Anda di halaman 1dari 6

Pidato Mario Vargas Llosa (1967)

Sastra Itu Api


KURANG lebih 30 tahun lalu, seorang pemuda yang telah membaca dengan penuh
semangat tulisan-tulisan perdana Breton, wafat di Pegunungan Sevilla, di sebuah rumah
sakit amal, penuh luapan amarah. Ia wariskan pada dunia selembar kaus berwarna serta
“Cinco metros de poemas” (“Lima Meter Puisi”) yang memiliki kepekaan visioner luar
biasa. Pemuda ini punya nama yang nyaring lagi merdu, santun, dan setengah priyayi,
namun hidupnya serba tak pasti, sangat tidak berbahagia. Di Lima ia orang udik yang
kelaparan, seorang pemimpi yang tinggal di kampung kumuh Mercado dalam sebuah saung
tanpa penerangan. Dan tatkala pergi ke Eropa, tanpa seorang pun tahu mengapa, ia diciduk
dari kapal di Amerika Tengah, dibui, disiksa dan dibiarkan menggeletak demam. Dan
sesudah wafatnya, kemalangannya yang tak kenal iba belum berakhir, bahkan mencapai
taraf sempurna: meriam-meriam Perang Saudara Spanyol menghapus nisannya dari muka
bumi, dan sesudah bertahun-tahun, waktu telah menghapus ingatan akannya dalam benak
orang-orang yang cukup beruntung bisa mengenal atau membacanya. Saya tak kaget bila
tikus-tikus menaruh minat pada eksemplar-eksemplar buku dia satu-satunya yang
terpendam dalam perpustakaan-perpustakaan yang tidak dikunjungi siapa-siapa, dan puisi-
puisinya, yang kini tidak dibaca oleh siapa-siapa, dengan lekas berubah “jadi uap, jadi
hawa, tak jadi apa-apa” seperti kaus merang terang yang ia beli untuk mati itu. Padahal,
kompatriot saya ini seorang yang sungguh ajaib, penyihir kata, arsitek imaji yang berani,
pengarung mimpi yang berkilau, pencipta yang rinci dan keras kepala yang mempunyai
cukup kejernihan dan kegilaan untuk menjalankan kerja kepenulisannya sebagaimana
mestinya: sebagai pengorbanan harian dan mati-matian.

Saya panggil ke sini, malam ini, bayang-bayang nokturnalnya yang sembunyi untuk
merecoki pesta saya sendiri, pesta yang terwujud berkat kemurahan hati Venezuela
sekaligus nama kondang Rómulo Gallegos, karena penghargaan terhadap novel saya
melalui hadiah yang menakjubkan ini, yang dianugerahkan oleh Institut Budaya dan Seni
Rupa Nasional sebagai stimulus dan tantangan bagi para novelis berbahasa Spanyol serta
sebagai penghormatan kepada seorang pencipta besar Amerika, bukan cuma mengisi diri
saya dengan rasa syukur terhadap Venezuela, namun juga memperkuat tanggung jawab
saya sebagai seorang penulis. Dan penulis, seperti Anda ketahui, adalah tukang recok
abadi. Bayangan diam-diam Oquendo de Amat di sini, di samping saya, harus
mengingatkan kita semua –terutama orang Peru satu ini yang Anda renggut dari Kangaroo
Valley, London, boyong ke Caracas dan Anda hujani dengan persahabatan dan
penghormatan—akan nasib muram yang menimpa, dan masih banyak menimpa, para
pencipta di Amerika Latin. Memang benar tidak semua penulis kita mengalami ujian yang
seekstrem Oquendo de Amat; ada yang berhasil menundukkan rasa permusuhan,
ketidakacuhan, penghinaan dari negara-negara kita terhadap sastra lantas menulis,
menerbitkan, bahkan dibaca. Memang benar tidak semua orang bisa dibunuh oleh
kelaparan, ketidakacuhan, atau ejekan. Tapi yang beruntung ini sebuah perkecualian.
Umumnya, penulis Amerika Latin hidup dan menulis dalam lingkungan yang sungguh
sulit, sebab masyarakat kita telah memapankan mekanisme membekukan yang hampir
sempurna untuk menjegal dan mematikan panggilan hidupnya. Panggilan ini indah, namun
juga mencengkeram dan tiranik, menuntut dari para pemeluknya pengabdian seutuhnya.
Bagaimana bisa penulis-penulis ini menjadikan sastra sebagai takdir, sebagai militansi, di
tengah mayoritas orang yang tidak bisa membaca atau tidak mampu membeli buku, atau
minoritas yang bisa namun tidak suka membaca? Tanpa penerbit, tanpa pembaca, tanpa
lingkungan budaya yang merangsang dan menuntutnya, penulis Amerika Latin adalah
orang yang berangkat berperang dengan tahu sejak awal bahwa ia akan kalah. Kerjanya
tidak dipandang oleh masyarakat, nyaris tidak ditolerir; tak ada cara buat menyambung
hidup, dan ia pun menjadi produsen rendahan, ad honorem. Penulis di negara-negara kita
harus jungkir balik, memisahkan kerjanya dari mata pencaharian sehari-hari, membelah
dirinya dalam ribuan kerja yang menyita waktu yang dibutuhkan untuk menulis dan
seringkali bertentangan dengan keyakinan dan hati nuraninya. Sebab, selain tak
menemukan ruang dalam hati mereka bagi sastra, masyarakat kita terus mendorong syak
wasangka terhadap makhluk marjinal yang rada anonim ini, yang bersikeras –dengan
melawan segala logika—untuk menekuni sebuah profesi yang terlihat hampir tak-nyata
dalam konteks Amerika Latin. Atas alasan itulah lusinan penulis kita jadi frustrasi dan
mencampakkan kerja mereka atau mengkhianatinya, bertindak setengah hati dan
sembunyi-sembunyi, tanpa tekad dan tanpa ketegaran.

Tapi memang benar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini keadaan mulai berubah.
Perlahan-lahan merayapi negeri kita iklim yang lebih ramah bagi sastra. Sirkulasi buku
mulai meningkat, kaum borjuis menyadari bahwa buku ada gunanya, bahwa para penulis
bukan sekadar si gila yang halus budinya, bahwa mereka punya peran dalam masyarakat.
Tapi kemudian, ketika keadilan mulai berlaku bagi penulis Amerika Latin, atau tepatnya,
ketika ketidakadilan yang membebaninya mulai terangkat, ancaman lain bisa timbul, mara
bahaya yang subtil mengerikan. Masyarakat yang sama yang dulu pernah mengucilkan dan
menolak penulis, sekarang bisa berpikir bahwa ada faedahnya untuk mengasimilasi dia,
mengintegrasikan dia, menganugerahinya semacam status resmi. Oleh sebab itu, penting
untuk mengingatkan masyarakat kita akan apa yang akan mereka dapatkan. Ingatkan
mereka bahwa sastra itu api, yang berarti perbedaan pendapat dan pemberontakan, bahwa
alasan keberadaan seorang penulis adalah protes, konfrontasi, serta kritik. Jelaskanlah
bahwa tidak ada jalan tengah: entah masyarakat harus menindas kecakapan manusia yang
berupa kreasi artistik dan mengenyahkan selamanya elemen sosial yang sukar dikendalikan
itu, sang penulis, atau sebaliknya merengkuh sastra, yang artinya mereka tak punya
alternatif selain menerima arus serangan yang tiada henti, ironi dan satir yang ditujukan
baik kepada aspek-aspek hidup yang sementara maupun yang hakiki, dari puncak ke dasar
piramida sosial. Begitulah keadaannya dan tak ada jalan keluar: penulis, dulu, sekarang,
dan akan terus merasa tidak puas. Tak seorang pun yang merasa puas bisa menulis. Tak
seorang pun yang sepakat atau berdamai dengan kenyataan mampu melaksanakan
ketololan ambisius untuk menciptakan realitas verbal. Panggilan sastra lahir dari
ketidaksepakatan seorang manusia dengan dunia, intuisinya akan kekurangan, perbedaan,
dan penderitaan di sekitarnya. Sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa
menerima jaket pengekang. Upaya apapun untuk membelokkan wataknya yang
pemberang, pemberontak, ditakdirkan gagal. Sastra bisa mati tapi takkan pernah bisa
kompromi.

Hanya dalam kondisi ini sastra bisa berguna bagi masyarakat. Ia bersumbangsih dalam
pembangunan kemanusiaan, mencegah stagnasi spiritual, rasa puas-diri, kejumudan,
kelumpuhan, kemerosotan intelektual atau moral. Misinya adalah untuk membangkitkan,
mengganggu, menggelisahkan, untuk membuat manusia berada dalam kondisi
ketidakpuasan konstan dengan dirinya sendiri. Fungsinya adalah untuk mendorong, tanpa
kenal henti, hasrat akan perubahan dan perbaikan, sekalipun diperlukan senjata-senjata
tertajam guna menunaikan tugas ini. Penting bagi tiap orang untuk memahami soal ini
sekaligus: makin kritis tulisan-tulisan seorang penulis menentang negaranya, makin intens
gairah yang mengikat dia ke negara tersebut. Sebab dalam ranah sastra, kekerasan adalah
bukti cinta.

Realitas benua Amerika, tentu saja, menawarkan kepada penulis terlampau banyak alasan
buat memberontak dan merasa tak puas. Dalam masyarakat di mana ketidakadilan adalah
hukum, surga kebodohan, eksploitasi, ketimpangan yang mencolok mata, kemelaratan,
alienasi ekonomi, budaya, dan moral, tanah kita yang kacau balau menyuguhkan bagi kita
bahan-bahan untuk dikuak dalam karya fiksi, secara langsung maupun tak langsung, lewat
fakta, impian, pengakuan, kiasan, mimpi buruk, atau penampakan bahwa realitas ini
dibikin secara tidak sempurna, bahwa hidup harus berubah. Namun dalam sepuluh,
duapuluh, atau limapuluh tahun, masa keadilan sosial akan tiba di negeri-negeri kita,
sebagaimana yang terjadi di Kuba, dan seluruh Amerika Latin akan terbebas dari tatanan
yang menjarahnya, dari kasta-kasta yang mengeksploitirnya, dari kekuatan-kekuatan yang
sekarang menghina dan menindasnya. Dan saya ingin agar masa ini tiba sesegera mungkin
dan agar Amerika Latin memasuki, sekali untuk selamanya, jagat martabat dan modernitas,
agar sosialisme membebaskan kita dari anakronisme dan horor kita. Tapi tatkala
ketimpangan-ketimpangan sosial sirna, bukan berarti penulis memasuki masa mufakat,
subordinasi, dan keterlibatan resmi. Misinya akan berlanjut, dan harus berlanjut, dengan
tetap sama: kompromi apapun di ranah ini berarti pengkhianatan. Dalam masyarakat yang
baru, dan sepanjang jalan tempat kita disetir oleh hantu-hantu dan momok pribadi kita, kita
akan terus seperti dulu, seperti sekarang, berkata tidak, memberontak, menuntut pengakuan
atas hak kita untuk berbeda pendapat, menunjukkan dengan cara yang hidup dan ajaib ini,
satu-satunya yang dapat diperbuat sastra, bahwa dogma, sensor, dan keputusan sewenang-
wenang juga merupakan musuh bebuyutan kemajuan dan martabat manusia, menegaskan
bahwa hidup tidaklah sederhana dan tidak bisa pas rapi sesuai pola, bahwa jalan menuju
kebenaran tidaklah senantiasa mulus dan lurus, namun kerap kali berliku-liku dan
bergeronjal, menunjukkan berulang kali lewat buku-buku kita kerumitan dan
keanekaragaman hakiki dari dunia serta ambiguitas kontradiktif dari peristiwa-peristiwa
manusia. Seperti kemarin, seperti sekarang, bila kita mencintai pekerjaan kita, kita harus
terus bertempur dalam tigapuluh dua perang Kolonel Aureliano Buendía, meski seperti dia,
kita kalah dalam semuanya.

Panggilan ini telah membuat kita, para penulis, menjadi kaum profesional ketidakpuasan,
perecok masyarakat secara sadar atau tak sadar, pemberontak dengan tujuan, pembangkang
dunia yang tak tersembuhkan, penentang tak terbendung atas apa yang dianggap baik. Saya
tak tahu baik atau burukkah keadaan ini, saya cuma tahu bahwa beginilah keadaannya.
Inilah kondisi penulis dan kita harus mempertahankannya sebagaimana adanya. Dalam
tahun-tahun ini ketika Amerika Latin mulai menemukan, menerima, dan menyokong
sastra, ia juga harus menyadari bahaya yang mendekat, harga mahal yang harus dibayarnya
atas kebudayaan. Masyarakat kita harus waspada: entah ditampik atau diterima, dihajar
atau diganjar, penulis yang memang layak menyandang nama itu akan terus melemparkan
ke muka orang-orang pemandangan yang tidak senantiasa sedap atas azab dan sengsara
mereka.

Dengan memberi saya hadiah ini, yang karenanya saya sangat berterimakasih, dan yang
saya terima sebab saya pertimbangkan bahwa ia tidak menuntut dari saya sekilas pun
kompromi ideologi, politik, atau artistik, dan yang mestinya diterima oleh para penulis
Amerika Latin lain yang punya lebih banyak buku dan lebih banyak jasa ketimbang saya
–saya berpikir tentang [Juan Carlos] Onetti yang dahsyat misalnya, yang belum
memperoleh pengakuan yang layak ia dapatkan di Amerika Latin—dan dengan melimpahi
saya begitu banyak perhatian dan kehangatan sejak tiba di kota yang sedang berkabung ini
(1), Venezuela telah membuat saya terbenam utang berlimpah ruah. Satu-satunya cara saya
bisa membayar balik utang ini adalah dengan menjadi, dalam batas-batas kekuatan saya,
kian teguh dan kian setia pada panggilan untuk menulis ini, yang tak pernah saya sangka
akan memberi kepuasan yang saya rasakan ini hari.

____
1) Catatan penerjemah: Caracas baru saja dilanda gempa besar saat penganugerahan ini
diberikan

Mario Vargas Llosa lahir di Arequipa, Peru, 28 Maret 1936, adalah seorang novelis,
penulis dan juga politikus dari Peru yang mendapat hadiah Nobel untuk bidang sastra
tahun 2010 untuk karyanya mengenai kartografi dari struktur kekuasaan dalam melawan
tekanan, perlawanan, pemberontakan, serta kekalahan individu.

“La literatura es fuego”, pidato Mario Vargas Llosa saat menerima hadiah sastra
Premio Rómulo Gallegos pada 11 Agustus 1967 di Caracas, Venezuela, atas novel
keduanya La casa verde. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari
kumpulan esai Contra viento y marea Vol. I (Barcelona: Seix Barral, 1986).
Catatan penerjemah: Saat mengucapkan pidato ini, Mario Vargas Llosa masih
mencanangkan diri “sosialis” dan mendukung Revolusi Kuba, dan juga masih berteman
dengan Gabriel García Márquez. Karena itulah pidato ini masih menyebut-nyebut ideal
“sosialisme” dan merujuk ke salah satu karakter ciptaan García Márquez, Kolonel
Aureliano Buendía. Peralihan ideologis Vargas Llosa berlangsung berangsur-angsur
mulai 1970-an, terutama setelah pengakuan di bawah paksaan para penulis Kuba seperti
Heberto Padilla dan César López, yang menurut Vargas Llosa “bukanlah spontan, tapi
direkayasa seperti pengadilan Stalinis tahun ‘30-an.” Hal ini membuatnya berpisah jalan
dengan banyak kawan lamanya termasuk García Márquez. Persahabatan mereka benar-
benar bubar setelah keduanya adu jotos di sebuah gedung bioskop di Mexico City.
Keduanya tak pernah bertegur sapa lagi dan hanya terhubung melalui teman bersama
mereka, Carlos Fuentes. Namun demikian, sekalipun ideologi politik Vargas Llosa
bergeser, bisa dibilang keyakinannya tentang fungsi sosial sastra tidak, dan justru
mengalami pematangan dalam esai-esainya dari periode kekaryaannya yang selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai