Anda di halaman 1dari 21

Generasi Milenial, Digitalisasi, dan Politik

Petrus P. D. Karwayu

Mahasiswa Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Abstract

Technological advancement is one of the most influential contexts for the millennial generation
primarily because it changes the way they communicate and interact with each other. They grew
when the internet was created in 1990, facebook in the year 20014, and the iPhone in 2007. With
this context, they became the first generation in a connected or always on generation history,
even more than eighty percent of them admitted that they always sleep with a mobile phone at
night. Having been formed in such sophisticated technological advancements, several studies
have proposed some common characters in the millennial generation of connected, creative,
confident, and open to change.

Key Words: technological advancement, millennial generation, connected.

Pendahuluan
Setiap zaman selalu memiliki wajah sendiri. Lukisan wajah suatu zaman bisa saja masih
mewarisi unsur-unsur hiasan lama, tetapi bisa juga memulai lukisan yang berbeda bahkan
berkontras sama sekali dengan lukisan lama. Tidak mudah untuk melukis wajah suatu zaman
dengan konsep dan kreativitas tunggal satu orang. Meskipun demikian, terdapat ideal types yang
menandai suatu zaman. Ada beberapa penamaan lazim terhadap era kita: postmodern, late
modernism atau modernisme lanjut, digimodernisme, post-truth dan pre-truth.
Umumnya, fase historis postmodern dipandang mulai sejak Pasca-PD II, tetapi
sebenarnya tanda perubahan ke arah postmodernitas sudah ada jauh sebelumnya, misalnya dalam
Aurence Sterne’s Tristram Shandy (1759–65) and Jonathan Swift’s A Tale of a Tub (1704).
Karena itu, bagi Jean-Francois Lyotard postmodern lebih sebagai attitude daripada age. Namun,
memang sejak pertengahan abad 20, terjadi begitu banyak perubahan: masifnya produksi audio-

1
visual seperti TV, internet, dan lain-lain.1 Lyotard sendiri mengatakan transisi roh modern ke
postmodern mulai sejak akhir abad 19.2
Lyotard mendefinisikan kondisi era postmodern sebagai “an incredulity toward
metanarratives”.3 Di dalam rumusan Zigmund Bauman postmodernisme menghancurkan
kebenaran (universal), standar, dan ideal. Ia membangun suatu hidup tanpa kebenaran, standar,
dan ideal.4 Narasi-narasi besar seperti marxisme, positivisme, idealisme, dll, kehilangan
kredibilitas. Warga postmodernis mengarungi samudera ketidakpastian tanpa kompas, selain
pandangan pribadi dan kelompoknya. Era postmodern ditandai oleh the co-existence of a
multiplicity of heterogeneous discourses.5 Lyotard mengkarakterisasi era ini sebagai anything
goes6. Cikal-bakal gagasan ini sudah ada dalam analisis ontologis Martin Heidegger atas seni.
Bagi Heiddeger, seni tidak menantang dan menuntut atau memagari dalam kerangka tertentu
kemungkinan untuk berada, melainkan lets things be.7 Postmodern bukan teori, tetapi lebih
sebagai attitude. Attitude dasar postmodern adalah a scepticism about the claims of any kind of
overall, totalizing explanation.8

Hidup di era ketidakpastian, terombang-ambing di atas samudera tanpa kompas selalu


penuh resiko. Era postmodern atau late modernism adalah zaman yang membawa resiko dalam
semua aspek,9 terutama semakin membahayakan kaum lemah.10 Orang muda tidak terlepas dari
bayang-bayang perubahan ini. Perubahan di dalam dunia pendidikan, dunia kerja, kesehatan,
lifestyle, kriminalitas, partisipasi politik, dan bahkan falasi epistemologis. Kaum muda, terutama
the vulnerable memiliki self-esteem untuk menjadi agen berpolitik, tetapi tergusur dari panggung
kehidupan layak hingga merasa pesimis, mengalami diskonsepsi self-identity, kehilangan inisiatif
dan kreativitas.

1
Kevin Hart, Postmodernism: A Beginner’s Guide, (Oxford: Oneworld Publications, 2004), 17.
2
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian
Massumi, (United Kingdom: Mancester University, 1984), xxiii.
3
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, xxiv.
4
Peter Leonard, Postmodern Welfare, (London: SAGE Publications, 1997), 15.
5
Paul Cilliers, Complexity and postmodernism, (London and New York: Routledge, 1998), 114.
6
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Explained: Correspondence 1982-1985, trans. Don Barry, dkk.,
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992), 8.
7
Ed. Leonard Lawlor, “Phenomenology Responses and Developments”, dalam The History of Continental
Philosophy, Vol.4, (London and New York: Routledge, 2014), 164.
8
Christopher Butler, Postmodernism A Very Short Introduction, (New York: Oxford University Press, 2002), 15.
9
Andy Furlong & Fred Cartmel, Young People and Social Change, (England: Open University Press, 2007), 3
10
U. Beck, Risk Society. Towards a New Modernity. (London: Sage), 1992, 35.

2
Sejak 1990-an, postmodernisme menurut Alan Kirby sudah diganti dengan
digimodernisme sebagai paradigma baru abad 21. Ini adalah jasa komputerisasi teks yang
menciptakan teks dengan karakter “onwardness, haphazardness, evanescence, and anonymous,
social and multiple authorship”.11 Di dalam dunia digital seperti ini, demarkasi online live vs
offline live menjadi less defined.12 Dunia virtual memiliki efek terhadap dunia riil. Teknologi
digital bukan lagi sesuatu yang alien, melainkan sudah embedded dengan kita, menjadi
antropologis. Bahkan teknologi digital membentuk frame fore-structure lapisan epistemik dan
iman kita.13 Manusia menjadi homo technologicus sehingga cara kita mengalami yang ilahi juga
diteknologisasi.14 Orang muda, generasi milineal lahir di dalam dunia yang dikonstruksi
teknologi komunikasi. Karena itu, cara berpikir, berprilaku, bahkan beriman mengalami
teknologisasi. Orang muda kita lahir, bertumbuh, dan hidup sebagai antropos-techno-logos.
Adapun satu fenomena sosial yang mendominasi wacana ilmiah satu dekade terakhir,
post-truth. The Oxford Dictionaries mendefinisikan “post-truth” sebagai “relating to or denoting
circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals
to emotion and personal belief.”. Post-truth, menurut José Antonio Llorente, merupakan “iklim
sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke
keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda”.15 José Antonio
Zarzalejos mengatakan “Post-truth consists in the relativization of truth, in the objectivity of data
becoming commonplace and in the supremacy of emotional speeches.16 Post-truth tidak hanya
bermain di arena politik, tetapi juga didomain periklanan dan lingkungan korporasi.17 Dengan
demikian, post-truth turut mengintervensi pola hidup dan kebutuhan orang. Post-truth merembes
masuk ke dalam seluruh segmen hidup manusia. Fenomena sosial ini turut membentuk orang
muda kita yang cenderung menggunakan cita-rasa untuk menghadapi persoalan dan ‘malas
berpikir kritis’. Orang muda tidak mau lagi membaca buku tebal yang menyedot energi otak.

11
Alan Kirby, Digimodernism, How New Technologies Dismantle the Postmodern and Recongure Our Culture,
(New York: Continuum, 2009), 1.
12
Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet, (New York: Fordam University
Press, 2014), 3.
13
Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet, 9.
14
Antonio Spadaro, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet,10.
15
Llorente, José Antonio, The Post-Truth Era: Reality vs. Perception, Uno Magazine. No. 27 March 2017, hlm. 9
16
José Antonio Zarzalejos, “Communication, Journalism and Fact-Checking”, dalam Uno Magazine, No. 27 March
2017, 12.
17
José Antonio Zarzalejos, “Communication, Journalism and Fact-Checking”, 13.

3
Lee MacYntire memandang post-truth melekat di dalam kodrat manusia. Kajian
psikologi menemukan bahwa post-truth berakar pada cognitive dissonance,18 social conformity,
confirmation bias, backfire effect and the dunning–kruger effect.19 Kelima hal ini berakar pada
“motivated reasoning”, yakni “the idea that what we hope to be true may color our perception of
what actually is true”.20 Karena itu, bagi Lee, kita bukan lagi berada pada era post-truth,
melainkan pre-truth.21 Psikologi orang muda umumnya idealis, tetapi kurang ambisius. Masa
depan seolah berada dalam kontrol penuh mereka. Disposisi semacam ini sah saja, tetapi dapat
menimbulkan frustrasi bila harapan tidak menjadi realitas. Masa depan selalu tidak pasti. Banyak
orang muda kita mengalami disorientasi, krisis eksistensial, dan gagal karir karena idealismenya
tidak terealisasi.
Memantau panorama umum di atas kita sadar kini generasi milenial atau sering disebut
juga generasi “Y” sedang menjadi topik kajian, penelitian, dan diskusi yang seksi di seluruh
dunia. Banyak peneliti, lembaga survei, dan teoretisi mencurahkan perhatian dan kemampuan
akademik mereka untuk menelaah karakteristik unik generasi ini. Pew Research Center, salah
satu lembaga survey di Amerika Serikat mendedikasikan penelitian mereka selama lebih dari
satu dekade22 untuk mengenal dan memahami berbagai aspek generasi ini. Beberapa lembaga
survey lain yang berskala internasional seperti Allianz, Reason-Rupe, Deloitte, dan masih banyak
lembaga survey lain telah melakukan penelitian terhadap lebih dari puluhan ribu generasi
milenial di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, Alvara Research Center adalah salah satu lembaga survey (selain
CSIS), tekun membuat kajian terhadap pola perilaku generasi baru ini dalam kaitannya dengan
berbagai aspek kehidupan. Pertanyaannya, apa itu generasi milenial dan mengapa kajian tentang
mereka begitu penting?

18
Lee Mcintyre, Post-Truth, (London: The MIT Press, 2018), 36-7.
19
Lee Mcintyre, Post-Truth, 42-44.
20
Lee Mcintyre, Post-Truth, 45.
21
Lee Mcintyre, Post-Truth, 172.
22
Michael Dimock, “Defining Generations: Where Millenials End and Post-Millenials Begin”, dalam Pew Researh
Center.org, (1 Maret 2018).

4
Generasi Milenial

Penelitian terhadap karakteristik suatu generasi dalam kajian sosiologi disebut “teori
generasi” (the theory of generations or sociology of generations), yang muncul pertama kali
dalam karya seorang sosiolog Hungaria, Karl Manheim, The Problems of Generations pada
tahun 1923. Adapun istilah generasi ‘milenial’ diperkenalkan oleh William Strauss dan Neil
Howe pada tahun 1987, untuk menyebut generasi yang lahir antara tahun 1982-2000. Cohort
generation ini mereka abadikan dengan melakukan penelitian terhadap masyarakat Amerika
Serikat dan dituangkan dalam beberapa karya, Generations (1990), dan The Fourth Turning
(1997), Millenials Rising (2000), Millenials go to College (2003), dan Millenials and the Pop
Culture: Strategies for a New Generation Consumers in Music, Music Television, the Internet,
and Video Games (2006). Dalam buku mereka yang kedua, Strauss dan Howe berpendapat
bahwa terjadi pengulangan generasi dalam siklus delapan puluh tahun. Menurut mereka setelah
empat generasi berbeda akan muncul generasi kelima dengan ciri yang tidak berbeda jauh
dengan generasi pertama, generasi keenam dengan generasi kedua dan seterusnya23. Dalam teori
generasi, klasifikasi generasi menurut Stauss dan Howe serta beberapa demografer lainnya dapat
dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 1. Pengelompokan generasi
Ahli Label
Tapscott - Baby Boom Generation Digital -
(1946-1964) X Generation/
(1965- GenY/Milenial
1975) (1976-2000)
Strauss & Silent Boom X Millenial -
Howe Generation Generation Generation Generation (1982-
(1925-1943) (1943-1960) (1961- 2000)
1981)
Zemke Veterans Baby Gen-Xers Nexters -
dkk. (1922-1943) Boomers (1960- (1980-1999)

23
Generasi menurut mereka adalah agregat dari semua orang yang lahir selama rentang waktu sekitar dua puluh
tahun atau sekitar satu rentang fase kehidupan: anak-anak, dewasa muda, usia pertengahan dan usia tua.

5
(1943-1960) 1980)

Lancaster Traditionalist Baby Generation Generation Y -


& Stillman (1900-1945) Boomers Xers (1981-1999)
(1945-1964) (1965-
1980)
Martin & Silent Baby Generation Millenials -
Tulgan Generation Boomers X (1978-2000)
(1925-1942) (1946-1964) (1965-
1977)
Oblinger Matures Baby Generation Gen Y/Net Post
& < 1946 Boomers Xers Generation (1988- Millenials
Oblinger (1947-1964) (1965- 1995) (1995-
1980) sekarang)

Tabel tersebut menunjukkan bahwa para teoretisi generasi tidak memiliki kesepakatan
tentang pembagian setiap generasi, demikian pun label yang mereka kenakan kepadanya. Hal ini
disebabkan oleh berbagai ciri khas yang ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh setiap ahli.
Laporan Pew Research Center pada tahun 2010 menegaskan bahwa perubahan suatu generasi
ditentukan oleh berbagai konteks sosial, politik, kultural, dan lain sebagainya. 24Berdasarkan
laporan penelitian Barkley yang dimotori oleh Jeff Fromm, Celeste Lindell and Lainie Decker,
dapat diketahui beberapa peristiwa penting sebagai konteks setiap generasi sekaligus faktor yang
menentukan karakteristik mereka.25

Tabel 2. Konteks historis setiap generasi

Generasi Konteks Historis Karakteristik26

24
Paul Taylor and Scott Keeter (eds.), Millenials, A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to
Change, Pew Research Center(2010).
25
Jeff Fromm, Celeste Lindell and Lainie Decker, American Millenials: Dechipering the Enigma Generation,
Barkley Report (2011): 8.
26
Kelompok akan menjelaskan karakteristik generasi milenial pada sub-bagian selanjutnya.

6
Silent Great Depression, Dust Bowl, Overly cautious, less likely to take
generation Hitler’s Germany, WWII, risks, hierarchical, loyal and patriotic,
Communism rule makers/followers

Baby Boomers Jet Age, National TV, Alaska Economically optimistic, idealistic,
& Hawaii, Civil Rights individualistic, prefer achievement over
Movement, Space Exploration relations, competitive

X Generation Martin Luther King Jr. Homesick, in need of attention but not
Assassination, Working used to supervision, prefer non-
Mothers, Nixon and Watergate, routines, anti-institution
Vietnam

Millenial AIDS, Iran Hostage Crisis, Technology reliant, image-driven,


Generation Space Shuttle Challenger, Fall multitasking, open to change,
of Berlin Wall and Soviet confident, team-oriented, information
Union, Technology Immersion rich, impatient, adaptable
(Email, Texting)

Konteks historis yang membentuk karakter setiap generasi sebagaimana ditampilkan tadi
memang sangat khas Amerika. Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif tentang peristiwa historis dan karakter generasi milenial setiap negara, usulan
Christina K. Dimitriou27 agar setiap negara atau kontinen melakukan kajiannya sendiri, dapat
dibenarkan. Studi partikular sebagaimana dianjurkan Dimitrou sebenarnya sudah banyak
dilakukan. Dia sendiri telah melakukan kajian tentang generasi milenial Yunani dalam
hubungannya dengan industri perhotelan, atau oleh Elisabetta Corvi, Alessandro Bigi, dan
Gabrielle NG, yang melakukan studi komparasi tentang generasi milenial Amerika dan generasi

27
Chritina K. Dimitriou Ph.D, “An exploratory study of Greek Millennials in the hotel industry: How do they
compare to other generations?” dalam International Journal of Global Business, 8 (1-2015): 63. So, clearly there is
a need to provide the literature with additional studies on Millenials in other countries for comparative purposes.

7
milenial Eropa.28 Penelitian yang dilakukan oleh Deloitte terhadap 7.700 kaum milenial di 29
negara29, atau yang dilakukan oleh Telefonica terhadap beberapa negara Amerika Latin
memberikan gambaran yang baik untuk dilakukan studi komparasi sehingga pemahaman tentang
generasi ini semakin komprehensif dengan kekhususan-kekhususannya berdasarkan wilayah atau
negara.
Di Indonesia sumbangan terbesar dilakukan oleh Alvara Research Center yang telah
meneliti karakteristik generasi milenial Indonesia30, juga oleh CSIS pada tahun 201731. Akan
tetapi, kelemahan mendasar beberapa penelitian tersebut adalah mengambil begitu saja
klasifikasi yang telah dilakukan di Amerika Serikat. Padahal tidak semua faktor historis
kelahiran generasi milenial Amerika Serikat menjadi peristiwa yang menentukan bagi kelahiran
generasi milenial di negara-negara lainnya.
Berbagai kajian yang telah dilakukan untuk memahami generasi milenial menunjukkan
betapa pentingnya usaha itu dilakukan. Particia Buckley dan beberapa temannya dari Universitas
Deloitte, menegaskan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang generasi milenial tidak saja
karena secara kuantitatif mereka akan menjadi mayoritas, tetapi juga karena mereka adalah
pemimpin masa kini.32 William Straus yang bersama Neil Howe memberikan label milenial,
dalam berbagai wawancaranya mengatakan bahwa penelitian tentang generasi milenial menjadi
sangat penting karena sebagai populasi mayoritas, generasi ini menjadi kunci bagi pembentukan
masyarakat saat ini dan beberapa tahun ke depan.33
Dalam konteks Indonesia, kajian terhadap generasi milenial menjadi sangat penting
karena (sekurang-kurangnya) tiga alasan, yakni, alasan demografis, politis, dan teknologis.
Pertama, alasan demografis. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, proyeksi penduduk
Indonesia tahun 2018 akan berjumlah total 265.015.300 jiwa. Sementara itu, lebih dari 35%

28
Elisabetta Corvi, Alessandro Bigi, and Gabrielle NG, “European Millenials vs US Millenials: Similarities and
Differences”, Paper. Disampaikan pada Quarto Convegno Annuale della Societa Italiana Marketting, Roma, 5-6
Oktober 2007, 1-24.
29
Dr. Patricia Buckley, Dr. Peter Viechnicki, and Akrur Baruahttp, “A New Understanding of Millennials:
Generational Differences Reexamined”, dalam Deloitte Millenial Survey (2016).
30
Hasil penelitian mereka terutama dapat dibaca dalam karya Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi, The Urban
Middle-Class Millenials Indonesia: Financial and Online Behaviour, Alvara Research Center (2017); atau
Hasanudin Ali dan Lilik Purwandi, Milenial Nusantara, Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2017).
31
CSIS, Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik, Jakarta (2017).
32
Dr. Patricia Buckley, Dr. Peter Viechnicki, and Akrur Baruahttp, “A New Understanding of Millennials:
Generational Differences Reexamined”, dalam Deloitte Millenial Survey (2016): 8.
33
Dikutip dalam Laura Marsh, “The Myth of the Millenial as Cultural Rebel”, The Republic, 30 Agustus 2016.

8
penduduk Indonesia (2015) adalah penduduk muda yang berusia 15-34 tahun.34. Indonesia akan
mengalami bonus demografi pada tahun 2020 (2025)-2030. Hal ini berarti bahwa penduduk
muda Indonesia (angkatan kerja) akan menjadi populasi dominan. Oleh karena itu, pemahaman
tentang karateristik generasi ini menjadi suatu keniscayaan. Kedua, alasan politik. Tahun 2018
dan 2019 kemarin merupakan tahun-tahun yang sangat penting bagi perpolitikan di Indonesia
karena negara ini menyelenggarakan pemilu legislatif dan eksekutif secara bersamaan.
Menteri Dalam Negeri telah menyerahkan data pemilih kepada KPU berjumlah
196.545.636 orang, dan hampir setengah dari jumlah tersebut adalah generasi milenial, entah
para pemula entah pemilih lama35. Hasil riset Charta Politik Indonesia menunjukkan bahwa
dalam Pemilu 2019 nanti, sebanyak 47-50% partisipan pemilu adalah generasi milenial36.
Berdasarkan beberapa pemilihan sebelumnya, terutama pemilihan presiden tahun 2014 dan
pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, keterlibatan generasi milenial dalam politik sangat tinggi
dan signifikan.
Alasan ketiga adalah perkembangan teknologi. Populasi yang tinggi dan konstelasi
politik yang diwarnai dan didukung oleh pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
memberikan sentuhan yang sangat berbeda terhadap keterlibatan kaum milenial dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Karakteristik Generasi Milenial
Menurut Taylor dan Keeter, karakteristik suatu generasi ditentukan sekurang-kurangnya
oleh tiga proses yang tumpang tindih.37 Pertama, siklus kehidupan. Generasi milenial saat ini
yang sebagian besar merupakan populasi muda mempunyai karakter yang berbeda karena usia
mereka dan bisa jadi ketika mereka beranjak dewasa dan semakin tua, mereka akan memiliki
karakter yang sama dengan generasi lainnya. Kedua, efek periode. Setiap periode disertai dengan
beberapa konteks tertentu, entah sosial, politik, kultural, teknologi, dan lain sebagainnya. Ketiga

34
“Proyeksi penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 2010”, diakses dari https://www.bps.go.id (14 Maret
2018).
35
“Jumlah pemilih pemilu 2019 mencapai 196,5 juta orang”, Diakses dari
https://googleweblight.com/i?u=https:/nasional.sindonews.com/read/1266242/12/jumlah-pemilih-pemilu-2019-
mencapai-1965-juta-orang-1513405202&hl=id-ID (15 Maret 2018).
36
“Tahun Politik Milik Generasi Milenial” diakses dari http://mediaindonesia.com/news/read/129626/tahun-politik-
milik-generasi-milenial/2017-10-30 (16 Maret 2018).
37
Paul Taylor dan Scott Keeter (eds.), Millenials, A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to
Change, i.

9
efek pelabelan. Pelabelan generasi dan proyeksi akademik yang dikenakan pada suatu generasi
secara tidak sadar membentuk karakter yang khas.
Dengan kesadaran akan kesulitan yang dihadapi tersebut, kemajuan teknologi adalah
konteks yang sangat kuat berpengaruh pada generasi milenial terutama karena mengubah
sekaligus cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Mereka bertumbuh ketika
internet diciptakan pada tahun 1990, facebook pada tahun 20014, dan iPhone tahun 2007.
Dengan konteks ini, mereka menjadi generasi pertama dalam sejarah yang selalu terhubung
(connected atau always on generation), bahkan lebih dari delapan puluh persen dari mereka
mengakui bahwa mereka selalu tidur bersama telepon genggam pada malam hari. 38Oleh karena
dibentuk dalam kemajuan teknologi yang begitu canggih, beberapa penelitian mengajukan
beberapa karakter umum pada generasi milenial, yakni terhubung, kreatif, percaya diri, dan
terbuka pada perubahan.39 Keempat karakter umum ini akan diuraikan lebih lanjut pada uraian
berikut.
1. “Terhubung” (connected atau always on)
Kemajuan teknologi memampukan setiap orang dalam generasi milenial dengan mudah
bersosialisasi dengan orang lain melalui internet dan gadget. Dengan mengakses internet, mereka
dengan mudah membentuk komunitas-komunitas yang tidak hanya terhubung dengan orang yang
berada di dalam negeri tetapi juga menjangkau setiap orang di seluruh dunia.
Generasi ini tidak hanya ditandai oleh kemudahan untuk bersosialisasi dengan orang lain,
tetapi juga oleh kemudahan mengetahui berita tentang situasi yang berada di belahan dunia lain.
Berita yang dapat dijangkau lewat aplikasi-aplikasi internet yang tengah berkembang saat ini
meningkatkan pengetahuan mereka akan situasi dunia dan membangun komunitas yang lebih
luas. Kehadiran komunitas yang membongkar sekat-sekat primordial ini, pada satu sisi
memperluas cakrawala mereka dan pada sisi lain membantu menciptakan ungkapan-ungkapan
baru yang trendy dalam pergaulan sehari-hari. Penelitian membuktikan bahwa tujuh dari sepuluh
milenial menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa yang mereka gunakan di rumah, dan
mereka semakin bilingual dengan penguasaan bahasa Inggris yang semakin baik dan luas. 40 Di

38
Paul Taylor dan Scott Keeter (eds.), Millenials: A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to
Change, 1
39
Paul Taylor dan Scott Keeter (eds.), Millenials: A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to
Change, 1-140.
40
William H. Frey, The Millenial Generation: A Demographic Bridge to Build America’s Future, (Brookings:
Metropolitan Policy Program, 2018), 11.

10
Indonesia, trend menyelipkan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari telah manjadi sesuatu
yang lumrah. Berbagai terminologi baru pun bermunculan, misalnya, kepo, zaman now, epen-
cupen, dan lain sebagainya. Memang penciptaan terminologi baru ini tidak khas milenial tetapi
karena mereka bertumbuh bersama internet, efeknya penyebarannya sangat luas dan menjangkau
segenap lapisan masyarakat.

2. Kreatif
Perkembangan teknologi yang kian pesat telah membangkitan semangat kaum muda untuk
berkreasi. Sehingga tidak heran jika generasi ini digolongkan dalam generasi yang kreatif dan
berpikir out of the box.41Mereka dengan berani menyalurkan segala kemampuan serta
pengetahuan cemerlang mereka dengan menciptakan berbagai industri kreatif yang dikoordinir
langsung oleh kaum muda. Hal ini sangat nampak dalam situasi kehidupan kita saat ini, seperti
hadirnya pelayanan seperti Go-Jek, Traveloka, Bukalapak dan lain sebagainya.

3. Percaya Diri
Generasi Millenial memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka mampu
berargumentasi secara lepas bebas. Mereka juga memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi
untuk tampil di panggung dunia. Menurut Ali dan Purwadi, keberanian dan rasa percaya diri
kaum milenial terwujud dalam sikap-sikap konkret misalnya, mereka adalah pribadi yang yakin
pada talenta dan kemampuan yang mereka miliki, memiliki keberanian untuk menghadapi situasi
kehidupan entah dalam situasi penolakan maupun dalam situasi penerimaan, mampu
mengendalikan diri secara bijak, memiliki harapan dan cita-cita yang jelas, menjadi pribadi yang
tangguh dan tidak mengenal kata mengeluh atau putus asa.42

4. Terbuka pada Perbedaan


Generasi Millennial adalah juga generasi yang sangat terbuka pada perubahan. Referensi
informasi yang tidak terbatas dan dapat diakses kapanpun melalui dan dalam media sosial
membuat generasi ini terbiasa dengan berbagai perbedaan. Idealnya, generasi ini secara

41
Hasanudin Ali dan Lilik Purwandi, Milenial Nusantara, Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya, 90.
42
Hasanudin Ali dan Lilik Purwandi, Milenial Nusantara, Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya, 96. Keyakinan
mereka tentang karakteristik milenial ini memang perlu dikritisi, karena kurang jelas apakah mereka sedang
berbicara tentang ideal manusia dalam generasi milenial ataukah data yang mereka temukan dalam penelitian.
Penulis cenderung mencurigai yang pertama, karena mereka tidak mempunyai data survey yang jelas tentang itu.

11
pendidikan lebih baik daripada generasi sebelumnya karena akses kepada pengetahuan yang
begitu terbuka luas dan murah43. Penelitian yang dilakukan oleh Rochelle L. Ford, Joanna
Jenkins, Sheryl Oliver dari Universitas Howard pada tahun 2011-2012, ditemukan bahwa
generasi milenial memiliki pemahaman yang positif tentang perbedaan.44 Mereka memang tidak
menafikan perbedaan tetapi mampu menerima dan tidak menjadikan perbedaan sebagai
persoalan yang harus diselesaikan.45Singkatnya, mereka menjadi lebih toleran, bahkan tiga
perempat generasi milenial di dunia mampu hidup berdampingan dengan orang yang berbeda,
lebih daripada yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.46
Selain karakter umum tersebut, terdapat beberapa karakter khusus kaum milenial
terutama terkait dengan berbagai aspek kehidupan. Berikut ini penulis akan menampilkan intisari
perilaku generasi milenial yang diolah dari berbagai sumber47.
Tabel. 2.1 Karakter Generasi Milenial dalam Beberapa Aspek Kehidupan
Aspek Karekteristik
Pendidikan  Sebagai pelajar mereka menuntut pendidik untuk mengajar
berkomunikasi dengan cara-cara yang baru.
 Sangat optimistik dan berorientasi pada tim, mempunyai kepercayaan
diri yang kuat.
 Menyukai model dialogis dengan feedback dan belajar berbasis
kelompok.

43
Retnayu Prasetyanti, “Generasi Milenial dan Jejaring Demokrasi Teman Ahok”, dalam Jurnal Polinter III (2017):
45.
44
Dr. Rochelle L. Ford, APR; Joanna Jenkins, Sheryl Oliver, A Millenial Perspective on Diversity and
Multiculturalism, (USA: Howard University, 2012).
45
Dr. Rochelle L. Ford, APR; Joanna Jenkins, Sheryl Oliver, A Millenial Perspective on Diversity and
Multiculturalism, 15.
46
Paul Taylor and Scott Keeter (eds.), Millenials: A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to
Change, 15
47
David Madland dan Ruy Teixeira, New Progressive America: The Millenial Generation, WWW, American
Progress.Org, Mei, 2009, 2. Paul Taylor and Scott Keeter (eds.), Millenials: A Portrait of Generation Next:
Confident, Connected, Open to Change, 1-140; International Chamber Foundation, The Millenial Generation:
Research Review, 2012, 6-30; John Halpin, Karl Agne, The Political Ideology of the Millenial Generation, Center
For American Progress & Gerstein/Agne Strategic Communications, WWW. American Progres.Org, May 2009, A
Pew Forum On Religion and Public Life, Religion Among the Millenials, Washington, Pew Research Center, 2010,
2; Christine Barton, Lara Koslow, Jeff Fromm, Chris Egan, Millenials Passions: Food, Fashion, and Friends,
Boston, Boston Consulting Group, 2012, 2-6; Friday Church News, 4/11/2016, Artikel “American Millenials Agree
More with Marx than the Bible”,; Reason-Rupe Public Opinion Survey, Millenials: The Politically Unclaimed
Generation, Survey, dirilis 10 Juli 2014; William H. Frey, The Millenial Generation: A Demographic Bridge to
Build America’s Future, 6-15; APTA, “Millenials and Mobility”, 2010.

12
 Penting untuk menyediakan lingkungan yang mendukung aktivitas
studi.
Sosial-Politik  Progresif terhadap isu-isu sosial-kultural: misalnya legalisasi
homoseksual.
 Keterlibatan/kerelawanan lebih diminati daripada terlibat dalam partai
politik.
 Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kaum miskin: mendorong
alokasi anggaran yang tinggi demi mengentas kemiskinan meskipun
pajak dinaikkan.
Ekonomi  Mereka menginginkan situasi ekonomi yang stabil dengan model karir
berjenjang.
 Mereka lebih menginginkan menjadi wiraswasta karena lebih bebas
dibandingkan bekerja dalam suatu institusi pemerintahan atau korporasi
swasta
Agama  Padangan mereka terhadap agama sangat beragam.
 Di Amerika Serikat, generasi milenial kurang memiliki afiliasi dengan
agama tertentu (yang beragama katolik masih memiliki persepsi yang
baik tentang agama)
 Di Indonesia sedikit berbeda karena masyarakat milenial masih sangat
kental dengan agama. Banyak dari mereka yang bergabung dalam
organisasi masa berbasis agama mainstream
Profesi  Memiliki obsesi yang tinggi terhadap pencapaian karir.
 Multitalenta.
 Penting untuk melakukan pendekatan apresiatif.
Kepemimpinan  Fleksibilitas sangat ditekankan.
 Kreatif
Gaya Hidup  Orientasi hidup mereka adalah kebahagiaan yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman berharga.
 Travelling menjadi impian demi hidup yang lebih bermakna.
 Kepemilikan terhadap teknologi terbaru menjadi kebutuhan.

13
 Mempunyai ketergantungan yang tinggi pada teknologi (bagian dari
hidup, dan membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak).
 Sangat peduli pada trend.
 Memberi nilai yang sangat tinggi terhadap pentingnya kesehatan.
 Tidak percaya bahwa ada standar moral tentang yang baik dan buruk
dalam masyarakat.

Ringkasan karakteristik tersebut tidaklah mutlak apalagi digeneralisasi, karena generasi


milenial di beberapa negara memiliki konteks yang berbeda-beda. Apa yang ditampilkan dalam
tabel tersebut adalah kecenderungan umum yang tampak dari perilaku kaum milenial dalam
bidang kehidupan tertentu, dan tentu saja berdasarkan survey yang dilakukan oleh beberapa
lembaga dan kajian oleh para ahli.
Partisipasi politik generasi Milenial Indonesia
Ketika berbicara tentang politik, ada dua pendapat yang berlawan. Pertama, poltik
diartikan sebagai konflik karena ada klaim kepemilikan individu atau sekelompok orang tertentu.
Kehadiran mereka mendominasi arena politik sehingga perannya hanya mempertahankan hak-
hak istimewa kaum elite. Pandangan ini mendominasi pemikiran modern sehingga politik dilihat
hanya sebatas kekuasaan, regulasi dan hukum. Sedangkan pandangan kedua, politik merupakan
upaya menciptakan ketertiban dan keadilan untuk menjamin kedamaian. Politik dilihat sebagai
sarana untuk menciptakan bonum commune bagi warga negara. Politlik berkaitan serta dengan
semua aspek kehidupan manusia di sebuah negara. cakupan politik tidak hanya aktivitas politis
tetapi juga semua area kehidupan sosial lainnya. Dengan demikian pengertian ini mengacu pada
arti politik abad Yunani kuno yang diasosiasikan dengan polis atau negara kota.48
Berkaitan dengan pengertian politik zaman klasik, maka partipasi politik berarti
mengambil bagian dalam kehidupan publik atau dalam kehidupan polis secara keseluruhan.
Dengan demikian masyarakat ikut serta dalam aktivitas politik.49 Keikutsertaan masyarakat ini
terwujud dalam sikap dan tindakannya sebagai bentuk reaksi terhadap produk-produk politik.
Untuk mengambil suatu tindakan politik, seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) harus
membuat keputusan. Pertama, memutuskan untuk bertindak atau tidak; kedua, memutuskan arah

48
Partisipasi pollik. 6
49
Pengantar sosioligi politik.

14
tindakan; ketiga, memutuskan mengenai intensitas dan durasi tindakan politis tersebut. Eksekusi
keputusan ini berkaitan erat dengan presepsi dan orientasi politik dari individu atau masyarakat
yang bersangkutan.
Dalam setiap negara yang mengacu pada demokrasi deliberatif, media sosial berperan
sebagai pendorong partisipasi masyarakat sipil dalam gerakan sosial. persoalannya ada berbagai
anggapan pesimis, “dapatkah suatu pastisipasi masyarakat sipil lewat media sosial berujung pada
gerakan nyata”? Menurut Lim ada beberapa tiga factor: Pertama, informasi yang beredar dengan
cepat memiliki kecendrungan untuk menyederhanakan isu. Kedua, isu yang bererdar masih
sangat bergantung pada produksi informasi dari media massa konvensional. Dan ketiga,
keterbatasan akses akses teknologi50. Kendati tidak dapat dibenarkan seluruhnya, namun paling
tidak hambatan tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan.

Masih segar dipikiran kita akan peristiwa revolusi Mesir yang terjadi pada 25 Januari 2011
yang berujung pada turunnya Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011. Pemerintah Mubarak yang
menerapkan kebijakan secara semena-mena mengakibatkan banyak masyarakat Mesir yang
menjadi korban. Kebijakan yang otoritatif kemudian mendapat reaksi negatif dari warga.
Sayangnya, ketika hendak melakukan protes terhadap pemerintah, banyak di antara mereka yang
mengalami kekerasan fisik oleh pihak polisi. Alasan inilah yang membuat para aktivis Mesir lalu
membentuk sebuah akun facebook “16th of April Youth Movement” dengan maksud
menyebarkan segala bentuk dokumentasi kekerasan fisik yang dialami warga, khususnya para
buruh yang melakukan aksi mogok.
Akun facebook inilah yang menjadi cikal bakal revolusi Mesir. Melalui dokumen dan
gambar-gambar yang disebarkan lewat media sosial, para aktivis ini telah mampu memancing
amarah warga dan melakukan demonstrasi besar-besaran. Sempat pemerintah mencoba untuk
memblokir akun facebook dan twiter, namun berita telah terlanjur menyebar dalam akar rumput
masyarakat. Akibatnya pemerintahan Mubarak pun diruntuhkan. Mereka berhasil
menggulingkan Mubarak dengan melakukan perlawanan melalui media sosial51. Persoalan ini
dapat dirujuk sebagai fenomena yang menunjukkan bahwa media sosial memampukan partisipasi
warga dalam mengangkat isu publik menjadi isu politik. Bagaimana dengan Indonesia?

50
I. Gusti Agung Ayu Kade Galuh, Media Sosial dan Demokrasi, PolGof, Yogyakarta 2017, 10.
51
Ibid, 4.

15
Bila kita mengamati perkembangan Indonesia, dapat dijumpai bahwa sebenarnya banyak
gerakan-gerakan di Indonesia yang disuarakan melalui media sosial. Bahkan dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun lembaga sosial dan kemasyarakatan yang terkait.
Pada tahun 2008, Satinah seorang TKI Indonesia di Arab Saudi divonis mati karena membunuh
majikannya sendiri. Pembunuhan tersebut gterjadi karena Satinah berusaha untuk melindungi
dirinya yang selalu mendapat penganiayaan dari majikannya. Yang menarik, setelah lima kali
persidangan, tak satupun staff kedutaan Indonesia yang mendampinginya. Nasib Satinah
kemudian baru diketahui saat adik iparnya datang dan meminta bantuan kepada LSM Migrant
Care pada tahun 2011. Melalui pendampingan LSM tersebut, Muhaimin Iskandar Mmentri
Tenaga Kerja akhirnya menyatakan bahwa Satinah dapat dibebaskan asalkan pemerintah
Indonesia wajib membayar denda 21 milyar Rupiah. Sampai dengan tahun 2014, uang pelunasan
itu belum dibayar oleh pemerintah. Berita itu akhirnya mencuat kembali saat hukuman pancung
atas Satinah diumumkan. Dengan dimobilisasi oleh media sosial “Save Satinah”, masyarakat
akhirnya menggelar demonstrasi dan aksi pengumpulan uang. Masifnya pemberitaan di media
sosial inilah yang memacu pemerintah untuk membayar uang Satinah dan iapun dibebaaskan.
Peran media sosial juga berhasil mengubah kebijakan pemerintah Jawa Timur yang hendak
membangun pabrik baja yang berujung pada penghancuran situs bersejarah Trowulan. Melalui
situs petisi online change.org serta jaringan pelestarian Majapahit, mereka berhasil meraup 10.
306 tanda tangan petisi online. Dengan banyaknya suara dalam situs online yang dibawa oleh
para aktivis tersebut, pemerintah akhirnya membatalkan pembangunan pabrik baja.
Patut disadari bahwa tidak semua aktivitas media sosial berujung pada aksi nyata. Menurut
penelitian Merlynna Lim dalam bukunya The Internet and Every Life in Indonesia: A New Moral
Panic?, ditemukan bahwa terdapat karakter penggunaan hidden transcript dalam percakapan
para pengguna media sosial untuk mengkritik para penuasa. Hidden Transcript adalah usaha
menkritik para penguasa lewat media sosial dengan menggunakan tokoh atau barang tertentu
sebagai sindiran. Salah satu contoh penggunaan hidden transcript yang berpengaruh pada aksi
nyata adalah “cicak vs buaya”.
Personafikasi Cicak dan Buaya diciptakan oleh Susno dalam konteks Indonesia saat itu
adalah rencana pembubaran KPK. Ia menyebut bahwa “masa Cicak (merujuk pada polisi) mau
mngalahkan Buaya (KPK). Semuanya bermula ketika pada tahun 2009, KPK berniat menyergap
Susno Duadji, Kabareskim Mabes Polri atas kasus keterlibatannya dalam persoalan BANK

16
Century. Pertarungan ini berujung pada titik KPK akan dibubarkan. Masyarakat sipil lalu
menggunakan Cicak vs Buaya dalam akun facebook mereka untuk mendukung KPK. Pendukung
gerakan ini akhirnya melanjutkan gerakan mereka sampai pada aksi nyata dan berhasil menekan
pemerintah untuk tidak membubarkan KPK52.
Dari fenomena-fenomena di atas dapat diasumsikan bahwa peran media sosial tidak hanya
dapat membawa isu publik ke dalam agenda publik, namun juga mampu mengubah kebijakan
pemerintah maupun lembaga sosial. Dengan kata lain, kehadiran media sosial menunjukan
bahwa kekuasaan ada batasnya.
Kesimpulan
Diskursus tentang generasi milenial dewasa ini tidak dapat dihindari mengingat
dominannya populasi mereka dalam masyarakat. Pemahaman yang komprehensif tentang
karakteristik khas mereka akan menyumbang bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, kajian terhadap generasi ini penting terutama terkait dengan konteks
tahun demokrasi. Partisipasi politik mereka sangat signifikan jika dipelajari berdasarkan
kontestasi demokasi pada waktu-waktu silam.
Pertanyaannya, apakah benar digitalisasilah yang memengaruhi karakteristik generasi
milenial? Jika ini benar adanya, penulis hampir yakin bahwa sesungguhnya setiap perkembangan
teknologi memiliki “nafas”, Ia hidup.

52
I. Gusti Agung Ayu Kade Galuh, Media Sosial dan Demokrasi,7-9.

17
Daftar Pustaka
1. Buku-buku
Agung Ayu Kade Galuh, I. Gusti., Media Sosial dan Demokrasi, Yogyakarta: PolGof, 2016.
Ali, Hasanuddin, dan Lilik Purwandi., The Urban Middle-Class Millenials Indonesia: Financial
and Online Behaviour, Alvara Research Center, 2017.
Ali, Hasanudin, dan Lilik Purwandi., Milenial Nusantara, Pahami Karakternya, Rebut
Simpatinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
A Pew Forum On Religion and Public Life., Religion Among the Millenials, Washington, Pew
Research Center, 2010.
Barton, Christine, Lara Koslow, Jeff Fromm, Chris Egan., Millenials Passions: Food, Fashion,
and Friends, Boston, Boston Consulting Group, 2012.
Beck, U., Risk Society. Towards a New Modernity, London: Sage, 1992.Christopher Butler,
Postmodernism A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, 2002.
Bennington and Brian Massumi, United Kingdom: Mancester University, 1984.
Böhlen, Michael., E-Goverment Towards Electronic Democracy, New York: Springer, 2005.
Corvi, Elisabetta Alessandro Bigi, dan Gabrielle NG., “European Millenials vs US Millenials:
Similarities and Differences”, Paper. Disampaikan pada Quarto Convegno Annuale della Societa
Italiana Marketting, Roma, 2007.
Ford, Rochelle L., Joanna Jenkins, Sheryl Oliver, A Millenial Perspective on Diversity and
Multiculturalism, USA: Howard University, 2012.
Frey, William H., The Millenial Generation: A Demographic Bridge to Build America’s Future,
Brookings: Metropolitan Policy Program, 2018.
Fromm, Jeff Celeste Lindell, and Lainie Decker., American Millenials: Dechipering the Enigma
Generation, Barkley Report, 2011.
Furlong, Andy & Fred Cartmel., Young People and Social Change, England: Open University
Press, 2007.
Hague, Barry N., and Brian D. Loader., Digital Democracy, New York: Routledge1999.
Kirby, Alan., Digimodernism, How New Technologies Dismantle the Postmodern and
Recongure Our Culture, New York: Continuum, 2009.

18
Koten, Yosef Kledu., Partisipasi Politik: Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles,
Maumere: Ledalero, 2010.
Lyotard, Jean-Francois., The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff.
Lawlor, Ed. Leonard., “Phenomenology Responses and Developments”, dalam The History of
Leonard, Peter Postmodern Welfare, London: SAGE Publications, 1997.
Lyotard, Jean-Francois., The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.
Lyotard, Jean-FrancoisThe Postmodern Explained: Correspondence 1982-1985, trans. Don
Barry, dkk., Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992. Cilliers, Paul., Complexity and
postmodernism, London and New York: Routledge, 1998.
Madland David dan Ruy Teixeira., New Progressive America: The Millenial Generation,
WWW, American Progress.Org, 2009.
Setiadi, Ully M., dan Usman Kolip., Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Prenadamedia Group,
2013.
Spadaro, Antonio., Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet, New York:
Fordam University Press, 2014.
Taylor, Paul dan Scott Keeter (ed)., Millenials, A Portrait of Generation Next: Confident,
Connected, Open to Change, Pew Research Center, 2010.

2. Jurnal dan Internet


Buckley, Patricia, Peter Viechnicki, dan Akrur Baruaht, “A New Understanding of Millennials:
Generational Differences Reexamined”, dalam Deloitte Millenial Survey, 2016.
Charta Politica, “Tahun Politik Milik Generasi Milenial”, 2018, diakses pada 16 Maret 2018.
Continental Philosophy, Vol.4, London and New York: Routledge, 2014.
CSIS, Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik, Jakarta (2017).
Dimock, Michae.,l “Defining Generations: Where Millenials End and Post-Millenials Begin”,
dalam Pew Researh Center.org, (1 Maret 2018).
International Chamber Foundation., The Millenial Generation: Research Review, 2012.
José Antonio Zarzalejos, “Communication, Journalism and Fact-Checking”, dalam Uno
Magazine, No. 27 March 2017, 12.

19
Kevin Hart, Postmodernism: A Beginner’s Guide, (Oxford: Oneworld Publications, 2004), 17.
Llorente, José Antonio., The Post-Truth Era: Reality vs. Perception, Uno Magazine. No. 27
March 2017.
Dimitriou Chritina K., “An exploratory study of Greek Millennials in the hotel industry: How do
they compare to other generations?” dalam International Journal of Global Business, 8 (1),
2015.
Halpin, John Karl Agne., The Political Ideology of the Millenial Generation, Center For
American Progress & Gerstein/Agne Strategic Communications,WWW. American Progres.Org,
2009.
Muhamad Isnaini., “Gerakan Kerelawanan Generasi Milenial: Kasus pada Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Jakarta, dalam Perspektif Komunikasi Politik”, Kolase Komunikasi di
Indonesia, 413, 2017.
Prasetyanti, Retnayu. “Generasi Milenial dan Jejaring Demokrasi Teman Ahok”, dalam Jurnal
Polinter III, 2017.
Reason-Rupe Public Opinion Survey., Millenials: The Politically Unclaimed Generation,
Survey, 2014.
Retnayu Prasetyanti, “Generasi Millennial dan Inovasi Jejaring Demokrasi Teman Ahok”, Jurnal
Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 JakartaVol. 3 No. 1 (Maret-Agustus): 48, 2017.
Raines, C., Managing Millennials. Generations at Work: The Original Home of Claire Raines
Associates, 2002. Diakses dari http://www.hreonline.com/pdfs/ManagingMillennials.pdf, (4
Maret 2018).
Marsh, Laura, “The Myth of the Millenial as Cultural Rebel”, The Republic, 30 Agustus, 2016.
https://www.bps.go.id “Proyeksi penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 2010”,
diakses pada 14 Maret 2018.
https://googleweblight.com/i?u=https:/nasional.sindonews.com/read/1266242/12/jumlah-
pemilih-pemilu-2019-mencapai-1965-juta-orang-1513405202&hl=id-ID, “Jumlah pemilih
pemilu 2019 mencapai 196,5 juta orang”, Diakses 15 Maret 2018.
http://mediaindonesia.com/news/read/129626/tahun-politik-milik-generasi-milenial/2017-10-30
3. Majalah
Friday Church News, 4/11/2016, Artikel “American Millenials Agree More with Marx than the
Bible”.

20
Karim, Ijar, “Metamorfosis sang Gitaris”, Tempo, 15-21 Desember 2014, 58-59.
Katika dan tim, “Pasukan Jasmev di dunia Maya”, dalam Tempo, 21 Desember 2014, 72-73.
Sindunata, “Demokrasi Muda tapi Tua”, Basis, No. 03-04, tahun ke-63 2014, 2-3.

21

Anda mungkin juga menyukai