Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya populer atau budaya pop disebut pula sebagai budaya massa. Budaya

massa merupakan budaya yang lahir dan tumbuh subur di antara masyarakat umum.

Budaya ini timbul karena adanya hasrat untuk keluar dari kejenuhan dari aktivitas

yang dilakukan sehari-harinya dari masyarakat umum tersebut. Budaya massa

dibuat sekelompok orang demi menarik simpati banyak orang dan umumnya

bermutu rendah. Hal-hal tersebut disebut juga sebagai low culture (budaya rendah)

yaitu kebalikan dari high culture (budaya tinggi) (Haryanto, 2006: 188).

Pada perkembangan budaya saat ini, antara high culture dan low culture

semakin sulit untuk membedakan keduanya, sebab keduanya saling bersublimasi

dan saling bertukaran. Stuart Hall (dalam Storey 1994) sendiri menggambarkan

budaya pop sebagai sebuah arena konsensus dan resistensi yang di dalamnya

terdapat hegemoni. Budaya pop juga merupakan salah satu tempat yang

memberikan legalitas pada sosialisme. Menurut Strinati (2010: 2-5), budaya

populer sebagai budaya yang dihasilkan secara massal dengan bantuan teknologi

industri. Dipasarkan secara professional bagi publik konsumen dengan tujuan untuk

mendatangkan profit. Pada buku ‘Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya

Populer’, Strinati juga menaruh perhatian terhadap definisi kata “populer” sebagai

salah satu fenomena tersebut merupakan hal-hal yang kita alami sekarang, yaitu

1
2

sebuah fenomena budaya yang lahir karena dukungan teknologi baru dan budaya

konsumsi yang semakin merajalela.

Berkat adanya kemajuan media dan teknologi, budaya pop yang tak mengenal

batasan antara budaya tinggi dengan budaya massa di kalangan masyarakat

membuatnya dekat dengan ciri-ciri postmodernisme. Hal tersebut diperkuat dengan

pernyataan dari Strinati bahwa budaya populer postmodern bersifat beragam,

ikonoklastik atau penghancuran ikon-ikon tertentu, referensial, dan seperti kolase

merupakan perwujudan yang muncul dari tumbangnya metanarasi (Strinati, 2010:

342).

Baudrillard menyatakan bahwa kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri

atau unsur yang menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan

uang. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern.

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya

postmodern tidak sekedar sebagai alat-tukar, namun juga merupakan simbol, tanda

dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern

lebih mengutamakan penanda (signifier) daripada petanda (signified), media

(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact), sistem

tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika

(aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah

dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan

fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin

kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya

postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, di mana citra dan fakta bertubrukan
3

dalam satu ruang kesadaran yang sama. Lebih jauh lagi, hiperrealitas merupakan

realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima,

kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya

populer serta budaya media massa (Turner, 2012: 433-435).

Postmodernisme menurut Mike Featherstone identik dengan penekanan pada

pelanggaran. Postmodernisme juga merupakan pencarian hal-hal yang baru serta

inovasi terhadap budaya populer yang terjadi dan proses tersebut juga disertai

dengan munculnya perantara budaya dari luar. Jumlah pencarian pun semakin

banyak karena dipengaruhi untuk mencari-cari dan menyerbarkan kebudayaan

populer dan kebudayaan yang tidak biasa (uncommon cultures) melalui perluasan

media massa bagi masyarakat yang tertarik pada berbagai masalah kebudayaan

(Featherstone, 2007: 337-338).

Jumlah budaya populer yang semakin bertambah tentunya terjadi di setiap

negara di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Negeri Matahari Terbit, Jepang.

Fenomena keitai shousetsu yang terkenal di kalangan para remaja terutama siswa-

siswi sekolah menengah di Jepang menjadi salah satu dari berbagai budaya populer

di Jepang.

Munculnya keitai shousetsu berawal dari pesatnya perkembangan teknologi

telepon genggam di Jepang. Sejak tahun 1999, perusahaan-perusahaan penyedia

jasa layanan telepon genggam seperti NTT Docomo, DDI Cellular, Ezweb dan

Softbank berlomba-lomba menyajikan fitur-fitur canggih, sehingga para pelanggan

dapat mengakses internet melalui telepon genggam mereka. Pada saat yang

bersamaan, tren blog juga mulai menyebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali di
4

Jepang. Banyaknya pengguna internet yang menulis novel dan

mempublikasikannya pada blog mereka tidak luput dari perhatian Mahou no i-

rando, salah satu situs jasa pembuatan homepage pertama secara gratis. Situs ini

memberikan satu layanan portal yang disebut Book Kinou, tempat para pengguna

internet dapat saling berinteraksi, berbagi cerita, menulis atau membaca dan

memberi komentar pada karya-karya yang dimuat di situs tersebut. Portal inilah

yang menjadi cikal bakal munculnya keitai shousetsu karena dapat diakses melalui

personal computer (PC) maupun telepon genggam (Minami, 2008: 68). Pada tahun

2007, sastra elektronik ini menyebar di antara berita-berita. Lima dari sepuluh buku

fiksi yang terjual sukses di Jepang adalah hasil dari keitai shousetsu (Mauermann,

2010 dalam http://www.readingworldwide. com/index.php?id=8392).

Keitai shousetsu yang muncul dan berkembang di antara para remaja di Jepang

tentunya disebabkan oleh kedekatan mereka dengan kecanggihan teknologi telepon

genggam. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena tersebut merupakan salah satu

budaya populer di Jepang. Keitai shousetsu yang merupakan bagian dari budaya

populer tersebut dapat dipastikan memiliki unsur-unsur postmodernisme di

dalamnya. Oleh karena itu, skripsi ini ingin mengungkapkan unsur-unsur

postmodernisme yang ada di dalam fenomena keitai shousetsu sebagai salah satu

budaya yang sempat populer di antara para remaja di Jepang.

1.2 Permasalahan

Sebagaimana yang telah diuraikan latar belakang bahwa fenomena keitai

shousetsu merupakan wujud dari budaya populer yang lekat akan postmodernisme,
5

maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu apa saja unsur-unsur

postmodernisme yang timbul di fenomena keitai shousetsu?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menjawab masalah yang telah peneliti ajukan dalam

rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui unsur-unsur postmodernisme yang

muncul dalam fenomena keitai shousetsu.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh perkembangan dan meledaknya

fenomena keitai shousetsu di kalangan anak muda Jepang pada tahun 2002 hingga

2012. Rentang waktu tersebut dipilih, karena fenomena keitai shousetsu mencapai

puncak populernya di antara massa.

1.5 Tinjauan Pustaka

Objek penelitian mengenai keitai shousetsu sudah pernah dilakukan oleh

peneliti asal Jerman bernama Johanna Mauermann pada tahun 2010 dalam

jurnalnya yang berjudul Handyromane. Ein Lesephänomen aus Japan. Penelitian

ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Gwendolyn Schulte dengan judul

Cellphone Novel: A Reading Phenomenon Made in Japan. Jurnal tersebut

menjelaskan mengenai bagaimana pengaruh dalam kehidupan sosial kita, para

generasi muda merupakan bagian dari masyarakat yang tidak akan melepaskan

telepon genggam dari tangannya dan itu selalu terlihat di tempat-tempat umum
6

seperti di dalam kereta, kafe-kafe atau ditempat umum lainnya. Tidak ada yang

menyangka dari sekian banyak remaja yang menggunakan telepon genggam akan

melahirkan sebua novel yang terjual laris di pasaran.

Johanna juga membahas bagaimana keitai shousetsu yang dulunya hanya

menjadi budaya yang hanya di kalangan remaja saja menjadi terkenal di antara

penduduk awam di Jepang. Selain itu, Johanna juga membahas hubungan keitai

shousetsu sebagai penghubung antara budaya komunikasi dan sastra serta sebagai

salah satu media baru e-commerce di dunia masa kini. Namun dalam jurnal ilmiah

ini, Mauermann hanya meneliti permukaan dari fenomena keitai shousetsu itu

sendiri, tidak membahas secara eksplisit mengenai unsur-unsur postmodernisme

yang muncul dalam fenomena keitai shousetsu.

Ada pula makalah yang meneliti keitai shousetsu milik Stephanie Coates

dengan judul The Language of Mobile Phone Novels: Japanese Youth, Media

Language and Communicative Practice yang membahas bagaimana dua media

yang berbeda yaitu novel dan telepon genggam dapat membuat salah satu fenomena

yang tidak pernah terpikirkan, yaitu keitai shousetsu.

Makalah ini juga meneliti bahasa yang digunakan dalam keitai shousetsu yang

terdiri dari campuran antara bahasa percakapan dengan bahasa tulisan. Dalam

makalah ini, Coates hanya membatasi penelitiannya dengan lima novel yaitu: Dear

Friends karya Yoshi, Mata Aitakute karya SINKA, Aitsura Dake no Ohimesama!?

yang dikarang oleh Yui, Katayoku no Hitomi karya Nanase dan yang terakhir Sensei

wa Ore no Mono karya Mie.


7

Jurnal lainnya yang membahas keitai shousetsu adalah karya Larissa Hjorth

dengan judul Stories of the Mobile: Women, Micro-Narratives, and Mobile Novels

in Japan. Makalah ini meneliti bagaimana keitai shousestsu merupakan fenomena

mikro narasi yaitu sebuah gaya narasi yang diringkas dengan terlihat

karakterisasinya dengan menyingkat ekspresi, tempat dan waktu. Media keitai

shousetsu merupakan wujud media yang dapat membuat narasi dengan singkat dan

padat. Jurnal ini juga mengemukakan bagaimana keitai shousetsu dapat menjadi

salah satu fenomena yang menghubungkan antara satu wanita dengan wanita

lainnya mengingat penulis keitai shousetsu didominasi oleh kaum hawa.

Fenomena keitai shousetsu sebelumnya telah dibahas pula pada bab enam

dalam sebuah buku berjudul Posto = Posto·Modaan Toshiteno Keitai Shousetsu (ポ

スト=ポスト・モダンとしてのケータイ小説 ) yang disusun oleh Ishara Chiaki.

Chiaki menjelaskan mengenai bagaimana tema seks yang diusung dalam keitai

shousetsu sangatlah ringan, mudah, terkesan buru-buru dan berani untuk dijadikan

sisipan dalam cerita. Hal itu menjadi suatu hal yang lumrah bagi para penulisnya

yang notabene masih berusia remaja dan menjadi salah satu bukti bahwa keitai

shousetsu merupakan budaya postmodern.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah penelitian

ini secara khusus memaparkan tentang ada tidaknya unsur-unsur postmodernisme

yang terdapat di dalam keitai shousetsu. Untuk membuktikan ada tidaknya unsur-

unsur postmodernisme tersebut, penulis akan menggunakan tiga karya keitai

shousetsu berjudul Koizora – Setsunai Koi wo Monogatari milik Mika, Tsuugaku

Densha – Kimi to Boku no Heya karya Miyu, dan Ousama Game karya Pakkuncho.
8

1.6 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Menurut

Sugiyono (2009:49) kerangka konseptual merupakan sintesa tentang hubungan

antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Kerangka

konseptual berisi pengertian-pengertian yang ada pada penelitian ini. Kerangka

konsep ini bertujuan untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar

tentang suatu topik yang akan dibahas.

Setiap harinya, teknologi semakin maju dan komunikasi antar manusia

semakin mudah. Abad komunikasi massa dipaksa berkembang lebih cepat lagi

dengan mencuatnya internet sebagai bagian dari media massa. Media ini dapat

menembus ruang dan waktu untuk mendapatkan informasi yang ingin didapatkan

oleh manusia. Dewasa ini, media massa lainnya seperti televisi, radio, media cetak

atau bahkan media massa selain internet ‘meminta bantuan’ internet itu sendiri

untuk menyebarkan informasi lebih cepat. Hal ini dapat terjadi karena manusia

yang terus melakukan pengembangan, eksplorasi, dan penelitian demi kemajuan di

bidang teknologi komunikasi massa (Nurudin, 2007: 60).

Secara garis besar Nurudin dalam bukunya yang berjudul “Pengantar

Komunikasi Massa” menyebutkan bahwa ada 10 teori media yang memberikan

pengaruh terhadap opini dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya. Salah

satu dari teori tersebut adalah Technological Determinism Theory yang

dikemukakan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1962. Ide dasar teori ini adalah

bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan
9

membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu

bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan teknologi tersebut

akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad

teknologi yang lain. Penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan

perubahan budaya. Jenis-jenis komunikasi kemudian membentuk kehidupan

manusia, sehingga akhirnya peralatan komunikasi yang kita gunakan juga

membentuk dan memengaruhi kehidupan kita sendiri. McLuhan percaya bahwa

penemuan telegraf pada tahap selanjutnya, mengantarkan orang-orang memasuki

era elektronik. Kemampuan yang terjadi akibat era elektronik menyebabkan

perluasan yang lebih baik pada pikiran dan perasaan manusia. Perkembangan media

elektronik ditandai pula dengan pemanfaatan komputer yang dipasang peralatan

internet. Eksistensi internet memungkinkan manusia untuk bisa “mengitari dunia”

ini dengan berbagai cara seperti berdiskusi, chatting, atau mengirim surat dengan

e-mail (Nurudin, 2007: 184-187).

Sebagai salah satu komoditas yang muncul karena pemanfaatan media massa,

budaya massa atau budaya populer pun menjadi salah satu hal yang tak boleh luput.

Budaya populer adalah budaya massa yang digerakan oleh kepentingan pasar

karena mengambil nilai dari dunia iklan, industri hiburan dan dunia massa.

Menurut Strinati budaya massa yang menggeser masyarakat yang berbasis tradisi

sehingga budaya populer sering disebut dengan budaya massa. Kebudayaan

populer memiliki dua karakter, yaitu bersifat instan, memberikan pemuasaan

sesaat dan cenderung dangkal dan bersifat massa sehingga penyebarannya di tengah

masyarakat sedemikian cepat. Keberadaan budaya populer tidak terlepas dari


10

dampak posmodernisme, yaitu kebebasan berekspresi. Budaya populer merupakan

budaya yang disukai oleh banyak orang. Strinati juga mengungkapkan bahwa

budaya massa adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan

rangsangan intelektual, dan lebih cenderung pada pengembangan fantasi tanpa

beban dan pelarian (2010:16). Dalam kebudayaan massa tidak ada lagi elitisme

karena semua bersifat massal, yang artinya semua orang mengkonsumsi.

Kebudayaan massa memiliki sifat-sifat komersial, menghibur, populer, modern

merupakan paket, mempunyai penonton yang luas dan dapat diperoleh secara

demokratis (Kayam, 2004:28 via Pratama, 2014: 6). Teks dan praktik budaya pop

lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian

kolektif. Seperti diungkapkan oleh Richard Maltby, budaya pop memberi ruang

bagi “eskapisme yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat tertentu, tetapi suatu

pelarian dari utopia kita sendiri” (Maltby, 1989; 14).

Menurut Kohler (1977) dan Hassan (1985), istilah ‘postmodernisme’ pertama

kali digunakan oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an untuk menunjukkan

reaksi minor terhadap modernisme. Pengertiannya sendiri menurut Mike

Featherstone postmodernisme adalah penekanan pada penghapusan batas antara

seni dengan kehidupan sehari-hari, hancurnya pembedaan antara seni tinggi dengan

budaya massa atau budaya populer, adanya percampuran stilistik umum serta

percampuran berbagai peraturan yang tampak lucu (Featherstone, 2007: 155).

Menyinggung masalah teknologi, postmodernisme juga tak jauh dari

pengaruhnya. Menurut Carla Freccero postmodernisme cenderung ditandai dengan

kecintaan serta kejenuhan akan perkembangan teknologi secara bersamaan. Adanya


11

“mainan teknologi” seperti telepon genggam, laptop dan komputer menandakan

bahwa kita adalah manusia yang memiliki “kedudukan”. Teknologi sendiri

merupakan tanda dari akhirnya abad ke-20 dan merupakan tanda dari “Zaman

Meniru”. Penguasa teknologi sendiri sekarang lebih berada di tangan para siswa

atau kalangan remaja di mana mereka memiliki berbagai macam literasi baru dan

cara mudah untuk menyatu-padukan serta menghubungkan grafis antara gambar

dan tulisan (Freccero, 1999: 4 dan 99).

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Menurut Strauss dan

Corbin, penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selain itu,

Vredenbregt via Silvia mengungkapkan bahwa metode penelitian kualitatif adalah

suatu metode penelitian dengan pemahaman secara mendalam, holistic, tidak

menggunakan sampel yang besar, dan tidak dapat dianalisis secara statistik dan

diharapkan data yang didapat lebih menjurus kepada permasalahan yang akan

dibahas (Naufal, 2013: 13).

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah menentukan objek

penelitian, menentukan perumusan masalah, menentukan kerangka konseptual, dan

mencari data dari berbagai sumber, baik data primer maupun sekunder. Data-data

tersebut diperoleh dari studi pustaka dan beberapa informasi yang di dapatkan

melalui internet untuk mendukung kelengkapan data dalam penelitian ini. Data

utama pada penelitian ini yaitu studi pustaka yang mengacu pada buku-buku,
12

jurnal-jurnal, dan artikel yang berhubungan dengan tema penelitian ini, yaitu keitai

shousetsu, sejarah literasi di Jepang serta budaya membaca di masyarakat Jepang.

Sumber data tersebut diperoleh melalui perpustakaan dan pencarian arsip jurnal di

internet (Finna, 2013: 11-12).

Selain studi pustaka, data pendukung lainnya yaitu wawancara dengan remaja

Jepang atau mahasiswa yang tinggal di Jepang yang pernah atau sedang membaca

keitai shousetsu. Wawancara dilakukan melalui situs jejaring sosial, forum maupun

secara langsung. Setelah melakukan penentuan objek yang diteliti dan

pengumpulan data, langkah kedua yang harus dilakukan adalah verifikasi data,

kemudian menyusun dan mengolah data serta menganalisis dan

menginterpretasikan data (Finna, 2013: 12).

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian dalam skripsi ini direncanakan akan dijabarkan dalam 5 bab dengan

rincian sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sitematika

penulisan sebagai landasan penulisan pada bab-bab berikutnya.

BAB II mendeskripsikan sejarah literasi serta budaya membaca di masyarakat

Jepang.

BAB III mendeskripsikan pengertian keitai shousetsu melalui tinjauan historis,

definisi dan perkembangannya.


13

BAB IV menganalisis unsur-unsur postmodernisme yang muncul dalam

fenomena keitai shousetsu.

BAB V berisi kesimpulan dari penelitian.

Anda mungkin juga menyukai