Anda di halaman 1dari 3

Tempe

Karya Putu Wijaya

Ada seorang tukang tempe, di lingkungan pemukiman kami mau berhenti menjual tempe.
Pasalnya, dia sudah merasa dirinya tua. “Saya sudah bosan puluhan tahun jual tempe,” kilahnya.
” Saya ingin melakukan yang lain. Misalnya jalan-jalan mengelilingi Indonesia, syukur-syukur
bisa sampai ke manca negara. Lagi pula, inilah satu-satunya cara untuk kasih kesempatan orang
lain untuk jual tempe. Sebab selama saya sendiri masih jual tempe, calon-calon penjual tempe
tidak akan dapat kesempatan. Atau tempe-tempe yang lain tidak akan laku karena orang sudah
terlalu kecanduan dengan tempe saya.

Niat pengunduran diri itu, kontan mengundang reaksi kontra dari ibu-ibu rumah tangga.
Pemukiman kami sampai geger, karena para ibu berbondong-bondong datang ke rumah Gagap,
tukang tempe itu, untuk melakukan protes. Mereka marah.

“Kenapa sih ente ini,” kata seorang ibu. “Saya ini dulu tidak suka makan tempe, karena itu
barang ‘irlander’. Tempe itu menunjukkan gengsi yang rendah, karena harganya terlalu murah,
jadi dia sebetulnya merupakan makanan orang-orang miskin. Keluarga saya tidak ada yang
doyan tempe. Mendengar namanya saja kami sudah jijik. Apalagi kalau mengingat tempe
dikaitkan dengan soal-soal kecerdasan dan mental dengan adanya istilah ‘mental tempe’. Jadi
boleh dibilang saya satu keluarga benci kepada tempe. Tetapi ketika kami mendapat kunjungan
seorang profesor dari Universitas Cornell di Amerika yang tinggal sebulan di rumah yang doyan
pada tempe, kami terkejut. Juga ketika ada seorang profesor dari Kyoto University meminta
kami untuk mengajarkan membuat tempe, sebab konon dia setiap tahun rindu ke Indonesia untuk
makan tempe, kami mulai mengubah pikiran. Apalagi ketika kami kemudian berkenalan dengan
ente, tetangga kami sendiri yang rupanya sudah bertahun-tahun jualan tempe. Dan begitu tempe
ente kami makan, kami baru menyesal, ternyata selama ini kami sudah keblinger. Rupanya
tempe adalah makanan yang bergizi tinggi. Paling sehat di antara berbagai macam makanan
cepat yang diimpor dari luar negeri dengan harga mahal tetapi menumpuk kolestrol yang sudah
membunuh banyak orang. Istimewa lagi, tempe yang ente bikin ini luar biasa enaknya. Kami
sudah menjadi bagian dari tempe ente. Tak ada hari-hari kami tanpa tempe. Tempelah yang
sudah bikin kami tetap makan enak dan merubung meja makan beramai-ramai tiap malam. Nah
dalam keadaan tergantung, kecanduan, dijajah tempe anda itu, kok anda memutuskan tiba-tiba
berhenti. Itu namanya tidak bertanggung jawab. Tidak professional! Bahkan saya ingin bilang
anda ini pengecut!”

Tukang tempe itu mendengarkan dengan sabar. Ia tak marah. Ia sudah siap dicaci-maki. Ia sudah
tahu, niatnya untuk berhenti dagang tempe pasti akan membuat berang langganan. Tetapi
keberangan adalah sesuatu yang sangat manusiawi pada setiap manusia yang diberikan
perubahan. Ia siap menrima maki-makian itu, karena ia yakin, nanti semuanya akan reda sendiri.
Dalam waktu yang singkat para langganan akan mendapatkan kenikmatan pada tempe produksi
orang lain.

“Atau, kalau pun mereka kesal dan berthenti makan tempe, mereka, masyarakat penelan tempe
itu bisa makan tahu. Sama-sama dibuat dari kedele, sama-sama mengandung nuansa pribumi.
Sekadar untuk mengingatkan masyarakat juga bahwa segala seuatu itu tidak bisa langgeng,
perubahan atau pergantian itu sebuah hukum alam yang tidak bisa ditolak,” kata tukang tempe
yang hendak melakukan disersi itu, berfilasafat.

Tetapi para ibu-ibu yang marah karena tidak bisa lagi membeli tempe kesukaan mereka, makin
garang. Mereka menganggap perbuatan dan kilah tukang tempe itu merupakan perilaku yang
amat berbahaya. Kalau itu sampai dicontoh oleh banyak orang, mereka tidak akan punya
pegangan apa-apa lagi.

tempe daun pisang

“Kalau semuanya berubah-ubah terus, kami akan pusing. Padahal kaulah satu-satunya yang
masih bisa kami pegang sekarang tahu? Habis siapa lagi? Apa lagi?” teriak mereka. “Hanya
tempelah yang relatif tidak pernah berubah dari zaman baheula. Bahannya, bentuknya, harganya,
rasanya semuanya sudah sama. Barang-barang yang lain seperti mobil, rumah, tanah, saham,
kedudukan dan bahkan kehormatan serta kekuasaan, itu kursnya sudah tidak karuan. Mereka
melompat-lompat jumpalitan serta main akrobat sehingga kita pusing. Hanya tempe yang tidak
memusingkan kami. Tetapi kenapa sekarang kamu orang jadi ikut main pusing-pusingan? Kalau
yang lain memusingkan, kami tidak peduli, karena barangkali kodrat mereka sudah begitu. Tapi
kalau kamu, kamu lain, Pak Tempe. Kamu sudah jadi harapan kami. Kamu sudah jadi pahlawan
kami. Kamu tidak boleh berubah. Kamu tidak boleh berhenti. Kamu sudah ditakdirkan jadi
tukang tempe. Tukan tempe kekasih satu-satunya yang akan menyelamatkan rasa putus asa kami.
Kamu idola. Kamu pahlawan kami. Kamu harapan kami. Kalau kamu berhenti kamu sudah
berkhianat. Kamu tidak boleh berpikir seenak pantat kamu sendiri. Kamu bukan milik kamu lagi.
Kamu sudah jadi milik kami, kamu harus berpikir untuk kami. Kamu harus bertindak menurut
kami!Mengerti! Bangsat kalau kamu tidak mengerti!”

Tukang tempe itu terkejut.

“Gila!” teriaknya sambil meludah ke lantai. “Orang cuma cari nafkah sudah dinobatkan jadi
pahlawan. Itu yang namanya keblinger. Ya salah kamu sendiri! Gua tidak kepingin jadi
pahlawan kok dipahlawan-pahlawankan. Gua tidak pingin jadi panutan kok disubyo-subyo. Gua
manusia biasa seperti kalian juga yang pingin lari ke sana ke mari, bisa malas-malasan, bisa
menuntut, menyalahkan orang lain, bahkan berkhianat dan bikin kesalahan seperti orang lain.
Seperti kalian semua! Persis seperti kalian, gua juga ingin memaki-maki tukang tempe lain yang
tidak setia menjaga gawangnya sebagai tukang tempe! Tidak! kalian urus perasaan kalian
sendiri. Gua sih sekarang mau melewatkan sisa usia tua dengan melihat-lihat dunia! Siapa tahu
bisa bikin novel atau sinetron! Terserah bagaimana yang muda-muda!”

Lalu tukang tempe itu cabut. Angkat kaki. Ngacir ke luar negeri. Jauh dari bumi. Ke angkasa.
Entah di mana. Jauh dari para tetangga. Jauh dari para pelanggan yang masih saja berteriak-
teriak semakin buas menuduhnya sudah menipu. Berteriak memaki-makinya sudah berkhianat.

Tukang tempe itu pergi entah ke mana. Ia sembunyikan alamatnya. Ia ganti identitasnya. Bahkan
ia mengubah penampilan dan busananya supaya tidak ada yang berhasil menemukannya. Ia
ngumpet menolak dihubungi, melontarkan dirinya. Dengan satu kata: lari. Jauh di sana, kini
hidupnya tenang, dengan jualan tempe.

(Jakarta, 9 agustus 1994)

Anda mungkin juga menyukai