Anda di halaman 1dari 126

Sosiologi Pengetahuan Baru | 1

Knowledge as Culture
The New Sociology of Knowledge

E. Doyle McCarthy

Dialihbahasakan
oleh
Iskandar Dzulqornain
Sosiologi Pengetahuan Baru | 2

PENDAHULUAN
Sosiologi Pengetahuan dan Budaya

Sosiologi pengetahuan telah menempati (jika kadang marjinal) tempat utama dalam
ilmu sosial, teks-teks intinya memaparkan pernyataan penting sosiologi bahwa masyarakat
membentuk manusia. Baik dalam tulisan-tulisan sosiolog Perancis, Jerman, ataupun tradisi
Amerika, sosiologi pengetahuan berpendapat bahwa masyarakat berpengaruh secara
mendalam terhadap struktur-struktur pengalaman manusia dalam bentuk ide, konsep, dan
sistem-sistem pikiran. Lebih lanjut, oleh karena kehidupan sosial menjadi kesadaran hidup dan
kapasitas reflektif manusia, seseorang tidak dapat secara signifikan membicarakan manusia
tanpa membicarakan apa yang disebut Arthur Child "hakikat sosialitas pikiran" (1940-1941 h.
418).

Buku ini menyajikan argumen-argumen dasar sosiolog klasik dan kontemporer


mengenai apa yang dimaksud "sosialitas pikiran", memperlihatkan bahwa disiplin kita sekarang
memikirkan topik ini dalam istilah-istilah yang sangat berbeda dari Marx, Durkheim, Mannheim,
dan Mead. Terutama sekali selama dekade 1980-an, ilmu sosial mengalami perubahan yang
ditandai oleh pengetahuannya dan sensitivitasnya terhadap budaya dan bahasa, perubahan
terbaiknya ditandai oleh pertumbuhan terhadap karya-karya dan teori linguistik, strukturalisme,
poststrukturalisme. Karya-karya dalam studi sosial budaya dan "teori budaya" tidak hanya
berpengaruh secara khusus terhadap studi keluarga, psikologi sosial, kriminologi, studi emosi,
sosiologi sejarah perbandingan, dan teori sosial, tapi juga dianggap oleh beberapa pihak
sebagai mentransformasikan paradigma ilmu sosial. Ini keyakinan sosiologi pengetahuan. Kini,
sebagaimana saya berargumen di sini, pengetahuan itu sebaiknya dikonsepsikan dan dikaji
sebagai budaya, dan ragam tipe dari pengetahuan sosial mengomunikasikan dan menandakan
makna-makna sosial --seperti makna-makna tentang kekuasaan dan kesenangan, keindahan
dan kematian, kebaikan dan bahaya. Sebagai bentuk budaya yang paling kuat, pengetahuan
juga menyusun makna-makna dan menciptakan secara penuh obyek-obyek baru dan praktik-
praktik sosial.

Saat ini, sosiologi pengetahuan oleh beberapa pihak dianggap sebagai subdisiplin
yang ditandai oleh penekanan tertentu pada "determinasi sosial atas pengetahuan". Beberapa
pihak mempertimbangkan ia digantikan oleh "teori budaya". Saya tidak. Sebagaimana saya
berpendapat dalam Bab 1, tesis determinasi sosial telah membawa pada dialog dengan teori
konstitusi budaya dari pengalaman manusia. Dinyatakan dalam bentuk proposisi: pengalaman
manusia dibentuk oleh isi dan cara konseptualisasinya, yakni, oleh pengetahuan budaya dalam
bentuk bahasa masyarakat, kepercayaan-kepercayaannya, norma-normanya, serta world
viewnya: proposisi ini menyatakan gagasan pokok sosiologi pengetahuan; sementara seluruh
produk dunia mental "dideterminasi" secara sosial, segala pengalaman manusia diseleksi,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 3

diarahkan, disusun oleh keputusan moral dan intelektual serta praktik-praktik linguistik atas
dunia sosial. Hal tersebut hanyalah melalui bahasa, kategori-kategori pikiran, norma-norma dan
seterusnya, pengalaman tersebut mengambil kesadaran dan bentuk yang dapat
dikomunikasikan.

Risalah Berger dan Luckmann (1966), The Social Constuction of Reality, menandakan
sebuah perubahan dalam bidang sosiologi pengetahuan, mengarahkan kembali sosiologi
pengetahuan dari studi tentang determinasi sosial terhadap gagasan-gagasan (ideas) menuju
pengetahuan-pengetahuan (knowledges), terutama pengetahuan-pengetahuan yang memandu
kehidupan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih penting, pernyataan teoritiknya
bahwa sosiologi pengetahuan mempelajari proses bagaimana realitas dibentuk secara sosial,
dengan demikian mengarahkan kembali fokus tradisional sosiologi pengetahuan pada
determinasi sosial. Apa yang secara aktual Berger dan Luckmann tawarkan adalah bahwa
pengetahuan dan realitas (mereka selalu memaksudkan realitas sosial) eksis dalam sebuah
relasi timbal balik atau relasi dialektika dari konstitusi yang saling membentuk.

Dalam buku ini, tetap pada argumen Berger dan Luckmann, "realitas" dan
"pengetahuan" didiskusikan dalam istilah-istilah proses: realitas dan pengetahuan berelasi
secara timbal balik dan dihasilkan secara sosial. Ini tidak mengurangi kebenaran dari dunia
sosial yang kita huni daripada diri yang kita miliki: keduanya eksis sebagai nyata pada kita;
dunia kita dan diri kita menjalankan dari pengetahuan yang menjadikan mereka nyata dan
bermakna. Dengan demikian, pengetahuan mengacu pada beberapa dan tiap bagian dari
gagasan-gagasan yang disepakati oleh kelompok sosial yang satu atau yang lain atau
masyarakat manusia yang satu atau yang lain, gagasan-gagasan berhubungan dengan apa
yang mereka sepakati sebagai riil. Emile Durkheim (1909, h. 238) mengikhtisarkan gagasan-
gagasan ini dalam kalimat: "dunia hanya eksis sejauh ia digambarkan pada kita". Realitas
adalah satu variabel dengan pengetahuan yang manusia miliki tentangnya. Kita tidak memiliki
"realitas" sepenuhnya, jika tidak kita miliki pengetahuan untuk mengatakan pada kita
tentangnya.

Pendekatan saya pada sosiologi pengetahuan memulihkan beberapa elemen yang


tidak hadir dari teori grounded fenomenologinya Berger dan Luckmann. Dalam bagian tertentu,
Saya coba untuk menggambarkan kembali atmosfer politik dimana pengetahuan dihasilkan,
seperti dilukiskan dalam karya Karl Mannheim dan dalam karya C. Wright Mills --karya-karya
klasik yang saya temukan selaras dengan penulis-penulis kontemporer seperti Michel Foucault
dan Edward Said. Penyusunan buku ini, sebagian, adalah untuk mengusung kembali ke garis
depan sosiologi pengetahuan tentang persoalan dari fungsi-fungsi pengetahuan dalam
kehidupan publik dan politik. Tema pokok ini adalah merajut, baik secara eksplisit atau implisit,
keseluruhannya menggantikan tiap bab.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 4

Sosiologi pengetahuan Mannheim kali pertama muncul di Jerman pada 1929 dan
dialihbahasakan ke bahasa Inggris pada 1936 dengan judul Ideology and Utopia. Setelah
setengah abad, Ideology and Utopia merupakan karya klasik yang masih menyibukkan dan
menggairahkan pembaca dalam cara yang tidak berbeda dengan The Sociological Imagination
(1959) oleh sosiolog Amerika Mills, yang karyanya secara vital dikaitkan pada Mannheim.
Mannheim mencoba untuk membuka kedok akar-akar aktif pikiran --bagaimana ia "berfungsi
dalam kehidupan publik dan dalam politik sebagai sebuah instrumen tindakan kolektif". Dia
mengacu pada "titik pandang pragmatis" ini (1936, h. 73) sebagai seseorang yang mengakui
bahwa pengetahuan adalah bagian dari tindakan-tindakan konkret manusia serta mengacu
pada kepentingan-kepentingan, nilai-nilai, dan etos yang muncul dari suatu kelompok.

Dalam tradisi Mannheim dan Mills, sosiologi pengetahuan melayani kebutuhan publik
yang sangat penting. Sosiologi pengetahuan menyelidiki pada konsekuensi bahwa
pengetahuan diperoleh dalam politik dan kehidupan manusia secara pribadi dan publik. Menuju
sasaran ini, sosiologi pengetahuan mencoba untuk membuka kedok dasar-dasar kolektif yang
mana kelompok-kelompok dan institusi-institusi bersaing untuk berwewenang. Demikian suatu
penyelidikan menyingkap bahwa kekinian gagasan adalah strategi; gagasan-gagasan
bermuasal dalam eksistensi kelompok dan tindakan kolektif. Ini adalah sebuah proses dimana
orang-orang, tindakan dan penentangan masing-masing yang lain dalam seting sosial dan
kelompok sosial yang berbeda, berupaya untuk merubah atau mempertahankan peristiwa di
sekitar dunia mereka. Ia dalam proses kolektif untuk merubah atau menolak merubah bahwa
gagasan adalah dihasilkan. Menurut pandangan ini, proses "konstruksi realitas", berkait-kaitan
sebagaimana mereka berada pada apa yang mereka ketahui dan komunikasikan kepada
masing-masing yang lain, adalah ditetapkan dalam arena publik. Ia ada sebagaimana arena
publik bahwa apa yang orang-orang pikirkan dan ketahui menjadi tampak; pikiran dan
pengetahuan muncul dari konfrontasi orang-orang dengan dunia perubahan mereka. Dalam
atmosfer politik ini, kelompok dan institusi masuk sebagai pemegang otoritas dan wasit dalam
urusan yang sulit dimengerti tentang pendefinisian dan pemahaman realitas sosial.

Sebagaimana dikatakan di atas, buku ini membawa isu-isu tersebut kembali pada garis
depan sosiologi pengetahuan: bagaimana kelompok-kelompok, kelas-kelas, institusi-institusi,
dan bahkan bangsa-bangsa dunia berlomba dalam suatu generasi serta mengatur terhadap
opini publik; fungsi aktif pengetahuan melayani dalam kehidupan publik ketika mereka
memunculkan serta secara langsung opini publik dan tindakan. Dalam Bab 2 dan 5, misalnya,
sosiologi pengetahuan dihadirkan sebagai sebuah metode untuk memeriksa keberubahan dan
pertentangan interpretasi pada peristiwa-peristiwa kontemporer, keberubahan atas apa yang
kita sebut "realitas-realitas" sosial (kutipan tersebut menandakan arah pada kenisbian dan
status yang sulit dimengerti terhadap apa yang dalam kenyataannya adalah riil dan bagi siapa).
Sosiologi pengetahuan memeriksa bagaimana obyek-obyek muncul pada perhatian publik,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 5

bagaimana persoalan-persoalan sosial didefinisikan dan fungsi-fungsi pengetahuan tertentu


bermain dalam proses ini. Misalnya, suatu konflik negara-bangsa dan partai, antara otoritas
gereja dan sekuler, terhadap kemunculan kelas-kelas dan kepentingan kelompok seperti
perempuan dan kulit hitam, terhadap elit medis dan teknik yang menegaskan agenda-agenda
sosial bagi ketidaklahiran dan sekarat adalah diperhatikan dengan pertanyaan: pengetahuan
siapa yang akan menentukan?

Pertarungan yang telah dikibarkan hari ini melampaui pertanyaan tersebut yang
mungkin tidak sebaru yang bisa kita pikirkan. Apa yang secara menentukan sekarang tidak
hanya bahwa etos demokrasi membiarkan dan bahkan mengundang serupa konflik, tapi juga
kenyataan bahwa pentas pertarungan telah dikumandangkan secara tiba-tiba tampak pada
semua (secara instan, dan bagi rekaman permanen dan replay yang instan). Apa yang orang
ketahui dan apa yang mereka pikir adalah peristiwa-peristiwa yang dimainkan dalam arena
publik, sesudah dan sebelum audien yang tak terkira banyaknya. Suatu "peristiwa media"
hanya mendramatisir pendirian Mannheim bahwa pertanyaan "Apakah realitas itu?" adalah
penting untuk kondisi kita sekarang dan secara sangat unggul disesuaikan dengan penyelidikan
sosiologis.

Baik diperhatikan secara langsung peranan publik dan politik dari pengetahuan atau
bersama topik yang lain, seperti pentingnya bahasa dan relasi sosial, titik pandang yang Saya
adopsi seluruhnya di buku ini adalah teori kesadaran tindakan-bertujuan. Pada respek ini,
sosiologi pengetahuan menutup hubungan kepada tradisi pragmatis filosofis yang
diidentifikasikan seperti pada tokoh filosof James, Peirce, Dewey, dan Mead. Apa yang pemikir-
pemikir tersebut sumbangkan pada sosiologi pengetahuan adalah sebuah pandangan
kehidupan mental sebagai satu bagian dari tindakan manusia. Kesadaran manusia
dikonsepsikan sebagai suatu aktifitas; sikap mental dan pengetahuan selalu dihubungkan
dengan tindakan. Bentuk-bentuk pengetahuan tidak melekat dalam kesadaran manusia tapi
merepresentasikan satu dari beberapa cara yang ada dalam pikiran, salah satu dari beberapa
cara manusia berada mengukir sebuah realitas. Sebaliknya, cara-cara dari pikiran muncul dari
luar kepentingan dalam sebuah realitas. Pengetahuan diinginkan aktifitas. Tak ada
pengetahuan terhadap realitas yang mungkin atau bahkan memungkinkan bahwa dideterminasi
oleh hal-hal dalam dirinya. Kaum pragmatis meminjam metafor kaum idealis tentang
pengetahuan sebagai "pahatan": keluar dari pinggiran dunia bersama ketidakmenentuan, aktor-
aktor manusia memahat obyek-obyek yang tetap, jadi memungkinkan tindakan untuk diteruskan
(Stalin 1986, h. 10). Pengetahuan dan pengalaman adalah coterminous --mereka muncul dan
berkembang secara simultan dalam tindakan manusia. Menurut pragmatis Amerika George
Herbert Mead, yang didiskusikan dalam Bab 4 sejauh bersama sejumlah penulis kontemporer
mengenai agensi manusia, kesadaran manusia dipahami sebagai suatu kapasitas bagi
tindakan dan meliputi secara terpisah kapabilitas pengalaman manusia menuju kesadaran,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 6

dalam bentuk bahasa dan simbol, tindakan-tindakan sosial yang kita lakukan bersama yang
lain.

Pandangan kaum pragmatis terhadap akar sosial dari pikiran ini dapat ditemukan
dalam tulisan-tulisan tradisi sosiologi yang, dalam menghormati yang lain, menyuarakan
perbedaan. Ada sebuah tugas pragmatisme, misalnya, pada Marx, Mannheim, kelompok
Durkheim, dan bahkan Scheler1. Pemahaman kaum pragmatis mengenyampingkan gagasan
bahwa pengetahuan adalah cermin realitas atau, seperti kalimat Paul Rock, "sebuah irisan
dalam ketidakberubahan alam semesta" (1979); ataupun pengetahuan sejenis jembatan yang
menghubungkan dunia dengan apa yang mereka pikirkan tentangnya, seolah-olah
pengetahuan dan realitas bisa dianggap sebagai kutub yang terpisah dan yang menyatu.

Teori pragmatis tentang pengetahuan menawarkan sejumlah tentangan pada usaha


filosofis sepenuhnya dan sejarahnya. Ia juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan sulit
tentang apa yang Alfred Schutz (1971) sebut dunia sebagai dunia yang tampak dalam struktur
pikiran sehari-hari, dengan demikian pengetahuan dilihat sebagai buntelan dari persepsi-
persepsi yang akurat. Ini karena aktor sehari-hari dan banyak filosof melakukan tentang
gagasan bahwa pengetahuan memiliki dasar yang riil, seseorang yang tidak diragukan di sana,
atau seseorang yang ada untuk menguraikan.

Baik filosof ataupun sejawatnya menjadi perhatian kita di sini, kecuali serangan yang
membedakan hal tersebut yang mengakui pemahaman pengetahuan dari sosiologi (dan
pragmatisme), yang memahami bahwa terdapat sejumlah fungsi vital bahwa pengetahuan tidak
memiliki apapun juga untuk melakukan dengan pikiran yang jernih atau dengan truth-seeking;
fungsi-fungsi tersebut secara tepat memikat sosiolog. Barangkali suara-suara ini sedikit tidak
wajar. Saya akan menyetujui bahwa memang demikian, sejak ketidakwajaran meliputi
pembelokan bisikan dari apa yang secara normal disepakati sebagai salah satu antara benar
dan baik. Sosiologi pengetahuan telah mendesak bahwa semua bentuk pengetahuan, bukan
persoalan bagaimana keagungan dan otoritatif, memiliki asal usul manusia serta asupan dan
menggemukkan kepentingan dan kebutuhan kelompok.

Fungsi-fungsi lain pengetahuan, hasil pemikiran sosiolog, tidak diuraikan sebagai salah
satu yang kedua (ataupun salah satu yang utama, bagi masalah tersebut). Agaknya, klaim
sosiologi bahwa fungsi-fungsi tersebut akan dianggap dengan paling sedikit sama banyak dari
perhatian dan keseriusan yang dihasilkan pandangan-pandangan lain dari pengetahuan dan
kehidupan mental, seperti yang diberikan para filosof, psikoterapis, pemuka agama, dan
kesalehan lain dari kesadaran dan jiwa manusia. Ini memasukkan fungsi-fungsi pengetahuan
pada penyatuan suatu keteraturan sosial, untuk memberikan rasa masuk akal dan
kebermaknaan realitas (dan bukan realitas) pada manusia, untuk menyumbangkan dan

1 Untuk diskusi atas fitur-fitur pragmatis sosiologi klasik dan sosiologi pengetahuan, lihat Werner Stark ([1958] 1991.
h. 307ff.) dan Kenneth Strikker (1980) pengantar pada Problem of Sociology of Knowledge Marx Scheler.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 7

memelihara identitas kelompok atau perorangan, dan untuk melegitimasikan tindakan dan
otoritas. Sosiologi juga memiliki ketertarikan khusus dalam fungsi pengetahuan, disebut
ideologis, untuk mendistorsi, menjustifikasi, atau memistifikasi kepentingan dan posisi
kelompok. Pada tiap contoh tersebut, pengetahuan tidak begitu banyak mendeskripsikan
realitas-realitas sosial sebagai konstruksi dan susunan mereka.

Masing-masing bab dari lima bab buku ini membicarakan tentang fungsi kolektif
pengetahuan menuju tradisi-tradisi ilmu sosial yang merujuk karya-karya Marx, Durkheim, dan
Mead: Bab 1 mendeskripsikan dan menginterpretasikan pengetahuan dan sosiologi
pengetahuan dengan menggunakan sosiologi pengetahuan itu sendiri. Ia memberi batasan
pada diskusi kita serta daerah yang harus dilintasi. Bab 2 membicarakan pengetahuan sebagai
ideologi yang menutupi dan memistifikasi sistem-sistem sosial, organisasi-organisasi, dan
kelas-kelas. Pada Bab 3, fungsi gagasan-gagasan kolektif dan simbol-simbol sebagai kekuatan,
bahkan memesonakan, kekuatan dari pengetahuan dan sentimen kolektif yang diambil. Bab 4
memeriksa fungsi-fungsi pengetahuan sebagai instrumen-istrumen komunikasi; ia
memanjangkan sosiologi pengetahuan untuk memasukkan dunia pengetahuan diri (self) dan
konsep diri yang lain (other) (the other). Kapasitas manusia tersebut terhadap kesadaran
komunikasi mensyaratkan suatu proses sosial yang terus menerus, suatu kapasitas untuk
mengorganisir dan untuk menggunakan bahasa, sikap sosial, dan perspektif dengan acuan
pada diri (self) dan yang lain (other) (the other). Kehidupan sosial memberikan bahan (kata-
kata, gestures, sikap) keluar dari yang mana kesadaran hidup berkembang. Ia memberikan
kekhususan "bahasa diri" yang membentuk bentuk-bentuk tertentu dan pengalaman-
pengalaman diri.

Suatu diskusi pandangan-pandangan feminis pada Bab 5 menyingkap pengetahuan


sebagai kendaraan dominasi yang sangat unggul, memikul cap suatu budaya, kelas, ras,
gender. Para penulis feminis secara prinsipil berkonsentrasi terhadap pegetahuan yang
dihasilkan khususnya dalam dunia sastra, filsafat, dan ilmu. Mereka menentang gagasan
bahwa teori-teori dan metode-metode dari disiplin tersebut adalah bebas dari cap ideologi,
hegemoni laki-laki. Feminisme meruntuhkan gagasan-gagasan tradisional tentang ilmu sebagai
satu cara yang istimewa dalam menghasilkan sesuatu yang obyektif, reliabel, dan bebas-nilai
tubuh terhadap gagasan. Dalam hal ini, feminisme selaras dengan sosiologi pengetahuan dan
pandangannya tentang pengetahuan sebagai barang berharga atas tindakan dan, seperti Mills
(1939, h. 677) argumentasikan, suatu sistem kontrol sosial.

Dengan masing-masing topik itu diambil, perbedaan pikiran diantaranya mungkin,


pengetahuan-pengetahuan merupakan konsekuensi dalam menghasilkan apa yang kita ketahui
mengenai realitas sosial; dalam memberikan pada kita suatu rasa kesatuan sosial, palsu atau
tidak; dalam menciptakan dan menyokong bentuk-bentuk dominasi, melegitimasi atau
illegitimasi; dalam menyumbangkan kehidupan sosial kita dan relasi-relasi kebermaknaan (atau,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 8

paling tidak, cukup bermakna). Fungsi-fungsi kolektif pengetahuan harus dilakukan dengan
penegakan realitas sosial melalui proses sosial secara terus menerus dan secara relatif sulit.
Pada parafrase John Dewey, realitas sosial eksis dalam transmisi, dalam pengetahuan yang
membuatnya riil bagi kita (Dewey [1916] 1980, h. 5).

Jika sosiologi pengetahuan mencapai apapun semua, ia membuat masalah hubungan


kita dengan realitas sebuah isu yang agak rumit. Pertanyaan sepenuhnya dari apa yang ia
maksudkan untuk mengetahui sesuatu adalah jauh lebih rumit daripada ia tampak secara biasa.
Manusia tidak hanya menatap dan melihat. Manusia tak hanya di sana. Bagaimana kita melihat,
apa yang kita lihat, dan apa yang kita buat dari apa yang kita lihat adalah dipahami oleh
elemen-elemen dari peta mental kita. Kita, yang lain (other) (other), Tuhan, waktu, ruang, dan
semua obyek yang mengisi lanskap sosial eksis dalam pengetahuan. Tapi tak hanya obyek,
realitas adalah manusia dan pikirannya, penilaian-penialaiannya, keputusannya-keputusannya,
serta perasaan-perasaannya.

Untuk semua alasan ini, proses-proses pikiran tentang praktik-praktik kolektif manusia
lebih dari sekadar tentang pemikir individual. Karena pikiran adalah sebuah aktifitas yang
mensyaratkan komunikasi dan pergaulan sosial, hanya dalam sebuah perasaan terbatas
melakukan pikiran individu. Sebagaimana Mannheim amati, "lebih tepat untuk mendesakkan
bahwa partisipasi individu dalam pikiran lebih lanjut apa yang manusia lain miliki mengenai
pikiran sebelum dia" (1936, h. 3). Nenek moyang dan kekinian kita memberikan pola-pola
pikiran dan tindakan bahwa kita diwajibkan mengakui jika kita memajukan percakapan manusia.
Durkheim dan kaum strukturalis, yang gagasan-gagasannya didiskusikan di Bab 3,
membicarakan asal usul kolektif dari gagasan-gagasan dan kategori-kategori pikiran kita yang
membuat pertalian dan impersonalitas pada pikiran kita dan gagasan-gagasan kita: "alasan
impersonal hanyalah nama lain yang diberikan pada pikiran kolektif", semenjak kita beralasan
bahwa kita menjalankan konsep-konsep yang memikul cap bukan kesadaran tertentu tapi dari
sebuah andil atau sumber impersonal yang memiliki kualitas selalu umum dan tetap (1915, h.
446, 433-435). Gagasan-gagasan kolektif memiliki kualitas rasional, apa yang Benedict
Anderson sebut sebuah "halo of disinterestedness", sebuah "logika misrepresentasi"
(Thompson 1986, h. 45).2

Fungsi-fungsi ideologis pengetahuan untuk mendistorsi atau memisrepresentasi


realitas sosial (didiskusikan di Bab 2) membawa suara Marx pada percakapan dengan seorang
strukturalis (Althusser) dan pemikir postsrukturalis (Foucault). Meski kenyataannya bahwa teori
ideologi Marxis sering dilihat sebagai tidak sesuai dengan sosiologi pengetahuan, Saya
berpendapat bahwa ia lebih sesuai daripada tidak sesuai. Adalah wajar untuk tiap argumen
bahwa semua gagasan dan kesadaran dapat dijelaskan dengan kekuatan dan faktor-faktor
kolektif yang ditempatkan dalam bentuk-bentuk kehidupan dan praktik sosial, terutama
2 Saya menyebutkan diskusi atas teori-teori Durkhemian Kenneth Thompson (1986), termasuk Benedict Anderson
dan Bernard Lacroix.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 9

pengelompokan sosial. Bentuk-bentuk argumen ini merupakan barang berharga ditengah-


tengah dua tradisi sosiologi yang berbeda, yang satu dari Auguste Comte sampai Emile
Durkheim, yang lain bersama Karl Marx dan, yang lebih baru, bersama "budaya Marxisme".
Konsep ideologi juga memberikan sosiologi pengetahuan dengan dasar-dasar teori motivasi
kolektif: distorsi-distorsi dan mistifikasi-mistifikasi ideologi melibatkan proses politik --mereka
mesti melakukan dengan klaim-klaim kekuasaan, dan dengan klaim-klaim untuk menjadi kuasa
(Ricoeur 1986, h. 161).

Perbedaan-perbedaan yang bisa dipertimbangkan mengenai opini pada dinamika yang


tepat dari proses-proses ideologis bisa diformulasikan sebagai dua pertanyaan: Apakah
ideologi-ideologi dibatasi pada gagasan-gagasan self-serving dari kelas-kelas tertentu; atau,
Apakah distorsi dan mistifikasi sebuah fitur yang mengikat terhadap semua diketahui
masyarakat? Dalam kata-kata Althusser (1969, h. 232), Apakah ideologi-ideologi "sebuah
bagian organik dari tiap totalitas sosial?" Apakah "masyarakat menyembunyikan ideologi
sebagai suatu yang sangat mendasar dan atmosfer yang diperlukan bagi nafas dan
kehidupannya?"

Dalam Bab 2, Saya memperdebatkan sebuah pemahaman ideologi sebagai tipe


khusus dari pengetahuan --seseorang yang memiliki suara otoritatif, sanggup mengatur
kebenaran dan kesalahan dari pengetahuan. Ideologi-ideologi menklaim sebuah posisi
istimewa, suatu posisi yang mengakui proses sebuah klaim universalitas. Ideologi-ideologi
adalah suara-suara mutlak, melewati dirinya sebagai alami, hanya sebagai cara melihat
sesuatu. Semua pengetahuan memuat benih-benih pikiran ideologis. Tapi beberapa
pengetahuan, karena ciri-ciri totalnya dan kesanggupannya untuk menaturalkan realitas sosial,
dan untuk menghasilkan kembali institusi-institusi kekuasaan, mencapai secara lebih sempurna
status ideologi-ideologi. Ideologi-ideologi diganti sebagai ideologi-ideologi dengan tekanan
fungsi konstruktif pengetahuan. Dengan menyembunyikan sejarah dan kenyataan sosial,
gagasan-gagasan dan sistem pengetahuan mendapatkan logikanya.

Dalam buku ini, sosiologi pengetahuan dipekerkajan sebagai bermusuhan pada klaim-
klaim kaum absolut. Tak ada pengamat-pengamat yang transenden, termasuk sosiolog.
Sosiologi pengetahuan menawarkan sebuah titik balik terhadap realisme, dan terhadap
gagasan-gagasan bahwa pengetahuan adalah perangkat untuk memahami sebuah realitas
yang berdiri atas dirinya sendiri. Metodenya adalah kritik, dalam kesadaran klasik: sosiologi
mempekerjakan seseorang dalam sebuah keberlanjutan kritisisme dari apa yang ia kaji,
termasuk bentuk-bentuk pengetahuannya sendiri dan kriteria keputusannya sendiri. Dalam
skeptisismenya ia bukan dogmatis.

Apakah sosiologi selalu berhasil dalam mengomunikasikan perspektif kritis ini? Tentu
tidak. Hanya pada yang terbaik sosiologi mengimbangkan perhatian pada status relatif dan
artifisial pengetahuan dan pada fungsi sosialnya sendiri sebagai wasit suasana sosial terkini.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 10

Pada yang terbaiknya, sosiologi melihat dirinya sebagai konfigurasi kekuatan yang sama yang
dibentuk dunia modern. Lebih lanjut, sosiologi bukannya tanpa agenda politik dan institusinya
sendiri, tendensi pemistisan dan pengabsolutannya sendiri. Tapi hal tersebut ditakdirkan untuk
eksis dalam tekanan dengan karakter reflektif sosiologi, banyak fitur vitalnya. Vital, karena ia
mengajarkan pada kita bahwa pengetahuan manusia mengenai masyarakat, apapun
sumbernya, selalu bersifat sementara dan tidak selesai. Sebagai disiplin reflektif, sosiologi
memahami bahwa proyeknya sendiri merupakan bagian dari realitas sosial, ia mempelajari
bahwa pemahaman ilmu sosial tentang masyarakat adalah bagian integral dari apa yang
dipahami masyarakat.

Paul Rock (1979, h. 83) meringkas argumen ini, penggambaran realitas sosial sebagai
"penyempurnaan proses pengetahuan. Ia bukanlah ontologi independen diluar proses
tersebut". Dari titik pandang ini, ilmu tentang kehidupan sosial dilihat sebagai sebuah aktifitas
yang menyumbangkan pada proses konstruksi-dunia, pada penghasilan obyek-obyek baru
pengetahuan (misalnya penyimpangan-penyimpangan, aturan-aturan sosial), pada penjahitan
obyek-obyek lain dengan titik pandangnya sendiri, pretensi-pretensi dan perspektif-
perspektifnya. Ketahuan dan ketidaktahuan ilmuwan sosial memaksakan pada bagian realitas
sosial ini dan itu. Teori-teori dan temuan-temuan kita memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis,
seperti ketika deskripsi-deskripsi sosiologis diubah oleh manusia-manusia awam ke dalam
aturan-aturan tingkah laku. Sebagaimana Giddens (1984, h. 284) ucapkan, "Deskripsi-deskripsi
sosiologis memiliki tugas menengahi kerangka-kerangka dan makna-makna menuju aktor-aktor
yang mengorientasikan tingkah lakunya".

Design seluruh buku ini juga memasukkan pandangan ilmu sosial sebagai bagian dari
budaya dan "produksi budaya" (Peterson 1976; 1994). Lokasi sosial dari gagasan-gagasan dan
sistem-sistem pengetahuan dikaji bahwa mahasiswa sosiologi mengembangkan "rasa"
terhadap fungsi-fungsi strategis pengetahuan, perbedaan-perbedaan tertentu pengetahuan
membuat apa yang manusia lakukan dan bagaimana mereka hidup. Apa konsekuensi-
konsekuensi dari mengadopsi pengetahuan dan otoritas sains, kedokteran, ilmu sosial,
psikologi terhadap bagaimana kita menjalani kehidupan kita? Bagaimana ruang sosial yang
menakutkan dan aturan-aturan hukum politik dan kedokteran memainkan dirinya pada kita dan
kehidupan pribadi kita sebagai orang tua dan anak? Sebuah sosiologi kritis memprovokasi
mahasiswa untuk mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, untuk memeriksa nilai
pengetahuan sebagai strategi kelompok atau sebagai instrumen bagi kontrol realitas sosial.

Sebagaimana saya katakan di atas, sebuah porsi yang baik dari buku ini adalah
menyeimbangkan pada karya-karya klasik sosiologi dan sosiologi pengetahuan melalui Marx,
Durkheim, Weber, Mannheim, dan Mead. Untuk alasan ini, keberhasilan dari argumen saya
bergantung, sebagian, pada kesanggupannya atas pembacaan yang segar terhadap karya-
karya tersebut, seseorang yang membuat mereka secara efektif relevan pada dunia saat ini. Ini
Sosiologi Pengetahuan Baru | 11

karena semua pembacaan dan penyelidikan secara sosial menjadi nyata. Pembacaan dan
pemikiran adalah tidak kurang merupakan tindakan sosial ketimbang sesuatu yang lain yang
kita lakukan, sejak mereka mengira mengenal, sebuah idiom biasa, dan dunia sosial untuk
membicarakan tentangnya. Penekanan Saya sendiri pada pandangan pragmatis terhadap
ruang sosial dan akar-akar aktif dari pikiran memperoleh, sebagian, dari perasaan saya
mengenai keberhasilannya sebagai sebuah cara pembacaan klasik bagi mahasiswa-
mahasiswa saat ini, pembacaan yang sesuai dengan kajian-kajian yang lebih baru dalam
bahasa, pengetahuan, dan makna. Kaum pragmatis memandang pengetahuan, sebagaimana
Rorty (1979; 1982) dan yang lain menunjukkan, pergeseran dari gagasan-gagasan
pengetahuan klasik dan modern sebagai representasi dan kesadaran seperti cermin
memantulkan realitas. Pada tempat ini gagasan pengetahuan sebagai tindakan, politis dan
perangkat sosial. Ia sepenuhnya sesuai dengan kajian-kajian yang lebih baru dalam teori
diskursus yang berargumen bahwa semua bentuk bahasa mengimplikasikan posisi-posisi dan
perspektif-perspektif sosial dari apa yang manusia bicarakan. Institusi-institusi, dalam bahasa
Foucault, "mendorong manusia untuk berbicara...menyimpan dan mendistribusikan sesuatu
yang dikatakan" (1980a, h. 11). Dalam analisis terakhir, tidak ada pemeriksaan ulang terhadap
gagasan klasik yang mungkin kecuali dari titik pandang khusus seseorang, lokasi sejarah
menyeting istilah-istilah terhadap bahan periksa. Seperti penulis-penulis saat ini melukiskannya,
membaca sejarah dan tindakan interpretatif.

Kerja sosiologi harus mempertimbangkan dalam situasi: konsep-konsepnya dan


wawasan-wawasannya berkembang dari dan ditujukan pada dunia sosial terhadap pelaksana-
pelaksananya. Sosiolog tidak dalam urusan penawaran kebenaran-kebenaran yang tak lekang
waktu. Kita bukanlah penyair ataupun metafisikus. Disiplin kita didesign secara riil bagi
diagnosis situasi yang mengijinkan kita lebih baik untuk memahami apa yang terjadi pada dunia
di sekitar kita.3 Sebagaimana sosiologi yang terbaik memperlihatkan, tiap konsep dan model
yang kita pekerjakan memiliki asal usulnya dalam kehidupan riil; mereka muncul dari
pertentangan dengan dilema kehidupan sosial dan membawa bersama mereka kesadaran dan
ketidaksadaran kita. Sebaiknya, kita mencoba memahami dunia sosial kita sendiri dengan
menyelesaikan kekusutan sejarah khususnya. Tapi sejarah selalu diambil dari titik pandang
tertentu kita sendiri. Sosiologi mutakhir memulai dari dan kembali pada situasi kita, salah satu
yang dibuat pada tempat pertama.

Ideology and Utopia Mannheim membuka dengan rekfleksi-refleksi serupa: proposisi-


proposisi sosiologi "adalah bukan eksternal secara mekanis ataupun formal, atapun apakah
mereka mewakili korelasi-korelasi kuantitatif secara murni" (1936, h. 45). Konsep-konsep dan
teori-teori kita "diciptakan bagi maksud aktifistis dalam kehidupan riil". Dia bahkan membuat
garis besas situasi-situasi sosial khusus yang "mendorong kita untuk memantulkan akar-akar

3 Istilah yang diambil dari Mannheim (1936) yang meluaskan "pendekatan persiapan.... untuk sosiologi pengetahuan,
terutama h. 45ff.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 12

sosial pengetahuan kita" dan untuk menghadapkan "fakta mencemaskan bahwa dunia yang
sama nampak berbeda bagi pengamat yang berbeda" (1936, h. 6).

Fakta ini membuat kita cemas. Sebagian besar dari kita, keadaan sulit mutakhir kita
sendiri (seperti Mannheim menyebutnya) adalah bukan penghilangan kesatuan pandangan
dunia, ataupun bahkan problem obyektifitas. Saya masih berpikir bahwa problem akar-akar
sosial pikiran kita dilanjutkan untuk menekan kita seperti ia ditekan generasi-generasi
Mannheim di Jerman pada 1920-an dan Mills pada paska perang Amerika, tapi untuk alasan-
alasan yang sangat berbeda. Seandainya Saya bisa berbicara lama dengan mahasiswa-
mahasiswa saya, kecemasan kita sendiri berkembang dari pengakuan kita terhadap
kesulitdimengertian realitas-realitas sosial dalam wajah the multitudinous yang melombakan
imej-imej dan sumber-sumber yang memberikan kita "sebuah kisah". Perasaan kita terhadap
beragam kisah, pendapat, imej, adalah sesintal (as fine-tuned as) perasaan kita pada kuasa
pengetahuan, kata, dan kesan untuk mencipta dan mengontrol realitas sosial. Ia bahkan
mungkin mengatakan bahwa problem akar-akar sosial pengetahuan dan pikiran bahkan lebih
penting bagi kita saat ini ketimbang generasi-generasi sebelumnya. Tidak pernah sebelum
pengalaman dan pengetahuan manusia terhubung langsung pada teknik dan teknologi massa.
Tidak pernah sebelum gagasan-gagasan yang sesuai secara instan dikomunikasikan melintasi
bangsa-bangsa, kelas-kelas, kepulauan-kepulauan. Dalam sebuah perasaan yang sangat riil,
problem dan persepsi terhadap konstruksi realitas sosial adalah problem kita sendiri.

Sosiologi pengetahuan menyediakan kurikulum kehidupan bagi sosiologi dalam dunia


saat ini. Saya masih mencoba berargumen di seluruh halaman ini, argumen yang memasukkan
jajaran konsep dan teori yang menuntut pemikiran ulang dan pembacaan ulang. Gagasan-
gagasannya, pusat untuk sosiologi modern dan sejarah kontemporer, dibutuhkan untuk bergulat
dengan beberapa isu dan persoalan global dunia kontemperer: menyelidik ke dalam makna
kemunculan politik dan corak budaya dari pikiran dan kelasnya dan institusi berasal-usul;
otoritas sains, kedokteran, dan hukum sebagai tubuh dari praktik dan pengetahuan mutakhir;
dampak budaya terhadap bentuk-bentuk dan kesan media massa, secara nasional dan global;
perubahan wajah politik dan fundamentalisme agama dalam dunia saat ini. Sosiologi
pengetahuan merupakan sederetan ulung untuk mengekplorasi isu-isu dan persoalan-
persoalan tersebut, isu-isu dan persoalan-persoalan kita. Bagi kita saat ini, pengetahuan telah
menjadi kekuatan budaya yang sangat kuat. Bagaimana kita memulai untuk memahaminya
adalah apa yang buku ini lakukan.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 13

BAB 1
APAKAH PENGETAHUAN ITU?

Sifat dasar pengetahuan tak dapat hidup tanpa keberubahan di dalam konteks
transformasi umum tersebut.
(Jean-François Lyotard)

TINJAUAN DASAR

Sosiologi pengetahuan bukanlah area khusus dalam sosiologi seperti sosiologi


keluarga atau studi tentang stratifikasi. Gagasan-gagasannya menyebut pertanyaan-pertanyaan
sosiologis terluas tentang tingkatan dan batas-batas sosial serta pengaruh-pengaruh kelompok
dalam kehidupan manusia dan sosial serta dasar-dasar budaya terhadap kognisi dan persepsi.
Tempat khususnya dalam sosiologi mirip studi-studi budaya (cultural studies) yang
membicarakan pertanyaan-pertanyaan sosiologis umum dalam pendekatan tersendiri pada
jajaran luas dari simbol dan sistem-sistem pemaknaan (William 1981, h. 14; cf. Stehr dan Meja
1984, h. 7).

Seperti semua upaya keras sosiologis yang memiliki beberapa generasi akhir di abad
ini, sosiologi pengetahuan mengusung suara-suara tradisi penelitian (Shills 1981, h. 137-140),
sebuah warisan teks-teks dan teori-teori kunci, dilihat secara khusus dalam keberlanjutan dan
keberubahan pada beberapa temanya yang melintasi waktu: "determinasi sosial" terhadap
gagasan-gagasan, kaitan faktor-faktor gagasan dan kenyataan, dan Weltanschauung suatu
bangsa.

Seperti dalam beberapa tradisi, cengkraman masa lalu harus menemukan rekonsiliasi
dengan kekinian dan kebaruan. Dalam kasus tradisi-tradisi intelektual, teks-teks dan gagasan-
gagasan klasik secara berkelanjutan dibaca ulang dan diperiksa ulang dalam kesesuaian
dengan wawasan (dan anggapan), perasaan, dan sebagian besar problem-problem penting
dari generasi baru; bila ini tidak dilakukan, tradisi-tradisi tersebut akan runtuh, disingkirkan
bersama, atau dilihat sebagai bekas masa lalu belaka. Ini merupakan problem seluruh
masyarakat yang sebanyak sistem-sistem gagasan, karena keberlanjutan keteraturan sosial
dan sistem-sistem pikiran merupakan sesuatu yang dicapai secara berkelanjutan.

Buku ini, sebagian besar kerjanya merupakan tugas kaum revisionis pada pemaparan
karya-karya dan argumen-argumen klasik dalam sosiologi pengetahuan supaya menarik dan
relevan bagi kita dan dunia kita saat ini --dalam beberapa kasus, mengarahkan penggantiannya
dengan titik-titik pandang baru secara menyeluruh. Revisionisme perlu kesepakatan bagus
mengenai rekonstruksi selektif, pada yang terbaik, rasa kesadaran kesusastraan naratif,
membawa bersama teks-teks klasik menuju rumusan-rumusan mutakhir, keduanya
dimaksudkan untuk mencerahkan kita tentang lanskap sosial tertentu yang mengitari kita.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 14

Revisi dari beberapa tradisi intelektual memerlukan kerja ulang terhadap tema-tema kaku
dengan tema-tema yang familiar.

Dua tema menjadi lengkap, bahkan tidak secara ekslusif, dikenal bersama sosiologi
pengetahuan. Salah satu dari hal tersebut memuat saran dari filsafat sosial kuno dan
perhatiannya dengan problem yang menyibukkan Scheler dan Mannheim selama periode
antara dua Perang Dunia: relativisme dan konflik ideologi. Tema yang lain mencatat tahapan
postpositivis yang lebih baru dari sosiologi dan perhatiannya dengan cara-cara yang dunia
sosial capai maknanya. Tiap tema tersebut akan diurai dalam bab ini sebagai cara menyajikan
gagasan-gagasan inti sosiolog seperti yang pengetahuan sajikan.

Cara-cara yang sosiolog sudah mengkaji dan mendefinisikan pengetahuan telah


berubah selama bagian sejarah sosiologi dan menuju sejumlah perbedaan setting budaya dan
nasional. Ketertarikan khusus pada sosiologi pengetahuan adalah bagaimana penguraian
tema-tema tersebut menandai perubahan dalam sejarah sosiologi sendiri, terutama
percobaannya untuk merespon terhadap fitur-fitur dari lanskap sosial partikularnya sendiri.

SOSIOLOGI PENGETAHUAN: DUA TEMA BERBEDA

Pengulangan dua tema yang bisa dikatakan untuk mengikhtisarkan tradisi intelektual
sosiologi pengetahuan dapat dimulai dalam bentuk proposisional. Mereka menyajikan dua
gagasan berbeda yang serupa tentang posisi pengetahuan dalam keteraturan sosial. Proposisi
pertama, pengetahuan dideterminasi secara sosial, telah mendominasi sosiologi pengetahuan
sejak awal. Mannheim telah mengenalkan determinasi sosial sebagai teori mendasar dari
sosiologi pengetahuan (1936, h. 266; cf. h. 267, n. 1), dan pernyataan-pernyataan yang lebih
terkini oleh tokoh-tokoh dalam bidang ini menganggap "determinasi sosial" dan determinasi
eksistensial", sebagai tema utama sosiologi pengetahuan bahkan saat ini (Stehr and Meja
1984, h. 2; Remmling 1973). Ini diikhtisarkan dalam rumusan terkenal dari Marx dan Engels
bahwa pikiran dan kesadaran adalah, dari yang sangat awal, sebuah produk sosial ([1845-
1846] 1970, h. 51). Bahwa, semua pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari kehidupan
riil, kondisi-kondisi sosial aktual yang secara khusus individu-individu berbagi.

Proposisi kedua, pengetahuan membentuk keteraturan sosial, menegaskan bahwa


pengetahuan bukan sebatas hasil akhir dari keteraturan sosial tapi merupakan kekuatan kunci
dalam cipta dan komunikasi dari keteraturan sosial (Williams, 1981, h. 12-13). Seperti akan
didiskusikan kemudian dalam bab ini, proposisi kedua merupakan salah satu yang mutakhir
yang menarik dan mendominasi perhatian banyak sosiolog sekarang ini. Faktanya, tidak
diragukan kebenaran bahwa persepsi sosiologi pengetahuan sebagai sebuah bidang penelitian
yang melihat hari-hari lebih baik adalah dalam seluruh bagian luas bagi pendirian banyak
sosiolog bahwa teori klasik dari determinasi sosial bersama yang mana bidang itu dikenal dan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 15

ditempatkan kembali oleh gagasan yang berlaku dari "konstruksi realitas sosial" bahkan
pengetahuan-pengetahuan dan bilangan-bilangan yang sangat besar serta jenis-jenis sistem
simbol.

Determinasi sosial atas pengetahuan

Gagasan determinasi sosial atas pengetahuan disajikan sebagai premis pertama dari
pemikir sosial klasik seperti Marx, Durkheim dan, dalam kasus Marx, dimaksudkan sebagai
pernyataan filosofis dan historis yang menandai keretakan dari seluruh tradisi pemikir di Jerman
dulu dan kini. Ia merupakan pernyataan yang memperhatikan seluruh segi kesadaran dan
pikiran manusia. Marx dan sosiolog setelahnya berargumen bahwa, dalam analisis terakhir,
pengetahuan (termasuk kepercayaan dan sistem gagasan manusia) secara mendalam
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk organisasi sosial yang berkuasa. Semua pikiran dan
pengetahuan dideterminasi oleh aktifitas produktif masyarakat, disusun seperti tampaknya dan
struktur-struktur material kerja, institusi-institusi pekerja dan pemerintahan, dan bentuk-bentuk
teknologi (lihat ilustrasi 1).

PROPOSISI 1: PENGETAHUAN DIDETERMINASI SECARA STRUKTUR SOSIAL

SOSIAL --------------> PENGETAHUAN

PROPOSISI INI MENEGASKAN BAHWA SEMUA PENGETAHUAN MANUSIA


BERKEMBANG DARI DAN BERUBAH BERSAMA KONDISI SOSIAL DAN MATERIAL

ilustrasi 1

Dalam tulisannya, Marx berulang-ulang menggunakan perbedaan antara dasar


material atau substruktur --dunia relasi-relasi ekonomi-- dan superstruktur --atau dunia budaya
dan gagasan (lihat ilustrasi 2). Pembedaan tersebut dimulai dalam "Preface to A Contribution to
a Critique of Political Ekonomi" nya Marx.

Azas pedoman dari studi saya dapat diikhtisarkan sebagai berikut. Dalam produksi
sosial dari keberadaannya, tak dapat dihindarkan manusia masuk ke dalam relasi-
relasi yang ditentukan....Totalitas relasi-relasi produksi tersebut membentuk struktur
ekonomi masyarakat, fondasi riil, memunculkan superstruktur politik dan legal dan
menyesuaikan bentuk-bentuk tertentu dari kesadaran sosial. Mode produksi
kehidupan material mengondisikan proses umum sosial, politik, dan kehidupan
intelektual.
([1895] 1975, h. 425)
Sosiologi Pengetahuan Baru | 16

PEMBEDAAN MARX MENGENAI DUNIA SUBSTRUKTUR MATERIAL


DAN SUPERSTRUKTUR BUDAYA

SUPERSTRUKTUR termasuk semua kehidupan budaya dan intelektual: politik, hukum,


agama, serta gagasan-gagasan seni dan ideologi

SUBSTRUKTUR termasuk relasi-relasi ekonomi atau “fondasi riil” kehidupan sosial


Dan sejarah

ilustrasi 2

Meski terdapat perbedaan pertimbangan antara Karl Marx dan sosiolog Perancis Emile
Durkheim, namun dalam tulisan-tulisan selanjutnya kita menemukan perkataan yang serupa:

Kehidupan sosial harus dijelaskan bukan dengan konsepsi yang dibentuk oleh
siapa yang terlibat didalamnya, tapi dengan sebab-sebab mendalam yang
meloloskan kesadaran mereka. Kita juga berpikir bahwa sebab-sebab tersebut
harus dicari secara pokok dalam cara yang mana asosiasi bersama individu-
individu dibentuk dalam kelompok-kelompok.... Postulat ini memperlihatkan pada
kita self-evident (jelas-dengan-sendirinya).
(Durkheim [1897] 1982, h. 171)

Gagasan-gagasan tersebut disajikan sebagai azas-azas pedoman bagi kajian


sosiologis ke dalam jajaran-luas subyek masalah, semua dari gagasan itu dikonsentrasikan
pada pengaruh sosial dan pikiran: kontribusi faktor-faktor sosial pada bentuk-bentuk berbeda
dari agama, seni, dan hukum; sosiologi opini publik dan komunikasi massa; sosiologi kaum
intelektual dan elit; sosial historisnya pandangan-pandangan dunia; penelitian-penelitian ke
dalam perspektif yang berbeda dari generasi-generasi; kondisi-kondisi sosial yang
memunculkan gaya-gaya pikiran dan ideologi yang berbeda.

Dalam satu cara atau yang lain, sosiologi pengetahuan, dan sebenarnya semua ilmu
sosial mengenai pokok soal tersebut, didominasi oleh tekanan yang diberikan pada
"masyarakat" atau "struktur sosial" dalam pemahaman pada setiap segi budaya dan kehidupan
sosial. Tekanan ini memandu pemikiran sosiolog berbahasa-Inggris sampai secara relatif baru-
baru ini. Institusi-institusi, kelompok-kelompok, kelas-kelas (apa yang sosiolog sebut "struktur
sosial") dan kondisi-kondisi material dilihat sebagai kekuatan pokok dalam pengembangan
eksistensi sosial dan budaya masyarakat. Dunia pengetahuan dikaji sebagai bagian dari
budaya, yang dipahami termasuk bahasa, seni, hukum, dan agama (cf. Remmling 1973, h.16).
Mengikuti pandangan ini, segala jarak dari kondisi sosial dan material terdiri dari dunia primer,
kondisi-kondisi riil dari situ budaya diperoleh. "Setiap gagasan Anda", kita membaca dalam
Manifesto Communist, "merupakan hasil pertumbuhan dari kondisi-kondisi produksi borjuis
Anda" (Marx [1888] 1967, h.155, penekanan tambahan). Dan lebih lanjut (h. 158) kita
Sosiologi Pengetahuan Baru | 17

membaca:

Apakah hal itu memerlukan 'intuisi-dalam' untuk memahami gagasan-gagasan,


pandangan-pandangan, dan persepsi-persepsi manusia, dalam satu kata,
kesadaran manusia, berubah dalam setiap perubahan dalam kondisi-kondisi
eksistensi materialnya, dalam relasi-relasi sosialnya dan dalam kehidupan
sosialnya?..... Apakah sejarah gagasan yang lain membuktikan, daripada produksi
intelektual berubah karakternya dalam proporsi sebagai produksi material yang
dirubah?

Gagasan determinasi sosial juga mengimplikasikan pokok ontologis mengenai


eksistensi sosial ("kondisi-kondisi sosial riil", sebagai kalimat yang dipahami dengan jelas)
melampaui mentalitas, kesadaran, dan semua kehidupan mental. Kondisi-kondisi riil ini
dibedakan dengan suatu yang ideal, yakni, sesuatu yang dipikirkan, diimajikan, dan
dipersepsikan. Segala pikiran atau imaji, atau persepsi pada akhirnya dijelaskan dengan
mengacu pada ragam segi eksistensi sosial. Sebagaimana Gunter Remmling menggambarkan
titik pandang dominan ini: eksistensi sosial merupakan realitas "hypostatized sebagai mutlak
ontologi", dan (mengikuti logika realis ini) ia mengeluarkan sama sekali dunia dari fenomena
mental, atau ia dilihat mereka secara ekstrinsik "sebagai fenomena... secara fungsional
direlasikan pada" realitas sosial (1973, h. 16). Realitas sosial pokok ini berdiri berlawanan
dengan dunia yang secara ontologis kurang riil, termasuk seluruh dunia representasi: apa yang
masyarakat ketahui, pikirkan, persepsi, atau pahami. Gambaran ini merupakan beragam cara
manusia mempersepsi sesuatu dan bukan cara yang disitu mereka bertindak atau mereka
berada secara aktual. Sampai relatif baru-baru ini, gagasan bahwa seluruh dunia konsepsi
manusia melayani sebagai pra-anggapan dari tindakan manusia dan eksistensi manusia tidak
mendominasi pemikiran sebagian besar teoritisi sosial.

Gagasan determinasi sosial (dan semua implikasinya) begitu vital bagi perkembangan
pemikiran sosiologis, utamanya dalam dunia berbahasa-Inggris, bahwa ia sulit memahami
terhadap gagasan-gagasan yang lebih pervasif dalam pengembangan sosiologi. Pada
pusatnya adalah apa yang disebut "organisasi sosial"; segala sesuatu yang lain --mode
komunikasi dan interaksi, budaya, perasaan, pengetahuan, kepercayaan dan ideologi--
merupakan konsekuensi dari bentuk-bentuk organisasi sosial. Dalam dampaknya, ini
dioperasikan sebagai paradigma mayor, diartikulasikan dalam semua cabang pokok dari
penelitian sosiologis, memilah variabel "independen" dari "dependen", dan, meski protes
sejumlah penulis seluruh sejarahnya (C. H. Cooley, Robert Park, dan Herbert Blumer
mengucapkan jelas dalam oposisinya pada determinasi sosial), ditetapkan secara luas tanpa
pertanyaan.

Gagasan keberlanjutan perubahan juga ada dibelakang tiap pernyataan dan


penggunaan proposisi pertama ini, diringkas dari pernyataan Marx bahwa gagasan-gagasan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 18

dan kategori-kategori tidak lebih abadi ketimbang "relasi-relasi yang mereka ungkapkan.
Mereka adalah produk-produk sejarah dan tidak kekal" (Marx [1846-1847] 1936, h. 93). Atau,
dalam istilah dari kolaborasinya dengan Friedrich Engels: dunia bukan kerumitan sesuatu yang
siap-membuat tapi proses yang tak pernah-berakhir. Sesuatu "tidak kurang stabil dari pada
kesadaran-imaji mereka dalam kepala kita..... konsep-konsep berjalan melalui suatu perubahan
yang tak terbantahkan atas peng-ada-an dan pen-tiada-an" ([1888] 1941, h. 44).

Ketertarikan sosiologis pada pengetahuan difokuskan secara berulang pada


perubahan dan karakter relatif pengetahuan. Diantara sesuatu yang lain, keasyikan khusus ini
dengan keberubahan karakter pengetahuan dan asal usul sosial dan fungsi-fungsi pengetahuan
secara jelas berbeda dari ketertarikan filosof pada fondasi pengetahuan atau pengetahuan-
sebagai-kebenaran. Semua pengetahuan, ilmuwan sosial berargumen, merupakan subyek
untuk perubahan dan secara sangat unggul dibentuk oleh kondisi sosial mereka. Bagi sosiolog
kemudian, kata "pengetahuan" memasukkan semua kemungkinan tipe-tipe pengetahuan yang
dikenal dalam masyarakat yang lalu dan sekarang: segala sesuatu yang berlaku sebagai
pengetahuan, baik agama, adat istiadat, tradisi, magis, ilmu, ataupun psikoanalisa (Berger dan
Luckmann 1996). Tetap dengan perspektif relatif ini, perhatian khusus sosiologi pengetahuan
adalah bagaimana masyarakat menentukan apa "pengetahuan" bagi mereka (tanda kutip
menandakan status variabel pengetahuan) dan bagaimana mereka memilih apa mengetahui
yang berharga. (Scheler [1924] 1980).

Robert Merton menulis bahwa "istilah 'pengetahuan' secara luas dikonsepsikan


sebagai mengacu pada setiap tipe gagasan dan setiap mode dari deretan pemikiran dari
kepercayaan rakyat pada ilmu positif" ([1957] 1970, h. 349). Ketika pengetahuan didefinisikan
dengan mengacu pada dunia sosial yang masyarakat huni, pengetahuan adalah gagasan yang
menklaim untuk menggambarkan secara akurat dunia partikular tersebut. Dalam pengertian
yang paling luas dan paling sederhana, pengetahuan mengacu pada beberapa dan setiap
seperangkat gagasan yang disepakti oleh kelompok sosial atau masyarakat manusia, gagasan
bersinggungan dengan apa yang mereka sepakati sebagai riil bagi mereka (cf. Berger dan
Luckmann 1966, h. 1). Dalam kata Florian Znaniecki ([1940] 1970, h. 309), bagi sosiolog pada
akhirnya, sistem pengetahuan adalah "apakah ia bagi masyarakat yang terlibat dalam
konstruksi, reproduksi, aplikasi, dan pengembangannya".

Diberikannya penggunaan konsepsi yang luas dan relatif ini atas pengetahuan oleh
ilmuwan sosial, sosiologi pengetahuan dimaksudkan untuk membicarakan sederet pemikiran
atas pengetahuan, dari pengetahuan pragmatis, termasuk beragam bentuk informasi yang
tersedia bagi mereka, untuk menjernihkan pengetahuan dari, ucapan, astrolog dan psikoanalis;
dari dunia pengetahuan kehidupan sehari-hari pada pengetahuan ahli, seperti sistem analisis.
Bagaimanapun perbedaan fokus dalam tiap kasus tersebut, sosiologi pengetahuan secara
prinsipil berurusan dengan bagaimana kelompok sosial dan bentuk-bentuk organisasi sosial
Sosiologi Pengetahuan Baru | 19

memiliki kontribusi pada produksi dan penyebaran pengetahuan tersebut. Pengetahuan


merupakan subyek pada dua proses nyata tersebut: mereka secara sosial diproduksi atau
dihasilkan, dan mereka secara sosial didistribusikan. "Distribusi sosial pengetahuan" mengacu
pada fakta bahwa pengetahuan yang menyediakan "stok pengetahuan" masyarakat adalah
diproses dan digunakan dengan variasi tingkat kejelasan, penyortiran, dan uraian (Schutz 1971,
h. 15, n. 29a) dari individu ke individu serta dari kelompok ke kelompok. Ia juga soal bahwa
beberapa pemberian seseorang menggunakan beberapa jenis berbeda pengetahuan sebagai
bahan pengertian, pencampuran informasi, dan pemahaman bersama, penggambaran pada
gagasan ahli dan pada bangsa tradisional, pengombinasian fakta dan pengamatan dengan
keputusan dan penilaian.

Perhatian pokok sosiologi pengetahuan tidak hanya terhadap problem bagaimana


dunia sosial tertentu menghasilkan tipe pengetahuan tertentu, tapi terhadap bagaimana
pengetahuan tersebut menjadi "persediaan pengetahuan" bagi kelompok yang berbeda, kelas-
kelas, komunitas-komunitas, dan tipe-tipe dari aktor sosial yang terdiri dari dunia sosial. Ini
bermaksud bahwa pengetahuan dapat dikaji sebagai fenomena ekstrinsik: mereka dapat
dibedakan dari manusia tertentu yang memikirkan mereka; mereka adalah produk kehidupan
kolektif, diproduksi kelompok-kelompok khusus, diurai oleh institusi-institusi dan profesi seperti
ilmuwan, fisikawan, dan teolog, dilaporkan dan disalurkan pada kita dengan sejumlah besar
orang berbeda, termasuk orang tua, pendidik, politisi, wartawan, dan menteri. Tapi
pengetahuan juga diproses dan digunakan oleh beberapa dan semua aktor sosial ketika
mereka melakukan urusan kehidupan. Mereka merupakan bagian dari tiap struktur pikiran dan
perasaannya. Dalam idiom antropologi, sosiologi pengetahuan memperhatikan dua aspek
proses sosial: pertama, produksi sosial atas budaya; kedua, akuisisi budaya --bagaimana
budaya itu, segera sesudah dihasilkan menjadi alat, dengan alat itu manusia "berkomunikasi,
menghidupkan terus menerus, dan mengembangkan pengetahuannya dan sikap terhadap
kehidupan" (Geertz, 1973, h. 89).

Batas-batas determinasi sosial

Lebih baru-baru ini, sejak pertengahan 1960-an, sosiologi terkenal dengan


perkembangan menarik dalam pengetahuan dan budaya sebagai fenomena dalam
kebenarannya sendiri, ketimbang sebagai hasil pertumbuhan bentuk-bentuk organisasi sosial.
Di waktu yang sama, realitas sosial sendiri dilihat bukan sebagai fakta yang tak dapat ditawar
lagi tapi sebagai suatu persoalan, persoalan mendasar ilmu sosial. Selain itu, ia berargumen
bahwa realitas sosial sendiri --makna seluruh dunia institusi, kelompok, dan organisasi—adalah
pemahaman terbaik dalam kaitannya pada budaya masyarakat atau simbolisnya atau sistem-
sistem penandaannya --beragam tipe pengetahuan, simbol-simbol, imaji-imaji yang manusia
Sosiologi Pengetahuan Baru | 20

gunakan dalam beragam wilayah kehidupan sehari-hari dan yang mereproduksi serta
menyokong beberapa institusi tersebut. Meskipun ia yang terbaik untuk menggolongkan fase
mutakhir ini dari penelitian dalam tempat pengetahuan menuju masyarakat dengan pernyataan
bahwa minat dalam peranan pengetahuan berkembang jauh dengan pengakuan bahwa realitas
sosial bukan fenomena yang eksis dalam kebenarannya sendiri tapi sesuatu yang diproduksi
dan dikomunikasikan; maknanya diperoleh dalam dan melalui sistem-sistem pengetahuan
tersebut.

Sebagaimana rumusan ini menjadi jelas, pendekatan ini mengakui kesulitan-kesulitan


yang hadir pada pembedaan "realitas" dari sistem-sistem penandaan menuju tempat ia dialami
dan dikomunikasikan. Realitas sosial dibentuk dari simbol-simbol dan makna-makna yang
membolehkan bagi representasi dan komunikasinya oleh aktor-aktor sosial. Realitas adalah
simbol yang tak dapat disangkal atau diabaikan karena eksistensinya bagi manusia bergantung
pada maksud yang direpresentasikan pada kita. Argumen ini secara umum mengacu pada
semacam realisme. Pada pandangan pengetahuan realisme sebagaimana begitu banyak
mencoba menggambarkan realitas apa adanya, adalah pandangan bahwa pengetahuan
menawarkan pada kita perbedaan dan cara-cara bersaing memahami realitas. Lebih lanjut,
pengetahuan dan realitas tak dapat dianggap sebagai kedudukan terpisah, ketika pengetahuan
dan realitas yang mereka gambarkan muncul dan berkembang secara simultan.

Meskipun kritik realisme dalam pemikiran sosial terkemuka dalam karya Simmel,
Weber, dan Scheler, misalnya, sekarang hal itu mendominasi diskusi-diskusi dalam ilmu sosial
dan teori sosial kontemporer. Salah satu rumusan yang berpengaruh baru-baru ini adalah The
Structure of Scientific Revolution Thomas Kuhn, suatu risalah dalam filsafat dan sejarah ilmu.
Perhatiannya adalah gagasan tentang ilmu alam dan persoalan dari cara-cara ilmu alam itu
adalah direpresentasikan oleh beragam teori ilmu alam. Tidak ada sesuatu sebagai fakta
telanjang, Kuhn berargumen, sains sekalipun, karena fakta-fakta tampak dan diketahui oleh
kesalehan bentuk-bentuk pemikiran menuju yang mana mereka menjadi diterima dan
disepakati. Dalam ilmu sosial, risalah Berger dan Luckmann (1966) mengusung perhatian
serupa dengan menempatkan problem pengetahuan dan realitas menuju jajaran luas dari
sistem penandaan yang membentuk dan mengomunikasikan seluruh dunia realitas sosial.
Dalam rumusan yang berpengaruh besar, realitas adalah sesuatu yang secara sosial
dikonstruk; yakni, sosiologi pengetahuan memusatkan perhatiannya pada beragam cara
manusia mengetahui dunia sosialnya dan dirinya sebagai bagian dari wilayah realitas. Ciri
penting dari teori ini adalah bahwa "pengetahuan" dan "realitas" merupakan aspek-aspek dari
apa yang dapat dimaksudkan sebagai proses sosial tunggal. Menurut Paul Rock (1979, h. 83),
teori ini sepenuhnya konsisten dengan pragmatis Amerika yang memandang bahwa realitas
adalah "prestasi dari proses pengetahuan".

Memotong lintasan sejumlah disiplin, penentangan lain yang sesuai dan baru kepada
Sosiologi Pengetahuan Baru | 21

pengembangan realisme. Diringkaskan dalam kalimat politik-politik makna, ia menekankan


penembusan terhadap kuasa dan ideologi dengan menghargai bentuk-bentuk kesadaran
manusia dan dunia praktik sosial. Penentangannya pada realisme menyimpan desakannya
bahwa semua ucapan dan tulisan merupakan tindakan-tindakan sosiopolitik sejauh praktik-
praktik tersebut (ucapan dan tulisan) mereproduksi posisi dan titik pandang pembicara serta
mewakili dialog sosial antara pembicara dan audiensnya. Penyelidikan ini secara radikal
menanyakan gagasan obyektif atau bebas pengarang atau subyek dan dugaan bahwa
beberapa pengetahuan sangat istimewa bahwa pengetahuan dapat bicara bagi semua orang.
Penyelidikan ini juga menggambarkan problem pengetahuan mengenai realitas sebagai
problem kekuasaan, ketika semua pengetahuan dan realitas mereka tujukan pada gambaran
penunjang suatu tanda dari sejarah politik dan sosial tersendiri.

Anggapan serupa seperti ini diungkapkan pada tampilan yang kurang mulia.
Sebagaimana Mannheim (1936) dan Merton (1949) mengingatkan kita, problem mengetahui
realitas lebih merupakan sesuatu yang biasa ketimbang yang berharga. Ia berkembang dari
dunia wawasan suatu zaman. Sosiologi pengetahuan merupakan "sistematisasi keraguan untuk
menemukan dalam kehidupan sosial seperti ketidakamanan dan ketidakmenentuan yang tak
jelas " (Mannheim 1936, h. 50). Sekarang, problem mengetahui realitas mempengaruhi dirinya
sendiri mengenai suara hati kolektif dalam beberapa bentuk: kesadaran mengenai kenyataan
bahwa gagasan dan perspektif masyarakat menyingkap pemancar partikularnya sendiri dalam
kehidupan; dalam anggapan dari beberapa, bervariasi, dan persaingan gagasan dan penafsiran
terhadap peristiwa tunggal, bersama dengan rasa mempertinggi kuasa pengetahuan untuk
mencipta dan mengontrol apa yang diketahui; dalam perkembangan pendirian bahwa ada
begitu banyak versi realitas berkorespondensi dengan sejumlah kelompok kepentingan tertentu,
tiap-tiap penegasan khususnya mengungkapkan kebenarannya sendiri melampaui yang lain.
Beberapa wajah realitas membingungkan dan mengelakkan kita. Seperti Roland Barthes
ucapkan pada 1957, kesulitan dari waktu kita, "kadar keterasingan kita sekarang", adalah
"kenyataan bahwa kita tidak dapat mengatur untuk memperoleh lebih dari pemahaman tak
stabil mengenai realitas" ([1957] 1972, h. 159). Kita tampaknya "kurang kuasa membawakan
keutuhannya".

Ketidakraguan persepsi ini mengenai "realitas yang dikonstruk" memiliki beberapa


sumber sosial dan budaya, diantara mereka perkembangan pengertian kita pada fungsi vital
sosial pengetahuan dan informasi melayani dalam pembentukan sosial dan relasi politik pada
skala nasional dan global, dan fakta bahwa masyarakat kontemporer, seperti kita, secara sadar
dan strategik menggunakan pengetahuan untuk mengarahkan dan merencanakan takdir sosial
dan politik. Pengetahuan, atau, lebih tepatnya, pengetahuan-pengetahuan (dalam jamak, untuk
menunjukkan ketidaktampakan dari kesatuan dunia mental) merupakan kekuatan personal dan
sosial dan sumber muatan baru konsekuensi sosial dan politik. Ini terutama menjadi jelas ketika
Sosiologi Pengetahuan Baru | 22

kita dihadapkan dengan pertumbuhan berlanjut dari pengetahuan-pengetahuan baru (sains-


teknologi, kedokteran, hukum) serta dengan pengembangan teknologi pengetahuan, media dan
teknologi informasi. Dengan beberapa petunjuk paradok, sekarang kita mendengar kualitas
yang sulit dimengerti mengenai realitas sosial secara tepat di saat teknologi pengetahuan
diberikan melebihi pada urusan penyampaian realitas dengan ketepatan lebih besar.

Refleksi ini hanya bermaksud mengilustrasikan apa yang mungkin disebut titik acuan
duniawi yang merangsang pergeseran baru-baru ini dalam imajinasi sosiologi mengenai cara
pengetahuan dihubungkan pada apa yang sosiologi pahami tentang realitas. Refleksi ini cocok
dalam risalah sosiologi pengetahuan. Meskipun perubahan-atas-pikiran sosiologi mengenai
pengetahuan melebihi keganjilan tahun 70-an, ada satu wawasan yang akan mudah dikenal,
secara berulang diungkapkan Mannheim (1936, h. 45), bahwa gagasan-gagasan sosiologi
diambil dari materi mentah kehidupan manusia. Gagasan tersebut dirumuskan dan disaring di
"jalanan" dunia sosial khusus. Proposisi-proposisi sosiologi, tulis Mannheim, "adalah bukan
secara mekanik eksternal ataupun formal, ataupun apakah mereka mewakili secara murni
korelasi-korelasi kuantitatif tapi lebih mendiagnosa keadaan yang kita gunakan.....konsep-
konsep konkret yang sama dan model-pikiran yang diciptakan bagi aktifitas yang dimaksudkan
dalam kehidupan riil." Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan (dan tidak dimunculkan) oleh
sosiologi tentang pengetahuan pada waktu dan tempat yang berbeda adalah mengartikulasikan
titik acuan yang dimiliki merupakan problem-problem yang dapat dimengerti untuk semua aktor
sosial (walau tak dilihat dan ditafsirkan dengan cara yang sama), ketika mereka berupaya
mempersepsi dan menginterpretasi, dengan manfaat pemahaman kolektifnya, dunia
partikularnya. Demikian, ketika fondasi sosial pengetahuan dirubah dalam setengah abad ini,
ketika pengetahuan menjadi kekuatan kaku dalam ekonomi dan pengembangan teknologi,
sosiologi mulai mengakui "otonomi" dan "kekuatan" pengetahuan dalam kebenarannya sendiri.
Sama halnya, ketika informasi dan sistem media menjadi bagian dari pemahaman kita, dari
kontrol sosial saat ini, dari pengetahuan dan informasi, ilmu sosial mengartikulasikan teori yang
membicarakan penyaluran sosial melalui beberapa sistem penandaannya yang berbeda.

Konstruksi sosial atas relitas

"Konstruksi sosial atas realitas" dari Berger dan Luckmann merupakan lambang
kalimat kedua dari penyelidikan pada tempat pengetahuan dalam masyarakat, yang kita
rancang sebagai proposisi kedua sosiologi pengetahuan (lihat ilustrasi 3). Sejak risalah mereka
mengenai sosiologi pengetahuan dipublikasikan pada 1966, gagasan "realitas yang
dikonstruksi" telah mengikhtisarkan sejumlah perhatian penulis kontemporer yang
memfokuskan penggambaran terbaik seperti problem makna dan kegunaan filosofis, sastra,
pendekatan historis pada kajian konstruksi sosial atas makna.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 23

PROPOSISI 2: KONSTRUKSI SOSIAL TERHADAP REALITAS OLEH PENGETAHUAN

PROPOSISI INI MENEGASKAN BAHWA REALITAS SOSIAL BUKANLAH FAKTA KHUSUS


DALAM DIRINYA SENDIRI, TAPI SESUATU YANG DIPRODUKSI DAN DIKOMUNIKASIKAN,
MAKNANYA DIPEROLEH DALAM DAN MELALUI SISTEM-SISTEM DAN KOMUNIKASI
TERSEBUT.

Ilustrasi 3

Minat pada problem makna dihubungkan dengan kerangka kerja metodologis yang
bukan kausalitas ataupun ekplanatori (sikap yang diekspresikan oleh proposisi pertama) tapi
semiotik. Kajian semiotik pada budaya diarahkan pada kajian simbol dan sistem penandaan
melalui kajian tersebut keteraturan sosial dikomunikasikan dan direproduksi. Sistem
penandaan dan praktik sosial tersebut yang membuat budaya dan struktur maknanya. Konsep
semiotik atas budaya, dalam bahasanya Clifford Geertz, memahami bahwa manusia "adalah
binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang mengitari dirinya." Budaya
merupakan jaringan-jaringan makna tersebut, dan analisa terhadapnya "bukan ilmu eksperimen
dalam pencarian hukum tetapi interpretatif dalam pencarian makna" (Geertz 1973, h. 5).

Sekarang, pencarian pada asal-usul sosial pengetahuan yang membedakan sosiologi


klasik dan sosiologi pengetahuan ditempatkan kembali dengan cara yang baru dalam pemikiran
tentang problem pengetahuan dan realitas, salah satu yang menurunkan problem asal-usul
pada sosiologi positivis atau bentuk lama materialisme historis. Posisinya adalah perhatian
pada generasi sosial atas makna; premisnya, bahwa eksistensi sosial dan eksistensi materi tak
dapat dibedakan dari kehidupan mental kolektif manusia. Eksistensi materi tidak mendahului
pengetahuan, bahasa, pikiran, kepercayaan, dan seserusnya, ataupun pengetahuan
merupakan "formasi kedua dari pengalaman" (Sahlins 1976, h. 147). Menurut titik pandang ini,
kehidupan mental kita bukan sekadar refleksi belaka ("formasi kedua") dari struktur dan
organisasi masyarakat kita (pandangan materialisme dan realisme) ataupun pokok, ataupun
persangkaan utama dari eksistensi kita (idealisme). Realitas-realitas kehidupan dan tindakan
merupakan bagian dari proses sosial dan proses produktif yang meliputi kesadaran sosial pada
tiap tahap pengembangannya. Tipe-tipe pengetahuan yang kita gunakan, imej-imej dan
gagasan-gagasan yang mereka timbulkan, bentuk-bentuk klasifikasi adalah kondisi-kondisi
intrinsik semua tindakan sosial. Menurut perspektif ini, pembedaan antara substruktur dan
superstruktur, yang sosiologi pengetahuan kembangkan, hilang, sejak semua kehidupan sadar
dan pikiran hadir kapanpun manusia pergunakan dalam aktifitas sosial dari beberapa jenis,
termasuk aktifitas mengetahui sebagai "produksi material".

Ini, misalnya, bentuk-bentuk argumen pokok dari kritik mutakhirnya Marshall Sahlins
pada konsepsi materialis tentang sejarah (konsepsi digambarkan sebagai proposisi pertama
sosiologi). Kritik ini, sebagaimana risalah Berger dan Luckmann, memajukan interpretasi
simbolik dan budaya dari kehidupan sosial serta menawarkan jenis baru resolusi pada
Sosiologi Pengetahuan Baru | 24

perdebatan mengenai bagaimana kondisi-kondisi material dan bentuk-bentuk simbolik


dikaitkan. Argumennya adalah bahwa struktur pengetahuan dan konsepsi secara simultan
merupakan produk tindakan dan perkiraan dari tindakan. Menurut pikiran Sahlins, apa dan
bagaimana kita mengetahui bukanlah efek dari kenyataan material, sebagaimana "teknik dan
produksi tertentu, tingkat produktifitas atau variasi produktif, ketidakcukupan protein atau
kelangkaan pupuk". Pun pengetahuan dikonsepsikan "sebagai berjalan di atas udara tipis atas
simbol-simbol". (Penyangkalan ini sebuah efek riil bahwa kekuatan material melangsungkan
pengetahuan). Titik riil itu adalah bahwa dampak alamiahnya (dari kekuatan materi pada
budaya) tak dapat dibaca dari kekuatan alamiahnya, bagi dampak material yang bergantung
pada cakupan budayanya....minat praktis pada manusia dalam produksi adalah secara simbolik
dibentuk" (1976, h. 206-207). Apa yang saya pahami mengenai Sahlins adalah bahwa apa saja
tindakan manusia selalu dan tak dapat dibatalkan adalah simbol dalam tempat pertama. Karena
manusia mempersepsi dirinya sendiri, aktifitasnya, dan dunianya sebagai sesuatu, dan pada
basis konsepsi-konsepsi dan pemahaman-pemahaman tersebut, aktifitas produktif meneruskan
menurut logika, dan logika ini disadari, diuji, dan diperkuat dalam dan melalui tindakan material.
Seperti pada "produksi material", tanpa simbol-simbol dan gagasan-gagasan "produksi
material" tak pernah menjadi berarti sama sekali. Ia bahkan tak pernah membumi. Ia tak pernah
pantas memenuhi kehidupan, energi, minat, harapan, dan ketamakan. Ia tepatnya karena
"produksi material" merupakan gagasan kolektif dan ideal (tentang kebutuhan praktis, tentang
jenis keselamatan, tentang membuat, tentang kemajuan dan peradabannya sendiri) aktifitas
produktif itu mengambil kehidupan dan kekuatan dari dirinya dan mendewasakan "kapitalisme
industri", suatu masyarakat dimana faktor-faktor ekonomi dipersepsi sebagai kekuatan otonom.
"Materialisme historis", Sahlins mengamati, "sebenarnya suatu kesadaran-diri masyarakat
borjuis --masih suatu kesadaran, ia akan kelihatan, dalam terma-terma masyarakat tersebut" (h.
166; cf. Aronowitz 1990, h. xiv). Pada soal ini, sosiolog pengetahuan awal Max Scheler akan
setuju: melihat ke belakang, dia mengamati bahwa "dunia pra-kapitalis Eropa secara pasti tidak
ditentukan oleh keunggulan faktor-faktor ekonomi, tapi oleh hukum lain dari proses sejarah-
generasi yang ada antara negara dan bisnis, politik dan ekonomi, struktur kuasa dan kebugaran
kelompok --dan perbedaan dari cara yang disitu dunia kapitalis berdampak pada dirinya sendiri
lebih dan lebih kuat dalam tahap-tahap tertentu sejak awalnya" (Scheler [1924] 1980, h. 56-57).

Menurut pemikir tersebut, deretan sosiologi pengetahuan klasik sampai kajian


kontemporer, teoritik baru-baru ini berpaling pada ilmu sosial mungkin berhubungan dengan
tahap kontemporer sejarah kapitalisme, suatu tahap dimana bentuk komoditi adalah sebanyak
produksi material sebagaimana ia adalah semiotik --manusia Marlboro, Honda Accord, pakaian-
dalam Calvin Klein, setelan Armani. Di era ini, "produksi tanda menguasai produksi barang".
Demikian, akhir-akhir ini, adalah bentuk baru kekuatan produksi kapitalisme, menurut Aronowitz
(1990, h. xxv). Dia dan ilmuwan sosial yang lain telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan
mengenai penjelasan kekuasaan dari Marxisme dengan penekanannya pada mode-mode
Sosiologi Pengetahuan Baru | 25

produksi material dalam masyarakat sekarang --masyarakat yang disitu pengetahuan, teknik,
dan produksi simbol dan imaji menguasai pasar dan proses-proses produktif dan disitu
komoditi-komoditi menyajikan sebagai tanda dan alat pengangkut budaya. Secara relatif
pengembangan-pengembangan budaya baru-baru ini memiliki tokoh Marxis (seperti Aronowitz)
dan non-Marxis (seperti Daniel Bell) untuk mengusulkan bahwa ilmu sosial memberikan model-
model alternatif yang ditawarkan oleh sosiologi klasik bagi pemahaman atas bentuk-bentuk
budaya --tanda, imaji, pengetahuan. Beberapa telah menggambarkan model-model dan teori-
teori baru tersebut sebagai sosiologi linguistik. Roland Robertson (1993) menggambarkan
perubahan tersebut sebagaimana umumnya sosiologi-atas-pengetahuan ditandai oleh fokus
pada fitur ideasional dunia sosial atau oleh kebangkitan kembali minat pada bentuk-bentuk
budaya secara lebih umum. Sosiologi pengetahuan baru dapat dilihat sebagai bagian dari
pergerakan luas dalam ilmu sosial secara umum, dibedakan oleh berpaling dari teori-teori
materialis atau teori-teori sosial struktural, dan berpaling pada arahan teori semiotik yang
difokuskan pada cara-cara makna multivariasinya masyarakat dikomunikasikan dan
direproduksi.

APAKAH PENGETAHUAN SEKARANG?

Meski minat dan inovatif sosiologi pada bentuk-bentuk budaya relatif baru, sosiologi
pengetahuan baru4 meneruskan pandangan pengetahuan sebagai bentuk-bentuk sosial yang
mengalami proses-proses perubahan kontinu. "Pengetahuan" masih berhubungan dengan
segala sesuatu yang berarti sebagai pengetahuan, dari kepercayaan-kepercayaan dongeng,
teknik dan obat-obatan bagi kehidupan, sampai gagasan-gagasan agama dan opini-opini
publik. Pengetahuan juga dipahami sebagai ungkapan pengalaman kolektif dari masyarakat
keseluruhan dan juga kelompok-kelompok tertentu, kelas-kelas, wilayah-wilayah, komunitas-
komunitas. Pengetahuan juga termasuk, misalnya, gagasan-gagasan, program-program, dan
informasi yang dikembangkan dan disebarkan oleh rombongan pekerja --profesional, seperti
dokter, ilmuwan, pengacara, atau pekerja layanan, seperti guru, polisi, dan pendeta. Menurut
rumusan berpengaruh dari Berger dan Luckmann, "sosiologi pengetahuan harus
mengosentrasikan dirinya pada apapun yang dipandang sebagai pengetahuan dalam suatu
masyarakat, menghiraukan pokok validitas atau invaliditas (dengan kriteria apapun) tentang
'pengetahuan' sedemikian rupa" (1966, h. 3). Jadi, untuk penggunaan berbeda dan relatif atas
istilah pengetahuan, sosiologi masih berhutang pada tradisi penelitian. Menurut tradisi itu,
pengetahuan memaksudkan pengetahuan-atas-realitas atau informasi apapun dan gagasan-
gagasan yang memberitahukan apa yang kita pahami menjadi nyata dan benar tentang dunia
dan diri kita. Pengetahuan-pengetahuan diorganisasi dan diabadikan melalui pikiran dan
4 Swidler dan Arditi (1994, h. 306) menggunakan kalimat yang sama seperti yang Saya lakukan, "sosiologi
pengetahuan baru", dan sementara, tentu, poin-poin diskusinya saling melengkapi dengan milik saya, mereka
(Swidler dan Arditi) menandakan sebagai pengetahuan "elemen-elemen budaya yang lebih sadar, lebih eksplisit
berkait pada institusi-institusi khusus, dan variabel yang lebih historis".
Sosiologi Pengetahuan Baru | 26

tindakan yang memungkinkan kita untuk mengarahkan diri kita pada obyek-obyek dalam dunia
kita (seseorang, barang, dan peristiwa) dan untuk melihatnya sebagai sesuatu. Dalam kata-kata
W. E. Percy, ketika seseorang mengetahui sesuatu, "seseorang sadar bahwa sesuatu adalah
sesuatu" (Geertz 1973, h. 215).

Pada poin ini, mari kita definisikan pengetahuan sebagai beberapa dan setiap
kumpulan gagasan dan tindakan yang disepakati oleh kelompok sosial satu atau yang lain atau
masyarakat manusia yang satu atau yang lain --gagasan dan tindakan berhubungan dengan
apa yang mereka sepakati sebagai riil bagi mereka atau yang lain. Definisi ini pertama kita
gunakan dalam bab pendahuluan. Premis kerjanya adalah bahwa realitas sosial sendiri
merupakan proses dan dibentuk dari pengetahuan yang berlaku bagi masyarakat atau
kelompok manusia. Apa yang membuat kelompok manusia suatu masyarakat atau dunia sosial
dalam tempat pertama adalah apa dan bagaimana mereka berpikir dan bagaimana mereka
mengetahui. Dalam bahasa Mary Douglas, "Tidak hanya beberapa busload atau kerumunan
sembrono dari orang-orang yang pantas bernama masyarakat: terdapat beberapa pikiran dan
perasaan yang sama diantara anggota-anggotanya" (1986, h. 9).

Keberlanjutan ini dalam kajian pengetahuan tidak akan turun dari lapisan problem
tersendiri sosiologi pengetahuan saat ini, problem-problem itu konsisten dengan gagasan
bahwa pengetahuan sendiri merupakan sebuah konstruk historis, selamanya perubahan
bentuk-bentuknya dan cara-caranya bahwa ia menempatkan orang-orang dalam dunia yang
mereka huni. Pengetahuan tidak dapat diceraikan dari bentuk-bentuk tertentu secara historis
pergaulan sosial, komunikasi, dan organisasi. Karakter khusus dan historis dari pengetahuan
tentu juga figur dalam sosiologi sebagaimana kita memikirkannya dan menuliskannya,
mencerminkan fakta bahwa sekarang kesadaran kita lebih global, lebih historis, dan lebih
membiasakan peranan kuat informasi, pengetahuan, dan imaji dalam pembuatan dan
pembuatan kembali realitas sosial dan personal.

Dalam beberapa respek, sosiologi pengetahuan memungkiri pengertian kolektif kita


atas perbedaan sebagai tanda kebenaran realitas sosial saat ini, realitas yang beragam dan
berbeda, atau apa yang Asa Briggs sebut "ketidakteraturan 'alam semesta yang dapat
dimengerti'" (1989, h. 31). Perbedaan termanifes dalam deretan dan tipe-tipe sistem
penandaan, dari teks-teks tulis media populer dan jurnalisme, sampai film, televisi, video, dan
fotografi, untuk bermacam bidang penggunaan wacana, misalnya, menuju institusi-institusi dan
rezim bisnis, kerja polisi, dan kedokteran --apa yang Stuart Hall sebut "heterogenitas wacana"
(1980), multivariasi bahasa dan praktik, melalui bahasa dan praktik tersebut kita menjadi tahu
apa yang riil bagi kita dan bagi yang lain dengan siapa kita hidup dan bertindak.

Perbedaan juga termanifes dalam bentuk-bentuk dan sejumlah teks tulis dan wicara
yang memberikan kita dengan pengertian terus menerus atas dunia sehari-hari tempat kita
hidup didalamnya. Realitas sosial sekarang dikomunikasikan pada kita dalam bentuk-bentuk
Sosiologi Pengetahuan Baru | 27

surat kabar dan media populer, laporan resmi komisi-komisi (kriminal, pornografi, dan
kesehatan publik), data disediakan oleh biro sensus, ilmuwan sosial, makelar politik, dan
seterusnya --teks-teks diproduksi dan disaksikan oleh anggota-anggota organisasi
pemerintahan, agen administratif, dan organisasi profesional seperti Asosiasi Medis Amerika.
Pertumbuhan dan penyebaran teks-teks tersebut adalah tanda dari apakah pengetahuan
sekarang dan apa yang berlaku sebagai pengetahuan sekarang.

Sungguh pantas, sekarang sosiologi pengetahuan dibedakan oleh perbedaan metode


dan subyek pokok, "pengetahuan" sendiri dipahami dalam kategori yang lebih luas dari budaya,
seluruh jajaran simbol dan sistem penandaan; budaya dikaji dalam beberapa produk simbol
yang berbeda dari institusi-institusi dan kelompok-kelompok tertentu, seperti para pelaku
agama, para wartawan, para psikoanalisis, para ilmuwan, para akademisi, dan para pengacara.
Dengan demikian, budaya termasuk ragam tipe pengetahuan, simbol, dan imaji yang manusia
gunakan dalam bermacam wilayah kehidupan sehari-hari. (Lihat, misalnya, Swidler 1986)
Sosiologi baru ini bertanya: Jenis-jenis simbol dan pengetahuan apakah yang digunakan dan
oleh siapa? Bagaimana mereka diproduksi dan disebarkan? Apa yang mereka pelajari?
Bagaimana mereka menghubungkan pada strategi tindakan dan kesempatan? Perhatian
diberikan pada produksi pengetahuan, peralihan yang memunculkan kajian-kajian properti
pengetahuan yang dapat diamati dan simbol-simbol dalam teks-teks, mode-mode komunikasi,
dan bentuk-bentuk wicara dihubungkan pada kerangka kerja-kerangka kerja institusi tertentu
(Peterson 1976; 1994). Dalam bahasa Raymond Williams (1981, h. 12-13) penganjur awal atas
posisi ini, "'praktik budaya' dan 'produksi budaya'....tidak secara sederhana diperoleh dari
bentuk keteraturan sosial tetapi elemen-elemen mayor mereka sendiri dalam konstitusinya.... ia
melihat budaya sebagai sistem penandaan, melalui sistem penandaan itu (pikiran di antara
makna-makna yang lain) keteraturan sosial perlu dikomunikasikan, direproduksi, dialami, dan
dieksplorasi".

Menurut kerangka kerja tersebut, problem keagenan (atau, dalam pragmatisme sosial,
diri atau aktor sosial) terkemuka dalam artikulasi dari apakah kebudayaan dan bagaimana ia
dihasilkan dan dikomunikasikan (Swidler 1986, h. 276-277). Ini karena pemahaman
kontemporer tentang budaya menghubungkan gagasan determinasi struktural dengan apa yang
kontingen: produksi budaya adalah proses yang melibatkan aktor sosial; karena itu budaya
bukanlah sesuatu yang tak dapat terhindarkan atau pun yang dapat diprediksi sepenuhnya
dalam hasilnya. Budaya sendiri, sebagaimana James Carey (1988, h. 65) menempatkannya,
"adalah multiple, bermacam-macam, keserbaragaman. Begitulah ia bagi tiap-tiap dari kita". Hal
serupa dapat dikatakan bagi pengetahuan yang kita miliki mengenai realitas sosial. Ia adalah
berbeda dan mengacaukan. Kini pengetahuan memasuki paket-paket yang beragam. Tapi
mereka juga ada pada kita dalam tempat dan lingkungan berbeda (rumah sakit, ruang sekolah,
pertemuan, tempat kerja) dan mereka datang pada kita melalui gelombang udara dan kabel,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 28

billboard, majalah.

Sekarang kajian pengetahuan dan budaya menempati, begitu harfiah, melebihi semua
tempat, dalam tempat dan bidang apapun dari produksi pengetahuan dan budaya berada
--studio TV, laboratorium ilmiah, keadaan terapeutis, daerah kepolisian dan stasiun radio, ruang
panggung dan ruang kelas-- menyingkap sebuah persepsi baru atas apakah sistem-sistem
penandaan itu dan gagasan baru tentang bagaimana mereka diproduksi dan apa yang mereka
lakukan.

Bagi sosiologi baru, seluruh jajaran budaya atau sistem-sistem penandaan telah
membawa problematika. Budaya tidak secara sederhana mencerminkan bentuk-bentuk
organisasi sosial; ataupun budaya hanyalah ungkapan semata dari bentuk-bentuk sosial yang
lain atau kekuatan-kekuatan material; ataupun budaya dipahami dalam terma holistik seperti
diungkapkan oleh gagasan Durkheim tentang suara hati kolektif. Budaya adalah berbeda-beda,
beberapa-lapisan, dan multikode. Budaya tidak hanya dapat ditemukan dalam institusi-institusi
"formal" hukum, seni, dan agama, tapi juga menunjukkan wajahnya dalam tempat-tempat
"informal", tempat perbelanjaan, halaman sekolah, salon kecantikan dan kebugaran. Budaya
telah memasuki dunia quotidian; ia dapat diakses dan diamati bagi studi dalam bentuk-bentuk
wicara, dalam foto-foto keluarga, novel-novel romantis, sebagaimana ia diabadikan dalam
hukum-hukum, doktrin-doktrin, dan teks-teks literer. Tetap dengan kajian yang lebih berbeda
dan lebih fokus pada budaya dan produksinya, budaya dipahami sebagai ideasional pokok
--dimuat dalam gagasan-gagasan, simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terletak semata-mata
atau secara mendasar dalam teks (risalah hukum dan agama), atau bahkan dalam benda-
benda (seni, ikonografi), atau dalam tradisi-tradisi. Agaknya, budaya dikaji sebagai praktik-
praktik budaya, suatu istilah yang mengacu secara simultan pada bentuk-bentuk kolektif
tindakan dan pikiran.

Stuart Hall (1980, h. 26-38) menggambarkan signifikansi teoritik atas berpalingnya ilmu
sosial baru ini: problematikanya dekat dengan problem otonomi praktitk-praktik budaya.
Paradigma bagi kajian jajaran praktik-praktik budaya, dia mengklaim, secara luas datang dari
teori-teori strukturalis (Althusser, Lévi Strauss, Barthes): bahasa merupakan model empiris dan
teoritis, salah satu yang bukan positivis ataupun reduksionis (Hall 1980, h. 30); ia adalah
interpretatif, bukan sebab-akibat (kausalitas). Sebagaimana Paul Ricoeur (1986, h. 255)
mencatat dalam konteks diskusi serupa, sikap analisis mendasar ilmu sosial bersifat
percakapan. Sikap ini menemukan ungkapan dalam mengkaji langsung ke arah makna
kehidupan sosial dari titik pijak partisipannya, dan dalam mengkaji wicara dan gesture dalam
lingkup kecil. Sikap metodologis ini juga menyingkap tekanan mengenai pengoperasian bahasa
dan wicara dalam studi produksi sosial atas makna-makna. Bahasa merupakan sistem dan
proses yang sangat unggul bagi studi tentang bagaimana proses representasi terjadi. Hall
(1980, h. 30) menjelaskan signifikansi teoritik dan praktik pada model dasar linguistik ini bagi
Sosiologi Pengetahuan Baru | 29

kemunculan ilmu studi budaya:

Bahasa, yang merupakan medium bagi produksi makna, adalah sistem yang
diteraturkan dan distruktur dan suatu makna-makna ekspresi. Ia dapat dikaji secara
kaku dan sistematis --tapi bukan dalam kerangka kerja dari sekumpulan
determinasi sederhana. Agaknya, ia mesti dianalisa sebagai sebuah struktur
posibilitas yang berbeda, suatu susunan dari elemen-elemen dalam rantai
penandaan, sebagai sebuah praktik bukan pengungkapan suatu dunia (yang
dicerminkan dalam kata-kata) tapi mengartikulasikannya, diartikulasikan padanya.
Lévi-Strauss mempekerjakan model ini untuk menguraikan bahasa (mitos, praktik
kuliner dan seterusnya) masyarakat "primitif". Barthes menawarkan 'semiotik' lebih
informal, kajian sistem tanda dan representasi dalam aturan bahasa-bahasa, kode-
kode dan praktik keseharian dalam masyarakat kontemporer. Keduanya membawa
istilah 'budaya' turun dari abstraksi yang tinggi ke level antropologis, sehari-hari.

Pandangan baru terhadap budaya ini sesuai dengan pengertian kontemporer bahwa
jika "masyarakat" atau "realitas sosial" adalah segalanya, ia adalah multiple realitas atau,
secara lebih umum, sebuah dunia sosial dari perbedaan budaya yang sangat besar.
Keserbaragaman atau perbedaan tersebut bukannya tanpa problem-problemnya dan politik-
politiknya. Kenyataannya, gagasan multiple dan keberagaman praktik-praktik budaya
mengungkapkan titik pandang bahwa dalam dunia sekarang, apakah dalam pengertian lokal
atau global, realitas, pengetahuan-atas-realitas, dan makna mengacu pada fenomena
problematik tinggi. Karena sejauh status realitas diperhatikan, tiap-tiap realitas dihasilkan dari
konflik dan pertentangan. "Untuk keluasan bahwa simbol adalah....pragmatis", Sahlin menulis,
"sistem adalah sintesis dalam waktu reproduksi dan variasi....dalam makna-makna tindakan
selalu pada resiko" (1985, h. ix).

Fitur politik dari konstruksi sosial atas makna menjadi kelihatan ketika budaya tidak
lebih jauh mengacu pada bagian makna-makna yang mencerminkan cara hidup orang-orang.
Malahan, praktik-praktik budaya mengacu pada beberapa institusi, kelas, kelompok yang
berlomba dalam artikulasi makna sosial atas sesuatu, pada beberapa tempat dan posisi tempat
gagasan-gagasan dan pengetahuan-pengetahuan dikembangkan, dan pada konflik-konflik yang
muncul dari pertentangan untuk panggung pertunjukan serta untuk mempengaruhi audien.
Pertengkaran fitur praktik-praktik budaya juga dijelaskan oleh fakta bahwa apa yang dikatakan,
diklaim, dibicarakan adalah bukan, pada beberapa momen yang diberikan, ex equo: beberapa
darinya adalah pengetahuan, sesuatu yang lain adalah "fakta-fakta" atau "opini-opini", masih
yang lain adalah "ideologi-ideologi". Status penunjukan tersebut adalah lemah, karena itu,
dapat dirundingkan. Bagi alasan-alasan tersebut dan yang lain, kajian praktik-praktik budaya
membuat terang problem politik makna. Ia memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang
bagaimana makna-makna budaya tertentu dihasilkan, mengapa, dan oleh siapa. Ia memaksa
Sosiologi Pengetahuan Baru | 30

pada kita suatu realisasi bahwa gagasan-gagasan budaya yang sama, kata-kata, dan imaji-
imaji sering bermakna sesuatu yang berbeda bagi kelompok yang berbeda. Dan lebih lanjut,
makna sesuatu hal merupakan subyek untuk merubah secara terus menerus karena obyek-
obyek sosial adalah multikode dan karena terdapat keserbaragaman "bahasa". Keteraturan
budaya menjadi hasil dari perbedaan historis dan konflik kelompok. Ini merupakan bentuk dari
sosiologi baru. Ia menawarkan sebuah pandangan pada kita pengetahuan-atas-realitas yang,
dalam pembandingan dengan pendahulu kita, adalah jauh lebih tentatif, lebih open-ended, dan
lebih suka berdebat.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 31

BAB 2
PENGETAHUAN BENAR DAN PENGETAHUAN PALSU
Tradisi Marxis5

Marxisme, setelah ia menarik kita seperti bulan menarik pasang (laut), setelah
mengubah semua gagasan kita, setelah mendepak kategori-kategori borjuis
pemikiran kita, dengan tiba-tiba membiarkan kita terdampar.
(Jean-Paul Sartre)

TINJAUAN DASAR

Menurut salah satu yang paling awal dan paling umum menggunakan teori ideologi,
teori Marxis, ideologi-ideologi mendistorsi, memesonakan, dan konsepsi-konsepsi salah yang
dilawankan dengan pengetahuan dan kesadaran yang benar, realistis, dan obyektif. Teori ini
memahami kuasa, status, dan kepentingan sebagai prinsip yang menentukan kesadaran kelas
ekonomi atau kelompok yang pemikirannya ideologis; yakni, pikirannya adalah kepentingan
politis dan ekonomis --gagasannya merasionalisasikan konvensi sosial dan mental yang
memberikan kepercayaan dan dukungan pada kekayaannya dan kekuasaannya. Menurut teori
ini, konsepsi-konsepsi ideologis dilawankan dengan kebenaran atau konsepsi-konsepsi riil
tentang diri (self), yang lain (other) (other), dunia. Pada dasarnya gagasan ini adalah salah satu
yang mengiringi bahwa oposisi paling jelas antara ilmu dan ideologi, ilmuan adalah bebas dari
kepentingan pikiran politisi, partisan, atau borjuis.

Dalam dunia sekarang dimana politik dan ideologi, mungkin, lebih tampak pada kita
ketimbang sebelumnya, teori ideologi klasik ini telah dikecam, dan beberapa kritiknya
menemukan manfaat bagi kritik dan analisis sosial (lihat, misalnya, Lemert 1991; Seidman
1991). Alasan-alasan bagi kritisisme tersebut sedikit banyak dari mereka pantas mendapat
evaluasi serius. Bagaimanapun, secara akademis dasar kritisisme atas konsep ideologi
menentang penyebaran ideologi yang kelihatan dimana-mana. Apapun jasa dari perdebatan ini,
kita mesti memperhatikan konsep petunjuk, terutama ketika ideologi hidup dan menendang
(atau terkadang menembak) semua yang di sekitar kita.

Beberapa kritik ideologi menunjukkan, dan Saya setuju, bahwa teori ideologi
membatasi dalam kesanggupannya memahami kehadiran sistem-sistem politik dan budaya
dalam teori-teori dan praktik-praktik ilmu serta dalam setiap wilayah sosial yang sebenarnya.
Kritiknya membantah, misalnya, bahwa "ideologi" melebihi rasionalisasi ilmu sementara
menyepelekan fitur-fitur ideologis dan budaya dari ilmu. Yang lebih penting, dan diskusi yang
lebih luas, adalah gagasan bahwa kuasa dan kepentingan beroperasi dalam semua wilayah

5 Versi yang lebih awal dan lebih singkat dalam bab ini dipublikasikan dengan judul "The Uncertain Future of
Ideologi: Rereading Marx", sebuah isu khusus dari majalah sosiologi triwulanan pada pembacaan kembali karya
klasik, diedit oleh Charles T. Lemert dan Patricia T. Clough, Vol. 35, No. 3, 1994, h. 415-429.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 32

dan bahwa rasionya sendiri tidak bebas dari perspektif kelas dan kelompok dalam sejarahnya
dan perkembangan sosial. Bagaimanapun posisi pan-ideologis ini, salah satu yang memandang
kekuasaan dan politik dalam semua fitur kehidupan sosial dan transaksi manusia yang
sebenarnya, adalah bahaya menghilangkan kekuatan kritis teori ideologi. Ia melakukan ini
dengan menyebarkan penerapannya pada semua hal sebenarnya atas pengaruh kelompok dan
mengklaim mereka sebagai pengaruh politik, dengan demikian melepaskan kemampuannya
untuk membedakan tipe-tipe berbeda dari strategi kuasa dan kelompok, sama seperti untuk
membedakan perkara tersebut dimana kekuasaan dan politik termanifes pada kerja dan yang
lain dimana mereka tidak berada. Terdapat beberapa hal dimana dampak dari kelompok atau
institusi mungkin mendalam tapi politik keras dalam pengertian lazimnya: jadi, misalnya,
dampak atas hak-hak manusia memantau organisasi-organisasi, seperti Amnesti Internasional,
pada opini publik. Budaya populer menawarkan hal lain dimana modifikasi-modifikasi dalam
tingkah laku kolektif atau mentalitas dihasilkan oleh institusi atau organisasi tanpa
menggunakan strategi politik ataupun konspirasi (bukannya bahwa aktifitas tersebut selalu
absen dari cara organisasi tersebut melakukan urusannya). Ambillah, misalnya, peran hebat
"pabrik mimpi-mimpi" Hollywood (terutama dalam masa jaya studionya) dalam setting
perumpamaan dan etos Amerika abad 20 --tidak bermaksud menyebarkan "budaya Amerika"
pada dunia dengan film-filmnya.

Pemeriksaan kembali atas ideologi sekarang tidak diragukan muncul dalam


tanggapannya pada pengakuan bahwa konfigurasi kuasa dan ideologi secara berbeda dibentuk
dalam dunia sekarang ini dari, katakanlah, dunia kapitalisme klasik: kelas-kelanya sekarang,
lazimnya deskripsi Marxis pada mereka sebagai kelompok-kelompok ekonomi, tidak memiliki
monopoli pada bentuk-bentuk ideologi, ataupun semua ideologi (dalam pengertian dominan
atau gagasan-gagasan yang berkuasa) dibatasi pada kebohongan-kebohongan atau mistifikasi-
mistifikasi sebagaimana dalam pengertian lazimnya atas ideologi; dalam dunia sekarang ini,
sistem-sistem pengetahuan seperti kedokteran dan hukum terjadi kesalahan ataupun distorsi,
tapi otoritas mereka secara efektif mengklaim, kekuasaan yang mereka hasilkan seperti
institusi-institusi, dan elit-elit yang mereka pekerjakan dan secara pasti melindungi tempat
mereka di sekitar sistem-sistem ideologi. (Mereka adalah apa yang Marxis Perancis Louis
Althusser sebut "aparat-aparat ideologi"). Pun apakah ilmu yang menjalankan pada
pembersihan dari sistem-sistem ideologi. Dari poin kita dalam sejarah yang telah kita lihat
sepintas lalu momen-momen paling gelap dari sains (kita mungkin yang terakhir berharap
mereka adalah masa lalu) dalam ilmu kedokteran Nazi dan dalam Hiroshima dan Nagasaki, dan
kita menjadi paham bahwa bagi kita sains dapat bekerja sungguh-sungguh dalam melayani
kengerian manusia dan atas nama ideologi. Tehnik-tehnik ilmiah juga tak memungkinkan keluar
dari keterhubungan pada bentuk-bentuk "yang lebih dingin" dan lebih birokratik dari kekerasan
dan perang, dan pada ideologi-ideologi negara yang mengiringinya. Sungguh, ideologi tidak
memerlukan kefanatikan ataupun ke-irasional-an, sama banyaknya dengan birokrat licik.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 33

Bab ini akan mencatat kembali beberapa sejarah teori ideologi dari Marx sampai ilmu
sosial kontemporer. Argumennya bergerak dalam tokoh pemikir yang menganggap ideologi
adalah soal distorsi kesadaran dan juga merupakan penggunaan atau praktik tertentu, dimana
kata-kata dan gagasan-gagasan digunakan atas pelayanan kuasa --pemeliharaannya, tuntutan,
pembelaannya.

Manusia melanjutkan kesalahan persepsi pada yang lain (other) dan pada dirinya
sendiri, apa yang mereka lakukan justru memberikan dasar bunyi bagi keberlanjutan
penggunaan konsep ideologi dan analisis politik. Saya masih setuju dengan beberapa kritik
bahwa sementara Marx mengantarkan dan menuntun penyelidikan pada sumber sosial atas
ketidaktahuan, kebohongan, dan mistifikasi, dia meninggalkan kita tanpa persiapan untuk
memahami konfigurasi ideologi kontemporer kita, terutama ilmu dalam semua pengertian.
Mungkin karena asal usul ideologi sekarang ini tidak dalam basis ekonomi yang kokoh ataupun
dalam wilayah politik kelas, tapi dalam lingkungan simbolik dan bentuk-bentuk hegemoni yang
baru.

APAKAH IDEOLOGI ITU?

Ideologi muncul dan berkembang secara bersamaan dengan modern itu sendiri,
dengan ketidaktampakan tentang kesatuan pandangan dunia, dengan pengakuan bahwa
banyak titik pandang dan ini mewakili pandangan dan strategi politik alternatif. Ada persetujuan
yang luas (lihat misalnya, Hunt 1989, h. 12-13; Billington 1980, h. 206-210; Gouldner 1976, Ch.
2) bahwa ideologi berkembang sebagai konsep yang unik di pertengahan akhir periode abad 18
kekacauan revolusi Perancis, disamping gagasan modern mengenai "politik". Ideologi dan
politik muncul secara bersamaan sebagai gagasan dan sebagai praktik yang mengambil bentuk
penyesuaian dengan pemahaman baru tentang bagaimana manusia membuat sejarahnya
sendiri.

Kata ideologi berkonotasi standar sekuler pencerahan tentang apakah pengetahuan


akan menjadi --obyektif atau subyektif, rasional atau doktriner, dan ditandai oleh ketenangan
hati bukan fanatisme. Karena alasan ini, dan tak dapat diragukan bagi kebanyakan rasio
pencerahan, ideologi sering dilihat dalam terang oposisi dengan ilmu. Menurut kriteria sekuler
ini, ideologi dapat mengacu pada bentuk-bentuk pengetahuan yang berlaku dalam masyarakat
lain atau epos sejarah, yang mana bila dilihat dari dalam diri kita dan mengikuti standar dan
cita-cita diri kita, tampak keluar dari lipatan atau bahkan pertentangan dengan etos diri kita.
Menurut penggunaan umum atas istilah tersebut, ideologi sering memakai (benar atau salah,
pembenaran atau penolakan) untuk membakar semangat dan mendoktrin praktik-praktik
kelompok yang dibahan-bakari oleh kesepakatan yang bagus atas kepentingan dan ambisi.
Keyakinan fundamentalis dan syahadat rasis menjadi kesadaran, tapi juga sesuatu yang
Sosiologi Pengetahuan Baru | 34

bernada etnosentrisme dan separatisme. (Catatan memperolok dan berkonotasi mengutuk


mengenai istilah "fundamentalis" dan "rasis", penyingkapan standar kepercayaan dan tindakan
yang dikira benar menjadi begitu jelas berlawanan dengan warisan pencerahan kita). Dalam
cara ini ideologi itu tampak berdiri berlawanan dengan standar-standar rasio, pengekangan,
dan ketenangan hati. (Apapun standar-standar ini nyata-nyata angkuh atau tidak, dan bahkan
dapat berfungsi sebagai ideologi mereka sendiri, adalah soal yang juga akan dibicarakan
kemudian dalam bab ini).

Memberikan fakta bahwa modernitas adalah leluhur ideologi, penggunaan-


penggunaan dan makna-maknanya sulit untuk diserap dari kerangka-kerangka yang diberikan
oleh Rasio Pencerahan, politik-politik revolusi Perancis, kritik ideologi Marxis (untuk menyebut
konteks sejarah ideologi), ia adalah catatan berharga bahwa ideologi tampak dimana-mana
pada lanskap global dan nasional kita dalam bentuk rasial dan konflik etnis, ragam
fundamentalisme, politik reaksioner, pertumbuhan kekerasan negara dan perang, dan gerakan
neo-Nazi, untuk menyebut beberapa. Terdapat beberapa alasan yang masuk akal untuk melihat
pertarungan ini sebagai ideologis, dalam pengertian bahwa mereka merepresentasikan
gagasan dan strategi sosial dan kelompok politik yang kepentingan dan gagasannya
merupakan rintangan bagi yang lain, dan siapa yang memberi tekanan agenda politis. Lebih
lanjut, dalam perkara masing-masing kelompok tersebut, gagasannya, programnya, dan
tindakannya dipercaya dan didiami, tidak melalui beberapa jenis kritik rasional, tidak melalui
pertimbangan atas fakta-fakta, dan seterusnya. Ideologi dirasakan, dirangkul, dinyatakan.
Ideologi mengambil kehidupannya dari percakapan, pendirian, dari realisasi perasaan yang
dalam, dari apa yang tampak pada ideolog sebagai kebenaran yang vital. Dalam pengertian ini
bahwa Hannah Arendt (1968, h. 167) mengacu pada kapasitas ideolog untuk menulis kembali
sejarah menurut gagasannya atas sejarah dan bukan pengamatannya. ("Ideologi sangat
literer....logika sebuah gagasan".) Ideologi "cenderung mengetahui misteri seluruh proses
sejarah". Mereka mentotalitaskan pandangan dengan sebuah gagasan tunggal yang
meneraturkan semua pengamatan dan pemikiran yang lain, membaurkan segala hal pada
istilah-istilah dan perspektifnya sendiri, dengan demikian menyatakan benar untuk mendepak
penilaian yang lain dari pandangannya sendiri tentang sesuatu dan dari ketertutupannya sendiri
serta kedudukan yang baik atas keputusan. Deskripsi ini membawa kita pada tanda khusus
yang lain dari ideologi: ideologi-ideologi memiliki kategori kepercayaan. Tapi bukan sekadar
beberapa jenis kepercayaan; mereka memperdebatkan kepercayaan-kepercayaan yang
diartikulasi dengan lengkap dan ditegaskan dalam situasi yang meliputi konflik dan
kepentingan, pertentangan melebihi kebenaran dan kekuasaan. Dalam dunia yang lain,
gagasan-gagasan dan kepercayaan-kepercayaan dalam diri mereka adalah tidak ideologis, tapi
mereka bisa menjadi demikian dalam praktitk-praktik dari jenis-jenis tertentu.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 35

Kita menyajikan istilah "ideologi" bagi praktik-praktik tersebut (termasuk tindakan dan
ucapan) yang dampaknya diarahkan terhadap legitimasi dan kekuasaan kelompok. Mereka
menutupi kehendak berkuasanya kelompok dan mengiringi strategi-strategi tindakannya. Yang
mengatakan bahwa ideologi cencerung memperlihatkan wajahnya (baik digosok bersih atau
dipoles secara profesional) ketika beberapa pengertian obyektif diangkat; mereka meliputi
pertentangan pokok baik bagi keseluruhan masyarakat ataupun para pemain utama (misalnya,
kelas-kelasnya, bentuk-bentuk utama kapitalnya atau produksinya). Untuk alasan itu,
kesepakatan atas tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan aktifis Amerika pro-pemilihan dan pro-
kehidupan adalah lebih ideologis dari pada, katakanlah, kelompok petani Amerika yang melobi
Kongres untuk memperoleh keuntungan melebihi buruh. Untuk satu hal, politik aborsi tersebar
dengan politik dan strategi kuasa atas perbedaan dan perlawanan kelas-kelas sosio-ekonomi
serta atas dominasi dua partai politik Amerika, dan mereka juga diisi oleh pemain lain yang
berkuasa, seperti pendeta dan malaikat pelindung keteraturan moral yang lain. Lebih lanjut,
peperangan aborsi memerankan drama keadilan dan kebebasan mengenai makna kehidupan
dan keibuan. Demikian bahwa ideologi, dalam pengertian Arendt, memalingkan. Secara
berlawanan, petani Amerika lebih baik dipahami sebagai "kelompok kepentingan", yang
memiliki perhatian dan politik tidak sekedar melegitimasi secara sosial dan politik, yang memiliki
tawaran dan kepentingan, dalam banyak hal, lebih terbatas dan lebih jelas pragmatis. Dalam
analisis terakhir, ideologi, bila mereka efektif sebagai ideologi, mesti mengatakan sesuatu yang
bermakna bagi yang mempraktikannya. Mereka harus pokok dalam cara yang vital bagi yang
mendukungnya dan, di waktu yang sama, memberikan tindakan dan kerasionalan bagi tindakan
tersebut.

Hal tersebut merupakan catatan berharga bahwa saat ideologi disangka menjadi
penghalang beberapa gagasan dan prinsip masyarakat modern, ini tidak menghentikan
kemajuannya dalam masyarakat tersebut, justru penilaian modernis kita tentang ideologi
membelokkan opini publik menentang ideolog dan gerakan ideologis. Kenyataannya,
pengetahuan publik tentang praktik-praktik ideologis tak dapat diragukan memunculkan
manfaat menyesatkan dan eksploitasi ideologi dalam kehidupan publik dan politik. Hal itu juga
perkara bahwa ideologi (paling tidak brand kontemporer dari ideologi) memiliki kemajuan
panjang bersama standar kaum sekuler yang menentangnya, pluralisme dan rasionalisme
kaum sekuler bahkan membantu toleransi bagi pengungkapan ideologi. Tentu,
perkembangbiakan ideologi, atau apa yang disebut ciri-ciri pluralistik masyarakat kita serta
sambutan dan toleransinya orang-orang dan budaya yang berbeda, berkembang turun temurun
bersama perangkat kebijakan dengan standar universal atau umum atas keyakinan dan
keadilan yang diandaikan untuk memediasi konflik-konflik kepentingan kelompok tertentu dan
kelompok yang lain yang pandangan dan politiknya sendiri sering bermusuhan untuk
kebenaran-kebenaran atas yang lain.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 36

Jika ideologi-ideologi adalah praktik, mereka adalah praktik-praktik strategi,


berkonsentrasi dengan kekuasaan dan pengaruh atas posisi-posisi dan klaim-klaim kelompok.
Salah satu strategi yang lazim dari ideolog adalah mengklaim keistimewaan, superior, tempat
dan fungsi dalam kaitan dengan gagasan-gagasan dan praktik-praktitk yang lain, seperti klaim
untuk menjadi teoritik, rasional, atau spiritual dan, pada dasar tersebut, membenarkan dalam
tindakan sebagai keputusan akhir dan arbitrer melebihi yang lain. Memahami cara ini, para
ideolog dengan tidak bermaksud membatasi pada anggota dari program politik atau
keagamaan atau gerakan politik atau keagamaan. Untuk sementara para ideolog mendukung
gagasan-gagasan tertentu yang menopang pada kepentingan-kepentingan (siapa yang
bukan?), mereka mempresentasikan dirinya sebagai kaum rasionalis tertinggi, atau, dalam
beberapa hal, mereka mengklaim berada diluar pertarungan kekuasaan dan politik
--kecenderungan utama ditemukan diantara akademisi, intelektual, tokoh politik, terutama sekali
dalam hal dimana mereka memiliki klaim khusus pada nonpartisan. Dalam urat nadi ini,
Pembicara dari the House of Representatives Newt Gingrich menuduh (dan Saya mengira,
tanpa ironi) Demokratiknya melawan dalam Kongres "membungkus dirinya dalam bipartisan",
dengan demikian secara tangkas menyembunyikan agendanya sendiri dan mengklaim untuk
berbicara bagi setiap orang ("kebaikan suatu bangsa", "Rakyat Amerika" --kosa kata bagian
dari sistem dua partai). Dalam cara ini, para ideolog mengingkari ideologi-ideologi mereka,
mengklaim untuk berbicara dan bertindak dari motif-motif yang lebih bersih, biasanya rasional
atau universal. Kenyataannya, ideologi-ideologi selalu meliputi pengaruh-mempengaruhi
prinsip-prinsip universal dan kepentingan-kepentingan khusus, situasi yang dulu digunakan
sebagai penutup untuk situasi esok. Kenneth Burke mengamati, kaum ideolog memiliki
"pretensi-pretensi pada kosa kata yang paling mewah" (1989, h. 206).

Kaum ideolog, kali pertama digambarkan oleh Marx dan pelopor imperial Napoleon
Bonaparte, dan darinya makna modern kata ideologi bisa ditemukan, bersama klaim-klaim
pengetahuan khusus, sejenis pengetahuan murni. Kaum ideolog adalah pembangun sistem dari
tempatnya yang menguntungkan. Di zaman Napoleon ideologues adalah kritik-kritik radikal
kerajaan --para pemimpi tersebut, pembela prinsip-prinsip demokrasi pencerahan, yang
"metafisika berlebihan"nya akan menyesatkan rakyat. Ideologi mereka mengandung kenyataan
bahwa gagasan mereka tidak berdiri kokoh pada fondasi kebenaran: realitasnya sendiri, dunia
riil kekuasaan dan kepentingan, Napoleon percaya mengenai "pengetahuan atas hati manusia
dan atas pelajaran sejarah" (Williams 1983, h. 154-5). Ideologues merupakan istilah yang
digunakan Napoleon untuk menyerang lawannya --ia dianggap sebagai tidak realistis atau
"keluar dari realistis" ketika dibandingkan dengan tindakan politisi, yang akses tertentunya pada
realitas telah menuntun sebagai standar bagi semua yang lain. Napoleonlah yang kali pertama
menggunakan ideologi dalam pengertian peyoratif, salah satu yang menyingkap kriteria
putusan politis tentang "realitas"; pengalaman praktis politisi menjadi standar penilaian
memadai atau tak memadai atas teori atau gagasan lain. Demikian sebuah deskripsi membawa
Sosiologi Pengetahuan Baru | 37

pada kesadaran "men of affairs"nya C. Wright Mill, bahwa rakyat biasa yang memparadekan
dirinya sebagai realis keras kepala, melambangkan apa yang Richard Harland (1987, h. 10)
sebut keragaman kesadaran umum Anglo-Saxon: "Anglo-Saxon merasa memiliki bangunan-
bangunan (gagasan)nya yang sangat kokoh ketika menanamkannya pada yang nampaknya
tanah padat dari selera dan opini individu, atau pada yang nampaknya fakta keras dari alam
materi". Dengan demikian, kaum ideolog tidak mendasarkan gagasannya pada pengalaman
tapi malah singgah pada gagasan dan kebohongan --untuk ideologi. Sebagaimana Raymond
Williams (1983, h. 126) tunjukkan, pernyataan konservatif ini menguatkan "pelajaran
pengalaman" melebihi inovasi politik "gegabah" dari ideologi.

Sebagaimana Karl Mannheim (1936, h. 71-73) kali pertama merumuskan dan Paul
Ricoeur (1986, h. 160-161) lebih baru-baru ini mendesakkan, sejarah gagasan ideologi tak
pernah kehilangan jejak politis asal usulnya, tujuan pengaduannya untuk meruntuhkan dan
untuk membuka kedok lawan politik. Ideologi selalu (atau hampir selalu) sebuah istilah polemik
yang menggunakan tentang yang lain (other). "Pemikirannya adalah dirinya yang lebih unggul,
milikmu adalah doktrin, dan milikku adalah fleksibel" --sepertinya mengena sekali dengan Terry
Eagleton (1991, h. 4) --yang mengatakan bahwa ideologi mempertanyakan validitas pemikiran
lawan. Kegunaannya adalah bagian dari wacana politis, contoh dari imajinasi politik, membawa
pemikiran lawan pada pertanyaan sangat mendasar. Dalam kasus Napoleon, pemikiran lawan
dianggap tidak realistis, ia menyimpang dari pengalaman manusia atas tindakan. Kegunaannya
dalam wacana politis pemikir konservatif abad 19, kritik pencerahan, begitu luas bahwa "kaum
ideolog" sekarang masih digunakan pada pendukung liberal dan gagasan sosialis atau, seperti
dalam penggunaan Napoleon, untuk mengacu pada kaum revolusioner atau fanatik. Makna ini
akhirnya digantikan penggunaan lain yang lebih populer oleh Marx dan Engels, penyokong teori
ideologi yang sama-sama bersifat mengejek, sebuah dakwaan pedas menentang kumpulan
pemimpi lain, metafisikus Jerman.

Marx dan Engels kali pertama memberikan uraian teori ideologi yang paling sistematis.
Kesinambungannya dengan ideologues Napoleon meletakkan maksudnya menggunakan
sebagai teori untuk menyerang dan membuka kedok distorsi, ilusi, dan inversi yang ditandai
idealisme filosofis tradisi Hegelian Jerman. Kritik Marx dan Engels terhadap "ideolog Jerman"
tersebut adalah memancang standar kerangka pengetahuan dengan metode meterialis-
historisnya. Gagasannya yang menyolok adalah bahwa ideologi merupakan alienasi pikiran dari
kehidupan; ideologi adalah gagasan yang menopengi atau mengaburkan realitas sosial pada
pemikir. Ideolog merupakan "srigala berbulu domba", seolah-olah rasional sementara sungguh-
sungguh mencari untuk menyelesaikan beberapa agenda tersembunyi atau pengaruh politik
tertentu, seperti melindungi perimbangan kekuasaan atau penegasan keinginan kelompok
dalam wajah resistensi dan oposisi. Tindakan dan motif kaum ideolog sering tersembunyi dari
dirinya, tentu tidak semuanya, tapi cukup membuat dirinya dan tindakannya membenarkan dan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 38

masuk akal bagi dirinya dan, mereka percaya, bagi yang lain. Dalam banyak hal, kaum ideolog
adalah pragmatis, berkepentingan dalam tindakan, sementara menampakkan
takberkepentingan dan bahkan memperhatikan pada kebaikan umum. "Menguatkan alasan-
alasan teknis hukum belaka", adalah klaim waktu itu Presiden Amerika George Bush dan Jaksa
Agung Thornbergh, ketika mereka turut campur dalam mendukung Wichita's Operation Rescue
di musim panas 1991. Menggunakan strategi serupa, penyokong pro-kehidupan menklaim
bahwa mereka bertindak atas kepentingan "kemanusiaan secara umum", yang mana mereka
berbagi dengan yang belum lahir. Poinnya bukanlah semua itu mengacu pada hukum atau
kemanusiaan, dalam dirinya sendiri, ideologis. Apakah ideologis adalah suatu klaim (atau
dalam beberapa hal, strategi terpilih--salah satu yang dapat menjalankan) bahwa kepercayaan
kelompok secara sungguh-sungguh bukan itu semua, tapi adalah keyakinan yang dipeluk
"untuk semua" atau "untuk kebaikan semua". Dalam istilah Kenneth Burke, prinsip-prinsip yang
ditegaskan di sini "nampaknya 'universal'", seperti, misalnya, ketika pendirian dan politik
partisan "dibungkus" dalam tiga warna pencerahan, penandaan "kemanusiaan secara umum",
retorika universalisme yang mengumumkan versi kemanusiaannya sendiri sebagai milik tiap
orang. Praktik ideologi seperti itu bisa jadi salah satu dari ketaksadaran dan ketakbermaksutan
pada satu tangan, atau dengan segaja dan secara strategik digunakan pada yang lain (other).
Dalam salah satu perkara pengaruh adalah untuk mencapai secara politis tindakan
berkepentingan. Idealisasi seperti ini, Burke (1989, h. 304) juga menjelaskan, Jeremi Bentham
menyebut "penutup-penutup eulogistic" atau "gambar yang lepas dari kesadaran", penutup-
penutup yang menyembunyikan sesuatu dari yang lain (other) dan, terutama, dari diri kita.

Sebagaimana deskripsi ini mengindikasikan, ideologi adalah gagasan yang bercampur


baur antara kekuasaan dan penipuan dalam pemikiran kelas, atau apa yang disebut problem
politik representasi: bagaimana kepentingan kelompok, dan terutama kehendak berkuasanya
kelompok, dituliskan dalam pikiran, program, dan filsafat dalam cara yang lepas dari kesadaran.
Pada jantung gagasan ideologi adalah pikiran yang sama penting dengan gagasan represi dan
rasionalisasi dari Freud: apa yang paling vital dan penting bagi kita dilupakan dan ditindas, dan
apa yang menggerakkan kita untuk bertindak adalah paling sering disembunyikan dari kita.
Dalam perkara ideologi --gagasan yang menopengi kepentingan kelompok-- gagasan-gagasan
ini tidak hanya melayani pembenaran praktik-praktik kelompok itu, tapi ini menjadikan sedikit
banyak bahwa ia tetap berada di luar kesadaran. Ideologi mengaburkan dan memistifikasi
fakta-fakta paling keras mengenai kelompok atau kelas, apa yang ia lakukan dan inginkan,
terutama bagaimana ia memaksakan kehendaknya pada deklarator dan musuh-musuhnya.

Marx: ideologi sebagai bukan relitas

Ideologi merupakan konsepsi palsunya kelas atau kesadaran palsu tentang dirinya
sendiri. Teori ideologi Marxis bermaksud untuk memberikan penjelasan materialis bagi
Sosiologi Pengetahuan Baru | 39

kesadaran palsu ini. Menurut teori ini, semua gagasan, semua bentuk pengetahuan dan
kesadaran, dalam beberapa cara --dan sering dalam cara distorsi-- "berjalin dengan aktivitas
material". Dengan "aktifitas material" dimaksudkan hubungan aktual manusia sebagaimana
mereka berada dan sebagaimana mereka dikondisikan secara sosial dan kekuatan produktif
dunia sosial mereka tinggal.

Seluruh bagian pembukaan The German Ideology Marx dan Engels, "kehidupan riil"
dari "manusia berada secara aktual", "seperti mereka ada secara riil" dipertentangkan dengan
konsepsi-konsepsi (Vorstellungen), imajinasi-imajinasi, dan ilusi-ilusi yang manusia pegang.
Ideologi meliputi pemahaman bagaimana realitas dan konsepsi-konsepsi realitas menjadi eksis
dalam oposisinya dengan yang lain --bagaimana kesadaran mengkhayalkan sesuatu yang lain
ketimbang apa yang secara riil ada. Penggunaan idiom yang digunakan Marx sendiri, ideologi
adalah alienasi pikiran tentang keberadaan sosial riil dari pemikir, pikiran diasingkan dari
kehidupan riil.

Ideologi adalah klaim-klaim palsu atau menyesatkan, klaim untuk menjadikan atau
mengatakan sesuatu yang tidak benar. Misalnya, kita dapat berpikir mengenai ideologi sebagai
tipe pikiran yang menyanjung dirinya sendiri, untuk mengatakan dirinya bahwa ia lebih baik dari
ia yang secara riil. Ketika ia melakukan ini, ia tidak tahu bahwa ia melakukan ini, karena ia
adalah proses tak sadar. Hal tersebut tidak akan menjadi ideologi jika ia menyadari bujukan ini
sebagaimana hal tersebut terjadi. Dalam surat Engels pada Franz Mehrling (Engels [1893]
1968, h. 700), fitur taksadar dari ideologi digambarkan: "ideologi adalah proses penyempurnaan
dengan apa yang dinamakan pemikir secara sadar, ia adalah benar, tapi dengan kesadaran
palsu. Kekuatan motif riil mendorong sisa ketidaktahuannya padanya, sebaliknya ia secara
sederhana tidak akan menjadi proses ideologis".

Pemikiran ideologis menyanjung dirinya sendiri dalam banyak cara. Misalnya, ia


menghadirkan dirinya sendiri untuk menjadi lebih murni dari ia sebenarnya, untuk menjadi lebih
agung dari ia secara riil, untuk menjadi spontan atau alami, untuk menjadi pemikiran individu
tunggal, untuk menjadi sebuah pernyataan mengenai fakta atau kebenaran, jika kenyataannya
ia bukan sesuatu tersebut. Dalam tiap pengertian ini, ideologi-ideologi adalah falsifikasi karena
ideologi-ideologi adalah pikiran yang salah mengerti atau salah menggambarkan sebagai
sesuatu yang lain dari pada apa yang sebenarnya. Dan apa kesadaran yang riil, ia secara riil,
Marx menggambarkan, adalah kesadaran dari apa yang sebenarnya, kesadaran dari "praktik
yang ada".

The German Ideology adalah pernyataan ringkas kali pertama dari meterialisme
historis. Bagi Marx dan Engels, filsafat adalah ideologi yang sangat ulung, "mengklaim tidak
memiliki sejarah.... dari dirinya sendiri" (Althusser 1971, h. 159-160). Dalam karya ini, lawan-
lawan prinsipil penulis (Marx dan Engels), "kaum ideolog", adalah sejumlah filosof Jerman yang
disebut "Hegelian Muda" yang gagal memahami gagasan materialis dan sosialis yang dikritik
Sosiologi Pengetahuan Baru | 40

sebagai, dalam kenyataannya, rumusan yang terlalu abstrak mengenai "kesadaran",


"kesadaran-diri", dan "keberadaan-spesies". Abstraksi ini adalah perangkat dalam
pertentangannya dengan premis-premis riil dari materialisme historis: "eksistensi dari kehidupan
individu-individu manusia" (Marx dan Engels [1845-1846] 1970, h. 45). Dasar-dasar riil
mengenai gagasan filsuf ini adalah kondisi Jerman dan sejarahnya. Tidak seperti kaum ideolog,
ia tidak menjadikan mereka memeriksa bagaimana filsafat Jermannya dan realitas Jermannya
dihubungkan; ataupun menjadikan mereka memeriksa relasi kritisismenya dengan
meterialismenya, ekonomi, dan keadaan politik.

Kaum ideolog Jerman ini menyanjung diri mereka sendiri kepada pemikiran bahwa
gagasan mereka merupakan sesuatu yang lain ketimbang kesadaran atas sesuatu yang riil;
mereka menyanjung diri mereka sendiri bahwa gagasannya "secara riil menggambarkan
sesuatu tanpa menggambarkan kenyataan sesuatu" (Marx dan Engels [1845-1846] 1970, h.
52). Jika mereka telah membuat penyelidikan demikian, jika mereka telah memandang, seperti
Marx muda lakukan, sudut dunianya sebagai tempat yang didominasi oleh problem-problem
idealisme Jerman, mereka akan melihat "dunia yang paling membingungkan, paling teralienasi
yang kemudian eksis dalam ideologi-ideologi Eropa". Ini adalah kata Althusser dalam esai
klasiknya "Mengenai Marx Muda" (1969, h. 75-76). Dalam karya tersebut, Althusser
menggambarkan bersama-sama kualitas abstrak pemikiran filsuf ini dengan kondisi terasing
dari sejarah Jerman dan politiknya. Keterbelakangan ekonomi dan politik Jerman, dia
menggambarkan, goresan dunia kepada struktur pemikiran filsuf Jerman: ketidakmampuan
sejarah Jerman salah satunya untuk merealisasikan kesatuan nasional atau revolusi borjuis.
Ketidakmajuan sejarah Jerman adalah "kemajuan berlebih" ideologis dan teoritis yang tak
sebanding dengan segala yang ditawarkan oleh bangsa Eropa yang lain.... kemajuan ideologis
yang terasing, tanpa kaitan konkret dengan problem-problem riil dan obyek-obyek riil yang
tercermin di dalamnya."

Ideologi-ideologi adalah tidak nyata karena mereka mengaburkan, membalikkan, atau


memistifikasi realitas. Ideologi-ideologi termasuk apa yang Engels sendiri menyebut "non-
realitas pikiran". Tapi, sebagaimana Marx dan Engels kali pertama menggambarkan, disana
tidak ada kesembronoan dalam pikiran kaum ideolog. Karena di sana adalah logis dan tersusun
untuk ketidakmasukakalan ini, sebuah alasan riil terletak di belakang dugaan-dugaan
menyesatkan yang tidak riil ini dan mistifikasi-mistifikasi yang disebut ideologi-ideologi. Motif-
motif riil ini bahwa ideologi-ideologi mengaburkan ditemukan dalam bangunan dasar atau
substruktur, dasar ekonomi, di mana kepentingan-kepentingan kelas bergerak sebagai
"penggerak kekuasaan-kekuasaan.... kekuatan penggerak terakhir yang riil atas sejarah".
Bentuk ideologi-ideologi itu berada "di dalam kesadaran", Engels menulis, bergantung pada
keadaan material tersebut, "sebab-sebab penggerak sejarah tersebut" (Engels [1888] 1941, h.
624). Teori ideologi singgah pada sebuah pemahaman mengenai dunia ideologi atau
Sosiologi Pengetahuan Baru | 41

superstruktur, sebagaimana dijelaskan dalam hubungannya dengan infrastruktur, kekuatan


produktif material masyarakat. Seperti dirumuskan dalam The Manifesto Communist, modal
adalah kekuatan sosial yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan pemodal. Gagasan-
gagasan dan kekuasaan adalah berkaitan. Ideologi-ideologi adalah palsu dalam pengertian
bahwa mereka salah menggambarkan, mendistorsi, atau memistifikasi apa yang terbentang di
bawah mereka --kehendak berkuasanya kelompok, kepentingan-kepentingannya sendiri,
tindakan-tindakan eksploitatifnya, atau secara sederhana kejadian dan susunan yang
meletakkan sebuah kelas atau seorang penguasa pada resiko sebelum orang banyak. Ideologi-
ideologi menyembunyikan motif-motif dan kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan
kekuasaan, ini, dinyatakan Marx, adalah kekuatan penggerak yang riil dari sejarahnya sendiri.

setiap wawasan atas kebenaran alami masyarakat diciptakan dan demikian itu untuk
sebuah pemahaman riil mengenai situasi kelasnya.... seluruh pemikiran borjuis di
abad 19 melakukan upaya keras untuk menutupi dasar-dasar riil masyarakat borjuis;
segalanya dicoba: mulai falsifikasi-falsifikasi paling sejati sampai teori-teori "agung"
tentang "esensi" sejarah dan negara.

Bagaimanapun dimana seseorang berdiri pada pembacaan Lukács mengenai sejarah


borjuis abad 19, seseorang dapat sungguh-sungguh memahami bahwa sejarah modernitas
Barat sendiri adalah sejarah yang dibuat oleh kaum borjuis, "kelas yang berkuasa" dari
kapitalisme modern. Ideologi-ideologi menciptakan --sistem-sistem filosofisnya, ilmu ekonomi
dan kehidupan sosialnya, hak-hak kekayaannya dan individualismenya, Romantisismenya,
psikologi-psikologinya, budaya subyektivisnya-- dapat dipahami sebagai pemalsuan-pemalsuan
yang sangat berkuasa dan sangat banyak akal atas dirinya sendiri dan misi-misinya sendiri.
Karena tidak seperti zaman kuno atau abad pertengahan, bangsawan dan pendeta yang
memerintah dibawah perlindungan pada pandangan dunia (word view) berdasar pada Tuhan
dan silsilah yang terbentang di belakang ke pemerintahan Charlemagne, kaum borjuis sendiri
harus menemukan sendiri, untuk membiasakan apa yang ada di era industri baru ini secara
keseluruhan. Kelas-kelas yang lain dan penguasa di era yang lain bertindak secara tak
kelihatan, kesadaran mengenai keberadaan sosial ataupun aktor-aktor historis, diselubungi oleh
sistem-sistem agama dan adat istiadat yang memberatkan; kaum borjuis mesti
menyempurnakan ilmuwannya melalui ideologi-ideologi, menutupi kekuatan-kekuatan sosial
yang eksistensinya dan fungsinya menjadi lebih kelihatan dengan kemajuan modernitas. Ini
merupakan fungsi historis yang unik atas ideologi kapitalisme dalam kapitalisme dan prestasi
menakjubkan tentang apa yang Marx sebut "kelas berkuasa"nya. Bukan keajaiban bahwa Marx
menganggap penting teori ideologi mengenai refleksi sistematisnya pada pemerintahan borjuis!

Gagasan ideologi belum valid secara kekal. Ideologi disusun dalam istilah-istilah yang
diberikan oleh sistem-sistem filsafat dan sejarah yang memberinya kepercayaan dan nilai.
Penerapannya pada masyarakat manusia yang lain ketimbang bagi dirinya sendiri sarat dengan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 42

kesulitan-kesulitan. Misalnya, kritik-kritik materialisme historis dari Sombart (1928) dan Scheler
([1924] 1980, h. 56) sampai penulis yang begitu mutakhir seperti Sahlins (1976) mengakui
bahwa penerapannya pada masyarakat pramodern atau tribal adalah problematis, karena
perbedaan antara material dan ideasional adalah bukan perbedaan yang riil bagi warga
masyarakat itu. Di belahan dunia yang lain, teori ideologi dilibatkan dalam kondisi sejarah
tertentu dari keteraturan kapitalis industri, dan validitasnya bergantung pada kondisi-kondisi
sosial dan organisasi ekonomi tertentu, seperti pemisahan dan otonomi kekuatan ekonomi
dalam keteraturan sosial sebagai keseluruhan. Dalam masyarakat prakapitalis, pengamatan
Lukács ([1911] 1968, h. 238), "kehidupan ekonomi belum berproses independen, kohesi dan
imanen, ataupun memiliki pengertian tentang setting sasarannya dan keberadaan majikannya
yang kita hubungkan dengan masyarakat kapitalis". Pemisahan beragam ruang institusi dan
otonominya juga ada diantara tema-tema mendasar dari tulisan-tulisan Weber tentang
pertumbuhan ekonomi sosial era modern (Oakes 1988, h. 92). Menurut deskripsi Weber
mengenai perkembangan ini, bidang kehidupan yang berbeda diatur oleh hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang berbeda, kondisi-kondisi modern khusus yang membantu perkembangan
konflik-konflik hebat diantara ruang-ruang tersebut ketika mencapai otonomi yang lebih besar
ini.

Jika ideologi disusun dalam imej ruang dan waktu, sebagaimana sungguh-sungguh ia
akan menjadi, teori ideologi Marxis bisa dikatakan memiliki bayangan dan sistematisasi
gagasan otonomi kekuatan ekonomi dan, sejalan dengan ini, gagasan bahwa "semua
kausalitas bermula dalam basis ekonomi praktis dan padat" (Harland 1987, h. 49). Makna
gagasan dan sistem kepercayaan, teori Marxis menggambarkan, bisa dibaca dari wilayah
material. "Ideologi" meliputi pemisahan serta oposisi gagasan dan realitas, "fondasi riil" keluar
dari yang mana gagasan tumbuh. "Ideologi" juga sekumpulan gagasan budaya lebih lanjut
dalam gerakan dengan kapitalisme industri --apa yang Ricoeur sebut " jenis realisme
kehidupan", yang kita kenali bersama zaman ini, salah satu dimana materialitas adalah pikiran
untuk mendahului gagasan (1986, h. 5).

Ekspansi dan penyebaran ideologi

Di belakang teori ideologi Marx tersembunyi pikiran bahwa realitas dapat diketahui dan
dipahami secara langsung, baik dengan distorsi maupun prasangka, atau bahwa kesadaran
palsu mengimplikasikan ada kesadaran yang benar -- "pengetahuan tanpa penipuan". Michel
Foucault (1980b, h. 18), salah satu pemegang mandat era post-Marxis yang karyanya
menandakan jajaran luas tema-tema post-Marxis, telah menjauhkan dirinya dari teori ideologi
("ideologi.... sebuah gagasan yang tak dapat digunakan tanpa kehati-hatian"). Di belakang
konsep ideologi, dia menyatakan, kita menemukan keibaan bagi kebenaran, bentuk murni atau
transparan dari pengetahuan yang bebas dari distorsi-distorsi, kebohongan-kebohongan, dan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 43

ilusi-ilusi. Karena ideologi berdiri dalam oposisi dengan "sesuatu yang lain yang diandaikan
melaporkan kebenaran". Lebih lanjut, gagasan ideologi mencerminkan gagasan yang
merupakan gagasan kedua untuk realitas, bahwa mereka merupakan akibat dari determinasi
ekonomi material. Demikian sebuah skema yang membuang semua kehidupan mental dari
infrastruktur. Wilayah kehidupan riil adalah pemikiran untuk mendahului konsepsi yang kita
miliki tentangnya, ab initio.

Salah satu dari cara-cara yang terpenting bahwa karya-karya Foucault memberikan
sumbangsih baru atas tema modernis ideologi melalui pemeriksaannya pada "kebenaran"
sebagai prestasi dari sistem-sistem pengetahuan yang mengatur keteraturan sosial. "Wacana",
pengetahuan-pengetahuan dengan tambatan-tambatan institusi, dalam dirinya sendiri bukanlah
kebenaran ataupun kesalahan. Bagi tiap masyarakat dan tiap era memiliki bentuk-bentuk
wacananya dalam mana kebenaran-kebenaran ditegakkan. Analisis Foucault secara mendasar
berangkat dari gagasan Marxis mengenai hirarki faktor-faktor determinan, malahan
menawarkan "topografis" atau titik pandang genealogis, mengkaji: tipe-tipe wacana, teknologi-
teknologi yang mereka kembangkan, obyek-obyek yang mereka buat kelihatan dan tak
kelihatan; dan terutama, tehnik-tehnik dan prosedur-prosedur yang menyesuaikan nilai dalam
perolehan kebenaran; status dari siapa yang mengisi dengan ucapan yang melaporkan sebagai
kebenaran. "Kebenaran", Foucault menulis, adalah sesuatu atas dunia ini. "Ia adalah
pertanyaan politik dan sosial. Pertanyaan politik adalah bukan, sebagaimana Marx
menyatakan, ideologi. Pertanyaan politik adalah kebenaran itu sendiri. "Kebenaran bukan sisi
luar kekuasaan" (1980b, h. 131-133), karena kita menemukan ia dalam banyak cara-cara yang
berbeda bahwa manusia memerintah dirinya sendiri dan yang lain (other), dan bagaimana
mereka menyempurnakan pemerintahan ini "dengan produksi kebenaran.... bukan produksi
pengungkapan kebenaran tapi pendirian wilayah-wilayah dalam mana praktik kebenaran dan
kesalahan bisa menjadi layak dan berhubungan" (1981, h. 8-9). Demikian, ilmu pengetahuan
seperti biologi, psikiatri, kedokteran, atau ilmu hukum dapat dianalisis sebagai jenis-jenis
khusus dari "permainan kebenaran" berkaitan dengan tehnik-tehnik yang manusia gunakan
untuk memahami dan memerintah yang lain dan dirinya sendiri. (1988, h. 17-18).

Demikian sebuah analisa bagaimana kekuasaan dan kebenaran dihubungkan


mengambil bentuk dari analisis wacana atau praktik diskursif (istilah Foucault), memeriksa
sesuatu seperti arsip-arsip dan situs-situs, jenis-jenis baru mengenai buruh dan ritual-ritual
publik tempat genealogi bentuk-bentuk historis --"teknologi-teknologi moral", dan "rezim-rezim
rasionalitas" --menjadi ada; praktik kedokteran klinik; hukuman penjara sebagai praktik
penghukuman secara umum; bagaimana kegilaan dipandang sebagai mental yang sakit ("ia
bukan hal yang pasti.... ia bukan jelas-dengan-sendirinya"). Sasaran Foucault bukanlah
institusi-institusi ataupun ideologi-ideologi, tapi praktik-praktik:
Sosiologi Pengetahuan Baru | 44

hipotesa bahwa tipe-tipe praktik ini tidak hanya diperintah oleh institusi-institusi,
ditentukan oleh ideologi-ideologi, dipandu oleh keadaan-keadaan pragmatis --apapun
peran elemen-elemen ini mungkin memainkan secara aktual-- tapi proses hingga poin
regularitas-regularitas spesifik miliknya, logika, strategi, fakta-diri dan "rasio". Ia
adalah pertanyaan tentang menganalisis "rezim praktik-praktik" --praktik disini
dipahami sebagai tempat dimana apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan,
menentukan aturan-aturan dan memberikan alasan-alasan, merencanakan dan
menganggap pasti sesuai dan saling berkaitan.

(1981, h. 5)

Lebih dari beberapa pemikir kontemporer, Louis Althusser mungkin mengubah cara-
cara sebelumnya mengenai pemikiran tentang ideologi, tentu bagi kaum Marxis, tapi juga bagi
kaum non-Marxis. Setelah Althusser, dan dalam essainya 1970 "...Aparat-aparat Negara
Ideologis" (dipublikasikan 1971), ideologi berada dalam "aparat", sekumpulan orang dari
bentuk-bentuk dan praktik-praktik institusi yang mereproduksi kondisi-kondisi dan relasi-relasi
teratur kapitalis industri: sekolah, rumah tangga, perdagangan, media komunikasi, olah raga
dan waktu luang, pengadilan, partai-partai politik, universitas, dan seterusnya. Karenanya
ideologi-ideologi eksis dalam aparat-aparat ini, keberadaannya bersifat materi (1971, h. 166).
Yakni, ideologi-ideologi berada dalam mode-mode yang berbeda (tindakan-tindakan, sikap-
sikap praktis, ucapan-ucapan, gestur, teks, dsb), ideologi-ideologi mengambil "kehidupan"
mereka dalam praktik-praktik teratur dari kelompok-kelompok tertentu, dalam imej-imej dan
obyek-obyek yang manusia gunakan dan mereka jadikan acuan, dan dalam cara-cara
mengorganisir, dalam cara-cara itu mereka datang bersamaan dan saling mempengaruhi.
Tindakan manusia mengacu pada apa yang mereka pikirkan dan percaya. Tindakan-tindakan
ini tidak dalam kesadaran; mereka ada dalam apa yang manusia lakukan, bagaimana mereka
menyisipkan diri mereka sendiri ke dalam kehidupan (dalam idiom yang bersifat sementara saat
ini, "life-style"). Karena ia ada dalam kehidupan --pembicaraan, tarian, mengendara, makan,
berpakaian, berhubungan sosial, berdoa, nonton TV-- pengetahuan dan kepercayaan itu terjadi,
bahwa mereka mengambil kehidupan, bahwa mereka "mendapatkan kehidupan".

Dalam essai yang sama, Althusser menegaskan ideologi-ideologi dominan, ideologi


dominan itu adalah pusat untuk pekerjaan-pekerjaan seluruh keteraturan sosial dan berkaitan
dengan sektor-sektor negara dan ekonomi. Dia memperhatikan bagaimana sekolah-sekolah,
gereja-gereja, pengadilan-pengadilan --aparat-aparat negara-- mereproduksi dirinya sendiri dan
relasi-relasi kapitalis atas produksi dan eksploitasi. Menyinggung surat Marx pada Ludwig
Kugelmann, dia menulis, "Setiap anak tahu bahwa formasi sosial yang tidak mereproduksi
kondisi-kondisi dari produksi di waktu yang sama seperti ia diproduksi tidak akan berakhir
setahun" (1917, h. 127). Itu adalah untuk mengatakan, fungsi ideologi dominan dalam melayani
status quo, menetapkan kelas-kelas dan institusi-institusi dalam tempat yang relatif sama,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 45

menampilkan fungsi-fungsi yang sama, dan menyesuaikan kondisi-kondisi berlangsung yang


sama. Untuk penyempurnaan ini, ideologi-ideologi harus diyakini oleh semua kelas atau
kelompok --oleh kelas-kelas berkuasa mereka sendiri dan yang eksistensinya mereka
eksploitasi atau, mungkin, mengabaikan belaka, bagaimanapun secara sistematis. Di sini, fitur-
fitur mistifikasi ideologi menjadi permainan: karena ideologi-ideologi kelas berkuasa
memistifikasi kelas-kelas berkuasa mereka sendiri dan apa yang mereka lakukan, sepertinya
saja mereka memistifikasi yang mereka eksplotasi:

Jadi ketika kita bicara mengenai fungsi kelas atas suatu ideologi ia harus dipahami
bahwa ideologi berkuasa benar-benar ideologi dari kelas berkuasa dan bahwa tidak
hanya dalam peraturannya melebihi kelas-kelas tereksploitasi, tapi dalam konstitusi
miliknya atas dirinya sebagai kelas berkuasa, dengan membuatnya menyepakati
relasi kehidupan antara dirinya dan dunianya sebagai riil dan benar.

(Althusser 1969, h. 235)

Teori ideologi sebagai mistifikasi-mistifikasi tersebut dalam kekuasaan


mengimplikasikan bahwa banyak manusia dalam posisi-posisi dominan bukanlah pengejek
alami atau bahkan terlatih dengan baik. Jika memang demikian, keberadaannya tidak
membutuhkan ideologi-ideologi --tidak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi-
eksploitasi yang mereka praktikkan. Yang lebih penting, stratifikasi sosial dan politik yang terus
menerus dalam masyarakat manusia, dan kehadiran terus menerus ideologi yang sangat
berkuasa, menunjukkan kebutuhannya pada penguasa dan peraturan yang timpang menjadi
sah --titik tekan Althusser dalam essainya "Marx and Humanism". Karena ideologi-ideologi
harus berfungsi bagi kedua kelompok ini dan menjadi dapat diterima pada kedua kelompok
mengenai "alasan-alasan" mengapa struktur kekuasaan dan keistimewaan begitu berat
sebelah, atau pada akhirnya adalah demikian dalam kehadiran susunan dari sesuatu. (Masa
depan selalu mengulurkan sebagai "tanah perjanjian"). Tidak mengherankan, ideologi-ideologi
ini adalah pembalut dalam apa yang Barrington Moore sebut "bahasa pertukaran" (1978, h.
507-9; cf. Eagleton 1991, h. 27-8), bahasa yang di belakangnya konsepsi-konsepsi populer
tentang keadilan dan ketidakadilan, kejujuran dan ketidakjujuran. Gagasan-gagasan ini
mengesahkan (secara literer, membuat adil dan pantas) ketidakadilan yang ada, sementara,
pada waktu yang sama, melangsungkan tanggung jawab bagi ketidakadilan ini jauh dari hal
tersebut dalam kekuasaan:

Raja-raja menyebut subyek-subyek mereka rakyat "Saya" atau rakyat "Kami". Apakah
penguasa pernah mengingkari bahwa dia memiliki kewajiban melayani dan menjaga
rakyat-rakyatnya? Imperialisme menemukan pembenarannya dalam beban dan
tanggung jawab kekuasaan untuk menciptakan divisi tenaga kerja yang lebih "efisien"
antara metropolitan dan area-area tak bebas. Umumnya, penguasa-penguasa dan
kelompok-kelompok dominan berbicara dalam istilah-istilah timbal balik (walaupun
Sosiologi Pengetahuan Baru | 46

mereka mungkin tidak menggunakan ungkapan) untuk menekan kontribusinya pada


unit-unit sosial yang mereka pimpin, dan untuk memuji kebaikan-kebaikan dan
kebutuhan-kebutuhan dari kerukunan hubungan sosial dalam hal tersebut.

(Moore 1978, h. 508)

Sementara beberapa tema-tema ini mengusung kemiripan yang amat dekat pada
penggunaan klasik konsep ideologi, apa yang membedakan laporan Althusser darinya adalah
gagasannya tentang bagaimana ideologi-ideologi dibentuk dan ditopang dan apa dampak-
dampak yang mereka miliki, misalnya: bagaimana divisi-divisi sosial diinstitusionalisir dalam
institusi sosial yang sangat penting seperti sekolah; bagaimana praktik-praktik institusi
pendidikan beroperasi "mengisi" manusia, melalui alat-alat "demokrasi", ke dalam relasi-relasi
kelas yang ada; dan bagaimana mitos sosial tentang "persamaan", "individu", "persamaan
kesempatan", dan "prestasi individu" dimasukkan dalam teks-teks dan praktik-praktik program
sekolah dan kebijakan-kebijakan nasional tentang pendidikan. Tanpa merendahkan tujuan-
tujuan "kebebasan" dan "persamaan" orang Amerika ataupun turunannya hanyalah untuk status
ideologi-ideologi belaka, poinnya adalah bahwa wajah ketidakadilan-ketidakadilan itu menandai
sekolah-sekolah Amerika., gagasan-gagasan demikian jelas ideologis. Menimbulkan
"kebebasan" dan "persamaan" dalam wajah "ketidakadilan-ketidakadilan keji" sekolah-sekolah
Amerika --mendesakkan bahwa perbedaan-perbedaan luas dalam sumber daya sekolah-
sekolah "negeri" miskin dan kaya adalah hasil dari kondisi-kondisi kebebasan ekonomi dan
politik yang berlaku, sistem keluarga-keluarga adalah tanggung jawab akhir bagi tempat dimana
mereka tinggal dan tempat dimana anak-anak sekolah –ikut-serta dalam penipuan-penipuan
kepentingan dan pembenaran-pembenaran karena kaum ideolog, apakah perorangan atau
"aparat-aparat" yang Althusser gambarkan, adalah terkenal (karena keburukannya). Dalam
buku Jonathan Kozol tentang ketidakadilan sekolah-sekolah Amerika, pengacara dan sarjana
John Coons menggambarkan bagaimana ideologi beroperasi demikian:

Tidak ada ancaman yang lebih genting pada sistem kapitalis daripada pergantian
putaran sekarang ini dari satu generasi yang paling layak dengan keturunan
bikinannya yang beruntung. Lebih buruk, ketika yang beruntung itu diajukan oleh
negara kepada anak-anak berhasil, kita bisa yakin bahwa perusahaan bebas menjual
hak asasinya.... Untuk mempertahankan sistem keuangan sekolah negeri sekarang
ini pada platform kebebasan politik atau ekonomi tidak kurang absurd daripada
menggambarkan ia sebagai egalitarian. Atas nama semua nilai dari perusahaan
bebas, sistem yang ada merupakan skandal.... Apakah demokrasi tidak dapat
membiarkan aristokrasi yang dilapisi dan dilindungi oleh negara dari kompetisi dari
bawah.

(Coons dalam Kozol 1991, h. 206-207)


Sosiologi Pengetahuan Baru | 47

Althusser mengartikulasikan tema tersendiri yang lain yang memiliki relevansi tertentu
pada ideologi-ideologi sekarang yang berfungsi melayani: ideologi-ideologi menghubungkan
manusia yang satu dengan yang lain, dengan dunia, terutama, dengan diri mereka sendiri.
Ideologi-ideologi, dia menjelaskan, adalah dihidupi --mereka "membuat ilusi pada realitas".
Ideologi-ideologi memberikan identitas-identitas. Karena apa yang Saya ketahui dan percaya
dan pikir bukanlah sekedar pengetahuan-pengetahuan atau kepercayaan-kepercayaan atau
pemikiran-pemikiran; mereka adalah apa yang Saya ketahui dan apa yang Saya percaya dan
apa yang Saya pikir. Mereka menuliskan dirinya sendiri dalam apa yang Saya lakukan, siapa
Saya --identitas saya.

Mungkin hal tersebut bisa digunakan untuk individualisasi contoh-contoh deskriptifnya


Althusser yang lebih umum (1971, h. 166-170) dalam cara yang menyertai. Jika seseorang
mempercayai Tuhan, dia pergi ke gereja atau pure atau majelis lokal. Dia berdoa dan bertemu
dengan orang lain yang seiman. Dia berbicara pada anak-anaknya tentang Tuhan serta
kebaikan dan iman. Ada kewajiban-kewajiban yang dia ketahui kebenarannya. Ini dilukiskan
dalam apa yang dia lakukan (dan yang tidak dilakukan) ketika orang tuanya atau anak-anaknya
sakit, dan dalam apa yang dia lakukan terhadap suaminya. Tindakan-tindakan ini diberi makna,
seperti dalam suatu komunitas atau majelis sembahyang, dalam perkawinan dan perkawanan,
dan dalam perasaan yang diikuti ungkapan (atau tanpa ungkapan). Tindakan-tindakannya juga
diberi makna dalam ucapan-ucapan pendeta dan politikus, dia mendengarkan tentang nilai-nilai
keluarga dan keibuan. Selanjutnya ada kekeluargaan, sosial, ritual-ritual keagamaan yang
menyertai ke dalam tindakan-tindakan ini, menyediakan peristiwa dimana bahkan gerak isyarat
tubuhnya pun mengungkapkan wewenang dalam satu kejadian, bergantung dalam yang lain.
Kemudian ada bentuk-bentuk dan tingkatan-tingkatan perasaan pada sikap-sikap dan gagasan-
gagasan. Dalam tiap-tiap cara tersebut gagasan seseorang adalah tindakan-tindakannya dan
perasaan-perasaannya dan gerak isyaratnya. Gagasan-gagasannya berada dalam tindakan-
tindakan; tindakan-tindakannya disisipkan ke dalam praktik-praktik; praktik-praktik diperintah
oleh ritual-ritual yang pilih untuk dijalani (Althusser 1971, h. 169).

Tiga hal ini --gagasan, praktik, ritual-- "dilukiskan" dalam "eksistensi materi aparat
ideologi, ia hanya bagian kecil aparat itu: misa kecil dalam gereja kecil, pemakaman,
pertandingan kecil pada klub orah raga, hari sekolah, partai politik, dsb." (h. 168). Salah satu
eksistensi materi mungkin terejawantah pada pemuda anggota pertemuan dua mingguan di
aula gereja, pada perempuan dari kelompok pembaca lesbi, atau pada permainan mingguan
baseball liga anak atau pertemuan pramuka. Dalam tiap tempat ini ideologi bekerja,
menghasilkan bentuk-bentuk subyektifitas, mengidentifikasi siapa kita, berkata pada kita "
bahwa kita benar-benar konkret, individu, dapat dibedakan dan (secara alami) subyek-subyek
yang tak tergantikan", menjadikan milikku nyata dan benar: semua ideologi memanggil atau
mengiterpelasi individu-individu konkret sebagai individu-individu konkret...." (h. 127-130).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 48

IDEOLOGI SEBAGAI PRAKTIK BUDAYA

Kita dapat menggambarkan peninggalan Althusser dan Foucault, meski mereka


berbeda, sebagaimana teori ideologi sebagai budaya; ideologi-ideologi bukan salah atau benar,
yakni, lebih atau kurang memadai representasi-representasi realitas; agaknya, ideologi-ideologi
memberikan kerangka kerja-kerangka kerja paling fundamental, melalui ideologi-ideologi itu
manusia menafsirkan pengalaman dan kondisi-kondisi "kehidupan" yang tersedia pada mereka.
Pun kerangka kerja yang secara pokok bersifat mental, bagi mereka eksis sebagai praktik-
praktik kehidupan kelompok tertentu, kelas, komunitas, dan seterusnya. Menurut Goran
Therborn, yang menawarkan salah satu penggunaan kontemporer ideologi yang paling luas,
ideologi-ideologi adalah fenomena diskursif dan meliputi "konstitusi dan tentang pola
bagaimana manusia hidup, mencerminkan pemrakarsa tindakan dalam struktur, dunia penuh
makna" (Therborn 1980, h. 15). Jadi ideologi-ideologi tidak mendistorsi, sesungguhnya mereka
mengintegrasikan, karena mereka adalah fenomena budaya --sistem-sistem representasi--
yang melayani pada aktor manusia untuk manusia yang lain dan dunia mereka. Ideologi-
ideologi membatasi kehidupan manusia, mengoperasikan seperti struktur kesadaran secara
luas yang mengungkapkan bagaimana kita sesungguhnya hidup dan bagaimana kita
membayangkan kita hidup. Ideologi-ideologi adalah "bagian organik dari setiap totalitas
sosial.... Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfer yang
sangat diperlukan bagi pernapasan sejarah dan kehidupan mereka" (Althusser 1969, h. 232).
Ideologi-ideologi beroperasi sebagai titik tolak argumen-argumen serta doktrin-doktrin dan
posisi-posisi, sebagai struktur-struktur atau kategori-kategori pikiran seperti "individu" atau
"keluarga" atau "perdagangan bebas" atau "pemilu". Kategori-kategori dan makna-makna
seperti ini tidak tinggal dalam "superstruktur" Marx tapi secara pokok, yakni, "datang sebelum
hal-hal obyektif dan gagasan-gagasan subyektif" (Harland 1987, h. 68).

Bahkan jika kita masih mendukung (dan Saya mendukung) muatan bahwa operasi-
operasi ideologi adalah budaya, yakni, mesti melakukan bersama operasi-operasi tanda,
makna, dan wacana, ideologi tentu saja lebih terbatas dalam dampak-dampaknya ketimbang
"budaya", bahkan sementara cakupannya diluaskan. Karena ideologi secara spesifik meliputi
keterkaitan antara makna-makna sosial dan kekuasaan. John B. Thompson menulis (1990, h.
7) "Ideologi.... adalah makna dalam pelayanan kekuasaan". Sesuatu yang lain mengikuti dari
teori ideologi sebagai integratif atau penuh makna: gagasan ideologi sebagai pelindung
identitas.6 Ideologi-ideologi "mesti cukup 'riil' untuk memberikan dasar pada individu-individu
sehingga dapat membuat identitas hubungan, mesti melengkapi beberapa kepadatan motivasi
bagi tindakan efektif, mesti membuat pada akhirnya beberapa percobaan lemah untuk
menjelaskan cara mereka sendiri kontradiksi-kontradiksi dan inkoherensi-inkoherensi yang lebih

6 Kalimat "pelindung identitas (guardian of identity)" secara asli dari psikolog Erik Erikson. Ricoeur (1986, h. 258-
259) berpendapat bahwa teori-teori interpretatif ideologi mengimplikasikan teori-teori identitas sebagaimana Saya
deskripsikan di sini.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 49

menyolok". Ideologi, Terry Eagleton berpendapat, "salah satu cara krusial, dalam cara itu
subyek manusia berupaya 'menjahit luka' kontradiksi-kontradiksi perpecahan yang ada dalam
keberadaannya, menyusunnya pada inti" (1991, h. 198). Tepatnya dalam pengertian ini
ditegaskan Althusser bahwa ideologi-ideologi tidak begitu banyak gagasan sebagaimana
mereka hidup. Ideologi-ideologi "tak pernah dapat menjadi instrumen murni". Ataupun relasi-
relasi antara ideologi berkuasa dan kelas berkuasa " sebuah relasi eksternal dan jelas atas
utilitas murni dan kelicikan". Karena ideologi-ideologi mensituasikan manusia, menipu mereka
dalam pelaporan dan pernyataan pembenaran-diri mereka sendiri tentang "kehidupan",
"kebebasan", "tanggung jawab", "kewanitaan", dan seterusnya: "suatu kelas yang
menggunakan ideologi adalah tawanannya juga" (Althusser 1969, h. 234-235).

Teori penting dari essai Althusser "....aparat-aparat negara ideologis" tidak diragukan
lagi sumbangsihnya mengenai ideologi-ideologi sebagai "praktik-praktik materi", gagasanya
dimuat dalam kalimat "ideologi-ideologi 'dihidupkan'". Lebih tepatnya, individu-individu "hidup
dalam ideologi misalnya, dalam determinasi (agama, etika, dll) representasi dunia" (Althusser
1971, h. 166). Karena rumusan ini secara efektif membuka cara kerja yang lain pada problem-
problem "budaya" dan "produksi" budaya serta "reproduksi" untuk menemukan teori yang
sesuai dengan "kecurigaan-kecurigaan totalitas" kontemporer (Clifford 1988, h. 273). Karena
pembaca kontemporer, terdapat sesuatu yang sangat benar dalam rumusan-rumusan
postrukturalis --teori sangat berkuasa secara mengherankan masih bersifat tentatif-- itu
membuat masyarakat sebagai "kesatuan" hanya dalam pengertian bahwa mereka secara
ideologis dibentuk, bukan terberi, hasil formasi-formasi diskursif yang berkuasa (Foucault).
"Masyarakat", jika mereka adalah sesuatu, ia adalah dampak dari beragam aparat ideologi
(Althusser) --sekolah, gereja, media massa, olah raga, dan seterusnya. "Totalitas" budaya dan
sosial menjadi subyek untuk "penjelasan", serupa kesusastraan dan teks-teks sejarah yang
telah dilalui. "Teks" menawarkan gagasan yang benar pada ilmu sosial baru yang dapat
membentuk dirinya sendiri. Warisan strukturalis, Stuart Hall menyatakan, adalah pengajuannya
pada pikiran manusia "sebagaimana dibicarakan oleh, dan juga berbicara, budaya mereka:
berbicara melalui kode-kode dan sistem-sistemnya" (1980, h. 30), suatu pendekatan yang
secara efektif membawa "budaya" dan "ideologi" pada aspek-aspek kehidupan sehari-hari.

Berbalik dengan beberapa titik pandang (misal, Eagleton 1991), sumbangsih mengenai
"budaya" dan "ideologi" sebagai fenomena sehari-hari tidak melemahkan pelaksanaan-
pelaksanaan mereka, ataupun terimplisit argumen bagi akhir ideologi. Agaknya, ia menuntun
pada pengertian tentang penemuan pelaksanaan seluruh kekuasaan sebuah "formasi sosial"
yang jauh lebih ekstensif dan kompleks (istilah Althusser) dari pada sebelum dibayangkan.
Lingkup ideologi diluaskan dan pelaksanaannya dimunculkan dalam lahan yang luas, situs-situs
berbeda dimana budaya diproduksi: teknologi komunikasi modern dan keadaan institusional
mereka, pusat kesenian, organisasi keilmuan dan laboratorium, sekolah, biro informasi
Sosiologi Pengetahuan Baru | 50

pemerintah, pengadilan, pers, dan wahana lain budaya pop. Jaringan kerja yang kompleks
sebagaimana ini membangkitkan dan menyalurkan bayangan-bayangan ideologi, representasi-
representasi, dan kategori-kategori. Ideologi-ideologi merupakan produk sederhana kelas
berkuasa, dampak kekuatan produksi.

Ideologi-ideologi, seperti semua praktik-praktik budaya, juga merupakan "daerah yang


relatif otonom", tidak dapat diperkecil lagi pada kelompok ekonomi dan "kekuatan produksi".
(Ini, kenyataannya, tidak murni "ekonomi" tapi formasi-formasi ekonomi, politik, ideologi, dan
praktik-praktik teori). Otonominya juga bermaksud bahwa praktik-praktik ideologi adalah
overdetermined --bahwa formasi-formasi tak pernah beroperasi sendirian tapi bercampur
dengan kekuatan dan elemen lain (Althusser 1969, Bagian III).7 "Budaya", Stuart Hall
menjelaskan, "secara sederhana merefleksikan praktik-praktik lain dalam dunia gagasan. Ia
sendiri sebuah praktik-praktik --praktik penandaan-- dan ia sendiri produk determinan: makna".
Bagi strukturalis dan postrukturalis, "tekanan untuk itu digeser dari isi substantif budaya
berbeda ke bentuk-bentuk susunan mereka --dari apa ke bagaimana sistem-sistem budaya"
(Hall 1980, h. 30). Gagasan mengenai keunggulan kekuatan ekonomi telah memberikan cara
pada pemahaman baru tentang kekuasaan representasi --tanda dan simbol. Teori materialis-
historis, kesadaran-diri mengenai kapitalisme borjuis (Sahlins 1976, h. 166), telah memberikan
cara dalam fase baru ini dari sejarah kapitalisme sampai aneka ragam studi budaya, fase
dimana bentuk-bentuk komoditi menjadi budaya, yakni, semiotik (Aronowitz 1990, h. xxv);
dimana pengetahuan, teknik, dan produksi simbol dan imej mendominasi pasar-pasar dan
kekuatan-kekuatan produksi; dimana komoditi melayani sebagai tanda dan pengangkut
mengenai pribadi dan realitas sosial. Dalam masyarakat ini, bahkan komunitas kita dipahami
sebagai imajinasi budaya (Anderson 1991). Diri dan tubuh, dipikirkan sebagai obyek-obyek
alami, dipikirkan sebagai proyek-proyek budaya (Giddens 1991). Dalam fase baru ini mengenai
sejarah modern dan disiplin akademi serta pengetahuannya --sebuah fase yang dibedakan oleh
keunggulan dan otonomi dari semua bentuk budaya--"ideologi" kehilangan pusatnya dalam
"kekuatan produksi".

Kita mungkin, kemudian, mengatakan pergeseran besar-besaran ideologi --suatu


peristiwa yang berhubungan dengan apa yang digambarkan di sini sebagai peranan dari
budaya dan jaringan kerja yang kompleks, dalam jaringan kerja itu kekuasaan dijalankan dari
situs-situs yang berjumlah banyak, adalah secara strategis diproduksi. Pemikiran kembali

7 Penerjemah Althusser, Ben Brewster, memberikan daftar kata-kata (glossary) dalam For Marx (1969) yang
memasukkan "overdetermination" sebagaimana digunakan Althusser. (Althusser juga memberikan respon singkat
pada penerjemah dan glossary itu). Brewster mengaku meminjam dari Freud untuk konsep tersebut. (Pengaruh
Lacan di sini dan di tempat lain dalam karya Althusser juga jelas). Teks representatif dari Freud mengenai konsep
"overdetermination" kelihatannya adalah "Aetiology of Hysteria" (Freud [1896] 1989, h. 108): tentang overdeterminasi
dari gejala-gejala histeris, Freud menulis "gagasan yang dipilih untuk produksi gejala-gejala adalah salah satu yang
disebut dengan sebuah kombinasi beberapa faktor dan yang dimunculkan dari beragam arahan secara terus
menerus". George Ritzer (dalam buku teks Teori Sosiologi 1992, New York, McGraw-Hill, h. 299) menyandangkan
penggunaan Althusser atas "overdetermination" pada penggunaannya dalam Lenin dan Mao. Masih ia lebih akurat
untuk berbicara tentang logika dan bukan konsep itu sendiri dalalm tulisan dari autor ini, sebagaimana jelas dalam
esai Althusser (1969, h. 97ff.).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 51

mengenai ideologi ini telah memaksa kita dengan "kejadian" itu dan teori (strukturalis dan
postrukturalis). Apa yang secara prinsipil tentangnya adalah bagaimana memikirkan ideologi
sebagai praktik budaya, yakni, sebagai dampak budaya dan bagaimana dampak itu
dihubungkan dengan institusi, kelompok, dan struktur tententu. Ketika memahami cara ini, ada
sesuatu yang sulit dimengerti tentang pelaksanaan ideologi, sesuatu yang "decentered" tentang
ideologi-sebagai-budaya (Hall 1992, h. 284). Masih secara tepat apa yang pemahaman
kontemporer ideologi sebutkan: penelitian kompleks pada hubungan-hubungan antara bentuk-
bentuk budaya (pengetahuan, imej, dsb.) dan institusi-institusi, "wacana" dan "aparat" yang
berada di dalamnya.

Cara kerja untuk memikirkan kembali ideologi, kita, setelah Foucault, mencoba
memikirkan kekuasaan secara berbeda: "Relasi-relasi kekuasaan tidak dalam posisi tidak lebih
unggul dengan tipe relasi lain (proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi sex), tapi imanen
dalam relasi yang disebut belakangan (Foucault 1980a, h. 94). Kekuasaan adalah
keserbaragaman relasi-relasi kuasa yang imanen dalam ruang tempat mereka beroperasi serta
relasi-relasi yang membangun organisasi mereka sendiri. Oleh karena itu (dan ini adalah
dimana refleksi ini dimulai), ilmu sosial memiliki ideologi sebagai pedangnya, standar
perlawanannya, pembenarannya bagi dirinya sendiri sebagai pengetahuan-setelah-keyakinan.
Ilmu sosial kini melihat dirinya sebagai konfigurasi kekuatan yang sama yang dibentuk oleh
lanskap modernitas dan modernitas lanjut. Ilmu sosial sendiri merupakan sebuah bentuk dan
kekuatan budaya. Ilmu pengetahuan sosial menggambarkan elemen-elemen mereka sendiri
mengenai deskripsinya.

"Carreral city"nya Foucault dalam Disipline and Punish, adalah deskripsi tentang
keteraturan sosial baru, sebuah "ekonomi kekuasaan baru" (1977, h. 307-308). Kota bukanlah
"pusat kekuasaan" atau bahkan "jaringan kerja kekuatan". Di tempat tersebut, Foucault
menawarkan kesan tentang "lipatan jaringan kerja dari elemen-elemen yang berbeda....suatu
penyaluran strategis elemen-elemen dari level dan sifat yang berbeda", tiap mekanisme
nampak terang, tapi tiap mekanisme memberikan bentuk baru tentang aturan yang
mengarahkan menentang pelanggaran-pelanggaran normal. Ini tidak sekedar "institusi represi",
walaupun ini beroperasi juga, tapi sebuah seri dari "carceral mecanism", "aturan strategi", dan
obyek-obyek wacana (kedokteran, sosiologi, psikiatri, dsb.). Ini adalah kerangka kerja material
baru --kompleks dan mengacaukan—tempat ideologi dirumahkan dan dalam kerangka kerja
material baru tersebut proyek dan harapan dari ilmu sosial terlibat mendalam.

Keunggulan pemikir strukturalis dan postrukturalis, terutama Althusser dan Foucault,


memikirkan kembali kekuasaan dan pelaksanaannya serta perwujudannya, salah satu ilmu
sosial yang membebaskan. Bagaimanapun perbedaan pandangannya mengenai keunggulan
teori Marx bagi modernitas lanjut, tiap penawaran untuk teori sosial merupakan sebuah visi
yang memecahkan batas-batas lokasi ideologi. Ideologi ditempatkan pula dalam keberadaan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 52

kolektif borjuis atau dalam strukturnya tentang kesehatan dan buruh. Ideologi membubarkan
seluruh "keteraturan sosial". Perhatian teoritisi sosial ini adalah sejarah dan eksistensi materi
dari ideologi, hubungan antara pengetahuan dan institusi, dan ragam bidang pengetahuan dan
praktik melalui kekuasaan yang diproduksi, terutama sekali wacana yang mengatur dan
mengonstruk apa pengetahuan, bagaimana sistem-sistem pikiran yang pasti dan tambatan-
tambatan institusinya (negara, universitas, kedokteran, sistem hukum, lahan ilmu, dsb.) --dan
bukan yang lain—dijadikan sebagai "pengetahuan". Teori-teori yang dihasilkan oleh kelompok
intelektual ini tak dapat dipungkiri adalah kompleks dan berbeda dan dengan tidak bermaksud
dapat mendamaikan dalam fitur-fitur pokoknya. Apa yang mereka berikan, masih, ilmu sosial
adalah gagasannya sendiri sebagai salah satu tubuh pengetahuan, teknik dan model wacana
yang mengonfigurasikan "subyek" modern dan "masyarakatnya", yang memiliki strategi disiplin
tentang pengamatan dan obyektifitas, sejalan dengan itu tentang kedokteran, demografi,
psikologi, dan pendidikan, secara relatif memberlakukan standar normal modern dan instrumen
ilmiah untuk mensubyekkan individu dan masyarakat pada studi.

Memberikan perubahan mendalam pada "pengangkut sosial"nya ideologi (Gouldner:


1970), apakah ada suara dan bahkan alasan-alasan mendesak bagi penggunaannya sebagai
konsep dan teori bagi analisa sosial? pertanyaan yang tak terelakkan ini adalah pembacaan
Althusser mengenai Marx yang dibawa pada kita, untuk suatu tempat juga disiapkan oleh kesan
lipatan Foucault tentang kekuasaan dan pelaksanaannya. Apakah ideologi memiliki masa
depan dalam dunia retaknya modernitas lanjut? Dapatkah ideologi berjalan pada semua,
dimana pandangan menyeluruh (dan menyesatkan) tentang kemanusiaan ditentang terus
menerus oleh gagasan yang berlaku dari budaya "berbeda" dan "yang lain (other)", dan dimana
semua keyakinan (dan teori) adalah lokal dan parsial (lihat misalnya, Seidman 1991; Lemert
1991)? Belum melintasi lanskap posmodern ini, kaum ideolog dan ideologi-ideologi masih
nampak tumbuh subur.

Dalam kaca mata sosial dan politik baru-baru ini, apakah tidak ada, sebagaimana
Eagleton amati, sesuatu yang absurd dalam dunia yang "diretakkan oleh konflik ideologis",
dimana gagasan ideologilah yang menguap tanpa bekas dari tulisan posmodernisme dan
postrukturalisme" (1991, h. ix)? Jika sekarang pertarungan ideologis nampak lebih lumrah dan
ideologi sefamiliar wajah pada berita sore, kita butuh mencari pelaksanaan-pelaksanaannya,
untuk mempelajari kembali (dan untuk mengajarkan) bagaimana menganggap bentuk-
bentuknya dan idiom-idiomnya, untuk melihat dengan cermat kepentingan-kepentingan politis
dan dampak-dampak yang mereka hasilkan.

Tak dapat disangkal, kita dapat segera menemukan pelaksanaan-pelaksanaan


ideologi dalam teori "kesadaran palsu", ataupun dalam penegasan atas pemisahan besar
antara ilmu dan ideologi. Ataupun terdapat keuntungan dalam gagasan tentang pengetahuan
benar dan salah; penggunaan ini menjadi momen historis yang hanya akan membekas dalam
Sosiologi Pengetahuan Baru | 53

memori kolektif kita. Saat ini kita masih dapat berbicara mengenai praktik-praktik ideologi tanpa
membuat klaim pararel bahwa yang lain (other) (sebagaimana diri kita sendiri) mendiami dalam
beberapa dunia yang hanya meletakkan kebenaran dan rasionalitas.

Kenyataannya, secara tipikal praktik-praktik ideologi menggunakan baju rasionalitas


atau ilmu, atau mereka menopengi diri mereka sendiri dalam politik praktis (argumen yang
dibuat oleh Gouldner 1976; Boudon 1989; dan Aronowitz 1988). Juga benar bahwa praktik-
praktik ideologi sekarang membagi strategi-strategi kekekalan --dogmatisme, penipuan, dan
mistifikasi-- yang dibongkar Marx dan praktik-praktik ideologi tersebut nampak pantas terhadap
perhatian kita: suara angkuh ideologi (kita mendengar mereka di manapun!) selalu otoritatif,
berkuasa pada kebenaran dan kesalahan tentang yang lain (other) sementara menukarkan
dirinya sebagai orang bijak atas humanitas dan kebaikan umum. Ideologi-ideologi masih
cenderung, sebagaimana Arendt (1968, h. 167) amati, "mengetahui misteri seluruh proses
historis", dan untuk memahamkan segala hal dan setiap orang pada tema-tema dan perspektif-
perspektif miliknya. Sekarang, ideologi mengganti ideologi dengan tekanan dan penyembunyian
sejarah dan kenyataan, strategi-strategi tekanan dan penyembunyian tersebut mengambil
logikanya sendiri; jadi klaim Gouldner (1976, h. 48) bahwa esensi analisa ideologi adalah
"refleksifitas terhalang" mengenai sejarah materi dan ide. Kelalaian ideologi, jika kita boleh
menyebut demikian, adalah strategi dan amnesia oportunistik yang memiliki kehendak
berkuasa yang ditorehkan pada setiap kata dan tindakannya.

Saya tidak sedang mengusulkan bahwa kita melanjutkan, seperti yang nenek moyang
kita lakukan, memimpikan dunia tanpa ideologi; agaknya bahwa kita memahami rasionalitas
ideologi, rasionalitas bahwa teori sosial dapat, Saya pikir, masih menyingkap, membawa
problematik, historisitas, dan perlawanan. Pengajuan ini memerlukan pembacaan Marx dalam
terang problematik saat ini. Ia adalah (sebagaimana konteks intelektual posmodern tertentu
telah mendesakkan menjadi) sebuah konsepsi sementara. Tapi, untuk memberi kata akhir
kepada Alhtusser-- "apa yang tidak bersifat sementara?" (1969, h. 258).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 54

BAB 3
STRUKTUR PENGETAHUAN
Tradisi Perancis

Usaha luar biasa Lévi Strauss.... muncul dalam status yang mana dia
menyelaraskan wacananya sendiri pada mitos.... wacananya pada mitos
mencerminkan dirinya sendiri dan masyarakatnya sendiri. Dan sekarang ini, periode
kritik, dengan terang memperhatikan semua bahasa yang membagi bidang dari
ilmu human.
(Jacqeus Derrida)

TINJAUAN DASAR

Penemuan "budaya" dalam ilmu sosial dan teori sosial mestinya tidak hanya
mentransformasikan dunia sosial penting kita di pertengahan abad ini, mestinya
mengintensifkan perubahan kesadaran kita tentang fenomena budaya --"globalisasi",
kemunculan masyarakat posindustri dan teknologi informasinya, pertumbuhan kesadaran
masyarakat dunia tentang sesuatu yang lain. "Berpaling pada budaya"8 merupakan respon
terhadap gerakan intelektual abad pertengahan dan akhir abad 20, utamanya ilmu linguistik dan
semiotik, yang dampaknya meluas pada jajaran kajian kesusastraan dan psikoanalisa, sosiologi
dan antropologi. Lebih dari tokoh lain yang bekerja dalam ilmu sosial, karya Claude Lévi
Staruss yang "antropologi struktural"nya diinspirasikan oleh linguistik struktural Ferdiand de
Saussure, memberi kekuatan pada kita untuk memikirkan kembali tentang operasi bahasa,
operasi simbol kolektif dan mitos.

Ia merupakan logika (logic) atau bentuk rasio (reason) strukturalisme yang menuntun
pemikiran kembali baru-baru ini dalam ilmu sosial tentang fitur-fitur linguistik terhadap semua
fenomena sosial; adalah Lévi Strauss yang karyanya mengajukan proposisi luar biasa bahwa
semua bentuk sosial mengikuti aturan bahasa --fenomena sosial dan budaya adalah
homologous.9 Tanpa menghiaraukan pijakan yang relatif dari proposisi tersebut, argumen
tersebut menyatakan bahwa semua fenomena sosial melayani sebagai bagian-bagian sistem
penandaan yang mengubah cara kita sekarang melihat masyarakat manusia.

Di dalam bab ini (seperti pada Bab 2 mengenai Marxisme dan Bab 4 mengenai
pragmatisme Amerika), tradisi sosiologi Perancis digambarkan sebagai organ vital penting bagi
sosiologi pengetahuan. Pandangan adalah mengenai kekuasaan dan kekuatan gagasan-
8 "Berpaling pada budaya (Cultural turn)" adalah istilah Roland Robertson (1992, Bab 2) yang memiliki penyembuhan
atas konsep budaya dalam ilmu sosial dan teori sosial telah mempengaruhi Saya, terutama sekali semenjak ia
diberitahukan oleh perspektif sosiologi pengetahuan. Sumbangsih prinsipil dari Robertson adalah implikasi-implikasi
teori-teori budaya terhadap "globalisasi", sebuah proses yang ia adalah salah satu untuk mengidentifikasi dan
membatasi sebagai sebuah persoalan, jika bukan suatu persoalan sosiologi budaya kontemporer.
9 Lévi-Strauss (1976, h. 622-663) menunjuk pada "identitas substansial" antara bahasa dan budaya: mereka adalah
homologous karena fenomena budaya memiliki sumbernya atau asal usulnya dalam bahasa. Ini bukan sesuatu yang
sama seperti klaim bahwa semua sistem penandaan seperti bahasa, dan merupakan, tentu saja, bahasa. Untuk
diskusi tentang "pendapat linguistik yang salah" ini, lihat diskusi Krampen (1979) dan Gottdiener (1985).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 55

gagasan kolektif dan sentimen-sentimen. Ia meluaskan pernyataan Emile Durkheim mengenai


bagaimana kesadaran kolektif diperoleh dari bentuk-bentuk organisasi sosial dan divisi tenaga
kerja serta bagaimana gagasan-gagasan kolektif merupakan representasi simbol dari
pengalaman sosial, untuk karya lain mengenai keunggulan kategori-kategori kolektif (Mauss,
Bloch, Granet, Lévi Strauss). Karya Lévi Strauss tidak hanya melanjutkan karya Durkheim tapi
juga menggantikannya, terutama dalam klaimnya bahwa selalu ada struktur lapisan dalam (atau
relasi-relasi tersembunyi) yang membawakan wilayah ketakteraturan dan ketakterhubungan
dari budaya yang teratur dan keterhubungan: budaya itu distruktur dan setiap bentuk sosial
adalah tanda yang potensial.

Bagi sosiologi, bahkan lebih jauh dampak jangkauannya adalah argumen Lévi Strauss
yang analisanya tentang mitos merupakan bagian tersendiri dari sistem mitos yang dia analisis.
Lévi Strauss menawarkan pada kita suatu pandangan atas peradaban manusia Barat dan
ilmunya (etnografi dan etnologi) sebagai proyek budaya (sekalipun rasional), membangun
dalam banyak cara yang sama bahwa "kebiadaban" membangun dunia mereka --melalui sistem
klasifikasi yang menegakkan keberbedaan (difference) dan keberlainan (otherness).
Pengetahuan Barat mengungkapkan, penafsiran, pengomunikasian, dan mereka melakukan
secara sangat mendasar melalui keberbedaan dan kerberlawanan (oposisi) (Lévi Strauss
1966a, h. 268). Mereka menganggap wajar terhadap semua sistem mitos. Strukturalisme
adalah sebuah etnografi mengenai semua tentang kita.

STRUKTURALISME: DARI DURKHEIM SAMPAI LÉVI STRAUSS

Durkheim adalah strukturalis pertama yang menganggap bahwa agama --paling primitif
dari semua fenomena sosial-- memberikan kunci untuk membuka gembok semua aktifitas
kolektif yang lain: hukum, moralitas, seni, ilmu, dan seterusnya. Tentu saja, semua kehidupan
sosial, dia berpendapat, dapat dijelaskan "tidak dengan konsepsi dari orang yang berpartisipasi
di dalamnya, tapi sebab-sebab yang mengitarinya yang luput dari kesadaran mereka", terutama
dampak-dampak kekuasaan mengenai representasi-representasi dan simbol-simbol kolektif
dalam penciptaan masyarakat (Durkheim [1897] 1982, h. 171-3). Sementara dia
mengatributkan hal penting secara khusus terhadap dunia ekonomi dan dampaknya serta
terhadap cara-cara manusia mengorganisir dirinya ke dalam kelompok, posisinya, terutama
pada tulisan The Rules of Sociological Method dan setelahnya, "Berlebihannya agama" (Lukes
1972, h. 233): agama merupakan "sistem simbol dengan maksud agar masyarakat menyadari
dirinya (Durkheim [1897] 1951, h. 312); agama adalah sumber semua bentuk pikiran; dan
kehidupan yang jejaknya pada filsafat alam, termasuk salah satunya ilmu. Lebih lanjut,
Durkheim berpendapat bahwa gagasan atau representasi kolektif --beragam cara menusia
menghadirkan kembali pengalaman kolektif mereka tentang kehidupan pada umumnya--
mengambil fungsi otonom dalam relasi terhadap kelompoknya sendiri ([1914] 1983, h. 85);
Sosiologi Pengetahuan Baru | 56

kehidupan komunal sendiri "mensyaratkan gagasan umum". Dan sementara ia adalah


eksistensi kolektif dan gagasan-gagasan serta representasi-representasi yang dihasilkan dari
eksistensi tersebut yang menjadi kebenaran yang gamblang bagi siapa yang menempatinya,
"dalam analisis akhir, ia merupakan pikiran yang menciptakan realitas". Penciptaan paling
unggul dari pikiran adalah masyarakat itu sendiri ([1914] 1983, h. 85).

Kualitas strukturalis terhadap pikiran Durkhein juga ditemukakn dalam argumennya,


dengan sadar menyusun penentangan teori filosof pragmatis Amerika (Durkheim [1914] 1983),
representasi itu adalah prestasi kolektif. Ia tepatnya adalah sumber kolektifnya yang
memberikan kekuatan pada gagasan ini, kebenaran mereka, dan ketampakan obyektifnya. Dia
menggambarkan kehidupan sosial "sebagai ibu dan pelayan abadi tentang pemikiran moral dan
pikiran logis, tentang ilmu serta keyakinan" (Lévi Strauss 1945, h. 530).

Ketekunan dan kekuatan kategori-kategori kolektif mengalir melalui semua penelitian


Durkheim. Bahkan dalam risalah positivis awal The DIvision of Labor in Society, merupakan
gagasan kolektif individu, sebuah produk perkembangan sosial, yang mengungkapkan
hubungan pasar terhadap ekonomi industri baru dan kemampuan dasar-dasar moralnya yang
berubah-ubah. Individualisme merupakan susunan moral, tentu saja, gagasan keagamaan:
seperti semua kepercayaan lain, "individualisme moral", memperoleh kekuatannya dari
masyarakat ([1893] 1933, bab 5).

Tema unggul atas simbol dan imaji kolektif adalah, tentu, lebih tua dari Durkheim, dan
silsilahnya "Perancis" tentunya. Tentu saja, kajian operasi-operasi mental (mentalités), terutama
sekali "tempat tinggal linguistik" serta perwujudan kolektif mereka, dikenal dengan tokoh utama
dari sejarah intelektual Perancis modern dan sumbangsih pada bidang yang berbeda tentang
ilmu human (les Sciences de l'homme). Perhatian filosofis dan moral dari perumus-perumus
awal, Condorcet, Montesquieu, Rousseau, dan Comte, dituangkan kembali oleh Durkheim ke
dalam istilah-istilah ilmu sosial. Program Durkheim atas suguhan simbol dan imaji sebagai
fenomena sosial --seperti obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa dalam alam-- dan usulannya
bahwa sosiologi menjadi "obyektif, spesifik, dan metodis" ([1901] 1982, h. 35) diteruskan oleh
tulisan Marcel Granet tentang bahasa dan budaya Cina, Lucien Levy-Bruhl tentang kesadaran
primitif, Maurice Halbwachs tentang memori kolektif, dan Marcel Mauss tentang klasifikasi dan
kategori-kategori sosial. Mauss ([1938] 1979, h. 22) menggambarkan simbol kolektif seperti
"sebuah permohonan jin" yang memiliki "kehidupannya sendiri; ia berindak dan mereproduksi
dirinya sendiri untuk jangka waktu yang tak terbatas". Durkheim berpendapat bahwa
representasi kolektif masyarakat begitu fundamental bagi pemikiran bahwa kategori-kategori
logis kita mengenai ruang dan waktu, misal, diperoleh secara sosial, hubungan tertutup dengan
keberhubungan organisasi sosial" (Durkheim dan Mauss 1963, h. 88).

Kemudian, terdapat kecenderungan Perancis pada penggambaran pelaksanaan


bahasa dan simbolisme kolektif. Karenanya, seseorang dapat mengamati dalam pendapat
Sosiologi Pengetahuan Baru | 57

Durkheim atau perhatian "metodologi" yang mengantisipasi hal tersebut atas struturalisme
kontemporer Lévi Strauss, Jacques Lacan, dan Roland Barthes. Misalnya, risalah Durkheim
yang kemudian The Elementary Forms of the Religious Life menggunakan mode rasio untuk
fenomena agama (ritual, tuhan, ikonografi, dsb.) adalah benar sejauh mereka mengungkapkan
kondisi sosial yang menghasilkan mereka. Seseorang mesti tahu, pikiran-pikiran Durkheim,
bagaimana membosankan berada di bawah "simbol [keagamaan] kepada realitas yang ia
representasikan dan realitas tersebut memberikan maknanya" (1915, h. 2), mencari asal usul
kategori sosial dalam bentuk-bentuk kehidupan sosialnya sendiri. Pengertian Durkheim
bukanlah bahwa mitos dan kategori sosial itu ditempatkan dalam wilayah pokok yang tunggal,
sebagaimana Marx berpendapat tentang keunggulan dari "kehidupan materi", tapi bahasa itu,
terutama mitos kolektif yang sangat kuat atas manusia, digunakan untuk memahami
pelaksanaan fenomena sosial yang beragam dan berbeda --sistem keluarga dan
perkawinannya, dan seterusnya-- yang mengarakteristikkan kelompok sosial atau masyarakat.
Pikiran strukturalisme (dapat diakui, tapi tidak ditopang dalam tulisan Durkheim) adalah bahwa
semua bentuk dan aktifitas sosial mengikuti "susunan yang sama dari aturan-aturan abstrak
yang mendefinisikan dan mengatur apa yang kita pikirkan tentang bahasa secara normal" (Lane
1970, h. 14). Essai sur le don (essai tentang sikap) Mauss 1924, Lévi Strauss ([1950] 1968)
mengatakan pada kita, proposisi strukturalis yang maju bahwa relasi-relasi kekeluargaan,
relasi-relasi pertukaran ekonomi, dan relasi-relasi linguistik adalah keteraturan yang sama,
dengan demikian membuka cara bagi teori linguistik untuk menerapkan pada dunia fakta-fakta
sosial dan terhadap penelitian kepada bangunan dasar hukum-hukum, dengan penerapan
tersebut "tanda" mendapatkan maknanya.

Dalam "pendahuluan"nya yang luas bagi metode-metode strukturalis dalam disiplin-


disiplin yang sama berbedanya dengan kritisisme sastra dan matematika, Michael Lane (1970,
h. 14) mengamati bagaimana kaum strukturalis menerapkan teori linguistik terhadap obyek-
obyek dan aktifitas-aktifitas diluar bahasa itu sendiri.

Dalam upaya mengurangi kebingungan terminologi maka kata "kode" kadang


digunakan, dikemukakan oleh Roland Barthes, untuk mencakup semua tipe sosial
yang menjalankan sistem-sistem komunikasi. Semua kode sosial ini memiliki,
sebagaimana bahasa-bahasa alami, leksikon atau "kosa kata". Jika kita mengambil
contoh kode kekeluargaan dan perkawinan, sebagaimana Lévi Strauss lakukan
dalam bukunya yang pertama (....Elementary Structures of Kinship), kita melihat
bahwa semua anggota masyarakat yang berada dalam relasi kekeluargaan (atau
relasi-relasi kekeluargaan) terhadap aggota yang lain membentuk leksikon, atau
perbendaharaan lagu (repertory), tentang istilah-istilah yang diperbolehkan. Aturan
tentang siapa yang boleh, dan siapa yang tidak, menikahi siapa, membentuk
syntak atau grammar, yang menentukan apakah elemen-elemen mungkin
Sosiologi Pengetahuan Baru | 58

terlegitimasi (atau "bermakna") menguntai bersama. Roland Barthes berusaha


serupa (dalam Système de la mode) membentuk leksikon dan syntak atas busana.

Beberapa dan semua bentuk budaya dapat, secara mendasar, menjadi subyek bagi
analisa strukturalis, dalam pengertian bahwa "teks", "bahasa", dan "mitos" secara luas dan tak
terduga diterapkan pada "bahasa-bahasa ekstra-linguistik" (istilah Sontag, 1968) --misalnya,
terhadap totemisme, praktik-praktik kekeluargaan dan masakan, kategori-kategori makanan
(Lévi Strauss), atau terhadap busana, pertunjukan gulat, atau bahkan makna-makna memakan
steak atau menggunakan detergen (Barthes). Dengan demikian, mitos tidaklah deskriptif tapi
melayani sebagai "model-model deskripsi (atau pemikiran) --menurut rumusan tehnik-tehnik
logika Lévi Strauss untuk pemecahan antinomi-antinomi dasar dalam pikiran dan eksistensi
sosial" (Sontag 1968, h. xx). "Mitos" Lévi Strauss, katakanlah, atau "kode" Barthes melayani
sebagai tehnik-tehnik untuk penggalian di bawah persepsi biasa tentang sesuatu dimana ragam
bentuk sosial menjadi sesuatu untuk berpikir serta (Darnton 1984): mereka dapat memerinci
terhadap logika-logika pokok mereka, dan cara-cara mereka tentang pengorganisasian, dan
pengklasifikasian realitas yang dinyatakan. Metode-metode strukturalis didasarkan pada pikiran
bahwa manusia menggunakan apapun yang tersedia bagi mereka --kisah, film, busana, olah
raga, makanan-- untuk membawakan dunia mereka dan makna diri mereka serta untuk
mengomunikasikan pesan-pesan penting. Didasarkan pada premis aspek-aspek komunikasi
tentang sesuatu, strukturalis menggunakan totem-totem dan cerita dongeng atau mitos tentang
perang atau tentang perempuan untuk memeriksa apa yang sesuatu (les choses) tersebut
komunikasikan dan tandakan (misalnya, Apa logika-logika mitos, aturan-aturan perkawinan,
sistem-sistem keluarga, totem-totem, dsb.?). "Sesuatu" tersebut, sebagaimana Durkheim
menggambarkan dunia "fakta-fakta sosial" ([1901] 1982) digunakan untuk menampakkan
"realitas yang lebih dalam" dari masyarakat --rasio (esprit) yang mengoperasikan ketaksadaran
dan yang mendasari semua fenomena sosial.10 "Sistem-sistem kerkawinan dan sistem-sistem
mitos adalah tentang komunikasi yang pantas", pengamatan James Bonn,

sejenis etik dan estetik yang bekombinasi --menstabilkan perlawanan beberapa


ancaman dan risiko. Ancaman hebat yang melawan komunikasi teratur adalah non-
sirkulasi (incest dalam dunia pertukaran sosial; diam atau tanpa-pertanyaan dan
tanpa-jawaban dalam dunia bahasa).

(1985, h. 165)

Strukturalisme "merupakan metode yang perhatian utamanya adalah membolehkan


penyelidik untuk melampaui deskripsi murni dari apa yang dia persepsi dan alami (le vécu)"
(Lane 1970, h. 31). Perkara itu di sini akan menjadi bahwa metode strukturalis memungkiri
keasyikan (posmodern) abad 20 akhir dengan bahasa dan komunikasi. Bagaimanapun,
10 Michael Lane (1970, h. 436, n. 54) menggambarkan pelaksanaan kesadaran ini atas reason (esprit),
menunjukkan bahwa esprit biasanya diterjemahkan sebagai "mind" (pikiran) oleh Jacobson dan Schoepf. Ia
menerjemahkannya sebagai "reason" untuk membawa "perbedaan Cartesian sedikit lebih baik".
Sosiologi Pengetahuan Baru | 59

penyelidikan strukturalis juga berpatisipasi dalam kecenderungan modern untuk "kecewa": dari
argumen Durkheim (juga Freud) bahwa pemikiran rasional dibangun pada operasi-operasi
ketaksadaran, sampai pencarian Lévi Strauss terhadap "makna" pada level di bawah
permukaan rasional sadar.

Marxisme, geologi, dan psikoanalisis, trois maîtresses karya Lévi Strauss mengacu
pada mereka (Marx, geologi, Freud), menginstruksikannya dalam deskripsi dari yang tampak.
Ketiganya memperlihatkan bahwa pemahaman konsis dalam mereduksi satu tipe realitas
kepada yang lain; bahwa realitas yang benar tidak pernah paling nyata; dan bahwa alamiah
kebenaran sudah dinyatakan oleh perhatian yang ia bawa kepada hal yang tetap sukar untuk
dipahami" (Lévi Strauss [1955] 1977, h. 50). Realitas psikologis, sosial, fisika mengalir dari
mata air umum. Sumber ini, di waktu yang sama, "mengairi" dunia permukaan, memberikan
kepadanya kedapatdimengertian.

Bentuk-bentuk sosial menyoroti mata pengamat seperti pemandangan, kelihatan


seperti "chaos berlebihan" tentang keberlainan, elemen-elemen yang tidak tersambung;
bagaimanapun, ketika seseorang mengetahui sejarah geologi tanah lapang, "kehidupan
taksadar"nya jika kita boleh menyebutnya begitu, induk-makna muncul, dari induk-makna itu
elemen-elemen ada tapi transposisi parsial atau terdistorsi (Lévi Strauss [1955] 1977, h. 48).
Dalam dua perkara, yakni psikoanalisa dan geologi, melihat adalah bukan mempercayai atau
benar-benar melihat, karena obyek dari keduanya adalah buram:

Dalam dua perkara, peneliti, memulai dengan, menemukan wajahnya sendiri


serupa fenomena yang tak dapat dimasuki: dalam perintah untuk mengambil
persediaan, dan mengukur, elemen-elemen dari situasi yang rumit, kita mesti
memperlihatkan kualitas-kualitas yang tak kentara, seperti sensitifitas, intuisi, rasa.
Dan masih, perintah yang selanjutnya pengantarkan kepada massa tak terikat yang
bukan gerombolan atau arbitrer. Tidak seperti sejarah dari sejarawan, bahwa
geolog sama dengan sejarah psikoanalis mencoba memproyeksian dalam waktu
--cukup dalam hal tabel kehidupan (tableau vivant) beberapa karakter dasar dari
alam fisik dan mental.

(Lévi Strauss [1955] 1977, h. 49)

Di dalam dunia fenomena sosial, Lévi Strauss mengaku telah belajar dari Marx. Ilmu
sosial kurang didasarkan "pada kejadian-kejadian dibanding fisika yang didasarkan pada data"
([1955] 1977, h. 50). Agaknya, maksudnya adalah untuk membangun model-model teori
menjadi rigorous (kaku), dari model-model tersebut kesimpulan-kesimpulan dapat membentuk
penafsiran fenomena empiris. Dalam Antropologi Struktural, Marx secara eksplisit dinyatakan
sebagai nabinya strukturalisme, yang berusaha keras membongkar sistem-sistem simbol yang
mendasari keterkaitan bahasa dan manusia dengan alam" (Lévi Strauss 1963, h. 95).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 60

Sistem bahasa

Lévi Strauss mengaku berhutang pada ilmu linguistik abad 20 (ini juga fitur pendekatan
stukturalis dalam literatur dan psikoanalisa), metode-metode tertentu memusatkan seputar
persoalan tanda sebagaimana dikembangkan oleh ketiga sumber berikut: pertama dan yang
paling penting, karya Ferdinand Saussure, ceramah kuliahnya dilaporkan antara 1906 dan 1911
dan pertama diterbitkan pada 1959 dengan judul Course of General Linguistics; kedua, karya
Formalis Rusia, terutama linguis struktural Roman Jakobson; ketiga, karya Lingkar Linguistik
Praha (dan pendekatan "fonologikal"nya pada bahasa) pada tahun 1926 sampai 1939.

Karya Saussure, terutama pandangannya tentang bahasa (la langue) sebagai


fenomena kolektif dan institusi sosial yang terikat dan teratur –obyek regulasi-diri penelitian dari
ujaran (la parole)-- membuka seluruh gerakan intelektual yang coba memeriksa bagaimana
struktur ini atau sistem bahasa beroperasi. Gagasan bahasa sebagai sistem tanda merupakan
gagasan utama Saussure.

Dalam istilah yang paling umum, strukturalisme mengambil studi elemen-elemen


bahasa (atau tanda) sebagai proyeknya, berpendapat bahwa elemen-elemen atau tanda-tanda
tersebut mengambil nilai atau maknanya dari relasinya terhadap tanda-tanda yang lain. Bahasa
--perbedaan ujaran (speech) terbukti penting tidak hanya karena ia memaksudkan bahwa
bahasa (la langue) beroperasi sebagai suatu sistem, tapi juga karena ia membuka sebuah
bentuk rasio melalui individu yang berlainan mengenai "bahasa" atau kode, seperti mitos, dapat
digunakan untuk menyingkap logika yang mendasari seluruh sistem (mitos). Karena
sebagaimana melalui ujaran (speech) seseorang memperoleh akses pada struktur yang
mendasari bahasa "struktur-struktur yang kelihatan" dari jenis-jenis lain (mitos, psikologis,
literer) menyediakan pintu masuk kepada kajian struktur-struktur yang mendasari atau bidang-
bidang total atau sistem-sistem komunikasi (Poole 1969, h. 10-11). Untuk meletakkan hal lain,
pelaksanaan sistem keluarga atau totem (seperti dengan "bahasa-bahasa" lain) mengikuti
aturan-aturan sistaksis tentang oposisi dan interdependensi serta menyingkap "pesan-pesan"
atau bentuk-bentuk komunikasi yang mengambil tempat diantara kelompok-kelompok sosial
(Benoist 1978, h. 4).

Bagi Lévi Strauss (1963, h. 20), linguistik struktural, memasukkan petunjuk fonologi
dan analisis fonetik, merombak ilmu linguistik (dan antropologi di waktu yang sama). Elemen-
elemen linguistik yang dianalisis adalah tanda-tanda (kata) tapi minimal kesatuan bunyi, fonem-
fenem, yang ada di level terdalam dari ujaran manusia; ini merupakan infrastrutur ketaksadaran
bahasa.

Menurut model linguistik Sekolah Praha, sebagaimana dikembangkan Jakobson,


semua sistem fonetik digambarkan dalam istilah-istilah dari perangkat tunggal dan kecil dari
Sosiologi Pengetahuan Baru | 61

dua belas atau lebih jenis oposisi biner.11 Segala sesuatu yang lain adalah elaborasi dan
kombinasi, mencerminkan struktur ketaksadaran pada setiap level realitas. Hukum-hukum
linguistik merumuskan relasi-relasi yang perlu, menggambarkan struktur fundamental dari
bahasa; melalui bahasa, yang hidup berdampingan dengan kebudayaan manusia dan yang
menjadi mode simbolisasi utama manusia, seseorang bisa melihat kepada struktur kesadaran
manusia yang paling dalam. Linguistik modern, kemudian, memberikan Lévi Strauss peralatan
ilmu bagi kemunculan liang-bawah ketaksadaran, tanpa terkecuali, struktur universal kesadaran
manusia. Kini hal tersebut bagi Lévi Strauss hanya untuk mengubah urutan model linguistik
kepada beberapa produk budaya manusia (apakah sistem keluarga, masakan, atau mitos).
Dalam perkara aturan perkawinan dan sistem keluarga, misalnya, seseorang dapat mengamati
tipe-tipe komunikasi yang berjalan:

Bahwa faktor mediasi, dalam kasus ini, mungkin perempuan dari suatu kelompok
yang disebarkan diantara klan-klan, keturunan-keturunan, keluarga-keluarga, dan
dalam kasus lain, kata-kata suatu kelompok yang disebarkan diantara individu-
individu, tidak semuanya mengubah fakta bahwa aspek esensial dari fenomena
adalah identik dalam dua kasus tersebut.

(Lévi Strauss 1963, h. 61)

"Identitas" dari praktik dan ungkapan sosial, dalam contoh ini, didapatkan dari fakta
bahwa "kumpulan penampilan, linguistik dan sosial, diregulasikan oleh kode-kode atau hukum
yang mendasarinya; dan dalam kenyataan bahwa mereka diregulasikan oleh matriks sistaksis"
(Benoist 1978, h. 66).

Fokus struktralisme pada "struktur-struktur" memberikan prioritas pada seluruhnya


melebihi bagian-bagiannya12: "sistem kesalingterhubungan di antara semua aspek kehidupan
sosial menjalankan bagian yang lebih penting dalam penyebaran budaya ketimbang satu aspek
terpisah yang betul-betul dipertimbangkan" (Lévi Strauss 1963, h. 358). Menurut logika linguistik
ini, bahasa adalah sistem tanda "dengan kesinkronan" yang disengaja, yakni, sebagai sistem
total pada titik yang diberikan dalam waktu, dan bukan elemen-elemen, tapi yang disengaja,
terutama jaringan kerja relasi-relasi yang mempersatukan elemen-elemen itu. Makna atau
pengertian elemen-elemen diperoleh hanya dari studi kesalingterkaitannya (interelasi), dan
tentang lokasi elemen di dalam suatu kumpulan. Atau nilai dari tanda linguistik bergantung pada
relasinya terhadap kosa kata keseluruhan. Menurut logika ini, Lévi Strauss berpendapat bahwa
banyak dan bermacam-macam mitos perburuhan dan penciptaan, suku amazon dan Amerika
Utara, bentuk kesatuan sistem ("kosa kata"), dan bahwa semua varian mitos ini secara aktual
merupakan kesatuan pola--"bahwa sejumlah hikayat yang berelasi adalah kumpulan kehidupan,
11 Lihat Claude Lévi-Strauss_ dari Edmund Leach, h. 23-27, untuk sebuah pameran model; dan diskusi Scheffler
(1976) mengenai sekolah Praha dalam linguistik struktural modern. Lévi-Strauss sendiri memberikan aplikasi grafik
model dalam sebuah percobaan untuk mengenalisis masakan. Lihat "The Culinary Triangle" (1966b).
12 "Struktur" dapat didefinisikan sebagai "seperangkat elemen-elemen antara yang mana, atau antara sub perangkat
tertentu dari yang mana, relasi-relasi didefinisikan" (Lane 1970, h. 24).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 62

suatu kode reinterpretasi budaya, dalam hikayat tersebut elemen-elemen tunggal


dikelompokkan tapi tidak dihilangkan" (Steiner 1967, h. 248). Dalam "The Structural Study of
Myth" Lévi Strauss, dia mengingatkan pada kita bahwa varian-varian dari mitos perlu
dipertimbangkan demi keberhasilan analisis; jika, misalnya, seseorang mengkaji mitos Oedipus,
interpretasi Freud akan termasuk sebagai varian dari kumpulan itu (Lévi Strauss 1963, h. 217).
Jadi pengkodean mengenai kode-kode mitos adalah "mitos atas mitologi" sendiri ([1962] 1969,
h. 12).

Analisis mitos Lévi Strauss bekerja dengan cara dari model linguistiknya. Mitos, bagian
dari ucapan (speech) manusia, adalah bahasa (la langue) dan lebih daripada bahasa. Meliputi
elemen-elemen ucapan (la parole), mitos mengejawantahkan keunikannya pada tiga level.
Mitos mencakup "sisi struktural dari bahasa" (la langue) dan aspek-aspek "statistiknya" (la
parole) (Lévi Strauss 1963, h. 209-10). Dikenal dalam istilah sinkronik dan diakronik, waktu
mitos adalah waktu yang dapat dibalik (termasuk la langue) dan yang tak dapat dibalik
(termasuk la parole): "mitos selalu mengacu pada kejadian-kejadian yang dinyatakan pada
waktu lampau. Tapi apa yang memberikan mitos suatu nilai operasional adalah bahwa pola-
pola spesifik digambarkan tanpa batas waktu: ia menjelaskan masa kini dan masa lalu dan
juga masa depan" (1963, h. 209). Ia kelihatan bahwa ia adalah acuan diakronik dari mitos
(naratif) yang menyediakan matriks makna bagi Lévi Strauss, unit-unit konstitutif dari mitos
--"mythemes". Mythemes, seperti fonem-fonem, bukanlah relasi yang terisolir tapi "buntelan
relasi-relasi serupa" (1963, h. 211), yang bisa dikelompokkan pada poros sinkronik mengenai
perbedaan dan oposisi. Ini adalah susunan akhir yang memperkenankan mythemes dibaca
sebagai rantai relasi-relasi yang tak berujung pangkal kepada mythemes lain dan mitos lain.
Apa akhir makna dari semua matriks makna ini? Dalam The Raw and the Cooked, "makna
akhir" dari pikiran mitologis:

Mitos-mitos menandakan pikiran yang menyusunnya dengan menggunakan dunia


yang ia sendiri merupakan bagian dari dunia itu. Kemudian ada produksi
berkelanjutan dari mitos itu sendiri, dengan pikiran yang menghasilkannya, dengan
mitos-mitos, atas bayangan dunia yang sudah melekat dalam stuktur pikiran...
Dengan mengambil materi telanjang dari alam, pikiran yang bersifat mitos bekerja
dalam cara yang sama seperti bahasa, yang memilih fonem-fonem diantara suara-
suara alami dari jajaran tak terbatas yang secara praktis ditemukan dalam celoteh
kanak-kanak... materi adalah instrumen makna, bukan obyeknya. Untuk
menjalankan ini, ia mesti sedikit demi sedikit. Hanya beberapa dari elemen-
elemennya yang ditahan --hal itu sesuai ungkapan keberlawanan atau sepasang
bentuk oposisi.

(Lévi Strauss [1964] 1969, h. 341)


Sosiologi Pengetahuan Baru | 63

MITOS DAN PIKIRAN: PANDANGAN BARU TENTANG BUDAYA

Lintasan sulit Lévi Strauss di atas memuat sejumlah pernyataan-pernyataan yang


mengejutkan --secara revolusioner, secara aktual, dengan respek terhadap upaya keras dari
ilmu sosial dan obyek-obyek studinya. Karena refleksi Lévi Strauss tentang "makna akhir" dari
pikiran metodologis adalah juga refleksi tentang statusnya sebagai pengetahuan. Sama seperti
pada Totemisme ([1962] 1969), Lévi Strauss mengajukan pernyataan--dengan demikian
menggantikan Elementary Form (1915) milik Durkheim--bahwa proyek ilmu human, misalnya
wacana rasional Barat, hanya salah satu variasi dalam seluruh bidang pengetahuan manusia.
Lebih lanjut (ia juga mereposisi sepenuhnya sosiologi pengetahuan), wacana studi antropologis
sendiri tentang mitos (mitologi-mitologinya) diperlakukan sebagai sistem penandaan yang ada
berdampingan dan di dalam sistem-sistem mistis yang lain.

Tamasya singkat kepada teks Totemisme Lévi Strauss menyingkapnya sebagai karya
yang menandakan permulaan ekspansi Strukturalisme di Perancis dan menyediakan sebagai
pengantar pada The Savage Mind (1966a). Sistem-sistem dan praktik-praktik totem, yang bagi
Durkheim (dan bagi McLennan, Frazer, Robertson Smith, Tylor, dan Malinowski) sesuatu yang
substantif yang membutuhkan penjelasan, yang didekati (oleh Lévi Strauss) sebagai sistem-
sistem penandaan dalam kebutuhan interpretasi. Sistem-sistem totem secara historis dan sosial
bukanlah fenomena yang jelas, sesungguhnya mereka adalah sistem-sistem yang mengatakan
pada kita bagaimana semua pikiran manusia mengategorikan dan mengomunikasikan. Dalam
lintasan yang disebutkan di atas (lihat h. 54-5) dari The Raw and the Cooked, mitos-mitos totem
--seperti pada semua mitos--"menandakan pikiran-pikiran yang menyusun mereka". Mitos-mitos
(dan totem-totem) memperlihatkan pada kita bagaimana pikiran-pikiran mengambil dari alam
dan bagaimana (sebagaimana dalam kasus bahasa) kategori-kategori yang pikiran-pikiran
uraikan (bahan mentah/masakan, laki-laki/perempuan, kehidupan/kematian, rajawali/gagak,
kelelawar/burung hantu....) melayani sebagai perangkat konseptual untuk mengatakan sesuatu
dan untuk menguraikan gagasan-gagasan abstrak. Klasifikasi-klasifikasi totem melayani
sebagai kerumitan dan beberapa penandaan yang berlapis. Makhluk-makhluk totem (misalnya
klasifikasi burung elang menurut tipe, warna, dan pentas kehidupannya) menjalankan tidak
sebagai makhluk-makhluk mereka sendiri, tapi sebagai sesuatu bagi suku Osage untuk berpikir;
burung elang memberi "perangkat-perangkat konseptual". "Kita tidak percaya," anggota suku
Osage menjelaskan, "bahwa nenek moyang kita benar-benar binatang-binatang, burung-
burung, dan sebagainya seperti dikatakan dalam tradisi-tradisi. Sesuatu tersebut hanyalah....
(simbol) dari sesuatu yang lebih tinggi" (Dorsey disebutkan dalam Lévi Strauss 1966a, h. 149).
Klasifikasi totem juga melayani untuk "memisah-misahkan manusia dari tiap-tiap yang lain".
Karena simbol-simbol totem dipinjam dari alam untuk menghapus bagian manusia yang mirip
dan untuk menegaskan perbedaan serta divisi-divisi mereka (Poole 1969, h. 62; cf. Lévi Strauss
1966a, h. 62).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 64

Totemisme membuka dengan diskusi tentang "ilusi totemisme", yakni, memperlakukan


totemisme sebagai fenomena dalam kebenarannya sendiri. Mengajukan argumen bahwa
totemisme menandakan, ketimbang menyingkap, sesuatu dalam kebutuhan atas penjelasan,
meneruskan dengan pernyataan bahwa teori yang beragam tentang totemisme juga perlu untuk
diluaskan pada persoalan terbuka. Dengan mencocokkan bersama "pikiran-pikiran liar" dan
"logika-logika yang beradab", kerja tersebut seperti refleksi sistematis pada bagaimana kita
("umumnya, orang kulit putih dewasa, dalam kata-kata Lévi Strauss) menguraikan primitif dan
liar (dan diri kita), sebagaimana ia adalah studi tentang tanda-tanda totem. Karena, setelah
semua, mitos-mitos totem (seperti semua mitos) adalah "in-terminable" (Lévi Strauss [1962]
1969, h. 6) dan termasuk semua variannya (apakah dari manusia semak-semak yang
mempraktikkan totemisme atau dari manusia modern yang menggunakan "totemisme" untuk
berpikir).

"Totemisme sama seperti histeria", buku terbuka. Keduanya merupakan fenomena


kontemporer,

muncul dari kondisi budaya yang sama, dan kesialannya yang sejajar bisa
dijelaskan secara inisial oleh sebuah tendensi, umumnya pada beberapa cabang
pembelajaran terhadap abad 20 untuk menandai fenomena manusia tentunya –
meski ketika mereka membentuk sebuah entitas alami-- yang mana sarjana-sarjana
lebih suka menganggap alam semesta moral mereka sendiri sebagai alien, jadi
melindungi dan menyisipkan yang mereka rasakan terhadap yang belakangan.

(Lévi Strauss [1962] 1969, h. 69)

Totemisme tidak sungguh-sungguh tentang totemisme, jika kita memaksudkan itu


praktik-praktik keagamaan orang-orang primitif yang melibatkan binatang dan tumbuh-
tumbuhan sebagai obyek-obyek sakral. Apa ketertarikan tentang fenomena totem adalah apa
yang menandakan kuasa elemen-elemen sistem totem atau kode totem yang beragam karena
manusia sendiri. Lévi Strauss menyinggung persoalan totemisme lebih awal, dalam upacara
inagurasinya 1960 berbicara di Collège de France, seperti "tembus pandang (transparent) dan
yang tak substansial (insubstantial)"--pentingnya dalam pikiran antropologis yang dibendung
"dari rasa tertentu bagi kecabulan dan keanehan.... sebuah proyeksi negatif atas ketakutan
yang tak dapat dikontrol mengenai kesakralan". Teori totemisme berkembang "untuk kita" (pour
nous) dan bukan dalam dirinya sendiri (en soi). Tak ada jaminan bahwa, dalam bentuk
kekiniannya, ia tidak meneruskan dari ilusi serupa" (1976, h. 27).

Di antara beberapa dampak-dampak penting yang vital dari strukturalisme Lévi


Strauss, yang mana ia berbagi dengan beberapa metode-metode lain abad 20 akhir yang
digolongkan di bawah rubrik "teori kesusatraan" atau teori-teori "teks", adalah bahwa (mungkin,
walaupun dirinya sendiri) ia menarik perhatian pada dirinya sendiri sebagai jenis teks tertentu
Sosiologi Pengetahuan Baru | 65

bersama suatu konteks; ia adalah karya yang ditulis oleh bangsa "peradaban", teks sendiri
merupakan suatu bagian dari "budaya" dan "produksi budaya", dan, dengan implikasi, sebuah
bagian yang "berkuasa" (Gramsci) atau "yang memerintah" (Foucault), kini proses-proses dilihat
sebagai budaya yang nyata. Tidak seperti penyokong-penyokong ilmu sosial yang lebih awal,
teori-teori budaya sekarang menempatkan upaya kerasnya sendiri di tengah-tengah wilayah
budaya yang mereka kaji, "menghasilkan karya-karya kita sendiri dan menentang kita sendiri"
(Boon 1985, h. 163). "Teks-teks secara kata", Edward Said menegaskan, tambahan (kontra
Lévi Strauss) "untuk beberapa tingkatan mereka adalah peristiwa-peristiwa, dan bahkan ketika
mereka tampak menyangkalnya, meski demikian mereka adalah bagian dari dunia sosial" (Said
1983, h. 4). Atau, antropolog kontemporer menyebutkan, "Studi budaya adalah budaya....
budaya kita; ia beroperasi melalui bentuk-bentuk kita, mencipta dalam istilah-istilah kita,
meminjam kata-kata dan konsep-konsep kita untuk makna-maknanya, dan mencipta kita
kembali melalui upaya-upaya kita" (Wagner 1981, h. 16).

Pengertian ini bahwa "pengetahuan" dan "budaya" adalah diproduksi dalam dan
melalui (dan bukan sisi luar dari) konfrontasi manusia dunia dan kekuasaan-kekuasaan yang
muncul sekarang di waktu ketika semua manusia dunia dengan jelas dilibatkan dalam satu cara
atau yang lain dalam tiap-tiap "budaya" lain, ketika ada budaya-budaya "murni", dan di antara
manusia yang kehidupannya (dan budayanya) dilibatkan secara mendalam dalam tiap-tiap
kehidupan (dan budaya) lain. Kini, terutama, pengamatan Lévi Strauss, perbedaan budaya-
budaya "adalah lebih sedikit fungsi isolasi kelompok daripada keterkaitan yang menyatukan
mereka" (Lévi Strauss 1976, h. 328). "Perbedaan otentik manusia adalah disintegrasi" (Clifford
1988, h. 14).

Begitu membingungkan, kemudian, hal itu tepatnya di saat ini, suara-suara


"multikulturalis" menegaskan berlawanan dan mendesak pada "pengakuan" dan pengungkapan
identitas serta warisan budaya "otentik" (Taylor et al. 1994)--di momen ketika secara budaya
perbedaan manusia dengan keras eksis lagi. Barangkali "multikulturalisme" mengungkapkan
"pengakuan"nya pada ketidaktampakan dari perbedaan dan budaya-budaya otentik dan, dalam
wajah ketidaktampakan ini, kebutuhan untuk mencipta komunitas-komunitas dan budaya-
budaya. Multikulturalisme mungkin, kemudian, tentang survival budaya dalam iklim konfrontasi
(Appiah 1994). Multikulturalisme, sama halnya dengan isme yang lain seperti nasionalisme,
beroperasi sebagai kesatuan dan keseluruhan mitos budaya dan lokasinya (Bhabha 1994).

Beberapa antropolog lebih suka pada proyek studi antropologis akhir abad seperti
"keadaan sulit dari budaya" (Clifford 1988; cf. Clifford dan Marcus 1986; Marcus dan FIscher
1986; Geertz 1995), bersama pengertian ironinya mengenai apa yang ia maksudkan menjadi
"budaya tulisan" atau tulisan tentang budaya, sebuah ironi yang secara efektif meruntuhkan
upaya keras etnografi yang sedang berlangsung. Dalam karya-karya Lévi Strauss, tanggapan-
tanggapan terhadap kondisi kontemporer ini bergerak dari kelesuan dunia, sampai kepasrahan,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 66

sampai kritik tajam, seperti dalam perlakuannya pada seni tulisan sebagai maksud prinsipil bagi
kemudahan perbudakan (Lévi Strauss [1955] 1977, h. 338). Pandangan partikular ini masih
tentang tempat seseorang di antara manusia dunia--sebuah persenjataan lengkap, pada suatu
kejadian yang menggelisahkan, bersama imej-imej tentang perbedaan dan keganjilan--juga
membangkitkan keanehan pandangan orang yang ramah (perbedaan dari kepercayaan diri
liberalisme dan "humanisme" progresif). Karena ia melalui suatu pemahaman dari "pikiran liar"
(melalui hal tersebut kita bisa melihat alam dengan lebih terang) bahwa kita dapat memahami
dengan lebih baik apa yang kita pahami. Budaya adalah, setelah semua itu, aksesoris-
aksesoris diakronik atas struktur-struktur sinkronik. Masyarakat modern, mengalami
perkembangbiakan yang lebih besar dan lebih rumit serta institusi-institusi manusia yang
sangat kompleks, telah mengaburkan relasi mereka pada misteri Ada (being) yang terletak
dalam jantung persoalan--atau dalam "pandangan sekilas pandang....seseorang kadang-
kadang dapat bertukar dengan seekor kucing" (Lévi Strauss [1955] 1977, h. 474).

Pernyataan antropologi struktural, bahwa budaya manusia secara prinsipil diuraikan


dalam dan melalui sistem-sistem penandaannya--apakah bahasa-bahasanya (dalam pengertian
harfiah) atau mode-mode komunikasi yang lain melalui obyek-obyek atau orang lain--dan
melalui kategori-kategori dan klasifikasi-klasifikasi obyek itu ditafsirkan. Operasi-operasi
budaya--dan mereka adalah beberapa benda, yang dapat direduksi baik untuk "kehidupan
materi" maupun simbol-simbol yang mengambang di udara--adalah sistem-sistem evaluasi dan
diskriminasi. Apakah masyarakat atau manusia itu, oleh karenanya, adalah apa yang ia katakan
dan percaya adalah bukan itu. Operasi-operasi budaya membedakan dalam cara-cara yang
hampir tak berujung pangkal, sebagaimana Lévi Strauss dan Foucault telah (secara berbeda)
memperlihatkan pada kita. Karya Edward Said (yang ada di sekitar Foucault ketimbang Lévi
Strauss) membicarakan cara-cara dengan tepat bahwa gagasan budaya tidak mungkin lepas
dari "gagasan dari tempat" itu dan yang mengitari:

Saya akan menggunakan kata budaya untuk memberi kesan suatu


lingkungan, proses, dan hegemoni tempat individu-individu....dan karya-karyanya
ditanamkan...budaya digunakan untuk menandakan tidak hanya sesuatu pada
sesuatu yang seseorang miliki tapi sesuatu yang seseorang proses, budaya juga
menandakan suatu batas dengan batasan konsep-konsep tentang apa yang secara
eksplisit atau implisit kepada budaya yang sedang berlaku.

(Said 1983, h. 8-9)

Sebagaimana Lévi Strauss sendiri mengamati, berdiri sebagai moralis klasik, pangkat-
pangkat dan diskriminasi-diskriminasi, kategori-kategori dan klasifikasi-klasifikasi manusia
Barat--membawa dalam teori-teori kita mengenai bangsa dan budaya, dalam filsafat kita dan
biologi kita--adalah perbedaan-perbedaan antara kita dan mereka, mengenai ke-adab-an dan
ke-liar-an, oposisi-oposisi untuk menopang identitas dan sejarah nasional. Dalam The Savage
Sosiologi Pengetahuan Baru | 67

Mind, dia secara eksplisit dan sistematis menentang pembedaan primitif dan (ber)adab, yang
mana didasarkan kepada gagasan pengembangan pikiran manusia dari tahap inferior ke
superior. Perbedaan antara primitif dan modern, atau antara magis dan ilmu, kurang
memberikan pilihan-pilihan spesifik yang diberikan oleh pikiran manusia dalam relasinya pada
lingkungannya. Ilmu primitif ("ilmu konkrit"), pikiran dibatasi oleh esensinya, kurang "ilmiah" dan
kurang asli ketimbang ilmu alam (Lévi Strauss 1966a, h. 16).

Lévi Strauss bukan sosiolog pengetahuan, setidaknya dalam pengertian biasa. Masih
terdapat suatu "subteks" terhadap karyanya, ditangkap dalam kalimat yang tak dapat dilupakan,
paling tidak bagi ilmu sosial yang secara reguler bergulat dengan problem operasi ideologi dan
ketaksadaran terhadap pengetahuan: "sifat dasar kebenaran sudah ditunjukkan oleh kepedulian
bahwa ia terletak pada tempat yang sulit dipahami" ([1955] 1977, h. 50). Kepedulian bahwa ia
terletak pada tempat yang sulit dipahami adalah tanda kebenarannya; atau, sebagaimana Lévi
Strauss menulis dalam The Way of Masks, "Seperti mitos, topeng menyangkal sebanyak ia
menegaskan. Ia tidak semata-mata membuat dari apa yang ia katakan dan ia pikirkan, ia
mengatakan, tapi dari apa yang ia tiadakan (1982, h. 144). Ada arti (kebenaran) dalam apa
yang masyarakat tegaskan dan juga dalam apa yang mereka sangkal atau berangus. Posisi ini
bukanlah Freudian ataupun Marxis dalam arti perdebatan pada penemuan struktur yang
mendasari kenyataan yang menyingkap kebenaran di belakang alam kesalahan yang tampak.
Maupun "kepedulian bahwa ia terletak pada tempat yang sulit dipahami" dari Lévi Strauss
adalah sebuah pernyataan tentang motivasi-motivasi ketaksadaran. (Lévi Strauss, setelah
Saussure, menegaskan yang bukan motivasi dari fungsi simbol). Ia adalah pernyataan tentang
ragam tingkatan pada ragam tindakan tersebut kesadaran manusia beroperasi: bentuk-bentuk
budaya, seperti kesopanan, membawa dirinya dan operasi-operasi yang tidak kelihatan melalui
proses konversi dan transformasi yang dilihat dalam bentuk-bentuk mitos berbeda dan bentuk-
bentuk praktik sosial lain. Apakah transformasi ini "menyingkap" (dengan menyembunyikan)
jajaran total makna-makna dan pesan-pesan mereka. Dalam alam budaya, ilmu tentang artefak
manusia (mitos-mitos, kisah-kisah, imej-imej, dsb.) mengatakan tidak hanya apa yang sesuatu
ini representasikan, tapi apa yang mereka pilih untuk tidak direpressentasikan (Boon 1985, h.
162-163).

Gagasan makna melalui penyembunyian menimbulkan laporan Foucault tentang


"eksklusi-eksklusi budaya", yakni, bagaimana beberapa "keberubahan" dan "yang lain (other)"
dibungkam dan dibuat tidak tampak oleh disiplin-disiplin hukuman wacana-wacana (seksual)
represif. Kesamaan adalah lebih dari jelas. Lévi Strauss dan Foucault mengusulkan dialektika
operasi-operasi budaya dimana makna muncul melalui proses diferensiasi: diri/other, wajar/tak
wajar, waras/gila. Dalam istilah Said,

budaya mencapai hegemoninya melebihi masyarakat dan negara....didasarkan


pada diferensiasi praktis secara terus menerus tentang dirinya dari apa yang ia
Sosiologi Pengetahuan Baru | 68

percaya untuk menjadi bukan dirinya. Dan diferensiasi ini secara sering dibentuk
oleh budaya valorized melebihi ‘Yang Lain’....budaya sering melakukan dengan
suatu pengertian agresif tentang bangsa, rumah, komunitas, dan kepemilikan.

(Said 1983, h. 12).

Walaupun kurang memiliki keasyikan terhadap kekuasaan dan operasi-operasi


diskursif, Lévi Strauss berbagi dengan kemutakhiran "relatifitas budaya" mereka: setiap budaya
ekuivalen dengan setiap budaya yang lain; logika-logika pikiran beradab memiliki tempat tidak
lebih tinggi dalam sejarah kemanusian ketimbang kebiadaban--"kesepakatan yang baik tentang
egosentris dan kenaifan dalam kebutuhan untuk percaya bahwa manusia mencari perlindungan
dalam manusia tunggal dari mode historis dan geografis mengenai eksistensinya, ketika
kebenaran tentang manusia terletak dalam sistem perbedaan mereka dan properti umum" (Lévi
Strauss 1966a, h. 249). Dalam respek ini, imejnya tentang pekerja tangan (bricolage) adalah
instruktif.

Bricoleur adalah sejenis pekerjaan-aneh manusia yang membentuk sesuatu yang baru
dari yang lama dengan materi "tangan". "Perbendaharaan materialnya terbatas dan beragam--
benda-benda yang merupakan bagian-bagian dari benda-benda yang lain, dan oleh karena itu,
desakan awal mereka sendiri adalah bentuk-bentuk dari konstruk-konstruk baru. Adaptasi
kembali dan aransemen kembali yang kreatif mengategorikan aktifitasnya. Tidak seperti mesin,
dia tidak membangun dengan materi yang didesain secara khusus bagi tujuannya. Pikiran
mistis, kemudian, adalah sejenis bricoleur dari pikiran manusia, yang membangun institusi-
institusinya dari puing-puing sebelumnya, menyusun kembali konstruksi dan kehancuran masa
lampau. Ia selalu mencoba menginstitusikan kembali stabilitasnya yang mudah pecah,
membentuk struktur dari sisa-sisa kejadian. Seperti bahasa (dalam pembedaan Saussurian),
pikiran mistis, sinkroni esensial dalam sifat dasarnya, secara tertentu rentan terhadap pengaruh
diakroni. Sebaliknya, ilmu modern "mencipta maksud dan laporannya dalam bentuk peristiwa-
peristiwa, berterima kasih kepada struktur-struktur yang mengelaborasi secara terus menerus
dan hal tersebut merupakan hipotesa dan teorinya" (Lévi Strauss 1966a, h. 22). Bagi Lévi
Strauss, pendekatan pada tiap perbedaan. Pemikiran modern mungkin dapat mengabaikan
beberapa laporan bricoleur mistis tapi bukan validitas dari pilihan aslinya. Yakni, setelah semua
itu, pilihan dari bentuk pikiran yang menemukan agrikultur, penjinakan binatang, dan barang
tembikar--dasar dari perubahan, perubahan neolitik, hal tersebut, bagi Lévi Strauss, lebih dari
menyenangkan bersama akibat perkembangan kemanusiaan.

Dipersepsi dalam istilah-istilah sejarah, perbedaan antara "primitif" dan "modern" lebih
lanjut menerjemahkan istilah-istilah dari pilihan-pilihan ini. Lévi Strauss lebih suka
mengklasifikasi masyarakat sebagai "panas" dan "dingin" (1968, h. 46). Masyarakat-masyarakat
"panas" (modern) memiliki internalisasi proses sejarah, membuatnya menggerakkan kekuasaan
atas perkembangannya dengan percepatan pengeluaran energi, dibahan-bakari oleh
Sosiologi Pengetahuan Baru | 69

perbedaan-perbedaan tajam antara "kuasa dan oposisi, mayoritas dan minoritas, penindas dan
yang ditindas....antara kasta-kasta dan antara kelas-kelas", pertentangan dan eksploitasi
"mendorong secara terus menerus pada ekstrak perubahan sosial dan energi dari mereka":
"perkembangan sejarah pada harga transformasi dari [manusia] ke mesin" (1968, h. 47-8). Ia
bukanlah bahwa masyarakat "dingin" (primitif) tanpa sejarah, tapi mereka "nampak
mengelaborasi atau menyimpan kebijaksanaan tertentu yang mendorong mereka untuk
menentang keras beberapa modifikasi struktural yang akan memberikan poin bagi pintu masuk
kepada kehidupan mereka" (1968, h. 48). Institusi-institusi mereka secara tertentu disesuaikan
untuk membatalkan atau menetralisir perubahan, untuk menyerap peristiwa-peristiwa kepada
struktur-struktur, untuk memberangus zaman.

Apakah Strukturalisme itu?

Sebagai suatu gerakan 1950an dan awal 1970an, strukturalisme, berbicara dalam
istilah sederhana dan integral tentang suatu gerakan yang kompleks, digambarkan oleh
beberapa komentator utama sebagai "target gerakan" (Lemert 1990, h. 23) dan sebagai
gerakan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dalam "teks" (Kurzweil 1980)--teks-teks
yang disuguhkan untuk membuka proyek-proyek dan isme-isme baru, seperti postrukturalisme
dan posmodernisme. Berawal dengan pernyataan awal Lévi Strauss (1968) yang menguraikan
"sifat dasar ketaksadaran fenomena kolektif", kepada pembacaan kembali Athusser tentang
Marx dan "destruksi"nya tentang humanisme Marxis (Althusser 1969), dan kemudian pada
essai strukturalis Barthes tentang literatur dan tulisan, ia adalah gerakan yang tidak menjemput
harapan ilmiahnya untuk membuka kedok operasi-operasi ketaksadaran mental. Masih dalam
respek lain, gerakan yang dengan setia mentaati pernyataan prinsipilnya bahwa budaya adalah
sistem perbedaan, dengan demikian makna dari unit tunggal didefinisikan melalui sistem
oposisi dengan unit-unit yang lain. Dengan logika ini--logika yang, inter alia, menawarkan teori
"otonomi budaya"--kaum strukturalis membuka jalan bagi mereka sendiri untuk digantikan.
Sebagaimana Derrida mungkin yang pertama menunjukkan, dan dalam istilah-istilah yang
menentukan dalam era postrukturalisme dan posmodernisme, proposisi-proposisi serta
metode-metode strukturalis membuka logika bahwa "segala sesuatu [adalah] wacana" (Derrida
1970, h. 249): "wacana mengenai struktur" milik strukturalisme, "kritik bahasanya"
mendesakkan bahwa "bahasa memikul dalam dirinya sendiri kebutuhan atas kritiknya sendiri"
dan mendesakkan bahwa wacana pada mitos sendiri ada di antara "mitologi-mitologi" yang lain.
Strukturalisme Lévi Strauss "adalah penggali kuburannya sendiri" (Lemert 1990, h. 233). Atau,
menggunakan gagasan antropologi tentang budaya-sebagai-temuan (Wagner 1981), era
strukturalisme menghadirkan kembali tahapan tertentu kesadaran budaya intelektual Barat,
suatu momen ketika "kemanusiaan" ditemukan kembali dan ketika kehadiran subyek dari era
modern mulai digantikan oleh operasi-operasi bahasa dan mitos yang berpikir untuk
Sosiologi Pengetahuan Baru | 70

menemukan "masyarakat". "Manusia", atau "sifat dasar"nya sendiri.

Kini, strukturalisme meneliti dengan cermat ketidakmampuan dari kehidupan sampai


klaim-klaim ilmiahnya dan, dari posisi posmodernisme, sebagaimana meneruskan lintasan pada
jejak humanisme modernis dan etnosentrisme. Dari titik pandang yang lain, strukturalisme
benar-benar melibatkan dirinya ketika ia memutuskan untuk meletakkan bahasa secara serius
(dan pengguna bahasa kurang serius). Melakukan ini ia menggeser kedudukan (tidak berpusat
pada) "subyek" dan meruntuhkan status dan juga tidak memperlakukan pernyataannya sendiri
untuk mendirikan ilmu tentang operasi-operasi mental secara umum.

Pernyataan strukturalisme yang paling berdampak--salah satunya digambarkan dalam


teori-teori yang menggatikannya--adalah ketidakpeduliannya (menurut Saussure) tentang
sesuatu-dalam-diri mereka sendiri, atau keterkaitan antara bahasa dengan benda. Pandangan
strukturalisme bahwa bahasa adalah salah satu struktur dari relasi-relasi penandaan antara
penanda (signifier) dan tinanda (signified), kata dan konsep, ketimbang antara kata dengan
benda. Ia mengacuhkan atau mengurung beberapa perhatian pada representasi, malah
mengambil proses tak berkesudahan dari penanda dan tinanda. Ia berbagi, untuk mempercayai
yang lebih baik atau lebih buruk pada seseorang yang tempramen dan setia, dengan
postrukturalisme dan posmodernisme (Hutcheon 1988, h. 148-149).

Tapi apakah implikasinya bagi kita yang masih berdiri sebagai ilmuwan sosial dalam
bayangan Durkheim? Haruskah kita sekarang, sejalan dengan Lévi Strauss, mendeklarasikan
"disiplin tidak tetap" Durkheim (Durkheim dan Mauss 1963, Dedikasi)? Apakah Durkheim,
dalam beberapa pengertian akhir, telah diacuhkan? Pertanyaan-pertanyaan ini, sebagaimana
Saya nyatakan dalam Bab 1, mengenai persoalan kunjungan kembali dan pembacaan kembali
karya klasik dalam terang zaman kita, dan juga membaca mereka dalam perspektif dan
problem baru yang mengarakterkan "pikiran kontemporer"--suatu gagasan holistik, tapi salah
satu yang mungkin melayani sebagai maksud untuk mengorganisir dan mengidentifikasi ciri-ciri
umum dari pemikir-pemikir dan teks-teks yang berlainan. Dalam suatu zaman ketika
"perbedaan otentik manusia sedang hancur" (Clifford, 1988, h. 14), Saya akan mengambil risiko
melukai kebiasaan masa kini dengan meminta gagasan komunalitas. Disamping itu, ia adalah
Durkhemian.

Kembali pada pertanyaan di atas, kita tidak perlu memilih Lévi Strauss melebihi
Durkheim (atau sebaliknya). Jika apapun adalah suatu tanda dari zaman kita dan perspektif
tertentu kita, ia adalah realisasi bahwa kategori-kategori saat ini, dan pengertian-pengertian
bahwa mereka menghasilkan kita, membolehkan kita untuk mencipta sosiologi sinkretis,
bercirikan "percampuran benda-benda aneh....atau campuran artefak-artefak budaya....campur
aduk" tentang gaya-gaya estetik dan perspektif. Daniel Bell (1976, h. 13) menggunakan istilah
ini untuk menggambarkan fitur-fitur budaya modern yang berbeda dan gaya bebasnya untuk
menjadikan dirinya dalam banyak cara seperti kebutuhan modern sendiri untuk memperoleh
Sosiologi Pengetahuan Baru | 71

"realisasi-diri". Ia adalah deskriptif tentang pilihan kita sekarang sebagaimana ilmuwan sosial
dan teoritisi sosial.

Dengan demikian, studi tentang formasi dan praktik budaya memandang mereka
sebagai beberapa hal: sebagai ekspresif dan representasi (Lévi Strauss), sebagai bagian
sesuatu yang mendasari atau "struktur dalam", dan membuka pada "dunia"--sebagaimana
Durkheim coba memperlihatkan. Kenyataannya, desakan Durkheim adalah bahwa kita kembali
pada suatu "dunia", bagaimanapun secara teks bahwa dunia ada. Teks-teks, wacana-wacana,
mitos-mitos, dan seluruh dunia simbol kolektif adalah bagian dari dunia sosial, dunia yang
mendasari dan ditandai oleh semesta dan jajaran dari bentuk dan kekuatan budaya. Gambaran
bagus dari Durkheim tentang kekuasaan simbol kolektif dapat juga melayani kelangsungan ilmu
sosial meneliti ke dalam kehidupan simbol-simbol dan, terutama, bahwa cengkraman simbol-
simbol kolektif melebihi pikiran dan perasaan. Teorinya juga meliputi ketentuan bahwa
penelitian-penelitian dibuat ke dalam generasi simbol-simbol kolektif dalam politik, kelompok,
organisasi, dan yang melalui kolektif mereka dan ritual-ritual publik. Sejak pikiran-pikiran
"dijajah (koloni), kita paling tidak akan memeriksa proses-proses kolonisasi" (Douglas 1986, h.
97).

Lebih lanjut, untuk mendesak, setelah Lévi Strauss, bahwa segala sesuatu yang
"faktual" adalah diskursif tidak menghendaki seseorang memeluk nihilisme atau agnotisisme
tentang tambatan wacana-wacana tersebut. Sebagaimana sosiolog dari Marx ke Durkheim
sampai Mannheim berpendapat, ini adalah suatu dasar institusi kepada "produksi budaya"
(Peterson 1976; 1994). Institusi-institusi dari semua bentuk dan ukuran menyediakan dasar
sosial kepada pikiran dan kognisi. Dan ini persoalan apakah penjajah pikiran adalah gerejawan,
"milisi", perusahaan periklanan Amerika, atau semuanya pada waktu yang bersamaan!

Sementara kita ingat warisan Durkheim melalui gagasannya tentang kekuasaan "fakta-
fakta sosial" non-material, selalu ada, dalam fakta, materialitas terhadap pandangannya, salah
satu yang sesuai dengan teori-teori kontemporer tentang "materialitas" pikiran dan budaya:
dalam mengkaji Tuhan seseorang mengkaji imej-imejnya; agama melakukan dengan sesuatu
yang sakral; moralitas dan norma-norma berhubungan dengan fakta sosial yang mereka
tujukan. Materialitas Durkheim dan reduksionisme Lèvi Strauss menawarkan pada kita sosiologi
yang kaya dan lengkap, pengertian gamblang tentang "kekuatan" dan "kesakralan" karakter dari
gagasan kolektif, suatu pandangan tentang masyarakat meluap bersama pesan-pesan dan
makna-makna, bersama ritual-ritual dan kedok-kedok, bersama solidaritas yang ragu, dan
bersama ungkapan-ungkapan yang tak terkatakan. Warisan strukturalis tidak perlu
meminjamkan dirinya pada perhatian partisan. Ia adalah suatu penemuan pada "sosiologi yang
subur" (Lévi Strauss 1976, h. 7).

Bagi sosiologi pengetahuan, warisan yang paling konsekuen Lévi Strauss sebagai
"bapak strukturalisme" (Kurzweil 1980) tidak ditemukan dalam pandangan yang penuh
Sosiologi Pengetahuan Baru | 72

penyesalan tentang prestasi peradaban di abad ini, ataupun ia (sosiologi pengetahuan) bahkan
terletak dalam cakupan "relativisme budaya", gambarannya tentang pikiran liar membuat
menentang diri kita sendiri, pun dalam liriknya yang menggambarkan manusia yang hilang.
Tentu ia termuat dalam doktrinnya tentang keunggulan dan otonomi sistem simbol, terutama
cara dalam proyek strukturalis yang meletakkan dirinya sendiri ke dalam bidang "wacana
mengenai mitos" miliknya sendiri (Derrida 1970, h. 256). Gerakan itu, dikonsepsikan sebagai
integral dengan ilmu strukturalisme, melayani--mungkin dalam cara menjangkau lebih jauh dari
beberapa empirisme sejak abad 18--untuk membatasi dan untuk mengubah gagasan dan
proyek manusia dan ilmu sosial sementara, secara terus menerus, menggoncang apa yang
dapat digambarkan sebagai kapasitas pikiran Barat untuk menemukan suatu daerah netral
(rasional) dari daerah tersebut ia dapat menggambarkan dan menemukan realitas dan keliaran
kasar. Etnografi Lévi Strauss adalah etnografi mengenai semua tentang kita, dalam etnografi itu
pikiran dan mitos manusia "beradab" dan "liar" dapat "dikomunikasikan pada satu varian mitos
yang lain. Metode-metode strukturalis membuka bentuk-bentuk telanjang dan baru tentang
kesadaran-diri dan analisis-diri melayani sebagai komentar-komentar kritis pada wacana
etnografi sendiri.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 73

BAB 4
PENGETAHUAN TENTANG DIRI
Tradisi Amerika

Saya pikir bahwa kutub baru dibentuk oleh pertanyaan, pertanyaan tetap dan
berubah, "Apakah kita sekarang?"
(Michel Foucault)

TINJAUAN DASAR

Problem agensi manusia merupakan salah satu problem utama, jika bukan paling
utama, dari analisa sosial. Bagaimana seseorang menganggap tindakan dan realitas
kemanusiaan tanpa berlindung pada "subyek" primordial atau "individu", dan dalam logika
seluruh gagasan sosial atas keberadaan manusia sebagai pencipta dunianya dan dicipta
olehnya. Marx secara eksplisit menegur sifat ganda agensi manusia, menyatakan bahwa
manusia "membuat sejarah, tapi tidak membuatnya sebagaimana mereka kehendaki; mereka
tidak membuatnya di bawah kenyataan yang dipilih oleh mereka sendiri, tapi kenyataan yang
secara langsung kebetulan, terberi, warisan masa lalu" (Marx [1869] 1963, h. 15). Lainnya coba
menyatukan ke dalam teori tunggal dengan gagasan bahwa kehidupan mental--pengalaman,
bersama-sama dengan bentuk-bentuk pengetahuan dan perasaan--tidak hanya dibentuk
secara sosial, tapi ia sendiri adalah unsur untuk bertindak, melayani sebagai sumber perubahan
terus menerus yang masyarakat manusia lalui. Dalam kalimat Karl Mannheim: subyek sejarah
adalah bahwa "inti personalitas manusia yang ada dan dinamis begitu substansial dengan
kekuatan aktif dominan dari sejarah" (Mannheim [1924] 1952, h. 102). Demikian, sementara
obyek analisa sosial yang tepat adalah masyarakat, masyarakat dipahami dalam cara dialektis,
sebagai sesuatu yang terus menerus dibuat dan ditempati oleh manusia dan, sebaliknya,
membuat mereka (Berger dan Luckmann 1966, p: 456).

Sementara problem agensi telah ditegur oleh sejumlah tradisi pemikiran sosial, ia
merupakan perhatian khusus dari dua tradisi relativitas berbeda dalam ilmu sosial Barat, yang
muncul selama dekade awal abad 20 di Amerika dan Jerman. Di Amerika, problem agensi
ditegur oleh pragmatisme; di Jerman, oleh penyusun disiplin baru yang disebut sosiologi
pengetahuan. Kedua tradisi itu mencari pemahaman bagaimana individu berpikir dalam konteks
sosial tertentu dalam konteks sosial mereka tinggal; bagaimana pikiran dan kesadaran
diwariskan dari konteks historis dan sosial tertentu; bagaima penempatan-penempatan kolektif
secara meyakinkan menyediakan obyek-obyek yang dapat diakses manusia. Pekerjaan
tersebut dalam dua tradisi itu juga memberikan penyangkalan eksplisit terhadap filsafat-filsafat
tradisional pengetahuan dan berpaling pada ilmu-ilmu empiris modern untuk kerangka
pemahamannya tentang kerja-kerja kesadaran dan pikiran manusia.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 74

Proyek Jerman didefinisikan sebagai sosiologi pengetahuan, atau Wissenssoziologie,


yang dikenal dengan deskripsinya tentang pikiran sebagai tindakan kolektif, dalam tindakan
kolektif itu individu-individu terlibat. Ia adalah "dorongan untuk bertindak" dalam kelompok
tertentu dan dengan gaya pikiran tertentu yang "kali pertama membuat obyek-obyek dunia
mudah diakses bagi subyek yang bertindak", Mannheim menyatakan dalam halaman
pembukaan Ideology and Utopia (1936). Dia dan Max Scheler, penyusun awal sosiologi
pengetahuan, berpaling pada sosiologi sebagai kendaraan bagi pendekatan problem
pengetahuan. Dalam melakukan demikian, mereka secara eksplisit mendefinisikan dan
merampingkan pokok soal (subyek matter) problem filosofis yang lebih luas tentang akar-akar
eksistensial pikiran, memfokuskan pada eksistensi sosial dan pengetahuan (lihat Remmling
1973, h. 5-6). Bagi Scheler ([1924] 1980, h. 72-73), yang menawarkan kerangka sistematis
pertama atas disiplin itu, bentuk-bentuk tindakan mental, melalui bentuk-bentuk tindakan mental
itu pengetahuan diperoleh, selalu dikondisikan oleh struktur masyarakat. Dan untuk alasan ini,
studi empiris tentang bagaimana sistem-sistem gagasan berdasar secara sosial merupakan
dasar bagi semua studi khusus tentang budaya dan bagi metafisika. Bagi Mannheim, sosiologi
menjadi ilmu kunci yang ramalannya menembus semua disiplin. Di era posliberal, dia menulis,
filsafat merefleksikan secara memadai situasi intelektual dan sosial. "Kini, kondisi internal
situasi intelektual dan sosial direfleksikan paling jelas dalam bentuk-bentuk berbeda sosiologi"
(Mannheim 1936, h. 251).

Di Amerika, filosof pragmatis George Herbert Mead, yang proyeknya jauh lebih luas
mengonsepkan ketimbang rekannya di Jerman, menyusun sendiri tugas penguraian karakter
sosial secara mendalam atas pikiran dan kesadaran. Bagaimanapun, teori sosialnya tentang
pikiran menyerupai landasan dalam premis-premis yang sesuai dengan sosiologi, sebagaimana
peranan terkemuka gagasan-gagasannya dalam sosiologi Amerika telah dibuktikan. Terutama
dalam kritiknya terhadap psikologi mentalis, Mead memperlihatkan bahwa subyektifitas
dibentuk secara sosial semenjak ia mensyaratkan proses-proses abstraksi dan interpretasi
(Mead 1903; [1910] 1964). Penyelidikan-penyelidikan pada subyektifitas, psikis, dan kesadaran,
dia menyatakan, mesti menjadi perhatian ilmu sosial dan ilmu biologis. Ini karena fenomena
psikis bukan "sekedar subyektif"; kesadaran bukan properti subyek. Segala sesuatu,
konseptualisasi segala sesuatu, refleksi segala sesuatu memerlukan bahasa, suatu "semesta
wacana" sosial, dan termasuk suatu dunia umum: "Kita melihat ilmu sosial menghadirkan dan
menganalisis kelompok sosial bersama obyek-obyeknya, interelasinya, dirinya sendiri, sebagai
pra kondisi dan reflektif kita dan kesadaran-diri" (Mead [1910] 1964, h. 102-103).

C. Wright Mills (1939; 1940), salah satu sosiolog Amerika pertama yang mengakui
daya tarik dari dua proyek tersebut--pragmatisme Amerika dan Wissenssoziologie--menyatakan
bahwa sosiologi pengetahuan dibangun pada wawasan-wawasan dan istilah-istilah yang
ditawarkan oleh kedua istilah tersebut: sosiologi pengetahuan menawarkan pragmatisme
Sosiologi Pengetahuan Baru | 75

bidang sosial dan historis ke dalam pengalaman manusia dan tindakan-tindakan yang memiliki
asal kejadian mereka; pragmatisme menawarkan sosiologi istilah-istilah tepat dan dinamis
dengan jalan faktor-faktor sosial, dalam bentuk gagasan, kepercayaan-kepercayaan, dan
pengetahuan-pengetahuan, menjadi intrinsik kepada pikiran.

Sebegitu jelas perbedaan pendekatan Amerika dan Jerman, dari tempat kita yang
menguntungkan sekarang, proyek-proyek tersebut larut bersama penghargaan kepada kualitas-
kualitas "pragmatis" rumusan-rumusan Mannheim dan Scheler yang memandang pikiran dan
eksistensi: pikiran dikonsepsikan sebagai suatu aktifitas; sikap-sikap mental dan pengetahuan
selalu berkait dengan tindakan. Esai Scheler "Probleme einer Soziologie des Wissens",
pertama diterbitkan 1924, mendeskripsikan pikiran sebagai "ringkasan dan substansi tindakan
'mengetahui' Ada (being)". Seluruh esai itu, Scheler menunjuk pada "tindakan-tindakan mental"
dan pada "sejarah pikiran", "pikiran sendiri", dia menulis, "termasuk kekuasaan....sungguh-
sunguh dan benar-benar tidak membungkus dirinya sendiri" (Scheler [1924] 1980, h. 434).
Dalam tidak membungkusnya, ada dalam setiap kasus suatu perubahan dalam konstitusi-
konstitusi pikiran miliknya. Sejajar dengan teori Mead tentang asal sosial (genesis) pikiran
adalah menghantam: pikiran dan makna berasal dalam tindakan sosial; pikiran tidak
membungkus dirinya sendiri sebagaimana proses-proses sosial masuk pada pengalaman
individu-individu (Mead [1922] 1964, p. 247; ch. 1938, h. 372; 1934, h. 133, 329, 332). Mungkin
karya yang paling mendekati pendekatan "sejarah pikiran" Scheler adalah Movements of
Thought in the Nineteent Century (1936), dalam karya tersebut gerakan-gerakan rasionalisme
dan romantisme dilihat sebagai pentas dalam struktur-struktur pikiran (mind) dan diri (self)
dalam sejarah Barat.

Menurut Kenneth Strikkers (1980, h. 24-25), walaupun kritisisme keras Scheler pada
pragmatisme Amerika, namun dia mengidentifikasi sebagai "genius" wawasan pragmatis
"bahwa pengetahuan tidak mendahului pengalaman kita atas sesuatu (ideae ante res),
sebagaimana dalam idealisme platonik, ataupun mengikuti pengalaman dan didasarkan pada
keterhubungan proposisi dengan dunia obyektif (ideae post res), sebagaimana dinyatakan oleh
kaum empiris (misalnya Aristoteles). "Lagi pula, Scheler menegaskan bahwa pragmatisme
Amerika memberikan kali pertama alternatif yang dapat dijalankan secara teoritik bagi tradisi
idealis dan empiris, menempatkan pengetahuan ke dalam tindakan-tindakan manusia dimana ia
menjadi berfungsi.

Warisan kedua tradisi itu adalah pandangan tentang eksistensi sosial dan tentang
kehidupan mental sebagai alam perubahan dan kemunculan terus menerus. Agensi manusia
adalah suatu fitur keberadaan sosial dan dengan demikian suatu formasi sosial terus menerus,
subyek pada lanskap sosiokultural berbeda, dalam lanskap sosial itu ia dibentuk. Teori Mead
tentang "kemunculan" menunjuk pada "relativitas" individu dan dunia sosialnya, keduanya
"saling menentukan masing-masing yang lain. Tindakan manusia membentuk dan dibentuk oleh
Sosiologi Pengetahuan Baru | 76

dunia sosial. Kognisi manusia adalah rekonstruktif. Karena "rekonstruksi merupakan esensi
pada tingkah laku makhluk berakal dalam alam semesta....Apakah kekhasan pada makhluk
berakal adalah bahwa ia adalah perubahan yang meliputi reorganisasi mutual, suatu
penyesuaian dalam organisme dan rekonstruksi lingkungan" (Mead 1932, h. 3-4). Beberapa
tindakan mengetahui selalu meliputi perubahan--perubahan dalam dunia yang diketahui dan
perubahan simultan dalam orang yang mengetahui. Pikiran-pikiran aktif mengubah dunia sejak
mereka memberi pada dunia makna-makna baru dan obyek-obyek baru. Dan sesuatu yang
baru ini membentuk kembali orang-orang yang kehidupannya disentuh olehnya.

Dalam kasus Mannheim, ia adalah historisisme yang mengerangkakan proyek


sosiologi pengetahuan dan, tentu saja, memberikan prinsip-prinsip untuk memahami makna
modernitas sebagai suatu kondisi perubahan terus menerus. Historisisme tidak hanya proyek
atau program intelektual, ia adalah kekuatan intelektual era modern yang mengorgansir,
"seperti tangan tersembunyi", kerja ilmu sosial dan aktifitas sehari-hari (Mannheim [1924] 1952,
h. 84). Historisisme melihat aspek sosial dan realitas personal sebagaimana dalam negara
mengenai perubahan kontinu dan terus menerus. Dunia kita dan diri kita, Mannheim menulis,
dipahami sebagai

potensialitas-potensialitas, tetap dalam perubahan terus menerus, bergerak dari


beberapa titik dalam waktu menuju yang lain; pada tingkat refleksi sehari-hari, kita
mencoba menentukan posisi kehadiran kita dalam kerangka kerja temporal, untuk
mengatakan dengan jam kosmik sejarah waktu itu. Pandangan kita tentang
kehidupan sudah menjadi sosiologis semua dan sosiologi hanya salah satu dari
ruang-ruang tersebut, meski ruangan itu tambah didominasi oleh prinsip
historisisme, mencerminkan orientasi baru kita yang paling jujur dalam kehidupan.

Sebagaimana jika mengatakan sekarang sebagai pengganti tahun 1924, Mannheim


menulis bahwa ia tidak mungkin ikut serta dalam kehidupan atau bahkan memahami makna
kehidupan kita sendiri "tanpa suguhan semua relitas-realitas tersebut, kita harus
memperlakukan realitas-realitas tersebut sebagai berkembang dan sedang berkembang"
([1924] 1952, h. 84). Sebagai suatu pandangan dunia (world view), historisisme mengikuti pada
pembubaran gambar abab pertengahan tentang dunia dan pada gagasan merusak-diri,
kelahiran Pencerahan, mengenai Rasio Supratemporal (h. 85). Sebagai world view,
historisisme berfungsi sebagai prinsip yang meliputi "setiap tahap pengalaman diri kita" (h. 126),
melayani sebagai "dasar-dasar prinsip, pada dasar-dasar prinsip itu kita mengonstruk
pengamatan-pengamatan kita tentang realitas sosio-kultural" (h. 85).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 77

DIRI [MANUSIA] SEBAGAI AGEN DAN OBYEK SOSIAL

Karakter relatif dan berubah-ubah pikiran dan masyarakat adalah asumsi (hipotesa)
kerja dari psikologi pragmatis Mead dan sosiologi pengetahuan Mannheim. Bagaimanapun,
bagi Mead bahwa ilmu sosial berhutang untuk memberikan teori-membangun tentang agensi
manusia yang dapat memahami relativitas individu dan dunia sosialnya--apa yang Berger dan
Luckmann (1996) istilahkan "dialektika realitas obyektif dan subyektif". Teori itu mengenalkan
istilah "diri (self)" dan diri sosial, dengan teori itu Mead memaksudkan ego reflektif kesadaran-
diri atau agen, melalui kesadaran-diri pengalaman manusia diorganisir dan ditafsirkan dan
dengan kesadaran-diri ia menjumpai dan memperlakukan dunianya. Mead berpendapat bahwa
kapasitas bagi perantara kesadaran-diri berasal dalam relasi-relasi sosial dan pertukaran-
pertukaran sosial, karena ini memberikan kualitas-kualitas dialogis dan dramatik yang
mengarakterkan kehidupan sadar manusia dan kapasitas reflektifnya.

Karakter esensialnya sendiri adalah kereflektifan: diri adalah obyek pada dirinya
sendiri, kemampuan memasuki pengalamannya sendiri, pertama secara tidak langsung,
dengan menjadi obyek pada dirinya sendiri. Ini terjadi dalam masa kanak-kanak sebagai orang
yang berangsur-angsur menjadi sadar pada sikap-sikap dan peran yang lain (other) dalam
lingkungan sosial, disitu diri (self) dan yang lain (other) dilibatkan. Mempertimbangkan cara ini,
kesadaran-diri diorganisir dari sisi luar dalam meneruskan kesadaran-obyek kepada kesadaran-
diri yang, dalam pengalaman masa kanak-kanaknya yang paling awal, secara prinsip terbentuk
dari kesadaran terhadap tindakan dan perspektif yang lain (other) yang mengarahkan cara kita,
yakni, terhadap diri sebagai obyek tunggal. Dalam kata lain, dari pertama kali tampak sebagai
orang ketiga, secara prinsip dalam ucapan, tapi juga dalam gerak isyarat (gesture) dan sikap
dari yang lain (other); diri menampakkan sebagai obyek yang membawa pada kesadaran
bersama obyek-obyek yang lain dan dalam diri-diri yang lain. Dalam istilah Mead, diri adalah
obyek sosial, tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi sosial dan bentuk-bentuk ucapan, dalam
relasi sosial dan bentuk ucapan itu ia dikomunikasikan. Seperti dengan semua obyek-obyek
sosial, bentuknya ditemukan dalam pengalaman diri yang lain (other selves), pengalaman-
pengalaman yang tidak dapat dipisahkan dari medium linguistik umum (Mead 1934, h. 142).
Bahasa--dipahami dalam konteks yang lebih luas tentang kerja sama sosial, yang ditempatkan
melalui saling pertukaran dan interpretasi terhadap tanda dan gesture--adalah aktifitas, dalam
aktifitas itu individu-individu dapat menjadi obyek-obyek bagi mereka sendiri.

Yang penting dari teori ini, hanya membuat sketsa singkat di sini, adalah bahwa ia
memberikan pemahaman tentang bagaimana realitas sosial, tindakan obyektif yang kompleks
kali pertama terdiri dari kedekatan sosial dan komunitas linguistik anak, masuk pada
pengalaman yang berkembang dari anak tersebut, dan bagaimana peran dan sikap dari yang
lain (other), dengan other anak berinteraksi menjadi sadar dalam pengertian tentang dirinya
sebagai obyek dari tindakan-tindakan other. Karena itu, pengetahuan pertama manusia tentang
Sosiologi Pengetahuan Baru | 78

dirinya berasal dalam kesadaran tentang "saya", sebuah obyek yang membentang pada bidang
pengalamannya sendiri (Mead 1934, h. 138). Diri dari "saya" eksis kali pertama sebagai obyek
diantara obyek-obyek yang lain dan dalam bidang yang sama dari pengalaman. Kesadaran-diri
adalah perkembangan lebih lanjut dari proses dan kejadian sosial saat seseorang menjadi
sadar atas respon-responnya seseorang dan, dengan demikian, kesadaran-diri--sadar atas diri
seseorang sebagai obyek, terhadap obyek itu anak kini dapat merespon sebagai seorang
"Saya" (subyek). Respon-respon pada diri kita sendiri dapat dilihat ketika "kita terkadang takut
pada kemarahan kita sendiri" ketika kita "memperlakukan perasaan kita sendiri....sadar atas
lamunan keseharian kita.... dan menemukan diri kita membalas respon kita--kita takut, kagum,
simpati dengan diri kita sendiri" (Mead [1914] 1982, h. 53). Respon-respon ini dikomunikasikan
pada diri kita dan contoh atas kesadaran-diri yang mensyaratkan obyektifikasi-diri, sebuah
kesadaran atas obyektifitas kita sendiri, atau kesadaran atas kelainan (otherness) kita sendiri
dalam dunia yang lain (other) (Crapanzano 1992, h. 79).

Respon-respon pada diri (secara aktual, kesadaran atas respon-respon tersebut)


menjadi materi-materi bagi perkembangan ke-diri-an, secara terus menerus menyuburkan dan
meluaskan dalam bentuk dialog-dalam yang merekapitulasi kehidupan dialogis kita bersama
yang lain. Mead mendeskripsikan dua suara tentang pertukaran diri sebagai "Saya" (subyek),
suara aktif individu, dan "saya", diri sebagai obyek. Masing-masing tersebut adalah elemen
dalam perkembangan: konsep-diri dan kesadaran-diri. Diri "menjadi obyek bagi dirinya sendiri,
melalui fakta bahwa dia mendengar dirinya sendiri berbicara, dan menjawab" (Mead [1913]
1964, h. 146). Dalam anak dewasa, balasan (menjawab) adalah diam secara khas--dia
membayangkan bahwa "gestur vokal"nya memanggil dalam yang lain. Dengan memandang
pada anak, bagaimanapun, pernyataan Mead meletakkan pada makna harfiah. Anak membawa
pada percakapan dengan dirinya sendiri, dan respon-respon yang lain bahwa dia memproduksi
dalam permainan yang membangun penghalang atas kesadaran-diri. Karena dalam tindakan
menjadi yang lain, anak-anak bisa mengambil percakapan dengan diri mereka sendiri (Mead
1934, h. 150-151).

Artikulasi diri terjadi dalam dan melalui dialog tentang "Saya" (subyek) dan "saya"
(obyek) merupakan tahap-tahap diri, menyingkap bagaimana bentuk kehidupan kesadaran-diri
serta linguistik partikular dan muatan budayanya (kata, idiom, dan jiwa khas suatu bangsa)
tidak dapat ditolak atau diabaikan adalah sosial dan budaya, meliputi pengakuan diri tentang
ragam kapasitasnya untuk merespon pada makna sosial atas obyek-obyek yang dialami.
Sebagaimana Hans Joas (1985, h. 110) berpendapat,

Dalam opini Mead terdapat perkembangan berkelanjutan, kepanjangan dari struktur


dialogis kesadaran-diri seorang anak, yang berbicara kepada dirinya sendiri dalam
kata-kata orang tuanya, kepada proses pikiran yang paling abstrak. Dalam jalan
perkembangan ini, hubungan langsung pada orang-orang tertentu dari bagian-
Sosiologi Pengetahuan Baru | 79

bagian individu atas proses-proses internal komunikasi.... menjadi lebih lemah; tapi
mekanismenya tidak berubah dan tetap.

Joas kemudian menyebutkan artikel Mead "The Social Self", dalam artikel tersebut
argumen ini diurai dan ditekankan (lihat Mead [1913] 1964, p. 146-147):

Sampai proses ini berkembang kepada proses-proses abstrak dari pikiran,


kesadaran-diri tetap dramatik, dan diri adalah peleburan dari aktor yang
menyampaikan dan paduan suara (koor) yang mengiringi diorganisir secara longgar
dan sangat jelas bersifat sosial. Kemudian keadaan-dalam mengubah ke forum dan
workshop pikiran. Fitur-fitur dan intonasi-intonasi dari pesona dramatis
memudarkan dan menekan pada makna ucapan-dalam, perumpamaan menjadi
sekedar isyarat seperlunya. Tapi mekanismenya tetap sosial, dan pada beberapa
momen proses mungkin menjadi personal.

Diri menunjuk pada kapasitasnya tidak hanya untuk meletakkan diri kita sendiri sebagai obyek
tapi juga untuk mengobyektifkan pengalaman kita dan untuk tindakan dalam relasi kepada
pengalaman--untuk menandakan atau mengatakan sesuatu atau membuat sesuatu dari
pengalaman tersebut sementara, pada saat yang sama, mengarahkan mereka pada diri kita
(our selves) dan yang lain (other). Kapasitas reflektif-diri ini yang "memberikan struktur inti dan
struktur pokok atas diri" (Mead 1934, h. 173). Baik emosi-emosi yang kita rasakan, dengan
yang lain (other) kita segera dipekerjakan, atau gagasan yang kita miliki tentang hari esok, tiap-
tiap dari obyek sosial tersebut adalah "bahan" dari tindakan dan penandaan manusia. Obyek-
obyek sosial tidak hanya melayani untuk mengisi "ruang-ruang" yang manusia tempati, walau
mereka tentu melayani tujuan itu juga; obyek-obyek sosial dari semua bentuk dan ukuran ada
untuk bercakap-cakap--kita menampakkan mereka kepada yang lain untuk dikagumi, menuntut
mereka membuat ujaran-ujaran, melemparkan mereka dalam kemarahan (semua hal tersebut,
secara harfiah dan figuratif). Karena obyek-obyek sosial tidak hanya termasuk benda-benda
yang banyak dan bervariasi yang mengepung kita dan yang kita bicarakan tapi juga melayani
sebagai tanda-tanda bagi kita untuk berbicara: busana dan obyek-obyek lain dari dandanan, bir
kalengan, keibuan, sepeda motor, gelak tawa dan gerak isyarat (gesture) lain meliputi tubuh,
dan bahkan emosi-emosi dapat melayani sebagai gesture. Bagaimanapun perbedaan tiap-tiap
keberadaan benda-benda tersebut, menjadi obyek-obyek penandaan pada beberapa momen
bagi komunikasi sesuatu untuk diri kita (ourselves) dan untuk yang lain (other).

Herbert Blumer mendeskripsikan kehidupan sosial sebagai tempat tinggal Ada (being)
yang "membuat petunjuk-petunjuk" kepada diri mereka sendiri tentang bertumpuk-tumpuk
obyek yang mengepungnya--detik jam, wangi cologne, warna stoking seseorang, kemiringan
topi, atau desakan keadaan malu yang tiba-tiba menyerang seseorang. "Kehidupan sadar
manusia....adalah aliran terus menerus dari petunjuk-petunjuk diri--notasi-notasi sesuatu,
dengan notasi-notasi itu dia memperlakukan dan membawa pada laporan" (Blumer 1969, h.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 80

80). Obyek-obyek sosial--apa saja yang manusia indikasikan untuk dirinya sendiri--memiliki
kapasitas ganda untuk dirinya yang dideskripsikan di atas: pertama, sebagai obyek, mereka
menunjuk pada dan bertindak terhadap; kedua, sebagai tanda-tanda dalam kebenarannya
sendiri, obyek-obyek sosial dapat digunakan untuk menandakan sesuatu kepada yang lain,
untuk "membuat pernyataan-pernyataan" untuk digunakan sebagai tiang-tiang dalam ketetapan
peranan, sebagai tanda-tanda terhadap malapetaka yang akan datang. Semua obyek sosial
memiliki kapasitas ganda ini guna melayani sebagai tindakan sosial dan sebagai tanda-tanda
yang memungkinkan tindakan untuk meneruskan. Emosi-emosi, misalnya, tidak hanya
melayani sebagai obyek-obyek tentang elaborasi ritual dan praktik sosial tapi juga sebagai
tanda-tanda tentang siapa dan apakah kita, sebagai sesuatu yang kita pegang dalam kehadiran
diri kita. Freud ([1923] 1960) dan, lebih baru-baru ini, Hochschild (1983) menulis secara
ekstensial tentang fungsi tanda atas emosi-emosi ini.

Dalam esainya "The Meaning of Suffering", Max Scheler (1992, h. 83) juga
mendeskripsikan pengalaman emosional sebagai sistem yang berbeda dari tanda-tanda,
dengan sistem itu diri bekerja. Terdapat, dia berpendapat, "gaya-gaya atas perasaan dan
kehendak", yang mensyaratkan sebuah penafsiran agen atau diri, mengobyektifkan
pengalaman emosinya dan mensubyektifkannya pada sistem-sistem makna seperti "doktrin
atas penderitaan". Seperti doktrin-doktrin yang sekarang dideskripsikan di bawah rubrik
"wacana", suatu organisasi atas bentuk-bentuk tulisan dan ucapan, area penggunaan bahasa
yang dikenal oleh kelompok-kelompok historis dan institusi-institusi tertentu. Secara historis
"doktrin-doktrin" tersebut, membentuk bagian-bagian wacana (agama, psikiatri, kedokteran, dan
sebagainya), menawarkan pada manusia cara-cara menghadapi penderitaan (Scheler 1992, h.
97): "penderitaan telah diobyektifkan, menandakan kembali kepada, ketabahan, meloloskan diri
dari, menumpulkan pada titik apati, perjuangan heroik melawan, membenarkan sebagai
hukuman yang pantas, dan penyangkalan". Oleh karena itu, "kita dapat 'menghentikan diri kita'
pada penderitaan, 'membiarkan'nya, atau 'penderita' bersahaja; kita bahkan dapat 'menikmati'
penderitaan (algophilia). Kalimat-kalimat ini menandakan gaya-gaya atas perasaan dan
kehendak berdasar pada perasaan, yang dengan jelas tidak ditentukan oleh keadaan dari
perasaan belaka" (h. 83). Lebih lanjut, mereka mengimplikasikan gambaran aktor sosial pada
pentas apapun yang terdapat pada pemberiannya untuk membuat sesuatu keluar dari
pengalamannya untuk mensahkan sesuatu yang dia ketahui dan percaya tentang dirinya dan
dunia sosial yang dia hadapkan dengan yang lain (other).

OBYEK DAN OTHER DALAM GENESIS DIRI

Sebagaimana diskusi sebelumnya telah ditunjukkan, agensi manusia, jauh dari kondisi
bawaan, meliputi perkembangan kesadaran tentang pertentangan obyek-obyek dan melalui
pertentangan itu kesadaran-diri manusia dibentuk. Rumusan C. H. Cooley ([1909] 1983, h. 5)
Sosiologi Pengetahuan Baru | 81

bahwa "diri dan masyarakat dilahirkan kembar" adalah bermaksud menangkap poin tersebut
dengan tepat. Awalnya kesadaran-diri, dia berpendapat, dikarakterisir dengan ketentuan
definisi, walau dibatasi, kesanggupan untuk muncul dalam respon atas diri yang lain (other),
memberikan kepadanya "obyektifitas". Proses ini memungkinkan bagi "obyektifitas" seseorang
berkembang--apa yang Crapazano (1992, h. 79) identifikasi sebagai ke-lain-an (otherness)
seseorang dalam dunia other.

Bagaimana "obyek-obyek" tersebut, begitu kritis pada manusia dan perkembangan


sosial, ditafsirkan melintasi bermacam disiplin-disiplin akademik modern. Walau masih
berbeda--ada kemiripan yang jelas dalam sasaran-sasaran fungsi yang melayani dalam
perkembangan kognitif dan ke-diri-an. Misalnya, dalam ketiga bidang--psikologi persepsi,
fenomenologi, dan psikoanalisa--obyek-obyek perlawanan fisik menawarkan pada
pengembangan kapasitas manusia diperdebatkan: obyek-obyek memberikan kondisi-kondisi
yang memungkinkan manusia untuk menjadi sadar tentang perbedaannya sebagai entitas-
entitas dan agen-agen terpisah dalam relasinya pada obyek-obyek yang mereka pertentangkan
dan dengan pertentangan itu mereka "berlawanan". Dalam pengertian ini, dunia riil obyek-
obyek, ada secara independen dari anak, dapat dikatakan muncul, sebuah argumen juga
ditemukan diantara para pragmatis (misalnya, Mead 1938, Bagian II). Perlawanan dalam
pengalaman-langsung memberitahukan realitas obyek-obyek, sementara secara bersamaan
memberikan kepada manusia sebuah pengertian atas realitasnya sendiri melebihi dan
bertentangan dengan realitas tersebut (misalnya, Schachtel 1956; Schutz 1971, h. 306ff.;
Bowlby 1969).

Dalam ilmu sosial dan psikologi sosial, kita menemukan argumen-argumen yang
mengusung kemiripan pada soal ini (misalnya, psikologi dan fenomenologi), mengenai peranan
mendasar dari obyek personal dan obyek fisik dalam asal usul sosial atas diri serta formasi dan
perawatan personal dan identitas sosial. Dalam kasus ilmu sosial, bagaimanapun, penekanan
ditempatkan pada pentingnya "kelompok" dan benda-benda sosiokultural atau "materi budaya"
(misalnya, Douglas dan Isherwood 1978). Hal penting beberapa argumen ini, obyek personal
dan fisik dipandang pada tingkat logika yang sama dengan diri, memberikan titik acuan bagi
definisi diri dan kontinuitas, dan juga materi-materi bagi proses sosial mengenai pertukaran dan
tawar menawar. Obyek-obyek juga bentuk dasar bagi klaim status dan bagi konflik serta
kecemburuan sosial. Bagi sejumlah sosiolog yang telah menulis karya klasik dalam sosiologi,
seperti Thorstein Veblen ([1899] 1967), Georg Simmel ([1908] 1950), dan William Graham
Sumner ([1906] 1940), obyek-obyek fisik untuk konsumsi atau untuk perluasan dandanan atau
memperkuat personalitas, melayani sebagai kendaraan dalam konstitusi atas perasaan dan
sikap sosial, sebagai surat peringatan identitas sosial, membuatnya secara materi hadir
sementara juga melayani sebagai lencana diri, status, keanggotaan kelompok. Lebih netral,
obyek-obyek melayani sebagai "tanda" (Schutz 1971, h. 308-309), sebagai surat peringatan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 82

atau alat-alat bagi tindakan, memberikan manusia dengan maksud vital untuk menemukan atau
untuk mempertahankan tempatnya dalam kehidupan sehari-hari. Obyek-obyek memberikan
sumber tetap dan abadi mengenai konsistensi serta kontinuitas personal dan kelompok, atau
mereka dapat digunakan untuk menandai batas-batas antara saya dan dunia tempat diri
menemukan dirinya sendiri "di rumah", atau dalam ruang dan tempat dimana seseorang
bertempat tinggal sebagai anggota suku, klan, bangsa, atau keluarga (misalnya,Csikzentmihalyi
dan Rochberg-Halton 1981; Dittmar 1992).

Tapi kelompok-kelompok manusia juga melayani fungsi-fungsi yang sejajar tersebut


dari hal-hal yang fisik: keseluruhan sejarah, perempuan dan istri, anak-anak, buruh dan pelayan
melayani sebagai kepemilikan-kepemilikan yang berharga dan lencana-lencana kedudukan
sosial. Atau, individu-individu dan kelompok-kelompok, banyak menyukai sesuatu yang fisik,
melayani sebagai fondasi, dari fondasi itu manusia memperoleh pengertian tentang kesamaan
dan perbedaan. Karena identitas sosial dibangun dalam relasi kepada other dengan siapa kita
merasa sama dan yang ke-lain-an atau perbedaannya tentang "siapakah" dan "apakah" kita--
identitas sosial kita.

Seluruh tulisan mengenai diri sosial, Mead mendeskripsikan sosial dan relasi yang
kerja sama antara manusia dan personalnya dengan lingkungan sosial. Tulisan-tulisannya
menegur fungsi vital obyek-obyek yang melayani persepsi dan konsep manusia: obyek-obyek
adalah fondasi bagi kesadaran-diri tentang diri, memperoleh kondisi-kondisi atas kesadaran
perbedaan sebagai entitas dan agensi terpisah. Obyek-obyek secara bersamaan memberikan
diri dengan pengetahuan komunalitas, suatu pengertian atas kesamaan atau karakter umum
bahwa diri berbagi dengan obyek-obyek yang lain, Mead mendeskripsikan proses ini sebagai
salah satu identifikasi (1932, h. 121-122; 1934, h. 168- 173; 1938, h. 163-164, 327-331, 426-
432): identifikasi individu dengan suatu obyek adalah kondisi bagi kereflektifan-diri. Bahkan
pada tingkat hubungan langsung dengan benda-benda material, identifikasi adalah alat, dengan
hubungan langsung itu individu bergerak dari pengetahuan "sisi dalam" benda ke "sisi dalam"
seseorang--pergerakan dari obyek ke subyek, dari yang lain ke saya. Perlawanan aktif secara
fisik atas sesuatu itu memberikan "karakter umum" pada sesuatu dan pada diri kita, karena
pertentangan adalah pengalaman sebagaimana datang dari "sisi dalam" dari sesuatu yang
manusia jumpai (Mead 1938, h. 212-213).

Tapi tanpa penekanan Mead pada semiotik dan fitur referensi-diri atas relasi-relasi
obyek (Cohen 1989; 1993), relasi obyek-diri tetap relatif statis dan model mekanistis dan tentu
saja bukanlah suatu budaya. Fokus tertentu Mead pada sosial dan basis interaksi kerefeksifan-
diri serta pada pentingnya relasi kooperatif manusia dengan sesuatu yang fisik--gagasannya
mengenai diri sebagai agen dan obyek dari pengertian--membuka cara bagi teori identitas yang
tidak hanya sosial, meliputi interaksi dari aktor-aktor sosial yang tindakannya menggema dalam
seluruh jaringan kerja yang sangat luas dari struktur sosial, tapi budaya jugalah. Karena
Sosiologi Pengetahuan Baru | 83

komunikasi makna adalah fitur tertingginya, dan proses menjadi sadar atas diri meliputi "gerak
isyarat bahasa" pada setiap tahap cara itu.

"Genesis diri" Mead dideskripsikan sebagai proses yang memerlukan kesadaran atas
yang lain (other). Hanya dengan menempatkan diri seseorang ke dalam bagian "sikap" atas
other yang melakukan kesadaran-diri, diri sepenuhnya kelihatan, menemukannya pengalaman
seseorang dalam respon atas other dan mengartikulasikan dalam bagian istilah-istilah dari
kelompok. Filosof David Miller (1973, h. 101) meringkas gagasan tersebut:

Perbedaan antara subyektif dan obyektif tidak dapat muncul sampai kesadaran
muncul, dan kesadaran meliputi pengambilan peran atas other, other tentu saja ada
dan tidak dalam pikiran. Seseorang dapat menjadi sadar atas dirinya sendiri
dengan memikirkan dalam kesadarannya sendiri tahapan stimulus dan tahapan
respon atas tindakan sosial, dan demikian kesadaran memerlukan gerak isyarat
bahasa yang menimbulkan respon-respon yang dapat dibagi dengan partisipan lain.

MENENGOK KEMBALI TEMA KLASIK MENGENAI IDENTITAS DAN KOMUNITAS

Dalam masyarakat modern, sebagaimana dalam ilmu sosialnya dan ilmu psikologinya,
tema identitas merupakan tema tertinggi, jelas karena tempat dari diri dalam pergeseran dunia
modernitas membawa problematika. Motif modern yang berlangsung lama merupakan
fragmentasi nyata dari identitas personal yang berharap pada kemunculan budaya industri dan
melemahnya kekuatan stabilisasi dan integrasi eksistensi manusia (agama, dan bahasa) dan
digantikannya oleh kesangatluasan, kekomplekan, dan struktur artifisial peradaban teknik.

Tema identitas dan komunitas bersama-sama menangkap problem modernis atas


keberadaan manusia dalam keteraturan sosial--"komunitas" menandakan tempat dalam ruang
(homogen, kesatuan, keterlibatan dalam berbagi nilai), atas ruang itu individu memperoleh
makna personal dan makna budaya untuk memasuki. "Masyarakat" bersama other. Dari
penilaian sosial klasik sampai kontemporer, sifat dasar komunitas-komunitas modern telah
diperiksa melalui pasangan-pasangan oposisi biner: Gemeinschaft dan Gesellschaft, mekanik
dan organik, tradisional dan modern, kelompok primer dan kelompok sekunder--oposisi
menandakan pergeseran gradual atas tradisi, stabil, kehidupan dunia relatif homogen dengan
keberubahan, kompleks, dan karakkter tak stabil masyarakat industri.

Menggunakan sosiologi pengetahuan dalam mendekati tema-tema tersebut (itu juga


sepenuhnya historis), kita dapat memahami keaslian seluruh pengalaman kolektif era modern
dan menggunakannya untuk memahami cara-cara pengalaman ini mengalami perubahan baru-
baru ini--secara fundamental bukan sebagai pernyataan posmodernis, tapi dalam cara yang,
kenyataannya, kontinu dengan modernisme. Dalam menyinggung perubahan ini, kita akan
berpaling pada pertanyaan-pertanyaan tentang apa kebutuhan revisionis untuk melakukan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 84

demikian bahwa problem identitas, sebagaimana disiplin-disiplin kita memahaminya dan


mengkajinya, adalah responsif kepada beberapa perkembangan nasional dan global yang
paling mempengaruhi isu-isu identitas dan komunitas saat ini, dan untuk kemunculan proses-
proses tentang identitas sejak abad pertengahan. Misalnya, beberapa teoritisi sosial
kontemporer berpendapat bahwa modernitas setengah abad ini terkenal dengan pertumbuhan
kesalingterhubungan antara pengaruh globalisasi atas masyarakat dan person dan
kecenderungan reflektif tinggi dari aktor-aktor sosial (Giddens 1991). Lainnya, seperti Aronowitz
(1992), menekankan fakta bahwa manusia membagi perkalian identitas sosial, tak dapat
diperkecil lagi pada kelas dan komunitas-komunitas lokal.

Modernisme memuat di dalamnya sifat sosial sepenuhnya serta gagasan historis


manusia--pengalamannya, kehidupan mental, dan identitas partikularnya sebagai subyek
perubahan. Karena agensi manusia atau diri adalah fitur keberadaan sosial, dan dengan
demikian suatu formasi sosial berkelanjutan, subyek pada lanskap sosiokultural yang berbeda,
dalam lanskap sosiokultural itu ia dibentuk. Tapi modernisme juga memaksudkan bahwa
subyektifitas manusia (pengalaman, bersama dengan bentuk-bentuk pengetahuan dan
perasaan) adalah racikannya sendiri untuk tindakan, melayani sebagai perubahan
berkelanjutan masyarakat manusia yang sedang berlangsung. Modernisme membawa
bersamanya sebuah kesadaran partikular tentang diri dan masyarakat, salah satu yang tidak
hanya menuntut perubahan dan pembaharuan politik dan sosial tapi juga pembaharuan bahwa
laki-laki dan perempuan sendiri yang dapat menghasilkan. Penegasan standar modernis ini,
Marshall Berman menyatakan, "laki-laki dan perempuan modern harus menjadi subyek-subyek
dan juga obyek-obyek modernisasi; mereka harus belajar merubah dunia yang mengubahnya,
dan membuatnya sendiri" (1992, h. 33).

Oleh karena itu, kejadian baru-baru ini tentang demokratisasi dunia sejak 1989 dapat
dibaca sebagai kejadian penyebaran mendunia atas budaya modernis dalam alam politik--
sebagaimana "modernisme di jalanan" (Berman 1992, h. 33). Modernisme masih juga bekerja
dalam pengakuan pada alam identitas personal--bahwa diri dibuat secara reflektif. Psikolog
sosial Kenneth Gergen (1991) menyebut "kesadaran atas konstruksi" ini mempengaruhi relasi
dan identitas. Di awal 1951, dalam artikel klasiknya, sekarang, "Identification as the Basis for a
Theory of Motivation", Nelson Foote menulis tentang komitmen orang-orang pada identitas-
identitas tertentu muncul melalui proses-proses dengan konsepsi-konsepsi diri diperoleh,
diperkuat, direvisi, dan diuraikan oleh other dan diri--deskripsi yang menonjolkan karakter
reflektif tinggi atas kesadaran dan aktifitas modern, mengenai hal ini Anthony Giddens menulis.
Bahkan masa depan kita, Giddens berpendapat, tidak hanya terdiri dari harapan-harapan atas
peristiwa-peristiwa untuk terjadi. Agaknya, "masa depan" "diorganisir secara reflektif dalam
masa sekarang dalam istilah-istilah yang mengalir dari pengetahuan kepada lingkungan di sana
sini, demikian pengetahuan berkembang". Dalam konteks ini, kehidupan dan identitas personal
Sosiologi Pengetahuan Baru | 85

orang-orang dipersepsi sebagai proses-proses intervensi aktif, pilihan, dan transformasi


(Giddens 1991, h. 29).

Terdapat apa yang dapat disebut idiom demokratik bekerja dalam wilayah diri--salah
satu yang menanamkan gagasan dan standar kontemporer tentang apakah diri--sebagaimana
terdapat idiom demokratik yang secara mendalam mengatur jalannya politik-politik modern,
pasar-pasarnya, dan institusi-institusi serta relasi-relasi keteraturan sosial modern. Idiom ini
atau gaya karakteristik bahwa diri dianggap secara simultan melayani untuk membantu
perkembangan dan untuk melegitimasi proyek diri. Karena ia memuat gagasan bahwa Saya
memahami diri saya menjadi, Saya dapat dan akan mengartikulasi diri, mengungkapkan
pendapat-pendapatnya, nilai keputusannya, dan meminta other melakukan demikian.
Karenanya, Saya mengharapkan bahwa masa depan Saya, dan itu tentang diri other, adalah
sesuatu yang Saya buat terjadi, tidak ada sesuatu yang mengalami sebanyak mendapatkan
dan menerima melalui upaya-upaya Saya sendiri, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusan.

Modernisme kemudian bukan sekadar istilah yang lekat pada budaya dan pada
struktur sosial, sebagaimana bila ini bermukim di sisi luar diri, ia juga sebuah drama yang
bermain pada tingkat "psikologi" kita dan dalam standar-standar dan pengharapan-
pengharapan yang kita bebankan pada diri kita sendiri dan other tentang masalah-masalah
demikian seperti gestur tubuh dan verbal atau ungkapan perasaan, dan seterusnya. Mungkin
paling banyak dari semua, modernisme menunjukkan pada pengakuan (jika kita boleh
menyebutnya bahwa tanpa meruntuhkan argumen kita) bahwa ada pertentangan dan
pertarungan atas diri untuk bertarung dan menang (atau kalah, sebagai kasus yang mungkin);
bahwa diri adalah sebuah proyek, atau , diri adalah drama yang dimainkan melintasi ruang dan
waktu, diri adalah drama yang bermula pada kelahiran dan berakhir hanya dengan kematian. Ia
bukanlah bahwa diri dan kehidupan emosi-emosi dan perasaan-perasaan tidak eksis pada
semua sebelumnya. Tentunya, ia sangat "banyak dibuat dari sebelumnya"--jejak tema dalam
jajaran studi luas Charles Tylor tentang sumber-sumber diri modern (1989, h. 292).

Sangat luas literatur pada lanskap interior modern sendiri--dari Freud, Durkheim, dan
Tocqueville sampai karya-karya dalam psikologi kontemporer--memotret identitas modern
sebagai perkalian, personal, dan reflektif tinggi; renggang dan robek ketimbang lekat dalam
peran-peran sosial dan tradisi-tradisi; mengarahkan other (Riesman et al. 1950) atau
kecakapan interpersonal dalam keahlian membaca isyarat-isyarat dari other, masih bergantung
pada mereka untuk pengakuan. Kegelisahan dan krisis pertumbuhan serta perubahan telah
menjadi sifat kepura-puraan bahwa perubahan diri harus bertemu dan menjalani; perasaan dan
emosi, bagaimanapun berlaju sangat cepat dan tidak substansial, datang melayani sebagai
pengalaman-pengalaman mendasar atas validasi-diri, sebagai tambatan-tambatan,
pengalaman-pengalaman dasar itu untuk menegaskan identitas dan untuk membangun
konsepsi-diri; diri dan tubuh dipandang sebagai proyek-proyek, obyek-obyek berarti atas
Sosiologi Pengetahuan Baru | 86

perhatian dan tindakan dalam perbedaan kepada pandangan tentang mereka sebagai obyek-
obyek alami; identitas seseorang "dibangun", masih juga "ditemukan", dan "kehidupan emosi"
seseorang sebuah kendaraan untuk membawakan kehidupan seseorang dan identitas
seseorang menjadi bermakna. "Subyektifisme baru" (Gehlen [1949] 1980), penekanannya pada
elaborasi bagian dalam dan "psikologisasi", menghadirkan percobaannya diri modern untuk
mengontrol banjir stimuli yang sering melemahkan kesanggupan kita untuk merespon,
membelokkan subyek menuju ke dalam tempat pengalaman dimonitor dalam keadaan
kesadaran dan refleksi tinggi. Ia dalam situasi ini bahwa psikologi dan psikoanalisa
mendapatkan pijakan atas world view, mempertahankan "pribadi" person melawan tuntutan
budaya, menguraikan lebih lanjut pengertiannya tentang keterpisahan dari dunia.

Kita dapat, kemudian, bicara luas mengenai identitas modern Barat, mengakui batas-
batasnya dengan menghargai pada perbedaan kelas, ras, jender, periode sejarah, dan
seterusnya, menegaskan bahwa masyarakat historis tertentu memunculkan pengalaman
tertentu tentang diri dan bahkan tingkat-tingkat berbeda tentang artikulasi subyektifitas dan
obyektifitas (lihat Crapanzano 1992, h. 73ff.). Tentu saja ini adalah gagasan di belakang
gagasan Weber ([1904-1905] 1958, h. 154) tentang "asketisme-dalam dunia". ("Asketisme
Kristen.... mencapai pada pasar-tempat kehidupan.... berusaha menembus rutinitas kehidupan
sehari-hari bersama kemetodikannya, membiasakannya pada kehidupan di dunia..."). Gagasan
tentang diri modern ini adalah apa yang Tocqueville deskripsikan sebagai "individualisme
demokratik" dan mungkin dasar dari teori yang paling awal tentang asal usul individualitas Barat
oleh Burckhardt ([1890] 1954), yang menempatkannya dalam perubahan kenyataan politik di
Italia selama Renaissance.

Sebelum modernitas, Burckhardt berpendapat, seolah-olah kesadaran manusia


tersembunyi di bawah kerudung--"kerudung tenunan kepercayaan, ilusi, dan kemenawanan".
Ketika kerudung ini "larut ke dalam udara", dunia obyektif dan semua hal atas dunia ini menjadi
mungkin. "Sisi subyektif di waktu yang sama menegasikan dirinya sendiri dengan tekanan yang
sesuai: [manusia] menjadi individu spirituil, dan menganggap dirinya sebagai seseorang"
([1890] 1954, h. 100).

Menurut pengamatan-pengamatan ini, lintas budaya dan perbedaan sejarah orang-


orang diungkapkan dalam konsep-konsep diri yang berbeda, secara sosial dan politik
dimunculkan dan secara simbol dimediasi. Tapi perbedaan dapat pula ditemukan dalam
pengalaman orang-orang dalam masyarakat yang sama seperti, misalnya, ketika masyarakat
marjinal berjuang menentang konsepsi-konsepsi atas diri mereka dari other yang dominan.
Robert Park mendeskripsikan kefasihan ini melalui laporannya mengenai marjinalitas sosial
atas imigran Yahudi dan Negro di Amerika (1950, h. 284-300, 345-356, 372, 376). W. E. B. Du
Bois ([1903] 1989, h. 51) menangkapnya dalam laporannya mengenai "kesadaran ganda" dan
"kedirian ganda" Negro Amerika--"sensasi ganjil ini....selalu melihat diri seseorang melalui mata
Sosiologi Pengetahuan Baru | 87

other....tentang kadar jiwa seseorang dengan pita dunia yang memandang dalam rasa jijik dan
iba yang menyenangkan". Dorothy Smith, dalam sosiologi feminisnya (1987), mendeskripsikan
bahwa "garis kesalahan", dari deskripsinya itu dia mulai mengakui bahwa makna-makna
ungkapan dan pengetahuan yang tersedia pada perempuan adalah dibuat dan dikontrol oleh
laki-laki—dalam pengetahuan-pengetahuan itu perempuan adalah Yang Lain (other).

Bagaimanapun kesakitan ditempa dalam kehidupan kelompok dan perorangan


marjinal, penemuan diri selalu, pada prinsipnya, meliputi penemuan other--kesadaran atas
"Saya", obyek dari perspektif dan tindakan other--ia membentang ke dalam bidang
pengalamannya sendiri. Kesadaran diri adalah perkembangan dan penyortiran lebih lanjut dari
proses ini, meliputi kesadaran atas respon-responnya pada pengalaman tersebut. Masing-
masing ini--saya (obyek) diperoleh secara sosial, kesadaran-diri merespon pada diri derivatif
ini– diungkapkan dalam "kesadaran ganda" Du Bois, sebuah pemberian dari "penglihatan-
kedua", "keduaan" dalam keberadaannya: orang Amerika, orang Amerika-Afrika--"dua jiwa, dua
pikiran, dua perjuangan yang tak terdamaikan.... Kesadaran-diri, kemudian, membawakan
obyektifikasi-diri--kesadaran atas obyektifitas kita sendiri, atau kelainan (otherness) kita dalam
dunia dalam dunia other (Crapanzano 1992, h. 79). Tiap-tiap laporan ini memuat pertanyaan
tegas yang mengagumkan bahwa individualitas adalah respon kolektif; bahwa penemuan diri,
memunculkan kesadaran diri, dan akhirnya, identitas diri tidak dimungkinkan keluar dari
hubungan dengan penemuan Other, bahkan Other asing atau yang bermusuhan, pengakuan
dalam beberapa cara "obyektif" atas othernes seseorang dalam wajah Other--dalam wajah dari
entitas yang bukan Saya.13

Untuk meringkas beberapa posisi kontemporer yang konvergen dalam sejumlah cara
penting, "identitas" adalah proses sosial yang meliputi dialektika kesamaan dan keberbedaan.
Proses membentuk dan menyokong konsep-diri dan perasaan-diri sebagaimana mereka
menjadikan obyektif dalam dan melalui dialog kolektif atau mengeneralisir other (Mead 1934, h.
152). "Identitas sosial" adalah diri yang menandakan sebagai sesuatu atau seseorang,
penandaan yang menuju pada diri seseorang dan pada other dengan siapa seseorang
bercakap-cakap dan dimana budaya, dalam bentuk bahasa--konsep-konsep dan wacana-
wacana--beroperasi pada setiap tahap dialog ini.

Identifikasi sosial merupakan suatu proses, dalam proses itu orang-orang menjadi
merasa bahwa beberapa manusia yang lain adalah banyak "kesamaan"
sebagaimana mereka dan yang lain (others) adalah "tidak mirip" dengan mereka....
[menjadi] sebagai bagian dari dialektika inklusi dan eksklusi, dari dialektika itu
kelompok-kelompok muncul dalam dinamika kompetisi.

(de Swan 1992, h. 1)

13 Untuk refleksi sistematis mengenai pentingnya yang lain (Other) bagi ontologi sosial atas kedirian, lihat
Perinbanayagam "The Significance of the Other" (1985, Bab 6).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 88

"Diri", Perinbanayagam menyatakan, adalah orang-orang yang berkumpul atas tanda-


tanda, teks-teks yang lebih atau kurang koheren yang diklaim oleh pikiran sebagai miliknya dan
mengidentifikasi sebagai kehadiran dalam dunia other. "Identifikasi-diri" adalah proses
pengaktifan kehadiran dalam dunia obyek-obyek dan other serta meliputi identifikasi pada dan
identifikasi dari (1991, h. 12-13). Identitas diri adalah formasi semiotik dimana perbedaan dan
kesamaan diadakan secara visual melalui tanda-tanda tubuh, seperti busana (Davis !992),
secara aktif dalam dan melalui praktik-praktik sosial, dan, terutama, secara diskursif--dalam
ucapan (Perinbanayagam 1991). Karena dalam percakapan dengan other kita mengonstruk diri
kita sendiri: "Dialog", antropolog Crapanzano menyatakan, "selalu drama konstitusi-diri" (1992,
h. 130)--apakah dialog dari analis atau analisan yang ditulis author, atau "dialog" yang kita
adakan dengan other yang dekat atau yang jauh; itu kita ketahui secara tertutup atau other
yang terpencil itu yang mengarang "masyarakat" kita. Kita bercakap-cakap dengan orang
sejaman kita yang mengetahui kita dalam ragam tingkat keintiman dan keakraban, atau atas
keadaan tak dikenal dan keadaan tanpa nama (Schutz 1971, h. 15-16), makna dan realitas
yang kehidupannya mungkin bahkan nilai personal yang lebih agung bagi kita daripada
tetangga dan sanak famili.

"Saya tahu lebih tentang kehidupan Martin Luther, Karl Marx, dan Thomas Jefferson
daripada Saya mengetahui salah satu dari kakak saya sendiri", Craig Calhoun menulis, dalam
esai teoritis mengenai sifat kompleks relasi-relasi dan komunitas-komunitas manusia
kontemporer (1991, h. 114). Dia menggambarkan bagaimana orang-orang sekarang berpikir
tentang diri mereka sendiri sebagai anggota kolektif-kolektif yang luas atas other bersama siapa
disana hampir bukan relasi-relasi interpersonal langsung: bangsa, ras, jender, tapi juga
National Rifle Association, National Organaization for Women, Boy Scouts of Amerika, dan
seterusnya. Ini diimajinasikan tapi bukan komunitas yang kurang riil atas yang lain bersama
siapa kita mengidentifikasi: orang Amerika lain, Inggris, Bosnia, gay, saudara kulit hitam, orang
pro kehidupan--yang lain, misalnya, siapa yang seseorang "imajinasikan" sebagai memiliki
masa lalu, takdir, korban bersama, seperangkat hasrat, disposisi, atau kepentingan. Dalam
proses demikian, dideskripsikan oleh Abram de Swan (1992) sebagai "dialektika inklusi dan
eksklusi", identifikasi kelompok atau persamaan bisa jadi sebagai sesuatu yang vital bagi
kedirian seseorang seperti pengertian atas ketaksamaan dan susunan dalam oposisi kepada
other. Dalam beberapa hal, sebagaimana "komunitas imajinasi" (demikian Ben Anderson
menyebutnya dalam bukunya atas nama yang sama) mengadopsi gagasan kuno dan
tradisional dari suku dan keluarga sampai bentuk garis silsilah keturunan atau
mengimajinasikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari kebersaudaraan.

Buku Anderson (1991) merupakan studi tentang asal usul dan penyebaran-global
nasionalisme, dari Amerika sampai gerakan-gerakan populer di Eropa. Nasionalisme
merupakan bagian sejarah imperialisme Barat tapi juga diadopsi oleh perlawanan anti imperialis
Sosiologi Pengetahuan Baru | 89

di Asia dan Afrika. Anderson mengeksplorasi proses yang menciptakan komunitas-komunitas


nasional ini. Yang amat berpengaruh adalah penggunaan percetakan--koran-koran dan buku-
buku, "percetakan kapitalisme" membuatnya mungkin bagi orang-orang untuk memikirkan diri
mereka sendiri dalam cara-cara baru, seperti ada secara bersamaan melintasi ruang yang amat
besar, tapi juga seperti menghubungkan dengan yang lain seperti diri kita kembali dalam masa
lalu dan meneruskannya dalam masa depan.

Bangsa adalah

komunitas politik yang diimajinasikan.... diimajinasikan karena anggotanya bahkan


bangsa terkecil pun tidak pernah tahu banyak mengenai anggota-teman mereka,
bertemu mereka, atau bahkan mendengar mereka, tiap kehidupan atas kerukunan
mereka masih berada dalam pikiran....Semua komunitas lebih luas dari masyarakat
primordial hubungan langsung tatap-muka (dan bahkan ini mungkin) diimajinasikan.
Komunitas-komunitas menjadi dikenal, tidak oleh kepalsuan/keaslian mereka, tapi
oleh gaya, dalam gaya tersebut mereka diimajinasikan,

baik sebagai jaringan kerja atas kehidupan dan kematian sanak famili, atau dalam gaya kelas-
kelas ekonomi modern, gaya tersebut, jika kita kembali pada sebelum abad 18, adalah tidak
dapat diimajinasikan (Anderson 1991, h. 6).

Sebagaimana pernyataan tegas E. P. Thompson dalam buku The Making of the


English Working Class. Gagasan pokoknya adalah identitas modern, berpendapat bahwa
"Dalam tahun 1780 dan 1832 banyak cara kerja orang-orang Inggris menjadi rasa sebuah
identitas kepentingan sebagai rasa diantara mereka sendiri, dan sebagai rasa menentang
aturan-aturan serta majikan-majikan mereka" (1963, h. 11-12). Secara historis, identitas kolektif
terbentuk dari oposisi dan resistensi (Burke 1992), melalui oposisi dan resistensi itu gagasan
orang-orang, sebagai bangsa dan sebagai cara kerja kelas, menyebar (h. 294). Kini,
"komunitas-komunitas yang diimajinasikan" ini telah menjadi lumrah, tapi juga jauh lebih
bervariasi.

KOMUNITAS YANG DIIMAJINASIKAN/ DIRI YANG DIIMAJINASIKAN

Di halaman-halaman sebelumnya, kita bergerak cepat dari ringkasan beberapa ajaran


resmi (sekalipun secara budaya dibentuk) dalam ilmu sosial dan psikologi sosial berkenaan
dengan genesis sosial atas diri dan identitas diri, sampai kejadian khusus sejarah berkenaan
dengan identitas dan komunitas dalam periode modern. Dalam melakukan demikian, Saya
memberi pengantar yang sekarang dianggap sebagai rangkaian fenomena sosial baru--
pertumbuhan "komunitas yang diimajinasikan" dan keterkaitan tidak langsung--yang
mengundang rumusan-rumusan revisionis mengenai identitas-identitas, bagaimana mereka
dibentuk dan ditopang, secara budaya dan politik. Walaupun kenyataannya bahwa sosiologi
Sosiologi Pengetahuan Baru | 90

klasik modern mengenalkan (dan juga menyebarkan) problem individu dan masyarakat--
tentang identitas dan komunitas--Saya setuju dengan rumusan yang ditawarkan Calhoun
(dalam artikelnya, 1991, mengenai topik ini), bahwa aspek-aspek modernitas ini menyisakan
"penteorian sosiologis" (h. 95): termasuk efek-efek fenomena kontemporer yang membagi
antara sektor publik dan privat dalam kehidupan kontemporer; termasuk keretakan persepsi
antara alam kehidupan publik bersama keluasannya, sistem-sistem yang kompleks dan
kehidupan privat sehari-hari; dan juga berkenaan dengan makin bertambahnya fenomena khas
atas hubungan tidak langsung yang melebihi relasi tatap-muka-langsung--yang M. W. Weber
istilahkan munculnya "komunitas-komunitas tanpa keakraban" (disebutkan dalam Calhoun
1991, h. 101). Relasi-relasi langsung tidak diragukan lagi sekarang menyisakan hal penting dan
efektif, tapi mereka dibatasi: maknanya dirubah oleh efek-efek dari relasi-relasi tidak langsung--
seperti organisasi, asosiasi, gerakan budaya dan politik, budaya pemuda--komunitas yang
diimajinasikan yang berlomba dengan keluarga, kawan, dan tetangga untuk kesetiaan kita,
cinta kasih kita, komitmen kita.

Calhoun menunjukkan pentingnya hubungan komunalitas memunculkan relasi-relasi


tidak langsung yang dimediasi oleh teknologi dan organisasi yang kompleks dengan fenomena
yang lebih lumrah (kejadian sehari-hari) yang lain: obyek-obyek dan imej-imej tertentu dari
identifikasi yang disalurkan melalui media massa dan televisi, seperti karakter-karakter dalam
sinetron, selebriti dan entertainer, atlet dan politisi (dua yang belakangan berbagi dalam aura
showbiz). Masing-masing figur sosial ini secara cepat, di persepsi, sekarang seolah-olah dia
(laki-laki/perempuan) eksis bagi audien dalam cara-cara yang familiar dan riil, mengingkari jenis
identitas yang didirikan diantara figur media massa dan pemirsa/pembacanya atau katakanlah,
diantara personalitas dan kehidupan orang-orang yang biografinya kita baca dan pada siapa
kita menumbuhkan kelekatan secara personal. Ini mungkin menerangkan selera publik yang
berbeda dan luas saat ini karena biografi dan karena TV dan tabloid itu memeriksa kehidupan
selebritis. Karena pasar tabloid yang melaporkan tentang kehidupan dan kejenakaan selebritis
menandakan lebih dari sederhana selera publik untuk sex, skandal, dan memuat tentang "kaya
dan terkenal". Mereka menyingkap kepentingan yang menopang dalam dan identifikasi dengan
kehidupan, terus menerus, orang tak dikenal yang familiar ini: "orang tak dikenal yang familiar"
mengidentifikasi apa hubungan tak langsung itu--kita merasa tertutup pada mereka, sisipan
tertentu, atau rasa keakraban dengan mereka. Masih, mereka, kenyataannya, tidak mengetahui
dan tidak dapat mengetahui kita. (Lihat, misalnya, studi pengetahuan publik tentang selebriti,
Schickel 1986, sebagai keakraban imajiner yang dikembangkan media, dan studi komprehensif
tentang budaya popularitas Braudy 1986).

Apa yang menandakan contoh-contoh ini adalah penempatan kolektif bagi bentuk baru
relasi yang mensimulasi relasi-relasi langsung tradisional dan komunal tentang tetangga, sanak
saudara, teman. Kapasitas media penyiaran untuk "mensimulasi relasi langsung" (Calhoun
Sosiologi Pengetahuan Baru | 91

1991, h. 110) tak pelak lagi adalah fitur penting fenomena ini, sebagaimana kapasitasnya untuk
menawarkan konsumsi populer "identitas kategoris", atau tipe-tipe sosial--laki-laki dan
perempuan, orang-orang tumbuh lebih tua, kelas pekerja dan kaya, Afrika-Amerika, polisi dan
kriminal, dan seterusnya--bagi pengamatan tangan pertama dan pengetahuan tentang mereka.
Beberapa dari mereka memberikan kesan efektif untuk membangun identitas, yang lain
mengonfirmasi pengertian tentang perbedaan dan eksklusi. Peristiwa-peristiwa olah raga dan
perundingan politik menyediakan arena serupa bagi identitas-identitas untuk didramatisir dan
dimainkan--kesempatan bagi penempatan "politik identitas", bagi kesuka-riaan dalam kesan
dan kejenakaan, kemenangan dan kekalahan atas hal itu bersama siapa kita merasa "sama"
dan pada siapa kita berharap tidak. Media penyiaran, mungkin melihat dalam
perkembangannya mengenai "talkshow" bagi orang biasa untuk "membicarakan pikirannya",
masih memberikan kesempatan lain bagi kita untuk melakukan dan bekerja melalui pertunjukan
membingunkan dan keberubahan yang sedang berlangsung di Amerika sekarang.

Sebagaimana bentuk dari komunitas kita berubah dalam ruang dan waktu, orang-
orang terus menerus mencari dan menemukan diri mereka sendiri dalam dan melalui
kelompok-kelompok ini, yang lain, dari perencanaan itu mereka memperoleh komunalitas dan
perbedaan. Itu barangkali mengapa komunitas yang diimajinasikan, seperti bangsa, serta ras
dan jender, "muncul seperti sisipan-sisipan dalam" (Parker et.al. 1992, h. 4): bangsa dan yang
lain dari ras dan sex kita hadir pada kita "sebuah kemendalaman, perkawanan horisontal",
sebuah persaudaraan yang menjangkau ke belakang dalam waktu dan terbentang dalam masa
depan, memberikan keberlanjutan yang kita cari dalam dunia kita dan dalam diri kita. Terutama
bila kita ditakdirkan untuk hidup sekarang dengan kesadaran yang belum pernah terjadi
sebelumnya mengenai konstruksi kita sebagai diri (mempengaruhi hubungan kita dan identitas
kita) pada tingkat lain kesadaran kita, kita mencari struktur dan keserbaragamannya yang
abadi.

Pada catatan yang jauh kurang spekulatif, identitas dan komunitas kita dibatasi dalam
ruang dan waktu sebagaimana modernis yang menulis teks klasik disiplin kita. Gagasan
komunitas dan budaya yang memuat "harapan-dasar, kestabilan, eksistensi teritorial" (Clifford
1988, p. 338) dunia kita sekarang. Kita merespon pada metafor berbeda, seperti migrasi,
penyebaran, dan perjalanan. Ilmuwan sosial yang menggunakan istilah-istilah ini, secara
prinsipil antropolog, peka pada perkembangan global yang telah memberi sumbangsih
"komunitas" dan "identitas" dan "budaya" jauh lebih kompleks dan berlapis daripada yang
dilakukan para pendahulunya. Ini secara tidak meragukan karena antropolog ada dalam urusan
memberikan etnografi atas orang-orang "non Barat" (penandaan yang kini tidak berlaku dan
bahkan merugikan). Antropolog adalah beberapa dari yang pertama membuktikan kebenaran
atas penyebaran dunia luas, dan menghadirkan budaya dunia dan orang-orang dunia di
tengah-tengah kita. "Abad ini", Clifford menulis dalam The Predicament of Culture,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 92

telah melihat ekspansi drastis atas mobilitas, termasuk turisme, buruh migran,
imigrasi, penggeletakan kota. Lebih dan lebih banyak orang-orang "tinggal" dengan
bantuan transit massa, mobil oto, pesawat udara.... "Eksotis" adalah keanehan
tertutup.... di sana nampak tidak ada jarak di planet yang menghadirkan produk-
produk "modern", media, dan kekuasaan tidak dapat dirasakan. Topografi yang
lebih tua dan pengalaman perjalanan diledakkan.... Perbedaan dijumpai di tengah-
tengah lingkungan sekitar, yang sudah lazim muncul dimana saja.

(1998, h. 13-14)

"APAKAH KITA SEKARANG?"

Apakah dalam teori-teori "komunitas"nya ataupun dalam teori-teori sosialnya tentang


"diri", ilmu sosial tidak meletakkan premis-premis sosialnya sendiri pada kesimpulannya.
Ataupun pemikiran kita yang cukup historis atau bersifat budaya dalam penyelidikan-
penyelidikan kita pada diri dan subyektifitas. Kategori-kategori kita ("masyarakat" dan "struktur
sosial") sungguh sama sekali tanpa bentuk-bentuk dan kekuatan-kekuatan budaya--bahasa,
imej, simbol, makna. Apakah suatu keajaiban bahwa kita tidak mengembangkan pengertian
tentang kapasitas manusia untuk memperindah dirinya sendiri (diindahkan....) dalam
kegemerlapan bentuk-bentuk budaya, dan untuk memahami bagaimana kaya dan beragam
bentuk-bentuk tersebut ketika membungkus dan menghiasi figur manusia yang kita sebut "diri"?
Tambahan, dan sebagaimana telah ditunjukkan, di tempat seperti Amerika prasangka yang
sangat kuat bahwa kita "individu-individu" telah meruntuhkan pengertian efektif bahwa budaya
benar-benar persoalan sejauh manusia riil diperhatikan (Riesman 1954; Dumont 1986; Heller
et.al 1986). Dan imej "individu-individu" adalah tentang wajah khalayak (tentang individu-
individu?) atau tentang Ada (being), dilucuti pada "hak yang tak dapat dicabut" dan kebebasan.

Tapi dari tempat kita berdiri saat ini, "sejarah" dan "budaya" mendefinisikan kita, tidak
hanya dalam teori-teori akademis yang kita utarakan tapi dalam kesadaran atas kehidupan
sehari-hari, dimana gagasannya mendapatkan dasar bahwa "budaya" adalah fakta dan
kekuatan yang membuat kita berbeda dari orang lain, kadang-kadang dalam cara-cara yang
mendalam dan tak terelakkan. Disamping kesadaran atas budaya ini adalah kesadaran lain
yang eksis dalam ketegangan dengan yang pertama: "kesadaran atas konstruksi" (Gergen
1991, h. 146ff.), pengertian bahwa terdapat "diri" dan "identitas" untuk menundukkan dan
mengklaim sebagai milik kita. Sementara kedua cap (tanda) atas mentalitas kita mungkin
tampak di dalam konflik--bahwa bahasa dan budaya secara mendalam membentuk kita, dan
bahwa kedirian adalah sesuatu yang berubah-ubah dan sesuatu yang dapat kita tampilkan--
mereka secara efektif melayani untuk mencipta pengertian bahwa diri sekarang secara
mendalam adalah Ada (being) yang berubah-ubah, dalam pengaruh kekuatan duniawi
Sosiologi Pengetahuan Baru | 93

(kelompok, masyarakat, budaya), sementara secara bersamaan kurang memadai baik dalam
keteraturan being (ontologi) ataupun dalam alam. "Pengakuan" yang tak dapat dielakkan ini
membantu perkembangan atas pengertian kita tentang "konstruksi" kita: diri dan tubuh menjadi
"situs interaksi", dikerjakan oleh teknik dan para pelaksana modernitas. Kini, baik tubuh
maupun identitas seseorang dipandang sebagai obyek alami; masing-masing makin bertambah
tunduk pada praktik-praktik diskursif dan tindakan reflektif, jenis-jenis yang memberikan
bantuan terhadap diri sendiri: teks-teks dan teknik-teknik, terapi-terapi, pengadaan mesin dan
buku petunjuk, perubahan sex, operasi plastik pada buah dada dan hidung (inter alia),
pencangkokan organ. "Tubuh sendiri", Giddens menulis, "sebagaimana dimobilisasi dalam
praksis....segera menjadi lebih relevan pada identitas yang individu promosikan" (1991, h. 218)
atau pada identitas yang dipromosikan masyarakat. Tubuh merupakan domain terakhir privasi
dan kerahasiaan, situs tindakan dan politik pembebasan, "kode" Barat atas kesenangan
(Foucault 1980b, h. 191).

Diri dan tubuh, kenyataannya, menjadi formasi-formasi budaya. Dengan penegasan ini,
Saya menyatakan dengan tegas bahwa sebagai obyek-obyek budaya mereka disubyeksikan
pada pelaksanaan dan praktik budaya yang berbeda dan lebih luas dari diri dan tubuh nenek
moyang. Saya juga menegaskan bahwa kualitas tindakan reflektif-diri orang-orang secara
efektif menjadikan diri dan tubuh sebagai situs, dalam situs itu tindakan dan hasrat mereka
dapat dilakukan dan dimainkan: wilayah "sifat dasar" (diri, tubuh) yang menjadikan "budaya".
Konteks untuk kejadian ini adalah kehidupan kontemporer--lanskap modernitas tinggi, bersama
fitur-fitur reflektif membangun dalam semua aspek-aspeknya yang nyata (Giddens 1991).
Reflektifitas secara khusus membedakan bentuk-bentuk kekinian wilayah identitas kita.

"Pembikinan-diri", sebagaimana Greenblatt menyebutnya, bukanlah penemuan


modernitas; terdapat diri dan "pengertian bahwa mereka dapat dibikin" (1980, h. 1) sebelum
masa ini. Tapi apa yang lahir di awal era modern abad 17 adalah pertumbuhan kesadaran-diri
atas pembikinan identitas manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi, proses penuh
seni dan penemuan pengertian baru atas otonomi: "kekuasaan memaksakan bentuk kepada diri
seseorang adalah suatu aspek kekuasaan yang lebih umum untuk mengendalikan identitas--
bahwa yang lain akhirnya kerap kali sebagai milik seseorang sendiri" (Greenblatt 1980, h. 1; cf.
Elias 1978, h. 79).

Dalam modernitas dan modernitas lanjut, penegasan otonomi atau kelangsungan


hidup diri individu sebagaimana kesadaran kita atas kuasa pengintensifan budaya. Greenblatt
melakukan pengamatan serupa ketika dia berkata, pada bagian akhir risalahnya mengenai
"pembikinan-diri", bahwa dia

mempersepsi bahwa pembikinan diri seseorang dan Ada dibuat oleh institusi
budaya--keluarga, agama, negara--merupakan jalinan yang tidak dapat
dipisahkan.... Sewaktu-waktu Saya memfokuskan dengan tajam pada momen
Sosiologi Pengetahuan Baru | 94

otonomi pembikinan-diri yang tampak. Saya menemukan bukan sebuah epiphany


(festival) identitas yang memilih bebas tapi sebuah artifak budaya.

(1980, h. 256)

Dalam pertanyaan Foucault "Apakah kita sekarang?" kita menemukan ketegangan


serupa. Karena pertanyaan itu sendiri memuat di dalamnya pengakuan atas "pembuatan" diri,
masih--terutama dalam tulisan-tulisan berikutnya--sebuah pengertian yang memeriahkan
bahwa kesanggupan kita untuk menjawab pertanyaan pada semua hal perlakuan baik.
Pertanyaan dan orang yang bertanya menandakan sikap modernitas:

mode menghubungkan pada realitas kontemporer; pilihan suka rela menurut orang
tertentu; akhirnya, cara berpikir dan merasa; suatu cara, juga, tindakan dan
kelakuan pada seseorang dan di waktu yang sama memberi cap (tanda) relasi
kepemilikan dan kehadirannya sendiri sebagai suatu tugas.... Dan konsekuensinya,
ketimbang mencoba membedakan "era modern" dari "pra modern" atau
"posmodern", Saya pikir akan lebih berguna untuk menemukan bagaimana sikap
modernitas, sejak waktu itu, menemukan dirinya sendiri berjuang melawan sikap-
sikap "kontramodern"

(Foucault 1984, h. 39)

Pertanyaan "Apakah kita sekarang?", sebagaimana dilontarkan Foucault,


memaksudkan apakah "bidang refleksi sejarah pada diri kita?" (1988, h. 4). Pertanyaan dari
filosof modern--Kant, Nietzsche, Husserl, Heidegger, dan lainnya. Tapi pertanyaan tersebut
menunjuk pada lebih dari sekadar aktifitas filosofis; ia menunjuk pada "kita", subyek sejarah
kolektif hari ini; "Apakah kita sekarang?", "Apakah kita berada dalam aktualitas kita?" (1988, h.
145). Pertanyaan-pertanyaan Foucault mengundang penelitian-penelitian dalam historisitas diri
dan khususnya (oh! sangat khusus) letak "diri" dan "identitas" dalam kehidupan budaya saat
ini--tempat abadinya sebagaimana spiritual dan moral memproyeksikan dalam budaya kita.
Garis pengaruh Foucault atas penelitian mengenai prinsipnya sejarah atas kehadiran diri-atentif
kita--teknologi yang memungkinkan kita untuk mempengaruhi tubuh kita, jiwa, pikiran, relasi,
serta tindakan dan dalam cara demikian, bahwa kita memperoleh otentisitas, kebahagiaan,
kedamaian, kemurnian (1988, h. 18).

Sampai baru-baru ini, ia adalah penyingkapan gagasan bahwa budaya sekadar


memberikan materi yang dipadukan oleh subyek manusia universal. Kenyataannya, minat yang
besar sekali dalam "studi manusia" dalam antropologi diperoleh dari minat dalam penemuan
atas kesamaan-kesamaan lintas budaya (Kleinman 1988, Bab 2; Geertz 1983, Bab 7). Hanya
ilmuwan sosial minor yang berpendapat bahwa bahasa dan ideologi diri--kosa kata berbeda
atas diri dan bentuk-bentuk pengalaman serta kesadaran diri yang gagasan ini hasilkan dalam
Sosiologi Pengetahuan Baru | 95

keberadaan manusia--secara mendalam mempengaruhi diri.14

Isu historisitas diri versus universalitas diri menunjukkan seseorang atas ketegangan
keras dalam ilmu sosial sejak awal--ketegangan antara kecenderungan mempartikularkan dan
merelatifkan metode dan wacana ilmiah sosial dan yang menguniversalkan yakin bahwa sangat
banyak dari kerjanya mengingkari atau secara eksplisit mengakui. Ketika pertimbangan-
pertimbangan atas diri yang ditempatkan dalam dua kecenderungan yang konsisten dan
berkonflik tersebut, konflik diantaranya yang akan menegaskan sifat dasar transkultural diri--
Budaya sekedar memberikan materi yang dipadukan oleh subyek manusia universal--dan
other, yang kerjanya coba menerangkan secara rinci subyektifitas dan kedirian, memusatkan
pada cara bahwa bahasa dan ideologi diri secara mendalam mempengaruhi diri.

Dalam beberapa cara, secara langsung dan melingkar, pandangan berlawanan ini
berkaitan dengan perbedaan ontologis atas manusia dan realitas sendiri: kebenaran atau
keotentikan diri sebagai dasar dan kesatuan eksistensi manusia, prakondisi kesadaran dan
mengenai Rasio Praktiknya Kant versus gagasan tentang diri sebagai produk historis yang
kompleks, dimana anjuran dan larangan atas diri memberi variasi secara mendalam dari zaman
ke zaman dan dari budaya ke budaya, dan dimana obyektifikasi atas diri dalam dan melalui
pengetahuan-pengetahuan dan praktik-praktik banyak hal. Ia ditangkap dalam pertanyaan yang
dilontarkan etnolog besar:

Siapa yang tahu bahkan jika "kategori" ini (person), yang mana semua dari kita di
sini sekarang mempercayai cukup beralasan, akan selalu diakui sebagai demikian?
Ia dibentuk hanya bagi kita diantara kita. Bahkan kuasa moralnya--karakter sakral
manusia--dipertanyakan, tidak hanya di Timur saja, dimana mereka tidak mencapai
ilmu kita, tapi bahkan dalam beberapa abad dimana prinsip sudah ditemukan. Kita
memiliki kebugaran untuk bertahan; bersama kita gagasan mungkin tidak tampak.

(Mauss [1938] 1979, h. 90)15

Isu atau dilema atas diri universal versus historis bukan salah satu yang membatasi
kepada ilmuwan sosial dan filosof. Ia merupakan dilema budaya, karena ia dikomunikasikan
dalam beberapa wacana berbeda kita. Apa yang ia komunikasikan adalah desakan kita, dalam
wajah budaya yang melebihi kita, bahwa kita lebih dari artefak budaya. Desakan kita adalah
bahwa kita "bebas" mengatakan pada kita bahwa kita "lebih dari" produk budaya; upaya keras
kita pada pembikinan-diri memungkiri kegelisahan bahwa kita adalah boneka budaya. Karena
yang lain dari kita, kesadaran atas konstruksi ini--"cahaya tak tertahankan" tentang Ada tanpa
esensi ini--mengemudikan kita untuk mendesak bahwa sifat dasar (dan gen-gen) masih

14 Dalam sosiologi Amerika, karya R.S. Perinbanayagam secara konsisten memperlihatkan keluasan dan
kedalaman pengaruh bentuk-bentuk budaya dalam mempertampilkan kedirian--dari studinya tentang diri,
masyarakat, dan astrologi di Jafrina-Sri Langka (1982), sampai Signifying Acts (1985), dan Discursive Acts (1991).
15 Crapanzano (1992, h. 75-77) menyatakan bahwa ceramah kuliah Mauss memuat pandangan-pandangan
kontradiksi mengenai universal atau evolusioner (istilah Crapanzano) pendekatan pada diri.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 96

membuat kita ada. Tapi apapun kita terbuat darinya--baik kita lari darinya atau merangkulnya--
kita tahu diri kita sebagai "konstruksi" budaya. Ini adalah siapa kita.... sekarang.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 97

BAB 5
PENGETAHUAN YANG DIHASILKAN
Feminisme dan ilmu

Dalam masyarakat kita...."kebenaran" dipusatkan pada bentuk wacana ilmiah dan


institusi-institusi yang menghasilkannya.... ia adalah isu seluruh perdebatan politik
dan konfrontasi sosial.
(Michel Foucault)

TINJAUAN DASAR

Apa yang kita sebut "peradaban Barat" adalah gagasan ganda tentang ilmu dan rasio:
peradabannya Rasio Pencerahan mungkin, tentu saja, hadir lebih dari beberapa gagasan yang
lain: sejarah progresifnya sendiri dan kapasitasnya untuk membawa kebebasan dunia dari
prasangka dan takhayul. Melalui penggunaan pengetahuan ilmiah dan teknologi yang mereka
telurkan, orang-orang Barat percaya bahwa mereka memiliki kapasitas untuk membawa
kehidupan yang lebih baik dan dalam kondisi yang lebih manusiawi serta untuk mencapai
kesetaraan, mereka memberi pernyataan ganda sebagai dasar dan harapan atas
demokrasinya. Penyempurnaan atas seluruh ras manusia, terutama harapan atas
kebebasannya dari prasangka, dominasi, dan kebrutalan, adalah--hampir tanpa sanggahan
terhadap abad 18--tidak keluar dari batas-batas gagasan ilmu itu juga. Tentu saja, Hans-Georg
Gadamer menunjuk pada gagasan atas penyempurnaan ini, atas ”formasi-diri atau
pengolahan”, sebagaimana ”barangkali gagasan agung abad 18”, memberikan Rasio
Pencerahan ”sebuah muatan baru secara mendasar”, dan menciptakan pernafasan pada
atmosfer itu juga dengan ilmu human abad 19” (1975, h. 10). Gagasan progresif ini adalah
tangkai yang tak dapat dihindarkan dari fitur ekonomi masyarakat Barat: syarat kapitalisme
industri atas perubahan dan pergerakan serta titik tekan akibatnya pada ”kebaikakn dan
kebaruan” serta kemajuan yang tidak dapat dihindarkan (Wallerstein 1990, h. 37). Tapi asal
usul dan perkembangan gagasan atas kemajuan berakar seolah-olah dalam pesona peradaban
klasik tentang pengetahuan dan keyakinannya pada "pengetahuan obyektif" (Nisbet 1980).

Gagasan pengetahuan ilmiah yang sangat sentral untuk peninggalan peradaban Barat
dan untuk periode Pencerahan abad 18, dikonsepsikan sendiri sebagai proyeksi semua
kemanusiaan--"kemanusiaan datang dari zaman" milik Kant atau penggambaran Diderot atas
filsafat sebagai panduan umum kemanusiaan. Karena tidak ada batas-batas nasional untuk
"rasio kritis" Pencerahan. Sungguh berlawanan, ilmunya akan membantu semua orang dan
perubahan seluruh dunia, bahkan dalam rintangan besar atas ketidaktahuan, perbudakan, dan
barbarisme. Keyakinan ini mencakup ilmu sebagai kekuatan progresif bagi pembebasan
manusia terletak pada gagasan bahwa pengetahuan ilmiah (sebuah metode universalnya
Sosiologi Pengetahuan Baru | 98

sendiri) mengikuti hukum-hukum universal yang penemuannya menuntun semua orang menuju
takdir alamiahnya. "Fondasi satu-satunya bagi kepercayaan dalam ilmu alam", Condoret
menyatakan,

adalah gagasan ini, bahwa hukum-hukum umum mengatur fenomena alam


semesta, diketahui atau tidak diketahui, adalah perlu dan tetap.... Kemajuan ilmu
memastikan kemajuan seni dan pendidikan, yang sebaliknya ia memajukan ilmu itu
sendiri. Pengaruh timbal balik yang aktivitasnya terus menerus diperbarui, patut
dianggap sebagai salah satu dari sebab-sebab yang paling kuat dan aktif yang
bekerja bagi kesempurnaan umat manusia.

(Condoret [1794] 1973, h. 803, 805)

Menurut pengamatan kontemporer, gagasan-gagasan pervasif ini dan narasi-narasi


yang mengiringinya--pembebasan kemanusiaan dan persatuan serta universalitas
pengetahuan--memberikan kehidupan dan bentuk-bentuk spirit moralitas kolektif tersendiri,
ketaksadaran politik, dan identitas nasional kita. Dalam melakukan demikian, mereka
menjadikan ilmu kita sejenis kebenaran abadi dan pembuktian kebenaran manusia. Ilmu
sebagai penjelmaan praktis dari rasio impersonal, kemudian, membawakan Barat dengan
kisah-kisah kita yang paling mulia dan paling vital.

Universalisme metode-metode ilmu dan obyeknya --hukum-hukum alam, terhadap


manusia, dan terhadap masyarakat-- memaksudkan bahwa etos ilmu meletakkan
keobyektifannya dan karakter impersonal. Tentu saja, ilmu menghadirkan rasio impersonal
dalam bentuk terlengkapnya. Dalam istilah umum, kebenaran ilmu tidak bergantung pada
personal atau sifat sosial ilmuwan --bangsa, agama, ras. Kenyataannya, terdapat pertimbangan
tidak relevan pada usaha ilmiah dan bertentangan dengan tujuan-tujuannya: ”universalisme
ditanamkan dalam karakter impersonal ilmu” (Merton [1942] 1990, h. 69) dan sesuai dengan
pelaksanaan dan standar masyarakat demokrasi. Karena ilmu dan pemerintahan demokrasi
menegakkan dalam prinsip gagasan bahwa partikularisme bukan tempat sebagai kriteria bagi
pengejaran kebenaran ilmiah ataupun dalam hal keadilan politik. Sementara kepedulian sejarah
dan sosiologi pada "suku ilmiah" (Clarke 1969) tidak diragukan lagi akan menyingkap susunan
berbeda nan kompleks atas gagasan-gagasan dan praktik-praktik mengenai pendirian universal
ilmu, termasuk kriteria oleh ilmuwan mereka sendiri, universalisme memberi definisi singkat
apa, pada prinsipnya, ilmu. Akhirnya sampai sekarang.

Selama setengah abad terakhir ini gagasan ilmu universal berjalan lambat sekali tetapi
secara meyakinkan ditentang oleh gerakan intelektual dan gerakan sosiopolitik, yang berpikiran
berbeda dalam banyak respek pada yang lain (other), berbagi skeptisisme tentang posibilitas
dan bahkan ilmu umum tentang manusia dengan asumsi rasionalisnya mengenai penerapan
ilmu bagi kemajuan manusia. Bermacam-macam perkembangan intelektual, diarahkan
Sosiologi Pengetahuan Baru | 99

melawan positivisme, secara efektif berhasil meruntuhkan tempatnya sebagai fondasi filsafat
sosial dan sebagai metode ilmu sosial terpilih. Para Hermeneut, strukturalis, postrukturalis, dan
teoritisi budaya dalam jajaran disiplin --antropologi dan sosiologi, filsafat, kajian kesusastraan,
dan sejarah-- bersaing menawarkan metode-metode bagi disiplin dan praktik pengetahuan.
Model-model yang mereka sertakan, terutama mengenai teks dan penafsirannya atau model
"bahasa" (memahami melalui teori atau retorika, representasi, atau wacana), menyoroti
bangunan konsepsi dan bahkan karakter artifisial obyek-obyek penelitiannya; dan juga,
memberi perhatian pada problem pengambilan obyek-obyek segala penelitian "obyektif". Dalam
istilah "teori interpretasi", memahami sesuatu--memahami gestur manusia, tanda tertulis, atau
teks tertulis--meliputi "mode yang tidak dapat direduksi lagi terhadap apa yang dapat
dimengerti" (Ricoeur 1976, h, 72). Pemahaman berbeda tentang eksplanasi, yang
membedakan pencarian ilmu pada sebab musabab melalui penemuan hukum-hukum dan
gagasan yang mengiringinya mengenai "realitas" sebagai sesuatu yang berdiri atas dirinya
sendiri, yakni, bagian dari interpretasi kita atasnya.

Selama periode yang sama--kasarnya setengah abad terakhir--kehidupan intelektual


kontemporer dikepung krisis rasionalitas dan apa yang disebut sebagai "momok relativisme....
gentanyangan" di belakang dan di bawah perdebatan dan dialog tersebut (Bernstein 1983, h. x-
xi). Orang-orang yang terlibat, dia mennyatakan, melontarkan pertanyaan kritis mendalam
mengenai kategori-kategori, perbedaan-perbedaan, dan bias-bias yang membentuk budaya kita
dan kehidupan sehari-hari kita sejak abad 17. Antropolog James Clifford (1986, h. 10), dalam
penilaiannya sendiri atas representasi baru-baru ini, setuju dengan respek kepada signifikasi
sejarah atas krisis baru-baru ini: kritik kontemporer diarahkan melawan "keyakinan Barat yang
berlebihan, wacana-wacana karakteristik". Bagi orang-orang yang terlibat, gagasan ilmu dan
pengetahuan universal itu pulalah yang metode dan strukturnya memahami kebenaran,
ketentuan terakhir dalam obyek, atau pembongkaran realitas menjadi problematis atau, dalam
beberapa bagian, mencurigakan. Dalam perbedaan yang tajam terhadap pernyataan bahwa
metode ilmiah menemukan dan menggambarkan alam semesta obyektif, pendekatan ini
berpendapat bahwa "realitas" adalah relasional, tanda kutip menunjukkan status relatif dan
problematis mengenai apa itu realitas: apakah riil itu dipahami melalui keterkaitannya pada
wacana-wacana khusus atau pada "kode-kode" atau konvensi-konvensi" pikiran dan tindakan.
Dan padahal, sebelumnya, metode-metode ilmiah diperlakukan untuk mendirikan obyektifitas,
sekarang "obyektifitas" dilihat sebagai sesuatu yang diskursif; subyektifitas personal dan
otoritas budaya mencatat bahkan menguraikan seperti "penyelenggaraan rekaan satu sama
lain" (Clifford 1985).

Sebagai bagian dari perkembangan ini--pemberian arti relatif dan pembatasan konteks
pengetahuan dan penyebaran pespektif ini lebih lanjut--konsep "budaya" menjadi garis
terdepan diskusi-diskusi ini (Robertson 1992, Bab 2). Ia bahkan mungkin dikatakan bahwa
Sosiologi Pengetahuan Baru | 100

penggunaan konsep itu telah berkembang dan memperoleh momentum sebagai penghukuman
berkenaan dengan "tirani Metode" (Bernstein 1983, h. xi) dan usaha ilmiah telah menberdirikan
mereka sendiri. "Budaya" dipahami sebagai keberubahan, lemah, dan sepenuhnya manusia
dan daerah kesatuan pengalaman dan pengetahuan, dioperasikan sebagai kategori yang
merepresentasikan apa yang bukan rasio universal. Gagasan tentang budaya itu pula yang
benarbenar sesuai dengan pendekatan yang "meletakkan lebih historis, non algoritma,
pemahaman fleksibel rasionalitas manusia, salah satu yang menyoroti dimensi tak terucapkan
dari penilaian dan imajinasi manusia serta peka terhadap kemungkinan tak terduga dan
menemukan keaslian yang baru dalam situasi-situasi tertentu" (Bernstein 1983, h. xi). "Budaya"
memungkinkan kita untuk merepresentasikan pluralitas, kesatuan, dan fitur-fitur lokal eksistensi
sosial kita, untuk menekan perbedaan melebihi kesatuan, untuk menegaskan gagasan
konstruksi melebihi esensi, untuk "memerangi totalitas" (Lyotard 1984, h. 82). Dalam istilah
politik, "budaya" menyediakan bagi masyarakat dunia untuk bercakap-cakap dengan yang lain,
untuk berpikir melampaui asal usul mereka sendiri, dan untuk memasuki dunia dimana
perbedaan memperoleh artinya sendiri (Bhabha 1994); "budaya" memungkinkan kita untuk
berbicara melintasi dan diantara budaya-budaya di waktu ketika "budaya global" sedang
berlangsung (Featherstone 1990). "Budaya" juga sebuah bentukan, melalui bentukan itu
kapitalisme Barat menjadi istilah-istilah bersama problem "universalisme" dalam wajah
perbedaan (rasisme dan sexisme) dan perubahan (Wallerstein 1990).

Bahkan dalam ilmu sosial, "budaya" (konsep dan teori) melayani lebih luas kebutuhan
dalam pemikiran kita, fungsi yang lebih luas dari pada sebagai sekedar perangkat bagi
penelitian sistematis. "Budaya" merupakan "obyek problematis baru" (Clifford 1986, h. 3)
beberapa disiplin, karena ia memberi arti pengertian kontemporer kita tentang ketidaktetapan,
secara global dibentuk tapi secara lokal merupakan tanah lapang dari praktik-praktik kolektif,
secara tertentu menyingkap bentuk-bentuk representasi (imej, simbol, gagasan, wacana, teks).
Ia juga menandakan keadaan kontemporer berpaling pada kehidupan sehari-hari, pada politik
makna dan penandaan, dan penyingkapan metafor-metafor yang digunakan dalam ilmu sosial
sekarang ini--hal itu dari bahasa dan tektualitas. Semua ini adalah apa yang "budaya" dan
"studi budaya" hadirkan (dan menghadirkan kembali)-- sejenis "menggantikan" secara tetap
usaha ilmiah beberapa masyarakat-dunia kita. Dalam kata seorang juru bicara paling penting
dari studi budaya, studi budaya "memegang pertanyaan teoritik dan politik dalam sesuatu yang
sungguh tak terpecahkan tapi ketegangan permanen....[membolehkan] seseorang untuk
mengganggu, mengacaukan, mengacak-acak yang lain, tanpa mendesakkan beberapa
penutup teoritis akhir" (Hall 1992, h. 284).

Oleh karenanya, kita dapat berbicara tentang "penemuan budaya", yakni,


penggunaannya untuk menafsirkan masyarakat, kelompok, dan peradaban namun tidak untuk
menghadirkan mereka (Wagner 1981). Kita dapat menafsirkan "penemuan budaya" ini sebagai
Sosiologi Pengetahuan Baru | 101

sebuah strategi beberapa intelektual Barat yang ketertarikannya dengan "kawasan makna dan
identitas" dan yang dunianya membuat ia "bertambah sulit untuk melekatkan identitas manusia
dan makna kepada pertalian ”budaya” atau mungkin ”bahasa” (Clifford 1988, h. 95). Bagi
mereka (dan, mungkin, bagi yang lain juga), "budaya" memberi arti pecahan "narasi-narasi
besar" (Lyotard 1984) peradaban Barat, dari narasi-narasi besar itu ilmu rasional adalah narasi
terbesarnya.

Tapi siapa dan apa turunan narasi besar ini? Siapa atau apa yang membuat ilmu
menjadikan sesuatu yang diproduksi atau dibentuk? Bagaimana ilmu rasional dan klaim
keuniversalannya menjadi tidak mungkin? Bagaimana kita menjadi berbicara seperti yang kita
lakukan saat ini, tentang "budaya atas ilmu?" Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
tidak diragukan lagi banyak terdapat dalam gerakan sosial dan politik sebagaimana mereka
lakukan dalam perkembangan intelektual dalam setengah abad terakhir. Walaupun Saya tidak
akan meletakkan mereka di sini, jawaban mesti juga datang dari ilmu itu sendiri, kritik-diri dan
fitur-fitur non dogmatiknya, responsifnya pada perkembangan sosial dan budaya, dan
skeptisismenya mengenai otonominya berhadap-hadapan dengan konteks sosiopolitik, dalam
sosiopolitik itu ia bekerja. Semua ini mengundang dan mempromosikan "budaya atas
pengaduan" (Hughes 1993) bahkan menentang dirinya sendiri.

Karena keutuhan pada gagasan itu pula atas obyektifitas ilmiah adalah gagasan ilmu
sebagai usaha mengoreksi diri, mengundang reinterpretasi sistematik dan teratur atas
metodenya sendiri dan obyek-obyek studinya. Rasionalitas ilmiah, masih dapat, membawakan
transformasi atas usahanya sendiri (Harding 1991, h. 3-4). Obyektifitas ilmiah juga termasuk
standar-standar integritas profesional yang dapat melayani untuk melegitimasi penelitian
seksama dari ilmuwan ke ilmuwan. Dalam kasus yang tidak banyak diketahui dari David
Baltimore (ilmuwan universitas Rockefeller dan peraih Nobel yang menolak untuk menyelidiki
dugaan-dugaan tanpa bukti atas pemalsuan catatan-catatan penelitian), ilmuwan muda Margot
O'Toole, yang membuka kasus tersebut, mendesak bahwa dia sekedar memelihara tanggung
jawabnya pada integritas ilmiah (Hilts 1991; 1992), dengan demikian penggambaran gagasan
ilmu itu juga untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai validitas karya ilmuwan
senior. Tentu saja, fitur-fitur skandal dari kasus ini berasal dari publik dan pengakuan
profesional bahwa Baltimore dan sejumlah koleganya melanggar standar profesional yang dia
dan mereka harapkan untuk tegak: kritik-diri dan praktik-praktik serta prosedur-prosedur
sistematis, pada prinsipnya, justru apa yang metode ilmiah nyatakan untuk menjadi. Karena
alasan ini, pemeriksaan-pemeriksaan, kritik ilmu akan memasukkan ilmuwan mereka sendiri
yang menganggap sebagai barisan kritik ilmu (feminis, environmentalis, anti pengembangan
nuklir, dan lainnya).

Pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa yang meletakkan dasar-dasar bagi kritisisme


baru-baru ini atas ilmu dan praktiknya yang tidak dapat dihindarkan meliputi pemikiran
Sosiologi Pengetahuan Baru | 102

mengenai apakah ilmu itu: bagaimana ilmu itu bukan sesuatu, dan tentu bukan sesuatu yang
univokal. Agaknya, ilmu adalah variabel historis. Seperti beberapa fitur pokok masyarakat
industri, perubahan ilmu, sebagaimana tempatnya dalam masyarakat kontemporer--seperti
letaknya dalam pemerintahan, dalam perang, dalam kebijakan dan perencanaan sosial. Seperti
pada kritik ilmu, keluasan otoritas ilmu dan kuasanya dalam setengah abad ini tentu
mempengaruhi munculnya gerakan untuk menentang dan untuk meneliti dengan cermat
praktik-praktik ilmu. Di Amerika sekarang ini, jumlah ilmuwan mendekati 1 juta dan bagiannya
dari anggaran pemerintah $25 milyar; pada 1940 hanya sekitar 200 ribu ilmuwan, anggaran dari
pemerintah $70 juta (Hilts 1992). Dirumuskan berbeda, angka pertumbuhan bagi ilmu jauh lebih
besar dari pertumbuhan income nasional (Rose dan Rose 1969, h. 4). Jadi pertanyaan atas
legitimasi ilmu muncul tepatnya selama periode ekspansi ilmu dan bertambahnya pengaruh
serta kuasa dalam masyarakat modernitas lanjut. Keluasan fungsinya, dalam beberapa cara,
secara aktual melayani untuk meruntuhkan otoritasnya serta kredibilitasnya dalam masyarakat
luas sebagai tidak memihak, manusiawi, berusaha obyektif. Tapi ia juga akan berbicara bahwa,
dalam beberapa respek penting, walau tentangan berat untuk praktik-praktik ilmu, "gajah
bahkan tidak mengibaskan belalainya atau tampak melihat sekilas" ke pengganggunya (Bleier
1986, h. 1). Baik konsekuensi atau bukan, ini akan menjadi isu yang akan Saya bicarakan
kemudian.

ILMU DIKECAM

Sejarah ilmu baru-baru ini dibuat oleh beberapa gerakan berbeda dari kritik yang tekun
menampilkan penyelewengannya dan meruntuhkan otoritasnya. Sebagian, gerakan ini
menghadirkan minat publik, seseorang yang bertanggung jawab untuk bertambahnya bahaya
dan resiko yang bertambah dari pengembangan teknik dan kedokteran: nuklir dan perang
kimia, lingkungan dan sumber polusi kimiawi dan penyakit, kecelakaan destruktif pada alam
sebagai sumber minyak, bahaya yang mengiringi pengobatan dan pembedahan medis baru.
Kenyataannya, gerakan lingkungan, kelompok anti nuklir, aktifis pelindung binatang, dan
lainnya secara efektif menampilkan penipuan-penipuan besar dan penyelewengan praktik-
praktik ilmiah dan pengaruh perubahan dalam peyembuhan dan eksperimen yang
menggunakan "subyek-subyek manusia" dan binatang-binatang lain, penggunaan berlebihan
obat-obat penyembuhan dan terapi bagi populasi terlembaga, penyembuhan medis-hina pada
perempuan, serta eksploitasi pekerja dan tentara melalui pembukaannya pada pengobatan
medis dan teknologi kehidupan.

Selama lebih dari dua dekade, kritik ilmu, terutama feminis, menghadirkan oposisi
hebat kepada institusi ilmu dan teknologi. Kelompok terorganisir perempuan melancarkan
serangannya pada dua barisan--politik dan intelektual. Di tempat pertama, mereka meminta
perbaikan dalam praktik-praktik medis meliputi perempuan sebagai klien (melahirkan, diagnosa
Sosiologi Pengetahuan Baru | 103

dan penyembuhan kanker rahim dan payudara, aborsi, wali keibuan, dan sebagainya). Dalam
prosesnya, mereka mengklaim berbicara untuk orang lain yang dimarjinalkan oleh institusi dan
menegakkan praktik-praktik medis sesungguhya bagi mereka. Protes oleh perempuan juga
meluas pada institusi besar hukum, politik, dan kesejahteraan sosial. Dalam prosesnya, feminis
dan yang lain jelas memiliki peran dalam meruntuhkan reputasi ilmu sebagai kemajuan
manusia dan secara umum melangsungkan upaya tersebut. Di universitas-universitas, feminis
mengkritik mengenai tidak dimasukkannya perempuan dalam ilmu-ilmu (lihat Rossi 1965 untuk
pernyataan awal; Rose 1986 dan Hubbard 1990, Bab 3-4 untuk tinjauan yang lebih baru), dan
juga dari semua bidang-bidang "produksi pengetahuan" yang lain dalam masyarakat
kontemporer (hukum, kebijakan sosial dan pemerintahan, profesi akademik, dan sebagainya).
Tindakan perempuan sebagai individu-individu dan dalam kelompok perempuan juga sangat
mencolok dalam peran-peran aktifnya sebagai pemimpin dan mobilisator dalam gerakan
perdamaian Amerika 1980-an (Lofland 1993), dan juga dalam gerakan lingkungan dan ekologi
di periode yang sama. Masing-masing memfokuskan serangan politiknya pada praktik-praktik
"imperialis" Amerika dan penegakan ilmiah Barat yang lain: negara, dalam kasus mesin dan
teknologi perang nuklir; korporasi multinasional yang dibantu oleh negara-bangsa, dalam kasus
pelaksanaan penghamburan dan pengrusakan lingkungan.

Kritik-kritik feminis

Feminis tersebut, yang keberadaan dan audiens utamanya adalah universitas-


universitas, memulai serangannya pada ilmu dan penegakan ilmiah dengan pencatatan, yang
sudah berjalan lama, peminggiran perempuan dari semua bidang dan profesi yang dihadirkan
universitas. Feminis membuka kedok apa yang digambarkan secara ringkas sebagai " bias laki-
laki" yang menjalankan konsep-konsep, teori-teori, metode dari banyak disiplin akademik:
misalnya, tulisan kritis awal tampak dalam fisika (Keller 1978; 1985); dalam filsafat (Harding dan
Hintikka 1983); dalam sejarah (Janssen-Jurreit 1980); dalam psikologi (Gilligan 1979; 1982;
Sherif 1979); dalam sosiologi dan teori sosial (Bart 1971; Bernard 1973; Smith 1987, lihat h. 22,
n. 7). Tubuh penelitian ini menjadi jelas bahwa ilmu (ilmu dan teknik, termasuk ilmu sosial) jauh
lebih sistematis meminggirkan perempuan dari pada disiplin-disiplin lain (Rosser 1986; National
Science Foundation 1982). Dengan respek kepada ratusan perempuan yang berhasil
meletakkan ilmu, feminis mencatat, yang sudah lama dan baru-baru ini, pemencilan perempuan
dan pekerja berstatus rendah serta dianggap rendah dalam bidang usahanya (Weisstein 1977;
Tertanda 1978; Vetter 1980; Rossiter 1982).

Studi-studinya juga mencatat praktik yang meluas, sampai sangat baru-baru ini,
mengenai peminggiran perempuan sebagai subyek penelitian dalam studi-studi ilmiah.
Kesetaraan penting sebagaimana peminggiran ini merupakan praktik umum dari studi-studi ini
untuk mengeneralisir temuan-temuannya kepada laki-laki dan perempuan. Dalam ilmu
Sosiologi Pengetahuan Baru | 104

kedokteran dan dalam psikologi, misalnya, ini menuntun perempuan pada ketidaktahuan
sistematis atas fitur-fitur berkembang dan kondisi-kondisi ganjil medis. Apa yang kita pikir
bahwa kita mengetahui secara psikologis dan medis "perkembangan manusia" merupakan,
dalam dampaknya, pengetahuan dari perkembangan laki-laki (Berkeley et al. 1986). Praktik-
praktik seperti ini menyingkap kewajaran persepsi "androsentris", dimana laki-laki berdiri
sebagai ukuran dari semua keberadaan manusia, sebuah persepsi bahwa ilmuwan laki-laki
gagal mempersepsi, seperti mereka, hampir tanpa pengecualian, gagal menghasilkan
pengetahuan sistematis dan tanpa prasangka tentang kesehatan perempuan dan tubuhnya
(Longino 1990, h. 129ff.). Memberi angka tinggi pada kanker dan kerusakan hati perempuan,
misalnya, secara sedikit relatif mengetahui mengenai etiologi dan penyembuhannya. Awal kritik
feminis pada ilmu memulai dengan pertanyaan-pertanyaan: "Apa dasar ketidaktahuan dari
perempuan ini?", "Apakah itu mengenai ilmu--atau mengenai perempuan--atau mengenai
feminis--yang menjelaskan ketidakhadiran nyata suara feminis dalam ilmu alam?" (Bleier 1986,
h. 1). "Apa yang akan dilakukan mengenai situasi perempuan dalam ilmu" atau tentang
pertanyaan perempuan dalam ilmu" (Harding 1986, h. 9)? Apakah yang dilakukan sekarang
dimaksudkan untuk perempuan?

Dalam banyak kasus, pencatatan peminggiran ilmu atas perempuan dari praktik ilmu,
bagaimanapun penting dalam meruntuhkan klaim-klaim ilmiah tentang obyektifitas dan
universalisme, bukankah, dalam dunianya sendiri, terdapat kritik radikal terhadap ilmu--yakni,
seseorang yang membawa kepada pertanyaan klaim-klaim yang mendasari usaha ilmiah,
terutama klaimnya pada rasionalitas ilmiah. Karena bagaimanapun banyak praktik-praktik
diskriminasi terhadap perempuan dicatat, ini tidak meruntuhkan klaim-klaim ilmu kepada
universalisme dan obyektivismenya. Karena responnya pada praktik-praktik ini sekedar akan
membetulkannya melalui praktik-praktik yang lebih jujur dan lebih pantas--dengan membuat
ilmu tak ilmiah jadi lebih ilmiah.

Keberatan pada ilmu jauh lebih seksama terdapat dalam jenis studi feminis yang lain
dan yang berbeda, terutama yang menunjukkan bagaimana konsep-konsep dan teori-teori
ilmiah, seperti biologi, immunologi, dan psikologi, memuat di dalamnya gagasan dasar secara
historis dan budaya tentang legitimasi historis status subordinat perempuan. Misalnya, karya
Bleier (1984) mengenai teori-teori dan penelitian biologi memperhatikan bagaimana
sumbangsih ilmu biologi untuk elaborasi penyingkapan gagasan-gagasan tentang inferioritas
biologis perempuan--gagasan yang melegitimasi status sosial inferior perempuan dalam
peradaban Barat. Haraway (1989), Longino dan Doell (1983), dan Longino (1990) memberikan
penelitian yang membicarakan bagaimana tepatnya konsep-konsep dan interpretasi-interpretasi
"androsentris" dan "sexist"16 memasuki primatologi dan evolusioner dan praktik-praktik

16 Longino (1990, h. 129) membedakan "androsentrisme" (persepsi dunia dari titik pijak laki-laki yang gagal
mempersepsi secara akurat atau menggambarkan kehidupan perempuan) dan "sexisme" (praktik-praktik yang
berasumsi atau melegimimasi subordinasi perempuan dapa laki-laki). Karya Harding, seperti kebanyakan penulis
feminis terkemuka yang lain, juga memperlakukan perbedaan ini (1986; 1991).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 105

penelitian (i.e., melalui konsep-konsep dan hipotesa-hipotesa, dalam desain penelitian aktual,
dan dalam kumpulan serta interpretasi data). Karya Haraway dalam sejarah ilmu (1989, Bab
10; cf. Harding 1991, h. 209-211; 1986, h. 233-239) memeriksa bagaimana makna-makna ras
dan jender dibudayakan dan orang-orang Afrika memasuki primatologi dari bangsa dan budaya
yang berbeda (misalnya, orang India, Jepang, Amerika) merefleksikan konsepsi berbeda atas
alam dan masyarakat. Karya Haraway memperlihatkan bagaimana gagasan-gagasan
primatologi dapat dibaca sebagai bagian dari nasional tertentu dan wacana politik budaya
tertentu yang melayani sebagai pelegitimasian skema dominasi politik (lihat diskusi Longino
1990, h. 209-214). Bentuk-bentuk penelitian ini memasukkan pandangan terhadap obyek-obyek
primatologi--binatang-binatang menyusui tingkat utama dan tingkah lakunya--sebagai obyek
sosiobudaya yang melayani sebagai "sumber untuk pemberian" (Haraway 1991, h. 197). Atau,
untuk mengambil contoh dari ilmu biologi dan evolusioner dan untuk menggunakan metafor
berbeda, tubuh manusia laki-laki dan perempuan dari spesies berbeda melayani sebagai ruang,
pada ruang itu prasasti sosiopolitik dapat ditulis. "Alam", dalam kalimat Haraway, "hanya meteri
kasar budaya, menyediakan, memelihara, memperbudak, mengagungkan, atau sebaliknya
membuat lentur untuk diperlakukan oleh budaya" (1991, h. 98; cf. Angier 1994). Bagaimanapun
perbedaan metode-metode penelitiannya, Hubbart (1990, Bab II) juga menunjukkan bagaimana
dalam bidang-bidang politik dan proses-proses evolusioner, seksualitas manusia, dan
perbedaan seksual diberi arti dan diurai melalui studi-studi ilmiah. "Alam adalah bagian dari
sejarah dan budaya", Hubbart berpendapat, "bukan sekitar yang lain". Hubbart (1990, h. 1) dan
Bleier (1984; 1986) memberikan tinjauan yang sangat meyakinkan mengenai "perbedaan sex",
mereka memfokuskan dalam studi biologi mengenai struktur otak, hormon, gen; keduanya
menyimpulkan bahwa penelitian tidak memberikan dukungan empiris bagi minat pikiran ilmiah
yang sudah berlangsung lama ini. Hubbart juga menyatakan bahwa konsep "perbedaan sex"
sendiri tak dapat dielakkan adalah politik dan moral, dan berhubungan dengan dominasi atas
perempuan dan legitimasinya. (Fokus ilmu pada "perbedaan", dia berpendapat di sini, juga
dampak-dampak penting pelegitimasian bagi perbedaan kelas dan ras.)

Seluruh tinjauan Longino (1990, Bab 6-7; cf. Harding 1986, Bab 4, tinjauan Longino
dan Doell 198) mengenai studi perbedaan sex dalam bidang antropologi fisik, psikologi
psikologis, dan endoktrinologi memeriksa hipotesis-hipotesis (dan latar belakang asumsinya)
dan data dalam keteraturan untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan utama filosofis
mengenai penelitian ilmiah. Analisis dan simpulannya mengenai penelitian perbedaan sex
adalah hal tersendiri, dalam beberapa respek, dari kritik yang lain. Berhubungan dengan kritik
feminis yang lain, Longino termasuk moderat dengan mengusulkan "epistemologi kontekstual".
Dia tidak memegang pandangan bahwa metode ilmiah, termasuk fokusnya pada "perbedaan",
sudah menjadi sifatnya androsentris (meski dia secara teratur mengidentifikasi asumsi-asumsi
sexist dan androsentris dalam pelaksanaan pada beragam tahap studi ilmiah). Metode
"kontekstual"nya memandang ilmu sebagai suatu usaha yang memasukkan dirinya sendiri
Sosiologi Pengetahuan Baru | 106

dalam kesanggupan dan syarat untuk memeriksa asumsi-asumsi dan kepentingan-kepentingan


terhadap kerja penelitian ilmiah--nilai-nilai ilmu sendiri (nilai-nilai "konstitutif"), seperti akurasi
dan kemungkinan meramalkan, latar belakang asumsi-asumsi (atau "kontekstual" atau nilai-nilai
sosiobudaya). Sementara yang disebut belakangan ini sering mengelakkan penilaian empiris,
mereka jelas memberikan lingkungan dan jiwa khas suatu bangsa (etos), dalam lingkungan dan
etos itu kerja ilmiah bekerja. Praktik-praktik ilmiah dan nilai kontekstual eksis "dalam dinamika
interaksi" (Longino 1990, h. 5), dan, kenyataannya "struktur kognitif dan logis penelitian ilmiah
membutuhkan interaksi demikian" (h. 185). Pelukisannya atas praktik-praktik ilmiah masih
menahan (melawan kritik-kritik feminis lain) demi kapasitas ilmuwan dan/atau audiensnya untuk
menguji secara reflektif bagaimana nilai-nilai kontekstual dan kepentingan-kepentingan--
sementara, pada prinsipnya, bagian luar untuk penyelidikan-penyelidikannya--secara aktual
beroperasi pada semua tingkat penelitian dan analisa (deskripsi, presentasi, dan interpretasi
data). Masih, bersama-sama dengan kritik rekannya yang lain, menolak sama sekali gagasan
dan tujuan dari ilmu bebas nilai dan mengusulkan bagaimana ilmu feminis (dan juga secara
politik yang lain menjalankan penelitian-penelitian ilmiah) dapat beroperasi sebagai ilmu peka
politik (1990, Bab 9). Dia juga menggunakan pikiran revisionis atas "ideologi" yakni sepenuhnya
konsisten dengan memberlakukan pandangan-pandangan kritik feminis lain: ideologi melayani
fungsinya yang sudah berlangsung lama sebagai pedang ilmiah atau pengetahuan filosofis.
Karena ideologi mengoperasikan seluruh ilmu mainstream, dan "kontra ideologi" dapat
digunakan untuk menunjukkan dan untuk mengubah keberadaan ilmu (1990, h. 187). Oleh
karenanya, ideologi sekarang menduduki tempat yang menjadi haknya dalam ilmu dan
mengarahkan jalan ilmu "baru".

Minat saya sendiri pada kerja kritik feminis adalah untuk menaksir apa yang
memungkinkan akan menjadi (dan telah menjadi) hasil (praktis dan teoritis) kritisismenya--dan
untuk siapa. Bagi Saya, jawaban bagi pertanyaan "untuk siapa?" adalah yang paling besar
artinya. Sementara Saya akan langsung membicarakan pertanyaan ini pada kesimpulan bab
ini, Saya akan memulai dengan mengatakan bahwa dampak terbesar feminis--dengan tidak
memaksudkan yang bertalian--menjadi terasa dalam universitas. Argumen teoritisnya (bersama
dengan penelitian pendukungnya) bahwa ilmu adalah budaya bergema melintasi ilmu sosial
dan ilmu human, membuka penelitian lintas disiplin dalam dasar-dasar budaya mengenai
pencarian pengetahuan dan rasionalitas. Bagaimanapun banyaknya perbedaan yang
memisahkan kritik-kritik feminis yang paling penting (perbedaan yang menduduki dan
persoalannya lebih banyak dari pembacanya, Saya meragukan), kritik feminis sama dalam
desakannya bahwa ilmu dipahami dan diperiksa sebagai keseluruhan aktifitas budaya dan
sosial. Saya memasukkan disini--mendaftar kritik-kritik utama dan posisinya yang paling
karakteristik--argumen Sandra Harding (1986) bahwa ilmu sosial kritis dan refleksi-diri akan
menjadi model bagi semua ilmu sosial (1991); konsepsi Donna Haraway mengenai
pengetahuan ilmiah sebagai "pengetahuan yang disituasikan" (1988; 1991, Bab 9) yang
Sosiologi Pengetahuan Baru | 107

memasukkan gagasan tentang pengetahuan ilmiah sebagai kebenaran retoris, dia terutama
sekali menggunakan pandangan Foucault (1982) tentang obyek-obyek ilmiah sebagai "obyek-
obyek yang dibentuk", dan desakannya pada "perspektif parsial" melebihi relativisme dan
holisme--masing-masing menjalankan posisi "konstruksionis sosial" radikal; pandangan Helen
Longino tentang ilmu sebagai "pengetahuan sosial" dimana nilai-nilai sosial memainkan
peranan aktif dan penting dalam perkembangan terus menerusnya; dan pandangan Ruth Bleier
tentang ilmu sebagai "tubuh pengetahuan yang dihasilkan secara sosial dan institusi budaya"
(1986, h. 2). Biologi (bidang dasar studi Bleier) adalah sekumpulan gagasan dan praktik yang
memproduksi dan mengalamiahkan konvensi pikiran dan perasaan dalam budaya luas.
Sosiologi dan "teori materi" Hilary Rose (1986; 1994) memandang kerja ilmiah sebagai suatu
kejadian penting dari divisi umum pekerja sex dalam masyarakat--pandangan yang menolak
kepalsuan-kepalsuan ideologi ilmu seperti "bebas jender", strategi tertentu untuk ilmu
menyangkal dirinya atas budaya, menyatakan dirinya sendiri, "budaya dari bukan budaya"
(1994, h. 2; cf. Aronowitz 1988). Sumbangsih Dorothy Smith pada teori sosiobudaya atas ilmu
(1987; 1990a; 1990b) terdiri dari dua dekade karya dan penelitian, dalam penelitian itu dia
memeriksa pengetahuan psikiatri dan ilmu sosial sebagai bagian vital dari strategi kompleks
untuk putusan, pelaksanaan, pengelolaan kehidupan perempuan.

Ilmu-sebagai-perspekti budaya juga penting bagi gerakan politik dan gerakan dari kritik
ilmu. Secara politik, feminis dan kritik lain terhadap ilmu--aktifis perdamaian, aktifis anti nuklir,
ekolog--melancarkan gerakan sosial pada 1960an dan 1970an yang menentang gagasan
otonomi ilmu dari kehidupan sosiobudaya, menarik perhatian pada hubungan politis dan praktis
terhadap institusi-institusi politik, bisnis, dan militer. Gerakan ini tidak diragukan lagi
mempengaruhi bagaimana ilmu ditafsirkan dalam kesadaran populer, meruntuhkan,
sebagaimana mereka dan yang lain lakukan, pandangan yang sudah berlangsung lama tentang
ilmu sebagai usaha netral secara fundamental, tak dapat dipisahkan--secara praktik, politik,
budaya--dari sosial dan lingkungan ideologisnya. Pernyataan feminis, tapi sejumlah besar yang
lain yang ikut serta dalam menentang ilmu dan sejarah destruktif teknologi dan masa depannya,
adalah bahwa pengetahuan ilmiah sendiri--fisika, kimia, biologi--beroperasi secara integral
dengan pasar, bentuk pemerintahan kita, dan institusi pembinaan perang kita. Gagasan ilmu-
sebagai-budaya tidak dapat diragukan lagi lahir dari gerakan-gerakan politik demikian, yang
melihat dalam klaim "otonomi" ilmu adalah sebuah kebohongan ideologis, sebuah gagasan
yang tidak terpencil dari uraian yang lebih lengkap terhadap ilmu sebagai formasi sosial dan
sejarah tertentu--sebagaimana epistemologi yang berfungsi sebagai "strategi pembenaran" atas
kekuasaan, wacana ilmiah, yang dalam klaimnya pada pengetahuan obyektif, merasionalkan
kepercayaan atas kekuasaan (Harding 1990, h. 87).

Gagasan ilmu-sebagai-budaya adalah juga gagasan ngambang yang dihirup oleh


sekelompok sarjana hampir di waktu yang sama. Dari ragam disiplin dan perspektif, para analis
Sosiologi Pengetahuan Baru | 108

mempertontonkan bahwa tidak ada pengetahuan yang bebas dari pelaksanaan kekuasaan dan
bahwa beberapa dan semua pengetahuan beroperasi seperti bahasa (bentuk budaya yang
paling unggul). Ini bermaksud bahwa, seperti bahasa, pengetahuan memberi struktur-struktur
dan pelaksanaan-pelaksanaan bagi semua representasi realitas. Argumen utama--ditarik
secara prinsip dari analisis wacana, yang feminis gunakan--adalah bahwa obyek-obyek
pengetahuan dibentuk sebagai obyek penelitian di bawah atau di dalam sistem deskripsi--
deskripsi-deskripsi yang sudah eksis dalam konteks (sosiobudaya) kolektif.17 Mengambil dari
karya-karya kontemporernya, terutama sekali dalam kesusastraan dan linguistik, dan juga dari
"program kuat" dalam sosiologi ilmu (Bloor 1991), feminis mensistematiskan gagasan
kesesuaian ilmu dan semua bentuk sosiobudaya, teks-teks dan praktik-praktik. "Obyek-obyek
alami" ilmu, mereka berpendapat, sudah eksis dalam bidang sosiobudaya mengenai
interpretasi dalam cara demikian bahwa nilai-nilai sosiobudaya dan ideologi beroperasi dalam
penstrukturan penelitian ilmiah dan prosedur-prosedur; yakni, makna-makna budaya (mengenai
sifat dasar, monogami, ke-perempuan-an, tubuh, dan sebagainya) beroperasi sebagai bagian
penelitian ilmiah. Tentu saja, bagaimana ia dapat menjadi sebaliknya? Pengetahuan ilmiah
merupakan bangunan konsep dunia yang sudah diketahui dan dialami sebagai sesuatu;
pencarian pengetahuan mengira tempat kehidupan budaya, dalam kehidupan budaya itu ilmu
membentangkan dirinya sendiri.

Tapi obyek-obyek dibentuk dalam pengertian lain, juga: dalam mengerjakan ilmu--
dalam kerja ilmuwan di laboratorium--produksi pengetahuan adalah "konstruktif ketimbang
deskriptif": praktik ilmu dapat diperiksa dengan menguraikannya sebagai aktifitas budaya dalam
kebenarannya sendiri; obyek-obyek ilmiah secara teknis dihasilkan dalam laboratorium....
secara simbolis dan politis dibentuk (knorr-Cetina 1993, h. 4). Obyek-obyek ilmu—fakta-
faktanya, pelaksanaaan-pelaksanaannya, ukuran-ukurannya--adalah, meminjam kalimat
Thomas Kuhn (1970, h. 126), "berkumpul bersama kesukaran". Mereka bukan "terberi" dari
pengalaman ataupun apa yang secara langsung dilihat; mereka adalah "ketentuan paradigma".
Sebagaimana "pengetahuan" kita tentang sesuatu dipersepsi, persepsi ilmiah kita adalah
persepsi-persepsi terdidik: "Kita tidak memiliki akses langsung pada apa yang kita ketahui itu,
tidak ada kaidah-kaidah atau generalisasi-generalisasi guna mengungkapkan pengetahuan ini"
(Kuhn 1970, h. 196).

Karya Haraway (1991, Bab 9), misalnya, melukiskan dari karya para sosiologi
pengetahuan ilmiah (sociologists of scientific knowledge) (Bruno Latour, Steve Woolgar et al.),
yang karyanya meliputi studi tentang ilmu dan teknologi melalui studi pengamatan pada situs-
situs produksi ilmiah, terutama laboratorium. Sosiolog ilmu (sociologist of science) Karin Knorr-
Cetina (1993, h. 5) menggambarkan arti penting teori dari laboratorium dalam cara yang

17 Saya di sini menunjuk pada komentar Longino (1990, h. 98-102) mengenai hal ini dan identifikasinya atas
"konstitusi sebuah obyek" seperti Foucault (1982). Diantara filosof pragmatis Amerika, terutama George Herbert
Mead, terdapat teori yang sungguh serupa pada teori Foucault, salah satu yang sama-sama menekankan pada
"diskursif". Lihat Mead 1934, h. 77-88; 1938, h. 140-153; [1917] 1982.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 109

menjadikan jelas bagaimana pendekatan ini membuka "kebiasaan" laboratorium, fitur biasa dan
informalnya:

Arti penting pikiran tentang kebohongan laboratorium tidak hanya dalam fakta
bahwa ia membuka bidang ini atas penyelidikan dan menawarkan sebuah kerangka
kerja budaya bagi pengerukan bidang ini. Ia berbohong juga dalam fakta bahwa
laboratorium sendiri menjadi pikiran teoritis dalam pemahaman kita terhadap ilmu.
Menurut perspektif ini, laboratorium adalah tempat (lokus) dari mekanisme dan
proses yang dapat diletakkan untuk mengurai "keberhasilaln" dari ilmu....
mekanisme dan proses ini non-metodologis dan keduniawian. Mereka tampak tidak
banyak melakukan dengan logika dan prosedur ilmiah khusus, dengan rasionalitas,
atau dengan apa yang dimaksudkan oleh ke-valid-an.... Laboratorium merupakan
lingkungan "tinggi" yang "meningkatkan" keteraturan ilmiah sebagaimana dialami
dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitan kepada keteraturan sosial. Bagaimana
perbaikan ini datang? Studi laboratorium meyakinkan bahwa ia tunduk pada obyek-
obyek alamiah.... obyek-obyek bukan campuran entitas yang diletakkan "sebagai
mereka".... laboratorium jarang bekerja dengan obyek-obyek yang terjadi di alam....
mereka bekerja dengan obyek-kesan atau dengan visualnya, auditory, elektrik, dan
sebagainya, meniru dengan komponen-komponennya, turunan-turunannya, versi
"murni"nya.

Walaupun keberatan-keberatan beberapa kritik feminis18 terhadap pengawinan hal


tersebut dalam studi sosial atas ilmu, terdapat beberapa poin penting dari kesepakatan antara
mereka. Kedua kelompok yang mengadopsi secara eksplisit pendekatan budaya pada ilmu,
dan semua implikasinya: pandangan nominalis (vs esensialis) tentang ilmu sebagai formasi
sosiohistoris kompleks mengubah dunianya sendiri dan diubah oleh dunianya; pandangan
tentang ilmu sebagai bentuk produksi pengetahuan yakni, dalam respek-respeknya yang paling
penting, yang dapat dibandingkan dalam organisasi dan praktiknya kepada bentuk-bentuk lain
produksi pengetahuan; pandangan tentang metode ilmiah sebagai ritual-ritual kompleks dan
aktifitas-aktifitas yang mempekerjakan kategori-kategori budaya, makna, dan simbol;
pandangan tentang kerja ilmiah sebagai aktifitas sosial yang dibentuk oleh wacana dan kuasa.

Tapi feminis menawarkan sesuatu yang penting dan tersendiri bagi kritisisme ilmu,
meluaskan penyingkapan gagasan tentang ilmu-sebagai-budaya dan membicarakan
kepadanya muatan politis atas beberapa konsekuensi. Sebagai kekuatan budaya dan suatu
wacana, mereka berpendapat, skema klasifikasi dan kategori ilmu, persoalan-persoalannya,
dan obyek-obyeknya atas penelitian beroperasi sebagai kekuatan ideologi. mengalamiahkan
penundukan atas perempun, sementara di waktu yang sama, membawa dirinya sendiri ke sisi
luar budaya dan sejarah, dan dengan demikian, membebaskan dari analisa budaya dan sosial

18 Lihat Rose (1994, h. 88-89) dan Harding (1991, h. 82-83) untuk contoh ini.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 110

(Harding 1986, Bab 5; Rose 1994, h. 97). "Persoalan dari apa yang kita sebut praktik ideologi".
Dorothy Smith menulis, "adalah bahwa mereka membatasi kita pada tingkatan konsepsi,
membungkam kehadiran dan cara berpikir atas relasi-relasi yang mendasari yang mereka
ungkapkan" (1990a, h. 37). Oleh karena itu, klaim-klaim ilmu pada universalisme, netralitas, dan
obyektifitas merupakan, dalam dampak-dampaknya, mistifikasi-mistifikasi. Apa yang secara
efektif mereka mistifikasi--disamping praktik khusus dari ilmu sendiri, mode-mode
pelaksanaannya yang dijernihkan, tata cara rahasia dan praktik-praktik yang tidak dapat
disertakan--adalah, tepatnya, operasi-operasi budayanya. Dengan menyoroti "kemunafikan dan
irasionalitas atas klaim universalistik ilmu dalam wajah jahat dan praktik-praktik diskriminasi
yang tak diucapkan", feminisme menarik perhatian kepada mistifikasi dari ilmu (Harding 1991,
h. 32).

Jika, sebagaimana feminis berpendapat, pengetahuan ilmiah adalah pemahaman


terbaik sebagai sebuah formasi budaya, kemudian ilmu dapat dibuka dan ditundukkan kepada
penelitian-penelitian sosiohistoris. Jika ilmu merupakan sebuah "konstruk sosial", maka
konstruksinya dan konstruktornya dapat dilihat. Demikian logika melayani sebagai undangan
bagi seluruh tuan rumah dari penelitian budaya ke dalam kerja ilmiah, ke dalam perkiraan atas
penelitian-penelitian ilmu, metafor-metafornya yang berlaku, metode-metode dan teknik-
tekniknya yang berkuasa, dan cara-cara tersebut dihubungkan pada ekonomi, politik, dan
budaya. Sarjana feminis meletakkan pernyataan tegas pada pandangan bahwa gagasan
budaya dan studinya, menggunakan metode-metode "ilmu budaya" (dari sosiologi, antropologi,
linguistik, studi kesusastraan, dan sebagainya), dapat digunakan untuk mengevaluasi ilmu. Ilmu
dilihat sebagai sekumpulan metode dan praktik yang hanya dapat diteliti dengan cermat oleh
dirinya sendiri dan dalam standar-standarnya sendiri atas pengetahuan dan produksi
kebenaran. Ilmu tidak kebal budaya (Aronowitz 1988, h. viii). Pernyataan tegas ini atas status
ilmu memiliki pembelanya dalam lingkungan akademik (e.g., dari hermeneutik dan teori kritis,
dari filsafat dan sejarah ilmu) dan memberikan muatan jelas bagi kritik atas penyingkapan
ortodoksi peradaban dan budaya Barat--rasionalitas, obyektifitas, dan pencarian pengetahuan
universal. Ilmu akan menduduki tempatnya yang ditinggikan di atas "masyarakat", tapi akan
berimplikasi secara mendalam dalam sejarah politiknya.19

ILMU YANG DIHASILKAN

Agenda tertentu feminis adalah untuk memperlihatkan tepatnya bagaimana


pengetahuan ilmiah "dihasilkan" dan "bias jender", produk dari tindakan partikular temuan-
temuannya--tentu saja, sama seperti tindakan sex, meliputi sebagaimana ia hanya dilakukan
19 Di belakang gagasan dan strategi politik ini terletak gagasan kontemporer, dalam "sejarah dari sejarah-sejarah",
bahwa semua tulisan atas sejarah adalah politis. Hayden White (1973, "introduction") menyebut ini "karakter fiktif dari
rekonstruksi sejarah", pandangan yang melawan "klaim sejarah diantara ilmu-ilmu". Studi dan tulisan atas sejarah
memberi makna "fiktif" dalam pengertian bahwa kesadaran historis dipandang sebagai pendirian ideologis atau
"prasangka Barat secara khusus" terhadap yang lain "kurang lebih" budaya dan peradaban dunia.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 111

seperti produsennya. Karena jika ilmu adalah integral pada dunia yang sangat luas dan
kompleks dari "masyarakat industri modern"--jika ia sebuah konstruk sosial", atau fenomena
sosial dan budaya--maka ilmu adalah sebuah kreasi dan kolaborasi laki-laki dan mewakili
sejarah partikularnya sendiri dan kehidupan politik dalam masyarakat industri modern.
Diungkapkan dalam aforisme Virginia Woolf, "Daya sex ilmu akan nampak bukan sex; dia
(perempuan) adalah seorang laki-laki, seorang ayah" ([1938] 1966, h. 139).

"Terinfeksinya ilmu", sebagaimana Woolf menyebutnya dalam Three Guineas, adalah


sebuah penyakit, merajalela di abad 19, menyebar terutama pada manusia di tempat publik dan
profesi-profesi ("kita menemukan kehadirannya di gedung putih, di universitas-universitas, dan
di gereja-gereja"). Gejala-gejala yang jelas menyakitkan: emosi-emosi kekanak-kanakan yang
kuat dan perasaan-perasaan digerakkan "oleh beberapa sugesti bahwa perempuan diakui"
pada barisan mereka. Karena maksud pemaafan dan penyembunyian emosi-emosi tersebut,
ilmu (juga terinfeksi), dengan Alam sebagai saksi ahli, "menghasilkan ukuran untuk
meneraturkan", menyatakan bahwa otak perempuan bahkan terlalu kecil untuk diperiksa. Dan
bila, tentu saja, bahwa otak akan melewati pemeriksaan-pemeriksaan, ia bukan otak kreatif;
ataupun dapatkah ia memikul tanggung jawab; ataupun mendapat gaji tinggi. "Demikian ilmu
berpendapat, demikian profesor-profesor setuju".... dan demikian dinyatakan para ayah
bersama para imam (Woolf [1938] 1966, h. 127, 135-140).

Sementara aliran Woolf dan kritik feminis yang berbeda, logika mereka secara
mencolok serupa. Mereka memandang ilmu sebagai keterlibatan mendalam dalam strategi
peminggiran dari laki-laki. Karena penemuan muatan dalam risalah ilmiah, dalam doktrin
evolusioner, atau dalam teori mengenai "pengembangan manusia" menegaskan superioritas
alamiah laki-laki. Dalam corak khas ilmu sosial feminis, ilmu merupakan sekumpulan praktik-
praktik berkuasa, "praktik-praktik konseptual" (Smith 1990a), melalui praktik-praktik itu sifat
dasar perempuan, tubuhnya, dan psikologinya dihasilkan (Hubbart et al. 1982). Tentu saja,
memberi tempat paling unggul ilmu dalam peradaban industri, ilmu adalah bentuk pengetahuan
paling maskulin --abstrak, obyektif, otoritatif (Fargaris 1986, h. 185); kalimat "ilmuwan laki-laki"
itu pun berlebihan (Harding 1991, h. 20). Pernyataan demikian ini tidak hanya milik feminis.
Thomas Kuhn menyimpulkan "poskrip"nya 1969 pada risalah klasik tentang sejarah ilmu
dengan kata-kata serupa diktum, menegaskan bahwa jika pengetahuan ilmiah "pada hakikatnya
merupakan kepemilikan bersama dari kelompok.... untuk memahaminya kita mesti tahu
karakteristik khusus dari kelompok yang mencipta dan menggunakannya" (Kuhn 1970, h. 210).

Impersonalitas dan abstrak ilmu itu pula, ia berpendapat, merefleksikan dan


mengungkapkan pengalaman kelas dominan laki-laki dalam masyarakat borjuis Barat (e.g.,
Bordo 1987; Keller 1985; Merchant 1980; Rose 1983; Rose dan Rose 1979). Tapi watak
maskulin ini juga (dan bukan kebetulan) melayani untuk mengumumkan secara resmi hak-hak
istimewa dan melindungi posisi ilmu dan ilmuwan. Misalnya, dalam esainya "Women's Nature
Sosiologi Pengetahuan Baru | 112

and Scientific Objectivity", Elizabeth Fee berpendapat bahwa penyingkapan dikotomi budaya
Barat--rasio/emosi, obyektifitas/subyektifitas, budaya/alam, publik/privat--terus menerus
melayani untuk mengideologikan dominasi laki-laki sebagai penguasa dalam industri yang
mendasari masyarakat, untuk melegitimasi tempat ilmu sebagai "sisi luar" dari budaya dan
politik, dan untuk membatasi perempuan dalam posisi-posisi dan tempat-tempat yang pantas
pada sifat dasar perempuan. "Identifikasi laki-laki sebagai pikiran yang mengetahui dan
perempuan sebagai sambungannya pada sifat dasar merupakan tema berlanjut dalam budaya
Barat". Perempuan dan reproduksi manusia diserahkan pada ruang "alami", sementara aktifitas
manusia yang lain (dan laki-laki) diberikan pada ruang sosial" (Fee 1986, h. 44). Kontrol laki-laki
melebihi produksi pengetahuan ilmiah dan wacana tidak memungkinkan keluar dari bagian
sosial dan dominasi politiknya dan juga kuasanya melebihi perempuan. Ilmu tidak hanya apa
yang laki-laki kontrol, yakni bagaimana laki-laki mengontrol. Melalui pengetahuannya pulalah
dapat ditemukan siapa laki-laki yang mengontrol.

Karya Hilary Rose baru-baru ini mengikuti jejak bagaimana agenda-agenda penelitian
feminis bergeser dari perhatian awalnya terhadap peminggiran perempuan dari ilmu ke
pandangan tentang "perempuan sebagai yang dihasilkan oleh ilmu", menunjuk pada sarjana
yang "melukiskan mengenai konsep jender untuk menjelaskan proses ganda ilmu yang
dihasilkan oleh sistem produksi pengetahuan" (Rose 1994, h. 18). Secara aktual, dua agenda
ini secara tertutup berkaitan. Karena, sebagaimana feminis berpendapat, peminggiran
perempuan dari ilmu adalah suatu diskursif ulung lantaran sebagai pengetahuan ilmiah yang
menguraikan perempuan dalam cara-cara tetentu, sebagai sisi luar ("di bawah",
"ketidaksanggupan atas") pemerintahan, rasionalitas, dan otoritas. Terutama sekali ini menjadi
jelas dalam ilmu biologi dan psikologi dimana ketergantungan dan subordinasi perempuan
secara ilmiah "ditegaskan" dalam cara-cara yang tidak terkira banyaknya (Hrdy 1981; Hubbart
et al. 1979; Smith 1990a, Bab 5-7; Broverman et al. 1970).

"Ketidaksanggupan" perempuan dikaji sebagai ketidaksanggupan yang dibentuk


secara ilmiah. Ini tidak bermaksud bahwa ketidaksanggupan ini adalah fiksi ilmiah. Ia
bermaksud bahwa dalam wacana ilmiah, terutama, perempuan menemukan
ketidaksanggupannya yang paling benar dan konsekuen berhadap-hadapan dengan laki-laki.
Karena salah satu fungsi khusus dari wacana ilmiah, apakah mereka medis, psikiatri, atau
termasuk disiplin akademik, adalah untuk memperlihatkan perempuan kelemahannya yang
paling besar dan kerentanannya sebagai perempuan--untuk menamakan dan memetakan
kelemahan mentalnya, patologi khusunya, kelebihan fisiknya, atau hanya ketidaksanggupan
alaminya.

Dorothy Smith meminta perhatian kita pada "pengasingan dari ungkapan", ketika
perempuan menjadi "sadar atas mode bicara, tulisan, dan pikiran" yang membawa kuasanya
atas ungkapan jauh darinya bahkan sebagaimana mereka menggunakannya (Smith 1990a, h.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 113

199-200). Agaknya seperti pelayan Stevens (dalam film The Remain of the Day), yang memiliki
ketidaktahuan luar biasa atas urusan-urusan publik menegaskan pandangan tamu tuannya
bahwa Stevens dan sejenisnya tidak cocok untuk berpemerintahan sendiri. Kenyataannya,
kehidupan atas kerja berat dan pelayanan pada tuannya, dan ketidaktahuan dan penempatan
rendah tersebut dipelihara, adalah bukti yang tidak dapat disangkal mengenai ketidakmampuan
politik. Sejajar Saya melukiskan di sini antara wacana "tuan" (ilmu, dalam kasus perempuan)
yang melibatkan kelompok subordinat dalam subordinasi mereka, menjebloskan mereka dalam
cara-cara yang mengatur untuk mensyahkan penghukuman-penghukuman tuannya atas sifat
dasar mereka.

Psikolog Carol Gilligan juga menunjukkan sesuatu yang serupa dalam silence of
women (1982, h. 173): "Sebagaimana kita telah mendengar selama berabad-abad suara dari
laki-laki dan teori-teori perkembangan [psikologi] yang pengalamannya memberitahukan, begitu
kita datang lebih baru-baru ini mengumumkan tidak hanya kebisuan perempuan tapi kesulitan
mendengar apa yang mereka katakan ketika mereka bicara". Kehidupan dalam dunia dimana
mereka dan pengalamannya didevaluasikan, suara terputus-putus perempuan (seperti pelayan
Stevens) mengkhianati pengertiannya sendiri mengenai ketidakpercayaan dalam diri mereka
sendiri, ketidakpercayaan lahir dari kebiasaan kebisuannya.

Metafor "suara"--diambil dalam kalimat "berbicara terus terang", "jadi bisu", "tidak
bersuara", "penemuan suara seseorang" (Berkeley et al., 1986, h. 18)--menyingkap seseorang
bagi karya feminis dalam bidang yang sama berbedanya dengan sejarah (Lerner 1986),
psikologi (Gilligan 1982), dan puisi (Rich 1977). Kebisuan ini pula menunjukkan peminggiran
aktif perempuan dari produksi pengetahuan yang berlaku dan otoritatif dari peradaban Barat
(hukum, ilmu, kedokteran) dan juga peraturannya. Semua implikasi berarti atas peminggiran ini
atau pembungkaman perempuan, penulis-penulis feminis menguraikan dalam dua keterangan.

Pertama, status marjinal perempuan dalam produksi peradaban kita--dalam


pembuatan ilmu, teknologi, pemerintahan, pembikinan seni dan sastra--secara efektif melayani
untuk mensyahkan klaim inferioritas perempuan dan, dengan demikian, untuk melegitimasi
subordinasinya. Karena perempuan tidak memiliki apapun atas dirinya sendiri ("tidak ada masa
lalu, tidak ada sejarah, tidak ada agama", Simone de Beauvoir menulis dalam The Second
Sex), tidak adanya hal-hal tersebut untuk mengesahkan diri mereka dan kesanggupannya serta
prestasinya sendiri. Gagasan "penemuan" dan "penciptaan" sejarahnya sendiri (maksud teoritis
dari istilah-istilalh ini dapat berbeda secara luas) membentuk bagian tengah karya klasik Gerda
Lerner The Creation of Patriarchy (1986), berpendapat bahwa tulisan atas sejarah perempuan
sangat diperlukan untuk mengubah status subordinatnya. Tanpa sejarah untuk memperlihatkan
perempuan tempatnya dalam masyarakat dan peradaban, mereka tidak punya pilihan lain; tidak
ada apapun--tidak ada sejarah atas dirinya sendiri dan kesanggupannya—sejarah atas dirinya
itu untuk melukiskan dalam percobaannya untuk menegaskan dirinya sendiri dan untuk
Sosiologi Pengetahuan Baru | 114

menyatakan dengan tegas tempatnya di sisi laki-laki. Selama dialog perempuan tetap dialog
bersama sistem-sistem atas keunggulan laki-laki, "sumber wawasan baru tertutup untuknya",
dan daya dorong untuk secara aktif menegaskan dirinya dalam sejarah dihilangkan. Karena
dalam sistem simbol keunggulan laki-laki ini, "perempuan--sebagai sebuah konsep, entitas
kolektif, sebuah individu--adalah marjinal atau digolongkan marjinal" (Lerner 1986, h. 227).

Gagasan ini, tentu, gagasan dan strategi yang sama dari kelompok-kelompok lain
sekarang ini yang urgensinya untuk membuka kedok dan menulis prestasinya sendiri
sebagaimana orang akan melakukan demikian dalam meneraturkan untuk menegaskan
tempatnya yang pantas dalam sejarah dan peradaban dunia. Mengerahkan alasan politis yang
sama: tanpa peran produktif dalam sejarah, tanpa rekaman prestasi (dan juga rekaman atas
penindasannya oleh yang lain), pelitiknya sendiri menuntut ketiadaan maksud.

Kedua, kritik feminis berpendapat bahwa proyeknya menuliskan kembali sejarah


perempuan, sebagaimana dalam kasus sejarah laki-laki, melukiskan dari pengalamannya
sendiri serta kehidupan sosiopolitiknya. Sejarah perempuan, ia berpendapat, tidak dapat
dihindarkan akan menguraikan sejarah yang keluar dari pengalaman kolektifnya sendiri dan
akan membuka prestasi kolektif dan individu yang "dihilangkan" atau "didevaluasi" sebagai
bagian atas subordinasi dan penindasannya. Aronowitz (1991, h. 312-313) menemukan dalam
gagasan feminis atas keadaan marjinal untuk menuliskan sejarah seluruh pikiran politik budaya.
Karena ia menegaskan sebagaimana bentuk dan kekuatan asas peminggiran itu dari bahasa
dan wacana: "perempuan tidak hadir dalam teks wacana publik". Jadi, dia menggarisbawahi,
dalam komentarnya sendiri mengenai kritik feminis, bahwa ketidakhadiran perempuan dalam
wacana publik adalah tidak sebanyak ekspresif peminggirannya, sebagaimana ia konstitutif
atasnya, dan dengan demikian hal itu adalah sangat penting untuk mengatasi supremasi laki-
laki.

Tema feminis tentang "mendapatkan suara" bermaksud bahwa mereka akan


menyuarakan pengalaman kolektifnya sendiri sebagai perempuan--bahwa mereka akan
membuat pengalaman ini sebagai cara yang sah untuk "memasuki sejarah", dengan berbicara
dari titik pijaknya sendiri dan bukan titik pijak laki-laki: "Kita sudah tahu bahwa pikiran
perempuan, akhirnya tidak terkekang setelah beberapa ribu tahun, akan memiliki bagiannya
dalam memberikan pandangan, perintah, solusi. Perempuan di waktu panjang terakhir akan
menuntut, sebagaimana yang laki-laki lakukan dalam Renaissance, hak untuk menjelaskan,
hak untuk mendefinisikan" (Lerner 1986, h. 229).

ILMU FEMINIS

Proyek pendefinisian apakah ilmu dapat menjadi ilmu ketika ilmu diletakkan di tangan
dan pikiran serta hati perempuan telah menyibukkan kritik feminis sejak 1980an. Apa yang
Sosiologi Pengetahuan Baru | 115

disebut "titik pijak perempuan" atau artikulasi world view feminis atau dasar perspektif feminis
mengenai pengalaman kolektif perempuan, merupakan inti dari tulisan-tulisan feminis lintas
disiplin. Pernyataan awal oleh Dorothy Smith (1987), Hilary Rose (1983), dan Nancy Hartsock
(1983) adalah amat penting, menjelajah kemungkinan-kemungkinan demi kejelasan "ilmu
feminis" yang mendasar dalam posisi sosiopolitik dan pengalaman sosial perempuan--sebuah
"kepentingan" atau secara politik memperlakukan ilmu digunakan untuk memahami dunia dari
posisi orang yang ditundukkan atau dimarjinalkan. Ilmu feminis adalah "ilmu pengganti" dalam
tujuannya untuk merekonstruksi proyek ilmu Pencerahan atas pembebasan kemanusiaan,
sementara melawan klaim Pencerahan untuk mendirikan Rasio "murni", bebas dari rintangan
kehidupan materi dan lokasi sosial. Dalam kata-kata Harding (1991, h, 121), "ilmu pengganti"
milik feminis menggunakan "kehidupan perempuan sebagai dasar untuk mengkritik klaim-klaim
pengetahuan dominan, yang mendasari secara pokok dalam kehidupan laki-laki atas ras, kelas,
budaya dominan". Sasarannya bukan "ideologi" dalam makna sempit dari istilah ini. Karena
feminis berpindah dari kritik terhadap ilmu-sebagai-ideologi ke kritik ilmu-sebagai-budaya (lihat
interpretasi Saya atas ideologi seperti budaya dalam Bab 2 buku ini). Sasarannya adalah
memaksimalkan dan memperkuat obyektifitas pengetahuan ilmiah, "mengatasi kepercayaan
berlebihan pada kehidupan laki-laki secara khusus dan juga menjadikan kehidupan perempuan
sebagai asal usul bagi problematika ilmiah, sumber kejelasan ilmiah, serta tanda periksa
validitas atas klaim-klaim pengetahuan" (Harding 1991, h. 122-123; cf. Harding 1993a; 1993b;
Rose 1994, h, 93-96).

Isu-isu yang mengitari kemungkinan ilmu feminis membuka keluasan dan kesulitan
penelitian-penelitian epistemologis mengenai apakah "ilmu pengganti" feminis akan berarti,
terutama dalam wajah kritik posmodernis atas ilmu empiris dan, tentu saja, dari semua "narasi-
narasi induk" (misal, Nicholson 1990; Alcoff dan Porter 1993). "Teoritisi titik pijak" feminis
menemukan dirinya sendiri dalam perdebatan panjang dengan sekutu feminis bersama
posmodernisme, yang mempertanyakan gagasan itu juga tentang "titik pijak feminis" atau "ilmu
feminis", dan juga dengan yang lain yang melawan gagasan itu juga tentang klaim-klaimya
yang tampak berbicara untuk semua feminis, untuk semua perempuan. Apakah di sana,
misalnya, sebagai suatu world view atau pengetahuan tersendiri untuk perempuan? Bukankah
pernyataan tegas demikian meletakkan pada pikiran-pikiran "esensialis", yang mendefinisikan
konteks sejarah dan sosial itu juga dari yang teori feminis lukiskan? Bukankah gagasan atas
titik pijak feminis universal mendasar dalam teori tentang sifat dasar esensial perempuan,
termasuk sifat dasar ragawinya? Dapatkah beberapa kelompok tunggal "diprioritaskan" atau
klaim "epistemik istimewa" tanpa mensubordinasi yang lain?20 Dan seterusnya. (Lihat
diskusinya dalam Rose 1994, Bab 1-2; Longino 1990, Bab 9; Harding 1991, Bab 5 dan 12;
20 Kritisisme ini mengenai klaim atas "keistimewaan epistemik" adalah penting secara partikular, karena ia membuka
teoritisi titik pijak (standpoint) pada tingkat yang sama pada laki-laki--yakni, strategi laki-laki atas pengklaiman
kebenaran berbicara untuk semua sementara menjadikan yang lain diam dalam proses-proses itu. Saya berhutang
budi pada Margaret Urban Walker untuk pengklarifikasian implikasi-implikasi dari isu-isu ini, dan juga untuk
penbacaan hati-hatinya dan komentar mengenai bab ini.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 116

Harding 1986, Bab 6.)

Perdebatan tentang pertanyaan-pertanyaan ini telah meluas dan menggebu-gebu,


meliputi mereka adalah feminis dengan personal dan intelektual yang luas (dan karir)
memancangkan dalam istilah dan hasil dari isu-isu ini.21 Isu vital dalam perdebatan ini baik atau
tidak untuk menorehkan upaya dan tinta pada sebuah ilmu baru serta obyektifitas yang lebih
kuat dan lebih inklusif (teori titik-pijak), atau apakah untuk berdiri dalam oposisi pada beberapa
atau semua wacana universal (ilmu, rasio, kebenaran, obyektifitas), sementara
mempromosikan nilai dari suara yang sangat banyak, dan juga "matrik dominasi" yang
kompleks (Collins 1990), serta menarik perhatian pada "wacana" ilmu sebagai
kuasa/pengetahuan (posmodernisme). Linda Nicholson (1990, h. 8) menunjukkan, dan Saya
setuju, bahwa bagi beberapa feminis persoalan sulit adalah apakah kategori-kategori jender itu
juga akan "mempertahankan kritik posmodern", relativisme bakunya, permusuhannya pada
teori, dan kecurigaan absolutnya.

Sementara Saya membagi perhatian Nicholson dengan keberlangsungan hidup dari


"jender" (konsepnya), Saya menemukannya sebuah perhatian yakni keseluruhan akademiklah,
semenjak dalam dunia luas (setidaknya universitas-sebagai-dunia) konsep atas jender,
bersama-sama dengan konsep ras dan, kurang lebih, etnisitas,22 dengan tangkas mengambil
tempat seperempat suara hati kolektif Amerika, dalam pertanyaan mendasar atas identitas
politik dan sosial seseorang--lelaki/perempuan, atau apapun; kulit hitam/kulit putih, atau
apapun--secara mendalam dan tidak dapat dielakkan. Ini tidak untuk mengatakan bahwa
kesadaran atas jender dan ras serta kuasanya sebagai representasi kolektif (meluaskan kiasan
pada Durkheim) berbaris bergandengan dengan pertumbuhan sosial dan persamaan politik.
Kenyataannya, terdapat pertimbangan jelas untuk mendukung pandangan sexisme tepatnya
(menahan ucapan Saya disini pada "jender") dalam opini publik, dalam institusi agama, di
tempat kerja, dan seterusnya. Bagaimanapun, realitas sosial jender--sebagai kategori kekuatan
kolektif dan sebuah fakta sosial yang memasuki kehidupan politik kita, wacana profesional kita
(ilmiah, medis, dan lainnya), dan kehidupan diskursif sehari-hari kita--tidak perlu dipersoalkan
lagi. Kesadaran kolektif atas perbedaan peran sosiokultural laki-laki dan perempuan, atas
"stereotipe" jenis kelamin, atas "godaan jenis kelamin", dan seterusnya, adalah fakta sosial
kontemporer yang sangat kuat. Dimanapun seseorang berdiri pada nilai dan fakta itu, ia
merupakan fakta yang sama semua.

21 Untuk pertukaran hebat dan tidak ramah secara partikular antara teoritisi standpoint tertemuka (Smith) dan
feminis posmodernis (Clough), lihat Smith (1993) dan Clough (1993). Hilary Rose (1994, Bab 4) meletakkan
bersama-sama dua pendekatan dalam cara yang paling memuaskan, sementara yang benar-benar tinggal di tempat
teoritisi standpoint, penegasan pentingnya dalam nilai "relisme kritis".
22 Di Amerika "ras" dan "jender" memainkan perenan sosial dan politik penting, sebagaimana budaya populer dan
media memainkannya. "Etnisitas" mungkin mengambil tempat kedua pada "ras" dan "jender", dalam politik nasional
akhirnya, kecuali di Amerika baru-baru ini perdebatan ras dan politik melebihi imigran dan imigrasi, yang cenderung
menguat seperti di California dan Florida. Tapi di arena global, etnis dan identitas nasional dan perjuangan baru-
baru ini sangat hebat. Ketika sosiolog dan politisi Amerika terkemuka Daniel Patrick Moynihad menerbitkan karyanya
paling baru-baru ini mengenai etnisitas, Pandaemonium (1993), fokusnya adalah global bukan nasional.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 117

ILMU SEBAGAI BUDAYA: SEBUAH PENILAIAN

"Jender adalah kategori yang lahir dari budaya" (Gergen 1991, h. 143). Tempatnya
dalam opini publik dan politik, tidak dapat diragukan lagi, adalah dampak gerakan feminis untuk
mengubah kesadaran publik dalam keteraturan untuk mencapai secara efektif hak-hak politik
dan sosial. Namun kondisi bagi gerakan itu untuk mendirikan secara efektif hal tersebut dapat
diperoleh dalam perubahan budaya--perubahan dalam pengetahuan, teknologi, kesusatraan--
jauh lebih luas dari gagasan perempuan itu sendiri. Meletakkan kesadaran publik atas "jender"
dan "ras", yang Saya diskusikan di atas. Keefektifannya sebagai kategori sosial atau
representasi kolektif merupakan dampak dari proses sosial yang luas dan kompleks:
diantaranya, tumbuhnya kesusatraan dari populasi kita dan menyebarnya ilmu modern dan
disiplin-disiplin (sosiologi, psikologi) dalam bahasa biasa (cara bercakap) dan struktur mental,
sekulerisasi bahasa dan world view, dan juga dampak-dampak gerakan politik (hak-hak sipil,
feminisme) pada kesadaran umum.

Dari pandangan panjang (histoire de la longue durée karya Braudel), "jender" dan "ras"
merupakan gagasan yang tidak mungkin tegak, tak terpikirkan bagi abad-abad terakhir.
Pandangan yang luar biasa kuat dan bertahan lama adalah bahwa menjadi laki-laki/perempuan,
kulit hitam/kulit putih (rumusan-rumusan kita sendiri) merupakan "sifat dasar" atau "takdir",
bukan budaya, fakta-fakta biologis yang tak berubah; inferioritas perempuan dan kulit hitam
yang tak terbantahkan adalah fakta-fakta kemampuan otak inferior, lemah mental, dan lainnya.
"Pembebasan" perempuan dari apa yang Laurence Stone (1994) sebut "dua ribu tahun dekat
dengan perbudakan" terjadi hanya abad ini; kesempatan yang sama atas perempuan bagi
pendidikan adalah juga hanya abad lama. Stone mengamati, " Tidak ada yang lebih menyolok
dari pada perampasan sistematis pendidikan atas perempuan". Secara relatif di waktu yang
singkat, bahwa pendidikan melayani sebagai kondisi untuk emansipasi sosial dan politik
perempuan, dan juga dampak dari pertumbuhan emansipasi itu.

Pembebasan perempuan, kemudian, bertepatan dengan gerakan dan perubahan--


dalam ilmu, kesusastraan, rasionalisasi kehidupan sosial--yang secara efektif membawa ke
dalam pandangan realitas budaya yang sangat kuat atau fakta budaya dalam produksi dan
pemeliharaan dari kejadian sebelumnya yang menganggap sama sekali atau tak terelakkan
"alamiah". Bagi perempuan, gagasan budaya adalah bagian yang tidak mungkin keluar dari
emansipasinya, melayani secara efektif sebagai strategi bagi emansipasinya, semenjak
perubahan kondisi atas subordinasinya memerlukan pikiran bahwa perbedaan sex berdasar
secara budaya ("jender"). Tentu, sejarawan pertengahan modernitas dengan tepat
menunjukkan bahwa "budaya" pada pikiran kita untuk beberapa waktu sekarang, akhirnya
semenjak "penemuan" Eropa, keseluruhan abad 16, mengenai peradaban dunia (Anderson
1991, h. 68-69; cf. Gay 1969, Bab 7) dan semenjak fenomena "pluralisme" (Berger et al. 1973)
dalam hal-hal agama, ras, dan nasionalitas meruntuhkan universalisme peradaban abad
Sosiologi Pengetahuan Baru | 118

pertengahan. Tapi keseluruhan abad ini, gagasan budaya menjadi tidak hanya bidang
wewenang dari intelektual dan akademik, tapi fitur dari world view umum, dan gagasan yang
digunakan dalam percakapan biasa. Kelayakan bagi gagasan budaya untuk mendapatkan
momentum yang sudah ia dapatkan dan dalam jangka tahun yang sangat singkat, ia
kemungkinan besar bahwa ia memerlukan daya pendorong yang sangat kuat dari seperangkat
gerakan politik: gerakan egaliter yang mencari hak-hak bagi perempuan, bagi bangsa etnik,
bagi semua ras. Sebagaimana Max Weber begitu sering mengamati gagasan tak berdaya kalau
mereka dihubungkan pada kepentingan materi kelompok. "Gagasan tidak dipercaya dalam
wajah sejarah kalau mereka menunjuk dalam arahan tingkah laku yang memajukan ragam
kepentingan" (Gerth dan Mills 1946, h. 62-63).

Bila disini beberapa gagasan tunggal yang telah dan dapat secara efektif mengubah
institusi sosial, memang susunan sosialnya sendiri, yakni dari "budaya". Tentu susunan sosial
sudah berubah jika gagasan atas "budaya" bisa mengakar dan tumbuh subur, terutama imej
utamanya bahwa "masyarakat adalah sesuatu yang dihasilkan". Sifat dasar revolusioner
gagasan ini barangkali paling baik dipahami sekarang seperangkat perlawanan naik tenggelam
dari fundamentalisme atau kontramodernisme pada layar global. Gagasan budaya adalah
integral pada modernitas itu sendiri dan pada pengejarannya atas humanitas pencerahan, tapi
ia adalah, sebagaimana Hilary Rose (1994, h. 238) juga mengamati, "subversif mendalam"
ketika digunakan untuk mendefinisikan beberapa tubuh otoritatif pengetahuan sebagaimana
dibentuk secara sosial. Ia adalah "pengakuan" atas "kesubversifan"nya bahwa catatan-catatan
yang tidak dapat diragukan, sebagian, bagi militansi brutal dari fundamentalisme di dunia
sekarang ini. Karena gerakan feminis yang muncul di tengah-tengah orang fundamentalis,
suatu kombinasi yang bisa jadi secara partikular mematikan.23

Walaupun transformasi sosial--modernisasi, sekulerisasi, demokratisasi--bahwa


gagasan atas budaya telah diungkapkan dan disebarkan sejak "penemuannya" di sekitar abad
16, gagaan ilmu-sebagai-budaya tentu sebuah gagasan yang mustahil sampai sangat baru-
baru ini. Gagasan bahwa ilmu adalah tidak lebih (tidak kurang) "konstruksi" ketimbang sesuatu
yang lain, memberi kesan bahwa ia "menggedor bersama-sama dalam beberapa tempat untuk
beberapa tujuan.... seperti segala budaya yang lain.... Jika pengetahuan dibuat, pembuatnya
bisa jadi terkunci di dalam" (Geertz 1990, h. 19).

Gagasan tentang ilmu-sebagai-budaya secara radikal merendahkan harapan


Pencerahan untuk sebuah ilmu universal, harapan progresif Condoret bagi "kesempurnaan
manusia" dan menempatkannya kembali bersama sebuah cita-cita duniawi dan usaha-usaha
politis yang memiliki metode dan kebenaran--karena mereka "dipalukan bersama" oleh yang
mematikan belaka (kebanyakan laki-laki)—menumbuhkan pertengkaran. Pertengkarannya
23 Saya, tentu, berpikir dari kasus penting dari penulis feminis Bangladesh Taslima Nasrin, yang terpaksa
bersembunyi ketika pemerintah menuduhnya mencemarkan Islam dan ketika para mullah meletakkan harga atas
kepalanya. Kasus tersebut bukannya tanpa ironi, karena feminis Bangladesh termasuk sejumlah musuh-musuh
Nasrin.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 119

tentu fungsi atas pertumbuhan kapasitas ilmu, bersama pertumbuhan kuasanya, untuk
mencipta kerusakan dalam kehidupan kita dan dalam lingkungan kita. Kritik ilmu mengakui
bahwa musuh mereka adalah seseorang yang menakutkan dan bahwa otoritas dan legitimasi
ilmu adalah tidak sejajar. Jadi pengamatan Foucault (1980b, h. 131-133) mengenai "ekonomi
politik" dari kebenaran:

Dalam masyarakat seperti kita...."kebenaran" adalah pusat pada bentuk wacana


ilmiah dan institusi yang menghasilkannya; ia adalah subyek untuk kesatuan
ekonomi yang konstan dan dorongan politik.... ia adalah obyek, di bawah bentuk-
bentuk berbeda, atas penyebaran dan konsumsi yang luas sekali.... ia dihasilkan
dan disebarkan di bawah kontrol, dominan jika tidak ekslusif, dari beberapa
aparatur ekonomi dan politik yang besar (universitas, tentara, tulisan (karya),
media).... ia adalah isu dari seluruh perdebatan politik dan konfrontasi sosial....
Problem politik esensial bagi intelektual bukan untuk mengkritisi muatan ideologi
yang diduga berkait pada ilmu.... tapi tentang mengetahui dengan pasti
kemungkinan tentang bentukan sebuah politik baru atas kebenaran.

Feminis mengakui bahwa prestasi yang paling penting menjadi "ilmu feminis" baru
mungkin perjuangannya untuk berlomba dalam produksi kebenaran. Ini adalah perjuangan
mereka; ini adalah untuk mereka, "saudara perempuan". Diantara beberapa sesuatu itu ia
adalah perjuangan bagi kontrol berlebihnya konfigurasi-konfigurasi yang paling hebat dan
paling konsekuen atas dunia kita--ilmu, teknologi, kedokteran dan aparatur-aparaturnya (dari
universitas sampai kamar perang, dari klinik sampai laboratorium). Perjuangan-perjuangan
yang lalu bagi pemilihan umum, bagi pembatasan diri, bagi kontrol kelahiran, bagi hak-hak
untuk bekerja dan berperang, dan bahkan untuk pelegalan aborsi, masih muda dalam wajah
perjuangan perempuan untuk membuat ilmu dalam dunia dimana ilmu adalah kekuasaan.
Bahwa perjuangan ini dilihat sebagai pembebasan manusia dan sosial adalah menyolok dalam
evokasinya atas nenek moyang Pencerahan kita. Walaupun pembicara dan ucapannya bisa
menggemparkannya, feminis "berharap bagi pengetahuan transformatif" adalah pencarian
Condoret akan berharga.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 107

EPILOG
Pengetahuan sebagai Budaya

Kerja sosiologi merupakan sebuah tradisi penelitian. Dengan literalisme yang


membingungkan, pikiran ini, yang kita diskusikan di Bab 1, diuraikan secara mengesankan bagi
saya ketika, sebagai mahasiswa pada 1970, Saya mengetahuinya melalui teks ideology and
utopia Mannheim yang guru saya konsultasikan dengan saya salinan Mannheim sendiri, yang
diberikan pada guru Saya oleh Mannheim dan secara bebas ditambahkan penjelasan-
penjelasan Mannheim sendiri.

Sosiologi merupakan tradisi penelitian modernitas. Sejak persepsinya, ilmu sosial


Barat tidak memungkinkan melepaskan diri dari keterkaikan pada modernitas, baik dukungan
atau kritik dari formasi sosial khususnya. Dan dalam kebaruan dan tahap-tahap masa depan
modernitas --apakah kita menyebutnya "post" atau "modernitas-tinggi"-- disiplin kita akan
melanjutkan untuk merefleksikan dan membentuk pengembangannya.

Sosiologi merupakan tradisi penelitian itu secara inheren adalah revisionis; seperti
masyarakat, yang dikaji, ia mendapatkan kekiniannya dengan penetapan kembali masa lalunya
secara terus-menerus.

Buku ini ditulis dalam spirit seperti revisionisme, keduanya membicarakan tentang
kebutuhan disiplin kita di akhir abad ini dan melanjutkan tugas menjenguk dan merevisi tema-
tema dan perhatiannya secara gigih. Perhatian khusus Saya ditujukan pada kekinian dan akan
datang, Saya berpendapat bahwa keunggulan modern berbicara kepada kita sekarang. Seperti
klaim dari kajian modernisme Marshall Berman (1982). "Melangkah ke belakang bisa jadi cara
melangkah ke depan", dia menulis; "mengingat kembali modernisme abad 19 dapat membantu
kita mendapatkan visi dan keteguhan hati untuk menciptakan modernitas abad ke-21 (h. 36).
Pada 1992, Berman menambahkan: "Saya berharap untuk membawa pikiran sosial kembali ke
masa yang akan datang" (1992, h. 14). Jika dia benar, dan saya pikir begitu, gerakan-gerakan
intelektual baru-baru ini, seperti strukturalisme dan poststrukturalisme, menyajikan kembali
secara aktual, ketimbang meninggalkan di belakang, beberapa krisis dan keprihatinan yang
lebih penting dari modernitas --pada akhirnya, modernisme pada yang terbaiknya,
membiasakan pada konteks gagasan-gagasannya sendiri.

Pada tiap Bab sebelumnya, gagasan-gagasan kunci dari sosiologi pengetahuan--


ideologi, struktur, budaya, keagenan manusia, ruang sosial--diperiksa ulang dalam terang saat
ini. Tujuan dari tugas ini untuk memunculkan pertanyaan pada adekuasi konsep-konsep dan
metode-metode sosiologi bagi pemahaman dunia-dalam-transisi saat ini, pertanyaan apakah
pengembangan konsep-konsep kita telah melangkah seiring perubahan lanskap sosial dan
politik, seiring perubahan sistem-dunia, budaya globalnya, yang beberapa menyebut
Sosiologi Pengetahuan Baru | 108

"internasionalisasi hidup keseharian", mempengaruhi manusianya, kelas-kelanya sebanyak


komoditinya dan bentuk-bentuk budayanya, etos rasionalnya mentransformasikan tidak hanya
kehidupan material tapi juga pikiran dan jiwa sebagai kebaikan.

Tentu salah satu wawasan jamak sosiologi pengetahuan bagi penelitian ilmu sosial
adalah untuk menemukan dalam klaimnya bahwa kehidupan sosial tidak berhenti pada "pintu-
pintu" keberadaan kita, tapi melintasi pada bilik-bilik kesadaran kita dan psikis kita, dan
menyindir secara tak langsung diri sendiri bahkan pada wilayah pikiran dan hasrat yang
terucapkan dan yang tak terucapkan. Kehidupan sosial tidak hanya satu aspek, tapi lingkungan
keberadaan manusia. Sosiologi pengetahuan selalu meneliti dengan cermat kehidupan kolektif
dari gagasan, makna, imaji, simbol--sesuatu yang sentral untuk "masyarakat" dan "keberadaan
manusia". Ini secara tidak meragukan mengapa ia merupakan bidang dari studi yang keluar dari
ilmu sosial, bekerja dalam ilmu sastra, filosof, kritik sastra, teolog, diambil secara reguler. Ini
bukan melulu suatu perkara. Karena sosiologi pengetahuan –jika kita bisa menilai dengan
merespon kritik-kritiknya yang paling awal—sekaligus memberikan ancaman yang dapat
dipertimbangkan bagi ilmu sastra dan ilmu-ilmu.24 Lebih baru-baru ini, hanya mengenai empat
dekade sekarang, "sosial" dan "budaya" telah dilihat sebagai bagian yang tidak memungkinkan
keluar dari semua pengetahuan. Sisi luar ilmu sosial, dari studi literatur dan biologi sampai
etika, telah berkembang biasa untuk menggunakan premis-premis yang Karl Mannheim dan
Max Scheler berjuang untuk menunjukkan: semua aspek keberadaan manusia dan
pengetahuan adalah ditentukan; bentuk pikiran dan tindakan merupakan kesatuan;
pengembangan intelektual masyarakat tidak bisa dipisahkan dari sejarah konkretnya dan
konteks sosialnya.

Dalam pandangan Saya, bagaimanapun, nilai kekal (untuk sekarang) dari sosiologi
pengetahuan adalah kapasitasnya untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri sebagai bagian
dari penelitiannya sendiri: untuk memungkinkan kita meneliti dengan cermat arus "berpaling
pada budaya", dalam masyarakat dan dalam ilmu sosial; untuk memahami--dengan lebih dari
satu ons sikap kritis yang tak memihak-- dampak bahwa gagasan-gagasan dan metode-metode
ilmu sosial memiliki kehidupan kontemporer yang sedang berlangsung; untuk bertanya
bagaimana pengetahuan budaya dan pengoperasiannya bisa menjalankan sebagai bentuk
donimasi, oleh karena ia merupakan sumber daya, yang dari situ beberapa manusia
dikeluarkan. Dalam kapasitasnya untuk menarik perhatian pada pengoperasiannya sendiri,
sosiologi pengetahuan mengklaim bahwa pengetahuan ilmu sosial --seperti semua
pengetahuan-- adalah budaya.

24 Gunter Remmling membuka pengantar esainya, "Existence and Thought", untuk kumpulan terbitan Toward the
Sociology of Knowledge (1973) dengan tepat poin ini. Sebagaimana Remmling mengindikasikan dalam komentarnya,
esai Arthur Child (1940-1941) menyingkap bagaimana kuat dan defensif tulisan akademik dalam ilmu dan dalam
reaksi ilmu sastra kepada sosiologi pengetahuan dalam tahun-tahun awalnya. Serupa, dalam dua tanggapan kepada
Franz Adler, Werner Stark (1959) mengambil kesempatan untuk mempertahankan dengan sungguh-sungguh asumsi
metodologisnya dan posisinya.
Sosiologi Pengetahuan Baru | 109

Namun apa tepatnya maksud rumusan akademis ini? Seluruh buku ini, Saya mencoba
untuk memeriksa apa yang ia maksudkan, menggunakan beberapa tradisi utama teori sosial
untuk menerangi kondisi pengetahuan dalam dunia kita sekarang ini: teori sosial Marxis (Bab
2), sosiologi dan antropologi Perancis (Bab 3), dan pragmatisme Amerika (Bab 4). Ragam
feminisme kontemporer (Bab 5) menyusun beberapa tubuh kerja terbaru yang membicarakan
topik pengetahuan –melukiskan dari, sementara memahami kembali secara substantif,
gagasan-gagasan dari marxisme, sosiologi pengetahuan dan ilmu, dan postsrukturalisme.
Sekarang, tiap "interpretasi komunitas"25 yang berbeda ini telah menempatkan konsep "budaya"
dalam garis depan pada diskusi ini. Alasan untuk "berpaling pada budaya" ini (Robertson 1992,
Bab 2) adalah topik yang menarik, terutama bagi sosiolog pengetahuan. Dunia posmodern
sekarang sedang asyik dengan bentuk-bentuk arti (bahasa, teks, wacana, dll), yang,
sebagaimana Robertson catat (h. 32), karya-karya sosiologi yang datang setelah periode klasik,
secara kasar dari tahun 1920 sampai 1950, secara luas diabaikan.

Apakah merupakan beberapa kejutan bahwa cara-cara lama mengenai pemikiran


tentang "dasar" dan "superstruktur" telah dirubah dengan cepat dan tak dapat dirubah dalam
setengah abad ini. Kita hidup dalam dunia yang hampir dibanjiri oleh kekuatan menciptakan
dirinya sendiri dan, kepalsuannya sendiri. Realitas-realitas kita eksis dalam transmisi --pada
layar dan kabel-- dan perasaan kitalah yang memiliki dan mengontrol pengetahuan dan imaji
dan suara yang secara efektif mengontrol realitas-realitas kita. Kehidupan material,
sebagaimana sekarang kita memahaminya, tak dapat dielakkan telah mejadi semiotik; kita
mengonsumsi produk-produk yang menyajikan sebagai tanda mengenai benda, lebih penting,
mengenai diri kita. Dunia benda kita eksis lebih banyak untuk mengomunikasikan, untuk
mengatakan sesuatu hal, ketimbang untuk menyajikan kebutuhan praktis atau fungsi.
Sebagaimana teori wacana telah memperoleh pengaruh yang menguasai dalam akademi,
bicara...bicara...bicara mengusik kita dalam kehidupan sehari-hari. Manusia, dituntun oleh "talk
show" dari radio dan televisi, tidak pernah berhenti berbicara. Di jaman kita sekarang, apakah
kita menyaksikan kematian percakapan dengan bicara? "Budaya" juga menyajikan untuk
menganggap perkembangan perasaan kita dari "konstruksi" dan "perbedaan" dalam dunia yang
apapun ia adalah, tidaklah lebih lama (Lemert 1994, h. 146).

25
Istilah "komunitas-komunitas interpretatif" dikenal bersama Stanley Fish (1980) dengan Is There a Text in this
Class? The Authority of Interpretatif (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press). Istilah ini digunakan
lebih awal oleh Janice Radway pada 1974 dalam studinya atas kesusantraan roman, "Komunitas-komunitas
Interpretatif dan Variabel Melek Huruf: Fungsi-fungsi dari Pembacaan Roman" (Deadalus 113 (3); dicetak ulang 1991
diedit oleh C. Murkeji dan M. Schudson Rethingking Popular Culture, Berkeley: University of California Press).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 110

Minat baru-baru ini dalam budaya muncul dari kesadaran manusia dan bangsa-bangsa
dunia ("globalisasi") seperti penyebaran dan perubahan aktif pengetahuan dan informasi
tentang masyarakat dunia di antara mereka. Penggunaan konsep budaya dalam cetakan dan
siaran jurnalisme mendidik kita lebih lanjut pada kenyataan, masih ucapan yang sulit
dimengerti, fakta budaya.26 Di Amerika sekarang kita mendengar tentang "budaya militer",
"budaya Washington D.C.", "budaya gay", dan seterusnya. Penggunaan kata-kata populer
tersebut mengucapkan dan menyebarkan lebih lanjut kesadaran manusia mengenai budaya
sebagai lahan yang relatif dan berubah-ubah terhadap makna dan nilai. Untuk memahami
sesuatu sebagai budaya, atau sebagai bagian dari budaya, adalah memberikan padanya status
artifisial: manusia dalam semua ragam warnanya, bentuknya, dan ukurannya merupakan orang
cerdas tertinggi dari dunianya (budaya) dan dari dirinya sendiri. Untuk melihat budaya sebagai
buatan (artifisial) dan masyarakat sebagai hasil kecerdasan (artefak) manusia selalu integral
pada ilmu sosial, pada kritiknya dan perspektif tak berpihak dan praktik-praktiknya (Clifford
1988, h. 199; Stark 1980, h. 22). Tapi apakah relatif baru bahwa gagasan-gagasan itu secara
cepat menjadi penciptaan umum, dihasilkan oleh kesusastraan manusia yang meningkat dan
akulturasinya dengan wacana dan disiplin medern, sekulerisasi bahasa dan pandangan dunia,
dan dampak dari hal tersebut pada opini publik dan budaya populer. "Budaya" tidak lebih jauh
menandai Barat dari non-Barat. Ia sekarang tentang kita, juga (Geertz 1995, Ch. 3),
mengartikulasikan pengertian kita pada keberubahan, bergantung, bidang lokal kehidupan dan
pikiran kolektif.

Untuk menyatakan bahwa pengetahuan adalah budaya, sebuah klaim yang


menggambarkan secara bersama teori-teori berbeda yang disajikan dalam buku ini, adalah
untuk mendesak bahwa ragam tubuh pengetahuan, seperti ilmu alam atau ilmu sosial,
beroperasi dalam budaya --bahwa mereka mengisi dan mengirimkan serta menciptakan
disposisi budaya, makna, dan kategori. Ia juga memaksudkan bahwa semua pengetahuan,
apapun yang lain mereka lakukan, beroperasi sebagai sistem makna; bahwa mereka
memberikan kategori-kategori, konsepsi-konsepsi yang memungkinkan pengguna-pengguna
mereka memahami dunia mereka sebagai sesuatu (Percy 1958).

Pengetahuan bisa berakibat secara mendalam, terutama sekali dalam kemampuannya


menyusun cara-cara yang seseorang, kejadian, kesan, dan benda datang pada persepsi,
adalah bukan semata-mata teori akademik. Ia tercatat sekarang pada kesadaran kolektif kita
dan merupakan tanda karakter kesadaran reflektif yang dihasilkan modernisasi (Giddens 1990).
Pertarungan melampaui budaya dan moralitas dalam Amerika kini meninggalkan secara tepat
pengakuan ini. Pengetahuan, utamanya, itu tentang "kelompok kepentingan" tapi juga
dihasilkan oleh ahli teknik dan spesialis, dapat mengisi dan menyalurkan semua cara nilai dan

26 Margaret Archer "The Myth of Culture Intgration" (1988, Bab 1) memperlihatkan bagaimana kemajuan budaya
sebagai konsep kunci dalam sosiologi dan teori sosiologi sungguh luar biasa karena dari jajaran istilah luar biasa dan
penggunaan yang berbeda; "budaya" telah "memperlihatkan perkembangan analitis paling lemah" atas beberapa
konsep sentral dalam disiplin kita (h. 1).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 111

penilaian: Teks siapa yang akan digunakan untuk mengajar anak-anak kita? Siapa yang
memiliki kebenaran untuk mendidik mereka tentang sex? Pengetahuan dihasilkan oleh pendidik
dan penerbit adalah "dipolitisir", dipandang sebagai kepentingan-dasar, dan tentu saja ini suatu
perkara yang sering. Di wilayah yang lain, juga, seperti pengadilan, pengetahuan dari
"kesaksian ahli" membawa tahanan pada penyajian suatu perkara, pun melalui mereka juga
dipandang sebagai bagian dari strategi legal partisan. Anggota juri, dipilih oleh pengacara untuk
menyumbangkan putusan tertentu, kesepakatan pengetahuan juri --mempesonakan, dan, ia
akan tampak, mistik, pengetahuan dari otoritas tak sejajar. Dalam tiap perkara tersebut,
pengakuan bahwa pengetahuan adalah partisan, atau "daerah" yang tak dapat dielakkan,
menyajikan baik untuk meruntuhkan dampaknya atau pun otoritasnya.

Tak dapat diragukan salah satu dari perkembangan terpenting pada bidang
pengetahuan datang dari gerakan sosial dan politik mengenai kritik ilmu, sisi dalam dan sisi luar
akademi: feminis, enviromentalis, penentang pengembangan nuklir, penderitaan veteran dari
dampak perang kimia, pelindung binatang dari praktik eksploitatif oleh industri dan ilmu medis.
Masing-masing dalam caranya sendiri telah menyumbangkan pada pandangan bahwa ilmu
--institusi sekaligus dilihat sebagai berdiri di luar dan di bawah masyarakat-- adalah dirinya
sendiri sepenuhnya sosial dan upaya keras manusia. Kritik feminis dalam akademik, berbagi
wilayah institusi yang sama sebagaimana ilmuwan mereka sendiri, pencatatan peminggiran
perempuan dari ilmu yang berlangsung lama dan bias-bias yang tak ditampilkan yang menjadi
konsep dan teori dari bidang-bidang yang sama berbeda dengan fisika, psikologi, mesin (Bab
5).

Peninggalan feminis pada kita, tertangkap dalam kalimat ilmu adalah budaya, adalah
sebuah gagasan --karya orisinil yang masih evokatif dari genealogi praktik-praktik disiplinnya
Foucault-- peminggiran perempuan dari ilmu merupakan sesuatu yang disempurnakan secara
diskursif. Gagasan superioritas alami laki-laki tidak semata-mata refleksi bentuk-bentuk sosial
subordinasi (sebagaimana diklaim Marx), tapi sesuatu yang dihasilkan melalui representasi dan
praktik-praktik ilmiah. Marjinalitas dan subordinasi adalah kehidupan yang ditentukan oleh aktor
sosial. Tapi mereka juga menorehkan dalam kategori, klasifikasi, teks, dan risalah. Bentuk-
bentuk budaya tersebut tidak mengikuti pada "struktur" kelas dan kehidupan material. Budaya-
budaya membatasi dan mensituasikan kehidupan manusia: kelompok-kelompok, kelas-kelas,
keseluruhan masyarakat merupakan dampak keberagaman "formasi-formasi diskursif"
(Foucault) atau jaringan kerja yang rumit dan "aparat-aparat" (Althusser). "Keputusan" dan
"yang memerintah" adalah tidak melulu atau bahkan secara prinsipil sebuah sikap ekonomi
ataupun politik. Mereka adalah kesatuan untuk cara total kehidupan, tepatnya kalimat yang
digunakan Kluckhohn (mengikuti "keseluruhan yang paling rumit" nya E. B. Taylor) untuk
mendefinisikan "budaya".27

27 Pengantar pada Sosiologi, Mirror for Man (Clyde Kluckhohn), menggunakan gagasan holistik atas budaya, yang
kemungkinan pertam digunakan oleh Edward B. Tylor: "That complex whole which includes knowledge, belief, art,
Sosiologi Pengetahuan Baru | 112

Sekarang, gagasan budaya ini sebagai kesatuan dan penggabungan yang telah
menjalani kritik dan revisi dalam antropologi. Ia masih mengisi wawasan kontemporer bahwa
setiap fase "keteraturan sosial" --sebuah fenomena yang dihasilkan dan diperoleh sendiri--
adalah sesuatu yang penuh makna, sesuatu yang dapat melayani sebagai mode penandaan,
apakah Tuhan, obyek perhiasan, uang, perasaan, gestur manusia, atau limbah kita. Dengan
demikian kita dapat "membaca" begitu banyak "budaya borjuis" abad 19, tidak hanya melalui
"teori-teori 'agung' milik borjuis tentang 'esensi' sejarah dan negara" (Lukács [1911] 1968, h.
66), tapi juga melalui "nafsu-nafsu halus" dan keinginan-keinginan mereka, kesadaran mereka,
rasisme mereka (Gay 1984; 1986; 1993). Puritanisme, Max Weber beragumen, merupakan visi
yang mendunia dan bentuk religiusitas yang kuat --sebuah etos yang Weber sendiri coba
lukiskan melalui usaha komersil kapitalis abad 17, sama seperti penglihatan Saul and David
nya Rembrandt, sebuah kerja sampingan dengan "pengaruh yang sangat kuat terhadap emosi-
emosi puritan" (Weber [1904-5] 1958, h. 273, n. 66). Ini adalah pemberian contoh pada
sosiologi budaya dan perlu membuka kedok makna-makna dan pesan-pesan yang berbeda dari
adat-adat dan nilai-nilai, kerja seni dan kerja impian, mendengarkan suara-suara dan kebisuan-
kebisuan masa lalu dan masa sekarang. Di antara budaya, ajaran pokok sosiologi adalah
bahwa tak ada artefak yang tak bermakna --bahkan instrumen-instrumen paling praktis dari
peradaban kita telah digunakan untuk berbicara, untuk bermimpi, untuk berimajinasi. Sensus,
peta, dan museum, Anderson (1991, h. 164) berargumen, merupakan institusi yang "secara
mendalam membentuk suatu cara, dalam institusi itu negara kolonial mengimajinasikan
jajahannya --sifat dasar manusia mengatur, geografi wilayahnya, dan legitimasi keturunannya".

Pengetahuan, seperti beberapa artefak budaya, melakukan lebih dari pada mereka
bermaksud untuk melakukan. Beberapa kontribusi pada studi budaya kontemporer telah
menyibukkan diri mereka sendiri dengan "lebih banyak", berargumen bahwa ilmu, hukum,
teologi, misalnya, berfungsi sebagai "formasi-formasi diskursif", sebagaimana banyak dalam
urusan-urusan keputusan dan memarjinalkan manusia ketika mereka menyebarkan
pengetahuan yang diakui sepenuhnya. Sementara perspektif ini adalah salah satu yang tidak
dapat kita susutkan dari studi budaya kontemporer yang telah meninggalkan pada kita sebuah
warisan yang lebih mengganggu ketenangan dalam fitur utamanya. Bagi "yang lebih banyak"
bahwa pengetahuan melakukan dan mengatakan tidak secara prinsipil sebuah jenis
kebohongan; ataupun ia adalah ketidakmurnian, dari ketidakmurnian itu kita dapat
membersihkan diri kita. Sebagai budaya (baca semiotik), pengetahuan adalah beban dengan
perkiraan yang diperoleh dari budaya kita. Di dalam praktik ilmu, kedokteran, jurnalisme,
hukum, atau ilmu sosial, otoritas kita sebagai penghasil pengetahuan dapat diperoleh dari
kebebasan kita dari budaya. Sebaliknya, bahwa kita yang mempekerjakan dalam produksi-
pengetahuan dari jenis-jenis tersebut adalah, nyatanya, penghasil-penghasil budaya. Ini tidak

morals, law custom" (Vol. 1, dari Primitive Culture Tylor 1871). Untuk diskusi ini, lihat Geertz (1973, Bab 1), Swidler
(1986), dan Archer (1988, Bab 1).
Sosiologi Pengetahuan Baru | 113

bermaksud bahwa semua pengetahuan adalah ex quo, ataupun bahwa semua pengetahuan
adalah ideologis, dalam pengertian Marxis klasik mengenai "kesadaran palsu", ataupun bahwa
mereka mesti ideologis dalam beberapa pengertian (lihat diskusi saya tentang ideologi di Bab
2). Tapi ia membebankan pada akademik dan profesional --untuk menggunakan contoh tertutup
bagi saya-- pengertian yang agak berbeda mengenai "pekerjaan" ketimbang yang dilukiskan
Max Weber.

Sekarang, dalam ruang kelas universitas, saya tidak bisa lebih jauh membatasi diri
saya untuk menginstruksi terhadap mahasiswa saya pada gagasan-gagasan dan metode-
metode ilmu sosial. Saya juga mesti mendidik mereka tentang operasi-operasi budaya dan
tentang ilmu sosial sebagai bagian dari budaya. Ini memerlukan, di antara sesuatu yang lain,
penarikan perhatian pada cara-cara bahwa ia dan tubuh pengetahuan menyusun ulang
masyarakatnya dan dirinya sendiri, kadang-kadang pada cara-cara yang membebaskan
mereka dari identitas dan loyalitas yang mereka bawa bersama mereka ke sekolah. Praktik ilmu
sosial juga mensyaratkan penanaman sifat budaya abad 20 --salah satu mungkin lahir dari
sosiologi dan antropologi—tentang keberadaannya dalam budaya, sementara menelitinya
dengan cermat.

Saya masih tetap menjalankan ilmu sosial sebagai liberal sepenuhnya dan
pembebasan kebiasaan pikiran, salah satu yang mencari-cari asal usul yang kompleks dan
pemahaman dunia kontemporer kita. Dan Saya tentu, dalam penyaluran ilmu pengetahuan
sosial, tentang nilai-nilainya bagi mahasiswa saya, jika tidak ada alasan lain daripada fakta
bahwa ia memberitahukan pada mereka tentang kenyataan yang tak dapat dihindarkan
membentuk kehidupan mereka. Tapi, sebagaimana saya melaksanakan operasi-operasi
tersebut, saya tahu dan mereka tahu bahwa apa yang saya katakan dan ajarkan bukanlah kata
akhir. Pengetahuan disituasikan adalah, oleh sifat dasarnya, belum selesai. Tapi itu merupakan
karakter dari semua hal kemanusiaan dan kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai