ISSN 7470-4946
Abstract
Mass media become a subject in itself and hence deserve a
treatment more than just instrument for communicating This
article offers etno-media a new sub-field of media studies.
Akhmad Zaimi Abar adalah dosen Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian,
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, serta manager program di
Institut Pengembangan Demokrasi dan HAM (Inpedham), Yogyakarta. Kini sedang studi
Antropologi di Pasca Sariana UGM.
135
Vol. 4, No
Z November2000
dengan bantuan dari berbagai pihak yang lebih aht, sembari secara
terus-menerus berusaha mencari dan menelusuri berbagai literatur yang
relevan melalui kepustakaan yang offline maupun online (melalui
internet).
' Ada sejumlah argumen pokok mengapa media massa amat
perlu dan mendesak, tidak hanya sebagai bahan (artefak budaya) untuk
sumber kajian ebrografi, tefapi j.tgu sebagai obyek atau subyek kajian
ebrografi atau antropologi.'' Pertama, media massa kini menjadi sumber
dominan untuk memperoleh citra realitas sosial serta interpretasinya
dan penilaiannya. Bahkan, media cenderung membentuk pencitraan
dan penilaiannya sendiri yffigsecara tidak sadar mendapat persetujuan
massa atau khalayak media. Dalam banyak hal, apa yang dikatakan
pubtik tentang suatu peristiwa atau persoalan, adalah apa yang didapat
mereka dari media massa. Penilaian publik tentang suatu peristiwa lebih
mempakan penilaian media tentang peristiwa tersebut.
Kedua, media itgu menjadi wahana Pengembangan
kebudayaan, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol,
tetapi juga dalam pengertian tatacara, mode, gaya hidup dan normanorma. Budaya massa atau budaya pop cenderung menjadi budaya
dominan karena terus menerus diproduksi media massa. Pada sisi inilah
media massa lebih menjadi agen kebudayaan terpenting dan
menyingkirkan atau setidaknya menggantikan agen-agen lain, seperti
keluarga, sekolah, lembaga-lembaga agama, dan lain-lain.
Ketiga,media sebagai sebuah institusi sosial memiliki peraturan
dan norma-norma sendiri yang menghubungkan dirinya dengan
institusi lainnya atau dengan masyarakat. Sementara pada pihak lain,
Satu hal yang menarik adalah bahwa justru studi-studi antropologi tentang cyber mectia
dan internet cukup berkembang di Amerika Serikat. Misalnya Cristine Hine menulis buku
Wrtual Ethnography,Sage Publications, London, Thousand Oaks, NewDelhi, 2000. Menurut
Hine, kajian anbropologi harus mulai memasuki dunia on-line atau virtual yang kini sudah
menjadi kenyataan sosial dan kebudayaan manusia. Meskipun akan menghadapi sejumlah
masalah pada tingkat metodologi, Hine optimis bahwa virtual ebrografi akan berkembang
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi internet dengan berbagai implikasinya
dalam hubungan sosial. Dengan kata lain studi etno-media, terutama media offJine (media
tradisional, pers,TV dan radio) nampak ketinggalan dan kurang mendapat perhatian para
ahli media ataupun antropolog.
Argumen ini disusun berdasarkan buku Denis McQuail, Tbori Komunikasi Massa, Suatu
Pengantar, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1989.
136
t37
Pembedaan-pembedaan
communication (Elizabeth Keating, 2000: 285). Oleh karena itu etnokomunikasi lebih dilihat sebagai studi etnografi tentang komunikasi
lisan serta perilaku manusia ketika berkomunikasi. Dalam kajian ini
media massa sama sekali tidak disentuh, kecuali sebagai bahan kajian
dan bukan objek atau subyek kajian. Misalny a, kajran tentang
percakapan lisan di suatu siaran radio atau televisi. Di sini percakapan
hanya dilihat sebagai fenomena bahasa atau perilaku (budaya)
berkomunikasi, bukan sebagai,suatu bTgian dari fenomena media
sebagai suatu institusi budaya.
Dengan kata lain, ebro-media mengkaji realitas komunikasi atau
informasi di media massa, dan bukan sebagai sesuafu yang terpisah
"
138
Center for
-b*rs@nasw.org, tanpa tahun yangjetas) direktur The
A n th rop ol ogy an d
k i en c e Co m m u n i ca ti o n s (CASC), Washington
D. C.
salah satu cara untuk melihat sosok kultural media etnis tersebut secara
keseluruhan.
Etno-media juga bukan kajian tentang keberadaan kelompok
minoritas sebagai wartawan atau pengelola media. Untuk yang terakhir
ini, studi tentang keberadaan kelompok minoritas di dalam manajemen
media, biasanya berusaha melihat bagaimana posisi mereka dalam
struktur organisasi, bagaimana bargaining position mereka dalam
menentukan kebijakan media, terutama berkait dengan soal-soal sensitif
diskriminasi rasial.
Begitu j.rgu etno-media bukan studi tentang ekspresi etnis
minoritas dan mayoritas di media massa, seperti yang dilakukan oleh
Bernard Berelson dan Patricia Salter seperti dikutip Charles R. Wrigth
(1985), meskipun etno-media boleh melakukan topik dan spirit yang
yang sama. Kedua peneliti ini melihat perlakuan diskriminatif dan
sligmatis terhadap kalangan minoritas melalui media massa. Dengan
analisis isi terhadap cerita fiksi yang dimuat suatu majalah selama akhir
tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an ditemukan bahwa lakon
utamanya adalah orang-orang Amerika berkulit putih dan beragama
Protestan tanpa leluhur asing; kurang dari satu dari sepuluh pelakon
adalah minoritas dan orang-orang asing dari Anglo-Saxon dan
Skandin avia; dan sekitar satu dari sepuluh adalah orang Yunani, oranSorang berkulit hitam, orang-orang Timur, dan kelompok minoritas
lainnya serta orang-orang asing. Pelakon minoritas dan asing ini
digambarkan secara stereotype, seperti dalam kasus gangster Italia.
Begitu j,rgu, mereka (kelompok minoritas) lebih cenderung terlihat
dalam peran-peran orang bawahan, sePerti pembantu rumah tangga,
misalnya dan umumnya tidak disamakan dengan orang-orang Amerika
mayoritas dalam interaksi sosialnya.
Kedua peneliti
l4l
5l
Civic founalism atau public journalism adalah sebuah 'jurnalisme baru" yang mencoba
melihat Peran warga dalam pengelolaan pers, baik dalam news gatheringmaupun dalam
menentukan topik-topik berita yang sesuai dengan kebuhrhan publik. Lihat Mike Hoyt,
"Are You Now, or will You Ever Be, a civic Journalist?", dalam Columbia Journalism
R e vi e w,*ptember-Oktober, 1 995.
Penjelasan yang menarik tentang media massa dan komunikasi massa, lihat Denis McQuail,
Tbwards a Sociology of Mass Communications, Collier-MacMillan Limited, London, 1969.
142
Posisi Etno-Media
Vol. 4, No
2 November 2000
Vol.
4 No Z November 2000
t46
karena itu, syarat kedua adalah bahwa etnografer harus terjun langsung \e fagangan
tinggal untui waktu yang cukup lama den[an-1n]sY.arakatyang t"e1iudi,.{t:T1-1il
mendapatkan fakta atau
l;;";;,
fenelitia#y"."s"*.ri aktivitas ini dilakukan untuk
data yang otentik, asli, orisinil.
face
komunitas. pada clunia on-line orang liut yu akan mendapatkan data yang diperlakukan
selama ini
sebagai teks atau artefak buclal,a ttln bukan data otentik, asli seperti yang
e-mail'
ditemukan etnografer cti lapangan. Komunikasi hanya dimungkinkan dengan
kernungkinan
itu
karena
dan
keasliannya
iuga
.tip"riunyukan
llentitas informXn dapat
pandangan tlan respon atas pertanyaan etnografer'
''
media (teks)
dapat disebut sebagai stu.ti etno-media, meskiptin juga memanfaatkan produk
obyek
dengan
biasa
antropologi
itudi
hanya
ini
Studi
penelitian.
sekincler
sebagai bahan
Antro-Jumalisme,
sebagai
dikategorikan
dapat
kajian komunitas p"r,g"l,olu media. Atau
media
seperti 1,ang disebitUl" bagian sebelumnya, ierutama apabila komunitas pengelola
itu adalah para wartawan atau iumalis'
para etnografer lebih menghargai atau mengutamakan oral communi;;;;;uiirior,ut,
dianggap sebagai
cation dun menganigap sebagai sumber primer, sementara teks (fexfs)
sesuatu yang
bahan sekunder.'Seftt tutu kium postmodernis melihat justru te!1 1baq1i
Derrida,
diyakini
ini
Hal
oral.
komunikasi
daripada
buhusa
*anifestasi
lebih penting r"U"gui
ilmu
salah seorang tokoh besar postmodernis, dengan bukti bahwa perkembangan
teks (tulisan)'
adanya
karena
beikembang
justru
semakin
kesusateraan
iurr
pengetahu..
University
Lihat Robert Layton, An Introiuction to Theory in Anthrcpology, Cambridge
Press, Cambridge ,'!'997, hal. 184-215'
147
Vol. 4, No
Z November 2000
Catatan Penutup
Studi etno-media yang digagas dalam tulisan ini pertama-tama
harus dilihat sebagai wacana intelektu al yangmenantang, baik mereka
yang ahli di bidang ilmu komunikasi maupun ahli antropologi atau
ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Langkanya konsep-konsep di 6idang
interaction.
Perspektif y*g digunakan unluk studi etno-media amat terbuka
luas dari yang liberal-modern, struktural kritis sampai post modern.
Studi etno-media tentu saja akan semakin berkembang luas justru ketika
dia dilihat dalam perspektif yang beragam. Melalui tulisan ini saya
mengajak mereka yang tertarik pada studi media massa untuk muiai
menoleh ke studi etno-media, meskipun tulisan ini tidak banyak
memberikan arah yang mudah dan baik untuk mencapainya.***
Daftar Pustaka
Atkinson, Paul, Amanda Coffey,sara Delamont, John Lofland dan Lyn
Lofland (editors), (2000), Handbook of Etnongraphs+sage publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.
Bauman , Zygmunt,']-.979, 'A Note on Mass Culture:
on Infrustructure,'
dalam Denis McQuail (ed.), sociology of Mass Communicati ons, Penguin Books Ltd, Harmondswort, Middlesex, England.
148
t49
cation: Expanding Topics of Inquiry Beyond Participant Observation,' The Qualitative Report Vol. 5, No.1 &.2,May, (htfp'/
/ wwwnova.edu/ ssss/ QR/ QR5-1 / suter.html.
Wright, Charles R. (1985) , Sosiologi Komunikasi Massa, Remaja Karya,
Bandung.
r50