Anda di halaman 1dari 14

Nama : Siti Julfiah

NIM : F012202008

TUGAS AKHIR ANALISIS WACANA KRITIS


Resensi Artikel I
Judul : Critical Discourse Analysis of The Short Fiction “Magic” Based on
Norman Fairclough’s Approach
Peneliti : Patricia Natasya Rhea Sudarna dan Christina Atika Yulina
Penerbit : Jurnal JOEPALLT
Jumlah hal. : 11 halaman
Tahun terbit : 2021
ISSN : 2338-3739 (Cetak) 2614-8099 (Online)
E-mail : patriciarhea1@gmail.com
Sumber : https://jurnal.unsur.ac.id/jeopallt/article/view/1758

Peneliti memulai artikelnya dengan membahas ketidakadilan dan ketimpangan


sosial. Di sini, peneliti menganggap isu-isu muncul sebagai hal yang penting menjadi
bahan perhatian. Ketimpangan sosial dideklarasikan oleh masyarakat dengan
berbagai cara. Kebanyakan dari mereka bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap ketimpangan yang terjadi sangat dekat di sekitar kita. Hal ini
juga mendorong penonton untuk membuat gerakan. Di bidang sastra, ada sejumlah
karya sastra yang mengusung ketimpangan sebagai tema utamanya. Terbukti dengan
banyaknya buku, puisi, dan cerita yang mengangkat ketimpangan sebagai temanya.
Banyak dari mereka ditulis puluhan tahun yang lalu, tetapi karena isunya masih ada,
mereka masih relevan hingga sekarang.
Istilah ketidaksetaraan digunakan tidak hanya untuk merujuk pada ketidakadilan
gender atau hak-hak perempuan, tetapi juga untuk menggambarkan perbedaan
antara ras, etnis, dan kelas sosial. Dalam pertidaksamaan, seorang tokoh akan
dianggap berada pada posisi yang lebih rendah dari yang lain. Kemudian, karakter
lain akan dengan mudah mendominasi atau mengatur kelas bawah. Sebuah cerpen
"Magic" karya Katherine Anne Porter menjadi salah satu cerita paling terkenal yang
menampilkan ketidaksetaraan sebagai tema utamanya. Menurut Peneliti, hal ini
menarik untuk ditelaah karena memperlihatkan realitas kehidupan yang erat kaitannya
dengan ketidakadilan dan kekuasaan sosial pada masa itu. Fiksi Porter biasanya
berbicara tentang perempuan yang gagal mencapai identitas yang mereka cari, malah
ironisnya mereka menjadi korban dari ide mereka sendiri atau orang lain.

1
Dalam tulisan ini, cerpen Magic dianalisis menggunakan analisis wacana kritis
Fairclough. Analisis wacana kritis Fairclough menghubungkan aspek sosial dan
linguistik aspek yang ada dalam wacana. Fairclough membagi analisis wacana kritis
menjadi tiga dimensi, yaitu deskripsi linguistik teks bahasa, interpretasi hubungan
antara proses diskursif dan teks, dan penjelasan hubungan antara proses diskursif
dan proses sosial. Oleh karena itu, untuk menganalisis aspek kebahasaan yang
termasuk dalam dimensi pertama, Peneliti juga menggunakan teori penilaian sebagai
pelengkap dimensi analisis tekstual. Selanjutnya, teori linguistik akan mendukung
teori sosial Fairclough.
Fairclough menawarkan empat 'langkah' analisis wacana kritis. Pertama, fokus
pada kesalahan sosial, dalam aspek semiotiknya. Kedua, mengidentifikasi hambatan
untuk mengatasi kesalahan sosial. Ketiga, pertimbangkan apakah tatanan sosial
'membutuhkan' sosial yang salah. Keempat, mengidentifikasi kemungkinan cara
melewati rintangan. Di sisi lain, teori penilaian membagi kalimat menjadi tiga, yaitu
afeksi, penilaian, dan apresiasi. Dalam teori penilaian, diyakini bahwa tata bahasa
adalah sumber makna. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap kesalahan sosial
yang dialami oleh para karakter dalam Magic.
Jurnal ini menganalisis ketimpangan sosial yang mungkin terjadi dalam cerpen
Magic. Sebelum menemukan proses sosial yang mungkin terjadi dalam cerita, analisis
wacana kritis tiga dimensi Fairclough memungkinkan kita untuk melakukan deskripsi
linguistik teks. Pada hasil yang ditampilkan dalam jurnal ini menunjukkan setidaknya
ada tiga hal yang terkait dengan apprasial theory, yaitu affect, judgement, dan
appreciation.
Selanjutnya, teks cerpen Magic ini dianalisis menggunakan metode Fairclough
yang terdiri dari empat langkah. Pertama, yaitu identification of the social wrong.
Cerpen tersebut jelas berbicara tentang seorang pelacur bernama Ninette yang
mengalami ketidakadilan dan kekerasan baik mental maupun fisik oleh
lingkungannya. Madame Blanchard menjadi tokoh utama yang membawa Ninette ke
dalam penderitaannya. Kedua, identification of obstacles to solve the social wrong.
Misalnya, Ninette, seorang pelacur yang mengalami banyak ketidakadilan dalam
hidupnya. Kita tidak dapat dengan mudah membantu Ninette untuk bebas dari
ketidakadilan dalam hidupnya. Itu karena Ninette sendiri 'sengaja' - bahkan jika dia
terpaksa, membuat dirinya terlibat dalam kesalahan sosial itu sendiri karena dia

2
membutuhkan lingkungan yang mendukungnya secara finansial. Ketiga, the social
order ‘needs’ the social wrong.
Dalam cerpen “Magic”, terdapat berbagai ketimpangan sosial. Misalnya, orang
Negro pada waktu itu dianggap sebagai orang dengan kelas rendah dan tidak
berpendidikan. Keempat, the possible ways to solve the obstacles. Perlu diingat
bahwa setiap pekerjaan membutuhkan seseorang yang cakap dalam menjalankan
deskripsi pekerjaan, sehingga pekerjaan apa pun cocok untuk siapa saja yang berasal
dari kelompok dan latar belakang ras apa pun. Pola pikir seperti ini dapat mengurangi
niat pemangku kepentingan dalam memilih pekerja berdasarkan latar belakang ras
mereka. Selain itu, cara yang mungkin dilakukan untuk menyelesaikan ketidakadilan
di dunia prostitusi seperti yang dialami oleh Ninette adalah dengan menciptakan
komunitas pekerja yang bekerja sebagai pelacur seperti Ninette.
Tulisan ini menarik untuk dibaca selain karena bahasa yang digunakan lugas dan
mudah dipahami juga memuat pesan moral bagi pembaca utamanya yang berkaitan
dengan ketimpangan sosial. Kelebihan lainnya adalah jurnal ini sudah tersedia dalam
bentuk PDF dan dapat diakses oleh umum. Bagi pecinta karya-karya klasik Barat,
jurnal ini adalah salah satu sajian yang tidak boleh dilewatkan. Namun, ada beberapa
kekurangan yang terdapat pada jurnal ini. Sebagai sebuah karya ilmiah seluruh sisi
perlu diperhatikan secara seksama. Kesalahan penulisan bukanlah hal yang biasa
dalam penyusunan karya ilmiah. Dalam jurnal ini terdapat berbagai kesalahan dari
segi penulisan. Misalnya, spasi antarbaris yang satu dengan yang lainnya kurang
teratur. Penulis tidak mencantumkan halaman pada kalimat yang dikutip dari cerpen.
Terdapat kesalahan penulisan yang menurut kami ini fatal, misalnya tahun yang
seharusnya 1992 menjadi 1922. Dan terakhir, terdapat kutipan yang tidak
dicantumkan pada daftar pustaka. Walau demikian, jurnal ini secara keseluruhan
masih tetap menarik untuk dibaca. Penulis jurnal ini juga mengatakan bahwa ia adalah
orang pertama yang menggunakan pendekatan AWK Dialectical Approach Fairclough
pada karya-karya Katherine Anne Porter. Dan ini dapat dijadikan rujukan bagi para
peneliti setelahnya.

3
Resensi Artikel II
Judul : Impact of Social Media on Linguistic Cognition of Pakistani Youth:
Application of Dijk’s Socio-Cognitive Approach
Peneliti : Anmol Zahoor1
Dr. Aisha Farid2
Dr. Muhammad Sabboor Hussain3
Jumlah hal. : 10
Penerbit : International Review of Social Sciences
Tahun terbit : 2020
ISSN : 2309-0081
E-mail : anmolzahooorbutt@gmail.com1
aisha.farid@gcwus.edu.pk2
saboor.hussain@gcwus.edu.pk3
Telepon : +9231679727061
+9233354174712
+9233351994403
Sumber : https://academia.edu/45352570

Media sosial adalah platform berbasis komputer yang membuka peluang untuk
berbagi dan membuat segala macam konten melalui situs jejaring sosial di tingkat
global. Social Networking Sites (SNS) adalah kerumunan virtual yang terdiri dari
orang-orang yang dapat membuat profil mereka dan berbagi ide mereka dengan
dunia, khususnya dalam bentuk wacana. SNS paling populer saat ini, di antaranya
ialah Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, dll. Pakistan sebagai negara
berkembang, mencoba untuk berkembang secara teknologi dengan cepat. Anak
mudanya sangat menikmati akses terbuka ke suguhan teknologi ini, terutama platform
media sosial. Tercatat ada 76,8 juta pengguna media sosial di Pakistan pada Januari
2020, sedangkan pengguna media sosial tercatat 37 juta.
Belakangan ini, masyarakat mulai mengalihkan kampanye politiknya dari media
cetak ke media sosial. Media sosial merupakan sumber potensial bagi penyebaran
berita, khususnya dalam bentuk wacana. Wacana ini berurusan dengan masyarakat
dan kognisi. Kognisi dapat didefinisikan sebagai mengetahui dan memperoleh
pengetahuan dan pemahaman melalui pikiran dan indera. Perhatian, persepsi,
memori, bahasa, pembelajaran, dan penalaran yang lebih tinggi serta istilah-istilah
seperti ini termasuk dalam spektrum kognisi yang lebih luas. Hampir semua tindakan
sosial terkait dengan kognisi. Van-Dijk (2016) melihat wacana, diproses melalui

4
memori jangka panjang dan pendek, sebagai pembentuk persepsi dan pemahaman
kita.
Di era digital ini, salah satu yang menjadi perhatian adalah generasi muda.
Menurut Peneliti, dengan intensitas penggunaan media sosial yang tinggi mereka
dapat dengan mudah disusupi kognisinya. Atas alasan ini, Peneliti menggunakan
model Analisis Wacana Kritis Sosio-kognitif Van Dijk. Analisis Wacana Kritis (AWK)
dapat sangat membantu dalam menunjukkan dampak media sosial yang berbeda
pada kognisi remaja dengan mengekstraksi dan menganalisis wacana dari SNS yang
berbeda. Analisis wacana dapat memberi kita refleksi tentang kepribadian seseorang.
Informasi kepribadian dalam bentuk preferensi dan pilihan (penggunaan tata bahasa,
diksi, topik, dll.) dapat membantu kita menentukan dampak media sosial terhadap
kognisi penggunanya, yang dalam penelitian ini adalah pemuda. Model sosio-kognitif
Van-Dijk telah lazim digunakan di kalangan studi media dan peneliti media. Model ini
memiliki efektivitas yang signifikan dalam berita, menjelaskan hubungan kekuasaan,
berfokus pada rasisme diskursif, dan mencoba menghubungkan antara masyarakat
dan wacana.
Hasil di sini menunjukkan beberapa variabel pengganggu. Sebuah survei kecil
dilakukan oleh Peneliti untuk mengetahui gambaran umum remaja tentang wacana
twitter. Anehnya, 2 dari 5 mengatakan bahwa wacana twitter lebih bermakna,
sementara 5 dari 5 mengatakan kurang terstruktur daripada wacana buku teks.
Spekulasi yang paling umum adalah bahwa wacana twitter dengan pembatasan huruf
mungkin tidak terstruktur dan bermakna seperti yang diharapkan dari sebuah buku
atau teks artikel. Namun, temuan ini menunjukkan sebaliknya. Semua tweet ini
menunjukkan kepadatan leksikal berkisar antara 50-60%. Ini unik karena ini adalah
kepadatan leksikal rata-rata atau yang paling umum diterima dari teks tertulis formal.
Ini berarti bahwa twitter memang berdampak pada pilihan linguistik pengguna
mudanya tetapi tentu saja secara positif. Kami menghitung nilai rata-rata kepadatan
leksikal dari kelima balasan, dan yang kami dapatkan adalah 52,6%, yang tidak
diragukan lagi kurang dari kepadatan leksikal tweet politisi muda. Ini menunjukkan
perbedaan nyata antara pilihan diksi kelas penguasa dan masyarakat umum.
Peneliti mengungkap beberapa poin penting yang menjadi hasil temuannya, di
antaranya ialah:

5
• Kerangka wacana media sosial menggabungkan dan mendorong tindak tutur
representatif paling banyak di dalamnya.
• Pemuda yang dominan secara politik menghasilkan wacana yang lebih komisif. Di
sisi lain, kaum muda yang kurang dominan secara politis menghasilkan tindak
tutur yang lebih direktif.
• Media sosial tampaknya tidak berdampak negatif terhadap struktur leksikal dan
makna wacana.
• Wacana media sosial sama padatnya dengan wacana buku teks.
• Wacana media sosial anak muda memiliki kepadatan leksikal berkisar antara 50-
55%, sementara kaum muda yang lebih dominan secara politis menghasilkan
wacana dengan kepadatan leksikal berkisar antara 60-65%. Media sosial
berdampak negatif pada kohesi wacana.
• Batasan karakter pada twitter berdampak pada pilihan pengguna untuk
mengimplikasikan ikatan kohesif dalam wacana. Pemuda yang dominan secara
politis lebih suka menggunakan referensi endoforik sementara yang kurang
dominan lebih sering menggunakan referensi eksoforik.
Mengangkat tema terupdate, jurnal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Tema yang dibahas pun berhubungan dengan media sosial dan anak muda sehingga
jurnal ini sangat cocok dibaca oleh generasi milenial. Kelebaihan lainnya dari jurnal ini
adalah terdapat penelitian terdahulu sehingga dapat dijadikan sebagai bahan
perbandingan. Susunan materinya pun lengkap, mulai dari abstrak, perkenalan,
tujuan, fokus pembahasan, batasan, penelitian terdahulu, desain penelitian, analisis,
temuan hingga simpulan. Semua diulas secara detail dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca. Adapun kekurangan dari jurnal
ini, di antaranya tampilan jurnal terlalu ramai, terlalu banyak embel-embel yang
sebenarnya tidak penting untuk dimuat. Penomoran sub bab tidak beraturan. Ada
yang menggunakan angka Romawi, angka Arab, ada pula yang menggunakan bullets.
Margin tidak teratur dan terdapat kutipan yang tidak dimasukkan dalam daftar pustaka.

6
Resensi Artikel III
Judul Artikel : A Discourse-Historiacal Analysis of Two Iranian Presidents’
Speeches the UN
General Assembly
Peneliti : Minoo Alemi1
Zia Tajeddin2
Amin Rajabi Kondlaji3
Jumlah hal. : 17 halaman
Penerbit : International Journal of Society, Culture & Language
Tahun terbit : 2018
ISSN : 2329-2210
E-mail : minooalemi2000@yahoo.com1
ziatajeddin@yahoo.com2
amin2007rajabi@yahoo.com3
Telepon : +98-912-104-4989
Sumber : http://www.ijsl.net/article_26149.html

Pemilihan presiden Iran yang diadakan sejak Revolusi Islam 1979 telah
menyaksikan presiden dari dua orientasi politik utama yaitu reformis dan konservatif.
Seruan untuk reformasi dan pembicaraan demokratis dengan negara-negara dan
pemerintah-pemerintah lain dicetuskan pertama kali oleh mantan presiden Khatami,
yang menjabat pada 1997. Periode reformasi sebagian besar berhenti ketika kaum
konservatif berkuasa dengan pemilihan Mahmud Ahmadinejad pada tahun 2005 dan
2009, yang juga menghasilkan pembentukan parlemen konservatif.
Masa jabatan kedua Ahmadinejad, yang ia menangkan dalam apa yang
disebut pemilihan kontroversial yang ditentang oleh dua kandidat presiden,
menyebabkan Dewan Wali Iran membatalkan hak reformis untuk kegiatan politik,
yang meningkatkan ketidakpedulian politik di antara banyak orang di seluruh negeri.
Kampanye Ahmadinejad, yang ditandai dengan dua janji 'memerangi korupsi' dan
'menghapus ketimpangan pendapatan', menarik banyak orang, terutama mereka
yang mengalami kesulitan ekonomi. Setelah masa jabatan kedua Ahmadinejad, masa
kepresidenan Iran diambil oleh Hassan Rouhani. Dia memenangkan pemilihan
presiden dengan kemenangan telak pada tahun 2013. Tidak seperti Ahmadinejad,
Rouhani dan Kabinetnya dikenal karena mengejar kebijakan luar negeri yang moderat
selama masa jabatan mereka. Dilihat dari kampanye pemilihannya, Rouhani adalah
presiden yang moderat, sebuah poin yang didukung oleh disertasi doktoralnya tahun
1999 berjudul “The flexibility of Shariah (Islamic Law) with reference to the Iranian

7
experience”, meskipun ia adalah pendukung Revolusi Islam 1979. Selanjutnya,
Rouhani adalah kepala International Nuclear Negotiations hingga pemilihan Presiden
Ahmadinejad, ketika dia mengundurkan diri.
Dalam bahasannya, peneliti menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis
Discourse-Historical Approach untuk menguraikan ideologi politik kedua presiden Iran
di atas. Sebagai salah satu metode analisis data dalam AWK, Discourse-Historical
Approach Wodak (2006) dapat berfungsi untuk mengeksplorasi sifat manipulatif
pidato politik dan identitas yang tercermin dalam pidato tersebut dalam hal premis
atau topik yang merupakan tulang punggung argumentasi dalam politik. pidato.
Peneliti menyadari bahwa belum ada studi yang menggunakan pendekatan
Discourse-Historical Approach (DHA) untuk menganalisis wacana politik dalam
konteks Iran. Hal ini memberikan alasan untuk menggunakan DHA untuk melihat
apakah perbedaan identitas ideologis dan politik antara kedua Presiden Iran dapat
diamati saat mereka berpidato di forum PBB. Mengingat pentingnya pembicaraan
PBB dalam membentuk kebijakan dalam dan luar negeri suatu negara.
Salah satu tujuan utama pendekatan DHA adalah untuk menghubungkan dan
menghubungkan sebanyak mungkin genre dan wacana tentang suatu isu tertentu,
beserta dimensi historis dari isu tersebut. Tiga dimensi merupakan inti dari metode
sejarah wacana: isi data, strategi diskursif yang digunakan, dan realisasi linguistik dari
isi dan strategi ini. Peneliti dalam metode wacanahistoris memulai dengan dimensi
pertama yaitu isi data, yang sebagian besar bersifat linguistik dan mengeksplorasi
strategi yang digunakan selama periode waktu tertentu oleh agen-agen tertentu.
Tujuan akhir dari peneliti adalah untuk menangkap dan mengidentifikasi bentuk-
bentuk linguistik yang berkaitan dengan strategi-strategi tersebut.
Konsep kunci dalam DHA adalah topos (jamak: topoi). Ada beberapa definisi
dan konseptualisasi topoi dalam literatur yang berkaitan dengan logika dan penalaran,
terutama teori argumentasi. Konsep yang digunakan oleh Wodak (2006) dalam DHA
adalah konsep yang sempit dan diadaptasi. Untuk mewujudkan prinsip triangulasi,
para peneliti di DHA menggunakan teori argumentasi atau lebih spesifik lagi, teori
topoi. Dalam teori argumentasi, Wodak (2006) mengemukakan bahwa topoi atau loci
adalah premis-premis, baik 'eksplisit' ataupun 'implisit', yang termasuk dalam
argumen.

8
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kata ganti 'saya'
dapat menjadi cara untuk memproyeksikan identitas pribadi oleh aktivis politik dan
dengan demikian sebagai titik fokus untuk membandingkan sejauh mana politisi yang
berbeda berusaha untuk membangun identitas pribadi. Temuan menunjukkan bahwa
topoi dapat digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi sikap ideologis pembicara
dalam konteks politik. Keragaman topik atau topoi yang terjadi dalam pidato publik
pasti mempengaruhi kesan yang diberikannya pada audiens. Rouhani menggunakan
lebih sedikit topoi daripada Ahmadinejad dalam pidatonya. Ini dapat disebut sebagai
tingkat fokus yang lebih tinggi selama pembicaraan. Meskipun pemilihan topoi itu
penting, jumlah topoi dan variasinya dapat juga dianggap sebagai faktor yang
mempengaruhi bagaimana pidato tersebut dirasakan oleh audiens.
Jurnal ini menjadi salah satu karya ilmiah yang menarik untuk dibaca. Pada
halaman depan kita dimanjakan oleh tampilan yang cukup menarik. Berbeda dengan
tampilan jurnal pada umumnya, perpaduan warna yang dimainkan menambah kesan
estetis. Kemudian, teori yang digunakan diulas dengan sangat hati-hati dan jelas.
Penggunaan teori DHA adalah pilihan yang tepat sehingga peneliti berhasil
mengungkapkan satu per satu bagian dari teori tersebut di bagian hasil penelitian.
Namun demikian, ada beberapa catatan sekaligus menjadi kekurangan jurnal ini, di
antaranya ialah jurnal ini terlalu banyak mengemukakan teori dan kutipan sehingga
yang terjadi justru membingungkan pembaca. Bahasa yang digunakan pun terlalu
berbelit-belit, tidak langsung mengarah pada topik utama pembahasan. Selain itu,
penempatan tulisan dalam tabel tidak rapi. Margin antara nomor dan dan sub bagian
tabel tidak tertata dengan baik. Terdapat kesalahan ejaan, misalnya kata future ditulis
sebagai furute. Terakhir, terdapat kutipan yang tidak dicantumkan rincian halamannya
di daftar pustaka. Sepanjang tidak memengaruhi substansi jurnal itu sendiri, tulisan ini
masih sangat layak untuk menjadi bahan bacaan dan sebagai bahan referensi.

9
Perbandingan Tiga Pendekatan AWK; Fairclough, Van Dijk, dan Wodak
Pada artikel pertama berjudul Critical Discourse Analysis of The Short Fiction
“Magic” Based on Norman Fairclough’s Approach. Artikel tersebut menggunakan
pendekatan Fairclough, yaitu Dialectical-Relational Approach (DRA). Pendekatan
analisis wacana kritis yang dibuat Norman Fairclough mengungkapkan bahwa
kegiatan berwacana sebagai praktik sosial. Hal ini menyebabkan ada hubungan yang
berkaitan antara praktik sosial dan proses membentuk wacana. Untuk itu, harus
dilakukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial
budaya yang mempengaruhi terbentuknya wacana (Masitoh, 2020: 71).
Fairclough (1989) menjelaskan ada hubungan dialektikal antara praktik sosial
dan proses terbentuknya wacana, yaitu wacana mempengaruhi tatanan sosial dan
tatanan sosial mempengaruhi wacana. Oleh karena itu, wacana dapat membentuk
dan dibentuk oleh masyarakat. Selain itu, wacana juga dapat membentuk dan
mengubah pengetahuan, hubungan sosial, dan identitas sosial. Selanjutnya, wacana
dibentuk oleh kekuasaan yang berhubungan dengan ideologi. Dengan demikian,
pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat oleh Fairclough disebut dengan
Pendekatan Relasional Dialektikal (Dialectical-Relational Approach/DRA) atau biasa
juga disebut dengan pendekatan perubahan sosial.
Kelebihan dari pendekatan ini; yang pertama adalah langkah-langkah
analisisnya jelas dan mampu menunjukkan pada saat kapan keberpihakan serta
teritorisasi harus mulai dilakukan. Kedua, pembagian tiga dimensi AWK memudahkan
pemilahan di antara aspek linguistik, aspek subjektif (kognitif) dalam penafsiran, dan
praksis sosial di mana teori-teori sosial berperan. Ketiga, upayanya untuk selalu
memperbaiki konsep, mempertajam dimensi dan metode memudahkan langkah
penerapannya lebih sistematis.
Dalam kaitannya dengan jurnal yang dibahas di atas, nampaknya analisis
hanya berorientasi pada teks cerpen semata. Peneliti tidak mengulik hal lainnya yang
menghubungkan antara teks dengan sosio-kultural pada masa itu. Padahal Fairclough
sendiri mengungkapkan bahwa analisis terhadap teks saja tidak cukup. Lebih lanjut,
Fairclough menolak penyamaan diskursus dengan teks. Baginya, teks merupakan
sebuah produk dari proses produksi teks dan bukan prosesnya itu sendiri. Adapun
diskursus bersifat lebih luas yang mencakup proses interaksi sosial di mana teks
hanya menjadi salah satu bagiannya. Dengan demikian, analisis diskursus yang

10
ditawarkan tidak hanya berfokus pada teks saja, tapi juga mencakup konsumsi teks
oleh pembaca dan sekaligus relasinya dengan sosio-kulturalnya (Munfarida, 2014: 8).
Artikel kedua, berjudul Impact of Social Media on Linguistic Cognition of
Pakistani Youth: Application of Dijk’s Socio-Cognitive Approach. Artikel ini
menggunakan pendekatan sosio-kognitif Van Dijk. Pendekatan Kognisi Sosial
merupakan pendekatan yang dikembangkan di Universitas Amsterdam, Belanda
dengan tokoh utamanya adalah Teun A. van Dijk. Van Dijk dan teman-teman
mengangkat persoalan etnis, rasialisme, dan pengungsi dalam menganalisis berita-
berita di surat kabar Eropa pada tahun 1980an. Hasilnya van Dijk menemukan bahwa
faktor kognisi menjadi unsur penting dalam produksi wacana. Produksi wacana akan
mengikutsertakan pula suatu proses kognisi sosial.
Model analisis van Dijk disebut juga sebagai kognisi sosial. Menurut van Dijk
dalam menganalisis wacana tidak hanya menganalisis teks semata namun perlu
diamati pula bagaimana teks tersebut diproduksi, kenapa teks semacam itu
diproduksi. Van Dijk banyak melakukan penelitian terutama terkait dengan
pemberitaan yang memuat rasialisme dan diungkapkan melalui teks. Percakapan
sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda politik,
periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film merupakan hal-hal yang diamati
van Dijk (Ismail, 2006: 4).
Model yang dipakai van Dijk disebut sebagai “Kognisi Sosial”. Menurut van
Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks
semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
Dalam hal ini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga
memperoleh suatu pengetahuan mengapa teks bias semacam itu. Oleh karena itu,
pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada artikel kedua di atas. Pendekatan ini
dapat mengungkap pengaruh dan hubungan antara media sosial dan kognisi
pengguna. Para peneliti, dalam studi ini telah menganalisis dampak media sosial
terhadap kemampuan kognitif remaja Pakistan yang tercermin dari tuturan mereka di
media sosial. Namun demikian, postingan di media sosial terkadang tidak seratus
persen menunjukan kepribadian seseorang. Karena perasaan, pikiran, emosi sifatnya
relatif dan dapat berubah-ubah apalagi jika itu adalah postingan di media sosial.
Banyak orang yang menggunakannya dengan tujuan mendapatkan citra yang baik.
Kelemahan dari teori ini hanya melihat sisi tekstualnya saja tanpa melihat tindakan

11
sebagai representasi dari kognitif seseorang. Kata-kata di media sosial dapat
dirangkai sedemikian rupa, namun tindakan tidak dapat berdusta.
Kemudian, artikel ke tiga berjudul, A Discourse-Historiacal Analysis of Two
Iranian Presidents’ Speeches the UN. Artikel ini menggunakan pendekatan analisis
wacana kritis yang dikemukakan oleh Wodak. Pendekatan ini digunakan untuk
melakukan analisis pada sebuah wacana dengan cara melihat faktor historis dalam
suatu wacana. Pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan ini disebut
pendekatan historis wacana karena dalam menganalisis wacana harus menyertakan
konteks histori untuk menjelaskan suatu kelompok atau komunitas tertentu.
Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan Wodak dapat dilakukan tiga
cara: (1) menentukan topik utama dari sebuah wacana yang spesifik; (2) melakukan
telaah strategi-strategi diskursif (termasuk strategi argumentasi); dan (3) menganalisis
makna-makna yang nyata dalam kebahasaan, juga makna-makna kebahasaan dalam
bentuk lain (Masitoh, 2020: 72).
Penggunaan pendekatan Discourse-Historical Approach Wodak dalam artikel
di atas bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan pidato Hassan Rouhani,
presiden Iran saat ini sejak 2013, dan pendahulunya Mahmoud Ahmedinejad melalui
penyelidikan atas topoi yang mereka gunakan dalam pidato mereka. Kelebihan dari
pendekatan ini adalah memiliki lebih banyak data yang menjadi bahan perbandingan
sehingga hasil yang diperoleh lebih detail bila dibandingkan dengan dua pendekatan
sebelumnya. Kelemahan dari teori ini adalah peneliti harus bekerja sangat ekstra
untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan wacana utama. Karena
sebagaimana yang diketahui bahwa pendekatan ini berusaha menghubungkan
sebanyak mungkin genre dan wacana tentang suatu isu tertentu. Oleh karena itu,
peneliti yang memilih menggunakan pendekatan ini benar-benar membutuhkan
kesiapan dan perhitungan yang matang sebelum melakukan penelitian. Selain itu,
muatan ideologi dengan cara-cara tertentu dalam menggunakan bahasa dan
hubungan dengan kekuasaan seringkali tidak jelas nampak. Pernyataan ini dapat
dipahami bagaimana bahasa kadangkala disampaikan secara lugas, namun di lain
kesempatan disampaikan secara tersamar.
Fairclough lebih menekankan pada proses produksi teks, pola kerja dan
rutinitas yang biasa dilakukan pada media tersebut dalam memproduksi sebuah berita
atau dalam hal ini cerpen. Di sisi lain, Van Dijk lebih menekankan pada kognisi sosial

12
individu yang memprouksi teks tersebut. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk
menjelaskan bagaiman suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks.
Sementara Wodak mengajukan ancangan historis-wacana, yang selalu
mengintegrasikan analisis konteks historis ke dalam penafsiran atas wacana.
Ketiga pendekatan di atas, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki masing-masing. Sebenarnya dapat saling mendukung satu sama lain. Teori
AWK bukanlah suatu disiplin ilmu akademik yang tidak dapat dibagi-bagi lagi dengan
metode penelitian yang relatif tetap. AWK sebaiknya dipandang sebagai suatu
gerakan penelitian berbasis permasalahan yang multi-disiplin, memasukkan berbagai
pendekatan, dengan masing-masing model teori, metode penelitian, dan agenda yang
berbeda. Pada akhirnya semua pendekatan AWK memiliki kesamaan minat dalam
menggali makna dimensi kekuasaan, ketidakadilan, penyimpangan, dan perubahan
politik-ekonomi atau budaya dalam masyarakat (Fauzan, 2016: 19).

13
Referensi:
Alemi, Minoo dkk. 2018. International Journal of Society, Culture & Language: A
Discourse-Historiacal Analysis of Two Iranian Presidents’ Speeches the UN.
Vol. 6, No. 1. Diakses di laman https://academia.edu/45352570
Fairclough, N. 1989. Language and Power. London: Longman.
Fauzan, Umar. 2016. Analisis Wacana Kritis: Menguak Ideologi Wacana. Yogyakarta:
Idea Press.
Ismail, S. 2006. Analisis Wacana Kritis: Alternatif Menganalisis Wacana. Universitas
Negeri Jakarta.
Masitoh. 2020. Jurnal Elsa: Pendekatan dalam Analisis Wacana Kritis. Vol. 18, No. 1.
Diakses di laman https://media.neliti.com/media/publications/338793-
pendekatan-dalam-analisis-wacana-kritis-cd649f18.pdf
Munfarida, Elya. Komunika: Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman
Fairclough. Vol. 8, No. 1. Diakses di laman
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id
Sudarna, Patricia N.R. dan Christina A. Y. 2021. Jurnal JOEPALLT: Critical Discourse
Analysis of The Short Fiction “Magic” Based on Norman Fairclough’s
Approach. Vol. 9, No. 2. Diakses di laman
https://jurnal.unsur.ac.id/jeopallt/article/view/1758
Zahoor, Anmol dkk. 2020. International Review of Social Sciences: Impact of Social
Media on Linguistic Cognition of Pakistani Youth: Application of Dijk’s Socio-
Cognitive Approach. Vol. 8, Issue 10. Diakses di laman
https://academia.edu/45352570

14

Anda mungkin juga menyukai