Anda di halaman 1dari 14

Available online at

http://journal2.um.ac.id/index.php/jbs
P-ISSN: 0854-8277, E-ISSN: 2550-0635

Vol(Issue) (Year) page–page

Mettanarative In Novel Of Orang-Orang Oetimu By Felix K


Nesi: Exploration Jean Francois Lyotard Studies
Bentuk Metanarasi dalam Novel Orang-Orang Oetimu Karya
Felix K Nesi: Eksplorasi Kajian Jean Francois Lyotard
Muhammad Afnani Alifian a * , Ari Ambarwati b , Third Author c
a
First affiliation, Indonesia
b
Second affiliation, Indonesia
c
Third affiliation, Country
Submitted: Accepted: Published:

KEYWORDS ABSTRACT
Keyword_1, An abstract is a brief, comprehensive summary of the contents of the article; it allows readers to survey the
Keyword_2, contents of an article quickly and, like a title, it enables persons interested in the document to retrieve it
Keyword_3, from abstracting and indexing databases. Type the abstract here (9pt). Abstract, which comprised of
Keyword_4, approximately 150-250 words, provides a brief description of problems, aims, the method used, and
Keyword_5, results. It emphasizes research results in which written in single line spacing. 3 to 5 keywords must be
written to describe the research scope observed, as well as the main terms undergirding the research. These
keywords can be single and/or combined words (phrases).

KATA ABSTRAK
KUNCI
Kata Kunci_1, Novel Orang-Orang Oetimu merupakan novel yang sudah banyak dikaji. Namun tidak ada yang
Kata Kunci_2, membicarakan makna teks tersebut sebagai metanarasi dari narasi besar. Melalui alur, tokoh, dan cerita
Kata Kunci_3, yang dibangun, Felix K Nesi membuat dobrakan pada universalitas narasi. Penelitian ini berfokus pada
Kata Kunci_4, metanarasi yang terdapat pada Novel Orang-Orang Oetimu. Pendekatan yang digunakan kualitatif, dengan
Kata Kunci_5, pembacaan deskriptif. Teori yang untuk deskripsi metanarasi menggunakan pemahaman dari dari Jean
Francois Lyotard. Hasil dari penelitian menemukan tiga jenis metanarasi dalam novel. Pertama,
metanarasi humanisme, penulis melakukan kritik pada ideologi humanisme dalam bentuk campur tangan
Indonesia pada proses dekolonialisasi Portugal. Kedua, metanarasi sosialisme, Felix K Nesi mendobrak
narasi besar yang dibawa kaum sosialisme Marx. Ketiga, metanarasi religius, kritik pada kemapanan
doktrin agama yang memiliki makna penderitaan, kesewang-wenangan dari gereja, dan sisi buruk pemuka
agama.
APA 7th Citation:
Please do not write anything here. It will be filled by the editorial team after the acceptance.
Name, N. (Year). Title. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, Vol(Issue), page-page
DOI: dx.doi.org/10.17977/umxxxxxxxxxxxxxxx

*
Corresponding author name:
E-mail address: author@institution.xxx
2 Author name(s), Short Title

Introduction

Introduce the problem


Persentuhan penulis dengan lingkungan, manusia dan alam, dapat mempengaruhi gaya dan
pilihan dalam menulis karya sastra. Novel sebagai bagian dari karya sastra yang berbentuk prosa
dapat digunakan penulisnya untuk memaknai sejauh mana manusia, alam dan berbagai fenomena
di sekitar.  Representasi dan konstruksi dalam novel, diwarnai oleh kecenderungan penulisnya.
Melalui karyanya penulis dapat terlihat sisi kecenderungannya. Baik itu, penulis berkonsentrasi
pada struktur internal dan universalitas makna atau lebih berkepentingan mengusung seruan bahkan
perlawanan terhadap entitas di luar universalitas. 
Novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K Nesi merepresentasikan sebagai karya seni yang
tidak yang menyalurkan kritik terhadap budaya, sosial dan sosial. Novel tersebut mengendapkan
makna yang spesifik, terlepas dari universalitas makna dan pandangan umum. Felix K Nesi
berhasil keluar dari makna universal.
Para sastrawan yang memiliki daya kritis mulai melihat kepentingan tersembunyi yang jarang
menjadi perhatian dalam teks sejarah pada umumnya (Fajar, 2017, p. 191). Gambaran peristiwa
dalam Orang-Orang Oetimu merupakan masalah kemasyarakatan yang dibicakan oleh kaum
postmodern, yang berupa perlakuan sewenang-wenang disertai kekerasan dan menimbulkan
penderitaan manusia. Jika berbicara sejarah banyak yang menuliskan bahwa sejarah hanya ditulis
oleh orang-orang yang menang. Tetapi tidak banyak yang mampu membaca sisi lain dari sejarah
itu sendiri. Kajian terhadap pendapat kaum minoritas dalam rekonstruksi sejarah terkadang abai,
akibat tertutupi makna universal. Dobrakan pada universalitas ini akan menyisir sisi lain dengan
pemaknaan yang lebih mendalam.
Pandangan postmodernisme yang merupakan titik balik dari modernisme muncul karena
menentang pendapat dari modernisme yang mereka anggap memiliki kelemahan. Namun, bukan
berarti bahwa postmodernisme terlepas dari adanya kelemahan. Pemahaman postmodernisme
menunjukkan sisi lelah dan bosan akan narasi era modern. Kaum postmodernisme beralasan bahwa
narasi itu bisa mengarahkan pemahaman pada marginalisasi cerita-cerita kecil baik dari kehidupan
yang nyata di kehidupan sehari-hari maupun secara tradisi, kepercayaan masyarakat dan komunitas
setempat (Maksum, 2016, p. 352).
Postmodernisme merupakan kebalikan atau antitesis dari paham modernisme. Metanarasi
merupakan pemahaman postmodernisme yang ingin menghilangkan pendasaran umum dan ingin
melihat kembali narasi-narasi yang tidak tersentuh atau cerita kecil.
Munculnya postmodernisme berkaitan dengan situasi sejarah dan realitas sosial budaya sejak
Dunia Perang II. Budaya yang secara radikal sudah mengubah persepsi masyarakat pada
kehidupan, makna, realitas, dunia dan bahkan literatur. Beberapa hal tersebut mengubah bahkan
merusak metanarasi, atau kebenaran yang lebih detail. Oleh sebab itu, meminjam pendapat Jean-
François Lyotard, Filsuf Prancis sekaligus ahli teori sastra, menyebut metanarasi sebagai upaya
untuk penjelasan dan pemahaman dunia yang akurat secara komprehensif melalui interpretasi
berbagai peristiwa sejarah, sosial dan budaya, pengetahuan dan pengalaman manusia, filosofis, dan
totalitas historis di mana setiap fakta dan detail secara hati-hati dan dijelaskan secara logis untuk
kebenaran universal yang sah.
Lyotard (dalam Güneş, 2018, p. 216) dalam pandangannya juga menolak totalitas makna
universal, tetapi menyukai pengetahuan. Dia berpendapat jika di dalam makna lokal banyak suara,
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 3

keterbukaan, kontradiksi diri, ketidakjelasan dan ketidakrelevanan dalam pandangan postmodern.


Menurut Lyotard (dalam Ratna, 2013, p. 285) narasi menjadi buruk jika dikaitkan dengan
kepentingan politik atau agama sehingga mengorbankan kepentingan dari kaum minoritas.
Pernyataan Lyotard (dalam Pandeeswari et al., 2022, p. 18) bahwa narasi besar buruk, sedangkan
narasi kecil baik, demikian
Dalam pandangan metanarasi tidak ada penalaran universal, yang ada adalah bermacam-macam
penalaran. Menguniversalkan pengetahuan berarti mendemoralisasi ilmuwan dan peneliti, oleh
sebab itu status ilmu pengetahuan harus dievaluasi. Pengesahan-pengesahan baku hanya mengarak
masyarakat pada hilangnya kemampuan untuk melakukan perubahan. Misalnya saja, ilmu
pengetahuan yang hanya mementingkan eksperimen tanpa sadar akan dampak negatif terhadap
masyarakat, doktrin-doktrin agama yang tidak mengatasi masalah masyarakat, tetapi sebaliknya
menimbulkan persoalan baru.
Dari pandangan dari Lyotard tersebut dapat dipahami bahwa kajian kaum metanaratif ditujukan
untuk mengkritisi narasi-narasi besar dalam wilayah peradaban manusia, terutama dalam peradaban
modernisme. Narasi-narasi di balik pencapaian mitos jaman dibongkar atau bahkan ditumbangkan.
Tatanan ideologis dalam berbagai bidang, gender, sosial budaya, seni, dan pengetahuan terus
menerus didekonstruksi. Ciri utama kajian metanarasi itu sendiri adalah mendekonstruksi narasi-
narasi besar.
Prosedur yang digunakan dalam kajian-kajian metanarasi (metanarrative) adalah “differend”
(perbedaan) dan fragmentasi (Ratna, 2013, p. 287). Ratna menjelaskan definisi differend yang
dimaksud oleh Lyotard serupa dengan yang dijelaskan “Difference“ menurut pandangan Derrida.
Difference adalah keberagaman, kemajemukan, atau pluralitas. Pemaknaan terhadap teks masih
berhubungan dengan unsur-unsur kebahasaan. Prosedur tersebut didasarkan pada beberapa alasan
bahwa (1) Fakta merupakan narasi; (2) Bentuk narasi – tidak seperti pengetahuan - cocok untuk
berbagai macam permainan bahasa; (3) peran narator; peran narator dibedakan berdasarkan
kategori usia, jenis kelamin, keluarga, atau kelompok profesional; (4) Bentuk narasi berefek pada
irama dan waktu.
Sebuah teks (wacana) selalu dipenuhi dengan tanda-tanda; dan tanda-tanda itu memiliki wajah
ganda Derrida (dalam Kurniawati, 2018, p. 58). Dalam pengungkapan atas makna, pembaca
mestinya selalu memberi curiga pada tendensi-tendensi di balik teks. Oleh sebab itu, dalam
mengungkap makna teks perlu adanya pembacaan khusus yang disebut dengan pembacaan
dekonstruktif.
Kata dekonstruktif di sini diartikan sebagai “analisis”, artinya pembaca perlu mengurai struktur
dan medan pemaknaan dalam teks, karena teks selalu berpeluang memberikan kejutan-kejutan pada
pembaca Derrida dalam (dalam Kurniawati, 2018, p. 69). Konsep itu oleh menurut Lyotard
dimaknai sebagai manifestasi rezim frase dan genre wacana, dan setiap wacana akan mendapait
aturan tersendiri, mewakili semesta masing-masing sehingga tidak dimungkinkan terjadinya
semesta tunggal. Dalam analisis semacam itu, yang diperlukan oleh pembaca adalah ‘peka’ pada
logika permainan bahasa.
Differend/Difference merupakan strategi permainan yang ditawarkan oleh Lyotard dan Derrida
bertujuan untuk mengusik stabilitas teks dan mencairkan makna tunggal yang terbentuk melalui
oposisi atau hierarki yang dibangun oleh teks. Derrida dan Lyotard mengusik linieritas makna
tunggal. Melalu hal itu, yang diperlukan oleh pembaca adalah peka pada logika permainan bahasa
untuk mengungkap “the other” dari sebuah balik teks. Teks menurut Derrida (2005:82) memiliki
4 Author name(s), Short Title

struktur telos yang terbuka; Tak ada satu kekuatan pun yang dapat menghentikan penafsiran-
penafsiran baru. Makna yang diperoleh bukan makna final, karena semua makna selalu bersifat
sementara.
Metanarasi sebagai kajian postmodernisme yang berfokus pada kontra naratif pada narasi besar.
Kajian metanarasi sendiri masuk pada ranah kajian postmodernimse. Posmodernisme mulanya
merupakan gerakan kultural yang berkembang seiring dengan terbitnya buku Jean Francois
Lyotard The Postmodern Condition (1979) dan The Differend: Phrases in Dispute (1984). Lyotard
tidak menyetujui tatanan konstruk-konstruk kebudayaan yang dilegitimasi oleh para modernis yang
berciri uniformitas, homogenitas, dan totalisasi. Dia menyebut tatanantatanan tersebut sebagai
narasi-narasi besar (metanarasi) sehingga teorinya disebut sebagai teori metanaratif Hutcheon
(dalam Ratna, 2012, p. 154). Lyotard dengan teori metanaratifnya berusaha mendekonstruksi atau
membongkar metanarasi, sebaliknya dalam pemahannya itu juga memberikan intensitas pada
perbedaan-perbedaan, relativitas, dan pluralitas menolak adanya pusat, dan kemutlakan.
Menurut (Pandeeswari et al., 2022, p. 20) posmodernisme menolak manusia yang berkuasa, dan
membela manusia yang tertindas. Menurut kaum posmodern, kesewenang wenangan semacam itu
timbul karena dunia selama ini telah didominasi oleh pandangan-pandangan monosentrisme dan
homologi yang dikembangkan oleh modernisme. Modernisme selalu berusaha memberikan
intensitas yang tinggi pada uniformitas, homogenitas, dan totalitas.
Dengan mencari definisi ontologis, mereka sekaligus memberikan penilaian-penilaian tentang
baik-buruk, tinggi-rendah, umum-tidak umum sehingga muncul dikotomi “pihak yang satu baik,
yang lain buruk”, yang ujung-ujungnya melegitimasi adanya dominasi pihak-pihak tertentu. Alih-
alih menciptakan masyarakat madani seperti yang diinginkan, dominasi semacam itu justru
menciptakan ketidakadilan di segala bidang kehidupan. Fiksi postmodern, hadir bersama
dengan telaah postmodern. Fiksi postmodernisme melakukan perlawanan secara langsung pada
pandangan modernisme. Sehingga fiksi postmodernisme, cenderung keluar dari pandangan
universal, untuk menyuarakan kaum minoritas.
Menurut (Ratna, 2012, p. 123) posmodernisme dalam sastra mengubah pandangan mengenai
ciri-ciri karya sastra. Sastra posmodern memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) fiksi posmodern
ditandai dengan teknik “campur aduk”, yaitu dua dunia yang tidak saling berhubungan, misalnya
antara aspek-aspek tradisional dengan modern, kejadian nyata dan khayal, (2) fiksi posmodern
menolak makna tunggal, menerima makna sementara, dunia seolah-olah kosong, dan akan diisi
terus-menerus oleh pembaca, (3) karya yang mendorong pembaca untuk selalu bertanya-tanya
mengenai eksistensi realitas yang sesungguhnya (4) kalau manusia (tokoh dalam sastra) dalam
modernisme hidup dalam sistem, dalam posmodernisme, manusia dimungkinkan hidup secara lebih
bebas, sebagai destruktur, (5) posmodernisme menolak manusia berkuasa, sebaliknya membela
manusia tertindas.
Novel ini layak disebut sebagai novel postmodernisme karena memuat ciri-ciri tersebut.
Setidaknya secara teknik, dalam Novel Orang-Orang Oetimu, Felix K Nesi mencampur adukkan
berbagai kemungkinan yang tidak mungkin. Misalnya seperti kejadian saat Romo Yosef seorang
pemuka agama yang ternyata memiliki sisi lain sebagai seorang yang pernah melecehkan
perempuan. Selain itu, novel ini memposisikan dirinya berseberangan dengan realitas sejarah.
Narasi didalamnya mendorong pembaca untuk meragukan eksistensi kebeneran sejarah.
Novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K Nesi merupakan novel yang sudah banyak
dikaji dengan pandangan postmodernisme. Salah satu kajian yang cukup penting dilakukan oleh
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 5

Marcelus Ungkang, kajian yang mendekostruksi teks Orang-Orang Oetimu. Namun, para pengkaji
nampaknya belum tertarik untuk melakukan telaah pada makna teks yang keluar dari narasi
universal.
Orang-Orang Oetimu merupakan novel yang menolak narasi universal tentang Pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan dalam proses dekolonialisasi di Timor Timur. Dibalik narasi tentang
pelanggaran hak asasi manusia, ada banyak peristiwa yang keluar dari universalitas (pandangan
umum). Sehingga novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K Nesi dapat dikaji dengan pendekatan
metanarasi. Novel tersebut berusaha menolak narasi besar tentang kebenaran sejarah.
Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini melakukan telaah pemikiran kritis pada metanarasi
kekerasan dalam novel Segala Orang Orang Oetimu. Kajian akan difokuskan pada satu pertanyaan.
Metanarasi apa saja yang tergambar dalam novel? Teori yang digunakan adalah teori metanaratif
yang dikembangkan oleh filsuf asal Perancis Jean Francois Lyotard.
Identitas Buku dan Penulisnya
Felix K. Nesi sendiri sebagai penulis merupakan orang kelahiran Nusa Tenggara Timur, ia
menamatkan kuliahnya di Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang. Buku ini sendiri
sebelum berjudul Orang-orang Oetimu awalnya berjudul Duhai Hujan dan bercerita tentang hujan.
Buku yang akhirnya dirombak ulang oleh Felis karena dirasa terlalu melodramatis.
Sesuai judul bukunya, Orang-orang Oetimu. Di sini Felix tidak membatasi dirinya kepada satu
kondisi latar cerita. Cerita yang dibawakannya berputar di sekeliling tanah Timor. Berawal dari
masa penjajahan hingga orde baru, membuat cakupan latar cerita tempat dan waktu pada buku ini
sangat luas. Sebagai fiksi postmodernisme Felix terampil dalam menceritakan banyak kejadian dan
peristiwa mulanya terlihat seperti tidak berhubungan namun dapat disambungkan dengan plot yang
cerdik.
Novel sebagai karya sastra memang tidak bisa dipandang sebagai teks sejarah premir. Namun
kedua novel ini sudah memenuhi fungsinya untuk yang mengisahkan sejarah lokal. Membeberkan
fakta kondisi masyarakat sebagai konstruk tatanan dalam pengorbitan kisah. Metanarasi sebagai
kajian yang menolak pemahaman universal penting untuk ditelaah. Hal ini tidak terlepas dari
konvensi reduksi sejarah. Sejarah terkadang hanya memuat sisi baik dari sudut pandang.
Sementara, dari karya sastra sebagai teks yang bukan premier, ada kemungkinan untuk keluar dari
universalitas pandangan umum pada pemaknaan sejarah.
Deskripsi Singkat Isi Buku
Novel Orang-Orang Oetimu menggambarkan kondisi era unifikasi (penyatuan) Indonesia
yang terjadi di Timor Timur, secara lebih khusus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, yaitu
Oetimu. Perebutan wilayah Timor Timur di masa Orde Baru sampai Reformasi berdampak nyaris
pada seluruh wilayah di Timor Timur, bahkan wilayah pedalaman.
Dalam proses unifikasi tersebut masyarakat di wilayah Oetimu banyak mengalami
kekerasan. Felix K Nesi keluar dari konvensi pengetahuan umum yang memandang proses
penyatuan Indonesia dengan wilayah Timor Timor sebagai geliat untuk memajukan wilayah itu.
Melalui Orang-Orang Oetimu, penulis mengisahkan tentang masa penjajahan Belanda,
Portugis, dan Jepang, perebutan kekuasaan di wilayah Timor Timur pada September 1975 yang
disebut Operasi Seroja. Operasi ini yaitu pasukan khusus Indonesia di bawah pemerintahan
Soeharto. Peristiwa-peristiwa pemberontakan, perebutan kekuasaan, kefanatikan tiga faksi (UDT,
Apodeti, dan Fretilin), saling menuduh komunis, deklarasi sepihak Fretilin, persekutuan UDT
6 Author name(s), Short Title

dengan Indonesia, penolakan putusan tewasnya lima wartawan asing, swasembada pangan
dan diskriminasi pangan, penangkapan Xanana Gusmão, Pelanggaran HAM yang dilakukan militer
Indonesia terhadap warga lokal Timor Timur yang digambarkan di dalam cerita.
Sepintas novel Orang-Orang Oetimu mungkin mengisahkan tentang Timor-Timor. Namun
di dalam rentetan kisah banyak kritik sinis, dan sindiran kepada banyak hal. Cerita-cerita mesum
seorang Romo yang turt melibatkan gereja. Kontra narasi atas pendapat umum tentang komunis
dan Atheis. Dan kekerasan perilaku militer Indonesia pada masyarakat di Timor Timur. Semua
sindiran itu tidak diungkap dengan narasi eksplisit. Felix memilih untuk menceritakan dengan
kritikan jeli lewat rentetan peristwia yang dialami karakter tokoh dalam buku.
Petikan kisah yang keluar dari universalitas itu salah satunya dilakuakn oleh Sersan Ipi.
Sersan Ipi adalah salah satu polisi yang setia melindungi rakyatnya. Namun dalam keseharian,
Sersan Ipi begitu mudah dan bahkan tergolong gemar memberikan bogem mentah pada siapa
saja. Selain itu, beberapa kejadian metanarasi digambarkan Felix K Nesi pada bagan berikut ini.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif karena memiliki tujuan
mengungkap fenomena dan kontekstual tentang novel yang diteliti. Untuk mengungkap
metanarasi-metanarasi dalam novel Orang-Orang Oetimu, digunakan metode deskriptif. Data
diperoleh dengan teknik penggalian pustaka, dan memanfaatkan sumber-sumber tertulis.
Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, pembacan novel
Orang-Orang Oetimu secara menyeluruh dan mendalam. Kedua, dilakukan pencatatan terhadap
kalimat, frasa, kata yang menggambarkan kritik terhadap metanarasi dalam novel secara cermat
dan teliti. Setelah data diperoleh, data diinterpretasi dengan deskripsi. Selanjutnya untuk langkah
interpretasi data akan dilakukan beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, kutipan dalam novel
Orang Orang Oetimu akan diuraikan secara deskriptif. Kedua, fragmen- fragmen yang sudah
ditemukan, lalu dilakukan interpretasi dengan logika permainan bahasa dan tanda-tandanya akan
diungkap melalui the other atau makna baru yang berbeda dari makna yang sudah ada dan
ditemukan sebelumnya.
Diskusi
Untuk memahami narasi teks yang ada di dalam novel Orang-Orang Oetimu, pembaca
harus masuk pada logika teks itu sendiri dan menjaga jarak pada teks. Logika itu dibangun dari
kata-kata yang digunakan oleh pengarang untuk menarasikan teks. Metanarasi dalam novel
Orang Orang Oetimu sudah bias tampak pada judul. Kata orang orang di Oetimu menjadi narasi
penting untuk dianalisis sebab melalui kata-kata itu, pengarang memfokuskan kisahnya pada
peristiwa yang sangat spesifik di Oetimu.
Namun, dunia dalam Oetimu terdiri dari pecahan peristiwa betebaran dengan
penggambaran yang acak dan cukup serampangan. Melalui tokoh-tokoh dalam peristiwa itu,
tampak tiga gambaran metanarasi, yaitu ingkaran terhadap ideologi humanisme, yang seharusnya
humanis tetapi tidak humanis. Kedua, metanarasi pada ideologi sosialisme dan komunisme, dua
narasi universal yang memiliki konsekuensi pada personal. Ketiga, metanarasi religius, religius
sebagai narasi besar memiliki ingkaran dalam bentuk perlakuan pemuka agama.
Peristiwa itu menggambarkan hubungan antagonis dan asimetris. Tentang peran ideologi
humanis yang berdampak lain pada pengetahuan yang tidak universal, ideologi universal yang
memiliki sisi tersebunyi, dan kemunafikan dibalik religius. Sehingga dalam pembahasan akan
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 7

diuraikan dengan tiga sub judul sebagai berikut, metanarasi humanisme, metanarasi sosialisem
dan komunisme, metanarasi religius.
Metanarasi Humanisme
Humanis adalah sifat bagi seseorang yang memegang ideologi humanisme. Humanis
mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan
asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Namun sebaliknya, melalui
narasi yang dibangun dalam novel ini, humanisme sebagai ideologi tidak lagi berkonsekuensi pada
kehidupan di dunia novel.
Menurut Maslow, (dalam Bahuwa, 2018, p. 112) setiap manusia merupakan satu kepribadian
secara keseluruhan yang integral, khas, dan terorganisasi, yang memiliki eksistensi. Oleh
karenanya, manusia lantas bebas untuk memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan
sendiri nasib atau wujud dari keberadaanya, serta bertanggung jawab pada pilihan dan
keberadaannya itu.
Indonesia sebagai negara yang memiliki lima sila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang
adil dan beradab. Indonesia dalam penerapan bernegara sangat menjunjung tinggi humanisme.
Namun, dalam proses dekolonilisasi atau penjajahan kembali, Felix K Nesi justru menggambarkan
Indonesia sebagai nagara yabg tidak humanis. Proses campur tangan Indonesia atas dekolonialisasi
yang Portugal menyebabkan nilai humanisme tercorong. Dalam novel digambar, akibat dari
campur tangan Indonesia, penduduk di Timor tidak lagai memiliki kuasa atas dirinya sendiri,
bahkan tidak bisa eksis untuk memenuhi tindakan, nasib, maupun bentuk pertanggung jawabannya.
“Timor yang dipaksa untuk mempelajari arti dari bunyi-bunyi aneh yang keluar dari mulutnya,
mulai dari Portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia.” (K Nesi, 2020, p. 39).
Narasi ini disampaikan oleh tokoh Am Siki, seorang tokoh yang kabur dari kejaran Nippon
(Jepang), lalu menemukan sebuah daerah bernama Oetimu. Oetimu masih berada dalam satu
wilayah dari tempat awal Am Siki berada, namuan berbeda jajahan. Timor yang menjadi wilayah
jajahan banyak negara mulai dari Belanda, Portugis, hingga Jepang, dan Indonesia yang konon
akan memberikan kemerdekaan. Justru sebaliknya, justru Timor yang selalu dipaksa mempelajari
bahasa baru. Kutipan tersebut menunjukkan metanarasi dari humanisme pada sebuah daerah yang
terjajah.
Metanarasi terhadap humanisme sebagai kajian yang menyampaikan teorinya tentang kebutuhan
betingkat yang tersusun sebagai berikut: fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan
aktualisasi diri, Maslow (dalam Bahuwa, 2018, p. 116). Namun humanisme tidak terjadi dalam
novel ini. Ketidakhumanisan itu bahkan terjadi sejak dalam pikiran. Humanisme dalam konsep
modernimse berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun, dalam proses dekolonialimse hak asasi
manusia tidak lagi digunakan.
Padahal sebelum humanisme, kebutuhan dasar (fisik) yaitu kebutuhan dasar fisiologis yang
meliputi kebutuhan makanan/minuman, pakaian, istrahat, seks, dan tempat tinggal harus lebih dulu
dipenuhi sebelum beranjak pada pemenuhan kebutuhan psikis (cinta, rasa aman, dan harga diri).
“Pasukan Indonesia telah menguasai perbatasan. Di perbatasna banyak korban berjatuhan,
termasuk lima wartawan Australia, dua diantaramya berkewarganegaran Inggris.” (K Nesi, 2020,
p. 21).
Pasukan Indonesia atau tentara Indonesia sebagai bagian dari warga negara yang berlandaskan
lima sila gagal memahami humanisme. Perlakuan sewenang-wenang, pembantaian, dan
8 Author name(s), Short Title

penembekan merupakan ingkaran dari ideologi humanis. Dalam kondisi dekolonialissasi, hak asasi
manusia harusnya tetap menjadi perhatian. Apalagi cara tidak manusiawi itu dilakukan oleh negara
Indonesia sebagai negara yang memegang nilai-nilai dari humanisme.
Metanarasi Sosialisme
Narasi besar memang diperlukan, dan narasi besar cenderung akan mengarakan pada
ideologi, hal ini yang hendak diwaspadi oleh metanarasi. Karena banyak cerita-cerita besar atau
paham-paham besar justru bias membawa derita umat manusia, misalnya yang terjadi pada
komunisme dan sosialisme di dunia novel.
Paham sosialisme modern menyatakan pertentangan pada perbedaan kelas(Wikandaru & &
Cahyo, 2016, p. 127). Namun, terdapat perbedaan kelas yang terjadi antara antara rakyat biasa
dengan kelas sersan (aparat). Sersan dijadikan sebagai petinggi Negara memiliki kuasa terhadap
lingkungan sekitar, terlebih pada rakyat biasa.
Tugas sersan untuk menjaga keamanan masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan kepada masyarakat luas. Dalam rangka menyelanggarakan tugasnya,
sersan berwenang menerima laporan dan berbagai macam pengaduan dari masyarakat,
melaksanakan pemeriksaan secara khusus pada masyarakat sebagai tindakan atas pencegahan.
Namun, praktik itu acapkali dilakukan dengan sewenang-wenang, bahkan menciptakan perbedaan
kelas di tengah masyarakat. Cara-cara yang digunakan pun melibatkan kekerasan yang berakibat
penderitaaan bagi orang lain.
Seperti yang terdapat dalam Novel Orang-Orang Oetimu Karya Felix K.Nesi yang di
dalamnya menceritakan mengenai kelas sosial sersan dengan masyarakat biasa. Terjadi
ketimpangan kelas sosial sersan dan tantara yang memiliki kuasa akan rakyat biasa.
“Sesungguhnya lebih nyaman jika menonton televisi di pos polisi itu, lantai yang luas
untuk berselonjor, tembok yang licin jika sewaktu-waktu ingin bersandar, dan jika tidak ada orang
yang lebih penting lagi, bolehlah mereka duduk di atas kursi sofa yang empuk, tetapi televisi di pos
poilisi itu hanya dibuka untuk orang-orang penting seperti Martin Kabiti” (K Nesi, 2020, p. 3).
Dalam penggalan kutipan tersebut menjelaskan bahwa aparat kepolisian cukup layak dalam
menjalani kehidupannya. Di pos polisi itu sudah diberikan kenyamanan untuk polisi bekerja
sehariharinya. Bahkan untuk tempat tidur dan ruang makan, ruang tamu pun juga ada. Fasilitas
yang diberikan pemerintah untuk aparat kepolisian yang di tugaskan untuk menjaga masyarakat.
Berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat biasa yang ada dalam novel.
“Martin Kabiti yang merasa lebih terhormat, masuk terlebih dahulu dan duduk di kursi
kerja Sersan Ipi, yaitu kursi dengan balutan busa tebal. yang punya roda di kaki dan bisa
berputar-putar. Dua orang tentara yang lain ikut masuk dan mengambil tempat di kursi sofa yang
terletak di belakang kursi putar itu. Sofa itu besar dan masih bisa menampung tiga manusia lagi,
tetapi tidak ada orang yang merasa cukup pantas untuk duduk berdampingan dengan tentara-
tentara dari tanah Jawa. Sersan Ipi duduk di sisi yang lain, di bangku panjang dari kayu yang
bikin sakit pantat. Di sampingnya berimpitan dua tetua kampung, tiga orang guru kepala, dan dua
orang muda yang jago berkelahi. Meja telah dipinggirkan ke sudut, sehingga di tengah-tengah
ruangan itu, duduk bersila Mas Zainal bersama orang-orang kampung lain yang tidak terlalu
penting, meluber sampai ke halaman. Kepala-kepala nongol dan berimpitan di pintu dan jendela.
(K Nesi, 2020, p. 4).
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 9

Fragmen tersebut menjelaskan mengenai kehidupan orang kampung biasa yang ikut
menonton televisi. Mas Zainal duduk di bawah, sementara para tantara dari tanah Jawa duduk di
atas sofa yang sebenarnya masih cukup untuk tiga orang. Selain itu, sosialisme tidak terjadi dalam
praktik yang dilakukan oleh masyarakat itu. Salah satu yang masuk lebih dulu, atau duduk di
tempat yang lebih tinggi karena memiliki pangkat yang lebih tinggi. Sementara rakyat biasa justru
duduk di tanah. Selain itu, kesewenang-wenangan kaum sosial yang lebih tinggi ditunjukkan
dengan perilaku kekerasan. Para aparat dengan bebas memperlakukan rakyat biasa melalui
kekerasan.
“Jika polisi itu muncul di tengah kampung dengan sepeda motornya, para tukang ojek
dipangkalan itu akan berdoa semoga sedang baik hari polisi itu. Sebab jika tidak, ia akan mencari
kesalahan dan memukul mereka tanpa ampun” (K Nesi, 2020, p. 58).
Polisi memegang kekuasaan tertinggi diantara masyarakat kelas bawah. Dengan berbekal
kekuasaan yang dimilikinya polisi tersebut dengan seenaknya memukuli orang-orang yang tidak
bersalah. Polisi juga memiliki tingkat kenyamanan yang sangat timpang dengan masyarakat biasa.
Fragmen-fragmen di atas menunjukkan metanarasi sosialisme yang menyatakan bahwa
pergulatan utama dan pertama manusia adalah pergulatan untuk memenuhi kebutuhan materialnya
(Faruk, 2015, p. 26). Hubungan-hubungan sosial dibangun dalam proses berkehidupan; Dalam
lingkungan tersebut terdapat dua kelas sosial, yaitu kelas sosial yang menguasai alat produksi dan
kelas sosial yang tidak menguasai alat produksi. Hubungan antar kelas dalam paham Marxis
dicirikan dengan dua hal. Pertama, Kelas sosial yang berkuasa selalu berusaha mempertahankan
kepentingannya. Kedua, dinamika sosial digerakkan oleh antagonisme antar kelas.
Fragmen ini menggambarkan paham Sosialisme Marxis seperti yang dinyatakan oleh
Faruk di atas. Kelas sosial pertama diwakili oleh tokoh sersan Ipi, dan Martin Kabiti sedangkan
kelas sosial kedua diwakili oleh Mas Zainal, dan para rakyat biasa. Hubungan di antara keduanya
menunjukkan adanya antagonism. Kasus ini merupakan salah satu contoh terjadinya praktik
kekuasaan otoriter di masyarakat dan ketidakadilan terhadap pihak yang lemah. Pihak yang kuat
bertindak bebas terhadap pihak lemah.
Seharusnya secara hubungan yang sosialis, sersan Ipi, Martin Kabitin, dan Mas Zainal
memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Setiap masyarakat, termasuk masyarkaat kelas
rendah memiliki hak dan kewajiban yang melekat padanya. Kewajibannya antara lain, memiliki
hak yang bebas, memiliki posisi yang setara. Analisis ini menunjukkan metanrasi manajer
terhadap orang biasa. Dalam fragmen tersebut pengertian pegawai masyarakat biasa dalam
kondisi dekolonialisasi terdistorsi menjadi ‘seseorang tanpa hak hidup’ yang dikuasai oleh kelas
sosial lebih tinggi.
Sejak kemunculan Marx, gagasan sosialisme juga berkembang menjadi ideologi
komunisme (Wikandaru & & Cahyo, 2016, p. 120). Komunisme sebagai aliran sosialis yang lebih
radikal tetap memiliki konsekuensi pada titik ketidakberhasilan. Novel ini memetanarasikan
ideologi komunisme. Komunisme merupakan ideologi yang mendambakan kehidupan masyarakat
independen dari kemelaratan, tanpa kelas sosial, minus kesenjangan pembagian kerja, tanpa
otoritas lembaga yang menjadi alat paksaan dan superioritas antar kelas sosial Adam and
Jessica(dalam Rachmawati, 2020, p. 68). Salah satu seruan paling terkenal dari komunisme yaitu
'dari setiap orang sesuai kemampuan, bagi setiap orang sesuai kebutuhan 'from each in line with
his abilities, to every in line with his needs' Simon, (dalam Rachmawati, 2020, p. 70).
10 Author name(s), Short Title

Paham komunisme justru membawa penderitaan segelintir umat manusia yang mengikuti
alur berpikirnya. Meski memiliki tujuannya segala sesuatu akan jadi milik bersama, tidak ada
kepemilikian secara individu, tetapi paham ini dalam penerapannya menggunakan pemaksaan
bahkan kekerasan. Oleh sebab itu, perlu adanya dekonstruksi cerita besar sehingga tidak
menyeleweng dari misinya besar yang diusungnya (Maksum, 2012, p. 120)
“Julio dan Kapten Gustavo dibawa ke kantor polisi, tetapi tidak dipertemukan dengan
polisi yang terhormat itu. Sebaliknya mereka dimasukkan ke dalam penjara dan diperlakukan
seperti tahanan, disebut komunis dan ditanyai tentang rencana Fretilin dan hal-hal lain yang
sama sekali tidak Julio pahami. Sempat Julio mengelak, tetapi mereka menjadiberang dan mulai
menghajarnya”. (K Nesi, 2020, p. 18).
“dalam dua hari itu ia telah dimaki, dipukili, ditendangi, dan yang paling sering adalah
kepalanya dipegang dan dibenturkan ke meja hingga benjol-benjol.” (K Nesi, 2020, p. 19).
Penyiksaan itu dilakukan kepada Julio dan Gustavo, saat keduanya ditangkap karena
tuduhan komunis. Penderitaan harus dialami oleh para pemegang ideologi komunis lantaran
paham yang berbeda dari suatu negara. Fragmen tersebut membuktikan bahwa paham komunis
tidak sepenuhnya berdampak baik bagi penganutnya.
Melalui fragmen tersebut penganut paham komunis mendapat perlakuan yang tidak baik.
Meskipun paham komunis bagi sebagian negara merupakan ideologi yang dapat mensejaterahkan.
Namun, bagi narasi kecil atau masyarakat kecil, ideologi komunis bermakna penderitaan. Meski
begitu, pada narasi tersebut yang sebenarnya anggota komunis yang adalah Gustavo bukan Julio.
Julio hanya menerima tamu yang datang ke rumahnya pada malam hari itu. Penderitaan
komunisme bukan hanya dialami oleh Gustavo dan Julio. Narasi lain dalam novel ini juga
menjelaskan penderitaan komunisme menyebabkan satu keluarga di bantai.
“Usai eksekusi itu sebuah mobil membawa Laura dan perempuan-perempuan lainnya ke
Hotel Tropical di Lecidere, jauh ke sebelah timur. di situlah penderitaannya dimulai. Ia
diperkosa, diinterogasi, dan disiksa. Ia terus menerus ditanya tentang hubungannya dengan
Unitem, apakah ia pernah ikut membantai rakyat Timor, mengapa ia menjadi komunis, dan hal-
hal lain yang tidak ia pahami”. (K Nesi, 2020, p. 25) .
Dalam penggalan kutipan diatas menceritakan mengenai tokoh Laura yang dianiaya oleh
Tentara karena dicurigai sebagai anggota komunis. Padahal Laura dan beberapa anak perempuan
yang lain tidak tahu apapun mengenai komunis. Laura dan beberapa anak lainnya tidak hanya
disiksa saja melainkan diperkosa juga. laura juga sempat melihat banyak tahanan laki-laki disiksa
dengan kejam dan kerap kali dipaksa untuk memegang payudaranya, dan perempuan
mendapatkan perlakuan yang tidak lebih baik darinya. Laura selalu ditanya apakah dia ikut andil
dalam anggota komunis atau tidak. Jika dia menjawab tidak tahu, para tentara itu akan
mencambuk tubuhnya dengan ikat pinggang, menyundut kulitnya dengan api rokok. Lama
kelamaan ia dan anak-anak yang ditahan tidak menjawab apa-apa, tidak berbicara apa-apa, sebab
apapun yang keluar dari mulutnya adalah sia-sia belaka.
Penganiayaan pada Laura bersumber dari masalah yaitu paham komunisme. Seharusnya
paham ini tidak dipaksakan untuk diterapkan pada semua masyarakat. Karena pada bagian
tertentu komunisme justru membuat penderitaan bagi penganutnya. Seperti yang terjadi pada
keluarga Laura, ayah dan ibunya. Di negara asalnya, Portugal mungkin paham komunisme
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 11

digaungkan sebagai ideologi sebuah bangsa. Namun dalam penerapannya di negara lain
menyebabkan penderitaan bagi yang menganutnya.
Metanarasi Religiusitas
Cerita-cerita besar memang sangat diperlukan, bahkan narasi besar cenderung berakhir
pada bentukan ideologi, namun justru hal itu yang sejatinya patut untuk diwaspadai. Beberapa dari
narasi-narasi besar atau paham besar bisa membawa penderitaan untuk umat manusia, termasuk
ideologi religious yang membawa kesengsaraan dan membelenggu umat manusia.
Oleh sebab itu, perlu adanya dekonstruksi narasi besar sehingga diharapkan tidak
menyeleweng dari misi yang sudah lama dibawa (Maksum, 2016, p. 353). Ideologi perlu
didekonstruksikan, sebab hal itu menyangkal narasi kecil, meyangkal ideologi yang bersifat
mutlak. Padahal bagi postmodernisme sesuatu tidak mutlak, mereka percaya kebenaran bersifat
relatif. Disesuaikan dengan segala aspek penglihatan, bukan hanya terfokus pada sisi tertentu.
Metanarasi religius dalam novel ini bermula dari persinggungan antara Romo Yosef,
seorang pemuka agama dengan Silvy dan Maria. Romo sebagai pemuka agama dalam narasi besar
masyarakat dipandang seseorang yang agung, dekat dengan Tuhan, dan bersandar pada Tuhan.
Namun, Felix K Nesi bermain-bermain dengan narasi besar tersebut dengan mengisahkan tokoh
Romo Yosef yang berlaku tidak senonoh pada dua perempuan, Silvy dan Maria. Religius yang
dibawa Romo Yosef berdampak pada penderitaan tokoh Silvy dan Maria.Ketika Silvy bercinta
dengan Sersan Ipi dia justru mendapati dirinya terlempat ke masa lalu, pada perlakuan seorang
Romo. Romo Yosef merupakan seorang pemuka agama yang terpandang. Namun dalam geliatnya
menyuarakan agamar, Romo Yosef melakukan hal tidak senonoh pada perempuan.
“Silvy menatap wajah lelaki itu. Yang ia temukan adalah ketulusan belaka. Silvy
mengecup dagunya. Lehernya. Dada-nya yang bidang dan berkeringat. Namun ia terbayang
kepada leher Romo Yosef. Dada Romo Yosef. Yang berbulu. Yang berkeringat.” (K Nesi, 2020, p.
89).
Romo Yosef adalah pemuka agama yang banyak dikagumi orang. Dia dipercaya menjadi kepala
suatu paroki padahal usianya masih muda. Masyarakat Timor mayoritas beragama Kristen maupun
Katolik. Pemuka agama gereja menjadi tokoh terhormat bagi masyarakat Timor (Ningsih &
Andalas, 2022, p. 18).
Romo di Timor tidak hanya sekedar menjadi pemuka agama, lebih dari itu Romo juga berperan
dan memiliki ikatan dengan negara. Adanya keterkaitan peran pemuka agama gereja dalam
kenegaraan menjadi suatu kesempatan yang mereka gunakan hal-hal yang diinginkan. Kuasa religi
dan kuasa posisi ini melahirkan sisi lain dari para pemuka agama. Mereka melakukan hal itu
karena mereka menganggap bahwa kekuasaan yang mereka miliki dapat digunakan sebagai
pelindung dari perilaku menyimpang yang telah mereka lakukan.
“Kenyataan bahwa Romo Yosef baru ditahbiskan dua tahun yang lalu membuat beberapa
pastor yang lain takjub dan mempunyai pendapat yang berbeda. Sangat jarang ada seorang pastor
muda dipercaya untuk memimpin satu komunitas pelayanan, baik paroki maupun sekolah.” (K
Nesi, 2020, p. 90).
Namun ternyata dalam prosesnya menjadi kepala di sekolah Santa Helena, banyak perlakuan
Romo Yosef yang menyimpang. Dia menggunakan dalih religisiusitas untuk memukuli anak-anak
kecil yang nakal, atau menghukum mereka dengan pukulan yang tidak manusiawi.
12 Author name(s), Short Title

“Sebuah meja bundar terletak di sisi kiri ruang tamu, tepat di dekat pintu kamar Romo Yosef.
Meja dari kayu jati itu dikelilingi oleh tujuh kursi, juga dari kayu jati. Di situ Romo Yosef sering
meninju atau mencambuk anak-anak yang nakal, sebelum menguraikan dosa mereka dan
menyandingkannya dengan kasih ibu dan kebaikan Tuhan, yang membuat mereka bersimpuh dan
menangis oleh rasa sakit dan rasa bersalah. Karena itu, oleh anak-anak, meja itu dinamai Meja
Ratapan” (K Nesi, 2020, p. 113).
Selain perlakuan pada kenakalan anak, Romo juga melakukan hal tidak senonoh pada
Silvy, yang menyebabkan tokoh ini memiliki pengalaman traumatik. Akibat ingatan dari Romo,
Silvy terlempar pada prosesi itu ketika melakukan percintaan dengan sersan Ipi.
Laki-laki itu menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan cepat dan tidak terkendali. Tidak
sampai dua menit ia jang. Silvy merasakan cairan asing memenuhi kemaluannya, meluber sampai
ke lubang duburnya. "Maria..." didengarnya lagi nama itu. (K Nesi, 2020, p. 124)
Seorang pemuka agama mestinya dapat menjaga amanah sebagai pelayan suci Tuhan
(Siallagan, 2018, p. 53). Namun, pada kenyataannya mereka memanfaatkan kepercayaan yang telah
diberikan masyarakat untuk melakukan hal-hal gelap dengan perempuan. Mereka menganggap
dapat berlindung karena memiliki kuasa agama. Romo melakukan perbuatan tidak senonoh
Bersama Silvy, beberapa tahun sebelumnya sebelum Romo Yosef dipindahkan ke Santa Helena,
dia juga pernah melakukan dengan Maria.
Maria merengkuh leher laki-laki itu dan menekan kukunya dalam-dalam. Laki-laki itu memeluk
pinggang Maria erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya kembali. Dan memang itulah ia
katakan sesudah mereka berciuman. Ia tak ingin melepaskan Maria. Ia ingin melepas jubahnya.
Maria membuang mukanya. "Kita bisa menikah. Seperti dua orang Nazaret itu, kita bisa membuat
Tuhan lahir kembali.” (K Nesi, 2020, p. 133).
Konsekuensi nyata dari metanarasi yang dilakukan Felix K Nesi dalam narasi novelnya adalah
kehilangan rasa percaya masyarakat pada gereja. Hal ini membuat anggapan suci masyarakat
tentang pemuka agama gereja hilang akibat dari sisi kelam yang dilakukan oleh para pemuka
agama gereja tersebut. Pemuka agama gereja di Timor melakukan berbagai kemunafikan yang
tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Selain Romo Yosef, metanarasi digambarkan penulis
novel ini melalui derma kebaikan para penyumbang gereja. Mereka menyumbang gereja demi
modus dan tujuan tertentu bukan demi kemanusiaan.
“Kasihan sekali nasib mereka. Namun baiklah, mari kita sumbangkan sedikit kekayaan untuk
menyelamatkan orang-orang miskin ini. Mari kita menyumbang, agar Tuhan melihat kebaikan hati
kita, dan selalu menambahkan rezeki untuk kita.” (K Nesi, 2020, p. 96).
"Sesudah Dicopet, Muder Teresa dari Timor Menyantuni Anak Pencopet yang Piatu." Kira-kira
begitulah koran menulisnya. Foto Muder Teresa yang sedang memeluk dan memberikan segepok
uang kepada Silvy menjadi sangat viral, dimuat di koran-koran, ditayangkan di TVRI dan
dideskripsikan dengan baik oleh para penyiar radio. Di pemilihan umum berikutnya, Muder
Teresa itu terpilih menjadi anggota legislatif, mengikuti suaminya. (K Nesi, 2020, p. 101).
Religisiusitas digambarkan sebagai asa ataupun keinginan bagi seseorang untuk berserah diri
dengan melakukan kebaikan. Namun yang dilakukan Muder Teresa bukan berdasar pada
kemanusiaan melaikan keinginan untuk mendapat jabatan. Hal itu terlihat dari modus yang
digunakan dia saat memberi bantuan kepada tokoh Silvy.
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 13

Narasi penulis meruntuhkan tembok besar religius beserta semua kebenaranya. Mulai dari
sosok Romo yang mengingkari ajaran gereja lewat kuasa religi, perbuatan baik yang dilakukan
dengan modus tertentu, dan perbuatan semena-mena seorang pemuka agama. Metanarasi dengan
perannya meruntuhkan narasi besar digunakan Felix K Nesi untuk mendobrak kemapanan agama
yang berlatar di Oetimu.
Kesimpulan
Metanarasi dalam novel Orang-Orang Oetimu sebagai cara penulis untuk keluar dari narasi
universal dari ideologi dan pandangan. Ada tiga metanarasi dalam novel ini. Metanarasi
humanisme digunakan pengarang untuk mengungkap sisi tidak humanis dari proses campur tangan
Indonesia pada dekolonialisasi Portugal. Metanarasi sosialisme-komunisme digunakan pengarang
untuk keluar dari universalitas pandangan atas kedua ideologi modernisme tersebut. Di balik narasi
besar sosialisme dan komunisme terdapat pihak yang menderita, mengalami penyiksaan, dan tidak
setara secara kelas. Metanarasi religius sebagai cara pengarang untuk menolak pandangan umum
terhadap kesalehan gereja dan Romo sebagai pemuka agama.

Acknowledgements

References
Bahuwa, R. (2018). An Analysis Of Maslow’s Hierarchy Of Need In The Great Gatsby Novel By
Franciss Scott Fitzgerald’s. Jurnal Bahasa Dan Sastra Inggris, 7(2), 110–119.
Fajar, Y. (2017). Sastra yang Melintasi Batas dan identitas . BasaBasi.
Faruk, H. (2015). Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar.
Güneş, A. (2018). The Deconstruction of “Metanarrative” of Traditional Detective Fiction in Martin
Amis’s Night Train: A Postmodern Reading. Journal of History Culture and Art Research, 7(2),
216. https://doi.org/10.7596/taksad.v7i2.1228
K Nesi, F. (2020). Orang-Orang Oetimu (4th ed.). Marjin Kiri.
Kurniawati, W. (2018). Metanarasi Dalam Novel Metamorfosa Karya Franz Kafka. In Agustus (Vol. 6,
Issue 2).
Maksum, A. (2012). Pengantar Filsatfat (Safa, Aziz). Ar-Ruzz Media.
Maksum, A. (2016). Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Posmodernisme (A. Safa, Ed.). Ar-
Ruzz Media.
Ningsih, D. H. F., & Andalas, E. F. (2022). Dinamika Sosial Masyarakat Timor Timur Era Unifikasi
Dengan Indonesia Dalam Novel Orang-Orang Oetimu Karya Felix K. Nesi. Jurnal Kata, 5(1), 10–
23.
Pandeeswari, D., Hariharasudan, A., Gangalakshmi, C., Madhumitha, P., & Saranya, C. (2022). Linking
Metanarrative: Lexical Content in Preeti Shenoy’s A Hundred Little Flames. World Journal of
English Language, 12(2), 14. https://doi.org/10.5430/wjel.v12n2p14
Rachmawati, F. (2020). Kritik terhadap Konsep Ideologi Komunisme Karl Marx. Jurnal Sosiologi
Agama Indonesia, 1(1), 66–78. https://journal.ar-raniry.ac.id/index.php/jsai
Ratna, N. K. (2012). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada
Umumnya. Pustaka Pelajar.
Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar.
14 Author name(s), Short Title

Siallagan, J. (2018). Penolakan Pascamodernisme Terhadap Metanarasi Dan Dampaknya Terhadap


Penginjilan. TE DEUM (Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan), 8(1), 51–68.
Wikandaru, R., & & Cahyo, B. (2016). Landasan Ontologi Sosialisme. Jurnal Filsafat , 26(1), 112–135.
 

Anda mungkin juga menyukai