Jalan kematian yang direnda oleh Hadi AKS dalam kumpulan carpon (cerpen)
berjudul Kalapati begitu cekam. Kala berarti waktu dalam bahasa Indonesia, wanci dalam
bahasa Sunda, atau lebih makro lagi: zaman, sedangkan kata pati, dalam bahasa Indonesia
bisa disebut mati, atau kematian. Secara mikro Kalapati mungkin mewakili kisah seorang
anak yang orangtuanya mati karena diduga sebagai dukun teluh di sebuah desa yang sedang
diburu oleh isu santet (Kalapati, hal. 45).
Secara keseluruhan dari dua belas kisah pendek itu saya membacanya sebagai zaman
kematian, atau bisa dibalik menjadi semacam kematian zaman yang mewakili kehidupan hari
ini. Hadi AKS, hidup di zaman di mana modernitas mendesak lokalitasnya sendiri sebagai
urang Sunda. Keterdesakan itu memaksa Hadi untuk mengisahkan hidup manusia
Sunda kiwari dalam bencana demoralisasi.
Kalapati, bisa direfleksikan dalam nafas filsafat nihilisme, yang destruktif, tragik,
penuh cekam. Dari sanalah sebenarnya eksistensi seorang manusia dipertanyakan. Tapi bagi
Hadi, tragedi merupakan bagian dari estetika itu sendiri, selain keteraturan. Maka dalam hal
ini pengarang mengeksploitasinya, meski mungkin keadaan itu bukan suatu hal yang
dikehendaki.
“Bangsa urang mah, barudak, komo urang Sunda, katelah luhung budi. Béar
daréhdéh, someah hadé ka semah. Titih rintih salawasna, dina ucap jeung paripolah,”
Itu tergambar dalam kecekaman tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, Acéng yang
melakukan pengejaran terhadap jaringan sindikat penjualan anak, untuk mencari adiknya
yang dijual ibunya sendiri dalam Basa Lambak Cahayaan (hal. 27). Seorang wanita muda
dalam bayang-bayang ketakutan oleh berbagai hal yang melingkupi dirinya, kehamilan
sebagai buah dari hubungan terlarang incest dengan kakak kandungnya sendiri dan kengerian
buasnya alam semesta dalam bencana meluapnya sungai Citarum di mana wanita itu tinggal
bersama abangnya (Sarah, hal. 18). Atau perceraian yang terjadi pada pasangan muda,
sebagai korban dampak kebijakan politik transmigrasi, dalam Kalakay (hal.58).
Mobil Sejarah
Bagi Hadi lokalitas tak lain merupakan bagian masa lalu dalam mobil sejarah yang
sesekali melihat spion masa silam urang Sunda, menuju pergerakan jaman. Tinggal apakah
masa lalu Sunda itu merupakan sekadar panineungan atawa bayang-bayang yang senantiasa
mengikuti modernitas?
Buku itu menjawab pertanyaan di atas dengan menghadapkan pembaca pada sebuah
jaman modern yang berbicara tentang kelupaan pada arah jalan pulang menuju lemah cai,
yang ketika sampai ke padanya, justru batas antara desa dan kota sudah semakin nirzona oleh
serangan modernitas yang menafikan kemanusiaan, kenyataannya pada gugus desa pun
tengah berlangsung keruntuhan nilai itu, seperti halnya tragedi kemanusiaan dukun santet di
sebuah desa dalam Kalapati (hal 45) dan berbagai konflik sosial (Kalakay, Kampung
Samada, dan lemah Cai Kulup).
Namun semangat Hadi dalam melukiskan dekadensi moral itu adalah semacam
eksperimentasi bahwa pada dasarnya kebenaran yang digadang-gadang mampu
menyelesaikan berbagai persoalan hidup mendapatkan maknanya dari sesuatu yang
mendistorsi dirinya sendiri: Kriminalitas dan segala prilaku abnormalitas manusia dan hal itu
semakin terasa dalam kisah-kisah lain (Kembang Pati, Kalangkang Bulan dan Anaking Jeung
Bulan) yang tak bisa semua disampaikan di sini karena terbatasnya ruang. ***
------
*Kalapati, Kumpulan Carpon Hadi AKS, Nomor: 411/KBUG/2012. Kiblat Buku Utama
Citakan ka-1, Rabiul Awal 1433 H./ Februari 2012