Anda di halaman 1dari 6

Nama:Naztia Afifah

NIM:2001125089

1. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka saat itulah


komunikasi mengambil peran penting dalam hubungan yang tercipta.
Komunikasi yang sedang berlangsung antar individu terbagi atas apa
yang dimaksud dengan komunikasi verbal atau pun nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang bersifat lisan atau komunikasi
dengan menggunakan kata-kata (lisan) maupun tulisan (Devito 2013).
Komunikasi antarpersonal adalah prosedur yang membuat dua orang
bertukar informasi, perasaan yang disampaikan melalui pesan verbal dan
noverbal. Definisi ini menggaris bawahi fakta penting bahwa komunikasi
antarpersonal tidak hanya mementingkan tentang “apa” diucapkan, yaitu,
Bahasa yang digunakan, tapi “bagaimana” cara bahasa itu di ucapkan,
misalnya, pesan nonverbal yang dikirim, seperti nada suara dan ekspresi
wajah. Komunikasi antarpersonal sebagai komunikasi yang memiliki
kateristik khas sebagai berikut: (1) Komunikasi dari satu orang kepada
satu orang lain, (2) Komunikasi yang terjadi secara tatap muka, (3)
Komunikasi yang mencerminkan bentuk dan isi komunikasi yang bersifat
interaksi antarpersonal dan (4) Dengan komunikasi yang mengutamakan
karakteristik individu, peran individu dalam relasi sosial di antara mereka
(Hartley, 1999).

2. Bahasan mengenai evolusi media di tulis oleh Straubhaar dan


LaRose (2002). Kedua ahli tersebut mengkaitkan perkembangan media
komunikasi dengan tiga tahapan pembangunan ekonomi dalam
masyarakat yaitu: Masyarakat agricultural, industrial, informasi. Sebelum
menjelaskan lebih lanjut ketiga tahapan tersebut, mereka memulai dengan
masyarakat Praagricultural. Masyarakat Praagricultural. Dalam
masyarakat ini, anggota masyarakatnya tinggal dalam kelompok-
kelompok sebagai pemburu atau pengumpul makanan dari alam.
Kebudayaan ini bergantung pada kata-kata yang diucapkan, bukan
bahasa tertulis, untuk menyampaikan tradisi mereka secara turun-
temurun. Tradisi ini terus bertahan dalam masyarakat kontemporer.
Contohnya, masih banyak orang yang buta huruf dan tidak cukup mampu
membaca koran, buku, maupun tanda-tanda lalu lintas. Banyak juga orang
yang tidak bertempat tinggal tetap dan memperoleh makanan dari berburu
ataupun mengumpulkan makanan, bahkan terjadi di kota bahkan di hutan.
Masyarakat Agricutural. Dalam masyarakat ini, banyak pekerjaan
berdasarkan pada pertanian atau pengolahan sumber alam. Contoh
pengolah sumber alam adalah penambang, penangkap ikan dan
penebang pohon. Dibandingkan dengan masyarakat sebelumnya, dalam
agricultural masyarakatnya lebih mapan dan lebih kompleks, sehingga
memberi perhatian yang besar pada komunikasi. Bahasa tulisan mulai
dikenal. Komunikasi yang berlangsung berfungsi khusus seperti
pengobatan, pengajaran, atau pembuatan lilin, karena banyak orang,
apakah itu petani atau bangsawan, kurang banyak baca tulis. Orang-
orang tertentu yang menggunakan bahasa tulisan dalam surat menyurat,
pencatatan, dan membuat salinan “manuscripts” yang biasanya dilakoni
ordo agama tertentu dan golongan saudagar. Karena banyak orang yang
tidak mampu baca tulis, kemampuan mengingat pesan ujaran bisa lama
dan merupakan kekhususan komunikasi yang bernilai. Saluran
komunikasi massa primer di awal era ini berupa buku tulisan tangan yang
di salin, tetapi sirkulasinya terbatas, karena memerlukan tenaga yang
banyak. Era ini agricultural dan komunikasi tertulis ini di perikirakan di
temukan 4.000 B.C pada bangsa Sumeria. Masyarakat Industri. Walaupun
Revolusi Industri sering di anggap dimulai saat penemuan mesin uap
tahun 1712 oleh Thomas Newcom, namun asal mula penting metode
industri di temukan di bidang komunikasi yaitu publikasi Kitab Suci
Guttenberg di tahun 1456. Dengan penemuan alat cetak tersebut
memungkinkan meningkatnya kecepatan produksi buku, bisa mencapai
jumlah copy sangat banyak dan biaya lebih murah. Produk massa ini
memungkinkan membentuk khalayak penerima pesan komunikasi lebih
banyak. Revolusi industri dalam pemahaman metode Gutternberg ini
mendorong pembuatan semua jenis barang menggunakan mesin. Produsi
industri berpusat di kota, mendorong migrasi secara besar-besaran dari
desa ke kota, migrasi pekerjaan dari pertanian ke pekerjaan publik.
Industrialisasi juga mendorong memperluas “literasi” yang memungkinkan
berkembangnya pekerjaan yang lebih kompleks dan mendukung
kehidupan urban. Di tahun 1830an, urbanisasi, literasi, dan kebutuhan
pengiklanan barang-barang pabrik baru mendorong lainnya media massa,
koran yang terbit di kota atau Penny Press. Setelah koran, proses industri
ini bertambah besar setelah berbagai media: radio, film, televisi ikut
mendorong kegiatan perekonomian. Masyarakat Indormasi. Berbagai
teknologi komunikasi terutama sejak komputer berkembang dalam
masyarakat pada dekade 1970an, masyarakat mengalami perbesaran
skala pekerjaan di bidang informasi. Kemampuannya dalam menciptakan,
menyimpan dan memproses informasi, dilengkapi konversi semua media
ke berbagai komputer mampu menggerakkan konvergensi media lama
sehingga mengubah era industri dengan media komputer. Media
komputer mentransformasi pengalaman media massa dengan berbagai
cara, memungkinkan bentuk-bentuk produksi baru seperti animasi,
memungkinkan khalayak terbiasa untuk mengendalikan informasi secara
individual.
Pavlik(1988), mengemukakan bahwa para ahli sejarah menamakan akhir
abad ke 20 sebagai era 64-bit Super Mario, Internet, dan Pentium PC.
Untuk memahami perkembangan teknologi komunikasi saat ini,perlu untuk
di telusuri jejak-jejak di masa lalu. Sejak suatu hari orang-orang Aborigin
menggambarkan dan membentuk lambing-lambang tulisan di Australia
80.000 sebelum Masehi dan lukisan di gua di Altamira Spanyol, 60.000
tahun sesudahnya, orang-orang telah menggunakan teknologi sebagai
suatu saluran berkomunikasi, melintasi ruang dan waktu. Di dunia
modern, jejak-jejak teknologi komunikasi baru yang melahirkan
masyarakat informasi di mulai tahun 1956, saat itu untuk pertama kali
lebih dari 50% pekerjaan dikuasai sektor jasa: Burroughts Corporation
memproduksi E101, Komputer desktop pertama: videotape juga
diperkenalkan bagi dunia televisi; dan soviet meluncurkan satelit “Sputnik”.
Dalam empat dekade setelah itu sistem komunikasi dunia berubah secara
dramatic, sehingga mengajak kita semua ke pikiran Marshal Mcluhan
dengan Global Village. Di akhir dekade 1980an globalisasi telah menjadi
istilah untuk menjelajahi interdependesi yang mana agen penting
globalisasi adalah korporasain transasional. Kekuatan utama yang
menggerakkan revolusi teknologi informasi dan komunikasi.

3. A. Charron (1979) menyebutkan pentingnya pemahaman


terhadap simbol-simbol Ketika seseorang menggunakan teori
interaksionisme simbolis. Simbol adalah objek sosial dalam komunikasi
yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya. Orang-orang
tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah objek tersebut di
dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk
objek fisik (benda-benda kasat mata); kata-kata(untuk mewakili objek fisik,
perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan (yang dilakukan orang
untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain).
Tiga tema konsep pemikiran “Goerge Herbet Mead” yang mendasari
interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku
manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari
proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai
pada akhirnya di kontruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara
bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia
bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan
orang lain kepada mereka. Makna diciptakan dalam interaksi antar
manusia. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
2. Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui
individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan
orang lainnya dengan cara antara lain: Individu-individu mengembangkan
konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri membentuk
motif yang penting untuk perilaku. “Mead” sering kali menyatakan hal ini.
Sebagai: “ The particular kind of role thingking-imagining how we look
another person ”or” ability to see ourselves in the reflection of another
glass”.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema ini berfokus dengan hubungan antara kebebasan individu dan
masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap
individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan
yang ada dalam sosial kemasyrakatannya. Fokus dari tema ini adalah
untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses
sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan
kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, struktur
sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

B. Prinsip ini menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk


memikirkan diri sendiri, teman dan pesan-pesannya. Aktivitas berpikir ini
dilakukan pada waktu yang bersamaan. Aktivitas ini sifatnya
merefleksikan diri. Prinsip ini mengizinkan kita untuk selalu memonitor
tindakan yang telah kita lakukan dan selalu membuat penyesuaian Ketika
hal itu penting dan sangat dibutuhkan. Prinsip ini juga akan selalu
menjadikan kita sebagai makhluk manusia untuk selalu belajar dan terus
belajar. Hal ini termasuk pada prinsip komunikasi lainnya bahwa kita akan
terus belajar untuk berkomunikasi. Semakin banyak kita berpikir dan
belajar, semakin banyak hal yang baru diperoleh.

4. Saya menyukai Model Lasswell. Karena Lasswell mengemukakan


bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh
komunikator cocok dengan kerangka acuan. Selain itu Model Lasswel
juga merupakan model yang singkat, jelas dan mudah di mengerti. Dan di
dalam model Lasswell menjelaskan komunikasi pada dasarnya suatu
proses yang menjelaskan siapa? Mengatakan apa? Dengan saluran apa?
Kepada siapa? Dengan akibat atau hasil apa?. Dan komunikasi akan
berlangsung dengan baik dan berhasil apabila ada kesamaan makna
atara komunikator dan komunikan yang di tunjukkan kepada komunikan
dengan pesan non verbal atau gerak tubuh.

5. Berdasarkan penilitian yang dilakukan Ruri Rosmalinda (2017)


penyebab munculnya hoax adalah karena kemudahan bagi masyarakat
dalam memiliki alat komunikasi yang modern dan murah, dalam hal ini
adalah penggunaan smartphone sebagai media pencarian infromasi.
Masyarakat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang belum jelas tanpa
memverifikasi atau mengkonfirmasi kebenaran informasi/berita tersebut,
sehingga langsung melakukan tindakan share informasi yang belum jelas
kebenarannya. Kurangnya minat membaca, sehingga ada kecenderungan
membahas berita yang berdasarkan data yang tidak akurat, hanya
mengandalkan daya ingat atau sumber yang tidak jelas.

Hoax yang tersebar di media sosial menunjukkan pada kita bagaimana


komunikasi di media dilakukan dengan cara horizontal lewat mekanisme
share. Komodifikasi pun hadir dalam hoax dengan cara menjadikan emosi
yang timbul atas sebuah gambar atau teks sebagai barang yang dijual
agar kebohongan yang ia “jual” menjadi “laku”. Dalam pembuatan hoax
juga ditemukan bahwa hal tersebut bukan hanya dilakukan untuk sekedar
menipu publik namun juga ditujukan agar pembuatnya mendapatkan
keuntungan finansial atau terkenal (Vida, 2012). Komodifikasi emosi
terjadi pada semua hoax yang diteliti. Emosi yang telah menjadi
komoditas kemudian dimasukkan dalam sebuah pesan, bisa dengan
memenuhi keseluruhan pesan atau di modifikasi dengan daya tarik emosi
bisa beragam, mulai dari penjelasan verbal atau bahasa yang kasar,
hingga foto, video atau sebuah benda (Jorgersen, 1998). Dalam kasus ini
daya tarik emosi hadir lewat bentuk news picture dan kata-kata. Emosi
dibangun lewat penggunaan kata/frasa yang menggambarkan perlukaan,
kata sifat, dan ungkapan agama tertentu serta penggunaan news picture
yang memperlihatkan penderitaan, luka, hal yang menjijikkan ataupun
sadis. Gambar-gambar tersebut digunakan membangun emosi rasa
marah, jijik, takut, cemas, dan kesedihan (Bright & Goodman-Delahunty,
2006). Gambar tersebut dipilih karena sebuah gambar tragedi dan
kekerasaan bukan hanya mampu membangkitkan emosi tertentu namun
juga memiliki kekuatan sebagai pembawa pesan, mitos, memori (Keith,
Schwalbe, & Silcock, 2006), serta menyatukan orang-orang dan
memobilisasi (Sparks, 2001 dalam Jewkes, 2004). Maka pantas rasanya
jika katakan bahwa sebuah citra atau gambar juga bisa menjadi
instrument hegmoni politis (Grau & Veigl, 2001). Komodifikasi dilakukan
dengan cara mengambil foto dari pemberitaan terdahulu, mengubah
manusia dan makna menjadi komoditas yang memenuhi kebutuhan
tertentu (Baker, 2004), dalam kasus ini menjadi satu-satunya hal yang
penting dari diri mereka, bahkan bisa menjadikan identitas mereka.
Contohnya pada hoax tentang biksu Budhha Myanmar yang terkena
penyakit karena di adzab. Penderitaan kolektif tersebut digunakan untuk
membangkitkan emosi. Para korban yang digambarkan dalam news
picture tersebut dihilangkan identitasnya dan direduksi kembali dengan
cara diberikan identitas baru untuk memenuhi kebutuhan pembuat hoax.
Tergantung pada konteks baru yang dilekatkan, berbagai emosi, seperti
marah, sedih, hingga puas muncul atas penderitaan yang mereka
rasakan. Saat seseorang merasakan emosi marah ataupun sedih, rasa
sakit dan penderitaan yang dimiliki orang tersebut pun menjadi “milik kita,
usaha mengambil yang kemudian mengubahnya, bahkan menetralkan
rasa sakit mereka menjadi rasa sedih kita. Meski begitu bukan perasaan
negative yang sama-sama dimiliki pembaca dan korban menjadi setara.
Kita merasakan kesedihan akan penderitaan mereka, “akan” di situlah
yang kemudian tetap meletakkan mereka menjadi objek dari “perasaan
kita” (Ahmed, 2004). Salah satu alasan mengapa hadirnya sebuah
gambar dianggap sebagai sebuah bukti atas terjadinya sesuatu. Tidak
terlepas dari fakta bahwa memang telah sejak lama fotografi dianggap
sebagai “puncak” atas objektivitasnya, bukan hanya karena klaim
kemampuan denotatifnya namun juga konteksnya yang fleksibel dalam
menghasilkan makna (Huxford, 2001 dalam Jones & Wardle, 2008).
Sayangnya makna sebuah gambar tidak akan benar-benar jelas sampai ia
didampingi dan dijelaskan oleh teks (Barthes, 1977 dalam Felsread,
Jewson, & Walters, 2004). Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh
pembuat hoax dengan memberikan konteks baru bagi sebuah gambar
sesuai kepentingannya lewat teks yang disandingkan dengan gambar
tersebut. Ini menunjukkan bahwa sebuah caption dari foto tak hanya
mampu menjbarkan namun juga mampu membuat sebuah gambar
menjadi salah (Ilan, 2017).

Anda mungkin juga menyukai