Anda di halaman 1dari 15

Analyse du discours

Artikel

REPRESENTASI KONSTRUKSI SOSIAL PEMBERITAAN


KORUPSI DALAM MEDIA MASSA ONLINE LE FIGARO
TINJAUAN : ANALISIS WACANA KRITIS
Namira Auliyaa Faizuun dan Elysa Febrianti Fransiska J
Fakultas Bahasa dan Sastra Asing UNNES
Namiraauliyaa8@gmail.com
elysafbrntf@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tataran konteks dan kognisi sosial
yang terdapat dalam pemberitaan korupsi yang dikonstruksi oleh media massa daring Le Figaro.
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif yang merupakan metode analisis wacana kritis.
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah portal berita Le Figaro. Data
penelitian adalah berita - berita terkait korupsi dalam hubungannya dengan konstruksi sosial
Data sekunder di dapat melalui wawancara informan, buku, laporan ilmiah, dan data internet.
Teknik pengambilan data adalah teknik dokumen dengan mengumpulkan data langsung pada
sumber data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif. Adapun hasil dari
penelitian ini adalah diketahui dalam kajian ini bahwa media massa menjadi sangat substansi
dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi dalam mengkonstruksi realitas sosial.
Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi
sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada
keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas.

Kata kunci : Analisis Wacana, Konstruksi, Le Figaro, Media Massa, Realitas Sosial
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Kehadiran bahasa sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Hampir di setiap
lini kehidupan memerlukan bahasa. Lewat bahasa, seseorang bisa mengetahui realitas yang
terjadi dan hal yang dikonstruksi oleh manusia lainnya. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai
perekam budaya, berbagai temuan ilmiah, dan teknologi sehingga peradaban dapat semakin
berkembang. Melalui penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis, seseorang dapat memahami,
menghayati, dan menikmati karya orang lain. Oleh karena itu, bahasa pun berfungsi sebagai alat
untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3). Fungsi semacam ini menunjukkan hubungan
yang erat antara bahasa dan masyarakat.
Bahasa merupakan representasi praktik sosial yang dilakukan oleh manusia berupa
wacana. Dalam konteks ini, bahasa dipahami sebagai sebuah proses berkomunikasi yang
senantiasa bersifat kontekstual dan digunakan untuk melakukan interaksi sosial serta perlu
dimaknai pula dalam situasi sosialnya. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh
manusia dalam berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, penggunaan bahasa dapat
merefleksikan realitas sosial. Peranan bahasa merupakan medium yang paling penting bagi
semua interaksi manusia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut sebagai inti sari dan
fenomena sosial. Tanpa adanya bahasa tidak akan terbentuk masyarakat dan tidak akan ada
kegiatan dalam masyarakat yang didorong oleh naluri saja.
Fungsi bahasa menurut Halliday (dalam Sobur, 2009: 17) ada tiga, yakni pertama, fungsi
ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan di antara anggota
masyarakat. Tampak pada struktur yang melibatkan peran-peran seperti proses, partisipan, dan
aktor. Kedua, fungsi interpersonal berguna untuk menyampaikan informasi di antara anggota
masyarakat.
Selain itu, fungsi tersebut berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan
memelihara hubungan sosial serta mengungkap peranan-peranan sosial termasuk peranan-
peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Hal ini tampak pada struktur yang
melibatkan aneka modalitas dan sistem yang dibangunnya. Ketiga, fungsi tekstual berfungsi
untuk menyediakan kerangka dan pengorganisasian wacana yang relevan dengan situasi.
Media massa dewasa ini dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu sebagai cara
untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Dominasi yang terjadi di masyarakat
ditempuh dengan cara menghegemoni. Wacana berita yang merepresentasikan ideologi media
sehingga ada pengaruh yang diciptakan seakanakan menjadi realitas. Tujuan penciptaan realitas
tersebut dimaksudkan meyakinkan masyarakat, mengubah paradigma masyarakat, bahkan mental
seseorang agar sesuai dengan dimaksud pewarta atau penulis dalam wacana yang diciptakan. Hal
itulah menjadi indikator bahwa bahasa dalam media massa dipilih melalui proses perencanaan
dan bahkan hasil kajian sebagai alat utama penyampaian ideologi. Pernyataan tersebut diperkuat
oleh Sumadiria (2016: 21) bahwa media massa harus berpijak kepada filosofi media, visi media,
misi media, dan kebijakan redaksional media. Semua yang disajikan media kepada pemirsa
memiliki ideologi, kepentingan dari lembaga dari media tersebut. Muatan ideologi dan
kepentingan tersebut ditransformasi dalam bentuk wacana berita. Dalam konteks itu, berita
bukan hanya penyajian sejumlah fakta yang tersusun sehingga enak dibaca, melainkan juga
mengandung dan menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa tersebut.
Keterkaitan wacana berita dengan sosial masyarakat menjadikan daya tarik tersendiri
untuk mengungkap segala yang melingkupi wacana berita. Selain itu, tingkat kompleksitas
dalam suatu wacana menjadi bahan pertimbangan lain untuk membongkar penciptaan realitas.
Salah satu upaya untuk mengkaji sebuah wacana dapat dilakukan dengan pendekatan analisis
wacana kritis secara menyeluruh. Eriyanto (2011-7-14) menjelaskan bahwa analisis wacana
memiliki karakteristik yaitu (a) tindakan, (b) konteks, (c) historis, (d) kekuasaan, dan (e)
ideologi. Oleh sebab itulah, dapat dipastikan wacana berita memiliki lima karakteristik tersebut.
Dari sekian banyak berita yang ditampilkan, kasus korupsi menjadi peristiwa yang selalu
mewarnai jagat media massa. Kasus korupsi menjadi salah satu topik yang selalu menarik untuk
diekspos menjadi berita utama karena melibatkan jaringan elite politik dari tataran rendah sampai
tinggi. Selain itu, pemberitaan mengenai kasus korupsi ini memiliki intensitas tinggi sehingga
menyita banyak perhatian masyarakat. Di samping itu, pemberantasan korupsi merupakan salah
satu program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah. Diangkatnya
pemberitaan mengenai kasus korupsi yang marak terjadi dewasa ini membuat masyarakat
mengetahui secara luas aneka fenomena korupsi yang terjadi. Dengan begitu, logikanya
masyarakat akan menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi.
Pemilihan media massa online Le Figaro sebagai pihak yang memproduksi wacana
pemberitaan kasus korupsi bukalah tanpa alasan. Hal ini media massa online tersebut dalam
menjadi salah satu media massa online yang terkenal di Prancis. Le Figaro merupakan salah satu
surat kabar di Prancis yang didirikan tahun 1854 dan sangat berpengaruh di Paris. Surat kabar Le
Figaro semula terbit secara mingguan. Sejak 1866 terbit sebagai surat kabar harian. Selain
tersedia secara offline, surat kabar Le Figaro juga bisa dilihat secara online di
https://www.lefigaro.fr/.
Wacana berita yang ada di media massa tidak hanya dianalisis dari segi teks saja, tetapi
juga kognisi sosial, dan konteks sosial pun perlu diteliti agar komprehensif dian. Hal ini sesuai
dengan Santoso (2016: 412) perpaduan 20 pendekatan antara pragmatik dan analisis wacana
kritis dapat dipakai sebagai pisau analisis secara komprehensif. Bila hanya digunakan ancangan
pragmatis saja, maka analisis dan hasilnya tidak akan memadai karena tidak adanya kajian
terhadap pengungkapan tujuan-tujuan ideologis dan politis.

Pengenalan dan Lahirnya Teori

Untuk memahami teori konstruksi sosial media massa, terlebih dahulu kita memahami
tentang paradigma. Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution
(1962)1. Menurut Kuhn, paradigma yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) suatu cabang ilmu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Masterman yang kemudian meredusir paradigm
menjadi tiga bagian besar yakni paradigma metafisik (metahphisical paradigma), paradigma
yang bersifat sosiologi (sociological paradigma) dan paradigma konstruk (construct paradigm).
Dalam perkembangannya, banyak ahli yang meneruskan pemikiran Kuhn tentang paradigma
sosial. Durkhein dalam karyanya The Rule of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897)
membangun konsep yang disebutnya fakta sosial. Menurutnya, fakta sosial inilah yang menjadi
pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial inilah yang dinyatakan sebagai barang
sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu yang menjadi objek penyelidikan dari
seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat difahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif).
Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Lain
halnya dengan Durkheim, Max Weber berpendapat bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang
berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding). Dalam karyanya, Weber
meneliti tentang tindakan sosial. (Sosial action). Inti tesisnya adalah tindakan yang penuh arti
atat yang dikenal dengan istilah paradigma defenisi sosial. Yang dimaksudkannya dengan
tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau
arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain2. Berdasarkan konsep
Weber tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu, terdapat lima ciri pokok yang
menjadi sasaran penelitian sosiologi;
1. Tindakan manusia, menurut si aktor mengandung makna yang subjektif yakni meliputi
tindakan nyata
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepnuhnya dan bersifat subjektif
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari situasi, tindakan yang sengaja diulang
serta tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5. Tindakan itu memperhatian tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Dalam pembahasan kali ini, pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial memberikan
pengaruh yang besar terhadap teori konstruksi. Ide yang paling mendasar adalah pandangan
bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya dimana tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaankebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang
semua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata
sosial. Sebab itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik pada apa yang ada dalam pemikiran
manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses sosial,
individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang tindakan
sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Teori yang tergabung adalah teori aksi, interaksionisme simbolik,
dan fenomenologi. Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
Sementara itu, teori konstruktivisme adalah pandangan yang melihat bahwa kebenaran
suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas sosial
bersifat relatif (nisbi). Dalam bentuk aslinya, konstruktivisme mengacu pada studi tentang
bagaimana struktur mental manusia dikonstruksi dari waktu ke waktu dan bagaimana jaringan
neural yang sebelumnya dilatih untuk menjalankan tindakan simbolik tertentu menjadi kondisi
bagi tindakan selanjutnya. Menurut teori ini, indvidu menafsirkan dan bertindak sesuai dengan
kategori konseptual yang ada dalam fikiran mereka. Realitas tidak tidak hadir sendirinya dalam
bentuk mentah tapi disaring oleh melalui cara individu itu sendiri dalam melihat sesuatu.
Pertama, dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks
spesifik yang dinila relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma konstruktivis ditinjau dari
kontek epistemologis, bahwa pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interaksi
antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini, paradigma konstruktivis bersifat
transactionalist atau subjectivist. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai
passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Sedangkan teori konstruksionisme (constructionisme theory) atau social construction mulai
dikenal dengan Berger dan Luckmann mempublikan karyanya The Social Construction of
Reality. Dalam pembahasannya tentang media, terdapat 5 proposisi utama dari teori
konstruksionisme sosial, yakni;
1. Masyarakat merupakan sebuah konstruk, bukannya realitas yang pasti (fixed reality)
2. Media memberikan bahan-bahan bagi proses konstruksi sosial
3. Makna ditawatkan oleh media namun dapat dinegosiasikan atau ditolak
4. Media mereproduksi makna-makna tertentu
5. Media tidak bisa memberikan realitas sosial yang objektif karena semua fakta adalah
interpretasi.
Teori konstruksionisme sosial pada prinsipnya berusaha memberikan pemahaman tentang
makna, norma, peran dan aturan bekerja dalam komunikasi. Teori ini lebih menaruh perhatian
bagaimana orang menciptakan realitas secara kolektif. Sebab itu, dalam teori konstruksionisme
sosial, teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionisme) memberikan pengaruh yang
besar dalam memberikan arti tentang makna simbol yang ada.
Untuk memahami bagaimana proses kelahiran konstruksi sosial media massa, terdapat
beberapa tahapan yang dilalui yakni;
1) Tahap menyiapkan materi konstruksi yang mencakup kepada beberapa hal yaitu;
Pertama keberpihakan media massa kepada kapitalisme seperti yang terjadi saat ini
hampir semua media mainstream dimiliki kelompok kapitalis tertentu untuk menjadikan
media massa sebagai mesin penciptaan uang dan penggandaan modal. Tentunya hal itu
memunculkan ideologi yang lebih mengutamakan bagaimana agar media massa mampu
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya pagi pemilik dan pemodal. Kedua
keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah empati,
simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujungujungnya adalah untuk
menjual berita dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Apalagi saat ini jelas
bahwa hampir seluruh media mainstream dimiliki kelompok usaha tertentu dan berafiliasi
kepada partai politik tertentu. Ketiga adalah keberpihakan kepada kepentingan umum.
Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya
adalah visi setiap media massa namun fakta di lapangan hanyalah sebatas jargon dan
slogan saja.
2) Tahap sebaran konstruksi yakni dilakukan masing-masing media massa dengan
strategi yang berbeda namun prinsip utamanya adalah real-time. Media elektronik
memiliki konsep real-time yang berbeda dengan media cetak. Karena sifatnya yang
langsung (live), maka yang dimaksud dengan real-time oleh media elektronik adalah
seketika disiarkan, seketika itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau pendengar.
Namun bagi varian-varian media cetak, yang dimaksud dengan real-time terdiri dari
beberapa konsep hari, minggu, atau bulan, seperti harian, mingguan, dan bulanan.
Walaupun media cetak memiliki konsep real-time yang tertunda, namun konsep
aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu
memperoleh berita tersebut.
3) Tahap pembentukan konstruksi yang terdiri dari berbagai 2 tahap, yakni Pertama
pembentukan konstruksi realitas pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media
massa yang terbentuk di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada
(tersaji) di media massa sebagai suatu realitas kebenaran. Selain itu, kesediaan
dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan
orang untuk menjadi pembaca dan pemirsa media massa adalah karena pilihannya untuk
bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Selain itu menjadikan
konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara habit
tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa
dilepaskan. Tahap kedua yakni pembentukan konstruksi citra yakni bagaimana konstruksi
citra pada sebuah pemberitaan ataupun bagaimana konstruksi citra pada sebuah iklan.
Konstruksi citra pada sebuah pemberitaan biasanya disiapkan oleh orang-orang yang
bertugas di dalam redaksi media massa, mulai dari wartawan, editor, dan pimpinan
redaksi. Sedangkan konstruksi citra pada sebuah iklan biasanya disiapkan oleh para
pembuat iklan, misalnya copywriter. Pembentukan konstruksi citra ialah bangunan yang
diinginkan oleh tahap-tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra yang
dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model, yakni model good news dan
model bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung
mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Sedangkan model bad
news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau memberi
citra buruk pada objek pemberitaan.
4) Tahap konfirmasi yakni tahapan dimana media massa maupun pembaca dan pemirsa
memberi argumentasi dan akunbilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap
pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi
argumentasi terhadap alasan-alasannya konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan
pembaca, tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan
bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.
Awalnya teori konstruksi sosial media massa (social construction of mass media) berasal
dari teori konstruksi sosial atas realitas diperkenalkan Peter L. Berger dan Thomas Luckman
yang mengatakan bahwa pada dasarnya realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi manusia.
Beberapa hal yang menjadi asumsi dasar yaitu;
1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial
terhadap dunai sosial di sekelilingnya;
2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul,
bersifat berkembang dan dilembagakan;
3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus;
4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas
yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang
tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan
sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik.
Proses konstruksinya dilihat dari perspektif teori Berger & Luckmann berlangsung
melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni
subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu
proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Objective
reality yaitu merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan )
serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati
oleh individu secara umum sebagai fakta. Symblolic reality adalah ekspresi simbolik dari apa
yang dihayati sebagai objective reality misalnya teks produk industri media, seperti berita di
media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film. Dan Subjective reality adalah
konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi.
Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri
dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah
struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan
objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objective reality yang baru.

Metode Penelitian
Metode penelitian adalah sebuah pendekatan yang digunakan dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil penelitian. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
metode deksriptif yang merupakan metode analisis wacana kritis. Dalam hal ini, penulis
berusaha membahas dan menganalisis konstruksi sosial pada media massa online Le Figaro
dalam perspektif analisis wacana kritis. Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah portal berita Le Figaro.
Data penelitian adalah berita - berita terkait korupsi dalam hubungannya dengan
konstruksi sosial. Sumber data tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan korpus bagi masalah
dan tujuan penelitian. Instumen utama penelitian ini adalah penulis sendiri. Teknik pengambilan
data adalah teknik dokumen dengan mengumpulkan data langsung pada sumber data. Teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif. Selanjutnya penulis menguraikan mengenai
prosedur pengumpulan data, antara lain ; (a) Mengindentifikasi wacana - wacana yang memuat
masalah korupsi. (b) Membaca dan memahami wacana yang mau dianalisis di dalam media
massa daring Le Figaro untuk tujuan memperoleh pemahaman yang jelas tentang isi wacana
yang akan dilakukan penulis. (c) Menandai wacana korupsi yang berhubungan dengan konstruksi
sosial dalam hubungannya dengan konteks sosial dan kognisi sosial. (d) Menganalisis data - data
yang ada sesuai dengan tinjauan analisis wacana kritis. (e) Terakhir menarik menyimpulkan hasil
deskripsi data dengan dari hasil data tersebut.
PEMBAHASAN

1. Aplikasi Teori
2. Kritik terhadap Teori
Aplikasi Teori Dalam Penelitian
Menurut Bungin (2008, 13) mengutip mengenai konstruksi atas realitas sosial (social
construction of reality) yang mulai diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
melalui bukunya berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of
Knowledge, digambarkan individu secara terus menerus menciptakan sebuah realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Proses sosial yang dihasilkan pun berasal melalui
tindakan dan interaksi yang dilakukan.
Berger dan Luckmann mengatakan, bahwa institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan
institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun
dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru terjadi melalui penegasan
berulangulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif sama. Pada
tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang
universal, KONSTRUKSI REALITAS.. Parulian Sitompul 173 yaitu pandangan hidupnya
menyeluruh yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna
pada berbagai bidang kehidupan (Sobur2009, 91).
Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu
dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses
pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan
pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda,
karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antar pendekatan positivis dan konstruksionis
dalam memahami berita, mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja
seorang wartawan seharusnya dinilai. Karena diandaikan ada realitas yang objektif, maka berita
yang baik haruslah mencerminkan realitas tersebut.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Slamet Dodi Kresno dengan judul penelitian
“konstruksi Sosial Pemeberitaan Kasus Simulator SIm di Media”. Penelitian yang dilakukan
Slamet Dodi Kresno tersebut adalah penelitian yang berhubungan dengan kasus korupsi yang
melibatkan Direktur Lantas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang diduga menerima suap
sebesar Rp.2 M. Penelitian dilakukan dengan metode pembingkaian atau analsis framing model
Robert N. Entman. Berdasarkan analisis framing model Robert Entman, proses rekonstruksi
realitas dapat dilihat dalam 2 dimensi besar yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan
aspek tertentu dari relaitas/isu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap berita
Kompas.com ditemukan dua aspek yang sangat ditonjolkan dalam pemberitaan yaitu
permasalahan penegakan hokum dan sosial politik. Hal itu dapat diketahui melalui proses
pemilihan judul, lead, visual,image serta penempatan sebagai headline maupun paing. Sebab
dalam dunia jurnalistik, berita dan framing adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kesimpulan dalam penelitian itu yakni; Pertama, konstruksi sosial kasus simulator SIM dalam
Kompas.Com dilihat berdasarkan dua isu yang ditonjolkan Kompas.com yaitu tersangka
Inspektur Jendral Djoko Susilo dan hubungan Polri dengan KPK. Kedua, Kompas.com dalam
pemberitaannya cenderung melihat KPK semakin berani mengusut tuntas kasus korupsi di negeri
ini. Kecendrungan itu terlihat dari seringnya Kompas.Com menampilkan pemberitaan tentang
keberhasilan atas kinerja KPK dalam mengusut korupsi.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pola Yogi Hardani dan FX Sri
Sadewo, yang berjudul Konstruksi Sosial Mahasiswa FIS Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Tentang Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam penelitian yang dilakukan
di Kota Surabaya tahun 2014 itu, peneliti tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif.
Peneliti mendeskripsikan konstruksi sosial mahasiswa tentang pemberitaan pemberantasan
korupsi oleh KPK berdasarkan fakta-fakta di lapangan dan menguraikannya secara kualitatif.
Dalam hal ini penelitian mendeskripsikan konstruksi sosial mahasiswa tentang pemberitaan
pemberantasan korupsi oleh KPK berdasarkan fakta-fakta di lapangan yang dikumpulkan melalui
wawancara dan dokumentasi di lokasi penelitian. Teknik analisis data yang diterapkan
diantaranya adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Adapun kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut adalah Hasil temuan
menyimpulkan bahwa mahasiswa aktivis kampus cenderung terkonstruksi oleh pemberitaan
pemberantasan korupsi oleh KPK di media massa. Mahasiswa percaya dengan pemberitaan
pemberantasan korupsi oleh KPK. Vonis hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka korupsi
dianggap belum ideal. Selain merujuk pada pemberitaan di media massa, mahasiswa aktivis
kampus dan non-kampus juga memiliki idealisme dan pengkajian tentang korupsi. Berbeda
dengan konstruksi sosial mahasiswa nonaktivis yang hanya merujuk pada pemberitaan di media
massa.

Kritik Terhadap Teori

Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari berger dan Luckmann
adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-
hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini
adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum
menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan
Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh
dalam konstruksi sosial atas realitas.
Namun dalam teori ini, ada beberapa yang harus dikritik karena teori ini lebih
menyuburkan kapitalisme, dimana media massa dianggap berpihak kepada kapitalisme tersebut.
Samai saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang dikuasai oleh kaum kapitalis. Oleh karena
itu, media massa banyak digunakan untuk kepentingan kaum kapitalis.
Di sisi lain, keberpihakan media massa kepada khalayak (masyarakat) masih dinilai
semu. Masyarakat sering dijadikan objek jualannya media massa seperti televisi guna menaikkan
share rating untuk menggenjot perolehan jumlah iklan. Selanjutnya adalah adanya nilai
perubahan sosial yang memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama menekankan gaya hidup
moderen serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi.21
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Peter L. Berger dan Luckmann menjelaskan
konstruksi sosial alas realitas melalui "The Social Construction of Reality, a Treatise in the
Sociological of Knowledge" (1966). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi
secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Tiga
proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. 45 Al-
Balagh, Vol. 1, No. 1, 2016: 30-48
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann
adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-
hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini
adalah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, di mana media massa
belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori
konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa
sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga
proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi di antara
individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Keterkaitan wacana berita dengan
sosial masyarakat menjadikan daya tarik tersendiri untuk mengungkap segala yang melingkupi
wacana berita. Salah satu upaya untuk mengkaji sebuah wacana dapat dilakukan dengan
pendekatan analisis wacana kritis secara menyeluruh. Eriyanto (2011-7-14) menjelaskan bahwa
analisis wacana memiliki karakteristik yaitu (a) tindakan, (b) konteks, (c) historis, (d) kekuasaan,
dan (e) ideologi. Oleh sebab itulah, dapat dipastikan wacana berita memiliki lima karakteristik
tersebut . Wacana (korupsi) harus dipahami sebagai sebuah hal dengan empat ciri utamanya:
1. Wacana (korupsi) selalu terkait dengan tempat dan waktu tertentu.
2. Wacana (korupsi) selalu memiliki subjek (siapa yang berbicara/who speak)‟
karena peristiwa (korupsi) terjadi ketika ada pihak
yang menghadirkan bahasa dalam waktu dan tempat tertentu
3. Wacana (korupsi) selalu menunjuk pada sesuatu yang sedang dibicarakan
merujuk pada dunia yang sedang digambarkan.
4. Wacana (korupsi) merupakan wadah bagi berlangsungnya
pertukaran pesan dan pemaknaan atas peristiwa(antara pemerintah,
media, dan khalayak)
Korupsi merupakan sebuah hal yang jahat, tidak baik, dan nilai korupsi dinilai sebagai
representasi dari praktik regulatif kemudian didefinisikan, diberi makna serta diinterpretasikan
secara otonom oleh pembaca di dalam ruang teks pemberitaan.
Melalui “Representasi Konstruksi Sosial Pemberitaan Korupsi Dalam Media Massa
Online Le Figaro” teori dan pendekatan konstruksi sosial, menjadi fenomena bagi media massa
yang sangat di nikmati. Namun dalam teori ini, ada beberapa yang harus dikritik karena teori ini
lebih menyuburkan kapitalisme, dimana media massa dianggap berpihak kepada kapitalisme
tersebut. Oleh karena itu, media massa banyak digunakan untuk kepentingan kaum kapitalis. Di
sisi lain, keberpihakan media massa kepada khalayak (masyarakat) masih dinilai semu.
Masyarakat sering dijadikan objek jualannya media massa seperti televisi guna menaikkan share
rating untuk menaikkan perolehan jumlah iklan. Terlebih lagi jika adanya pemberitaan mengenai
korupsi, maka media massa akan dengan segera mengunggah mengenai tersebut, bahkan tak
jarang mereka menulis seadanya tanpa mengecek fakta yang ada di lapangan.
Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan
waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, di mana konstruksi sosial
berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, kyai kepada
santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anak anaknya, anak-anak remaja kepada
anak-anak yang lebih muda, dan sebagainya.
Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas
Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kemandulan dan ketajaman atau dengan kata lain tak
mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat transisi modern di Amerika telah habis
dan berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan
sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan
anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semi-
sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan
demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann
menjadi tak bermakna lagi.

Kesimpulan
Melalui data diatas dapat dilihat, bahwa konstruksi sosial dalam pemberitaan korupsi di
media massa merupakan fenomena umum. Namun pada kenyataannya konstruksi sosial atas
realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara
hierarkis-vertikal yang mana realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda,
karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antar pendekatan positivis dan konstruksionis
dalam memahami berita, mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja
seorang wartawan seharusnya dinilai. Karena diandaikan ada realitas yang objektif, maka berita
yang baik haruslah mencerminkan realitas tersebut.
Dengan demikian, media massa amat sangat dibutuhkan meskipun terkadang media
massa menggunakan masyarakat sebagai objek jualannya media massa seperti televisi guna
menaikkan share rating.
DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L., & Luckman, Thomas. (1966). The Social construction of
reality: A treatise in the sociological of knowledge

Erianto. (2005). Analisis wacana. Penerbit: LKiS, Yogyakarta

Karman, Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Gerakan Pemikiran (Suatu


Telaah Teoritis Terhadap Konstruksi Realitas Peter L. Berger),
Jakarta: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan
Informatika, Vol 5 Nomor 3 Maret 2015

Launa. (2019). KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI


NEGERI SIPIL.
https://jurnaldiakom.kominfo.go.id/index.php/mediakom/article/view/36
/18

Santoso, P. (n.d.). KONSTRUKSI SOSIAL MEDIA MASSA.

Shoemaker, Pamela J., & Reese, Stephen D. (1996). Mediating the message:
Theories of influences on mass media content

Rivaldi, S. A. (2017). KORUPSI DALAM KONSTRUKSI MEDIA: ANALISIS


WACANA KRITIS PEMBERITAAN KORUPSI DI TELEVISI SWASTA
NASIONAL TV ONE DAN KOMPAS TV.

Anda mungkin juga menyukai