Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kemampuannya. Manusia bisa dikatakan sebagai
makhluk hidup yang sempurna. Manusia memiliki kelebihan dari makhluk hidup yang lain
yaitu mereka dibekali akal pikiran. Karena kehebatan pemikiran manusia inilah dunia menjadi
se-modern sekarang. Demikian juga dengan sastra.
Kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan menghasilkan sebuah karya sastra membuat
dunia sastra terus berkembang dari masa ke masa. Dahulu kita belum mengenal mantra, bidal,
pantun, karmina, syair, talibun, dan gurindam, sekarang kita menjadi mengenalnya walaupun
tidak semua orang. Bahkan saat ini banyak yang sudah mengenal puisi baru, puisi konkret, dan
puisi kontemporer.
Seperti yang kita ketahui, sastra merupakan sebuah karya yang dapat dinikmati oleh sebagian
orang. Sastra, sebagaimana ditegaskan oleh Horatius[1], berfungsi dulce (menghibur) dan utile
(mengajarkan) sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca. Sebuah karya sastra tidak hanya
bersifat menghibur, tetapi juga harus dapat memberikan nilai-nilai yang dapat berguna bagi
kehidupan.
Apa pun orientasi penciptaan sebuah karya sastra, sebenarnya, ia akan tetap mampu untuk
memengaruhi perasaan dan pikirian pembacanya. Setiap karya sastra akan memiliki pengaruh
tersendiri bagi kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan kata dan makna yang terkandung di
dalamnya.
Dalam menciptakan karya sastra, seorang sastrawan perlu melakukan pemikiran dan
perenungan. Renungan itu bisa berupa tentang apa saja yang ada di alam semesta. Terkadang
perenungan itu juga berupa tentang kehidupan pribadi sastrawan itu sendiri.
Seorang sastrawan mendapatkan ide dan gagasan untuk membuat sebuah karya satra dari alam
semesta. Sastrawan menyampaikan apa yang telah dia lihat, rasakan, dan diingat, kemudian ia
tulis ke dalam dunia fantasinya melalui sebuah bahasa yang indah. Setiap kata yang ditulis
seorang sastrawan di dalam karyanya merupakan suatu kenyataan yang ia lihat di dunia atau
berupa sesuatu yang ia harapkan terjadi pada dunia yang fana ini.
Sastrawan memperlakukan kenyataan dan dunia dengan tiga cara, yaitu manipulatif, artifisial,
dan interperatif. Kenyataan yang telah diindra oleh sastrawan dijadikan bahan karya sastranya
dengan cara dimanipulasi. Seorang sastrawan melakukan kenyataan yang digunakan sebagai
bahan mentah karya sastranya dengan cara meniru, memperbaiki, menambah, atau
menggabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya sastranya.
Kenyataan yang dijadikan bahan karya sastranya juga dibuat-buat (artifisial). Selain itu,
kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan pandangan diri
sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.[3]
Masih ingat kisah beberapa tahun lalu? Kita pernah dikejutkan dengan berita kematian
Marsinah. Seorang buruh pabrik arloji yang dibunuh dengan sadis. Dan hingga saat ini kita
tidak tahu kabar mengenai kelanjutan pengadilannya. Kenyataan ini akhirnya dimanipulasi dan
ditafsirkan kembali oleh seorang sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam bentuk puisi
“Dongeng Marsinah”.
DONGENG MARSINAH
(1)
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi
ia sangat cemas dan pasti.
(2)
Marsinah, jadi suka mengusut tanya
Lantaran detik yang lancing
Berdetak yang tak semestinya;
Marsinah, kita semua tahu,
Berniat mempersoalkan berbagai jawabannya
“Ia suka berpikir,”kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
(3)
Dihari bulan baik,
Dijemput dirumah pondokan
Untuk suatu perhelatan.
(4)
Dihari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan.
klakson dan asap knalpot
mengiringi tubunya ke nganjuk.
Pangeran,apakah sebenarnya?
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan,pangeran?
Apakah ini? Dan apakah itu?
Duh gusti,apakah pula
makna pertanyaan
(5)
“Saya ini Marsinah,
buruuh pabrik arloji.
Ini tentunya sorga,bukan?
Jangan saya diusir Ke Dunia lagi.”
(Malaikat tak boleh banyak berkata,
ia mendengarka saja.)
(6)
Marsinah tak lain arloji
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya kita
agar belajar memahami
hakikat presisi
Dari puisi “Dongeng Marsinah” tersebut, kita dapat mengetahui bahwa kejadian di sekitar
pembunuhan Marsinah pasti dibuat-buat. Begitu juga dengan saat-saat Marsinah kritis dan saat
sedang menjalankan perjalanannya setelah kematian. Tentu saja Sapardi tidak mengetahui
bagaimana perjalanan seorang Marsinah setelah ia mati karena Sapardi sendiri belum pernah
mengalaminya. Dalam puisi tersebut, Sapardi menggambarkan perjalanan Marsinah di alam
roh secara artifisial. Sapardi juga menggambarkan tingkah laku malaikat seperti dalam kalimat:
Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka atau Malaikat tak boleh banyak
bicara, tapi lihat, ia seperti terluka. Maksud kalimat Sapardi di sini adalah untuk
menggambarkan betapa tidak adilnya dunia dan betapa tersiksanya orang seperti Marsinah
hidup di dunia. Hal ini dibuktikan dalam kalimat: Ini tentunya sorga, bukan? Jangan saya
diusir ke dunia lagi.
Kadar kenyataan dalam karya sastra berbeda-beda untuk setiap jenis karya sastra. Karya sastra
yang bersifat biografis, otobiografis, historis, atau catatan perjalanan, kadar kenyataannya tentu
lebih dominan jika dibandingkan dengan karya sastra kontemporer, absurd, dan sufi yang lebih
didominasi oleh imajinasi sastrawannya.
Menurut Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan sebagaimana adanya, tetapi menciptakan
dunianya sendiri, dengan probability yang memaksa. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman
masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan seniman itu sendiri. Karya seni, termasuk sastra,
merupakan salah satu cara yang unik untuk membayangkan tentang situasi manusia yang tidak
dapat diungkapkan dan dikomunikasikan lewat jalan yang lain. (Teeuw, 1984: 220-222)
Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yaitu: daya
kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif merupakan daya yang dibutuhkan seorang sastrawan
untuk menciptakan karya-karya yang baru dan asli. Manusia itu dipenuhi dengan seribu satu
kemungkinan tentang dirinya. Oleh karena itu, sastrawan disini berusaha untuk
memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan tersebut yang kemudian dituang dalam sebuah
karya sastra.
Dalam proses penciptaan karya sastra, seorang sastrawan akan berhadapan dengan kenyataan
yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif ini dapat berupa peristiwa,
norma, pandangan hidup, dan bentuk-bentuk lainnya. Jika seorang sastrawan merasa tidak puas
ketika melihat realitas obyektif tersebut, maka memungkinkan timbulnya rasa ‘gelisah’. Jika
hal tersebut terjadi, soerang sastrawan, dengan caranya sendiri, akan memprotes dan
memberontak realitas obyektif yang tidak berhasil memuaskan hatinya itu. Dalam rangka
‘memuaskan hati’nya tersebut, seorang sastrawan akan menciptakan realitas obyektif yang
baru sesuai dengan keinginannya. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan dan tuang dalam
karya sastra ciptaannya sendiri.
Karya sastra merupakan dunia rekaan, tetapi tidak lantas disebut fiksi. Kata fiksi mengandung
makna khayalan, impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan; yang dapat
dipertentangkan dengan karya nonfiksi (sesuai kenyataan). Sedangkan dalam kenyataannya,
karya sastra bukan hanya sekadar khayalan saja, melainkan gabungan dari kenyataan dan
khayalan. Semua yang diungkapkan pengarang dalam karya sastranya merupakan hasil
pengalaman dan pengetahuannya juga, yang tentunya diolah dengan imajinsai mereka sendiri.
Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang dilihat dan dialami sesuai
dengan visinya. Dengan kata lain, sastrawan memotret kenyataan yang diketahuinya dan
kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Analoginya, bila wartawan memotret
kenyataan menjadi sebuah berita, maka sastrawan memotret kenyataan menjadi sebuah cerita.
Baik berita yang ditulis wartawan maupun cerita yang ditulis sastrwan akan diwanai visi
penulisnya yang berbeda satu sama lain. Dan itu merupakan sesuatu yang lumrah dan sah-sah
saja untuk dilakukan.
Sebuah fakta akan menjadi berita yang berbeda-beda jika ditulis oleh wartawan yang memiliki
unsur latar belakang yang berbeda pula, misalnya, latar belakang agama, suku (etnik),
pendidikan, ideologi, partai politik, komunitas, gender, dan sebagainya. Bagaimana jika fakta
yang sama ditulis oleh para sastrawan? Tentu hasilnya akan lebih terasa menakjubkan karena
setiap sastrawan memiliki licentia poetica[4].
Banyak sastrawan yang memasukkan hasil pengamatannya ke dalam karya sastra. Seperti
halnya, A.A. Navis yang mendapatkan ide untuk menulis novel Kemarau setelah ia menonton
film Naked Island. Ide cerpen “Angin dari Gunung” timbul ketika dia bertemu laki-laki yang
tangannya buntung akibat perang kemerdekaan. Ide cerpen “Pelamar” muncul ketika Navis
melihat seorang anak muda tamatan SMA yang sedang mencari pekerjaan di tempatnya
bekerja.
Begitu juga dengan Wildan Yatim yang banyak mengangkat hasil penglihatannya ke dalam
karya sastranya. Tema cerpennya yang berjudul “Berakhir di Jakarta” ia dapat setelah
menjenguk seorang teman sekampungnya di Sumatra Barat yang terkena kanker payudara.
Cerpen “Kebun di Tanjung” peristiwa dasanya muncul ketika dia melewati kebun jagung.
Cerpen yang lainnya, “Pulang”, idenya timbul ketika Wildan melihat seorang laki-laki datang
berlari ke rumahnya untuk meminta perlindungan kepada orang tuanya karena dikejar oleh
seorang perempuan.
Bahkan tak jarang pengarangnya pun mengakui kenyataan yang diceritakan dalam karyanya
tersebut. Seperti misalnya, cerpen Sepucuk Surat Nyasar oleh Ninik Sp. Saiman yang diangkat
setelah dia mendapatkan sepucuk surat berantai, namun dalam karyanya, surat berantai tersebut
sudah dimanipulasi dan diterapkan dalam keluarga lain dengan segala akibatnya.
Hubungan antara seni dan kenyataan merupakan interaksi yang kompleks dan tidak langsung
karena ditentukan oleh konvensi[5] Bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra.
Hubungan ini merupakan interaksi yang saling memengaruhi. Konvensi tidak terjadi tanpa
dipengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh dan mengarahkan terjadinya konvensi.
Sebaliknya, pengamatan dan penafsiran kenyataan diarahkan pula oleh konvensi tersebut.
Interaksi itu dijadikan prinsip semiotic utama[6]. Membaca teks sebagai pencerminan kenyataan
belaka pasti menyesatkan, tetapi sebaliknya membaca teks sebagai rekaan murni juga keliru.
(Teeuw, 1984: 229-230)