Anda di halaman 1dari 3

KALAPATI DAN KEMATIAN JAMAN

(Refleksi Pembacaan Buku Kumpulan Carpon Hadi AKS


Oleh: M Taufan Musonip

                                    
Jalan kematian yang direnda oleh Hadi AKS dalam kumpulan carpon (cerpen)
berjudul Kalapati begitu cekam. Kala berarti waktu dalam bahasa Indonesia, wanci dalam
bahasa Sunda, atau lebih makro lagi: zaman, sedangkan kata pati, dalam bahasa Indonesia
bisa disebut mati, atau kematian. Secara mikro Kalapati mungkin mewakili kisah seorang
anak yang orangtuanya mati karena diduga sebagai dukun teluh di sebuah desa yang sedang
diburu oleh isu santet (Kalapati, hal. 45).

Secara keseluruhan dari dua belas kisah pendek itu saya membacanya sebagai zaman
kematian, atau bisa dibalik menjadi semacam kematian zaman yang mewakili kehidupan hari
ini. Hadi AKS, hidup di zaman di mana modernitas mendesak lokalitasnya sendiri sebagai
urang Sunda. Keterdesakan itu memaksa Hadi untuk mengisahkan hidup manusia
Sunda kiwari dalam bencana demoralisasi.

Kalapati, bisa direfleksikan dalam nafas filsafat nihilisme, yang destruktif, tragik,
penuh cekam. Dari sanalah sebenarnya eksistensi seorang manusia dipertanyakan. Tapi bagi
Hadi, tragedi merupakan bagian dari estetika itu sendiri, selain keteraturan. Maka dalam hal
ini pengarang mengeksploitasinya, meski mungkin keadaan itu bukan suatu hal yang
dikehendaki.

Karenanya kemudian oleh pengarang pembaca dibawa kepada kenyataan-kenyataan


pahit, tentang incest, keinginan bunuh diri, kebencian terhadap orang tua, kesendirian,
kegelisahan, kecemasan, dan kerusakan lingkungan yang menelusuri jalan pada kematian.
Bagai martil yang memorak-porandakan kehidupan manusia lokal masa lalu sebagaimana
diungkapkan dalam Lemah Cai Kulup (Hal.7):

“Bangsa urang mah, barudak, komo urang Sunda, katelah luhung budi. Béar
daréhdéh, someah hadé ka semah. Titih rintih salawasna, dina ucap jeung paripolah,”

Tangan Tak Terlihat


.
Orang lokal yang pada kenyataannya memiliki budi baik pada tiap pendatang, yang
menghayati benar kebersamaan, tergerus oleh sesuatu yang baru, datang dari berbagai
perangkat modernitas,  memecah belah kebersamaan, menuju cacah-cacah individu yang tak
pernah tahu keakuannya. Bagi Hadi modernitas semacam ketaksempatan manusia untuk
sejenak berpikir, menentukan pilihan hidupnya, menyadari dirinya sebagaimana manusia
yang dapat menghayati kemanusiaannya.

Itu tergambar dalam kecekaman tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, Acéng yang
melakukan pengejaran terhadap jaringan sindikat penjualan anak, untuk mencari adiknya
yang dijual ibunya sendiri dalam Basa Lambak Cahayaan (hal. 27). Seorang wanita muda
dalam bayang-bayang ketakutan oleh berbagai hal yang melingkupi dirinya, kehamilan
sebagai buah dari hubungan terlarang incest dengan kakak kandungnya sendiri dan kengerian
buasnya alam semesta dalam bencana meluapnya sungai Citarum di mana wanita itu tinggal
bersama abangnya (Sarah, hal. 18). Atau perceraian yang terjadi pada pasangan muda,
sebagai korban dampak kebijakan politik transmigrasi, dalam Kalakay (hal.58).

Bayang-bayang mitos kala dalam Kala (hal.38) yang terseret arus modernitas yang


serba rasional, namun tak bisa menjawab kesialan pada orang-orang yang tak beruntung,
bagai sengaja dipertahankan, untuk mengukuhkan kemenangan sekelompok orang, sambil
terus menertawakan mitos, sebagai cara mengekpresikan kekalahan, kala adalah  ilmu
perbintangan kuno urang sunda, yang menjadi petunjuk bagi perjalanan manusia. Lain hal
dengan kisah Kampung Samada (hal. 102), tiga bersaudara yang dicacah oleh wasiat seorang
ayah. Wasiat itu disampaikan secara berbeda pada masing-masing anak, tentang di mana
jenazah harus dikuburkan. Karena mempertimbangkan tokoh utama (aku) sebagai anak cikal
yang menerima wasiat penguburan di dalam hutan, maka tiga bersaudara bersepakat
menguburkan jenazah di dalam hutan. Mayat itu kemudian mengalami pelapukan,
menjadikan hutan semakin sejuk dan subur, yang pada puluhan tahun setelah itu menjadi
tempat hidup seluruh warga keturunan Ki Samada (nama tokoh ayah), sebagai awal
malapetaka banjir dan longsor yang memakan banyak korban  penduduknya karena terjadi
penggundulan hutan.

Hadi menggambarkan tokoh-tokoh tersebut secara partikular (dengan penggambaran


penceritaan dengan cara si aku) sebagai lawan dan korban kuasa manusia yang kolektif
sekaligus membentuk perlambang dekadensi sebagai ketakmampuan partikular dalam
kehendak berkuasa sebagai kekuatan afirmatif kepada substansi sosial berwujud negara,
perlembagaan, organisasi, perkumpulan dan kerumunan yang menciptakan superioritas
kelompok manusia.  

Kisah-kisah itu memautkan nihilisme dalam perburuannya terhadap nalar,


sebagaimana dilukiskan oleh Nietzsche, dalam aforisme perjalanan manusia di atas seutas
tali,  yang begitu ngeri diintai bayang-bayang kejatuhan, perhentian yang lebih mematikan,
dan jalan kembali yang lebih berbahaya. Sehingga hidup tak lagi mempertanyakan apa yang
harus dilakukan, seperti seseorang yang tengah terkapar tertembus anak panah dari pemanah
yang tak tahu muasalnya, untuk melupakan pencarian kepada si pembunuh, kecuali mencabut
anak panah itu sendiri. Keadaan yang serba salah ini membuahkan tragedi, pesimisme,
dekadensi, dari intaian kuasa tangan tak terlihat  otoritas agama, modal, kekuasaan, mitos
yang kemudian menciptakan ketakmampuan berkomunikasi dengan kuasa itu sendiri, kecuali
menjalani hidup tanpa memberi kesempatan pada nalar untuk menghujah keadaan
sebagaimana harapannya.

Mobil Sejarah

Bagi Hadi lokalitas tak lain merupakan bagian masa lalu dalam mobil sejarah yang
sesekali melihat spion masa silam urang Sunda, menuju pergerakan jaman. Tinggal apakah
masa lalu Sunda itu merupakan sekadar panineungan atawa bayang-bayang yang senantiasa
mengikuti modernitas?

Buku itu menjawab pertanyaan di atas dengan menghadapkan pembaca pada sebuah
jaman modern yang berbicara tentang kelupaan pada arah jalan pulang menuju lemah cai,
yang ketika sampai ke padanya, justru batas antara desa dan kota sudah semakin nirzona oleh
serangan modernitas yang menafikan kemanusiaan, kenyataannya pada gugus desa pun
tengah berlangsung keruntuhan nilai itu, seperti halnya tragedi kemanusiaan dukun santet di
sebuah desa dalam Kalapati (hal 45) dan berbagai konflik sosial (Kalakay, Kampung
Samada, dan lemah Cai Kulup).

Namun semangat Hadi dalam melukiskan dekadensi moral itu adalah semacam
eksperimentasi bahwa pada dasarnya kebenaran yang digadang-gadang mampu
menyelesaikan berbagai persoalan hidup mendapatkan maknanya dari sesuatu yang
mendistorsi dirinya sendiri: Kriminalitas dan segala prilaku abnormalitas manusia dan hal itu
semakin terasa dalam kisah-kisah lain (Kembang Pati, Kalangkang Bulan dan Anaking Jeung
Bulan) yang tak bisa semua disampaikan di sini karena terbatasnya ruang. ***

Cikarang, 26 Agustus 2012

------
*Kalapati, Kumpulan Carpon Hadi AKS, Nomor: 411/KBUG/2012. Kiblat Buku Utama
Citakan ka-1, Rabiul Awal 1433 H./ Februari 2012

Anda mungkin juga menyukai