aktivitas yang
dilakukan baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat
tindakan. Terdapat beberapa wujud teknik dramatik yang biasanya
digunakan oleh pengarang, yaitu:
a. Teknik Cakapan
Percakapan diantara tokoh-tokoh dalam novel memeliki tujuan
untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh tersebut
b. Teknik Tingkah Laku
Berbeda halnya dengan teknik cakapan yang hanya menunjuk
pada tingkah laku verbal melalui percakapan antar tokoh,
teknik tingkah laku mengacu pada tindakan yang merujuk ke
fisik atau nonverbal
c. Teknik Pikiran dan Perasaan
5
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik
cakapan dan tingkah laku. Teknik pikiran dan perasaan dapat
juga berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret
dalam bentuk tindakan dan kata-kata.
d. Teknik Reaksi Tokoh
Bertujuan untuk membaca situasi yang menimbulkan
tanggapan tokoh dalam mengatasi suatu peristiwa, masalah,
sikap tingkah laku orang yang berupa “rangsangan” dari luar
tokoh tersebut.
e. Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan kejiwaan,
pengarang biasanya menggambarkan fisik dengan kiasan yang
bersifat unik. Misalnya bibir tipis menyaran pada sifat banyak
omong, rambut lurun menyaran pada sifat tak mau mengalah,
dan sebagainya yang menyaran pada sifat tertentu.

1.3. Latar
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 216), Abrams menjelaskan latar
atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 1998: 216). Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur
tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu
berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah kapan tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan.

6
1.4. Alur
Stanton (dalam Nurgiyantoro 1998: 113) mendefinisikan plot atau alur
sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian hanya
dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain. Nurgiyantoro (1998: 116-127) kemudian
membagi unsur penting dalam pengembangan plot cerita menjadi tiga:
1. Peristiwa
Menurut Luxemburg (dalam Nurgiyantoro 1998: 114) peristiwa
diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
2. Konflik
Merupakan kejadian yang tergolong penting dan unsur yang esensial
dalam pengembangan plot.
3. Klimaks
Klimaks menurut Stanton (Nurgiyantoro 1998: 127) adalah saat
konfllik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.

1.5. Sudut Pandang


Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1998: 248) sudut pandang atau
point of view merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca. Menut teori sastra, sudut pandang terbagi menjadi dua jenis, yaitu
sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang
orang pertama tebagi menjadi dua; (1) sudut pandang orang pertama-tokoh
utama, (2) sudut pandang orang pertama-tokoh tambahan. Demikian juga
dengan sudut pandang orang ketiga yang terbagi menjadi dua; (1) sudut
pandang orang ketiga serba tahu, (2) sudut pandang orang ketiga pengamat.

1.6. Amanat
Definisi amanat menurut Sudjiman (1988:57) adalah ajaran moral atau
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pada umumnya, karya sastra

7
fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

2. Hegemoni Antonio Gramsci


Hegemoni dalam KBBI memiliki arti beragam, yaitu pengaruh kepemimpinan,
dominasi, kekuasaan dari satu negara ke negara (atau negara bagian) lain.
Hegemoni sendiri pertama kali dikenalkan oleh kaum Marxis Rusia, khususnya
Plekhanov pada tahun 1883 hingga 1984. Selanjutnya, pengertian hegemoni
disempurnakan oleh Antonio Gramsci pada tahu 1891. Menurut Gramsci,
hegemoni memiliki arti bahwa suatu kelas berkuasa menjalankan kepemimpinan
dengan cara kekerasan dan persetujuan. Dasar pemikiran hegemoni menurut
Gramsci yaitu mengutamakan ide dan tidak semata-mata menggunakan kekuasaan
fisik dalam mengatur tatanan sosial politik. Harus dengan persetujuan dari yang
dikuasai dan mematuhi norma penguasa tanpa kekerasan (Simon, 2004: 56).
Sejalan dengan hal tersebut, Sugiono (2006: 31) mengemukakan bahwa teori
hegemoni Gramsci adalah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini
dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik
belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga
harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud
Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan
intelektual secara konsensual. Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat
lima konsep kunci yaitu:

2.1. Kebudayaan
Menurut Gramsci (dalam Faruk, 2003: 65) kebudayaan sebagai
organisasi, disiplin batiniah seseorang, yang merupakan pencapaian suatu
kesadaraan yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil
dalam memahami nilai historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-
hak dan kewajibannya. Meski demikian, melalui Faruk (2003: 65) konsep
serupa tidak dapat muncul secara sepontan, melalui serangkaian aksi dan
reaksi yang lepas dari kehendak seseorang. Gramsci, kenyataan menunjukan

8
bahwa hanya pada tingkatantingkatan tertentu, satu tahap pada satu waktu,
kemanusiaan memperoleh kesadaran akan nilainya dan memenangkan untuk
dirinya sendiri hak untuk melemparkan pola-pola organisasi yang dipaksakan
padanya oleh minoritas pada suatu periode yang lebih awal dalam sejarah
(Faruk,2003:66). Bagi Gramsci (dalam Faruk, 2003: 66) gagasan yang
bersangkutan dengan kesadaran akan sebab-sebab adanya kondisi tertentu dan
bagaimana membalikkan fakta-fakta kebudayaan menjadi sinyal-sinyal
pemberontakan dan revolusi sosial. Dengan kata lain, revolusi sosial harus
didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis. Revolusi
kebudayaan tidak berlangsung secara sepontan, alamiah, melainkan
melibatkan berbagi faktor kultural tertentu yang memungkinkan terjadinya
revolusi tersebut (Faruk, 2003: 66).

2.2. Kekuasaan
Dalam gagasan Gramsci tentang konteks hegemoni, kekuasaan
memiliki pengaruh yang sangat besar. Hegemoni tidak hanya sekedar
kekuasaan sosial dan cara yang dipakai untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, dengan kata lain hegemoni menekankan ideologi
itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang digunakan
untuk bertahan dana pengembangan diri melalui kepatuhan para korbannya.
Hegemoni kini berkembang dalam dunia kultural kelas sosial dimana sebuah
kelas dikatakan telah berhasil, jika ia telah mampu mempengaruhi kelas
masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis, dan kultural.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan
dilakukan dengan dua cara, yaitu persuasi dan represif. Persuasi merupakan
cara untuk menghegemoni dominasi dengan bentuk ajakan kepada seseorang
dengan cara meyakinkan, mengatur strategi menyingkirkan penentang dengan
halus, mengatur cara mempertahankan kekuasaan, berkomplot mengalahkan
penguasa. Sedangkan hegemoni melalui represif merupakan cara untuk
menghegemoni dominasi dengan cara kekerasan, memberi ancaman terhadap
bawahan, menyingkirkan dengan kekerasan.

9
2.3. Ideologi
Menurut Gramsci (dalam Bocock 2007: 88) ideologi membawa
konotasi tentang sesuatu yang tidak benar atau salah, yang menyamarkan
kepentingankepentingan lain yang bersifat material di dalamnya. Ideologi juga
mengandung empat elemen penting yaitu elemen kesadaran, elemen material,
elemen solidaritas-identitas dan elemen kebebasan”, Elemen kesadaran
merupakan elemen yang memberikan tempat kepada manusia untuk
mendapatkan kesadaran politik, ekonomi, kepercayaan dan lain sebagainya
untuk menjadi kelas dominan, karena tidak akan dapat membongkar dan
meruntuhkan kekuasaan kaum dominan jika tidak dengan kesadaran ‘historis’
mengenai politik, ekonomi sosial dan lain sebagainya, Gramsci (dalam
Nurhadi, 2005: 5).

2.4. Kaum Intelektual


Intelektual dipahami sebagai suatu strata sosial yang menyeluruh yang
menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas –entah
dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik
(Faruk, 2003 : 74). Setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi
menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya homogenitas
dan suatu kesadaran mengenai fungsinya sendiri tidak hanya dalam lapangan
ekonomi, tetapi juga dalam lapangan sosial dan politik (Faruk, 2003 : 74).

2.5. Negara
Gramsci (dalam Faruk, 2003:77) membedakan negara menjadi dua
wilayah dalam negara yakni, dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Yang pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah
“kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan wilayah kedua merupakan dunia
kekerasan, pemaksaan, dan intervensi. Menurut Gramsci, negara kompleks
yang menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas
penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya,
melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang
diperintahnya (Faruk, 2003 : 77).

10
Masyarakat sipil, juga merupakan wilayah di mana kelompok pemilik
modal, pekerja dan kelompok lain terlibat dalam perjuangan politik dan dalam
masyarakat sipil terjadi persaingan hegemoni antar dua kelompok utama
berlangsung (Simon, 2004:103). Dalam beberapa paragraf pada buku Prison
Notebooks Gramsci (dalam Simon, 2004:103) mengatakan masyarakat sipil
merupakan masyarakat etika atau moral yang di dalamnya hegemoni kelas
dominan dibangun melalui mekanisme perjuangan politik dan ideologis.
Untuk masyarakat politik, Gramsci memakai istilah tersebut untuk hubungan-
hubungan koresif yang terwujud dalam lembaga negara –angkatan bersenjata,
polisi, lembaga hukum dan penjara, serta semua departemen administrasi yang
mengurusinya yang tergantung pada upaya akhir dari efektifitas monopoli
negara dalam melakukan tindakan koersif (Simon, 2004:104).

11
BAB II
ANALISIS STRUKTUR NOVEL DAN HEGEMONI NEGARA DALAM NOVEL
ENTROK KARYA OKKY MADASARI

A. Analisis Struktur Novel Entrok


Unsur-unsur intrinsik yang penulis gunakan dalam analisis struktur novel Entrok
yaitu tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat.

1. Tema
Tema yang terdapat dalam novel Entrok dibedakan menjadi dua, yaitu tema
mayor dan tema minor. Tema mayor merupakan makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, sedangkan tema minor yaitu
makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita yang
diidentifikasikan sebagai makna tambahan.
1.1. Tema Mayor
Tema mayor yang diangkat dalam novel Entrok yaitu mengenai
feminisme. Hal ini digambarkan melalui perjuangan Marni untuk bisa
mendapatkan upah berupa uang, meskipun harus dengan cara nguli. Hal
tersebut dilakukannya karena pada saat itu buruh perempuan hanya mendapat
upah berupa bahan makanan, sedangkan buruh pria mendapat uang berupa
uang. Ia juga mendobrak stigma bahwa perempuan tidak bisa melakukan
pekerjaan laki-laki. Pada akhirnya, Marni berhasil membuktikan bahwa
perempuan mampu melakukan apa yang dilakukan pria, justru Marni
kemudian menjadi wanita yang sukses saat itu. Walaupun pada akhirnya juga
usaha Marni untuk menyamakan upah buruh perempuan dan laki-laki saat itu
belum bisa tercapai. Tema mayor tersebut dibuktikan melalui beberapa
kutipan di bawah ini:

“Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di


pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan.”

“Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun aku ingin


mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang
besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan.”

12
1.2. Tema Minor
1.2.1. Hegemoni Negara
Hegemoni negara yang terdapat dalam novel Entrok terbagi menjadi
dua, sesuai dengan pengertian hegemoni negara oleh Gramsci, yaitu
hegemoni negara oleh masyarakat politik dan hegemoni negara oleh
masyarakat sipil. Hegemoni oleh masyarakat politik terlihat jelas
melalui tindakan represif maupun persetujuan yang dilakukan oleh
penguasa dalam hal ini merujuk pada aparat negara kepada masyarakat
biasa. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan di bawah ini:
“Kedua petugas itu kini menggunakan senapannya. Tidak, dia
tidak menembak. Dengan popor senapan Imran dan Amin
digebuk, di muka, punggung, dan perut. Aku sudah tidak
tahan…(Entrok, 2010: 150)
“Masalah Endang Sulastri telah selesai. Sesuai janjiku,
seperempat hartaku menjadi milik Sumadi. Ya, komandan itu
menjadi kaya mendadak. Setelah mendapat satu hektar
sawahku, sekarang ia mendapat lagi tanah dan setumpuk kayu
jati…(Entrok, 2010: 199)
Di samping itu terdapat pula bentuk hegemoni yang dilakukan oleh
masyarakat sipil. Hal ini dilakukan oleh salah satu organisasi pengajian
dalam universitas yang menghegemoni anggotanya agar mengikuti
demonstrasi di depan markas tentara Magelang sebagai aksi
perlawanan terhadap tindakan aparat negara yang diduga telah
menghilangkan nyawa masyarakat biasa karena permasalahan yang
sepele. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:

“Amri menggagas rencana besar. Organisasi pengajian kami


akan berdemonstrasi di depan markas tentara Magelang…Kami
hanya meminta empat orang yang semena-mena pada enam
tukang becak di Sungai Manggis segera dipecat.” (Entrok,
2010: 160)

13
1.2.2. Kepercayaan
Dalam novel Entrok terdapat tema lainnya yang berkaitan dengan
kepercayaan. Hal ini digambarkan oleh Marni yang masih mengnut
kepercayaan animisme, dalam hal ini Marni sering memuja leluhur
yang disebut Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, sedangkan anaknya Rahayu
memeluk kepercayaan Muslim dan menganggap bahwa kepercayaan
yang masih dianut ibunya dan ritual-ritual yang dilakukannya ibunya
sebagai bentuk pemujaan itu syirik. Perbedaan kepercayaan antara
Marni dan Rahayu menyebabkan sering terjadinya konflik dan
perdebatan diantara keduanya sepanjang cerita dalam novel. Hal ini
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:

“Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di


dunia milik Ibu Bumi Bapa Kuasa. Dialah yang punya kuasa
untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan.”
(Entrok, 2010: 56)

“Aku tidak mau bangun. Tak mau lagi nyuwun-nyuwun pada


leluhur. Itu dosa, kata Pak Waji. Pak Waji sudah mengajariku
cara nyuwun yang benar. Bukan dengan cara orang-orang yang
tak punya agama.” (Entrok, 2010: 57-58)

“Ibu menangis dengan suara keras. Perdebatan tentang


keyakinan kami selalu berakhir seperti ini. tangisan Ibu dan
kebencianku yang makin bertambah.” (Entrok, 2010: 59)

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh yang berada di dalam novel Entrok dibagi menjadi dua, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Marni dan
Rahayu. Sedangkan, untuk tokoh tambahan dalam novel ini terdiri dari beberapa
tokoh yang jumlahnya cukup banyak, tetapi penulis hanya mengambil beberapa
tokoh tambahan yang dianggap merepresentasikan dan berhubungan dengan
analisis yang penulis ambil. Tokoh tambahannya yaitu Teja, Sumadi, Amri, Kyai
Hasbi, Koh Cahyadi, dan Wagimun.
14
2.1. Marni
Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang berasal dari desa
Singget dan tumbuh serta menjalani kehidupannya di desa tersebut. Marni
kecil digambarkan hanya tinggal bersama Simbok di sebuah gubuk tua yang
reyot. Bapaknya telah pergi meninggalkan ia dan Simbok saat ia masih kecil.
Beranjak remaja Marni memiliki keinginan untuk memiliki entrok, hal ini
dilatarbelakangi karena ketidaknyamanan ia saat dadanya mulai membesar.
Karena hidupnya yang miskin, maka keinginan Marni untuk memiliki entrok
tidak dapat terwujud dengan mudah. Hal ini kemudian yang mendasari Marni
untuk mencari uang guna membeli entrok dengan cara bekerja di pasar
Ngraget bersama Simbok. Marni rela menjadi kuli demi mendapatkan uang
untuk membeli entrok. Sejalan dengan itu ia juga mendobrak stigma
masyarakat mengenai perempuan yang lemah dan anggapan bahwa perempuan
yang nguli tidak elok untuk dilihat. Dimulai dengan menjadi seorang kuli,
Marni yang kreatif lalu mencoba peruntungan dengan bakulan. Dari bakulan
Marni kemudian mencoba membuka usaha jasa pinjam duit yang kemudian
menjadi pekerjaan tetapnya yang menghasilkan banyak keuntungan sehingga
ia dapat digolongkan sebagai penduduk yang berada. Dari deskripsi di atas
menunjukkan penggambaran tokoh Marni yang gigih dan pekerja keras. Hal
ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Aku mengangkat goni itu di punggungku dan mengantarnya sampai
di jalan…kuangkat goni itu ke andong, lalu Nyai Wedana menyusul
naik.. setelah duduk di andong, dia mengulurkan tangan memberiku
sekeping uang.” (Entrok, 2010: 38)
“Aku juga kerja keras, memeras keringat, mengelilingi Pasar Ngranget
dan dari rumah ke rumah di desa-desa. Semua kulakukan hanya agar
aku dan keluargaku bisa makan, tidak merepotkan orang lain, dan
punya kemuliaan dalam hidup.” (Entrok, 2010: 9)

Tokoh Marni juga digambarkan sebagai penganut kepercayaan animisme.


Marni masih menyembah leluhur yang ia sebut sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa
Kuasa. Kepercayaan yang ia anut ini berbeda dengan kepercayaan yang dianut
oleh anaknya Rahayu. Hal ini mengakibatkan keduanya sering bertengkar
mengenai kepercayaan. Meskipun begitu, Marni digambarkan sangat

15
menyayangi Rahayu dan melakukan apa saja agar Rahayu dapat hidup enak,
memperoleh pendidikan, bahkan agar Rahayu bisa bebas dari penjara. Hal ini
dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:

“Tak perlu berpikir panjang aku menyanggupi jaminan itu. Sepuluh


juta memang bukan jumlah sedikit. Tapi masih bisa kudapatkan untuk
menebus kebebasan anakku. Begitu tiba di Singget, aku menghitung
semua yang kupunyai. Sawah tebuku masih satu hektar luasnya…Yang
penting tanah satu hektar itu nilainya bisa untuk menebus Rahayu.
Malah bisa lebih. Sisanya bisa untuk hidupku dan Rahayu. Aku akan
bekerja menuruti apa yang diinginkannya.” (Entrok, 2010: 269)

2.2. Rahayu
Rahayu digambarkan sebagai anak Marni yang pintar. Ia juga
memeluk agama Muslim dan digambarkan sebagai Muslim yang taat dan rajin
beribadah. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Sejak matahari mulai mengintip, saat beduk dibunyikan dan
panggilan menggema, kami menjalankan tugas kami… Aku di ruangan
ini, dengan kerudung putih yang menutupi dada, meniti jalan ke surga
bersama gadis-gadis di situ.” (Entrok, 2010: 214)

Rahayu juga digambarkan sebagai tokoh yang peduli dan


memperjuangkan keadilan, terutama keadilan bagi masyarakat kecil.
Dikarenakan perjuangannya melawan ketidakadilan dan hegemoni masyarakat
politik, Rahayu harus rela untuk dipenjara atas tindakannya melawan negara.
Saat di penjara, Rahayu diceritakan sebagai korban pemerkosaan dan
kekerasan oleh para tentara di dalam penjara tersebut. Berdasarkan deskripsi
di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Rahayu digambarkan sebagai sosok
yang peduli, rela berkorban dan tangguh. Hal tersebut dibuktikan melalui
kutipan di bawah ini:

“Aku menolak semua ajakan Kyai Hasbi. Ajakan untuk pulang dan
menikah. Aku akan tetap di desa ini… Besok aku akan berdiri bersama
mereka memegang kata-kata yang ingin kami sampaikan. Biarlah aku
mati bersama mereka.” (Entrok, 2010: 252)

16
“Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau
menutup muka waktu aku bercerita tentang tentara. Kau menjerit
waktu akuu bilang diperkosa dan disiksa.” (Entrok, 2010: 12)
2.3. Teja
Teja adalah suami dari Marni. Teja digambarkan sebagai tokoh laki-laki yang
menggantungkan hidupnya pada perempuan, di sini adalah Marni. Selama
hidupnya Teja hanya bekerja membantu Marni untuk bakuan dan menagih
uang-uang pinjaman dari masyarakat. Selainnya Teja digambarkan sebagai
laki-laki yang suka mabuk-mabukan dan selingkuh. Penggambaran tokoh Teja
juga merepresentasikan gambaran umum laki-laki dalam novel tersebut yang
pemalas, suka berselingkuh, dan menggantukan hidup pada istri. Hal ini
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Dasar Teja, lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari duit,
dia malah enak-enakan kelonan sama kledek.”
“Sudah lama aku tahu, dia sering pergi kalau ada gambyong atau
pentas dangdut. Sering pulang pagi dengan mulut bau arak.”

2.4. Sumadi
Sumadi merupakan komandan dari para tentara yang bertugas untuk menjaga
keamanan di daerah Singget. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Sumadi
digambarkan menjadi penguasa yang semena-mena, terutama kepada Marni.
Sumadi sering memeras uang kepada Marni karena dianggap Marni
merupakan masyarakat bodoh yang kaya, jadi ia memanfaatkan kelemahan
dan keuntungan yang dimiliki Marni tersebut untuk memperkaya dirinya
sendiri. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Beres. Silahkan sampeyan terus cari rezeki. Tapi mulai sekarang,
setiap empat belas hari, sediakan jatah duit keamanan. Nanti aku atau
anak buahkku yang ambil ke sana. Mengerti?” (Entrok, 2010: 77)

2.5. Koh Cahyadi


Koh Cahyadi digambarkan sebagai tokoh keturunan Tionghoa yang beragama
Hindu dan memiliki sebuah toko elektronik di Pasar Gede Madiun. Koh
Cahyadi juga merupakan rekan bisnis dari Marni. Ia digambarkan sebagai
tokoh yang pekerja keras dan baik hati. Di samping itu Koh Cahyadi juga
17
menjadi sasaran apart negara karena kedudukannya sebagai keturunan
Tionghoa dan dia dianggap PKI pada saat itu. Hal ini ditunjukkan melalui
kutipan di bawah ini:
“Sore itu, meski baru mengalami hal yang tidak menyenangkan, Koh
Cahyadi mengantar kami ke toko jual-beli kendaraan bekas milik
temannya…Koh Cahyadi memang Cina, tapi Cina yang baik.” (Entrok,
2010: 122)

2.6. Amri
Amri digambarkan sebagai dosen yang kemudian menjadi suami dari Marni.
Amri digambarkan taat beragama dan merupakan salah satu tokoh dalam
cerita yang turut melakukan perjuangan melawan ketidakadilan negara
terhadap rakyat-rakyat kecil. Perjuangannya melawan negara harus berujung
dengan ia yang dibunuh oleh aparat negara saat itu. Hal ini menunjukkan
bahwa tokoh Amri merupakan tokoh yang rela berkorban. Hal ini ditunjukkan
melalui kutipan di bawah ini:
“Ketampanannya sepadan dengan segala kelebihan otak dan
kesantunannya. Dia hafalkan setiap kata-kata Tuhan. Lalu dengan
bahasanya sendiri dia akan menerangkan maknanya kepada setiap
orang.” (Entrok, 2010: 137)
“Kalian telah menembaknya! Kalian telah membunuh suamiku!” Aku
memukul tentara-tentara itu. Di punggung, bahu, dan dada. (Entrok,
2010: 234)

2.7. Kyai Hasbi


Kyai Hasbi merupakan guru mengaji di pedepokan miliknya yang juga saat itu
ditinggali oleh Rahayu. Kyai Hasbi juga merupakan tokoh yang ikut
melakukan perlawanan dan memperjuangkan hak warga atas tanah milik
mereka yang ingin dijadikan waduk. Walaupun berjuang bersama rakyat,
namun karena kekuasaan negara yang lebih besar, Kyai Hasbi mengingkari
janjinya untuk terus melawan bersama rakyat. Hal ini dikarenakan pondok
pesantren miliknya lah yang menjadi taruhannya. Hal ini menunjukkan okoh
Kyai Hasbi yang taat beragama dan peduli tetapi ingkar janji. Hal tersebut
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
18
“Kyai Hasbi sudah menyerahan urusan pondok pada istri-istrinya. Dia
akan mengerahkan seluruh yang ada dalam dirinya, membantu orang-
orang di desa ini mempertahankan apa yang telah menjadi jiwa
mereka.” (Entrok, 2010: 215)

“Lha sampeyan, apa yang sudah sampeyan lakukan? Prek! Kyaimu


malah pamit mau pulang, Prek!” (Entrok, 2010: 252)

3. Latar
3.1. Latar Tempat
Latar tempat yang terdapat dalam novel Entrok sebagian besar mengambil
latarbelakang tempat daerah Jawat Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Terdapat juga penggunaan latar tempat yang berada di daerah Jawa
Timur.
3.1.1. Desa Singget
Desa Singget merupakan salah satu latar tempat yang menjadi latar
utama dalam novel Entrok. Hal ini dikarenakan kehidupan tokoh utama
yaitu Marni yang bertempat tinggal di desa Singget. Di desa Singget
ini juga menjadi latar praktik-praktik hegemoni negara. Hal ini
dibuktikkan dengan kutipan di bawah ini:
“Singget semakin banyak membangun siskamling. Pak Lurah yang
dulu hanya datang ke rumah saat mau pemilu, sekarang bisa datang
kkapan saja. Minta sumbangan buat pembangunan gardu di dukuh sana
atau di dukuh sini. Kalau gardunya sudah dibangun, ganti pemuda-
pemuda desa yang datang. Mereka meminta duit keamanan.” (Entrok,
2011: 128)
“Desa Singget penuh dengan umbul-umbul warna kuning bergambar
pohon beringin. Untuk kedua kalinya, aku akan menyaksikan orang-
orang mencoblos gambar partai di balai desa.” (Entrok, 2010: 78)
3.1.2. Pasar Gede Madiun: Toko Koh Cahyadi
Latar tempat toko Koh Cahyadi beberapa kali tergambar dalam novel
ni. Toko ini terletak di Pasar Gede Madiun. Marni sering pergi ke toko
Koh Cahyadi karena ingin memberi barang-barang elektronik. Di toko
19
ini pula gambaran hegemoni negara terhadap Koh Cahyadi dapat
terlihat dalam novel ini. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah
ini:
“Setelah yakin tentara-tentara itu sudah jauh, aku, Teja, dan Cik
Ellen keluar dari toko, menuju sisi depan pasar. Kami hendak
menemui Koh Cahyadi. Pintu toko Koh Cahyadi tetap hanya
terbuka separuh, sama seperti saat da tentara-tentara tadi.”
(Entrok, 2011: 109)

3.1.3. Magelang: Candi Borobudur


Rahayu yang saat itu sedang menempuh kuliah melakukan kegiatan
praktik lapangan yang diadakan oleh kampusnya di daerah Magelang.
Bertempat tinggal di rumah warga di daerah Magelang yang dekat
dengan Candi Borobudur tersebut Marni turut menyaksikan hegemoni
negara di kawan Candi Borobudur. Dimana saat itu terjadi peristiwa
pengeboman di Candi Borobudur yang merupakan simbol kebanggaan
bagi pemeluknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Di sinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang
menjadi simbol kebanggaan itu…mahakarya yang tercipta
ratusan tahun yyang lalu itu takluk dalam hitungan menit pada
karya cipta manusia modern yang memang dibuat untuk
merusak: bom.” (Entrok, 2010: 138)

3.1.4. Magelang: Kali Manggis


Kali manggis juga menjadi salah satu latar tempat yang menunjukkan
adanya praktik hegemoni negara yang dilakukan oleh masyarakat
politik yaitu para tentara. Di kali manggis inilah terjadi kekerasan
aparat negara terhadap beberapa oarang tukang becak dan juga Amir
dan kawan-kawannya yang berusaha untuk membela para tukang
becak tersebut. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Dalam remang malam, dengan mata yang telah beberapa saat
berkenalan dengan gelap, kami bisa menangkap bayangan dua
orang duduk di batu besar di pinggir sungai. Sudah pasti
mereka dua orang petugas…”
20
“Terlihat bayangan orang bergerak dari sungai. Menuju batu
besar. Lalu…plak…plak…plak…bunyi tamparan tiga kali.”
(Entrok, 2010: 147)
“Kedua petugas itu kini menggunakan senapannya. Tidak, dia
tidak menembak. Dengan popor senapan Imran dan Amin
digebuk, di muka, punggung, dan perut. Aku sudah tidak
tahan…(Entrok, 2010: 150)

3.1.5. Desa di Timur Merapi


Sebuah desa yang terletak di timur Merapi menjadi latar tempat
gambaran terjadinya hegemoni negara. Di desa ini bentuk perlawanan
masyarakat desa bersama Rahayu, Amir, dan Kyai Hasbi
mempertahankan hak warga desa atas tanah mereka sendiri yang ingin
digusur untuk dijadikan waduh oleh pemerintah tergambarkan. Di desa
ini pula tergambar dengan jelas bentuk hegemoni masyarakat politik
secara represif. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Pak Kyai bercerita tentang satu desa di sebelah timur Merapi sana.
Orang-orang disuruh meninggalkan tempat yang telah didiaminya
turun-temurun. Desa itu akan menjadi kolam raksasa yang penuh berisi
air.” (Entrok, 2010: 216)
“Tentara-tentara itu datang…Tak ada yang beranjak. Semua
orang berdiri mematung dan mengacungkan tulisan “Jangan
Ambil Tanah Kami”
“…Tentara-tentara bergerak ke semua rumah. Menggebuk
semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Mereka tetap
bertahan lalu menyerang. Gebukan, pukulan, teriakan, juga
tembakan.” (Entrok, 2010: 254)
3.2. Latar Waktu
Penggunaan latar waktu dalam novel Entrok berkisar antara tahun 1950-1999.
Latar waktu yang terdapat dalam novel ini jelas menggambarkan kondisi
masyarakat pada masa Orde Baru yang penuh dengan tindakan hegemoni
negara di dalamnya. Beberapa penggambaran waktu yang diambil penulis
adalah yang berkitan adanya praktik hegemoni negara saat itu.
3.2.1. Tahun 1975
21
Pada tahun ini digambarkan bahwa aparat negara dalam hal ini petugas
yang bertugas menjaga desa Singget mulai sering datang ke rumah
Marni untuk meminta uang keamanan. Hal ini dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini:
“Beres. Silahkan sampeyan terus cari rezeki. Tapi mulai
sekarang, setiap empat belas hari, sediakan jatah duit
keamanan. Nanti aku atau anak buahkku yang ambil ke sana.
Mengerti?” (Entrok, 2010: 77)
3.2.2. Tahun 1977
Pada tahun ini mulai digambarkan dominasi partai politik dalam
memenangkan pemilu. Pada tahun ini diceritakan menjadi pemilu
kedua dimana di desa Singget para warganya dituntut untuk memilih
partai dengan lambang tertentu dan apabila tidak memilih sesuai yang
diperintahan maka mereka akan di cap PKI. Hal ini dibuktikan melalui
kutipan di bawah ini:
“Tapi itu bukan partai kami. Bukan partai yang wajib dicoblos
orang-orang di Singget. Karena kami orang-orang negara,
orang-orang yang mendukung pemerintah. Kami semua orang-
orang partai kuning. Mencoblos gambar beringin.” (Entrok,
2010: 78)
3.2.3. Tahun 1982
Pada tahun ini digambarkan hegemoni yang dialami oleh Marni
semakin nyata. Digambarkan bahwa pada tahun ini Marni yang
semakin berada juga semakin diperas oleh masyarakat politik bahkan
masyarakat sipil. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Rezekiku juga kubagi-bagi untuk tentara-tentara itu, setoran buat RT
dan Kelurahan, sampai setoran untuk Partai.” (Entrok, 2010: 101)
Selain itu, pada tahun ini juga tergambar hegemoni masyarakat politik
terhadap para kaum Tionghoa dan pemeluk agama Hindu. Hal tersebut
digambarkan melalui kedatangan para tentara ke toko Koh Cahyadi
dengan tujuan memberi peringatan kepada Koh Cahyadi agar tidak ke
kelenteng lagi setelah tentara-tentara itu mengetahui bahwa Koh
Cahyadi secara diam-diam pergi ke kelenteng. Hal ini dibuktikan
dengan kutipan di bawah ini:
22
“Itu lho, Yu Marni, kasihan si Koh Cahyadi. Ada yang lapor ke
tentara, kalau dia suka ke kelenteng.”
“Sejak goro-goro PKI, orang tidak boleh lagi ke kelenteng.
Kelenteng-kelenteng ditutup.” (Entrok, 2010: 108)

3.2.4. Tahun 1983


Tahun ini merupakan latar waktu terjadinya banyak peristiwa orang
hilang secara misterius bahkan banyak ditemukan mayat-mayat di
berbagai tempat. Diketahui bahwa orang-orang yang dibunuh tersebut
adalah orang-orang yang telah mengganggu keamanan negara, seperti
pencopet, dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah
ini:
Aku bercerita tentang kematian Mali dan orang pasar itu. Dia
terkejut dan sepertinya agak marah.
“Di sana juga banyak yang mati. Mayar dimana-mana. Di
pasar, di jalan, di lapangan. Semua orang ketakutan.” (Entrok,
2010: 131)
3.2.5. Tahun 1985
Tahun ini menjadi latar waktu terjadinya pengeboman Candi
Borobudur dan penggambaran kekerasan masyarakat politik terhadap
rakyat biasa semakin tergambarkan. Hal ini dibuktikan dengan kutipan
di bawah ini:
“Di sinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang
menjadi simbol kebanggaan itu…mahakarya yang tercipta
ratusan tahun yyang lalu itu takluk dalam hitungan menit pada
karya cipta manusia modern yang memang dibuat untuk
merusak: bom.” (Entrok, 2010: 138)
“Kami hanya meminta empat orang yang semena-mena pada
enam tukang becak di Sungai Manggis segera dipecat. Sayang,
teman-teman Mehong menolak untuk ikut bergabung.
Kematian Mehong telah memberi mereka peringatan untuk
tidak lagi berurusan dengan tentara.” (Entrok, 2010: 160)

3.2.6. Tahun 1987


23
Pada tahun ini merupakan penggambaran waktu terjadinya perlawanan
desa yang berada di timur Merapi bersama dengan Rahayu, Amir, dan
Kyai Hasbi dalam mempertahankan tanah milik mereka yang akan
dijadikan waduk. Bentuk hegemoni negara terhadap rakyat kecil
sungguh semakin nyata dengan tindakan represinya. Para warga desa
dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses perlawanan itu dipukul
bahkan sampai dibunu oleh para tentara-tentara tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
“Mun, sekarang semuanya terserah owe. Yang jelas, minggu
depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk
akan mengangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati
tertimbun tanah sendiri. Tapi hari itu seluruh pasukan akan ada
di daerah ini. kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup
masuk penjara bersama-sama orang PKI itu. Kalian semua
sudah jadi PKI.” (Entrok, 2020: 226)
3.2.7. Tahun 1990
Tahun ini menggambarkan tahun dimana semuanya telah maju dan
modern. Pada tahun ini juga digambarkan kondisi keuangan Marni
yang semakin susah karena kemajuan yang semakin pesat. Ia juga
harus kehilangan harta kekayaannya untuk menebus Marni agar bisa
dibebaskan dari penjara. Isu PKI pada tahun ini juga masih dapat
tergambar. Hal tersebut terlihat dari kisah tentang Rahayu yang akan
dinikahkan dengan seorang pria. Namun, pernikahan tersebut gagal
dikarenakan pria tersebut tahu bahwa Rahayu telah di cap PKI karena
melawan negara. Selanjutnya, dikisahkan pada tahun ini pula Marni
kemudian mengalami sakit jiwa akibat permasalahan-permasalahan
yang menimpanya di tahun itu. Hal ini dubuktikan dengan kutipan di
bawah ini:
“Tahun-tahun belakangan ini, uang semakin susah dicari. Tebu
yang biasanya menjadi pengharapan sekarang harganya sama
saja dengan harga ketela…” (Entrok, 2010: 256)
“Lha ya sampeyan. Wong jelas-jelas punya anak PKI kok tidak
bilang. Jangan-jangan anakku mau dijadikan tumbal pesugihan,
ya to?” (Entrok, 2010: 281)
24
3.3. Latar Sosial
Latar sosial yang terdapat dalam novel Entrok dijabarkan sebagai berikut:
3.3.1. Aspek sosial yang terdapat dalam novel ini digambarkan melalui
kehidupan masyarakat di desa Singget, dan juga masyarakat yang
bekerja menjadi pedagang maupun buruh di Pasar Ngranget. Hal ini
dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:

“Kuperhatikan kesibukan pedagang. Ada yang membungkus


dagangannya, lalu membawa sisa dagangannya meninggalkan
pasar. Mereka, pulang ke rumah, tidur, dan berangkat ke sini
lagi saat mendengar kokok ayam pertama kali. Pedagang lain
memilih menutup sisa dagangannya dengan kain lalu
mengikatnya. Mereka pulang ke rumah tanpa membawa siswa
dagangan itu, melainkan meninggalkannya di pasar. Besok, saat
kehidupan kembali dimulai, mereka tinggal mengangkat
kainnya dan menunggu pembeli datang.”

“Dari mereka aku mendengar berbagai cerita tentang orang-


orang di seluruh Desa Singget. Kadang-kadang mereka sekedar
bercerita tentang kejelekan orang lain, tapi juga kejelekan
mereka sendiri.”

3.3.2. Ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.


Hal ini tergambar melalui sistem upah yang terjadi saat itu, dimana
buruh wanita saat itu hanya diupahi bahan makanan, sedangkan buruh
laki-laki diupahi uang. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan
bahan makanan. Beda dengan laki-laki yang diupahi dengan
uang.”

3.3.3. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.


Hal ini digambarkan dengan bagaimana saat itu aparat pemerintahan
menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan kepada
25
masyarakat yang tidak patuh dan juga memeras uang kepada
masyarakat yang berduit dengan dalih untuk menjaga keamanan. Hal
ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:

“Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang


seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam
dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan
senapannya. Orang-orang yang selalu benar karena bekerja
untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan
mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang
tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus
tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang
terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang
lain.” (Entrok, 2010: 182)
4. Alur dan Pengaluran
Alur cerita dalam novel ini adalah alur maju mundur. Hal ini digambarkan
diawal cerita mengenai Rahayu yang merawat Ibunya yang sudah kehilangan jiwa
atau dikatakan gila karena peristiwa yang menimpa dirinya dan Rahayu saat
dahulu, serta usaha Rahayu menunggu selama ima tahun agar ia memiliki KTP
yang tidak bertanda PKI. Kemudian, pada bab-bab selanjutnya diceritakan
kembali perjalanan hidup Marni mencari uang untuk menghidupi keluarganya
secara layak, walaupun Marni harus berhadapan dengan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan pemerintah saat itu. Dikisahkan juga perjalanan hidup
Rahayu, dan juga perjuangan Rahayu membantu warga desa mempertahankan
tanah tempat mereka tinggal yang akan digarap untuk pembangunan waduk.
Dimana pada akhirnya Rahayu dimasukkan ke dalam penjara, dan di dalam
penjara itu pula Rahayu diperkosa. Kemudian, Rahayu keluar dan mendapatkan
KTP yang bertanda PKI.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang terdapat dalam novel adalah sudut pandang orang pertama
“Aku” sebagai pelaku dan tokoh utama. Sudut pandang ini tidak hanya dari satu
tokoh saja, melainkan sudut pandang dari dua tokoh, yaitu Marni dan Rahayu. Hal
ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:
26
“Aku tak pernah lagi berdoa di bawah pohon asam saat tengah malam.
Aku juga selalu menolak makan panggang dan tumpeng yang dibuat
untuk selamatan. Ibu tak pernah lagi membangunkanku saat tengah
malam. Aku tahu Ibu marah, tapi kami tak pernah membicarakannya.”

“Selama bertahun-tahun setiap hari aku menghindari omongan seperti


ini. Hanya supaya tak ada pertengkaran anara aku dan anakku satu-
satunya ini. tapi sekarang dia malah terang-terangan membuat hatiku
sakit. Justru di saat aku begitu membanggakannya.”

B. Hegemoni Negara dalam Novel Entrok


Pembahasan mengenai hegemoni yang terkandung dalam novel Entrok
difokuskan terhadap bentuk hegemoni negara. Hal ini dikarenakan intesitas
kemunculan yang cukup tinggi mengenai hegemoni negara yang di dalamnya terdiri
dari masyarakat politik dan masyarakat sipil yang. Oleh karena itu, bentuk
pembahasan mengenai hegemoni negara difokuskan kepada hegemoni yang dilakukan
oleh masyarakat politik. Dikarenakan intensitas hegemoni oleh masyarakat politik
dalam novel Entrok lebih banyak.

1. Hegemoni Negara dalam Masyarakat Politik


Masyarakat politik merupakan wilayah dunia kekerasaan, pemaksaan, dan
intervensi yang dilakukan aparat-aparat penguasa (Faruk, 2003 : 77). Dapat
diartikan sebagai wilayah pembentukan kepemimpinan dalam masyarakat sipil.
Berikut bentuk-bentuk hegemoni negara yang dilakukan oleh masyarakat politik:
1.1. Memberi Ancaman terhadap bawahan
Ancaman yang dilakukan oleh masyarakat politik dalam hal ini
digambarkan melalui tokoh Komandan Sumadi dan para tentara-tentara
lainnya. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini
bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata
Sumadi dengan keras.

27
Sumadi menggebrak meja, “Kalian akan tahu akibatnya. Aku tunggu
kalian datang kepadaku, memohon-mohon minta keamanan,” kata
Sumadi. (Entrok, 2010: 71)
“Mun, sekarang semuanya terserah owe. Yang jelas, minggu depan ini
giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan mengangkat
tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Tapi
hari itu seluruh pasukan akan ada di daerah ini. kalian semua akan
tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama-sama orang PKI
itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (Entrok, 2020: 226)

Dari kutipan-kutipan di atas tergambar jelas bahwa para tentara


sebagai masyarakat politik menggunakan kekuasaannya untuk melakukan
persetujuan dengan masyarakat yang jelas kelas sosial berada di bawah
mereka. Persetujuan yang ingin dicapai tersebut dilakukan dengan bentuk
ancaman.

1.2. Pasrah terhadap penguasa


Hegemoni yang dilakukan oleh masyaraat politik pada dasarnya
menjadikan masyarakat secara sadar atau tidak menaati hal-hal yang
secara logika bertentangan, tetapi tetap dilakukannya dengan pasrah
didasarkan atas pandangan mengenai masyarakat politik yang memiliki
kekuasaan dan memiliki tujuan untuk menjaga masyarakatnya. Hal ini
dapat dibuktikan melalui penggambaran Marni yang selalu pasrah apabila
diminta memberikan sumbangan kepada para masyarakat politik tersebut.
dan juga beberapa tokoh lain yang berurusan dengan para masyarakat
politik memilih untuk pasrah dan menuruti kemauan para penguasa
tersebut. hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Amri sepertinya tahu maksud tentara itu. Dia memilih menurutinya.
Dikeluarkannya dompet, lalu diserahkannya lima lembar uang sepuluh
ribuan. Tentara itu menerima. Dikembalikannya KTP kami.” (Entrok,
2010: 145)
“Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti
ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya.
Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-
orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang

28
selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun
mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan,
yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka.
Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan
segala hujatan orang lain.” (Entrok, 2010: 182)

1.3. Mengatur Strategi Menyingkirkan Penentang


Dalam menjalankan kekuasaannya sebagai masyarakat politik,
terkadang terdapat beberapa pihak yang telah memiliki kesadaran akan
ketidakadilan yang telah mereka lakukan. Hal ini kemudian memunculkan
pihak-pihak yang berusaha untuk melawan dan menegakkan keadilan
terhadap penggunaan kekuasaan atau hegemoni masyarakat politik yang
semena-mena. Hal ini kemudian menjadikan para masyarakat politik
tersebut mencari cara untuk menyingkirkan para penentang tersebut.
caranya bisa berupa kekerasan, ancaman maupun imbalan atau
persetujuan. Hal ini dibuktikan melalui kutipan di bawah ini:
“Mun, sekarang semuanya terserah owe. Yang jelas, minggu depan ini
giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan mengangkat
tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Tapi hari
itu seluruh pasukan akan ada di daerah ini. kalian semua akan
tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama-sama orang PKI itu.
Kalian semua sudah jadi PKI.” (Entrok, 2020: 226)
“…Tentara-tentara bergerak ke semua rumah. Menggebuk semua
orang yang berdiri di depan rumahnya. Mereka tetap bertahan lalu
menyerang. Gebukan, pukulan, teriakan, juga tembakan.” (Entrok,
2010: 254)

1.4. Mencari Dukungan Menyingkirkan Penentang


Dengan adanya kelompok para penentang, membuat masyarakat politik
biasanya mencari cara agar mendapat persetujuan dari para penentang
tersebut dengan cara kekerasan maupun tindakan tanpa kekerasan.
Tindakan yang diambil dengan tanpa kekerasan adalah dengan mencari
dukungan pihak lain yang biasanya bersama dengan kelompok penentang
tersebut agar bisa membujuk kelompok penentang menjadi mendukung
29
masyarakat politik. Hal ini tergambar dalam novel Entrok dimana Kyai
Hasbi berhasil dibujuk oleh para masyarakat politik untuk menghegemoni
warga desa agar mau untuk dipindahkan. Hal ini dibuktikan melalui
kutipan di bawah ini:
“Bupati menyuruh kita pergi sehari sebelum alat-alat keruk itu datang.
Dia tidak mau ada berita pembunuhan manusia besar-besaran. Kalau
tidak…pondok kita akan ditutup.”
“Aku tidak mau, Yu. Tapi tidak ada pilihan” (Entrok, 2010: 248)

30
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai analisis berkaitan dengan struktur novel Entrok dan
hegemoni negara yang terdapat dalam novel Entrok. Penulis dapat melakukan kesimpulan
sebagai berikut:

1. Analisis struktural karya sastra dalam fiksi dapat dilakukan dengan menidentifikasi,
mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan struktur intrinsik fiksi yang
bersangkutan. Unsur intrinsik fiksi sendiri terdiri atas tema, tokoh dan ppenokohan,
latar, alur, sudut pandang, dan amanat. Berdasarkan analisis menganai struktur novel
dalam novel Entrok maka dapat dijelaskan bahwa tema mayor dalam novel Entrok
adalah feminisme, sedangkan tema minornya adalah hegemoni negara dan
kepercayaan. Tokoh utama dalam novel ini adalah Marni dan Rahayu, sedangkan
tokoh tambahannya adalah Teja, Sumadi, Koh Cahyadi, Amri, dan Kyai Hasbi.
2. Hegemoni negara yang terdapat dalam novel Entrok dijabarkan ke dalam empat
bentuk, yaitu memberi ancaman terhadap bawahan, pasrah terhadap penguasa,
mengatur stratergi menyingkirkan penentang dan mencari dukungan menyingkirkan
penentang.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bocock, Robert. 2007. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Najid, Moh. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. University Press.
Nurhadi. 2004. Analisis hegemoni Gramsci pada Iblis tidak pernah mati Karya Seno Gumira
Ajidarma. Litera. FBS UNY, (25), 1-12. Tersedia: http://ilib.ugm.ac.id.pdf. Diakses tanggal 6
Juni 2021
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta: Angkasa Raya.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar.
Sudjiman, P. memahami cerita rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakop dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Hendry Guntur. 1991. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra . Bandung: Angkasa.

32

Anda mungkin juga menyukai