0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan6 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang komunikasi antarpersonal dan evolusi media komunikasi dari masa pra-agrikultur hingga masyarakat informasi. Dibahas pula tentang teori interaksionisme simbolis George Herbert Mead yang menekankan pentingnya makna dan konsep diri dalam interaksi sosial manusia.
Dokumen tersebut membahas tentang komunikasi antarpersonal dan evolusi media komunikasi dari masa pra-agrikultur hingga masyarakat informasi. Dibahas pula tentang teori interaksionisme simbolis George Herbert Mead yang menekankan pentingnya makna dan konsep diri dalam interaksi sosial manusia.
Dokumen tersebut membahas tentang komunikasi antarpersonal dan evolusi media komunikasi dari masa pra-agrikultur hingga masyarakat informasi. Dibahas pula tentang teori interaksionisme simbolis George Herbert Mead yang menekankan pentingnya makna dan konsep diri dalam interaksi sosial manusia.
1. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka saat itulah
komunikasi mengambil peran penting dalam hubungan yang tercipta. Komunikasi yang sedang berlangsung antar individu terbagi atas apa yang dimaksud dengan komunikasi verbal atau pun nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang bersifat lisan atau komunikasi dengan menggunakan kata-kata (lisan) maupun tulisan (Devito 2013). Komunikasi antarpersonal adalah prosedur yang membuat dua orang bertukar informasi, perasaan yang disampaikan melalui pesan verbal dan noverbal. Definisi ini menggaris bawahi fakta penting bahwa komunikasi antarpersonal tidak hanya mementingkan tentang “apa” diucapkan, yaitu, Bahasa yang digunakan, tapi “bagaimana” cara bahasa itu di ucapkan, misalnya, pesan nonverbal yang dikirim, seperti nada suara dan ekspresi wajah. Komunikasi antarpersonal sebagai komunikasi yang memiliki kateristik khas sebagai berikut: (1) Komunikasi dari satu orang kepada satu orang lain, (2) Komunikasi yang terjadi secara tatap muka, (3) Komunikasi yang mencerminkan bentuk dan isi komunikasi yang bersifat interaksi antarpersonal dan (4) Dengan komunikasi yang mengutamakan karakteristik individu, peran individu dalam relasi sosial di antara mereka (Hartley, 1999).
2. Bahasan mengenai evolusi media di tulis oleh Straubhaar dan
LaRose (2002). Kedua ahli tersebut mengkaitkan perkembangan media komunikasi dengan tiga tahapan pembangunan ekonomi dalam masyarakat yaitu: Masyarakat agricultural, industrial, informasi. Sebelum menjelaskan lebih lanjut ketiga tahapan tersebut, mereka memulai dengan masyarakat Praagricultural. Masyarakat Praagricultural. Dalam masyarakat ini, anggota masyarakatnya tinggal dalam kelompok- kelompok sebagai pemburu atau pengumpul makanan dari alam. Kebudayaan ini bergantung pada kata-kata yang diucapkan, bukan bahasa tertulis, untuk menyampaikan tradisi mereka secara turun- temurun. Tradisi ini terus bertahan dalam masyarakat kontemporer. Contohnya, masih banyak orang yang buta huruf dan tidak cukup mampu membaca koran, buku, maupun tanda-tanda lalu lintas. Banyak juga orang yang tidak bertempat tinggal tetap dan memperoleh makanan dari berburu ataupun mengumpulkan makanan, bahkan terjadi di kota bahkan di hutan. Masyarakat Agricutural. Dalam masyarakat ini, banyak pekerjaan berdasarkan pada pertanian atau pengolahan sumber alam. Contoh pengolah sumber alam adalah penambang, penangkap ikan dan penebang pohon. Dibandingkan dengan masyarakat sebelumnya, dalam agricultural masyarakatnya lebih mapan dan lebih kompleks, sehingga memberi perhatian yang besar pada komunikasi. Bahasa tulisan mulai dikenal. Komunikasi yang berlangsung berfungsi khusus seperti pengobatan, pengajaran, atau pembuatan lilin, karena banyak orang, apakah itu petani atau bangsawan, kurang banyak baca tulis. Orang- orang tertentu yang menggunakan bahasa tulisan dalam surat menyurat, pencatatan, dan membuat salinan “manuscripts” yang biasanya dilakoni ordo agama tertentu dan golongan saudagar. Karena banyak orang yang tidak mampu baca tulis, kemampuan mengingat pesan ujaran bisa lama dan merupakan kekhususan komunikasi yang bernilai. Saluran komunikasi massa primer di awal era ini berupa buku tulisan tangan yang di salin, tetapi sirkulasinya terbatas, karena memerlukan tenaga yang banyak. Era ini agricultural dan komunikasi tertulis ini di perikirakan di temukan 4.000 B.C pada bangsa Sumeria. Masyarakat Industri. Walaupun Revolusi Industri sering di anggap dimulai saat penemuan mesin uap tahun 1712 oleh Thomas Newcom, namun asal mula penting metode industri di temukan di bidang komunikasi yaitu publikasi Kitab Suci Guttenberg di tahun 1456. Dengan penemuan alat cetak tersebut memungkinkan meningkatnya kecepatan produksi buku, bisa mencapai jumlah copy sangat banyak dan biaya lebih murah. Produk massa ini memungkinkan membentuk khalayak penerima pesan komunikasi lebih banyak. Revolusi industri dalam pemahaman metode Gutternberg ini mendorong pembuatan semua jenis barang menggunakan mesin. Produsi industri berpusat di kota, mendorong migrasi secara besar-besaran dari desa ke kota, migrasi pekerjaan dari pertanian ke pekerjaan publik. Industrialisasi juga mendorong memperluas “literasi” yang memungkinkan berkembangnya pekerjaan yang lebih kompleks dan mendukung kehidupan urban. Di tahun 1830an, urbanisasi, literasi, dan kebutuhan pengiklanan barang-barang pabrik baru mendorong lainnya media massa, koran yang terbit di kota atau Penny Press. Setelah koran, proses industri ini bertambah besar setelah berbagai media: radio, film, televisi ikut mendorong kegiatan perekonomian. Masyarakat Indormasi. Berbagai teknologi komunikasi terutama sejak komputer berkembang dalam masyarakat pada dekade 1970an, masyarakat mengalami perbesaran skala pekerjaan di bidang informasi. Kemampuannya dalam menciptakan, menyimpan dan memproses informasi, dilengkapi konversi semua media ke berbagai komputer mampu menggerakkan konvergensi media lama sehingga mengubah era industri dengan media komputer. Media komputer mentransformasi pengalaman media massa dengan berbagai cara, memungkinkan bentuk-bentuk produksi baru seperti animasi, memungkinkan khalayak terbiasa untuk mengendalikan informasi secara individual. Pavlik(1988), mengemukakan bahwa para ahli sejarah menamakan akhir abad ke 20 sebagai era 64-bit Super Mario, Internet, dan Pentium PC. Untuk memahami perkembangan teknologi komunikasi saat ini,perlu untuk di telusuri jejak-jejak di masa lalu. Sejak suatu hari orang-orang Aborigin menggambarkan dan membentuk lambing-lambang tulisan di Australia 80.000 sebelum Masehi dan lukisan di gua di Altamira Spanyol, 60.000 tahun sesudahnya, orang-orang telah menggunakan teknologi sebagai suatu saluran berkomunikasi, melintasi ruang dan waktu. Di dunia modern, jejak-jejak teknologi komunikasi baru yang melahirkan masyarakat informasi di mulai tahun 1956, saat itu untuk pertama kali lebih dari 50% pekerjaan dikuasai sektor jasa: Burroughts Corporation memproduksi E101, Komputer desktop pertama: videotape juga diperkenalkan bagi dunia televisi; dan soviet meluncurkan satelit “Sputnik”. Dalam empat dekade setelah itu sistem komunikasi dunia berubah secara dramatic, sehingga mengajak kita semua ke pikiran Marshal Mcluhan dengan Global Village. Di akhir dekade 1980an globalisasi telah menjadi istilah untuk menjelajahi interdependesi yang mana agen penting globalisasi adalah korporasain transasional. Kekuatan utama yang menggerakkan revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
3. A. Charron (1979) menyebutkan pentingnya pemahaman
terhadap simbol-simbol Ketika seseorang menggunakan teori interaksionisme simbolis. Simbol adalah objek sosial dalam komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (benda-benda kasat mata); kata-kata(untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan (yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain). Tiga tema konsep pemikiran “Goerge Herbet Mead” yang mendasari interaksi simbolik antara lain: 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia. Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di kontruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. 2. Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain: Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku. “Mead” sering kali menyatakan hal ini. Sebagai: “ The particular kind of role thingking-imagining how we look another person ”or” ability to see ourselves in the reflection of another glass”. 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat Tema ini berfokus dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyrakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
B. Prinsip ini menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
memikirkan diri sendiri, teman dan pesan-pesannya. Aktivitas berpikir ini dilakukan pada waktu yang bersamaan. Aktivitas ini sifatnya merefleksikan diri. Prinsip ini mengizinkan kita untuk selalu memonitor tindakan yang telah kita lakukan dan selalu membuat penyesuaian Ketika hal itu penting dan sangat dibutuhkan. Prinsip ini juga akan selalu menjadikan kita sebagai makhluk manusia untuk selalu belajar dan terus belajar. Hal ini termasuk pada prinsip komunikasi lainnya bahwa kita akan terus belajar untuk berkomunikasi. Semakin banyak kita berpikir dan belajar, semakin banyak hal yang baru diperoleh.
4. Saya menyukai Model Lasswell. Karena Lasswell mengemukakan
bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan. Selain itu Model Lasswel juga merupakan model yang singkat, jelas dan mudah di mengerti. Dan di dalam model Lasswell menjelaskan komunikasi pada dasarnya suatu proses yang menjelaskan siapa? Mengatakan apa? Dengan saluran apa? Kepada siapa? Dengan akibat atau hasil apa?. Dan komunikasi akan berlangsung dengan baik dan berhasil apabila ada kesamaan makna atara komunikator dan komunikan yang di tunjukkan kepada komunikan dengan pesan non verbal atau gerak tubuh.
5. Berdasarkan penilitian yang dilakukan Ruri Rosmalinda (2017)
penyebab munculnya hoax adalah karena kemudahan bagi masyarakat dalam memiliki alat komunikasi yang modern dan murah, dalam hal ini adalah penggunaan smartphone sebagai media pencarian infromasi. Masyarakat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang belum jelas tanpa memverifikasi atau mengkonfirmasi kebenaran informasi/berita tersebut, sehingga langsung melakukan tindakan share informasi yang belum jelas kebenarannya. Kurangnya minat membaca, sehingga ada kecenderungan membahas berita yang berdasarkan data yang tidak akurat, hanya mengandalkan daya ingat atau sumber yang tidak jelas.
Hoax yang tersebar di media sosial menunjukkan pada kita bagaimana
komunikasi di media dilakukan dengan cara horizontal lewat mekanisme share. Komodifikasi pun hadir dalam hoax dengan cara menjadikan emosi yang timbul atas sebuah gambar atau teks sebagai barang yang dijual agar kebohongan yang ia “jual” menjadi “laku”. Dalam pembuatan hoax juga ditemukan bahwa hal tersebut bukan hanya dilakukan untuk sekedar menipu publik namun juga ditujukan agar pembuatnya mendapatkan keuntungan finansial atau terkenal (Vida, 2012). Komodifikasi emosi terjadi pada semua hoax yang diteliti. Emosi yang telah menjadi komoditas kemudian dimasukkan dalam sebuah pesan, bisa dengan memenuhi keseluruhan pesan atau di modifikasi dengan daya tarik emosi bisa beragam, mulai dari penjelasan verbal atau bahasa yang kasar, hingga foto, video atau sebuah benda (Jorgersen, 1998). Dalam kasus ini daya tarik emosi hadir lewat bentuk news picture dan kata-kata. Emosi dibangun lewat penggunaan kata/frasa yang menggambarkan perlukaan, kata sifat, dan ungkapan agama tertentu serta penggunaan news picture yang memperlihatkan penderitaan, luka, hal yang menjijikkan ataupun sadis. Gambar-gambar tersebut digunakan membangun emosi rasa marah, jijik, takut, cemas, dan kesedihan (Bright & Goodman-Delahunty, 2006). Gambar tersebut dipilih karena sebuah gambar tragedi dan kekerasaan bukan hanya mampu membangkitkan emosi tertentu namun juga memiliki kekuatan sebagai pembawa pesan, mitos, memori (Keith, Schwalbe, & Silcock, 2006), serta menyatukan orang-orang dan memobilisasi (Sparks, 2001 dalam Jewkes, 2004). Maka pantas rasanya jika katakan bahwa sebuah citra atau gambar juga bisa menjadi instrument hegmoni politis (Grau & Veigl, 2001). Komodifikasi dilakukan dengan cara mengambil foto dari pemberitaan terdahulu, mengubah manusia dan makna menjadi komoditas yang memenuhi kebutuhan tertentu (Baker, 2004), dalam kasus ini menjadi satu-satunya hal yang penting dari diri mereka, bahkan bisa menjadikan identitas mereka. Contohnya pada hoax tentang biksu Budhha Myanmar yang terkena penyakit karena di adzab. Penderitaan kolektif tersebut digunakan untuk membangkitkan emosi. Para korban yang digambarkan dalam news picture tersebut dihilangkan identitasnya dan direduksi kembali dengan cara diberikan identitas baru untuk memenuhi kebutuhan pembuat hoax. Tergantung pada konteks baru yang dilekatkan, berbagai emosi, seperti marah, sedih, hingga puas muncul atas penderitaan yang mereka rasakan. Saat seseorang merasakan emosi marah ataupun sedih, rasa sakit dan penderitaan yang dimiliki orang tersebut pun menjadi “milik kita, usaha mengambil yang kemudian mengubahnya, bahkan menetralkan rasa sakit mereka menjadi rasa sedih kita. Meski begitu bukan perasaan negative yang sama-sama dimiliki pembaca dan korban menjadi setara. Kita merasakan kesedihan akan penderitaan mereka, “akan” di situlah yang kemudian tetap meletakkan mereka menjadi objek dari “perasaan kita” (Ahmed, 2004). Salah satu alasan mengapa hadirnya sebuah gambar dianggap sebagai sebuah bukti atas terjadinya sesuatu. Tidak terlepas dari fakta bahwa memang telah sejak lama fotografi dianggap sebagai “puncak” atas objektivitasnya, bukan hanya karena klaim kemampuan denotatifnya namun juga konteksnya yang fleksibel dalam menghasilkan makna (Huxford, 2001 dalam Jones & Wardle, 2008). Sayangnya makna sebuah gambar tidak akan benar-benar jelas sampai ia didampingi dan dijelaskan oleh teks (Barthes, 1977 dalam Felsread, Jewson, & Walters, 2004). Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pembuat hoax dengan memberikan konteks baru bagi sebuah gambar sesuai kepentingannya lewat teks yang disandingkan dengan gambar tersebut. Ini menunjukkan bahwa sebuah caption dari foto tak hanya mampu menjbarkan namun juga mampu membuat sebuah gambar menjadi salah (Ilan, 2017).